Aswadi|1
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam Vol. 02, No. 01, 2012 ------------------------------------------------------------------------------Hlm. 1 – 18
REPLIKA BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Aswadi Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstract: The presence of al-Qur'an in the lives of human beings, especially at the time of al-Quran delivered at the Arab nations that have reached the peak of achievement in the field of language and literature, the Koran really became the latest information on Arabic community that remarkable success in literature and language, but excels in damage to social institutions, attitudes shirk, the destruction of faith and morals. The presence of al-Qur'an that revealed gradually within a relatively short time, for 22 years 2 months 22 days can be alleviate people of different civilizations and the multidimensional depravity towards a safe, peaceful and prosperous. Therefore, the study of the Koran is very relevant and very important to be footing base, secret scrutiny, guided and taken advantage in solving all the problems that are being developed today, especially with regard to the various approaches in guidance counseling of propagation through the perspective of al Qur'an. Keywords : Propagation, Guidance, Counseling, al-Qur'an. Abstrak: Kehadiran al-Qur’an di tengah kehidupan umat manusia, terutama pada saat al-Qur’an disampaikan pada bangsa Arab yang pada saat itu telah mencapai puncak prestasi di bidang bahasa dan sastra, maka al-Qur’an benarbenar menjadi informasi terbaru di kalangan masyarakat yang gemilang dalam sastra dan bahasa, namun unggul dalam kerusakan pranata sosial, prilaku syirik, perusakan akidah dan akhlak. Kehadiran al-Qur’an yang secara bertahap dalam waktu yang relatif singkat, selama 22 tahun 2 bulan lebih 22 hari dapat mengentas manusia dari berbagai peradaban dan kebejatan multidimensional menuju kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Oleh karena itu, kajian al-Qur’an sangat relevan dan sangat penting untuk dijadikan pijakan dasar, dicermati rahasia, dipedomani dan diambil manfaatnya dalam menyelesaikan segala permasalahan yang sedang berkembang dewasa ini, terutama yang berkaitan dengan berbagai pendekatan dalam dakwah melalui bimbingan konseling perspektif al-Qur’an. Kata Kunci : Dakwah, Bimbingan, Konseling, al-Qur’an
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|2
Pendahuluan Al-Qur’an antara lain dapat dikaji melalui pendekatan tekstual dan kontekstual. Kombinasi edial di antara keduanya merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuan, baik Muslim maupun Barat. Dalam hal ini, kajian yang dimaksudkan adalah menunjuk pada pendekatan holistic maupun konprehensip. Jika pendekatan tekstual penting untuk mengkaji Islam normative, maka pendekatan konstektual urgen dalam menafsirkan Islam normative tersebut ke bidang kesejarahannya (konteks ruang dan waktu). Signifikansi pendekatan holistik ini menurut Denny1 terletak pada upaya yang seimbang antara pemahaman normative-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan di sisi lain. Upaya pertama mengacu pada teks-teks suci dalam Islam, baik berupa wahyu- al-Qur’an dan alHadits maupun kitab-kitab klasik sebagai karya ulama terdahulu dan kontemporer. Sedangkan upaya kedua bergerak pada konteks sosial, politik, dan kultural. Dengan pendekatan holistik di atas itulah yang akan dijadikan sebagai pijakan dasar dalam menyingkap kembali tentang bimbingan konseling perspektif Al-Qur’an dengan beberapa sub pembahasan yang terkait dengan dakwah model bimbingan konseling, orientasi hakekat bimbingan konseling, keriteria sakit, sembuh dan sehat, langkah-langkah dan proses bimbingan konseling, serta Implikasi Bimbingan Konseling al-Qur’an. Dakwah Model Bimbingan Konseling Bimbingan dan Konseling Islam sebagai salah satu model dakwah, pada hakekatnya adalah merupakan bentuk pelayanan terhadap manusia sehubungan dengan tujuan diturunkannya Al-Qur’an, sebagaimana terdapat pada QS Ibrahim [14]: 1.
ِ ك لِتُخرِج النَّاس ِمن الظُّلُم ِ ات إِ ََل النُّوِر بِِإ ْذ ِن رهِّبِم إِ ََل ِصر ِ ِ اط ٌ َالر كت ْ َ َ َ َ َ ْ َ اب أَنْ َزلْنَاهُ إلَْي َ ِ الْع ِزي ِز ا ْْل ِم )1 :يد ( إبرهيم َ َ Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (QS Ibrahim [14] : 1).
Ayat di atas menginformasikan bahwa pelayanan tersebut lebih difokuskan pada manusia yang tertimpa aneka masalah dengan penggunaan kata al-dhulumat - aneka kegelapan - dalam bentuk jamak, yang disandingkan dengan kata an-nur cahaya terang benerang- dalam bentuk tunggal. Hal ini mengisyaratkan bahwa Lihat Frederick M. Denny, “Islamic Ritual, Perspectives and Theories,” dalam Richard Martin (Ed.) Approaches to Islam in Religious Studies (Tucson: The University or Arizona Press, 1985), 63-77 1
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|3
kegelapan bermacam-macam serta beraneka ragam dan sumbernyapun banyak. Setiap benda pasti mempunyai bayangan dan bayangan itu adalah gelap sehingga gelap menjadi banyak, berbeda dengan cahaya atau terang benerang yang hanya berbentuk tunggal atau hanya satu, karena sumbernya memang hanya dari Yang Maha Esa (QS. An-Nur [24]: 40). Kata ( الظلماتal-dhulumat) yang disebut lebih dulu daripada kata ( النورan-nur) sebagaimana pada ayat di atas menurut Quraish Shihab2 selain menunjukkan bahwa gelap lebih dahulu wujud daripada terang, juga mengisyarakatkan bahwa manusia hendaknya selalu menuju ke arah positif atau terang. Di samping itu, juga perlu diingat bahwa di atas cahaya ada cahaya yang melebihinya. Sebuah contoh, kalau sekiranya manusia disinari oleh terang dengan kekuatan 40 Watt, maka terang yang dipancarkannya akan lebih gelap bila dibandingkan dengan pancaran sinar yang berkekuatan 60 Watt. Demikian pula ayat tersebut dan semacamnya adalah mengantarkan manusia untuk selalu meninggalkan kegelapan mengarah kepada cahaya walau yang sifatnya relatif. Dalam hal ini Allah swt berfirman.
ِ ال لِلن َّاس َواللَّهُ بِ ُك هل َش ْي ٍء َ َب اللَّهُ ْاْل َْمث ْ َور َعلَى نُوٍر يَ ْه ِدي اللَّهُ لِنُوِرهِ َم ْن يَ َشاءُ َوي ُ ض ِر ٌ ُن ِ )53 :يم ( النور ٌ َعل Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS An-Nur [24]: 35)
Pemaknaan cahaya di atas cahaya juga mengisayaratkan bahwa orangorang yang telah memperoleh cahaya Allah masih bisa memperoleh tambahan petunjuk dari pada-Nya sebagaimana difirmankan dalam QS Maryam [19]: 76: يد ُ َويَِز ِ َّ َّ ين ْاهتَ َد ْوا ُه ًدى َ اللهُ الذDan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Oleh karena itu, cahaya (an-nur) yang posisinya berada di wilayah positif dan relatif dalam pengertian bahwa di atas cahaya ada cahaya yang melebihinya dapat dianalogikan dengan konseling yang melihat hakekat manusia sebagai pribadi sehat. Sedangkan kegelapan (al-dhulumat) dapat dianalogikan pada konseling yang melihat hakekat manusia sebagai pribadi bermasalah. Rosyidan menyatakan bahwa: rumusan hakekat manusia dalam konseling yang beroientasi Islami menjadi pijakan dalam merumuskan pribadi manusia sehat (arah kebaikan) maupun pribadi yang bermasalah (arah keburukan).3 Walhasil, ayat dan penjelasannya di atas dapat dipahami bahwa manusia pada umumnya telah tertimpa anega ragam masalah dengan terus berusaha mencari jalan keluarnya sebagai bentuk layanan bimbingan dan konseling menuju ke-Esaan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Di samping itu, 2Lihat
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol.7, h. 6-7 3Lihat Rosyidan “Konseling Berorientasi Islami” dalam Jurnal Ilmu Dakwah (Surabaya, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol.3, No.2 Oktober 2000), 8-9. Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|4
bimbingan konseling dalam perspektif Al-Qur’an juga beroientasi pada peningkatan potensi kebaikan manusia menuju cahaya yang lebih terang dalam ke-Esaan Allah swt. Orientasi Hakekat Bimbingan Konseling Bimbingan Konseling yang berorientasi pada hakekat manusia bermasalah antara lain dapat dicontohkan dalam QS Al-Syu`ara’[26]: 69-94, di antaranya ialah:
ِ ِ ِ ) قَالُوا نَ ْعبُ ُد07( ال ِْلَبِ ِيه َوقَ ْوِم ِه َما تَ ْعبُ ُدو َن َ َ) إِ ْذ ق96( يم َ َواتْ ُل َعلَْيه ْم نَبَأَ إبْ َراه ِِ ) أ َْو يَْن َفعُونَ ُك ْم07( ال َه ْل يَ ْس َمعُونَ ُك ْم إِ ْذ تَ ْدعُو َن َ َ) ق01( ي َ َصنَ ًاما فَنَظَ ُّل ََلَا َعاكف ْأ ِ ال أَفَ َرأَيْتُ ْم َما ُكْنتُ ْم َ َ) ق07( ك يَ ْف َعلُو َن َ ) قَالُوا بَ ْل َو َج ْدنَا ءَابَاءَنَا َك َذل05( ضُّرو َن ُ َأ َْو ي ِ َّ ) فَِإنَّهم ع ُد ٌّو ِِل إََِّّل ر09( ) أَنْتُم وءابا ُؤُكم ْاْلَقْ َدمو َن03( تَعب ُدو َن ي َ ُْ َ ب الْ َعالَم ُ ُْ َ ُ َ ََ ْ )00( Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?" Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya". Berkata Ibrahim: "Apakah berhala-berhala itu mendengar (do`a) mu sewaktu kamu berdo`a (kepadanya)?, atau (dapatkah) mereka memberi manfa`at kepadamu atau memberi mudharat?" Mereka menjawab: "(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian". Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam. )QS al-Syu`ara’[26] : 69-77).
Beberapa ayat di atas merupakan sekelumit kisah Nabi Ibrahim as, yang bangkit berdasar fitrah beliau yang suci untuk menyeru dan mengajak kaumnya yang menyembah berhala guna kembali kepada kesucian fitrah menyembah Allah Yang Maha Esa. Seruan ini dilakukan melalui wawancara, dialog maupun diskusi melalui bukti yang sangat jelas mengenai pengingkaran mereka terhadap Allah swt. Kisah tersebut diawali dengan kata – أتلutlu-bacalah dalam bentuk perintah yang pada mulanya berarti mengikuti. Seorang yang membaca adalah dia yang mengikuti huruf-huruf lalu mengucapkannya. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk objek bacaan yang suci atau benar. Karena itu pada umumnya objeknya adalah wahyu atau kebenaran. Dalam hal ini dapat diambil suatu kesan bahwa hendaknya yang bersangkutan setelah membacanya mengikutkan sesudahnya dengan pengalaman pesan bacaannya, baik melalui wawancara konseling maupun lainnya yang relevan demi tercapainya kemaslahatan duniawiyah maupun ukhrawiyah. Allah memerintahkan kepada seseorang untuk membaca kisah Nabi Ibrahim, karena di dalam ayat yang menguraikan kisahnya terdapat dua bukti
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|5
yang sangat jelas. Pertama, keistimewaan ayat yang dibaca itu paling tidak dalam susunan redaksi, pesan, munasabah dan relevansinya, dan yang Kedua adalah argumentasi akliah yang dikandungnya menyangkut bukti-bukti kesesatan penyembahan berhala serta bukti ke-Esaan Allah swt. Pertanyaan Nabi Ibrahim as sebagaimana terdapat pada ayat di atas adalah termasuk kategori pengingkaran terhadap prilaku dan praktek ibadah yang dilakukan oleh masyarakat dan nenekmoyang mereka. Bahkan penyembahan mereka itu termasuk sesat dan tidak memberikan manfaat apapun, kecuali lebih menampakkan berbagai macam kekeliruan. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim secara tegas menyatakan permusuhannya terhadap berhala-berhala yang mereka sembah dengan menunjukkan kepercayaannya hanya semata-mata kepada Tuhan semesta alam beserta penjelasan sekelumit dari sifat-sifat Tuhan semesta alam yang diagungkannya.4 Pertanyaan Nabi Ibrahim as yang diabadikan pada ayat di atas boleh jadi diajukan dalam dua kesempatan yang berbeda, sekali kepada orang tuanya, dan di kali lain kepada kaumnya, atau boleh jadi diajukan dalam satu kesempatan, yakni saat orang tuanya dan kaumnya sedang melaksanakan ibadah, yang ketika itu dilihat dan diamati oleh Nabi Ibrahim as. Ibnu `Asyur cenderung berpendapat bahwa pertanyaan tersebut, merupakan pertanyaan pertama yang diajukan secara langsung oleh Nabi Ibrahim as kepada orang tuanya dan masyarakatnya secara bersamaan. Lebih lanjut, Thabathaba’i menyatakan: Nabi Ibrahim telah pernah menanyakan hal serupa kepada orang tuanya (QSAl-An’am [6]: 74) dan sesudah inipun Nabi Ibrahim as masih juga bertanya kepada orang tua dan kaumnya, tetapi dikali itu, beliau lebih tegas dalam tegurannya melalui ekperimen dan instrument wawancara konseling dengan orang tua maupun masyarakatnya sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Shaffat [37]:85-86 sebagai berikut.
ٍ ) إِ ْذ َجاء ربَّهُ بَِق ْل35( وإِ َّن ِم ْن ِش َيعتِ ِه ََِلبْر ِاهيم ال ِْلَبِ ِيه َوقَ ْوِم ِه َ َ) إِ ْذ ق37( ب َسلِي ٍم ََ َ َ َ ِ ِ ) فَما ظَنُّ ُكم بِر ه39( يدو َن ي ُ ) أَئِْف ًكا ءَاَلَةً ُدو َن اللَّ ِه تُِر33( َما َذا تَ ْعبُ ُدو َن َ ب الْ َعالَم َ َ ْ ِ ) فَنظَر نَظْرًة ِِف النُّج30( ِ) فَتَ ولَّوا َعْنهُ م ْدب36( ال إِ هِّن س ِقيم ِ )67( ين ر ق ف ( 33 ( وم َ َ َ ُ ُ َ َْ ٌ َ َ َ َ ضْربًا َ غ إِ ََل ءَ ِاَلَتِ ِه ْم فَ َق َ ) فَ َرا67( ) َما لَ ُك ْم ََّل تَْن ِط ُقو َن61( ال أَََّل تَأْ ُكلُو َن َ فَ َرا َ غ َعلَْي ِه ْم ِ بِالْيَ ِم ) َواللَّهُ َخلَ َق ُك ْم63( ال أَتَ ْعبُ ُدو َن َما تَْن ِحتُو َن َ َ) ق67( ) فَأَقْ بَ لُوا إِلَْي ِه يَِزفُّو َن65( ي ) فَأ ََر ُادوا بِِه َكْي ًدا60( اْلَ ِحي ِم ْ ) قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُْن يَانًا فَأَلْ ُقوهُ ِِف69( َوَما تَ ْع َملُو َن ِ ِ َ َ) وق63( فَجع ْلناهم ْاْلَس َفلِي )66( ب إِ ََل َرهِّب َسيَ ْه ِدي ِن َ ْ ُ ُ َ ََ ٌ ال إ هِّن ذَاه َ Lihat Abu al-Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma`ani fi Tafsir alQur’an al-`Adhim wa al-Sab` al-Matsani (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 1994.), Jilid 10, jus 19-20. h. 93 4
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|6
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?" Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya aku sakit".Lalu mereka berpaling daripadanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?" Lalu dihadapinya berhalaberhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu".Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina. Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku (QS al-Shaffat [37]:85-86).
Setelah Nabi Ibrahim mengajukan berbagai pertanyaan sehubungan dengan hakekat berhala, maka selanjutnya beliau menunjukkan jalan keluar yang seharusnya diperbuat dengan penegasan bahwa “sesungguhnya mereka adalah musuh bagiku, kecuali Tuhan semesta alam”. Kata ` عدوaduwwun-musuh ialah siapa saja yang dapat menimbulkan madlarat bagi seseorang atau menghalangi manfaat. Berhala-berhala tersebut, memang secara langsung tidak dapat melakukan permusuhan, tetapi karena dampak penyembahan mengakibatkan madlarat, maka ia dinamai musuh dan diperlakukan oleh Nabi Ibrahim as sebagai musuh yang harus ditumpas atau paling tidak dicegah jangan sampai mengakibatkan madlarat terhadap dirinya dan terhadap siapapun.Untuk itu, apapun yang merusak akidah, tindakan dan moral Qur`aniyah adalah bagian dari bentuk musuh dan penyakit yang menuntut adanya kepedulian dari berbagai pihak, untuk melakukan bimbingan dan mencarikan solusinya. Wujud kongkrit sebagai arah yang ditempuh menunjuk pada beberapa sifat Allah yang terpuji beserta akibat-akibat yang ditimbulkannya adalah tercermin pada lajutan ayat di atas yang terkait dengan ayat 77-94 dalam QS al-Syu`ara’ [26] sebagai berikut.
ِ ) والَّ ِذي ُهو يُطْعِم ِِن ويَس ِق03( الَّ ِذي َخلَ َق ِِن فَ ُهو يَ ْه ِدي ِن ت فَ ُه َو ْ ) َوإِ َذا َم ِر06( ي ُض َ ْ َ ُ َ َ ِ ِ) والَّ ِذي ُُيِيتُِِن ُُثَّ ُُْيي37( ي ِ يَ ْش ِف ) َوالَّ ِذي أَطْ َم ُع أَ ْن يَ ْغ ِفَر ِِل َخ ِطيئَِِت يَ ْوَم31( ي َ ِِ َّ َِْلِْق ِِن ب اج َع ْل ِِل لِ َسا َن ِص ْد ٍق ْ ب ِِل ُح ْك ًما َوأ ) َر ه37( الدهي ِن َ الصاْل ْ ) َو35( ي ْ ب َه ِ ِ ) َوا ْغ ِفْر ِْلَِِّب إِنَّهُ َكا َن ِم َن33( اج َع ْل ِِن ِم ْن َوَرثَِة َجن َِّة النَّعِي ِم ْ ) َو37( ين َ ِف ْاْلخ ِر ) إََِّّل َم ْن33( ال َوََّل بَنُو َن ٌ ) يَ ْوَم ََّل يَْن َف ُع َم30( ) َوََّل ُُتِْزِِّن يَ ْوَم يُْب َعثُو َن39( ي َ الضَّاله Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|7
ِاْل ِحيم ل ِ ) وب هرز67( اْلنَّةُ لِْلمت َِّقي ِ ) وأ ُْزلَِف36( ب سلِي ٍم ِ ِ ين و ا غ ل ت ت ْ ْ ْ َ َ َ ُ َ َُ َ ٍ أَتَى اللَّهَ ب َق ْل َ َ ُ َ ِ) وق61( ِ ِ ِ صُرونَ ُك ْم أ َْو ُ ) م ْن ُدون اللَّه َه ْل يَْن67( يل ََلُ ْم أَيْ َن َما ُكْنتُ ْم تَ ْعبُ ُدو َن َ َ ِ َي ْنت )67( ) فَ ُكْب ِكبُوا فِ َيها ُه ْم َوالْغَ ُاوو َن65( صُرو َن َ (Yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".(Ibrahim berdo`a): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh keni`matan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat", dan dikatakan kepada mereka: "Di manakah berhala-berhala yang dahulu kamu selalu menyembah (nya) selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri?" Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, (QS al-Syu`ara’ [26]: 78-94).
Pengulangan serangkaian pertanyaan yang dilontarkan oleh Nabi Ibrahim kepada orang tua dan kaumnya sebagaimana tersebut pada beberapa ayat di atas mengindikasikan bahwa pelaksanaan bimbingan konseling selain membutuhkan waktu juga sangat memerlukan kontinuitas menuju kesempurnaan nilai, sifat maupun tindakan dalam kehidupan. Sedangkan bimbingan konseling yang berorientasi pada esensi peningkatan potensi manusia antara lain dapat dicontohkan dalam QS al-Shaffat [37]: 99-111 sebagai berikut.
ِ ِِ َّ ب هب ِِل ِمن ِ ال إِ هِّن ذَ ِاه َ ََوق َ الصاْل ُ) فَبَشَّْرنَاه177( ي ْ َ ) َر ه66( ب إ ََل َرهِّب َسيَ ْهدي ِن ٌ َ ك ِن إِ هِّن أ ََرى ِِف الْ َمنَ ِام أ ه َ َالس ْع َي ق َّ ُ) فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعه171( بِغُ ََلٍم َحلِي ٍم َ َُِّن أَ ْذ ََب ََّ ُال يَاب ِ ال ياأَب ِ َّ ت افْ َعل ما تُ ْؤمر ستَ ِج ُدِِّن إِ ْن َشاء اللَّهُ ِمن ين َ َ َ َفَانْظُْر َما َذا تََرى ق َ َُ َ ْ َ الصاب ِر َ َ ِ ) ونَادي ناه أَ ْن ياإِب ر175( ي ِ) فَلَ َّما أَسلَما وتَلَّه ل177( ِ ِ ت د ق ) 177 ( يم اه ب ج ل ْ َ ْ َ َ َ ْص َّدق ْ ْ ُ َ َ ُ َ َ ْ َ ُ َ َ ِ ِِ ُّ َ الرْؤيَا إِنَّا َك َذل ُ ِ) إِ َّن َه َذا ََلَُو الْبَ ََلءُ الْ ُمب173( ي َ ك ََْن ِزي الْ ُم ْحسن ُ) َوفَ َديْنَاه179( ي ِ ) س ََلم علَى إِب ر173( ) وتَرْكنا علَي ِه ِِف ْاْل ِخ ِرين170( بِ ِذب ٍح ع ِظي ٍم )176( يم اه َ ْ َْ َََ َ َ َْ َ ٌ َ ِ ِ ِ ِ ِِ ِِ )111( ي َ َك َذل َ ) إِنَّهُ م ْن عبَادنَا الْ ُم ْؤمن117( ي َ ك ََْن ِزي الْ ُم ْحسن Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|8
(seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orangorang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman (ash-Shaffat [37]: 99-111).
Ayat di atas merupakan episode lain dari kisah Nabi Ibrahim as. yang antara lain berhubungan dengan keputusan Nabi Ibrahim untuk berhijrah agar dapat melaksanakan misinya dengan lebih baik, permohonan untuk memperoleh anak sebagai kelompok orang-orang yang shalih dan keterkabulannya, musyawarah dan dialektika dengan putranya dalam mencapai kesempurnaan dalam kehidupannya, sejak dari mimpi, uji keimanan dan kesabaran, uji nilai-nilai ihsan dan kepatuhannya dalam menjalankan perintah hingga benar-benar meraih predikat kesempurnaan. Sekilas informasi yang disarikan dari beberapa ayat di atas adalah mengisyaratkan bahwa orientasi bimbingan konsling dapat di dasarkan pada dimensi peningkatan potensi fitrah sebagai potensi positif pada diri manusia. Ibnu `Asyur dalam tafsirnya5 menyatakan:
والفطرة الِت ُتص نوع،بأن الفطرة هي النظام الذي أوجده اهلل ِف كل خملوق ًاَلنسان هي ما خلقه اهلل عليه جسداً وعقَل bahwa fitrah adalah sebuah sistem yang diwujudkan oleh Allah bagi setiap makhluq ciptaan-Nya. Sedangkan modal fitrah yang diciptakan khusus bagi manusia adalah berupa fisik dan akalnya. Keduanya saling terkait dan memperkuat sistem kehidupan yang sehat duniawiyah dan ukhrawiyah.
Muhammad al-Baidlawi dalam tafsirnya menegaskan bahwa karakter fitrah manusia adalah menerima kebenaran dan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya dalam kehidupan, mulai dari ketulusan hati, keindahan tuturkata, dan keunggulan amal shalih, semuanya dicurahkan hanya untuk agama bukan untuk kemusyrikan dan bukan untuk menentang agama. Sebagai bentuk kongkritnya dapat dicontohkan melalui QS al-Rum [30]: 30 berikut.
5
Lihat Ibnu `Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jus 11, h. 71. Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
Aswadi|9
ِ ِ فَأَقِم وجهك لِلدهي ِن حنِي ًفا فِطْرَة اللَّ ِه الَِِّت فَطَر النَّاس علَي ها ََّل تَب ِد ك َ يل ِلَْل ِق اللَّ ِه َذل َ َْ َ ْ َْ َ َ َ َ َ َ ْ ِ ِ ِ ِ) منِيب57( َّاس ََّل ي علَمو َن ِ الص ََلةَ َوََّل َّ يموا َ ُ ُ ي إلَْيه َواتَّ ُقوهُ َوأَق ُ ْ َ ِ هين الْ َقيه ُم َولَك َّن أَ ْكثََر الن ُ الد ِ ِ )57-57 :) (الروم51( ي َ تَ ُكونُوا م َن الْ ُم ْش ِرك Maka hadapkanlah jiwa dan ragamu dengan lurus untuk menjalankan agama Allah; maka tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Demikian itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS al-Rum [30]: 30).
Sebaliknya, apabila keberadaan manusia ternyata tidak dapat menerima kebenaran agama, maka dapat dipastikan bahwa di dalam diri manusia telah terjadi kerusakan sistem fitrahnya. Fitrah dan kesucian ini menurut al-Ghazali adalah bagaikan cermin yang bersih. Menurutnya, cermin yang bersih akan memantulkan cahaya yang bersih bahkan dapat memberikan manfaat dan penerangan pada berbagai kegelapan. Sedangkan cermin yang kotor justru akan menimbulkan cahaya yang buruk, bahkan boleh jadi membikin kerusakan pada pihak lain. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi kehidupan saat sekarang. Kecuali terus berusaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah maupun potensi kesucian bagi umat manusia. Di antaranya ialah dapat ditempuh dengan cara bertaubat dan kembali menuju agama Islam sebagaimana firman Allah swt :
ِ ِ ِ ِ ِ ِمنِيب ي َّ يموا َ الص ََلةَ َوََّل تَ ُكونُوا م َن الْ ُم ْش ِرك َ ُ ُ ي إلَْيه َواتَّ ُقوهُ َوأَق
yaitu dengan jalan kembali bertaubat, bertakwa kepada-nya, mendirikan shalat dan tidak mempersekutukan-Nya. Bentuk taubat dalam pendangan alQur’an antara lain dapat dilakukan melalui taubatan nasuha sehingga mencapai tingkatan inabah-sebagai orang yang benar-benar bertaubat kapan dan dimana mereka berada dan tergolong sebagai kelompok al-awwabin-sebagai orang-orang yang ahli dalam bertaubat. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:
ِ )اج ْه ُّ َخَر َجهُ اَلت ْهرِم ِذ ْ ي اَلت ََّّوابُو َن (أ َ ُك ُّل بَِِن َ َو َخْي ُر اَ ِْلَطَّائ,ٌآد َم َخطَّاء َ َوابْ ُن َم,ي
“Semua anak cucu adam pernah bersalah, dan sebaik-baik orang bersalah adalah bertaubat (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dengan sistem bertaubat dari berbagai kesalahan inilah yang akan digantikan dengan nilai-nilai kebaikan, sebagaimana firman Allah swt. ُهل اللَّه ُ ك يُبَد َ ِفَأُولَئ ٍ َ –سيهئاِتِِم حسنdengan taubat inilah kejahatan manusia akan diganti dengan kebajikan ات ََ ْ ََ (QS al-Furqan [25]: 70). Di antara bentuk taubat yang dapat di tegakkan adalah mengembangkan empat pilar kebutuhan pokok, yaitu: meingkatkan kebutuhan ruhaniyah dan spiritual, seperti ibadah shalat, ibadah puasa, baca al-Qur'an, dzikir dan Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 10
sejenisnya. Kedua, meningkatkan kebutuhan psikologis, seperti menghindari perasaan dari berbagai tindakan yang menyakitkan pihak lain. Ketiga, meningkatkan kebutuhan biologis, seperti peningkatan taraf hidup di bidang papan, pangan dan sandang melalui cara-cara yang halal dan sehat. Keempat, meningkatkan kepedulian sosial keagamaan, seperti zakat, shadaqah, infaq, bersilaturrahim, saling memaafkan dan saling peduli terhadap pihak lain. Pengembangan empat kebutuhan dimaksud dapat dikatakan sebagai langkahlangkah strategis dan sebagai terobosan tercepat untuk masuk surga dengan penuh kedamaian. Rasulullah saw menyatakan bahwa ada beberapa kegiatan yang dapat mengantarkan manusia dapat masuk surga dengan penuh kedamaian, yaitu: menyebarkan salam, bersedekah, menyambung silaturrahim dan sembahyang malam, (HR Ahmad Ibnu Hambal). Kriteria Sakit, Sembuh dan Sehat Di antara indikasi sakit, sembuh dan sehat dalam bahasa Al-Qur’an dapat didasarkan pada kata maradl, syifa’ dan Salim. Kata maradl dan syifa’ secara berdapingan diungkapkan dalam QS al-Syu`ara’ [26]: 80
)37( وإذا مرضت فهو يشفي Apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS al-Syu`ara’ [26]: 80)
Menurut catatan Ibnu Faris bahwa maradl merupakan bentuk kata yang berakar dari huruf-huruf m-r-dl ( ض- ر- ) مyang makna dasarnya adalah sakit atau segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental bahkan tidak sempurnanya amal atau karya seseorang atau bila kebutuhannya telah sampai pada tingkat kesulitan.6 Terlampauinya batas kewajaran tersebut dapat berbentuk ke arah berlebihan dan dapat pula ke arah kekurangan, oleh karenanya maradl juga dapat dikatakan sebagai hilangnya suatu keseimbangan bagi manusia.7 Dalam al-Qur’an kata maradl ditemukan sebanyak tiga belas kali, kesemuanya dikaitkan dengan qulub ))قل وب, kecuali sekali dalam kata qalb (dalam bentuk tunggal). Kata maradl juga biasa diidentikkan dengan kata saqam. Dalam hal ini, kata saqam hanya difokuskan pada penyakit jasmani, sedangkan maradl terkadang digunakan untuk sebutan penyakit jasmani dan psikologis (nafs).8 Sedangkan syifa’ itu sendiri secara etimologis,9 adalah berakar dari hurufhuruf ي- ف- شdengan pola perubahannya شفىء- يشفى- ( شفىsyafa – yasyfi - syifa’) menurut catatan ibnu Mandhur adalah berarti obat yang terkenal, yaitu obat yang Lihat Ibnu Faris, “Maqayis al-Lughah”, Juz 5 h. 311-312. Lihat al-Raghib al-Asfahani, “Mufradat”, h. 520. 8 Lihat Ibid., h. 264 9 Yaitu pengertian menurut ilmu asal usul kata. Lihat W. J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 278. Lihat pula kata “etymology” dalam John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 219 6 7
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 11
dapat menyembuhkan penyakit ()دواء مع روو وه و م ا ي سق م ن الس قم.10 Ibnu Faris bahkan menegaskan bahwa term ini dikatakan syifa’ karena ia telah mengalahkan penyakit dan menyembuhkannya.11 Sejalan dengan pengertian ini, al-Raghib alAshfahani justru mengidentikkan term syifa’ min al-maradl (sembuh dari penyakit) dengan syifa’ al-salamah (obat keselamatan) yang pada perkembangan selanjutnya term ini digunakan sebagai nama dalam penyembuhan ()وصار إمسا للسء.12 Beberapa pengertian syifa’ di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa syifa’ itu sendiri selain menunjuk pada proses dan perangkat tekniknya juga merujuk pada hasil yang diperolehnya, yaitu sebuah kesembuhan dari suatu penyakit. Sedangkan kata sehat yang merujuk pada kata salim sebagaimana eksistensi diri nabi Ibrahim dan wujud permohonannya kepada Allah swt dalam kehidupannya hingga di hari kebangkitan. Kata tersebut terkait dengan QS alShaffat [37]:85-86 dan QS as-Syu’ara’ ayat 87- 90 sebagai berikut:
ٍ ) إِ ْذ َجاء ربَّهُ بَِق ْل35( وإِ َّن ِم ْن ِش َيعتِ ِه ََِلبْر ِاهيم )37( ب َسلِي ٍم ََ َ َ َ
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (QS al-Shaffat [37]:83-84).
Kata salim ( )سليمyang mensifati qalb ( )قلبpada mulanya berarti selamat yakni terhindar dari kekurangan dan bencana, baik lahir maupun batin. Sedang kata qalb / hati dapat dipahami dalam arti wadah atau alat meraih pengetahuan. Kalbu yang bersifat salim adalah yang terpelihara kesucian fitrahnya, yakni yang pemiliknya mempertahankan keyakinan tauhid, serta selalu cenderung kepada kebenaran dan kebajikan. Kalbu yang Salim adalah kalbu yang tidak sakit, sehingga pemiliknya senantiasa merasa tenang, terhindar dari keraguan dan kebimangan, tidak juga dipenuhi sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme buta, loba kikir dan sifat-sifat buruk yang lain. Mengenai penyakit ini, Allah swt menegaskan dalam QS an-Nur [24]:50. "Apakah dalam hati mereka ada penyakit atau mereka ragu-ragu ataukah takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dhalim kepada mereka ? Sebenarnya itulah orang-orang yang dzalim".
ٌ ) يَ ْوَم ََّل يَْن َف ُع َم30( َوََّل ُُتْ ِزِِّن يَ ْوَم يُْب َعثُو َن َ) إََِّّل َم ْن أَتَى اللَّه33( ال َوََّل بَنُو َن ِ ِ ْ ت ِ ) وأ ُْزلَِف36( ب سلِي ٍم ِ )67( ي َ اْلَنَّةُ ل ْل ُمتَّق َ ٍ ب َق ْل َ Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orangorang yang bertakwa dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-
Lihat Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur al-Anshariy (w.711) Lisan al-Arab (alDar al-Mishriyah, tth.), Juz 19, h. 167. 11 Lihat Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakaria, Mu`jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Dar al-fikr, tth.) jilid 3, h. 199. 12 Lihat al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1997), h. 296. 10
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 12
orang yang sesat", dan dikatakan kepada mereka: "Di manakah berhala-berhala yang dahulu kamu selalu menyembah (nya) selain Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri?" Maka mereka (sembahansembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, (QS al-Syu`ara’ [26]: 87-94).
Dua ayat yang di dalamnya mengandung kata salim tersebut dapat dijadikan rujukan bahwa makna kesehatan menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam diri manusia sejak dari awal kehidupan hingga di hari kebangkitan. Langkah-Langkah dan Proses Bimbingan Konseling Langkah-langkah dan proses bimbingan konseling antara lain dapat di dasarkan pada QS. Yunus [10]: 57.
ُّ َّاس قَ ْد َجاءَتْ ُك ْم َم ْو ِعظَةٌ ِم ْن َربه ُك ْم َو ِش َفاءٌ لِ َما ِِف ٌالص ُدوِر َوُه ًدى َوَر ْْحَة ُ يَاأَيُّ َها الن ِِ ِ )30( ي َ ل ْل ُم ْؤمن Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman )QS. Yunus [10]: 57.
Ayat di atas menegaskan adanya empat fungsi Al-Qur’an, yaitu: pengajaran, obat, petunjuk dan rahmat. Penerapan terhadap empat fungsi ini, dapat dibentangkan secara bertahap bahwa pengajaran Al-Qur’an untuk pertamakalinya menyentuh hati yang masih diselubungi oleh kabut keraguan, kelengahan dan aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan pengajaran itu, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan beralih sedikit demi sedikit menjadi kewaspadaan. Demikian pula dari saat ke saat, sehingga ayat-ayat AlQur’an menjadi obat bagi aneka ragam penyakit ruhani. Dari sini, jiwa manusia akan menjadi lebih siap meningkat dan meraih petunjuk tentang pengetahuan yang benar dan makrifat tentang Tuhan. Demikian ini mampu membawa kepada lahirnya akhlak terpuji, amal-amal kebajikan yang mengantar seseorang meraih kedekatan kepada Allah swt. Pada giliran berikutnya nanti mengundang aneka rahmat yang puncaknya adalah surga dan ridla Allah swt.13 Al-Maraghi dalam tafsirnya14 menyimpulkan ayat tersebut menjadi empat hal. Pertama, Nasihat yang baik, dengan cara memberi penggembiraan dan peringatan, yakni dengan menyebutkan kata-kata yang dapat melunakkan hati. Sehingga, dapat membangkitkan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perkara. Kedua, obat bagi segala penyakit hati, seperti syirik, nifak dan semua penyakit lain, yang siapapun menyukainya. Maka akan terasa olehnya dada yang sesak, seperti keraguan untuk beriman, kedurhakaan, permusuhan dan menyukai kedlaiman serta membenci kebenaran dan kebaikan. Ketiga, petunjuk 13 14
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6. h. 103. Lihat Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid II, h. 234-235 Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 13
kepada jalan kebenaran dan keyakinan serta terhindar dari kesesatan dalam kepercayaan dan amal. Keempat, Rahmat bagi orang-orang yang beriman. Rahmat inilah buah yang diperoleh kaum mukmin dari petunjuk Al-Qur’an yang memenuhi hati mereka, yang di antara pengaruh-pengaruhnya ialah mereka kemudian senantiasa ingin melakukan hal-hal yang makruf, membela orang yang sengsara, mencegah kedlaliman, menolak kedurhakaan dan kemungkaran. Lebih lanjut, Al-Maraghi15 menggarisbawahi kesimpulannya dengan mengatakan bahwa pelajaran yang ada dalam Al-Qur’an dan pengobatan yang dilakukannya terhadap penyakit-penyakit yang bersarang dalam dada, seperti kekafiran, kemunafikan dan segala kekejian yang lain. Demikian juga petunjuk AlQur’an kepada kebenaran dan segala keutamaan adalah ditujukan kepada semua umat manusia. Namun demikian hanya orang mukmin saja yang mendapatkan rahmat yang dibuahkan oleh ketiga sifat tersebut, karena merekalah yang mau memanfaatkan. Sehubungan dengan ayat di atas, Al-Razi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad dapat dikatakan sebagai seorang dokter yang professional, sedangkan Al-Qur’an adalah sejumlah obat yang disiapkan secara tertib untuk menyembuhkan jiwa yang sakit. Jika seorang dokter akan memberikan pengobatan terhadap seseorang yang sedang sakit, maka ia akan melakukan empat tahapan secara berurutan 16 yaitu: Pertama, menghindarkan segala sesuatu yang tidak patut dilakukan dengan anjuran agar berhati-hati terhadap segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya penyakit. Hal ini dapat dikatakan sebagai al-mau`idhah, karena mau`idhah itu pada dasarnya hanya dimaksudkan untuk pencegahan dari segala sesuatu yang dapat menjauhkan seseorang dari Allah swt dan mencegah seseorang dari segala kesibukan hati untuk berpaling dari Allah swt. Kedua, al-syifa’, yaitu memberikan obat yang dapat menghilangkan jiwanya dari berbagai kerancuan dan keraguan yang mendorong timbulnya suatu penyakit. Karena suatu akidah yang rusak dan akhlah yang tercela akan menjadi sarang dan sumber penyakit. Ketiga, tercapainya petunjuk, tahapan ini tidak bisa didapatkan kecuali setelah tahapan kedua dicapainya. Oleh karena karena itu, subsatnasi ruh harus benar-benar telah siap menerima berbagai keagungan yang suci dan pancaran cahaya Ilahi. Terhalangnya petunjuk ini boleh jadi akibat kelemahan, kebodohan dan kikir. Semua ini dihadapan Allah akan tertolak dan penolakan yang demikian ini adalah suatu kebenaran, sehingga wajar jika hal ini tidak siap menerima cahaya ruhaniah. Dari sisi lain, bahwa akidah yang rusak dan akhlak yang tercela pada dasarnya adalah suatu karakter kegelapan, dan ketika kegelapan ini eksis, sudah barang tentu menghalangi kedatangan cahaya. Sebaliknya, ketika kegalapan ini hilang maka hilang pula segala penghalangnya. sehingga dapat dipastikan bahwa cahaya yang bersih akan bisa bersandar pada jiwa yang bersih. Keempat, menjadikan jiwa tertinggi menuju tingkatan ruhaniah dan rabbaniah beserta 15 16
Ibid., h. 236 Lihat al-Razi, Mafatih…. Jilid 9, jus 17-18, h. 92. Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 14
pancaran sinarnya terhadap ruhani yang belum sempurna pancaran cahayanya bagaikan cahaya matahari yang menerangi alam. Demikian ini yang dimaksud dengan rahmat. Pada kesempatan lain, al-Razi menyimpulkan bahwa tahapan pertama atau al-mau`idhah dapat dikatakan sebagai syariah, tahapan kedua, yakni syifa’ sebagai thariqah. tahapan ketiga yakni petunjuk adalah hakekat dan sebagai tahapan puncak yakni rahmah adalah nubuwah (kenabian).17 Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Alusi dalam tafsirnya juga mengatakan bahwa ayat di atas adalah mengisyaratkan pada jiwa manusia akan mencapai derajat dan keuntungan secara sempurna bila berpegang teguh pada al-Qur’an melalui empat tahapan, yaitu: Pertama, tahap dan proses membersihkan segala aktivitas yang tampak dengan meninggalkan berbagai tindakan yang tidak patut dilakukan sebagaimana di isyaratkan dalam kata al-mau`idhah. Kedua, membersihkan prilaku psikologis dari berbagai keruskan akidah dan dari berbagai prangai yang tercela sebagaimana diisyaratkan dalam ayat syifa’ lima fi al-shudur. Ketiga, menghiasi jiwa dengan akidah yang benar dan akhlak terpuji. Hal ini tidak bisa didapatkan kecuali dengan hidayah. Keempat, pemusatan terhadap cahaya rahmat ilahiah dengan jiwa yang sempurna dan siap menerima kesempurnaan lahir maupun batin. 18 Keempat langkah yang terkait dengan langkah-langkah bimbingan konseling sebagaimana di atas sebenarnya dapat disederhanakan menjadi tiga tahap. Pertama, proses takhalli, yaitu pembersihan terhadap hal-hal yang bersifat lahiriah, sperti prilaku, tindakan dan aktivitas yang menyimpang (mauidhah) dan bersifat batiniah, seperti kekeliruan akidah, dan akhlak yang tercela (syifa’). Kedua, proses tahalli, yaitu pemberian dan pengisian jiwa yang bersih dengan akidah yang benar dan akhlak terpuji (hidayah). Ketiga proses tajalli, yaitu pemusatan ruhaniah atau spiritual tertinggi menuju tinggkatan rabbaniah dan ilahiah (yang disebut sebagai rahmat). Implikasi Bimbingan Konseling Al-Qur’an Bimbingan konseling Qur’ani dengan berbagai bentuk dan karakterisknya, akan berimplikasi secara signifikan bagi orang-orang yang berkenan merespon dan mengindahkannya, baik melalui pendengaran, penghayatan dan tindakan, baik secara harfiah maupun maknawiyahnya, maka al-Qur’an tetap memberikan manfaat bagi yang meresponnya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki keimanan terhadap al-Qur’an dengan segala bentuk dan karakteristiknya, maka boleh jadi al-Qur’an tidak akan memberikan manfaat apa-apa kecuali semakin membuat kerugian untuk selama-lamanya. Al-Razi menegaskan bahwa dengan tabbarruk membaca al-Qur’an bisa menangkal berbagai penyakit. Menurutnya, ketika mayoritas para ahli filsafat dan ahli perdukunan mengakui bahwa bacaan mantra yang tidak diketahui artinya dan 17 18
Lihat Ibid., Jilid 9, jus 17-18, h. 92. Lihat al-Alusi, Ruh al-Ma`ani. Jilid 6, jus 11-12. h. 132 Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 15
jimat yang sama sekali tidak bisa dipahami adalah mempunyai pengaruh yang besar dalam memberikan manfaat dan menangakal kerusakan. Apalagi membaca al-Qur’an al-’dhim yang di situ mengandung sebutan keagungan Allah dan menghormati malaikat muqarrabin, serta menyebutkan penghinaan terhadap setan, sudah barang tentu hal ini akan menjadi sebab tercapainya kemanfaatan agama dan dunia. Keterangan tersebut dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: من لم يستشف بءلقرأن فال شىءه هللا تعءلBarang siapa yang tidak berobat dengan al-Qur'an maka Allah Swt tidak akan menyembuhkannya.19 Di samping itu, keberadaan al-Qur'an selain berfungsi sebagai pembimbing, hidayah dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, Allah Swt juga menjelaskan keberadaan Al-Qur'an yang bisa menjadi sebab tercapainya kerugian dan kesesatan bagi orang-orang yang aniaya dan syirik kepada Allah Swt. Karena dengan mendengar ayat-ayat al-Qur'an itu dapat meningkatkan kejengkelan, kemarahan, dendam dan kedengkian mereka, Sederetan sikap tersebut adalah merupakan akhlak tercela yang dapat mendorongnya pada tindakan yang sesat, kemudian berkembang untuk memperkuat akhlak yang rusak pada tataran substansi jiwanya, kemudian akhlak yang rusak ini mengambil posisi pada jiwanya secara terus-menerus dan berpengaruh pada perbuatan yang rusak, sehingga implikasi dari perbuatan ini dapat memperkokoh akhlak tercela. Dengan cara-cara demikian ini, maka al-Qur'an bisa menjadi sebab meningkatnya kerugian, kesesatan, dan siksaan bagi orang-orang musyrik. Selanjutnya, Allah Swt menjelaskan sumber utama yang menyebabkan mereka terperangkap pada kesesatan, kerugian, dan siksaan, yaitu: cinta akan harta, kekayaan, pangkat dan mereka berkeyakinan bahwa semuanya itu hanya diperoleh melalui usaha sungguh-sungguh dan kerjakeras mereka semata.20 Kandungan ayat-ayat al-Qur’an juga telah diakui dan dibeberkan secara panjang lebar oleh al-Syatibiy yang antara lain menyatakan bahwa al-Qur’an adalah mengandung penjelasan atas segala persoalan dengan menunjuk pada beberapa ayat al-Qur’an yang menjadi pijakannya, yaitu: QS al-Maidah: 3, al-Nahl: 89 al-An`am: 38 dan al-Isra': 9. Menurutnya, kalau sekiranya cakupan makna ayatayat tersebut belum ditemukan secara keseluruhan, maka hakekat kemutlakan maknanya harus tetap diberlakukan. Misalnya ayata al-Qur’an yang menjelaskan bahwa al-Qur’an adalahص ُدور ُّ شِ َىء ٌ ِل َمء ِف ال-penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada. Menurutnya, meskipun al-Qur’an belum diketahui dapat menyembuhkan keseluruhan yang ada di dalam dada manusia, namun ayat 19Lihat
al-Razi Tafsir, Jilid 11, Jus 21, h. 33-35. Keyakinan mereka ini identik dengan pernyataan Karun yang dikisahkan dalam QS Al-Qa¡a¡ [28/49]:78 sebagai berikut. )03 :قال إمنا أوتيته على علم عندي أومل يعلم أن اهلل قد أهلك من قبله من القرون من هو أشد منه قوة وأكثر مجعا وَّل يسأل عن ذنوِّبم اجملرمون ( القصص Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka (QS alQashshash[28/49]: 77). 20
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 16
tersebut harus tetap diberlakukan secara mutlak, bahwa di dalam al-Qur’an betulbetul menjelaskan segala sesuatu,21 sehingga Al-Qur'an yang berkedudukan sebagai sumber bimbingan konseling itu benar-benar tetap memberikan manfaat secara mutlak dan lebih sempurna cakupan maknanya bagi siapa saja yang berpegang teguh pada al-Qur’an, ia dapat memberikan keselamatan bagi orangorang yang mengikuti petunjuknya.al-Qur’an tidak menutup dan menyesatkannya, tetapi membuka, menunjukkan dan meluruskannya pada jalan yang benar.22 Dengan demikian, implikasi bimbingan konseling Qur’ani dalam kehidupan umat manusia antara lain dapat dipetakan menjadi tiga aspek, yaitu: ruhaniah, jasmaniah, dan ijtima`iah. Pertama, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan kerohanian yang berada di dalam hati, sebagaimana diisyaratkan dalam QS Yûnus [10/51]: 57, ... ور ُّ شِ َىء ٌ لِ َمء ِف ال ِ ص ُد Kedua, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan jasmaniah yang terkait dengan fisik manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Nahl [16/70]: 69, ... ءس ِ فِي ِه شِ َىء ٌ لِل َّن... Ketiga, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sumber bimbingan konseling terhadap segala gangguan secara holistik (ijtimaiyyah) yang terkait dengan masyarakat dan lingkungannya, ُ ِ َو َي ْشف... sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Taubah [9/113]: 14. ِين َ ور َق ْو ٍم م ُْؤ ِمن َ ص ُد Penutup Secara spesifik, impilikasi dan manfaat bimbingan konseling Qur’ani, antara lain dapat dipetakan menjadi tiga aspek, yaiitu: eksternal, internal dan global sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Taubah [9/113]: 14 dan 15 yang erat kaitannya dengan ayat 13 sebagai bentuk dan macam-macam gangguan eksternal dan internal Pertama, bimbingan konseling Qur’ani dapat menyembuhkan gangguan eksternal (Shadr), termasuk di dalamnya adalah (a) terwujudnya kekuatan dalam membersihkan berbagai gangguan fisik, (b) terwujudnya kekuatan dalam membersihkan berbagai gangguan psikis, (c) terwujudnya kekuatan dalam membersihkan sumber gangguan (kerusakan akidah dan akhlak tercela). Kedua, bimbingan konseling Qur’ani dapat menyembuhkan gangguan internal (Qalb), termasuk di dalamnya adalah (a) terwujudnya kekuatan yang dapat melegakan hati orang-orang yang beriman (kesembuhan akidah), (b) terwujudnya kekuatan yang dapat menghilangkan panas hati orang-orang yang beriman (kesembuhan akhlak); Ketiga, bimbingan konseling Qur’ani dapat menyembuhkan sumber gangguan (Rûh), termasuk didalamnya adalah (a) terwujudnya kekuatan dan kesucian maupun kesehatan akidah orang-orang yang beriman di sisi Allah swt. (b) terwujudnya kekuatan dan kebersihan maupun kesehatan akhlak orang-orang yang beriman di sisi Allah swt.
21Lihat
Abu Ishaq Al-Syathibi (w.790 H.), Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syai`ah (Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, tth), Jilid 2, jus 3. h. 276 22 Kata " "ماpada QS Yunus [10/51]: 57 tersebut menunjuk pada pengertian secara umum. Lihat alSyathibi, Al-Muwafaqat, Jilid 2, jus 3, h. 276-277. Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 17
Dengan demikian pringkat dan struktur pelaksanaan bimbinggan konseling Qur’ani menunjukkan bahwa bimbingan konseling fisik lebih ringan daripada bimbingan konseling ruhani atau dengan kata lain bahwa bimbingan konseling terhadap kerusakan akidah dan akhlak tercela lebih berat daripada bimbingan konseling terhadap kerusakan fisik dan psikis. Bimbingan konseling terhadap kerusakan akidah lebih berat daripada bimbingan konseling terhadap kerusakan akhlak. Untuk itu, bimbingan konseling terhadap kerusakan akidah merupakan praktek bimbingan konseling paling berat, namun jika bimbingan kaonseling Qur’an ini mampu menembus pada akar masalah yang terdalam, makan manfaatnya akan menjadi lebih besar dan berpengaruh pada berbagai jaringan lainnya.
Daftar Pustaka al-Alusi, Abu al-Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Baghdadi, Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al-`Adhim wa al-Sab` al-Matsani (Beirut: Dar al-Kutb alIlmiah, 1994.). al-Ashfahaniy, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1997). Ibnu `Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir. Ibn Faris Ibn Zakaria, Abu al-Husain Ahmad, Mu`jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, tth.) Ibn Manzur al-Anshariy (w.711), Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram Lisan alArab (al- Dar al-Mishriyah, tth). Denny, Frederick M. “Islamic Ritual, Perspectives and Theories,” dalam Richard Martin (Ed.) Approaches to Islam in Religious Studies (Tucson: The University or Arizona Press, 1985). Rosyidan “Konseling Berorientasi Islami” dalam Jurnal Ilmu Dakwah (Surabaya, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol.3, No.2 Oktober 2000). Shadily, John M. Echols dan Hasan, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1990). Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentra Hati, 2002). Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an
A s w a d i | 18
al-Syathibi (w.790 H.), Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syai`ah (Beirut: Dar alKutub al-`Ilmiyyah, tth).
Replika Bimbingan Konseling dalam Perspektif Al-Qur’an