Research and Development on Nanotechnology in Indonesia, Vol.2, No.1, 2015, pp. 1-19 ISSN : 2356-3303
Sintesis, Karakterisasi dan Fungsionalisasi Bio-Nano Filler dari Abu Pembakaran Limbah Kayu untuk Menurunkan Emisi Formaldehida Produk Bio-Komposit (Synthesis, Characterization and Functionalization of Bio-based Nano Filler Made from Ash Resulted from Wood Waste Burning to Reduce Formaldehyde Emission of Bio-Composite Products) Sutrisno1), Bambang Sunendar Purwasasmita2), Eka Mulya Alamsyah1) dan Tati Suryati Syamsudin1) 1)Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Insitut Teknologi Bandung 2)Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha, Bandung 40132, Indonesia * e-mail:
[email protected] Received : 7 January 2015 Accepted : 7 February 2015
ABSTRACT The objective of this research was to produce a bio-based nanomaterial from ash using conventional ball milling method then used as phenol formaldehyde (PF) adhesive filler and to evaluate its usefulness to decrease formaldehyde emission of laminated veneer lumber (LVL) made from three species of community forest woods, surian (Toona sinensis), jabon (Anthocephalus cadamba) and manglid (Manglietia glauca). Ash was produced from woodwasteburned at boiler of plywood industrial was subjected to conventional ball milling for 144 h and was converted into biobased nanomaterial. After being synthesized, the bio-based nanomaterial was then characterizedand studied to analyze its particle size, morphology and chemical components. The analysis used transmission electron microscopy (TEM), scanning electron microscopy (SEM) and scanning electron microscopy that is extended with energy dispersive X-ray spectroscopy (SEM-EDS). The particle size obtained from TEM analysis was found less than 100 nm. The chemical components found in bio-based nanomaterial from ash obtained from SEM-EDS analysis were C, Na 2 O, MgO, Al 2 O 3 , Cl and CaO. Bio-based nanomaterial then mixed with PF adhesive under four various compositions: PF + hardener 8%; PF + hardener 8% + wheat flour 8%; PF + hardener 8% + ash bio-based nano filler 2.5% and PF + hardener 8% + ash bio-based nano filler 8%. These 1| CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
compositions of PF adhesive then used to produce the LVL from three species of community forest woods and evaluated its properties through formaldehyde emission using desiccator method according to Japanese Agricultural Standard. From these resultsit could be concludedthat abiobasednanomaterial made of ash (2.5% based of weight of PF adhesive) could be usedas abio-based nano filler of PF adhesive to reduceformaldehydeemission of bio-composite products. Additionally, LVL made from surian wood has the lowest value of formaldehyde emission, followed by manglidand jabon woods respectively. Keywords: Ash, conventional ball milling, ash bio-based nanomaterial, ash bio-based nano filler, wheat flour filler, PF, LVL. PENDAHULUAN Dewasa ini industri kayu komposit di Indonesia menggunakan perekat sintetis urea formaldehida (UF) dan phenol formaldehida (PF).Salah satu kekurangan dari perekat UF dan PF adalah dapat menimbulkan emisi formaldehida yang berbahaya bagi kesehatan manusia.Emisi formaldehida berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena dapat menyebabkan iritasi mata, kulit dan hidung serta berpotensi menyebabkan kanker. Lembaga Riset Kanker Internasional, Program Toksikologi Nasional Amerika dan Lembaga Perlindungan Lingkungan Amerika merekomendasikan batas emisi formaldehida di dalam ruangan nilainya dibawah 0,1 ppm [1]. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui serangkaian proses agar dihasilkan produk bio-komposit yang memiliki kualitas perekatan yang baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi formaldehida adalah dengan menambahkan bahan pengisi (filler) agar molekul perekat mampu mengikat formaldehida bebas yang terjadi selama proses pengolahan dan atau penggunaan produk. Penambahan filler juga dimaksudkan agar molekul perekat mampu memasuki sel kayusecaraoptimal, sehingga membentuk polimer yang kuat. Pengertian filler berdasarkan kamus ASTM (American Society for Testing and Materials) dan ISO (International Organization for Standardization) adalah bahan yang relatif bersifat bukan perekat yang ditambahkan terhadap perekat dengan tujuan untuk memperbaiki sifat pengerjaan, kekentalan, kekuatan atau kualitas lainnya. Filler dapat berupa bahan berlignoselulosa atau bahan alami anorganik yang bersifat lembam (inert) yang ditambahkan terhadap perekat dalam jumlah relatif sedikit untuk memperbaiki sifat pengerjaan, seperti viskositas perekat dan untuk mengurangi biaya perekat [2-4].
2 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Filler yang umum digunakan pada industri kayu komposit di Indonesia adalah tepung industri yang merupakan produk sampingan dari pengolahan gandum menjadi tepung terigu dan bahan bakunya masih diimpor. Tepung industri tidak lain adalah tepung terigu (wheat flour) yang diproduksi dengan tujuan bukan untuk konsumsi manusia. Meskipun demikian, penggunaan tepung industri sebagai fillerakan meningkatkan biaya produksi, karena bahan tersebut juga digunakan oleh industri lain. Disisi lain volume limbah kayu yang dihasilkan dari industri kayu lapis setiap tahunnya cukup besar. Produksi kayu lapis Indonesia pada tahun 2012 mencapai 5,2 juta m3[5]. Dengan asumsi rendemen kayu lapis rata-rata 50%, maka volume limbah kayu yang dihasilkan sebesar 5,2 juta m3. Limbah ini digunakan sebagai bahan bakar pada boiler untuk menghasilkan uap yang akan digunakan pada proses pengeringan vinir. Diasumsikan dari hasil pembakaran limbah ini dihasilkan abu sebanyak 5%, maka dihasilkan abu sebesar 0,26 juta m3 atau 0,13 ton (asumsi berat jenis kayu rata-rata 0,5). Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor dan meningkatkan efisiensi produksi serta untuk meningkatkan nilai ekonomi dari abu, dalam penelitian ini abu yang dihasilkan dari pembakaran limbah kayu pada boiler industri kayu lapis diolah menjadi biobased nanomaterial melalui metode ball milling konvensional.Bio-based nanomaterial yang dihasilkan, selanjutnya digunakan sebagai nano filler perekat PF pada pembuatan vinir lamina (laminated veneer lumber, LVL) guna menurunkan emisi formaldehida. Selain itu untuk meningkatkan diversivikasi jenis kayu sebagai bahan baku industri kayu komposit, dilakukan penelitian pembuatan LVL dari tiga jenis kayu hutan rakyat. Ketiga jenis kayu tersebut meliputi surian (Toona sinensis), jabon (Anthocephalus cadamba) dan manglid (Manglietia glauca).Hasilnya dibandingkan dengan LVL dari kayu karet (Hevea brasiliensis) yang merupakan salah satu jenis kayu hasil tanaman yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri kayu komposit di Indonesia. Sejauh ini belum ada penelitian penggunaan abu sebagai filler perekat PF untuk menurunkan emisi formaldehida produk biokomposit. Berbagai usaha untuk menurunkan emisi formaldehida produk biokomposit telah dilakukan, antara lain mengganti perekat UF atau PF dengan perekat tanin formaldehida. Namun demikian penggunan bahan pengeras (hardener) untuk mempercepat proses kematangan perekat berpotensimenyebabkan emisi formaldehida, meskipun menggunakan perekat tanin[6]. Penelitian Kim dan Kim [7]dengan metode kromatografi gas menunjukkan bahwa emisi formaldehida terendah diperoleh pada papan partikel dengan menggunakan hardenerhexamine, disusul oleh hardener TN (Tris
3 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
(hydroxymethyl) nitromethane) dan paraformaldehida, baik pada perekat wattle tannin maupun perekat tanin pinus. Sedangkan emisi formaldehida dari papan partikel dengan perekat wattle tanninlebih rendah dibandingkan dengan perekat tanin pinus. Permasalahan yang akan dijawab dalam riset ini meliputi : 1) Bagaimana menghasilkan bio-based nano filler dari abu dengan metode ball milling konvensional dan bagaimana karakteristiknya? 2) Bagaimana karakteristik dari nano filler abu dan filler tepung terigu sebagaiaditivperekat PF untuk menurunkan emisi formaldehida? Untuk menjawab permasalahan tersebut, akan dilakukan tahapan penelitian berikut: (1) karakteristik abu hasil pembakaran limbah kayu pada boiler industri kayu lapis; (2) sintesis dan karakterisasi bio-based nano filler dari abu untuk menentukan ukuran, morfologi dan unsur kimia dominan; (3) karakterisasi perekat PF, campuran PF dengan nano filler abu dan PF dengan filler tepung terigu serta (4) aplikasi ramuan perekat PF dengan nano fillerabu dan PF dengan filler tepung teriguuntuk menurunkan emisi formaldehida produk bio-komposit dari tiga jenis kayu hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untukmenghasilkan bio-based nanomaterial dari abu dengan menggunakan metode ball milling konvensional dan mempelajari karakteristik serta potensi penggunaannya sebagai nano filler perekat PF untuk menurunkan emisi formaldehida produk LVL. Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi: 1) Dihasilkan bio-based nanomaterial dari abu melalui metode ball milling konvensional sebagai nano filler perekat PF untuk menurunkan emisi formaldehida produk biokomposit 2) Sebagai alternatif untuk meningkatkan nilai ekonomi dari abu sebagai substitusi filler tepung terigu (tepung industri) yang selama ini digunakan pada industri kayu komposit di Indonesia. METODOLOGI PENELITIAN Pemilihan jenis kayu Jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan bio-komposit meliputi surian (Toona sinensis), jabon (Anthocephalus cadamba) dan manglid (Manglietia glauca), berasal dari Desa Cibugeul, Kecamatan Cibugeul, Kabupaten Sumedang, provinsi Jawa-Barat.Selain itu digunakan jenis kayu karet (Hevea brasiliensis) sebagai pembanding, yang merupakan salah satu jenis kayu bukan berasal dari hutan alam yang banyak digunakan pada industri kayu komposit di Indonesia.
4 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Karakteristik abu dan kayu Penentuan kadar air dan berat jenis mengacu pada standardASTM D 143 [8].Penentuan kelarutan dalam air dingin dan air panas mengacu pada ASTM D 1110[8]dan kelarutan dalam NaOH 1% (ASTM D 1109)[8].Penentuan kadar abu mengacu padaHindriani[9].Karakteristik abu dan kayu dilakukan di laboratorium fisiologi tumbuhan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH)-ITB.Sedangkan analisis Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Thermo Gravimetric Analysis (TGA)dilakukan di Laboratorium Sustainable Materials, Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH), Kyoto University, Uji, Kyoto, Jepang. Sintesis dan karakterisasi bio-based nanomaterial abu Abu(ash) yang dihasilkan dari hasil pembakaran limbah kayu pada boiler industri kayu lapis dibuat menjadi bio-based nanomaterial menggunakan ball milling konvensional selama 144 jam dengan mengacu kepada Sutrisno et al.[10]dan Purwasasmita et al.[11]. Selanjutnya dilakukan karakterisasi melalui analisis transmission electron microscopy (TEM) untuk mengetahui ukuran, scanning electron microscopy (SEM) untuk mengetahui morfologidan scanning electron microscopy yang dilengkapi dengan energy dispersive spectroscopy (SEM-EDS) untuk mengetahui unsur kimia dominan dari bio-based nanomaterial yang selanjutnya akan digunakan sebagai nano filler. Karakterisasi bio-based nanomaterial dilakukan dengan mengacu kepada Sutrisno et al.[10], Purwasasmita et al. [11] danAbdul Khalil et al.[12]. Pada Gambar 1 disajikan skema proses pemanfaatan limbah kayu sebagai bahan bakar pada boiler industri kayu lapis yang menghasilkan abu. Pada Gambar 2, disajikan skema pembuatan bio-based nanomaterial abu dengan menggunakan ball milling konvensional. Sintesis bio-based nanomaterial dilakukan di laboratorium pengolahan material maju (advanced material processing laboratory), prodi teknik fisika FTI-ITB, sedangkan karakterisasinya dilakukan di basic science center A, FMIPA-ITB (analisis SEM dan SEM-EDS) dan lembaga penelitian dan pengujian terpadu (LPPT) UGM (analisis TEM).
Limbah kayu
Boiler
Abu
Gambar 1. Skema pemanfaatan limbah kayu sebagai bahan bakar boiler pada industri kayu lapis yang menghasilkan abu
5 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Karakterisasi (TEM, SEM, EDS) Ball millingkonvensioanl (144 jam)) Abu 20-80 mesh
Disaring (T90)
Bio-based nano filler perekat PF untuk pembuatan LVL
Bolaalumina
Gambar 2. Skema sintesis bio-based nano filler abu menggunakan ball milling konvensional Karakterisasi campuran perekat dengan bio-based nano filler abu Karakterisasi abu 20-80 mesh, bio-based nanomaterial abu, tepung terigu, perekat PF dan campuran perekat PF dengan filler tepung terigu dan PF dengan nano filler abu dilakukan melalui analisis Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Thermo Gravimetric Analysis(TGA).Analisis tersebut dilakukan di Laboratorium Sustainable Materials, Research Institute for Sustainable Humansphere (RISH), Kyoto University, Uji, Kyoto, Jepang. Aplikasi ramuan perekat PF dengan nano filler abu untuk pembuatan bio-komposit Ramuan perekat PF dengan nano filler abudiaplikasikan pada pembuatan vinir lamina (laminated veneer lumber, LVL) untuk selanjutnya diuji emisi formaldehidanya. LVL dibuat dengan cara merekatkan vinir dengan arah serat sejajar antara lapisan luar dan tengah. LVL dibuat tujuh lapis dengan ukuran 35 cm x 35 cm x 1,1 cm dengan empat komposisi perekat: (A) PF + hardener 8%; (B) PF + hardener 8% + filler tepung terigu 8%; (C) PF + hardener 8% + nano filler abu 2,5% dan (D) PF + hardener 8% + nano filler abu 8% dari tiga jenis kayu (surian, jabon dan manglid) dengan suhu kempa 120 oC dan tekanan kempa 7 MPa selama 10 menit. Emisi formaldehida LVL yang dihasilkan selanjutnya dibandingkan dengan LVL yang dibuat dari kayu karet dengan komposisi perekat PF + hardener 8% + nano filler abu 8%, dengan suhu kempa 105 oC dan tekanan kempa 7 MPa selama 10 menit.Untuk lebih jelasnya, skema pembuatan LVL disajikan pada Gambar 3.
6 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Vinir (35 x 35 cm), tebal 1,7 mm
Penimbangan perekat
Pelaburan perekat
Pengujian emisi formaldehida Vinir lamina (LVL) 7 lapis Pengempaan
Gambar 3. Skema pembuatan LVL Pengujian Emisi Formaldehida Pengujian emisi formaldehida mengacu kepada standar Jepang, JAS [13]dengan metode desikator gelas.Contoh uji berukuran 15 cm x 5 cm (panjang x lebar) diuji emisi formaldehidanya dengan menggunakan alat desikator.Contoh uji dibungkus rapat dengan bahan kedap air dan diletakkan di dalam ruangan pada suhu 20 ± 1 oC selama 24 jam.Contoh uji dijepit dengan penjepit kawat agar terpisah satu dengan lainnya (Gambar 4). Cawan petri diisi dengan air suling sebanyak 300 mL kemudian dimasukkan ke dalam desikator gelas.Contoh uji diletakkan di atas cawan petri yang berisi air suling di dalam desikator kemudian ditutup (Gambar 4) dan dikondisikan di dalam ruangan pada suhu 20 ± 1 oC selama 24 jam. Selanjutnya diambil larutan contoh dari cawan petri di dalam desikator dengan menggunakan pipet sebanyak 25 mL untuk dipindahkan ke dalam erlenmeyer. Ke dalam larutan contoh yang ada di dalam erlenmeyer ditambahkan 25 mL larutan asetil aseton-ammonium asetat, kemudian ditutup dan dikocok. Larutan tersebut dipanaskan di atas penangas air pada suhu 60-65 oC selama 10 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai suhu kamar. Sebagai pembanding dibuat larutan blanko (ke dalam desikator diletakkan cawan petri yang diisi air suling tetapi tanpa contoh uji LVL) dan dilakukan prosedur yang sama.
7 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Gambar 4. Skema pengujian emisi formaldehida LVL Pengukuran adsorpsi (%) larutan contoh uji dan blanko dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 412 nm.Emisi formaldehida diperoleh melalui pembacaan spektro UV.Selanjutnya emisi formaldehida diklasifikasikan dengan mengacu pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi emisi formaldehida Rata-rata Maksimum (mg/L) (mg/L) F**** 0,3 0,4 F*** 0,5 0,7 F** 1,5 2,1 F* 5,0 7,0 Sumber: Standar Jepang [13]
Klasifikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik abu dan kayu Kadar abu dari bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 98,80 % (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa material yang dihasilkan dari hasil pembakaran limbah kayu pada boiler industri kayu lapis adalah abu. Kadar air kayu yang digunakan dalam penelitian ini berkisar 9,36-11,2%, dengan berat jenis 0,28-0,66 (rendah-sedang) (Tabel 3). Tabel 2.Nilai rata-rata kadar air, kelarutan dan kadar abu dari abu Kadar air (%) 1,86 ± 0,02
Kelarutan (%) Air Air NaOH dingin panas
Kadar abu (%)
0,34 ± 0,29
0,51 14,52 98,80 ± ± 2,13 ± 0,29 0,54 Keterangan: Jumlah sampel = 3
Tabel 3. Nilai rata-rata kadar air dan berat jenis kayu 8 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Jenis kayu
Umur Kadar air (%) pohon (th) Surian (T. sinensis) 13 11,22 ± 0,28 Jabon (A.cadamba) 3,5 9,36 ± 0,17 Manglid (M. glauca) 12 9,49 ± 0,16 Karet (H. brasiliensis) 25 9,86 ± 3,71 Keterangan: Jumlah sampel = 5
Berat jenis 0,52 ± 0,02 0,28 ± 0,01 0,36 ± 0,05 0,66 ± 0,02
Karakteristik Bio-based Nanomaterial Abu Hasil analisis bio-based nanomaterial abu dengan menggunakan alat transmission electron microscopy (TEM), scanning electron microscopy(SEM) dan scanning electron microscopyyang dilengkapi dengan energy dispersive spectroscopy (SEM-EDS) disajikan pada Gambar 5-7.
Gambar 5. Analisis TEM bio-based nanomaterial abu Metode ball milling konvensional yang digunakan untuk sintesis bio-based nano material abu dalam penelitian ini cukup efektif, karena dapat menghasilkan nanomaterial dengan ukuran diameter partikel kurang dari 100 nm.Hal ini diperjelas dengan hasil analisis TEM (Gambar 5). Metode ini juga dinilai berhasil bila dibandingkan dengan penelitian Abdul Khalilet al.[12], dimana diameter nano partikel yang dihasilkan dari abu hasil pembakaran limbah batang kelapa sawit dengan menggunakan metode HEM (high energy ball milling) selama 30 jam adalah 50 nm. Ditinjau dari morfologinya, terlihat perbedaan bentuk partikel sebelum dan setelah sintesis. Sebelum sintesis, ukuran partikel abu berkisar 20-80 mesh dan partikel abu berbentuk batang (Gambar 6a-b). Setelah sintesis, partikel berbentuk butiran(Gambar 6c-d).Morfologi dari nanomaterial abu pada penelitian ini serupa dengan penelitian Abdul Khalil et al.[12],partikel yang dihasilkan berbentuk butiran dan tidak terlihat adanya penggumpalan. Hal ini berbeda dengan penelitian Sutrisno et al.[10]yang menunjukkan adanya
9 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
penggumpalan pada partikel bio-based nanomaterial dari kulit kayu surian. Perbedaan ini disebabkan gugus fungsional dari kulit kayu surian (bahan organik), disusun terutama oleh selulosa yang sifatnya berbeda dengan gugus fungsional penyusun abu (bahan anorganik). (a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6. Analisis SEM
Gambar 7. Analisis SEM-EDS Hasil analisis SEM-EDS (Gambar 7) menunjukkanbahwa komponen kimia yang utama dari bio-based nanomaterial abu yang dihasilkan dari proses penggilinganselama 144 jam menggunakan metode ball milling konvensional meliputi C (21,46%), Na 2 O (10,77%), MgO (6,75%), Al 2 O 3 (1,97%), Cl (1,66%) dan CaO (57,39%). Differential Scanning Calorimetry (DSC) Analisis DSC dilakukan dengan menggunakan alat DSC tipe 2910, dengan laju penambahan suhu 10 oC/menit sampai suhu400 oC. Kurva analisis DSC disajikan pada Gambar 8, sedangkan sifat termalnya disajikan pada Tabel 4. Laju kematangan dapat dihitung dengan rumus [14]:∆T = T p - T o, dimana T p : suhu puncak transisi dan T o : suhu awal transisi. Nilai ∆Tyang rendah menunjukkan bahwa laju kematangannya semakin tinggi Nilai ∆Tdari nano
10 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
filler abu lebih rendah dibandingkan abu 20-80 mesh dan filler tepung terigu (Tabel 4).Hal ini menunjukkan bahwa laju kematangan nano filler abu lebih tinggi dibandingkan abu 20-80 mesh dan filler tepung terigu. Laju kematangan yang tertinggi diperoleh pada komposisi PF + nano filler abu 2,5%, disusul oleh PF dan PF + filler tepung terigu 2,5%. Bentuk kurva dari nano filler abu lebih sempit dibandingkan abu 20-80 mesh dan filler tepung terigu (Gambar 8a). Demikian pula bentuk kurva PF + nano filler abu 2,5% lebih sempit dibandingkan PF dan PF + filler tepung terigu 2,5% (Gambar 8b). Tabel 4. Sifat termal Sampel Abu 20-80 mesh Nano filler abu Filler tepung terigu PF PF + filler tepung terigu 2,5% PF + nano filler abu 2,5%
Tp (oC) 167 164 155 143 147 150
To (oC) 134 142 109 115 96 124
∆T = T p - T o (oC) 33 22 46 28 51 26
Thermo Gravimetric Analysis (TGA) Analisis TGA dilakukan dengan menggunakan alat TGA tipe 2050, dengan laju penambahan suhu 10 oC/menit sampai suhu 400 oC.Gambar 9a menunjukkan bahwa setelah pemanasan sampai suhu 400 oC, berat bahan yang tersisa sebanyak 92%, 91% dan 71% bertururt-turut untuk abu 20-80 mesh, nano filler abu dan filler tepung terigu. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan berat dari abu 20-80 mesh dan nano filler abu lebih rendah dibandingkan filler tepung terigu.Hal ini diperkuat oleh laju penurunan berat dari abu 20-80 mesh dan nano filler abu yang lebih rendah dibandingkan filler tepung terigu (Gambar 9b).Pada kurva perekat PF dan PF setelah dicampur dengan filler tepung terigu dan nano filler abumasingmasing 2,5% dari berat PF (Gambar 9c), terlihat bahwa setelah pemanasan 400 oC, beratnya tersisa 81%, 82% dan 85% berturut-turut untuk PF + filler tepung terigu 2,5%; PF dan PF + nano filler abu 2,5%.Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan berat dari PF + nano filler abu 2,5% terendah dibandingkan dengan PF dan PF filler tepung terigu 2,5%. Gambar 9d menunjukkan bahwa laju penurunan berat yang sangat rendah dari PF + nano filler abu 2,5% terutama terjadi pada kisaran suhu 200-400 o C Pada suhu dibawah 125 oC, laju penurunan berat PF dan PF + nano filler abu 2,5% relatif sama, tetapi lebih rendah dibandingkan PF + filler tepung terigu 2,5%. Pada suhu 125-200 oC, laju penurunan berat PF dan PF + filler tepung terigu 2,5% relatif sama, sedangkan laju penurunan berat PF + nano filler abu 2,5% lebih tinggi dari kedua bahan tersebut.
11 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Emisi Formaldehida LVL Emisi formaldehida LVL berkisar 0,02–0,23 mg/L (Tabel 5). Dibandingkan dengan emisi formaldehida LVL kayu karet yang dibuat dengan perekat PF + hardener 8% + nano filler abu 8% dengan suhu kempa 105 oC. (a)
1
Heat flow (W/g)
0,5 0 Abu 20-80 mesh
-0,5
Nano filler abu
-1
Filler tepung terigu
-1,5 -2 0
100
200
300
400
Temperatrure (oC)
(b)
0 -0,2
Heat flow (W/g)
-0,4 -0,6
PF
-0,8 -1
PF + filler tepung terigu 2.5%
-1,2
PF + nano filler abu 2.5%
-1,4 -1,6 -1,8 0
100
200
300
400
Temperatrure (oC)
Gambar 8. Analisis DSC
12 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
yang nilainya 0,14 mg/L, maka LVL kayu surian memiliki nilai emisi formaldehida lebih rendah (0,02 mg/L). Sedangkan pada LVL kayu jabon dan LVL kayu manglid, kecuali yang dihasilkan dari perlakuan C (perekat PF + hardener 8% + nano filler abu 2,5%), emisi formaldehida lebih tinggi nilainya dibandingkan pada LVL kayu karet. (a) 100
Weight (%)
95 90 85
Abu 20-80 mesh
80
Nano filler abu Filler tepung terigu
75 70 0
50 100 150 200 250 300 350 400 Temperature (oC)
Derivative of weight (%/oC)
(b) 0,12
0,1 0,08 0,06
Abu 20-80 mesh
0,04
Nano filler abu Filler tepung terigu
0,02 0 0
50 100 150 200 250 300 350 400 Temperature (oC)
13 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Dalam aplikasinya sebagai filler perekat PF, nano filler abu dengan kadar 2,5% dari berat perekat PF cukup efektif untuk menurunkan emisi formaldehida. Uji beda nyata terkecil (least significant difference, LSD)menunjukkan perbedaan nyata diantara perlakuan(Tabel 67).Meskipun semua nilai emisi formaldehidaLVL memenuhi klasifikasi bintang empat (F****) (Tabel 1), tetapi LVL dengan nano filler abu 2,5% memiliki nilai emisi formaldehida paling rendah (Tabel 5 dan 6). (c)
100
Weight (%)
95 90 PF
85 80
PF + filler tepung terigu 2.5%
75
PF + nano filler abu 2.5%
70 0
50 100 150 200 250 300 350 400 Temperature (oC)
Derivative of weight (%/oC)
(d)
0,12 0,1 0,08 PF
0,06 0,04
PF + filler tepung terigu 2.5%
0,02
PF + nano filler abu 2.5%
0 0
50 100 150 200 250 300 350 400 Temperature (oC)
Gambar 9. Analisis TGA
14 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Dengan demikian secara kuantitatif penggunaan nano filler abu lebih hemat, sehingga diperkirakan dapat menurunkan biaya produksi.Efektifitas penggunaan nano filler abu diperkirakan terjadi karena penembusan perekat PF ke dalam pori-pori kayu dan sel kayu yang semakin baik, sehingga terjadi ikatan yang kuat antara molekul kayu dengan perekat. Emisi formaldehida (mg/L)
0,18 0,03 0,02 0,02
0,08
LVL kayu surian
0,23 0,14
0,21
LVL kayu jabon
0,17 0,15 0,14 0,18
LVL kayu manglid
PF 100% + hardener 8% PF 100% + hardener 8% + filler tepung terigu 8% PF 100% + hardener 8% + nano filler abu 2,5% PF 100% + hardener 8% + nano filler abu 8%
Gambar 10. Grafik nilai rata-rata emisi formaldehida Tabel 5.Emisi formaldehida Jenis kayu (LVL) Surian
Jabon
Manglid
Total
Komposisi perekat A B C D Total A B C D Total A B C D Total A B C D Total
15 | CAS – Center for Advanced Sciences
Rata-rata (mg/L) .0300 .0200 .0200 .0800 .0375 .1800 .2300 .1400 .2100 .1900 .1750 .1500 .1400 .1800 .1613 .1283 .1333 .1000 .1567 .1296
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
Keterangan komposisi perekat : (A) PF + hardener 8%; (B) PF + hardener 8% + filler tepung terigu 8%; (C) PF + hardener 8% + nano filler abu 2,5% dan (D) PF + hardener 8% + nano filler abu 8%
Tabel 6. Uji LSD antar komposisi perekat Perekat(I) A
Perekat(J) Beda nilai tengah (I-J) B -.0050 C .0283* D -.0283* B A .0050 C .0333* D -.0233* C A -.0283* B -.0333* D -.0567* D A .0283* B .0233* C .0567* *)Nilai tengah berbeda nyata pada tingkat nyata 5%. Keterangan komposisi perekat : (A) PF + hardener 8%; (B) PF + hardener 8% + filler tepung terigu 8%; (C) PF + hardener 8% + nano filler abu 2,5% dan (D) PF + hardener 8% + nano filler abu 8%.
Peningkatan ikatan yang kuat antara kayu dengan perekat, diperkirakan bisa menurunkan emisi formaldehida yang mungkin terjadi selama proses pembuatan LVL maupun pada saat penggunaan produk. Tabel 7. Uji LSD antar jenis kayu (I) Jenis kayu Surian
(J) Jenis kayu Beda nilai tengah (I-J) Jabon -.1525* Manglid -.1238* Jabon Surian .1525* Manglid .0287* Manglid Surian .1238* *)Nilai tengah berbeda nyata pada tingkat nyata 5%.
Frihart [15-16] menyatakan bahwa untuk terbentuknya ikatan yang kuat, sebaiknya perekat berinteraksi dengan kayu pada tingkatskala nanometer. Rongga diantara komponenpolimerdalam dinding sel cukup kecil, sehinggapenembusan atau penetrasidarikomponenperekatkemungkinan akanditentukan olehukurandan bentukmolekul serta parameterkelarutannya, dimana proses tersebut terjadi pada skala nanometer. Berdasarkan Tabel 5, secara keseluruhan, rata-rata total emisi formaldehida terendah diperoleh pada LVL kayu surian (0,0375 mg/L), disusul oleh LVL kayu manglid (0,1613 mg/L) dan LVL kayu jabon (0,1900 mg/L). Demikian pula LVL yang dibuat dengan komposisi perekat C (PF + hardener 8% + nano filler abu 2,5%) memiliki rata-rata total emisi
16 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
formaldehida terendah (0,1000 mg/L), disusul oleh A (PF + hardener 8%) (0,1283mg/L), B (PF + hardener 8% + filler tepung terigu 8%) (0, 1333 mg/L), dan D (PF + hardener 8% + nano filler abu 8%)(0, 1567 mg/L).Berdasarkan uji LSD, terdapat perbedaan nyata dari emisi formaldehida diantara komposisi perekat C dengan A, B dan D (Tabel 6) dan LVL kayu surian dengan LVL kayu manglid dan LVL kayu jabon (Tabel 7).Diduga bahwa formaldehida yang digunakan pada komposisi perekat C hampir semuanya bereaksi, sehingga emisi formaldehida pada komposisi perekat tersebutterendah. Rendahnya tingkat emisi formaldehida pada LVL kayu surian yang dibuat dengan komposisi perekat C diperkuat oleh keteguhan rekatnya yang tertinggi.Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata total keteguhan geser horizontal LVL kayu surian yang tertinggi (10.5725 N/mm2), disusul oleh LVL kayu manglid (8.7375 N/mm2) dan LVL kayu jabon (5.5888 N/mm2).Demikian pula rata-rata total keteguhan geser horizontal pada komposisi perekat C memiliki nilai tertinggi (8.9133 N/mm2), disusul oleh B (8.4117 N/mm2), A (8.0700 N/mm2)dan D(7.8033 N/mm2). Dalam penelitian ini dapat dinyatakan bahwa kondisi optimal diperolah pada LVL kayu surian dengan komposisi perekat C. Hal ini selain dipengaruhioleh sifat bahan baku kayunya, juga terkait dengan hasil analisis DSC nano filler abu dan PF + nano filler abu 2,5% yang memiliki laju kematangan yang lebih baik yang ditunjukkan oleh nilai ∆T yang lebih rendah dibandingkan dengan filler tepung terigu dan PF + filler tepung terigu 2,5% (Gambar 8). Demikian pula dengan hasil analisis TGA yang menunjukkan bahwa nano filler abu dan PF + nano filler abu 2,5% lebih stabil karena memiliki nilai persentase kehilangan berat dan laju penurunan berat yang lebih rendah dibandingkan dengan filler tepung terigu dan PF + filler tepung terigu 2,5% (Gambar 9). KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis TEM, ukuran bio-based nanomaterial abu yang dihasilkan dengan metode ball milling konvensional selama 144 jam lebih kecil dari 100 nm. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode ball milling konvensional cukup efektif untuk menghasilkan bio-based nanomaterial dari abu. Setelah sintesis dengan metode ball milling konvensional selama 144 jam, morfologi bio-based nanomaterial abu berbentuk butiran, berbeda dengan sebelumnya yang berbentuk batang.Komponen kimia yang utama dari biobased nanomaterial abu didominasi oleh kalsium (dalam bentuk CaO), komponen kimia lainnya meliputi C, Na 2 O, MgO, Al 2 O 3 dan Cl. Dalam aplikasinya sebagai filler perekat PF, nano filler abu sebanyak 2,5% dari berat perekat cukup efektif untuk menurunkan emisi formaldehida
17 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
LVL. Secara umum LVL kayu surian memiliki nilai emisi formaldehida terendah, diikuti oleh LVL kayu manglid dan LVL kayu jabon.Dengan demikian nano filler abu dapat dijadikan sebagai alternatif untuk substitusi filler tepung terigu dalam pembuatan bio-komposit. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Tim Proyek Pengembangan ITB (III) tahun 2014 yang telah berkenan membiayai penelitian ini. Ucapan yang sama ditujukan kepada PT. SGS, Tangerang, Banten yang telah mengijinkan pembuatan dan pengujian LVL. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Kenji Umemura, kepala Laboratorium Sustainable Materials, Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH), Kyoto University, Jepang, yang telah memberikan ijin untuk melakukan analisis DSC dan TGA. REFERENSI [1]Golden, R. Identifying an indoor air exposure limit for formaldehydeconsidering both irritation and cancer hazards.Critical Reviews in Toxicology, Informa Healthcare USA, Inc. 2011;41(8): 672-721. [2]Selbo, M.L. Adhesive bonding of wood. U.S. Dep. Agr., Tech. Bull. No. 1512.Forest Products Laboratory-Forest Service, U.S. Department of Agriculture, Washington, D. C.1975; 122 p. [3]Vick, C.B. Adhesive Bonding of Wood Materials dalam Wood Hand Book, Wood as an Engineering Material. Forest Products Society, Madison, USA. 1999; 463 p. [4]Sellers, Jr., T., Miller, G.D. dan Smith, W. Tool Wear Properties of Five Extender/Fillers in Adhesive Mixes for Plywood.Forest Prod. J. 2005; 55(3): 27-31. [5] Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 2014; pp.169-202. [6]Pizzi A. Tannin-based wood adhesivesdalam Pizzi,A. (ed). Advanced wood adhesives technology. Marcel Dekker Inc.,New York.1994;pp.149-217. [7]Kim, S. dan Kim, H.J. Evaluation of formaldehyde emission of pineand wattle tannin-based adhesives by gas chromatography. Holz Roh Werkst. 2004; 62:101-106.DOI 10.1007/s00107-003-0441-2. [8]Anonim. Annual Book of ASTM Standards.Volume 04.10 wood.Section 4. Philadelphia. 1995. [9]Hindriani, H dan Santoso, A. Studi Optimalisasi Formula Perekat Kayu Berbasis Tanin dengan Spektroskopi Inframerah, Diferensial Thermal Analisis dan Difraksi Sinar-X. Jurnal Nusa Kimia. 2007; 7(1): 7-15.
18 | CAS – Center for Advanced Sciences
Sutrisno et al., RDNI, Vol. 2, No.1, 2015, pp. 1-19
[10]Sutrisno, Syamsudin, T.S., Alamsyah, E.M dan Purwasasmita, B.S. Synthesis of Bio-based Nanomaterial from Surian (Toona sinensis Roem) Wood Bark using Conventional Balls Milling Method and its Characterization. Journal of Biological Sciences. 2014; 14(3): 204-212. [11]Purwasasmita, B.S., Tafwili, F. dan Septawendar, R. Synthesis and Characterization of Carbon Nanocoil with Catalytic Graphitization Process of Oryza sativa Pulp Precursors. Journal of the Australian Ceramic Society.2013; 49(1): 119-126. [12] Abdul Khalil, H. P. S., Fizree, H. M., Jawaid, M. dan Alattas, O. S. Preparation and Characterization of Nano-Structured Materials from Oil Palm Ash : A Bio-Agricultural Waste from Oil Palm Mill. BioResources.2011; 6(4): 4537-4546. [13]Japanese Agricultural Standard (JAS). Japanese Agricultural Standard for Laminated Veneer Lumber. The Notification No.701 of Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries dated May 13, 2008. [14] Khan, M.A., Ashraf, S.M. dan Malhotra, V.P. Eucalyptus Bark Lignin Substituted Phenol Formaldehyde Adhesives: A Study onOptimalization of Reaction Parameters and Characterization. Journal of Applied Polymer Science.2004; 92: 3514-3523. [15] Frihart, C.R. Adhesive Interactions with Wood dalamWinandy, J.E. dan Kamke, F.A., (eds.), Fundamentals of Composite Processing.Proceedings of a workshop; November 5-6, 2003; Madison, WI.Gen. Tech. Rep. FPL-GTR-149. Madison, WI: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Forest Products Laboratory. 2004; 118 p. [16]Frihart, C.R. Wood Adhesion and Adhesives dalam Rowell, R. M., (ed.), Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. 2005; pp. 215-278
19 | CAS – Center for Advanced Sciences