Representasi Identitas Multikultural dalam M. Ibrahim et les Fleurs du Coran karya Eric-Emmanuel Schmitt Joesana Tjahjani – P.S. Prancis FIB UI
Representasi Identitas : Perbedaan dan Konsep Keliyanan
Sebuah masyarakat multikultural adalah masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas budaya (pada umumnya etnik) yang memiliki beragam pemahaman yang khas tentang dunia, sistem nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat dan kebiasaan. Dalam pengertian yang lebih luas, komunitas budaya dalam konteks multikultural mencakup pula komunitas tertentu yang memiliki keanekaragaman kebiasaan budaya dan atau memiliki beberapa subkultur (kaum remaja, masyarakat urban, kaum homoseksual dan komunitas dengan gaya hidup alternatif lainnya). Pandangan yang menganggap bahwa masyarakat seharusnya menyambut keragaman budaya tersebut adalah suatu pandangan multikultural. Sebagai sebuah ekspresi solidaritas terhadap kelompok-kelompok minoritas, serta sebagai sebuah semangat untuk memberi ruang yang lapang bagi keberadaan pluralisme, multikulturalisme tidak menetapkan batas-batas bagi ideologinya sendiri, namun akan selalu terbuka, luwes, dan mampu mengakomodasi perbedaan dalam kemajemukan. Berbagai komponen budaya yang membentuk kemajemukan tersebut seharusnya tidak dipahami sebagai esensi-esensi yang statis, melainkan sebagai rangkaian proses yang dinamis. Hubungan antarkomponen budaya tidak selalu harus harmonis dan selaras. Multikulturalisme justru menuntut kesiapan mental kita untuk berhadapan dengan bentuk hubungan berpotensi atau menjelma konflik dari berbagai komponen budaya, dan belajar mengelola konflik dengan toleran dan bijaksana. Pada prinsipnya. multikulturalisme merupakan cara bagaimana memandang dan menyikapi perbedaan. Mengapa perbedaan menjadi sangat penting? Pertanyaan-pertanyaan tentang perbedaan terus mengemuka, khususnya dalam ranah Cultural Studies, dalam beberapa dekade terakhir. Seperti uraian dalam buku Representation Cultural Representations and
1
Signifying Practices suntingan Stuart Hall, masalah tentang perbedaan dijelaskan dari berbagai disiplin ilmu. Dari pendekatan linguistik, konsep Ferdinand de Saussure dikemukakan dalam kaitan dengan penggunaan bahasa sebagai model bagaimana kebudayaan berfungsi. Dalam kaca mata Saussure, perbedaan menjadi penting bagi pemaknaan karena tanpa perbedaan tidak ada makna. „Hitam‟ menjadi bermakna karena dikontraskan dengan „putih‟. Dalam tataran yang lebih luas, contoh foto Carl Lewis bersepatu merah menampakkan sisi feminin atau feminitas dari stereotip maskulinitas laki-laki berkulit hitam. Demikian pula menjadi orang Inggris dapat diketahui tidak saja dari karakteristik kebangsaan, tetapi juga dengan melihat “keinggrisan” sebagai bukan Prancis, Amerika, Pakistan, dan lain sebagainya. Penjelasan lain tentang perbedaan dilihat pula dari disiplin ilmu linguistik namun dari aliran yang berbeda. Mikhail Bakhtine, mempelajari bahasa sebagai sistem objektif di mana pemaknaan diperoleh melalui dialog antara 2 (dua) atau lebih penutur. Kita memerlukan „perbedaan‟ atau „pembedaan‟ karena pemaknaan hanya dapat dibangun melalui dialog dengan sang „Liyan‟. Menurut Bakhtine, makna tidak dimiliki oleh salah seorang penutur saja karena hal itu hadir dalam interaksi memberimenerima antara para penutur, “The word in language is half someone else’s. It becomes ‘one’s own’ only when the speaker appropriates the word, adapting it to his own semantic expressive intention”. Makna hadir melalui perbedaan di antara partisipan dialog, artinya sang „Liyan‟ sangat penting bagi pemaknaan. Pemaknaan selanjutnya tentang „perbedaan‟ berasal dari ranah Antthropologi, seperti yang terlihat dalam argumen yang dikemukakan oleh Du Gay, Hall et al. (1997) berikut ini: “…culture depends on giving things meaning by assigning them to different positions within a classificatory system. The marking of ‘difference’ is thus the basis of that symbolic order which we call culture.” Dalam hal ini, posisi biner menjadi sangat penting karena yang satu harus membuat perbedaan yang jelas dengan yang lain untuk dapat
diklasifikasikan.
Claude
Lévi-Strauss,
misalnya,
memaknakan
dan
mengklasifikasikan makanan dengan membaginya ke dalam dua kelompok, yakni makanan mentah dan makanan matang, kelompok sayur-mayur dan buah-buahan, atau pun makanan pembuka dan makanan penutup. Pengelompokan seperti ini sekali lagi memperlihatkan bagamaina „perbedaan‟ atau „pembedaan‟ fundamental bagi pemaknaan
2
budaya. Tentu saja hal tersebut dapat menumbuhkan perasaan dan praktik negatif dan berisiko mengganggu tatanan budaya, terutama pada saat sesuatu, atau bahkan seseorang, berada dalam kategori yang salah atau ketika tidak dapat dimasukkan ke dalam satu kategori. Penjelasan serupa yang berhubungan dengan peran „perbedaan/pembedaan‟ dalam kehidupan psikis bersifat psikoanalitis. Konsep yang diajukan adalah bahwa sang “Liyan‟ bersifat fundamental bagi pembentukan diri, pada kita sebagai subjek dan pada identitas seksual. Merujuk pada Freud, penegasan definisi tentang „self‟ dan identitas seksual tergantung pada cara kita terbentuk sebagai subjek, khususnya dalam hubungan dengan tingkat perkembangan awal yang disebutnya œdipus complex. Meskipun banyak mendapat sanggahan, teori ini sangat berpengaruh terhadap berbagai analisis selanjutnya. Jacques Lacan, misalnya, menyebut „refleksi‟ dari sisi lain diri sebagai „melihat dari tempat sang liyan‟ dengan „mirror stage‟ yang membuat seorang anak mengenali dirinya sendiri untuk pertama kalinya sebagai subjek yang utuh dalam hubungannya dengan sang „Liyan‟. Seorang filsuf besar Prancis yang juga membahas masalah „perbedaan‟ adalah Jacques Derrida. Ia sengaja menulis kata perbedaan dalam bahasa Prancis, „différence‟ menjadi „différance‟ untuk menunjukkan peleburan makna ganda kata kerja „différer‟, yakni berbeda dan menunda. Dalam tulisannya di majalah Basis edisi khusus Derrida, Dr. Haryatmoko menjelaskan bahwa „Différance adalah perbedaan yang dicabut dari logika biner sehingga bisa bermakna baru, sekaligus sama dan berbeda…Makna baru ini menghancurkan kultus identitas dan merupakan strategi untuk mendapatkan kembali semua perbedaan.” Dengan kata ini, Derrida ingin memperlihatkan bahwa „différance‟ mengingatkan hubungan antara tanda dan representasi dan semua representasi dijiwai oleh pengulangan. Sementara itu, pengulangan merupakan energi yang menggerakkan hubungan dengan hal yang direpresentasikan, namun sekaligus mengandung makna penundaan, yang terbuka pada masa depan. Selain „différance‟, dekonstruksi adalah konsep pemikiran filsuf keturunan ArabYahudi ini yang banyak diperdebatkan dan membuka kemungkinan penafsiran teks yang sangat kaya. Derrida adalah pemikir Prancis yang dengan tegas menolak kebenaran tunggal sebuah teks. Menurutnya, teks bukanlah objek yang telah selesai karena sebuah
3
teks selalu dapat memunculkan konstruksi atau makna baru melalui proses dekonstruksi teks itu sendiri. Dalam kaitan dengan konsep „différance‟, Derrida percaya bahwa semua teks mengandung aspek interpretatif yang memungkinkan cakrawala penafsiran yang luas dan dapat terus digali, khususnya melalui oposisi biner yang kerap kali ada pada sebuah teks. Satu hal yang perlu diperhatikan, mengingat kemuakan Derrida terhadap totalisasi sistem, adalah penolakannya terhadap kebenaran tunggal dari oposisi biner-oposisi biner yang tersebar dalam teks.
Bahasa dan Sastra sebagai medium pembentuk makna
Dalam
pemaknaan
sebuah
teks,
wacana
menjadi
ranah penting untuk
mengkontekstualisasikan teks tersebut. Setiap wacana tidak terlepas dari „kepentingan‟ dan „kekuasaan‟ dan dapat saling bertentangan. Dengan dukungan „kekuasaan‟, wacana tertentu menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged). Dalam konteks ini, bahasa yang mengusung wacana merupakan wahana negosiasi makna. Salmond (dalam Parkin; 1982) dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa merupakan instrumen dalam negosiasi makna, dan bahwa konteks ungkapan serta kerangka pengetahuan sangat mempengaruhi apa yang dikatakan dan ditafsirkan. Bahasa saling berkait dengan 'pengetahuan' (knowledge) yang melandasi serta bentuk-bentuk 'kekuasaan' (power) yang beroperasi di baliknya. 'Ideologi' yang ada dalam sebuah teks mempengaruhi wilayah penggunaan, gaya, ungkapan, pilihan kata, dan kosa kata yang digunakan serta pengetahuan (kebenaran, realitas) yang diungkapkan atau disembunyikan oleh bahasa tersebut. Keberadaan dan penggunaan bahasa, dengan demikian, tidak dapat dilepaskan dari berbagai 'paradoks pengetahuan' yang melekat di dalamnya, yaitu paradoks antara objektivitas/subjektivitas, kebenaran/kepalsuan, realitas/simulasi realitas, fakta/rekayasa, transparansi/ kekaburan, kejujuran/ kebohongan, keadilan/ keberpihakan. Inilah paradoks yang muncul ketika bahasa menjadi bagian dari sebuah sistem ideologi dan sistem kekuasaan yang menentukan arahnya. Sastra, dengan bahasa sebagai medium ekspresi dirinya, menjadi lahan yang subur untuk tidak saja menjadi dirinya sendiri (“L’art pour l’art”) tetapi juga mengetengahkan
4
beragam wacana dan ideologi. Sebagian disampaikan dengan cara lugas dan terbuka, sebagian mulai dengan cara yang halus dan tersamar sampai cara yang ironis atau menyindir. Khazanah kesusastraan Prancis adalah ladang persemaian gagasan yang sangat kaya, baik secara tematik maupun teknik penceritaannya. Dalam hal ini, bahasa dan budaya Prancis merupakan medium esensial untuk menjadi objek atau sekedar membingkai teks. Dan mengingat sejarah panjang bangsa Prancis dan kemajemukan etnisnya, tidak mengherankan jika sastrawan Prancis pun berasal dari latar belakang budaya yang beragam. Eric-Emmanuel Schmitt adalah salah seorang di antaranya.
Eric-Emmanuel Schmitt dan Karya-karyanya
Eric-Emmanuel Schmitt lahir di pinggiran kota Lyon pada 28 Maret 1960. Sewaktu kecil, ia telah menampakkan minatnya pada dunia seni. Ia mulai belajar memainkan piano pada usia 9 tahun. Doktor di bidang filsafat dari sekolah tinggi ternama di Paris ini kemudian mengawali karir sastranya dengan karya dramanya, La nuit de Valognes (1991), yang mematahkan mitos Don Juan sebagai penakluk wanita. Setelah karya keduanya terbit pada tahun 1993, Le Visiteur, Schmitt meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen filsafat di Universitas Savoie untuk berkonsentrasi penuh dalam bidang tulis-menulis. Tahun-tahun berikutnya adalah masa yang produktif bagi penulis ini, dengan kemunculan karya-karyanya, Golden Joe dan Une Secte des Égoïstes (1995), Variations Énigmatiques (1996), Le Libertin dan Milarepa (1997), Frédérick ou le Boulevard du Crime (1998), Hôtel des deux mondes (1999), dan karya-karya lainnya. Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran (Ibrahim dan bunga-bunga Al-Quran) merupakan salah satu karya Eric-Emmanuel Schmitt dari rangkaian karyanya, Cycle de l’Invisible (Lingkaran Maya), yang memperoleh sukses luar biasa di berbagai negara. Selain Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran yang berbicara tentang filsafat Sufisme, Cycle de l’Invisible terdiri atas Milarepa tentang Budhisme, Oscar et la dame rose tentang Kristianisme, dan L’enfant de Noé tentang Judaisme. Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran, yang telah dialihbahasakan dalam berbagai bahasa di dunia, telah dipentaskan beberapa kali dalam bentuk lakon teater, baik di Prancis maupun di negara-negara lain. Karya Schmitt yang menyentuh ini kemudian
5
difilmkan oleh François Dupeyron dan meraih penghargaan sebagai film berbahasa asing terbaik pada ajang Golden Globes. Selain itu, pada tahun 2004 lalu, Omar Sharif telah dianugerahi penghargaan César untuk kepiawaiannya menjiwai tokoh utama Schmitt dalam film itu.
Ringkasan Cerita Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran
Moses atau Momo adalah seorang remaja belasan tahun yang hidup berdua saja dengan ayahnya, setelah ditinggal pergi oleh ibunya. Sang ayah yang sibuk mencari nafkah sepanjang hari menaruh banyak harapan pada diri anaknya. Di satu pihak, ia mengharapkan Moses menjadi anak dambaannya, yang pintar dan rajin membaca, di lain pihak, anaknya harus dapat pula menggantikan peran sang ibu, mengurus rumah, berbelanja dan berhemat, serta menyiapkan makan malam. Moses kecil tumbuh menjadi remaja tanpa bimbingan dan kasih sayang orang tuanya. Dalam keterasingan proses pembentukan jati dirinya, kedewasaan Moses atau Momo lahir, pertama-tama dari pelukan seorang pelacur ke pelacur lainnya, dan melalui bimbingan spiritual Ibrahim, tetangga yang kemudian menjadi ayah angkatnya. Ibrahim, yang hijrah ke Prancis dari Anatolia, Turki, hidup dari keuntungan yang diperoleh dari tokonya yang menjual barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari. Ibrahim, yang selalu duduk di balik meja kasirnya dengan Al-Qur‟annya, sedikit demi sedikit menawan perhatian Momo, demikian nama panggilan Ibrahim kepada Moses. Orang tua, yang mengaku seorang Sufi itu, menjelma sosok ayah bagi Momo, dengan kehadiran, pengertian, perhatian, dan untaian petuah bijaknya. Ibrahim mengajarkan halhal penting kepada Momo : tersenyum, berujar, membatasi gerak, melihat perempuan dengan mata batin dan bukan dengan mata birahi, bahkan gagasan kematian. Semuanya dipelajari Ibrahim dari Al-Quran, lalu dipahami dan diinterpretasikan olehnya, bukan sebagai wacana baku dan kaku, melainkan melalui penangkapan makna spiritualitas yang dalam. Demikianlah, bagaimana remaja Yahudi itu mengenal dan mencari makna Islam serta memahami, untuk akhirnya, meleburkan diri ke dalamnya. Sepeninggal ayahnya, yang pergi dan lalu ditemukan tewas bunuh diri di selatan Prancis, Momo meminta Ibrahim untuk mengadopsi dirinya. Dan setelah serangkaian
6
proses adopsi yang cukup panjang dan berbelit-belit, Ibrahim resmi menjadi ayah angkat Momo. Di akhir cerita, Ibrahim mengajak Momo melakukan perjalanan dengan mobil yang baru dibelinya ke daerah asalnya di Turki. Perjalanan yang ternyata merupakan akhir perjalanan hidupnya, Ibrahim wafat sesampainya di rumah leluhurnya dan mewariskan Momo semua yang dimilikinya di Paris: mobil, toko, dan Al-Quran yang setia menemaninya.
Keberadaan Sang Liyan dalam Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran
Cerita Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran karya Eric-Emmanuel Schmitt menawarkan identitas budaya majemuk yang sangat menarik jika dicermati. Seperti diketahui, Schmitt sendiri hidup sejak kecil dalam kemajemukan budaya. Ia lahir dari sebuah keluarga Yahudi di Prancis pada saat negeri itu mengalami pergeseran struktur ekonomi dan transformasi dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pada tahun 1960an, tahun Schmitt dilahirkan, mengalir arus masuk tenaga kerja asing atas undangan resmi pemerintah Prancis. Modernisasi ekonomi, kontak masyarakat Prancis dengan kaum pendatang, budaya konsumerisme yang mulai menggejala, serta gerakan kaum feminis, berperan penting mengubah wajah tradisional Prancis. Dan Schmitt menuangkan gagasannya tentang semua hal itu dalam karyanya. Tiga ragam etnik dan budaya terlihat dengan jelas dalam Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran. Ketiganya ditampilkan melalui dialog-dialog tokoh yang berkaitan dengan ideologi Sufi, stereotip Yahudi, dan fenomena budaya konsumerisme Prancis. Gagasan sufisme, yang disampaikan melalui kerangka berpikir tokoh utama, sangat mendominasi karya. Eric-Emmanuel Schmitt menyampaikan gagasan sufisme ini dalam kalimat-kalimat bijak Ibrahim yang singkat dan sederhana, namun mengandung makna yang mendalam. Ibrahim mengucapkan ajaran Sufi kepada Momo dalam berbagai kesempatan. Salah satunya pada saat mereka beristirahat di teras kafe. Momo bertanya kepada Ibrahim ketika melihatnya meneguk Suze-Anis, minuman beralkohol, «Bukankah muslim tidak mengkonsumsi alkohol ? ». Dan inilah jawaban Ibrahim, « Oui, mais je suis soufi. Ce n’est pas une maladie. C’est une façon de penser. Bien qu’il y ait des façons de penser qui sont aussi des maladies. » (Ya, tetapi diriku seorang Sufi. Itu bukanlah sebuah
7
penyakit, melainkan sebuah cara pikir, meskipun ada beberapa cara berpikir yang juga merupakan penyakit). Pesan yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak sesederhana tampaknya. Pertama-tama, mesti dipahami bahwa dalam pandangan sufistik, Tuhan berkehendak terhadap perintah positif dan perintah negatif. Namun perintah positif hanya berlaku ketika orang yang diperintah terhalang secara alamiah terhadap sesuatu yang terlarang baginya untuk mendapatkannya. Orang yang lapar tidak perlu diberi tahu lagi untuk makan; jika diberitahu atau diperintah untuk makan, hal itu tidak dapat dinamakan perintah melainkan lebih sebagai perbuatan baik. Sebaliknya perintah negatif atau larangan juga tidak sah dengan melarang hal yang tidak dihasrati seseorang. Dalam pandangan sufistik, bukanlah perintah yang sah untuk melarang seseorang agar tidak memakan batu. Oleh karena itu, agar perintah positif untuk kebaikan dan perintah negatif melawan kejahatan menjadi sah, harus ada jiwa yang menghasrati kejahatan. Menghendaki keberadaan jiwa seperti itu tentunya menghendaki kejahatan, dan Tuhan tidak senang kejahatan dan keburukan. Melalui tokoh Ibrahim, Schmitt pertama-tama seakan ingin mempertanyakan larangan meminum alkohol dalam Islam sebagai perintah negatif Tuhan yang tidak sepenting anggapan sebagian orang yang menyejajarkan sufisme dengan penyakit. Sebaliknya, ia menganggap sufisme sebagai sebuah cara berpikir, dan sekali lagi ia mengeritik sebagian cara berpikir yang negatif tanpa memerinci lebih lanjut cara berpikir seperti apa. Mengingat pendapatnya sebelumnya yang mengeritik pendapat sebagian orang tentang sufisme, bisa saja cara berpikir seperti itulah yang dikritiknya. Dalam konteks yang lebih luas, berbagai interpretasi dapat dikembangkan. Selain ajaran Sufisme, Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran mengetengahkan stereotip etnik Yahudi, khususnya yang berkaitan dengan masalah uang. Moses kecil diajari oleh ayahnya untuk rajin menabung di celengan babinya. Kalimat ayahnya yang selalu diingatnya adalah kalimat yang menyatakan bahwa kebahagiaan berasal dari kekayaan, « Uang dicari untuk disimpan bukan untuk dibelanjakan. Jika kamu kaya, kau akan bahagia ». Ayah Moses bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Stereotip cara pikir orang Yahudi tentang uang dan kebahagiaan dipertentangkan dengan ajaran Sufisme, seperti yang diuraikan Ibrahim kepada Momo. Pada suatu kali ketika Momo berbelanja di toko Ibrahim, orang tua ini menanyakan kepada Momo mengapa ia tak
8
pernah tersenyum, dan Momo mengatakan bahwa karena dirinya tak kaya, ia tak punya alasan untuk bergembira dan tersenyum. Ibrahim berpendapat lain, ia mengatakan, « C’est un sourire qui te rend heureux » (Senyumlah yang membuatmu bahagia, dan bukan sebaliknya). Untuk membuktikan kebenaran kata-kata Ibrahim, Momo selalu tersenyum, khususnya pada saat-saat tertentu. Dan ia berhasil mendapatkan apa yang diingininya, perhatian gurunya, pelacur kesayangannya, teman perempuannya, namun tidak cinta ayahnya. Bagi ayahnya, senyum Momo identik dengan berbuat kebodohan. Hal lain yang dikatakan Ibrahim tentang hal memberi adalah, « Ce que tu donnes, Momo, c’est à toi pour toujours, ce que tu gardes, c’est perdu à jamais » (Apa yang kauberikan, Momo, menjadi milikmu selamanya, dan apa yang kaupertahankan, adalah suatu kehilangan). Tersenyum adalah salah satu hal memberi, sebaliknya menyimpan kekayaan menghalangi kita untuk mendekati hal memberi. Senyum dan hal memberi adalah bentuk kebaikan dan kebajikan. Dalam pandangan agama mana pun, manusia diajarkan untuk selalu melakukan kebajikan dan memberi kebaikan pada sesamanya. Pandangan sufistik mengatakan bahwa kebaikan dan kebajikan terhadap sesama pada hakikatnya adalah untuk diri sendiri. Ketika melakukan kebaikan untuk orang lain, ia akan mengingat kita sebagai temannya, dan kapan pun berpikir tentang kita, ia akan mengingat kita sebagai temannya. Pikiran seorang teman terasa mendamaikan bagai bunga di taman. Sebaliknya, perbuatan buruk dan jahat terhadap orang lain akan berjalan dengan pola yang sama tetapi menuju arah yang berlawanan. Dengan demikian, orang yang dikenai kejahatan akan mengingat kita, bukan sebagai temannya, melainkan seakan membayangkan ular atau duri. Pertanyaan sufistiknya adalah apabila dapat melihat bunga di taman siang dan malam, mengapa mesti mengelana dalam lubang ular atau potongan kayu. Hal menarik yang dapat dicatat adalah pandangan Moses atau Momo mengenai Yahudi. Tatkala Ibrahim menanyakan apakah artinya Yahudi bagi dirinya, ia menjawab sebagai berikut, « Je sais pas. Pour mon père, ça veut dire se déprimer toute la journée. Pour moi, c’est juste un truc qui m’empêche d’être autre chose » (Entahlah. Bagi ayahku, itu berarti stres sepanjang hari. Bagiku, itu hanya berarti sesuatu yang menghalangiku menjadi yang lain).
Momo remaja, yang merasa kesepian dan tak
memiliki figur orang tua yang dapat dijadikannya panutan, perlahan-lahan menemukan apa yang tak dimilikinya pada diri Ibrahim, sahabat, ayah, dan guru spiritualnya. Bagian
9
ini mengemukakan permasalahan identitas dengan sangat jelas. Melalui tokoh Momo, Schmitt seakan mempertanyakan identitas keyahudian, „Bagaimanakah menjadi Yahudi ?‟. Jawaban polos dan lugas diberikan oleh seorang anak berusia 11 tahun ; menjadi Yahudi berarti menghalangi mengakui keberadaan sang liyan dan mencegah berkehendak bebas. Sementara itu, persahabatan Momo dengan Ibrahim seperti mewakili pandangan Schmitt tentang penghormatan terhadap keberadaan sang liyan. Permasalahan lain tentang identitas terdapat dalam bagian akhir karya. Pada akhir cerita, Momo menggantikan peran Ibrahim sebagai Mohammed si pemilik toko. Dalam percakapan dengan ibunya, Momo mengatakan bahwa Moise telah pergi dan tidak perlu membicarakannya lagi. Bagian akhir ini memperlihatkan identitas yang dipilih Momo, yakni tidak lagi menjadi seorang Yahudi tetapi menjadi seorang Arab. Kalimat terakhir dalam karya adalah “Arabe, ça veut dire ouvert la nuit et le dimanche, dans l’épicerie » (« Arab artinya membuka toko sampai malam hari dan pada hari Minggu »). Toko-toko Prancis pada saat itu tutup pada malam hari dan hari Minggu. Dengan kesadaran penuh, tokoh Schmitt menyadari atau bahkan menolak menjadi Prancis. Judul karya, Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran atau Ibrahim dan bungabunga Al-Quran, menegaskan dan meringkas pandangan pengarangnya tentang Sufisme. Di akhir cerita, Momo mendapati bunga kering bewarna biru di dalam Al-Qur‟an warisan Ibrahim. Bagi Scmitt (melalui tindakan tokoh Ibrahim), Al-Qur‟an tak hanya berarti teks yang harus dibaca, melainkan juga cara kita membacanya, memaknainya, dan mengamalkannya dalam kehidupan. Bunga sering sekali dikaitkan dengan perasaan. Bahasa Prancis memiliki banyak ungkapan dan perumpamaan yang mengidentikkan bunga dengan perasaan. ‘Fleur’ atau bunga adalah akar kata ‘florilège’ („kumpulan karya pilihan atau yang terbaik‟). Bunga-bunga Al-Qur‟an dapat melambangkan yang terbaik dari Kitab Suci itu. Jika ditelusuri lebih jauh, „yang terbaik‟ mungkin mengacu kepada alam, karena bunga adalah salah satu unsur alam dan lambang pertumbuhan atau kehidupan. Schmitt menempatkan bagian ini tepat sebelum bagian terakhir, yang menunjukkan Momo dewasa duduk di kursi Ibrahim di tokonya. Bagian Momo menemukan bunga dapat dianggap sebagai klimaks cerita karena melambangkan akhir masa remaja Momo yang penuh pencarian. Dari sudut pandang lain, hal ini dapat diinterpretasikan berbeda. Pengulangan kalimat Ibrahim « Je sais ce qu’il y a dans mon
10
Coran » (« Aku tahu apa yang ada di dalam Al-Qur’anku ») membuat pembaca dapat mempertanyakan apakah penemuan bunga serta surat sahabat Ibrahim oleh Momo dimaksudkan untuk memperlihatkan keterbatasan umat Islam untuk memahami substansi Al-Qur‟an sepenuhnya. Kitab suci mengundang penafsiran dogma religius yang pada umumnya menjadi wacana dominan. Dan seperti kalimat Sindhunata, „Rasanya dekonstruksi dekat dengan pengalaman religius yang murni. Dan jika agama pada pokoknya adalah suatu perjanjian dengan Dia yang sama sekali lain, maka dekonstruksi yang rasanya religius itu kiranya juga bisa disebut sebagai ‘anak perjanjian’, sekali lagi pembaca dapat menggali makna yang lebih dalam dari teks karya Schmitt ini, khususnya dari kehadiran nuansa sufistik yang sangat kental melalui penggambaran alam. Kehadiran unsur-unsur alam terasa kuat sekali dalam karya ini. Dalam dialogdialog tokohnya, Schmitt menggunakan kiasan dengan unsur alam. Pada satu kesempatan, Ibrahim mengatakan kepada Momo, « Le ciel, il est à tout le monde » (Langit atau Surga adalah milik semua orang). Dalam pandangan Islam, surga « hanya » dapat dicapai oleh kaum muslimin. Kalimat Ibrahim dengan serta-merta meruntuhkan dogma tersebut. Schmitt juga mengumpamakan agama dan pencarian dalam hidup ibarat sungai dan laut. Di akhir hidupnya, Ibrahim mengatakan kepada Momo, « Semua sungai mengalir ke laut yang sama ». Kata sungai dapat diinterpretasikan sebagai agama dan kata laut adalah sifat hakiki agama. Apapun agama yang kita anut mestinya menuju ke tujuan mulia yang sama. Jika interpretasi itu benar, pemaknaan ini sekali lagi meruntuhkan dogma religius dan keimanan bahwa agamanyalah yang paling benar. Dan sewaktu melihat para Darwis menari, Ibrahim menjelaskan bahwa, «Hati manusia seperti burung dalam sangkar. Jika kau menari dan menyanyi, kau akan bahagia, dan kau akan serasa di surga». Tarian berputar sebagai praktik ibadah kaum Sufi adalah lambang dari kerinduan manusia untuk bersatu dengan Sang Pencipta. Kerinduan ini disampaikan diwujudkan dalam salah satu bentuk seni. Jelas Schmitt ingin menyampaikan bahwa ibadah yang paling baik semestinya tidaklah disampaikan dalam bentuk kekerasan, namun dalam karya seni yang indah.
11
Penutup
Mempertanyakan agama-agama adalah kecenderungan masa kini. Namun mengemukakan kontradiksi-kontradiksi agama tanpa terjebak dalam seruan menggurui adalah keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak penulis. Eric-Emmanuel Schmitt memilih bentuk dongeng filosofis untuk menulis tentang agama. Seperti telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, M. Ibrahim et les fleurs du Coran adalah satu dari karya tetralogi Schmitt yang berjudul “Le cycle de l’Invisible” atau “Lingkaran Maya”. Salah satu pandangan sufistik mengatakan bahwa Tuhan terlalu lembut untuk kita lihat. Jika sifat dan hakikat manusia terlalu lembut untuk dapat dilihat kecuali melalui perantara perbuatan, bagaimana kita dapat melihat Sang Pencipta sifat dan hakikat manusia. Tuhan terlalu lembut untuk dapat terlihat, maka Dia menciptakan bumi dan seisinya agar kemahakuasaan dan kerajinan tangannya dapat terlihat. Judul tetralogi Schmitt menyuratkan sekaligus menyiratkan ketidakhadiran Tuhan dalam karyanya dalam artian yang paling luas. Tokoh anak dalam M. Ibrahim et les fleurs du Coran dan ketiga teks lainnya membalikkan pandangan umum yang menyatakan bahwa orang tualah yang harus menjelaskan tentang agama kepada anak-anaknya. Tokoh anak adalah figur introspeksi Schmitt; ia bertanya sekaligus menjelaskan. Tokoh anak Schmitt tidak pernah terjebak dalam pesan moral yang menggurui. Keberadaan mereka dari kelompok marjinal dimanfaatkan untuk satu tujuan semata oleh pengarangnya, yakni setiap orang, di dunia yang bukan surga ini, adalah penanggung jawab dari penciptaan atas dirinya. Tuhan telah menunaikan tugasnya dan manusia diciptakan berkehendak bebas sehingga tanggung jawab terletak pada diri manusia sendiri. Sejalan dengan pemikiran Sartre, Schmitt menggiring pembacanya untuk melampaui ketertampakan; tokoh-tokohnya melampaui identitas asalnya, beranjak dari rasionalitas untuk menemukan spiritualitas.
12
Rujukan Kepustakaan
Borne, Dominique, Histoire de la société française depuis 1945, Paris, Armand Colin, 1992. Dean, Tim. 1997. “Two kinds of Other and Their Consequences” in Critical Inquiry, vol. 23, no.4, pp.910-920. Forbes, Jill & M. Kelly (ed.), French Cultural Studies an introduction, Oxford University Press, 1995. Hargreaves, Alec G. & Mark McKinney (ed.), Post-Colonial Cultures in France, London & New York, Routledge, 1997. Kelly, Paul. 2002. Multiculturalism Reconsidered. Culture and Equality and its Critics. United Kingdom: Polity Press. Kindler, Anna M. 1994. “Children and the Culture of a Multicultural Society” in Art Education vol.47, no.4, pp. 54-60. Kim, Young Yun. 1994. « Beyond Cultural Identity » in Intercultural Communication Studies vol. IV. Liliweri, Alo, Prof. Dr. 2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta : LKiS. Otayek, René. « Le Débat français sur la Citoyenneté et Ses Implications en terme de Perception de l‟Autre ». Institut d'Etudes Politiques de Bordeaux Centre d'Etudes d'Afrique Noire. Schnapper, Dominique. 1991. La France de l’intégration. Paris :Gallimard. Tjahjani, Joesana, «Monsieur Ibrahim, Dongeng Negeri Multikultural », makalah disajikan dalam Seminar Gelar Sastra Dunia, FIB UI, Juli 2005.
13