RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS, KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009 Penny Pujowati A251060031
ABSTRACT PENNY PUJOWATI. Management Plan of Agroforestry Landscape on Karang Mumus River Basin, East Kalimantan. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN and WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Karang Mumus river basin of 32,196.3 ha is a part of subwatershed of the down stream of Mahakam. Land use change on Karang Mumus river basin causes various environmental problems, it’s included land degradation, floods, wildlife extinction, contribution to climate change and global warming, etc. Environmental problems that took place in the process of land use requires suitable management plan. The objectives of the research are 1) to evaluate and to analyze the landscape character of Karang Mumus river basin, 2) to analyze agroforestry landscape driven factors, and 3) to establish recommendation for management plan of sustainable land use based on agroforestry landscape. The technique of data processing analysis was done with temporal and spatial analysis, land suitability evaluation, sedimentation evaluation, sosio-economic analysis, policy analysis, and analytical hierarchy process (AHP). The result of analysis shows that the landscape character of Karang Mumus river basin are landscape forms of flat-undulating-hilly with actual land use and land cover as forest conservation of 219.7 ha (0.7%); forest secondary of 2,540.5 ha (7.8%); dry land agriculture of 99.3 ha (0.3%); wet land agriculture of 807.8 (2.5%); shrub of 25,762.1 (79.3%); abandon land of 712.7 ha (2.2%); and settlement of 1,926.9 ha (5.9%). It’s found that the driven factors of agroforestry landscape are policy, socio-cultural-economy, and physical-biological factors. Management concept of agroforestry landscape should be integrated agroforestry. Allocation for integrated agroforestry land use as follows: area protected of 12,972.8 ha (39.2%); area conservation of 3,475.5 ha (10.5%), dry land agriculture of 6,056.5 ha (18.3%); wet land agriculture of 7,342.4 ha (22.2%), and settlement of 3,256.3 ha (9.8%). Key words: agroforestry, agroforestry landscape, driven factors, landscape, management plan
RINGKASAN PENNY PUJOWATI. Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia memiliki permasalahan besar yang harus dihadapi, antara lain, degradasi lahan, banjir, kepunahan flora dan fauna, serta kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Daerah aliran sungai Karang Mumus dengan luas 32.196,3 ha merupakan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama, pada saat ini terdapat areal lahan kritis seluas 9.106 ha. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengevaluasi dan menganalisis karakter lanskap DAS Karang Mumus, 2) menganalisis faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri, dan 3) menyusun rekomendasi rencana pengelolaan lanskap agroforestri. Penelitian dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus yang merupakan subsub-DAS Mahakam Hilir. Pelaksanaan penelitian di lapang mulai Februari sampai Maret 2008. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, evaluasi sedimentasi, analisis sosial ekonomi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik (AHP). Berdasarkan analisis spasial dan temporal yang dilakukan terhadap citra satelit Landsat tahun 1992 dan 2007, komposisi luasan permukiman meningkat dari 1.277,1 ha menjadi 1.926,9 ha atau meningkat seluas 649,8 ha (50,9%); lahan terbuka meningkat dari 119,5 ha menjadi 712,7 ha atau meningkat seluas 593,2 ha (495,5%); semak belukar meningkat dari 25.297,4 ha menjadi 25.762,1 ha atau meningkat seluas 464,7 ha (1,8%). Sebaliknya, tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan basah berkurang dari 1.034,8 ha menjadi 807,8 ha atau berkurang seluas 226,9 ha (21,9%); pertanian lahan kering berkurang dari 170,9 ha menjadi 99,3 ha atau berkurang seluas 71,6 ha (41,9%); hutan sekunder berkurang dari 3.969,5 ha menjadi 2.540,5 ha atau berkurang seluas 1.429,0 ha (36,0%). Sebagian besar berkurangnya luasan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder disebabkan oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan sebagai permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka. Berdasarkan hasil evaluasi, kesesuaian lahan untuk kawasan lindung memperlihatkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 8.810,5 ha (27,1%); cukup sesuai (S2) seluas 12.805,4 ha (39,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 7.947,5 ha (24,5%); tidak sesuai (N) seluas 2.936,6 ha (9,0%). Kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi menunjukkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 3.475,5 ha (10,7%); cukup sesuai (S2) adalah 682,3 ha (2,1%); sesuai marjinal (S3) adalah 647,7 ha (2,0%); tidak sesuai (N) adalah 27.694,5 ha (85,2%). Kelas kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering memperlihatkan hasil yang sangat sesuai seluas 20.009,7 ha (61,6%); cukup sesuai (S2) seluas 2.237,9 ha (6,9%); sesuai marjinal (S3) seluas 8.580,2 ha (26,4%); tidak sesuai (N) seluas 1.672,1 ha (5,1%). Kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah memperlihatkan hasil yang sangat sesuai (S1) seluas 12.802,5 ha (39,4%); cukup sesuai (S2) seluas 8.264,5
ha (25,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 2.381,0 ha (7,3%); tidak sesuai (N) seluas 9.051,9 ha (27,9%). Kelas kesesuaian lahan untuk permukiman menunjukkan hasil yang sangat sesuai 19.520,1 ha (60,1%); cukup sesuai (S2) seluas 2.745,7 ha (8,4%); sesuai marjinal (S3) seluas 362,9 ha (1,1%); tidak sesuai (N) seluas 9.871,3 ha (30,4%). Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun 2000, hasil sedimen yang diperoleh adalah sebesar 1.010.976,3 ton/tahun, meningkat menjadi 2.819.698,4 ton/tahun pada tahun 2002. Terjadi peningkatan sebesar 1.808.722,1 ton atau sekitar 178,9%. Prediksi hasil sedimen yang dihasilkan pada tahun 2008 adalah sebesar 8.245.864,7 ton/tahun. Berdasarkan analisis sosial-ekonomi, diperoleh laju pertumbuhan penduduk DAS Karang Mumus sebesar 4,9% per tahun. Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2012 adalah 276.756 jiwa, kepadatan geografis 879 jiwa/km2, dan kepadatan agraris mencapai 9 jiwa/ha. Tipe penggunaan lahan pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah memberikan hasil yang menguntungkan dengan rasio B/C = 2,7, pertanian lahan kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) juga memperlihatkan hasil yang layak untuk diusahakan dengan rasio B/C berturut-turut adalah 1,2, 2,8, dan 3,4. Kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Samarinda pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp. 842.000,- per bulan, memperlihatkan bahwa KHL untuk lima orang anggota keluarga petani adalah sebesar Rp. 50.520.000,-. Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah telah dan sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk penanganan DAS Karang Mumus. Pemerintah telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit berupa tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, dan tanaman penyedia energi. Menurut penilaian responden, faktor kebijakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap rencana pengelolaan lanskap agroforestri dengan bobot 0,59. Selanjutnya, faktor pendorong kedua dan ketiga adalah faktor sosialekonomi-budaya dengan bobot 0,25 dan faktor biologi-fisik dengan bobot 0,16. Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus memperlihatkan bentuk bentang lahan datar, bergelombang, dan berbukit. Tipe penutupan dan penggunaan lahan aktual adalah hutan konservasi seluas 219,7 ha (0,7%); hutan sekunder seluas 2.540,5 ha (7,8%); pertanian lahan kering seluas 99,3 ha (0,3%); pertanian lahan basah seluas 807,8 (2,5%); semak belukar seluas 25.762,1 (79,3%); lahan terbuka seluas 712,7 ha (2,2%); bendungan seluas 408,9 ha (1,3%); permukiman seluas 1.926,9 ha (5,9%). Faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri adalah kebijakan, sosial-ekonomi-budaya, dan biologi-fisik. Konsep pengelolaan yang direkomendasikan adalah agroforestri terintegrasi. Alokasi penggunaan lahan mencakup kawasan lindung seluas 12.972,8 ha (39,2%); kawasan konservasi seluas 3.475,5 ha (10,5%); pertanian lahan kering seluas 6.056,5 ha (18,3%); pertanian lahan basah seluas 7.342,4 ha (22,2%); permukiman seluas 3.256,3 ha (9,8%). Alternatif rencana pengelolaan adalah dengan mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan, yaitu relokasi permukiman tepi sungai, konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS, KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Christine Wulandari
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur Penny Pujowati A251060031 Arsitektur Lanskap
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, M.Agr. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr.
Tanggal Ujian: 27 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Tesis yang berjudul ”Rencana
Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan pendanaan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-ICRAF. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara serta instansi-instansi yang terkait, pihak akademis Universitas Mulawarman atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan ARL, Nurfaida, Euis Puspita Dewi, Siti Zulfa Yuzni, Wulan Sarilestari, Noril Milantara, Dudun Abdurrahim, Nursalam, dan Andi Chairul Achsan atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir, serta Dwi Aryanti atas dukungan yang diberikan. Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan adik-adik atas kasih sayang, motivasi, dan doa tulus yang tidak pernah berhenti, khususnya kepada suami dan anak-anak atas motivasi, doa, dan kesabaran yang diberikan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Samarinda
dan
Kabupaten
Kutai
Kartanegara
serta
pihak-pihak
yang
berkepentingan terhadap pengelolaan DAS Karang Mumus. Bogor, Januari 2009 Penny Pujowati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanggul, Jember, pada tanggal 31 Januari 1977 dari Bapak Sukur Harianto dan Ibu Endang Susilowati. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tenggarong dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Mulawarman Samarinda melalui jalur penelusuran minat dan bakat daerah. Penulis memilih Program Studi Agronomi, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap penulis peroleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari DIKTI. Sebelum diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman pada tahun 2005, penulis mengabdi pada Dinas Pendidikan Nasional sebagai Guru Tidak Tetap di SMP Negeri 3 Tenggarong sejak tahun 1999. Pada tahun 2000, penulis menikah dengan Kusdiyanto Yusman, anak kelima dari Bapak Moenahid dan Ibu Djumiah. Penulis dikaruniai dua orang anak, yaitu Amara Ratih Adibny (7 tahun) dan Muhammad Fakhri (3 tahun).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi I.
PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.3. Manfaat Penelitian .........................................................................
1 1 4 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1. Lanskap .......................................................................................... 2.2. Agroforestri .................................................................................... 2.2.1. Definisi ............................................................................... 2.2.2. Fungsi dan Peran Agroforestri ........................................... 2.3. Lanskap Agroforestri .................................................................... 2.4. Faktor-Faktor Pendorong .............................................................. 2.5. Rencana Pengelolaan ..................................................................... 2.5.1. Terintegrasi (Terpadu) ........................................................ 2.5.2. Ekologis .............................................................................. 2.5.3. Ekonomis .............................................................................
5 5 6 6 7 10 12 14 14 15 16
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 3.2. Bahan dan Alat ............................................................................... 3.3. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 3.4. Tahapan Penelitian ......................................................................... 3.4.1. Prasurvei .............................................................................. 3.4.2. Pengumpulan Data Spasial dan Nonspasial ........................ 3.4.3. Pengolahan Data ................................................................. 3.4.3.1. Analisis Spasial dan Temporal ............................. 3.4.3.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan .................................. 3.4.3.3. Analisis Sosial Ekonomi ...................................... 3.4.3.4. Evaluasi Sedimentasi ........................................... 3.4.3.5. Analisis Kebijakan ............................................... 3.4.3.6. Proses Hirarki Analitik (AHP) ............................. 3.4.4. Penyusunan Rekomendasi ...................................................
18 18 18 21 23 24 25 25 26 27 31 32 33 33 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 4.1. Karakteristik Lanskap DAS Karang Mumus ................................. 4.1.1. Faktor Biologi-Fisik ............................................................ 4.1.1.1. Topografi .............................................................. 4.1.1.2. Kemiringan Lereng .............................................. 4.1.1.3. Geologi ................................................................. 4.1.1.4. Jenis Tanah ........................................................... 4.1.1.5. Iklim .....................................................................
37 37 37 37 37 38 38 39
xiv
V.
4.1.1.6. Jenis Vegetasi dan Satwa ................................... 4.1.1.7. Hidrologi ............................................................ 4.1.1.8. Pola-Pola Agroforestri ....................................... 4.1.1.9. Aksesibilitas ....................................................... 4.1.1.10. Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 4.1.1.11. Kesesuaian Lahan ............................................... 4.1.1.12. Sedimentasi ......................................................... 4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya .......................................... 4.2.2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ...................... 4.2.2.2. Umur Responden ................................................ 4.2.2.3. Tingkat Pendidikan Responden ......................... 4.2.2.4. Jumlah Tanggungan Keluarga ............................ 4.2.2.5. Kelayakan Usaha Tani dan Kebutuhan Hidup Layak ....................................................... 4.2.2.6. Latar Belakang Budaya dan Keinginan Masyarakat .......................................................... 4.2.3. Faktor Kebijakan .................................................................
40 41 42 44 46 52 61 63 63 64 65 66
4.2. Faktor-Faktor Pendorong Pengelolaan Lanskap Agroforestri ........ 4.2.1. Faktor Kebijakan ................................................................. 4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya .......................................... 4.2.3. Faktor Biologi-Fisik ............................................................ 4.2.4. Alternatif Rencana Pengelolaan ..........................................
74 75 76 77 78
4.3. Pengelolaan Lanskap Agroforestri .................................................
79
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 5.2. Saran ...............................................................................................
98 98 99
67 69 70
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 100 LAMPIRAN..................................................................................................... 106
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan analisis data .
20
2. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan dan pengertiannya ..............................
29
3. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan lindung ...............................
30
4. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ...........................
30
5. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering .......................
30
6. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah ........................
31
7. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk permukiman ......................................
31
8. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty .......
35
9. Kelas kemiringan lereng DAS Karang Mumus ........................................
37
10. Luasan formasi geologi di DAS Karang Mumus ......................................
38
11. Hasil analisis data iklim DAS Karang Mumus tahun 1998 - 2007 ...........
39
12. Deskripsi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada DAS Karang Mumus .................................................................................
47
13. Komposisi tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tahun 1992 dan 2007 ..............................................
47
14. Hasil evaluasi kesesuaian lahan DAS Karang Mumus .............................
53
15. Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus .................................
61
16. Perkiraan jumlah, kepadatan geografis, dan kepadatan agraris penduduk DAS Karang Mumus ................................................................
63
17. Jumlah anggota keluarga responden .........................................................
67
18. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh faktor-faktor pendorong ...............
74
19. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor kebijakan .........................................................................................
75
20. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor sosial-ekonomi-budaya ...................................................................
76
21. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor biologi-fisik ...............................................................................................
77
22. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh alternatif pengelolaan terhadap tujuan ..........................................................................................
78
23. Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus ..............................................
79
24. Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada daerah hulu, tengah dan hilir......................................................................
90
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Strategi sistem pengelolaan lahan secara segregate (terpisah) atau integrate (terpadu) pada skala bentang lahan .....................................
12
2. Lima kelompok besar faktor-faktor pendorong underlying yang mempengaruhi proximate causes dari penggundulan hutan ............
13
3. Peta lokasi penelitian ................................................................................
19
4. Bagan alir kerangka pemikiran .................................................................
22
5. Tahapan penelitian .....................................................................................
23
6. Lokasi contoh penelitian ...........................................................................
24
7. Bagan alir proses analisis spasial dan temporal ........................................
26
8. Pendekatan dua tahap dalam metode evaluasi lahan ................................
28
9. Struktur hirarki rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus .............................................................................
34
10. Banjir di Kota Samarinda ..........................................................................
41
11. Pemanfaatan pekarangan ...........................................................................
44
12. Keberadaan vegetasi yang melintang di tengah sungai Karang Mumus ..........................................................................................
45
13. Permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai Karang Mumus ..
45
14. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra Landsat TM 1992) ..........................................................................
48
15. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra Landsat TM 2007) ..........................................................................
49
16. Contoh kombinasi komponen agroforestri secara horisontal dalam skala lanskap ...................................................................................
52
17. Peta kesesuaian lahan kawasan lindung ....................................................
54
18. Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi ...............................................
55
19. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan kering ...........................................
57
20. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan basah ............................................
58
21. Peta kesesuaian lahan permukiman............................................................
60
22. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur ...............
64
23. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ...................................
66
24. Latar belakang budaya masyarakat ............................................................
69
25. Seni dan budaya Dayak Kenyah ................................................................
73
xvii
26. Peta alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi ...
83
27. Alat pengolah air bersih ............................................................................
85
28. Potensi wisata sungai ................................................................................
88
29. Kondisi lahan pertanian di DAS Karang Mumus ......................................
94
30. Contoh penerapan teknologi pertanian pada lahan berlereng ...................
94
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Batasan istilah ............................................................................................ 106 2. Karakteristik dan kualitas lahan pada sistem lahan DAS Karang Mumus
107
3. Cara penilaian tekstur tanah, kesuburan tanah, dan indikasi erosi ............ 108 4. Cara penilaian drainase tanah, banjir, dan batuan tersingkap ................... 109 5. Kuisioner AHP .......................................................................................... 110 6. Peta kemiringan lereng DAS Karang Mumus ........................................... 117 7. Peta geologi DAS Karang Mumus............................................................. 118 8. Deskripsi formasi geologi penyusun kawasan DAS Karang Mumus ........ 119 9. Peta jenis tanah DAS Karang Mumus........................................................ 120 10. Peta hidrologi DAS Karang Mumus .......................................................... 121 11. Peta sistem lahan DAS Karang Mumus ..................................................... 122 12. Analisis finansial pertanian lahan basah (padi sawah) dengan luas tanam 1 ha .............................................................................. 123 13. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis) dengan luas tanam 1 ha .............................................................................. 124 14. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis unggul) dengan luas tanam 1 ha .............................................................................. 125 15. Analisis finansial pertanian lahan kering (cabai) dengan luas tanam 1 ha .............................................................................. 126 16. Kebutuhan hidup layak berdasarkan harga barang konsumtif di DAS Karang Mumus (2008) .................................................................. 127
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang dari barat sampai ke
timur.
Indonesia
memiliki
berbagai
macam
lanskap
yang
indah,
keanekaragaman hayati yang tinggi, dan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Berbagai macam lanskap, penggunaan lahan, dan penutupan lahan di Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat sebagai akibat dari faktor perekonomian, kependudukan, dan kebijakan, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi dan politik. Perkembangan ekonomi dan berbagai infrastruktur telah menghubungkan berbagai wilayah, mulai dari pegunungan, dataran rendah sampai dengan wilayah perbatasan Indonesia. Keterhubungan ekonomi, sosial, dan biofisik di dalam lanskap merupakan sumber untuk kemampuan masyarakat dalam menyediakan keamanan pangan, mata pencarian, dan jasa lingkungan untuk masyarakat luas. Oleh karena itu, fungsi dari keseluruhan lanskap menjadi penting untuk dipahami (Arifin et al., 2008). Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia memiliki permasalahan kemiskinan dan bencana alam. Bencana alam yang terjadi, antara lain, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kepunahan keanekaragaman hayati, dan juga kekeringan. Banyak kegiatan pembangunan di dalam era otonomi daerah yang dilakukan berdampak pada konflik pengelolaan sumber daya alam. Implikasi pengelolaan sumber daya alam yang tidak tepat adalah suatu perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol yang umumnya terjadi dalam bentuk deforestasi dan pengkonversian lahan pertanian ke arah non-pertanian (FAO, 1990). Adanya perubahan tata guna lahan yang intensif pada lanskap seperti alihguna lahan hutan menjadi lahan pertanian, lahan pertanian menjadi permukiman, dan seterusnya disadari menimbulkan banyak permasalahan. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialihgunakan menjadi lahan usaha lain. Daerah aliran sungai (DAS) sebagai suatu daerah penting dengan batas ekologis merupakan satu kesatuan kawasan hulu dan hilir yang harus dikelola secara terintegrasi. Perubahan yang terjadi pada satu kawasan akan berpengaruh
2
terhadap kawasan yang lain. Aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tata guna lahan yang dilakukan di kawasan hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di kawasan yang merupakan tempat perubahan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya (Asdak, 2007). Uraian di atas menunjukkan bahwa secara biogeofisik kawasan hulu dan hilir DAS mempunyai keterkaitan. Masalah degradasi lingkungan yang terjadi sering kali berpangkal pada komponen
manusia.
Pertumbuhan
penduduk
yang
cepat
menyebabkan
meningkatnya berbagai kebutuhan hidup. Perbandingan jumlah penduduk tidak seimbang dengan luasan lahan pertanian, keterbatasan lapangan kerja, dan minimnya pendapatan. Keadaan tersebut mendorong sebagian masyarakat untuk merambah hutan, menggunakan lahan marjinal untuk lahan pertaniannya dengan mengabaikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Hal ini menyebabkan meningkatnya areal lahan kritis pada suatu lanskap. Demikian pula yang terjadi pada kawasan DAS Karang Mumus. Daerah aliran sungai Karang Mumus dengan luas 32.196,3 ha merupakan DAS di Kalimantan Timur dengan tingkat kerusakan prioritas pertama, pada saat ini terdapat areal lahan kritis seluas 9.106 ha (Timpakul, 2007). Semakin luasnya areal lahan kritis dan tingginya intensitas curah hujan menyebabkan sering terjadi bencana banjir di DAS Karang Mumus, terutama di pusat Kota Samarinda. Bencana banjir terbesar terjadi pada tanggal 31 Juli 1998. Pada tahun 2008, banjir terjadi hampir setiap kali turun hujan dengan intensitas yang cukup deras. Fenomena terjadinya banjir tersebut selain diakibatkan oleh curah hujan yang turun relatif deras, juga pada saat yang bersamaan ditopang oleh arus balik (back water) limpasan air dari sungai Mahakam yang sedang dalam kondisi air pasang di bagian hilir wilayah Kota Samarinda. Selain itu, adanya kontribusi limpasan permukaan (runoff) yang relatif besar dan laju tanah yang tererosi yang berasal dari kawasan DAS Karang Mumus sebagai sumber sedimen atau pendangkalan pada sungai (DPU, 2003). Perubahan pola penutupan dan penggunaan lahan juga berpengaruh terhadap penurunan potensi kawasan DAS Karang Mumus yang disebabkan oleh semakin
3
meluasnya penggunaan lahan untuk permukiman. Hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan lahan atau kawasan resapan air yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya banjir. Bencana kebakaran hutan, kebakaran lahan, dan perambahan hutan yang terjadi di DAS Karang Mumus selain menyebabkan berkurangnya vegetasi dan satwa khas Kalimantan Timur juga dapat mempercepat proses terjadinya banjir. Untuk itu, perlu adanya upaya pengelolaan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di DAS Karang Mumus. Lahan-lahan kritis di DAS Karang Mumus yang pada mulanya adalah lahan hutan merupakan lahan yang memiliki kesuburan tanah yang rendah, siklus nutrisi yang berjalan cepat pada ekosistem hutan, lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan vegetasi pohon, curah hujan tinggi, dan tanah yang mudah tererosi. Suatu pola pertanaman antara tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat didesain untuk mendapatkan keadaan yang optimal dalam usaha tani yang dilakukan (Riyanto & Riyanto, 1981). Pola pertanaman yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu sistem agroforestri, yaitu agroforestri sederhana. Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat ini, agroforestri tidak hanya terbatas pada kombinasi tanaman semusim dan tanaman tahunan saja, tetapi juga dapat dikombinasikan dengan hewan ternak bahkan dengan ikan. Kombinasi berbagai jenis tanaman semusim, tanaman tahunan, hewan ternak, dan ikan merupakan sistem agroforestri kompleks. Pada bentang lahan, bentuk-bentuk kombinasi ini terdapat dalam berbagai tipe penutupan dan penggunaan lahan baik secara monokultur maupun campuran yang disebut dengan lanskap agroforestri. Lanskap agroforestri terbagi menjadi dua sistem penutupan dan penggunaan lahan yaitu sistem penutupan dan penggunaan lahan tersegregasi dan sistem penutupan dan penggunaan lahan terintegrasi. Lanskap agroforestri dengan keragaman komponen di dalamnya mempunyai fungsi, yaitu a) mempertahankan pengelolaan sumber daya air (water resources management); b) mempertahankan cadangan karbon (carbon stock); (c) mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity); dan d) mempertahankan keindahan lanskap (landscape beautification) (Suyanto & Khususiyah, 2006; Hairiah et al., 2008). Dengan demikian, upaya pengelolaan yang dapat dilakukan di DAS Karang Mumus adalah dengan pengelolaan lanskap agroforestri.
4
Penelitian rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosial ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik (analytical hierarchy process/AHP). Berdasarkan hasil analisis kemudian dilakukan penyusunan rekomendasi rencana pengelolaan penggunaan lahan berbasis lanskap agroforestri. Melalui penelitian ini diharapkan bahwa pengelolaan lanskap agroforestri dapat menjadi alternatif dalam mengatasi permasalahan di kawasan DAS Karang Mumus.
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. mengevaluasi dan menganalisis karakter lanskap DAS Karang Mumus; 2. menganalisis faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri; dan 3. menyusun rekomendasi rencana pengelolaan penggunaan lahan berbasis lanskap agroforestri.
1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat 1. digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan sebagai dasar informasi alternatif skala regional untuk pertimbangan penerapan lanskap agroforestri sebagai salah satu penggunaan lahan yang berkelanjutan, dan 2. dijadikan acuan dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan sebagai bentuk harmonisasi kawasan hulu dan hilir melalui jasa lingkungan (environmental services).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Lanskap dapat didefinisikan sebagai area lahan heterogen yang tersusun dari suatu kelompok ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengembangan atau pembentukan lanskap diakibatkan oleh bekerjanya tiga mekanisme di dalam batas lanskap, yaitu berbagai proses geomorfologi khusus yang berlangsung dengan waktu yang lama, pola-pola kolonisasi dari berbagai organisme, dan gangguan-gangguan lokal dari berbagai ekosistem dengan waktu yang lebih singkat (Forman & Godron, 1986). Menurut Porteous (1996), lanskap adalah bagian dari pemandangan alam yang membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasikannya. Tipe-tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan, alam bebas, perdesaan, taman-taman, dan lanskap perkotaan. Selanjutnya menurut Antrop (2000), lanskap adalah konsep yang sangat kompleks, keadaan alam yang holistik yang dikenal dalam banyak ilmu geografi dan ekologi lanskap sebagai kumpulan fenomena alam yang luas, saling berhubungan, dan juga dinamis. Lebih lanjut definisi lanskap mengacu pada lingkungan manusia, lanskap merupakan suatu konsep yang abstrak, tidak memiliki batasan-batasan, dan mengacu pada bentuk seperti pemandangan, sistem, dan struktur. Pada penggunaan yang nyata, lanskap-lanskap dibagi dalam satu atau lebih bagian lahan yang telah ditentukan atau dibatasi. Lanskap adalah keadaan dan kondisi bentuk bentang alam di atas permukaan bumi (natural) dan atau yang merupakan hasil campur tangan budidaya manusia terhadap bentuk alami (artificial) (Subroto, 2004). Sebagai salah satu contoh deskripsinya adalah lanskap perdesaan. Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit untuk diubah, sedangkan unsur penunjang atau unsur minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simond & Starke, 2006).
6
2.2. Agroforestri 2.2.1. Definisi Agroforestri
adalah
sistem
penggunaan
lahan
terpadu
yang
mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau hewan ternak secara bersama-sama atau bergiliran untuk menghasilkan produk terpadu (Nair, 1991). Huxley (1999) mendefinisikan agroforestri sebagai berikut. 1. Agroforestri sebagai penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan, dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah dan ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. 2. Agroforestri sebagai penggunaan lahan yang mengombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antarkomponen tanaman. 3. Agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan. Menurut Hairiah et al. (2003), dari beberapa definisi agroforestri yang telah ada, dapat disimpulkan bahwa agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur seperti penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, komponen tanaman tahunan dan atau ternak atau hewan, waktu dapat bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, terdapat interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi. Di kalangan masyarakat, berkembang beberapa istilah yang sering dicampuradukkan
dengan
agroforestri.
Sebagian
masyarakat
ada
yang
7
memandang agroforestri adalah suatu kebijakan pemerintah atau status kepemilikan lahan, bukan sebagai sistem penggunaan lahan (Hairiah et al., 2003). Menurut De Foresta dan Michon (1997) diacu dalam Hairiah et al. (2003), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian yang di dalamnya pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah tampak fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder. Oleh karena itu, sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (ICRAF, 1996 diacu dalam Hairiah et al., 2003). Beberapa contoh sistem agroforestri kompleks di Indonesia yang sudah sejak lama dikenal dan diterapkan oleh masyarakat adalah sistem dusun di Maluku, lembo di Sendawar Kalimantan Timur, pekarangan di DAS Cianjur Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat (Arifin et al., 2003), serta kebun campuran dan talun di DAS Cianjur Jawa Barat (Arifin et al., 2001).
2.2.2. Fungsi dan Peran Agroforestri Melihat komposisinya yang beragam, agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan jika dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, dan lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Beberapa fungsi dan manfaat hutan bagi manusia dan kehidupan lainnya adalah sebagai berikut. a) Penghasil kayu bangunan (timber) Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan (timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi.
8
b) Sumber hasil hutan non-kayu (non timber forest product = NTFP) Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Selain kayu bangunan, hutan juga menghasilkan beraneka hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan, sayuran, dan keperluan rumah tangga lainnya (misalnya rotan dan bambu). c) Cadangan karbon (C) Salah satu fungsi hutan yang penting adalah sebagai cadangan karbon di alam karena C disimpan dalam bentuk biomasa vegetasinya. Alihguna lahan hutan mengakibatkan peningkatan emisi CO2 di atmosfer yang berasal dari hasil pembakaran dan peningkatan mineralisasi bahan organik tanah selama pembukaan lahan serta berkurangnya vegetasi sebagai lubuk C (C-sink). d) Habitat bagi fauna Hutan merupakan habitat penting bagi beraneka fauna dan flora. Konversi hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati atau biodiversitas berkurang. e) Filter Kondisi tanah hutan umumnya remah dan memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus-menerus dari daun-daun, cabang, dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah dan penyerapan air oleh tumbuhan hutan serta bentang lahan alami dari hutan, terjadi pengurangan limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah. Jadi, hutan berperan sebagai filter (saringan) dan pada peran ini sangat menentukan fungsi hidrologi hutan pada kawasan daerah aliran sungai (DAS). f) Sumber tambang dan mineral berharga lainnya Seringkali di bawah hutan terdapat berbagai bahan mineral berharga yang merupakan bahan tambang yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup manusia. Namun, pemanfaatan bahan tambang tersebut seringkali harus menyingkirkan hutan yang ada di atasnya.
9
g) Lahan Hutan menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri atas komponen-komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan sebagainya dinamakan ’lahan’.
Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai
kepentingan manusia sehingga dapat memiliki nilai ekonomi yang tinggi. h) Rekreasi Manfaat hutan sebagai tempat rekreasi ini jarang dibicarakan karena sulit untuk dinilai dalam rupiah. Banyak hutan dipakai sebagai ladang perburuan bagi orang yang memiliki hobi berburu. Hutan merupakan sumber pendapatan daerah dengan adanya eco-tourism yang akhir-akhir ini cukup ramai memperoleh banyak perhatian pengunjung baik domestik maupun manca negara. Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan.
Beberapa dampak positif sistem agroforestri
pada skala meso ini, antara lain, a) memelihara sifat fisik dan tanah,
kesuburan
b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan, c) mempertahankan
cadangan karbon, d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan e) mempertahankan keanekaragaman hayati (Widianto et al., 2003). Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon (C) dari atmosfer. Karbon yang berasal dari CO2 (karbondioksida) tersebut diambil oleh tumbuhan dan disimpan dalam bentuk biomassa.
Santoso (2003) menyatakan bahwa lahan
demplot agroforestri (tanaman pokok kedawung, trembesi, pakem, dan kemiri) memberikan potensi mitigasi sebesar 268 ton C/ha dan net present value (NPV) sebesar 2.458 US$/ha atau 9,2 US$/ton C. Dengan menambahkan tanaman buah (mangga, durian, dan rambutan), potensi mitigasi meningkat menjadi 311 ton C/ha dan NPV sebesar 3.346 US$/ha atau 10,8 US$/ton C. Metode yang dipergunakan dalam penelitian analisis potensi agroforestri untuk peningkatan rosot karbon ini adalah metode comprehensive mitigation assessment process (COMAP) dengan modul REFREGN. REFREGN adalah opsi reboisasi tanpa
10
adanya pemanenan kayu. Metode COMAP memerlukan input biomassa hutan yang diperoleh dengan pengukuran diameter pohon langsung di lapangan, sedangkan destructive sampling hanya dilakukan pada satu pohon kedawung. De Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis tanaman dalam agroforest sangat menakjubkan. Pada agroforest-agroforest yang terletak di dekat hutan alam, sangat sulit memperoleh daftar lengkap tanamannya. Di wilayah dekat desa dengan lahan yang umumnya lebih terawat, jumlah tanaman utama dapat dihitung. Semakin mendekati hutan, semakin besar dan beragam komponen tumbuhan liar. Mendaftar tanaman di agroforest semacam ini sama sulitnya dengan mendaftar tanaman di hutan primer.
Sebagai contoh,
kekayaan jenis dalam pekarangan dengan rata-rata luas lahan 188,2 m2, 218,7 m2, dan 562 m2 terdapat rata-rata jenis tanaman sebanyak 26,7 jenis, 40,4 jenis, dan 44 jenis (Arifin et al., 2001), sementara kurang lebih 300 jenis tanaman dapat ditemukan di lingkungan desa sekitar Bogor, Jawa Barat (Michon & Mary, 1994 diacu dalam Manurung, 2005).
2.3. Lanskap Agroforestri Pada suatu bentang lahan perdesaan di beberapa wilayah di Indonesia, dapat ditemukan tata guna lahan yang bervariasi antartapak. Bahkan pada beberapa kelompok masyarakat perdesaan, alokasi lahan dimusyawarahkan sebaik-baiknya berdasarkan kebutuhan bersama serta kesesuaian terhadap kondisi atau karakteristik tapak berdasarkan pengalaman tradisional. Sebagai contoh, pada masyarakat Dayak Kenyah di Batu Majang (Kalimantan Timur), selain areal yang digunakan sebagai permukiman (yang akan berkembang kebun pekarangan) terdapat juga kawasan desa yang dipertahankan sebagai hutan lindung (istilah setempat adalah Tana’ Ulen). Hutan lindung ini berfungsi sebagai pengatur tata air dan menyediakan bahan baku kayu secara terbatas (untuk keperluan komunal). Di samping Tana’ Ulen, terdapat pula lokasi yang diperuntukkan bagi kegiatan berladang. Beberapa lahan pertanian pada masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung dialokasikan bagi pengembangan perkebunan karet (Hevea brasiliensis), sehingga dalam skala bentang lahan, terdapat mosaik agroforestri (Sardjono, 1990 diacu dalam Sardjono et al., 2003). Interaksi antar sistem penggunaan lahan atau
11
kegiatan produksi tersebut terjadi atas dasar pertimbangan kebutuhan komunal dan karakter lingkungan yang dikenal baik oleh masyarakat (Sardjono et al., 2003). Agroforestri pada tingkat bentang lahan dewasa ini dalam lingkup kehutanan masyarakat (community forestry) seringkali disebut dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK/community based forest system management).
Meskipun
penekanan SHK diberikan pada wilayah-wilayah masyarakat adat atau tradisional (Mushi, 1998), tetapi mengingat sub-elemennya, antara lain, ladang, kebun, sawah, pekarangan, tempat-tempat yang dikeramatkan sebagai satu kesatuan yang integral dalam upaya komunal dari satu komunitas atau lebih, sistem ini dapat dikatakan sebagai suatu agroforestri. Dengan terjadinya interaksi dalam suatu bentang lahan di atas, maka agroforestri lebih dari sekedar pengkombinasian dua atau lebih elemen pemanfaatan lahan. Agroforestri juga dapat dilihat sebagai suatu jembatan politis untuk mengakomodasi kepentingan berbagai sektor terutama kehutanan dan pertanian (von Maydell, 1978 diacu dalam Sardjono et al., 2003).
Dengan demikian, agroforestri dapat mengubah dari situasi yang
disosiatif menjadi yang bersifat asosiatif (kooperasi, kolaborasi, ataupun koordinasi) (Sardjono et al., 2003). Isu spasial dari pengaturan tipe penutupan lahan agroforestri pada tingkat bentang lahan mengarah kepada isu segregate-integrate. Pada konsep sederhana ini, penutupan lahan secara segregate (terpisah) cocok untuk pencapaian tujuan yang ekstrim, yaitu sebagian area disediakan khusus untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan sebagian lagi khusus untuk pemenuhan tujuan produksi pertanian. Jika yang ingin dicapai keduanya, integrate-lah jawabannya (Van Noordwijk et al., 2001 diacu dalam Widianto et al., 2003). Keberadaan tipe penutupan lahan segregate-integrate ini digambarkan secara skematis pada Gambar 1.
12
Terpisah penuh
Terpadu penuh
Gambar 1. Strategi sistem pengelolaan lahan secara segregate (terpisah) atau integrate (terpadu) pada skala bentang lahan (Van Noordwijk et al., 2001 diacu dalam Widianto et al., 2003). Secara teori, segregate merupakan lahan pertanian dan hutan yang secara jelas terpisah satu sama lain, sedangkan integrate merupakan peleburan dari beberapa tipe penutupan dan penggunaan lahan (McNeely & Scherr, 2001).
2.4. Faktor-Faktor Pendorong Agroforestri terintegrasi (integrated agroforestry) adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan secara spasial berbagai tipe penutupan dan penggunaan lahan secara bersama-sama pada suatu lanskap atau bentang lahan.
Tipe-tipe penggunaan lahan tersebut terdiri atas berbagai komponen,
antara lain, kehutanan, pertanian, dan permukiman.
Dengan demikian,
agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat.
Sistem berkelanjutan ini dicirikan, antara lain,
dengan tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya kerusakan lingkungan (Sehe, 2007).
Hal ini dapat tercapai dengan
mengoptimalkan interaksi positif antarkomponen penyusun agroforestri (pohon, tanaman pertanian/cash crops, ternak atau hewan) atau interaksi komponenkomponen tersebut dengan lingkungannya. Adanya interaksi positif yang terjadi antara berbagai komponen penyusun agroforestri menyebabkan tidak hanya faktor biologi fisik saja, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya, serta kebijakan turut memegang peranan penting dalam
13
mempengaruhi tindakan-tindakan manusia dalam mengelola suatu lanskap agroforestri.
Dari hasil penelitian Saroinsong (2002), dapat dipelajari bahwa
faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan di DAS Cianjur berkaitan dengan alokasi penggunaan lahan secara agro-ekologis, terutama disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan kebijakan, yaitu (1) pertumbuhan populasi, (2) migrasi, (3) perubahan gaya hidup dan konsumsi, dan (4) pengaruh hukum, politik, dan ekonomi. Berdasarkan analisis dari 152 studi kasus kehilangan penutup hutan tropis (tropical cover loss), Geist dan Lambin (2002) mengembangkan kerangka kerja konseptual (Gambar 2) mengenai faktor-faktor pendorong alih fungsi lahan hutan di wilayah tropis. Proximate Causes (sebab-sebab yang berdampak langsung terhadap hutan)
Perluasan Infrastruktur
Faktor Demografi
Perluasan Daerah Pertanian
Faktor Ekonomi
Faktor Teknologi
Pengambilan Kayu
Faktor Politik dan Institusi
Faktor Lainnya
Faktor Budaya dan Sosiopolitik
Underlying Driving Forces (faktor-faktor pendorong yang berkaitan dengan situasi dan kebijakan dari suatu daerah atau negara)
Gambar 2. Lima kelompok besar faktor-faktor pendorong underlying yang mempengaruhi proximate causes dari penggundulan hutan (Geist & Lambin, 2002). Geist dan Lambin (2002), mendefinisikan proximate causes dari penggundulan hutan adalah aktivitas manusia, yang berasal dari penggunaan lahan untuk kebutuhan manusia dan yang memiliki dampak langsung pada penutupan hutan. Contoh-contoh dari proximate causes seperti ini adalah perluasan area pertanian, pengambilan kayu hutan, dan perluasan infrastruktur. Geist dan Lambin (2002) mendefinisikan kategori lainnya yang disebut faktor lain, yang juga mempunyai peranan penting dalam penggundulan hutan. Faktor ini termasuk
14
faktor-faktor lingkungan bawaan (pre-disposing) (misalnya, karakteristik lahan, termasuk kualitas tanah dan topografi), faktor pendorong biofisik (misalnya, kebakaran, kekeringan, banjir dan ledakan hama), dan juga faktor pendorong berupa kejadian-kejadian sosial (misalnya, revolusi, gangguan sosial, dan depresi ekonomi). Geist dan Lambin (2002) mendefinisikan underlying driving forces yang terkait dengan penggundulan hutan berasal dari proses-proses sosial yang mendasar, seperti dinamika populasi manusia atau kebijakan pertanian - yang juga mendorong faktor-faktor proximate - dan yang terjadi di tingkat lokal maupun yang memiliki dampak tidak langsung pada tingkat lokal (misalnya, kebijakan nasional atau internasional). Berikut ini adalah lima faktor yang paling berpengaruh, yaitu (1) demografi, (2) ekonomi, (3) teknologi, (4) politik dan institusi, dan (5) budaya dan sosiopolitik. Lebih lanjut disebutkan bahwa, tidak ada atau hanya sedikit perhatian yang diberikan terhadap tipe alih fungsi lahan hutan yang diterapkan, atau terhadap faktor yang menyebabkan terjadinya penggundulan hutan. Terkait dengan praktik pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah, dari berbagai faktor yang telah disebutkan di atas, pada awalnya masyarakat bermaksud melakukan pengelolaan hutan alam, tetapi seiring dengan berjalannya waktu pengelolaan tersebut pada akhirnya menjadi cikal bakal agroforestri (De Foresta et al., 2000). Terdapatnya berbagai keunggulan sistem pengelolaan lahan agroforestri jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan lahan lainnya menyebabkan pentingnya mempertimbangkan berbagai faktor pendorong pengelolaan lahan agroforestri.
2.5. Rencana Pengelolaan 2.5.1. Terintegrasi (Terpadu) Tujuan perencanaan penggunaan lahan secara garis besar adalah penggunaan terbaik dari lahan. Dalam konsep keberlanjutan (sustainability), hal ini lebih dispesifikkan lagi sebagai suatu situasi keseimbangan atau integrasi antara efisiensi, ekuitas, dan keberlanjutan penggunaan sumber daya alam (Hermanides & Nijkamp, 2000; Miranda, 2001). Dengan demikian, keberlanjutan penggunaan lahan
15
merupakan integrasi tiga dimensi, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, baik sekarang maupun masa yang akan datang, yang akan dijabarkan sebagai berikut. 1.
Dimensi ekonomi berhubungan dengan masalah-masalah efisiensi dan kesejahteraan seperti pendapatan, produksi, investasi pengembangan pasar, dan formasi harga. Penggunaan lahan harus layak secara ekonomi dalam arti memberikan keuntungan yang optimal, dengan kata lain, penggunaan lahan harus diarahkan pada aktivitas yang efisien dan produktif.
2.
Dimensi sosial memperhatikan masalah-masalah ekuitas atau masalah distribusi dan keadilan, seperti distribusi pendapatan, akses ke pasar, dan tingkat kesejahteraan hidup antarkelompok. Dengan kata lain, harus dikaji dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud.
3.
Dimensi lingkungan mengacu pada masalah-masalah kelestarian alam seperti polusi, keragaman lanskap, kualitas kehidupan, kelangkaan sumber daya, dan variabel-variabel lingkungan yang terkait dengan kemanusiaan. Penggunaan lahan dilakukan secara berkelanjutan, yaitu yang dapat memenuhi keperluan saat ini sekaligus mengawetkan sumber daya tersebut untuk generasi yang akan datang, hal ini memerlukan kombinasi antara produksi dan konservasi. Penggunaan lahan yang berkelanjutan menuntut adanya perencanaan yang
menggunakan pendekatan multi kriteria dalam pengambilan keputusan atau disebut juga perencanaan yang integratif serta memiliki ciri-ciri, yaitu a) identifikasi kelebihan dan kekurangan, atau pengenalan mengenai potensi dan kendala; b) penilaian dampak; c) pelibatan masyarakat dan proses pengambilan keputusan yang dinamis; d) pembuatan skenario-skenario dan pembandingan biaya dan manfaat terhadap beberapa alternatif yang baik; e) adanya negosiasi semua penentu keputusan dalam menangani konflik (Bellmann, 2000; Nardini, 2000; Miranda, 2001).
2.5.2. Ekologis Pengelolaan lanskap adalah tindakan yang dilakukan untuk mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah, dalam upaya pelestarian dan keberlanjutannya, meliputi sumber daya fisik dan biofisik,
16
lingkungan
binaan
yang
sesuai
dengan
undang-undang
yang
berlaku
(Wardiningsih, 2005). Pengelolaan lanskap berkelanjutan secara umum bertujuan mengurangi input dan output yang tidak diperlukan dalam upaya melindungi sumber daya alam (Kendle et al., 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa secara lebih spesifik pengelolaan lanskap berkelanjutan mempunyai tujuan, yaitu 1) menghemat penggunaan energi dan menyediakan sumber energi yang dapat diperbaharui; 2) menurunkan limbah cair, memilih tanaman yang sesuai dengan kondisi hidrologis setempat, serta mengumpulkan dan menggunakan kembali a i r limbah; 3) mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk buatan; 4) menghindari pemadatan tanah dan mendaur ulang limbah organik dalam tanah. Banyak sistem agroforestri yang dapat melindungi lahan lebih baik daripada sistem monocropping, baik di daerah dataran tinggi maupun di dataran rendah. Solusi-solusi yang terintegrasi diperlukan untuk dapat mengoptimalkan tata guna lahan pada daerah-daerah yang berbeda dari lanskap. Hairiah et al. (2003) mengemukakan bahwa agroforestri pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan pengembangan perdesaan serta pemanfaatan potensi-potensi dan peluang-peluang yang ada untuk kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian sumber daya beserta lingkungannya. Oleh karena itu, manusia merupakan komponen yang terpenting dari suatu sistem agroforestri. Manusia melakukan interaksi dengan komponenkomponen agroforestri lainnya dalam melakukan pengelolaan lahan.
2.5.3. Ekonomis Manfaat dari fungsi dan peran agroforestri terhadap aspek biofisik dan lingkungan tidak dapat langsung dan segera dirasakan oleh petani agroforestri sendiri, tetapi justru dinikmati oleh anggota masyarakat baik di sekitar lokasi maupun di lokasi yang jauh (misalnya di bagian hilir) dan bahkan secara global. Dengan kata lain, tindakan konservasi lahan yang diterapkan oleh petani agroforestri tidak banyak mendatangkan keuntungan langsung, bahkan seringkali petani harus menanggung kerugian dalam jangka pendek. Oleh sebab itu, ada
17
upaya untuk mengusahakan imbalan atau kompensasi bagi petani di bagian hulu jika mereka menerapkan usaha tani konservasi. Adanya kesenjangan antara produsen jasa lingkungan yang umumnya miskin dan berdomisili di hulu dengan penikmat jasa lingkungan di berbagai bagian dari bentang lahan seharusnya dapat dijembatani. Salah satu upaya menjembatani kesenjangan ini adalah dengan mengembangkan cara-cara pemberian nilai terhadap lingkungan, yaitu dengan mekanisme imbal jasa lingkungan untuk pengentasan kemiskinan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan, antara lain, mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS, mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran agroforestri tersebut, agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah & Utami, 2002 diacu dalam Widianto et al., 2003).
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah kawasan DAS Karang Mumus (Gambar 3) yang merupakan sub-sub-DAS Mahakam Hilir. DAS Karang Mumus secara geografis terletak pada 0°19’28,93 Lintang Selatan - 0°26’54,72” Lintang Selatan dan 117°12’06,24” Bujur Timur - 117°15’41,27” Bujur Timur. Secara administratif, DAS Karang Mumus berada di wilayah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Deliniasi kawasan DAS Karang Mumus meliputi a) bagian hulu DAS Karang Mumus termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kecamatan Muara Badak); b) bagian tengah DAS Karang Mumus termasuk ke dalam wilayah Kota Samarinda (Kecamatan Samarinda Utara); c) bagian hilir DAS Karang Mumus termasuk ke dalam wilayah Kota Samarinda (sebagian kecil Kecamatan Samarinda Ulu dan sebagian kecil Kecamatan Samarinda Ilir). Berdasarkan deliniasi, luas DAS Karang Mumus adalah 32.196,3 ha. Persentase luasan terbesar dari total luasan DAS Karang Mumus merupakan wilayah Kecamatan Samarinda Utara, dengan luas 27.780,0 ha (86,3%). Pelaksanaan penelitian dilakukan selama sepuluh bulan mulai Februari sampai November 2008, terdiri atas prasurvei, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan rekomendasi, dan penyusunan laporan. Prasurvei dan pengumpulan data di lapang dilakukan selama dua bulan mulai Februari sampai Maret 2008. Pengolahan data, penyusunan rekomendasi, dan penyusunan laporan dilakukan selama delapan bulan mulai April sampai November 2008. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah data biologi-fisik, sosial-ekonomi-budaya, kebijakan, peta rupa bumi Indonesia, dan citra satelit. Jenis, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan analisis dari data penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Alat yang digunakan selama penelitian adalah seperangkat komputer, kompas, scanner, ArcView versi 3.3, Erdas Imagine versi 8.5, kamera dijital, dan Global Positioning System (GPS).
19
Gambar 3. Peta lokasi penelitian
20
Tabel 1. Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan analisis data No.
Jenis data
Unit
Tahun
A. 1.
Biologi-Fisik Lokasi (letak dan luas)
m2
2003
2.
Iklim - Curah hujan
mm
Sumber
Posisi dengan tempat lain
1992-2007
BMG
Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan Modifikasi penggunaan lahan
Kesesuaian lahan
Indikator keberlanjutan
Evaluasi sedimentasi
Identifikasi faktor pendorong Identifikasi faktor pendorong
Analisis sosialekonomi Analisis sosialekonomi
o
C
1998-2007
BMG
- Kelembaban udara
%
2007
BMG
3.
Geologi
-
2003
Balitbangda
4.
Jenis tanah
-
2003
Survei, Balitbangda
5.
Topografi - Kemiringan lereng
%
2003
Survei, Balitbangda
m dpl
2003
Survei, Balitbangda
2004
Balitbangda
6.
7.
Hidrologi dan kualitas air sungai Karang Mumus Vegetasi
-
2003
Survei, Dinas terkait
8.
Tata guna lahan
-
2003
Survei, Dinas terkait
9.
Kesesuaian lahan berdasarkan sistem lahan (modifikasi dari FAO)
-
2004
10.
Sedimentasi
-
2000 dan 2004
Lab. Kartografi dan SIG, Ilmu Tanah, Unmul BP DAS MahakamBerau
B.
Sosial-BudayaEkonomi Jumlah dan kepadatan penduduk
jiwa
1992, 2001, dan 2007
BPS
-
2007
BPS
1.
2.
Pendapatan penduduk
Pendekatan
Survei, Pemkot
- Suhu udara
- Ketinggian
Kegunaan
Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan
21
Tabel 1. Lanjutan No.
Jenis data
Unit
Tahun
Sumber
3.
Pendidikan masyarakat
-
2007
BPS
4.
Latar belakang budaya
-
2007
Studi pustaka, kuisioner
5.
Aktivitas dan keinginan masyarakat
-
2007
Wawancara dan kuisioner
C. 1.
Kebijakan RTRW
-
2005
Bappeda
2.
Ringkasan pelaksanaan program relokasi penduduk tepi sungai Karang Mumus
-
2007
Dinas Kimbangkot
D.
Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 1915-13 (Samarinda) Lembar 1915-41 (Air Putih) Lembar 1915-42 (Muara Badak)
lembar
1991
lembar
1991
lembar
1991
1. 2. 3.
Kegunaan
Pendekatan
Identifikasi faktor pendorong Identifikasi faktor pendorong Identifikasi faktor pendorong
Analisis sosialekonomi Analisis sosialekonomi Analisis sosialekonomi
Identifikasi faktor pendorong Identifikasi faktor pendorong
Analisis kebijakan
Bakosurtanal, Cibinong Bakosurtanal, Cibinong Bakosurtanal, Cibinong
Pemetaan
Validasi lokasi Validasi lokasi Validasi lokasi
Pemetaan Pemetaan
E.
Citra Satelit
1.
Landsat 5 TM
geotiff
1992
BTIC Dataport
Pemetaan
3.
Landsat 7 ETM+
geotiff
2007
BTIC Dataport
Pemetaan
Analisis kebijakan
Analisis spasial dan temporal Analisis spasial dan temporal
3.3. Kerangka Pemikiran Perubahan tata guna lahan di DAS Karang Mumus menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, antara lain, degradasi lahan, banjir, kekeringan, kepunahan flora dan fauna, pencemaran air, serta kontribusi terhadap perubahan iklim (climate change), dan berkontribusi terhadap pemanasan global (global warming). Suatu kawasan DAS tidak hanya bagian hulu saja yang berperan sebagai daerah resapan atau tangkapan air, melainkan seluruh kawasan DAS tersebut, termasuk bagian hilirnya.
22
Permasalahan lingkungan yang terjadi dalam proses penggunaan lahan memerlukan upaya pengelolaan yang tepat, salah satunya melalui pengelolaan tata guna lahan yang disesuaikan dengan karakteristik lahan, yaitu pengelolaan lanskap agroforestri. Di dalam lanskap agroforestri, terdapat sistem penggunaan lahan agroforestri terintegrasi (integrated agroforestry) yang menjadi dasar pemikiran dari penelitian ini (Gambar 4). Agroforestri Terintegrasi (integrated agroforestry): sistem pengelolaan lanskap agroforestri secara terpadu
Penutupan dan Penggunaan Lahan: kehutanan (kawasan lindung, kawasan konservasi), pertanian (pertanian lahan basah, pertanian lahan kering), permukiman
Evaluasi dan Analisis: analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosialekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik
Faktor Biologi-Fisik: aksesibilitas, perubahan penutupan dan penggunaan lahan, kesesuaian lahan, sedimentasi
Fungsi Lanskap Agroforestri: mempertahankan pengelolaan sumber daya air, mempertahankan cadangan karbon, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan mempertahankan keindahan lanskap
Faktor Sosial-BudayaEkonomi: kepadatan penduduk, pendapatan, pendidikan, latar belakang budaya, dan keinginan masyarakat
Faktor Kebijakan: program pemerintah dan kelembagaan
Rekomendasi Rencana Pengelolaan: konsep alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi, peta alokasi lahan agroforestri terintegrasi, dan konsep pengelolaan lanskap agroforestri berdasarkan faktor-faktor pendorong
Gambar 4. Bagan alir kerangka pemikiran Secara umum, bentuk penutupan dan penggunaan lahan di dalam sistem agroforestri terintegrasi terdiri atas kehutanan, pertanian, dan permukiman. Tiga bentuk penutupan dan penggunaan lahan ini kemudian dikembangkan lagi
23
menjadi lima kategori tipe penutupan dan penggunaan lahan, yaitu kawasan lindung, kawasan konservasi, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan permukiman. Bentuk-bentuk penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus ini kemudian dievaluasi dan dianalisis sehingga diperoleh faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri yang meliputi faktor-faktor biologifisik, sosial-budaya-ekonomi, dan kebijakan. Dari hasil analisis yang dilakukan, kemudian disusun rekomendasi rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus berdasarkan faktor-faktor pendorong dan fungsi lanskap agroforestri, antara lain, mempertahankan pengelolaan sumber daya air; mempertahankan cadangan karbon; mempertahankan keanekaragaman hayati; dan mempertahankan keindahan lanskap. Batasan istilah yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.4. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam empat tahap (Gambar 5), yaitu prasurvei, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan rekomendasi. Permasalahan DAS Karang Mumus: perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol, degradasi lahan, sedimentasi, banjir, kekeringan, pencemaran air, dan kepunahan flora dan fauna
Tahapan Penelitian I. Prasurvei: penelusuran pustaka, deliniasi, dan penentuan lokasi contoh penelitian di kawasan DAS Karang Mumus
II. Pengumpulan Data Spasial dan Nonspasial: koleksi data dan informasi kondisi DAS Karang Mumus (data biologi-fisik, sosial-budaya-ekonomi, kebijakan, peta rupa bumi Indonesia, dan citra satelit)
III. Pengolahan Data: analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosialekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik
IV. Penyusunan Rekomendasi: alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi peta alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi
Hasil: konsep pengelolaan lanskap agroforestri dengan pendekatan faktor-faktor pendorong
Gambar 5. Tahapan penelitian
24
3.4.1. Prasurvei Pada tahap ini, kegiatan dipusatkan pada penelusuran pustaka, deliniasi peta, dan penentuan lokasi contoh penelitian. Penelusuran pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian. Deliniasi lokasi penelitian (Gambar 6) dilakukan berdasarkan batas kawasan DAS Karang Mumus dan peta rupa bumi Indonesia Lembar 1915-13, 1915-41, dan 1915-42.
Gambar 6. Lokasi contoh penelitian
25
Lokasi yang menjadi contoh penelitian ditentukan dengan menggunakan metode jalur (transek). Metode ini merupakan metode yang efektif digunakan untuk mempelajari suatu kawasan yang luas. Di dalam metode ini, jalur contoh dibuat memotong garis-garis topografi (Soerianegara & Indrawan, 2002). Kemudian pada jalur ini ditentukan lokasi-lokasi yang menjadi contoh penelitian. Kelurahan yang terpilih menjadi lokasi contoh penelitian adalah Kelurahan Sempaja, Kelurahan Lempake, dan Kelurahan Sungai Siring.
3.4.2. Pengumpulan Data Spasial dan Nonspasial Data spasial dan nonspasial dikumpulkan dari survei lapang secara langsung, baik melalui wawancara, kuisioner maupun kunjungan lapang. Wawancara dilakukan kepada pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait dengan penentu kebijakan. Penyebaran kuisioner untuk analisis sosial-ekonomi dilakukan terhadap 94 responden dalam lokasi contoh dengan mengikuti metode pengambilan contoh dengan tujuan (purposive sampling). Jumlah responden ditentukan berdasarkan teori limit pusat.
Dalam teori ini, jumlah responden mencapai 25 atau 30
responden telah dapat menghasilkan bentuk sebaran penarikan contoh mendekati normal (berbentuk genta) (Agresti & Finlay, 1997). Penyebaran kuisioner AHP dilakukan terhadap sepuluh ahli (pakar) dari sepuluh institusi, yaitu Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Badan Pengelola DAS Mahakam Berau, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Permukiman dan Pengembangan Kota Samarinda, Dinas Pertanian Kota Samarinda, Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Universitas Mulawarman Samarinda.
3.4.3. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis spasial dan temporal, evaluasi kesesuaian lahan, analisis sosial-ekonomi, evaluasi sedimentasi, analisis kebijakan, dan proses hirarki analitik.
26
3.4.3.1. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan penutupan dan penggunaan lahan dianalisis secara spasial dan temporal untuk melihat besarnya tekanan pertambahan penduduk terhadap kawasan DAS Karang Mumus. Perubahan penutupan dan penggunaan lahan ini dapat dilihat melalui data citra satelit Landsat dengan rentang waktu perubahan 15 tahun. Selain skala spasial, skala temporal sama pentingnya ketika memperkirakan perubahan lanskap dari waktu ke waktu (Rocchini et al., 2005). Klasifikasi citra untuk menentukan kelas penutupan lahan dilakukan pada data citra satelit Landsat tahun 1992 dan 2007. Proses analisis spasial dan temporal yang dilakukan di dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7. Citra Landsat tahun 1992 dan 2007
Citra Landsat tahun 1992 dan 2007 terkoreksi Survei lapang: - GPS - Peta RBI - Peta DAS - Observasi
Koreksi geometri (RMS error <0,1): - peta sungai - peta jalan Peningkatan tampilan visual citra
Klasifikasi terbimbing
Peta penutupan/ penggunaan lahan
Kepadatan penduduk dan proyeksi pertambahan penduduk
Perubahan penutupan dan penggunaan lahan
Gambar 7. Bagan alir proses analisis spasial dan temporal Klasifikasi diawali dengan persiapan citra satelit Landsat TM 1992, citra satelit Landsat ETM 2007, dan peta topografi dari lokasi penelitian. Kemudian dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan Arcview Extension Image Analysist. Citra dikoreksi berdasarkan peta jalan dan sungai dalam format TIFF (*.tiff file).
Setelah kesalahan hasil koreksi (RMS error) bernilai <0,1, citra
disimpan dengan format Erdas Image (*.img file). Dalam klasifikasi citra, koreksi
27
geometrik adalah proses penting yang harus dilakukan. Apapun cara yang digunakan, penting untuk diperhatikan bahwa nilai kesalahan RMS (root mean square error) hasil perhitungan komputer yang menunjukkan akurasi koreksi geometrik tidak lebih besar dari 0,1 (Carlson & Sanchez-Azofeifa, 1999). Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Tampilan citra pada penginderaan jauh adalah sangat penting untuk interpretasi.
Peningkatan
tampilan
citra
secara
visual
dilakukan
dengan
menggunakan kombinasi warna standard false color composite, yaitu model warna RGB (R=NIR band, G=Red band, B=Green band), serta model HIS (Hue Intensity Saturation). Tampilan RGB sangat baik untuk identifikasi penutupan lahan (land cover) karena tampilan merupakan warna primer yang masing-masing memiliki kisaran nilai 0-255 dan campuran ketiga warna (CMY-cyan magenta yellow). Pada tampilan model HIS, citra ditampilkan pada nilai optimal. Penajaman kontras dan tepi pada citra dilakukan agar pengidentifikasian dapat dilakukan dengan lebih mudah (Kaswanto, 2007). Kelas penutupan lahan ditentukan berdasarkan survei lapang dan kemudahan dalam membandingkan data citra yang ada. Data citra setiap tahun perekaman dibandingkan perubahannya secara temporal. Validasi penutupan lahan di lapang dilakukan dengan survei penentuan posisi menggunakan GPS, peta rupa bumi Indonesia skala 1:50.000, peta kawasan DAS Karang Mumus, dan observasi penutupan lahan. Tampilan SIG dengan perangkat lunak Arcview versi 3.3 akan digunakan untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menyajikan kembali semua bentuk informasi tersebut (Prahasta, 2002). 3.4.3.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna lahan yang bertujuan menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007).
28
Pendekatan evaluasi kesesuaian lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dua tahap (Gambar 8). Tahap pertama dari pendekatan ini adalah klasifikasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap kedua adalah analisis sosial-ekonomi. Pendekatan dua tahap umumnya digunakan untuk evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survei tinjau. Klasifikasi kesesuaian lahan dalam tahap pertama didasarkan pada kecocokan untuk penggunaan-penggunaan tertentu, misalnya untuk pertanian secara umum, permukiman, dan sebagainya. Setelah tahap pertama ini selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, tahap kedua yaitu analisis sosial-ekonomi dapat dilakukan segera ataupun beberapa waktu kemudian. Persiapan Kegiatan Evaluasi Lahan untuk Tujuan-Tujuan Spesifik, Indikasi Land Utilization Types (LUT)
Berbagai Survei dan Studi mengenai Sumber Daya
Interpretasi + Klasifikasi Kesesuaian Lahan Fisik, Pengelolaan + Spesifikasi Perbaikan
Investigasi Sosial-Ekonomi, Berbagai Survei Lahan Pertanian Secara Umum Analisis Input-Output, Identifikasi Program/Proyek
Pertimbangan Kebijakan
Konstruksi Rencana Pengembangan Lokal, Seleksi Berbagai Program/Proyek
Gambar 8. Pendekatan dua tahap dalam metode evaluasi lahan (FAO, 1976) Evaluasi kesesuaian lahan di dalam penelitian ini dilakukan terhadap faktor biofisik untuk memperoleh penggunaan lahan yang terbaik, antara lain penggunaan lahan untuk hutan lindung, hutan konservasi, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan permukiman. Beberapa karakteristik dan kualitas lahan DAS Karang Mumus yang digunakan dalam evaluasi ini berdasarkan karakteristik dan kualitas lahan pada sistem lahan (Lampiran 2). Sistem lahan ini telah dikembangkan dan diaplikasikan dalam Regional Physical Planning Program for Transmigration Development
29
(RePPProt) pada tahun 1987 di Indonesia (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007). Di dalam sistem lahan, pengelompokan lahan ke dalam sistem lahan berdasarkan pada kesamaan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan fungsi lahan serta komponen lingkungan yang membentuk lahan sebagai sebuah integrasi sistem yang tidak terpisahkan dari mata rantai ekosistem alam secara keseluruhan. Faktor-faktor tersebut adalah bentuk bentang lahan (landform), bentang alam (landscape), fisiografi, litologi, topografi, relief, iklim, hidrologi, tanah, dan fenomena lingkungan lainnya yang dapat dijadikan indikator dan penentu kelompok lahan sebagai sebuah sistem (Subroto, 2004). Selain berdasarkan sistem lahan, satuan peta lahan diperoleh dari metode tumpang susun (overlay) terhadap masing-masing peta tematik untuk setiap tipe kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan di dalam evaluasi ini dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1, S2, S3, dan N. Secara kualitatif, klasifikasi kelas kesesuaian lahan berikut pengertiannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan dan pengertiannya Kelas
Kesesuaian lahan
Pengertian
S1
Sangat sesuai
Tanpa/sedikit pembatas untuk penggunaannya
S2
Cukup sesuai
Tingkat pembatas sedang untuk penggunaannya
S3
Sesuai marjinal
N
Tidak sesuai
Tingkat pembatas berat untuk penggunaannya Tingkat pembatas sangat berat (permanen), penggunaannya tidak memungkinkan
Sumber: FAO (1976)
Klasifikasi kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan kawasan lindung dan kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan permukiman dapat dilihat pada Tabel 5, 6, dan 7.
30
Tabel 3. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan lindung No. 1. 2.
3. 4.
Karakteristik lahan Kemiringan lereng Jenis tanah*
Jarak dari sungai Jarak dari bendungan
Kualitas lahan untuk kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N >45%
25-45%
15-25%
<15%
Entisol, Inceptisol, Histosol, dan Mollisol
Andisol, Oxisol, Vertisol, dan Spodosol 100-200m 100-200m
Alfisol dan Ultisol
Alfisol dan Ultisol
200-300m 200-300m
>300m >300m
<100m <100m
*Jenis tanah dipadankan berdasarkan USDA (1999) Diadaptasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Tabel 4. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi No. 1. 2.
Karakteristik lahan Keberadaan hutan sekunder Jarak dari hutan sekunder
Kualitas lahan untuk kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N Ada
Ada
Ada
Tidak ada
<100m
100-200m
200-300m
>300m
Diadaptasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Penilaian kelas kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi di dalam penelitian ini didasarkan atas keberadaan hutan sekunder, dengan asumsi masih mempunyai jenis-jenis vegetasi dan satwa alami.
Tabel 5. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering No.
2.
Karakteristik lahan Kemiringan lereng Drainase
3.
Kedalaman efektif
4.
pH tanah
5. 6. 7.
Tekstur tanah* Kesuburan tanah* Indikasi erosi*
1.
Kualitas lahan untuk kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N 0-8%
8-15%
15-25%
>25%
Baik
Sedang
Terhambat
>100 cm
100-80 cm 5,5-6,0 7,0-7,5 Halus Sedang Rendah
Agak terhambat 80-50 cm 5,0-5,5 7,5-8,0 Sedang Rendah Sedang
<5,0 >8,0 Kasar Sangat rendah Berat
6,0-7,0 Halus Tinggi Sangat rendah
<50 cm
*) Cara penilaian tekstur tanah, kesuburan tanah, dan indikasi erosi dapat dilihat pada Lampiran 3 Diadaptasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
31
Tabel 6. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah No.
Kualitas lahan untuk kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N
1. 2.
Karakteristik lahan Kemiringan lereng Drainase
<3% Terhambat
3.
Kedalaman efektif
>50 cm
4.
pH tanah
5,5-7,0
5. 6.
Tekstur tanah* Kesuburan tanah*
7.
Indikasi erosi*
3-8% Agak terhambat 40-50 cm
8-25% Sedang
>25% Baik <25 cm
Halus Tinggi
4,5-5,5 7,0-7,5 Halus Sedang
25-40 cm 4,0-4,5 7,5-8,0 Sedang Rendah
Sangat rendah
Rendah
Sedang
<4,0 >8,0 Kasar Sangat rendah Berat
*) Cara penilaian tekstur tanah, kesuburan tanah, dan indikasi erosi dapat dilihat pada Lampiran 3 Diadaptasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Tabel 7. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk permukiman No.
Karakteristik Lahan
1. 2.
Kemiringan lereng Drainase*
3. 4.
Banjir* Batuan tersingkap*
Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N <8% 8-15% 15-25% >25% Baik Sedang Terhambat Sangat terhambat Tidak ada Tidak ada Jarang Sering Tidak ada Sedikit Sedang Banyak
*) Cara penilaian drainase, banjir, dan batuan tersingkap dapat dilihat pada Lampiran 4 Diadaptasi dari Zee (1990); Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
3.4.3.3. Analisis Sosial-Ekonomi Analisis sosial-ekonomi yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah dengan memanfaatkan informasi-informasi yang telah diperoleh dari lokasi penelitian dan juga hasil wawancara dan kuisioner terhadap responden. Di dalam analisis sosial-ekonomi ini dilakukan analisis finansial untuk menilai kelayakan usaha tani dari beberapa tipe penggunaan lahan (TPL). Indikator kelayakan usaha tani dari aspek ekonomi diukur dari nilai benefit cost ratio (BCR). Benefit cost ratio adalah perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan. Usaha tani dikatakan layak jika rasio B/C >1. Tipe-tipe penggunaan lahan yang dianalisis secara finansial adalah pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Kebutuhan hidup layak masyarakat di lokasi penelitian ditentukan berdasarkan standar upah minimum regional (UMR) tahun 2008 yang berlaku di
32
Kota Samarinda yaitu sebesar Rp. 842.000,- dan juga berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku di lokasi penelitian. Untuk menentukan luas lahan minimal (Lm) dari pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering dalam rangka memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) digunakan persamaan sebagai berikut. Lm = KHL/ Pendapatan bersih 3.4.3.4. Evaluasi Sedimentasi Sumber sedimen yang berasal dari DAS adalah erosi dari lahan pertanian, tanah longsor, dan erosi tebing sungai. Besarnya sedimen yang dihasilkan oleh suatu DAS menunjukkan bahwa pada kawasan DAS tersebut telah terjadi degradasi lahan. Untuk mengevaluasi besarnya sedimentasi yang terjadi di DAS Karang Mumus digunakan data erosi dan sedimentasi yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Samarinda, Badan Pengelola DAS Mahakam Berau dan literatur penunjang data erosi dan sedimentasi lainnya. Prediksi nilai total sedimen diperoleh dengan menggunakan persamaan sediment delivery ratio (SDR). Sediment delivery ratio (SDR) merupakan nilai perbandingan antara total sedimen yang terangkut oleh limpasan air sungai dan total tanah tererosi pada suatu DAS (Asdak, 2007). Persamaan SDR sebagai berikut. Total sedimen yang dihasilkan oleh suatu DAS (ton/tahun) SDR = Total tanah tererosi yang terjadi pada suatu DAS (ton/tahun) Apabila besarnya hasil sedimen diprediksikan dari persamaan SDR di atas, akan diperoleh persamaan total sedimen sebagai berikut: Total sedimen (ton/tahun) = SDR × Total tanah tererosi (ton/tahun) Prosedur yang harus dilakukan sebelum memprediksi nilai total sedimen adalah harus diketahui terlebih dulu nilai SDR dari masing-masing sub DAS dan nilai rataan tanah tererosi yang terjadi pada sub-sub DAS. Dalam penelitian ini, besarnya nilai SDR dalam perhitungan hasil sedimen ditentukan dengan menggunakan estimasi SDR yang dibuat oleh BP DAS Mahakam Berau.
33
3.4.3.5. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Di
dalam
analisis
kebijakan,
dilakukan
pembandingan
antara
rencana
pengembangan dan pembangunan daerah DAS Karang Mumus di dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan hasil analisis dari beberapa faktor pendorong yang telah dilakukan sebelumnya. 3.4.3.6. Proses Hirarki Analitik (AHP) Proses hirarki analitik (AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling berpengaruh (Saaty, 1983 diacu dalam Marimin, 2004). Dengan menggunakan AHP, permasalahan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip penilaian AHP adalah membandingkan tingkat pengaruh satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Penilaian para ahli yang menjadi responden dilakukan melalui pengisian kuisioner (Lampiran 5). Prinsip kerja yang dilakukan di dalam AHP adalah sebagai berikut. 1. Penyusunan Hirarki Permasalahan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hirarki. Penyusunan hirarki di dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan identifikasi terhadap faktor- faktor pendorong. Identifikasi faktor-faktor pendorong diperoleh dari hasil evaluasi dan analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Secara sederhana, struktur hirarki rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Gambar 9.
Level 1: Tujuan
Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di DAS Karang Mumus
Level 2: Faktor-Faktor Pendorong
Level 3: Kriteria
Level 4: Alternatif Pengelolaan
Aksesibilitas
Sosial-Ekonomi-Budaya
Biologi-Fisik
Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan
Mempertahankan Penggunaan Lahan yang Ada dengan Mengoptimalkan Pengelolaannya
Kesesuaian Penggunaan Lahan
Laju Pertumbuhan Penduduk
Melakukan Konsolidasi Lahan dan Menambah Ruang Terbuka Hijau Terutama Kawasan Konservasi
Kelayakan Usaha Pertanian
Kebijakan
Latar Belakang Budaya
Relokasi Permukiman
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan-Lahan Kritis
Mengkombinasikan beberapa Tujuan dalam Satu Kegiatan Pengelolaan (Relokasi dan Konsolidasi Lahan, Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, dan Memperindah Kawasan)
Gambar 9. Struktur hirarki rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus
34
35
2. Penilaian Faktor-Faktor Pendorong, Kriteria, dan Alternatif Faktor-faktor pendorong, kriteria, dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Untuk penilaian berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat (Saaty, 1983 diacu dalam Marimin, 2004). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty Intensitas Pengaruh 1 3 5 7 9 2,4,6,8 1/3-1/9
Definisi Kedua faktor sama pengaruhnya Faktor yang satu sedikit lebih berpengaruh dibanding faktor yang lainnya Faktor yang satu sangat berpengaruh dibanding faktor yang lainnya Satu faktor jelas lebih berpengaruh dari faktor yang lainnya Satu faktor mutlak lebih berpengaruh dibanding faktor yang lainnya Nilai tengah diantara dua pertimbangan yang berdekatan Nilai yang menunjukkan kebalikan dari intensitas pengaruhnya
3. Penentuan Rasio Konsistensi (consistency ratio/CR) Rasio konsistensi (CR) merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsisten atau tidak. Jika penilaian kriteria telah dilakukan dengan konsisten, nilai CR tidak lebih dari 0,10. 4.
Penggabungan Pendapat Responden Pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk mengolah data dari satu
responden ahli. Namun demikian, dalam penelitian ini penilaian faktor-faktor pendorong, kriteria dan alternatif dilakukan oleh sepuluh ahli dari berbagai institusi. Pendapat para ahli yang konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan nilai rata-rata geometrik. Penghitungan nilai rata-rata geometrik dilakukan dengan menggunakan tools geomean yang terdapat pada tools autosum di dalam software Microsoft Excell 2003. Perangkat lunak yang digunakan untuk memperoleh bobot dan prioritas dari faktor-faktor pendorong di dalam metode AHP ini adalah program Criterium Decision Plus (CDP).
36
3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Tahap ini merupakan tahap untuk mendapatkan alternatif-alternatif pengelolaan lanskap agroforestri berdasarkan sistem agroforestri terintegrasi yang sesuai dengan karakteristik lanskap DAS Karang Mumus. Rekomendasi berupa 1. konsep alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi; 2. peta alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi; 3. konsep pengelolaan lanskap agroforestri berdasarkan faktor-faktor pendorong (biologi-fisik, sosial-ekonomi-budaya, dan kebijakan).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Lanskap DAS Karang Mumus 4.1.1. Faktor Biologi-Fisik 4.1.1.1. Topografi Secara keseluruhan DAS Karang Mumus memiliki variasi ketinggian dengan kisaran 0 - 225 m di atas permukaan laut (dpl). Hal ini menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan karakteristik bio-climatic yang jelas antara bagian hulu, tengah, dan hilir kawasan DAS Karang Mumus. Berbeda dengan kondisi DAS Cianjur, dengan variasi ketinggian berkisar antara 300 -1000 m dpl, terdapat perbedaan yang jelas pada karakteristik bio-climaticnya (Saroinsong, 2002; Pranoto et al., 2008). Dengan demikian, kawasan DAS Karang Mumus dengan variasi ketinggian 0 – 225 m dpl merupakan daerah dataran rendah dengan bentuk bentang lahan yang relatif datar, bergelombang, dan berbukit.
4.1.1.2. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng di DAS Karang Mumus (Lampiran 6) terdiri atas lima kelas, yaitu kelas kemiringan lereng A atau datar (0 - 8%), B atau landai (8 15%), C atau agak curam (15 – 25%), D atau curam (25 – 45%), dan E atau curam sekali (>45%). Pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa wilayah DAS Karang Mumus yang paling luas termasuk ke dalam kelas kemiringan lereng C atau agak curam (15 – 25%). Kelas lereng C ini mencakup luasan 19.973,6 ha atau 62,0% dari total luas DAS Karang Mumus. Kelas lereng E atau curam sekali (>45%) memiliki luasan wilayah terkecil yaitu 46,7 ha (0,2%). Kelas lereng A (0 – 8%), B (8 – 15%), dan D (25 – 45%) memiliki luasan berturut-turut 4.903,8 ha (15,2%), 2.908,9 ha (9,0%), dan 4.363,3 ha (13,6%). Tabel 9. Kelas kemiringan lereng DAS Karang Mumus No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas lereng A B C D E Total
Kemiringan (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 45 >45
Keterangan Datar Landai Agak curam Curam Curam sekali
Luas wilayah (ha) (%) 15,2 4.903,8 9,0 2.908,9 62,0 19.973,6 13,6 4.363,3 0,2 46,7 32.196,3 100,0
38
Berdasarkan kelas kemiringan lereng tersebut, luasan lereng agak curam sampai curam sekali jika diakumulasikan maka akan mendominasi hampir sebagian besar kawasan DAS Karang Mumus, yaitu 24.383,6 ha atau 75,7%. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya erosi dan meningkatnya sedimentasi di DAS Karang Mumus, terutama jika penutupan dan penggunaan lahan tidak dikelola dengan benar. Kemiringan lereng datar tersebar di daerah sepanjang sungai Karang Mumus, hal ini menyebabkan terjadinya penggunaan lahan sebagai permukiman di daerah ini.
4.1.1.3. Geologi Kawasan DAS Karang Mumus dibangun oleh formasi geologi Alluvium, Kampung Baru, Balikpapan, dan Pulau Balang (Lampiran 7). Formasi Kampung Baru memiliki sebaran yang terluas, yaitu sebesar 11.604,4 ha atau 36,0% dari total luas DAS Karang Mumus. Pada Tabel 10, dapat dilihat luasan masingmasing formasi geologi penyusun kawasan DAS Karang Mumus. Secara ringkas, deskripsi masing-masing formasi geologi dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 10. Luasan formasi geologi di DAS Karang Mumus No.
Formasi geologi
1. 2. 3. 4.
Alluvium Kampung Baru Balikpapan Pulau Balang Total
Luasan ha % 8.077,2 25,1 11.604,4 36,0 9.086,9 28,2 3.427,8 10,7 32.196,3 100,0
4.1.1.4. Jenis Tanah Pola spasial jenis tanah dalam lokasi penelitian dapat dilihat pada peta jenis tanah (Lampiran 9). Klasifikasi tanah yang dipergunakan dalam penetapan jenis tanah adalah berdasarkan soil taxonomy yang dikembangkan oleh United State Department of Agriculture (USDA) pada tahun 1999 (Subroto, 2004). Kawasan DAS Karang Mumus memiliki 6 jenis tanah yang merupakan asosiasi antara Tropodults dengan Tropoquepts, asosiasi antara Tropodults dengan Dystropepts, dan asosiasi Rendols dengan Entropepts.
Jenis-jenis tanah tersebut memiliki
tekstur dari lempung berpasir sampai lempung berliat, struktur umumnya
39
bergumpal, konsistensi tanah gembur pada lapisan atas dan teguh pada lapisan bawah. Selain itu, jenis-jenis tanah tersebut mempunyai daya menahan air yang kurang (Balitbangda, 2002). Dengan demikian, jenis tanah di kawasan DAS Karang Mumus dapat dikategorikan peka terhadap erosi dan mudah longsor. Terkait dengan kondisi iklim di DAS Karang Mumus, pada umumnya jenis tanah yang terbentuk pada bentang alam yang stabil adalah order Ultisols, sedangkan pada bentuk bentang alam yang masih relatif muda seperti dataran Aluvial sungai mempunyai order tanah Entisols dan Inceptisols, dan pembagian sub ordernya sangat ditentukan oleh rejim kelembaban tanah, tekstur tanah, dan asal bahan induk.
4.1.1.5. Iklim Data iklim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dan suhu udara selama 10 tahun terakhir (1998 – 2007) yang tercatat pada Stasiun Meteorologi dan Geofisika Samarinda. Hasil analisis data iklim dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis data iklim DAS Karang Mumus tahun 1998 - 2007 Suhu (0C)
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
Curah hujan (mm)
Jumlah bulan
Maks
Min
Rata-rata
Jumlah
Rata-rata
Kering
Lembab
Basah
29,8 27,4 27,6 27,5 27,9 27,8 28,5 28,5 28,1 28,3 28,1
26,8 26,4 26,4 26,7 27,1 26,9 27,1 26,9 26,8 26,9 26,8
28,2 26,9 26,9 27,2 27,5 27,4 27,5 27,5 27,4 27,5 27,4
1.851,9 2.684,0 2.584,2 1.913,3 1.676,9 2.347,3 2.591,5 2.550,4 1.964,7 2.453,7 2.259,9
154,3 223,7 215,4 159,4 139,7 195,6 216,0 212,5 162,2 204,5 188,3
3 1 1 1 3 1 1 1,1
1 1 2 2 2 2 1 1,1
8 12 12 10 9 9 9 9 9 11 9,8
Sumber: Diolah dari Badan Meteorologi dan Geofisika Samarinda, 2007
Berdasarkan analisis data curah hujan dan suhu udara, diketahui bahwa DAS Karang Mumus memiliki curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.259,9 mm, curah hujan bulanan rata-rata sebesar 188,3 mm, suhu udara bulanan rata-rata sebesar 27,40C, suhu udara tertinggi rata-rata 28,10C, dan suhu udara terendah rata-rata sebesar 26,80C.
40
Berdasarkan data curah hujan tahun 1998 – 2007, iklim DAS Karang Mumus termasuk tipe iklim A menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah sebesar 11,22%. Tipe iklim A mencirikan daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Batasan kriteria bulan kering adalah bila curah hujan bulanan <60 mm, bulan basah adalah bila curah hujan bulanan >100 mm, sedangkan bila kondisi curah hujan berada diantara kedua nilai tersebut dinamakan bulan lembab. Kondisi iklim di lokasi penelitian yang memiliki curah hujan yang tinggi, suhu udara rata-rata bulanan tinggi, dan musim kering yang relatif lebih pendek daripada musim hujan berpotensi untuk mempercepat terjadinya proses pencucian unsur-unsur basa tanah dan koloid liat tanah sehingga membentuk jenis tanah Ultisols, Entisols, dan Inceptisols. Oleh karena itu, jika penutupan lahan (land cover) di lokasi penelitian dalam kondisi banyak terdapat lahan terbuka atau terdapat sedikit tanaman penutup (cover crop), maka kondisi iklim dapat mempercepat terjadinya proses erosi dan meningkatnya sedimentasi.
4.1.1.6. Jenis Vegetasi dan Satwa Hutan alam yang masih dapat dijumpai di wilayah DAS Karang Mumus adalah hutan yang berada di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) yang terletak di Kelurahan Lempake. Jenis vegetasi awal KRUS adalah hutan alami Dipterocarpacea, setelah kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1983, 1993, dan 1998, vegetasi hutan alami menjadi vegetasi hutan sekunder muda. Berdasarkan piagam atau nota kerja sama (MoU) antara Pemerintah Kota Samarinda dengan Universitas Mulawarman no. 871/OT/2001-556.6/28/2001 pada tanggal 17 Februari 2001, KRUS dicanangkan sebagai kawasan pendidikan, wisata, dan seni budaya dengan luas 300 ha. Luasan KRUS hanya 0,93% dari total luasan DAS Karang Mumus. Jenis vegetasi yang terdapat di hutan sekunder muda KRUS adalah meranti kuning (Shorea hofeifolia), bongin atau pauh kijang (Irvingia malayana), lelantung tokak (Tabernaemontana acrocarpa), kapur (Dryobalanops aromatica), gambir (Trigonostemon bornensis), ulin (Eusideoxylon zwageri), kayu bawang (Scorodocarpus
bornensis),
gaharu
(Aqullaria
malacensis),
kayu
arang
41
kalimantan (Diosyiros bornensis), simpur (Delinea sp.). Selain itu, terdapat juga berbagai jenis anggrek, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, bambu, rotan, palem, pakis haji, jamur, alga, lumut, dan paku-pakuan (Tasa, 2005). Jenis satwa yang terdapat di KRUS adalah laba-laba (Oxyopes sp.), kupukupu (Papilio sp.), bangkong badak (Buceros rhinoceros), beluk ketupa (Ketupa ketupu), elang bondol (Haliaster alcedo miniting), bangau atau cangak merah (Ardea purpurea), beo atau tiung (Gracula religiosa), buaya (Crocodilus porosus), orang utan (Pongo pygmaeus), kukang bukang (Nyctycebus cauncang), beruk (Macaca nemestrina), trenggiling (Manis javanica), codot krawar (Cynopterus brachyotis), beruang merah (Helarctos malayan), rusa sambar atau payau (Cervus unicolor), kuda (Equus pizewalskii), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), binturung (Arstictis binturung) (Tasa, 2005). Keragaman jenis vegetasi dan satwa yang terdapat pada hutan sekunder muda KRUS masih cukup banyak. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan pada tahun 2003 terdapat 2.600 vegetasi pohon hidup yang berdiameter >50 cm, tetapi banyak yang telah cacat.
4.1.1.7. Hidrologi Sungai utama yang mengalir di kawasan DAS Karang Mumus adalah sungai Karang Mumus. Sungai Karang Mumus dengan panjang 34,7 km merupakan sumber air untuk mendukung kehidupan masyarakat DAS Karang Mumus, pada saat ini fungsi tersebut menurun bahkan sering menimbulkan bahaya banjir dan sumber penyakit. Banjir yang terjadi di Kota Samarinda beberapa hari menjelang akhir tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Banjir di Kota Samarinda
42
Dari hasil studi yang dilakukan oleh Balitbangda (2004) menyebutkan, status mutu air sungai Karang Mumus termasuk cemar berat jika dikomparasikan dengan kelas mutu air I (penggunaan untuk air minum), II (penggunaan untuk sarana dan prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar), dan III (penggunaan untuk peternakan), dan termasuk cemar sedang jika dikomparasikan kelas mutu air IV (penggunaan untuk pengairan tanaman).
Kelas mutu air
tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Indikasi penyebab kondisi cemar adalah buangan limbah domestik, menurunnya kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO), meningkatnya padatan atau residu yang tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS), amonia, dan beberapa parameter lainnya yang disebabkan erosi dan sedimentasi pada DAS Karang Mumus, eksistensi permukiman penduduk dan aktivitasnya di sepanjang bantaran sungai, limbah aktivitas kegiatan usaha kecil masyarakat (UKM), dan residu pupuk atau pestisida dari kegiatan pertanian. Pada kawasan DAS Karang Mumus terdapat delapan sub-DAS, yaitu subDAS Pampang, sub-DAS Karang Mumus Ulu, sub-DAS Lantung, sub-DAS Siring, sub-DAS Jaya Mulya, sub-DAS Muang, sub-DAS Betapus dan sub-DAS Karang Mumus Ilir (Balitbangda, 2002).
Limpasan air dari Sungai Karang
Mumus beserta sub-DASnya mengalir melewati bendungan Benanga, selanjutnya limpasan air dari bendungan Benanga mengalir ke sungai utama Karang Mumus menuju Kota Samarinda dan akhirnya bermuara ke Sungai Mahakam. Berdasarkan pola jaringan aliran sungai (sistem drainase) sungai Karang Mumus memiliki
pola
percabangan
pohon
(dendritic
pattern)
(Lampiran
10).
Karakteristik dari pola percabangan pohon adalah gerakan limpasan air sungainya relatif cepat dari bagian hulu menuju ke hilir atau muara sungai dari suatu DAS (Balitbangda, 2002).
4.1.1.8. Pola-Pola Agroforestri Penutupan dan penggunaan lahan di lokasi penelitian berdasarkan klasifikasi citra Landsat 2007 terdiri atas hutan konservasi, hutan sekunder, semak belukar, lahan terbuka, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah,
43
waduk/bendungan, dan permukiman. Kombinasi dari beberapa tipe penutupan dan penggunaan lahan yang telah disebutkan di atas, menunjukkan terdapatnya polapola lanskap agroforestri di dalam bentang lahan DAS Karang Mumus, terutama agroforestri terintegrasi. Di dalam tipe penggunaan lahan seperti pertanian lahan kering dan permukiman terdapat pola-pola agroforestri kompleks. Pola-pola agroforestri kompleks yang dapat ditemukan di lokasi penelitian, antara lain, pekarangan, ladang, dan kebun campuran. 1. Pekarangan Pekarangan merupakan salah satu pola penggunaan lahan dengan sistem agroforestri kompleks. Pekarangan adalah lahan yang berada di sekeliling rumah dengan batas kepemilikan yang jelas, dan biasanya ditanami dengan berbagai kombinasi tanaman, ikan, dan juga ternak untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan komersial (Arifin et al., 2008). Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, jenis tanaman yang terdapat di pekarangan, antara lain, kelapa, rambutan, pisang, mangga, nangka, durian, pepaya, jagung, ubi kayu, belimbing, srikaya, melinjo, elai, cempedak, tebu, jahe, kunyit, lengkeng, jambu air, jambu, salak, dan sukun. Selain itu, juga terdapat jenis tanaman sayur-sayuran dan tanaman hias. Beberapa di antaranya memiliki hewan ternak seperti ayam, bebek, ikan, dan kambing.
Hal ini
menunjukkan banyaknya keragaman jenis yang terdapat di pekarangan, walaupun sebagian besar pekarangan belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan pekarangan (Gambar 11) di DAS Karang Mumus sangat tergantung pada kebutuhan pemilik lahan, sebagian ada yang digunakan untuk menjemur hasil panen, dan ada juga yang digunakan sebagai tempat bersosialisasi. Seperti diketahui bahwa pekarangan memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi produksi, sosial budaya, estetika, dan ekologi. Dalam fungsi produksi, berbagai tanaman di pekarangan, terutama tanaman nursery, buah-buahan, tanaman industri, sayuran, dan rempah-rempah, dan ternak dapat dipanen.
Selain
memberikan kontribusi bagi tambahan diet protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral, pekarangan dapat pula memberikan tambahan pendapatan (Arifin, 2000). Fungsi ekologis pekarangan diperoleh dari kombinasi jenis tanaman penyusun
44
pekarangan tersebut seperti tingginya keanekaragaman jenis dan konservasi terhadap tanah dan air. Oleh karena itu, pekarangan dapat dijadikan suatu model pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri kompleks dengan tercapainya fungsi-fungsi di dalam pekarangan tersebut.
Gambar 11. Pemanfaatan pekarangan 2. Ladang Tipe penggunaan lahan ini merupakan usaha tanaman pertanian lahan kering yang dirotasikan dengan padi ladang atau tanaman palawija.
Tanaman yang
umum diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah padi ladang, jagung, cabai, ubi kayu, lada, pepaya, dan lain-lain. Pada umumnya ladang atau tegalan menempati daerah-daerah berlereng dan relatif terbuka. Teknik-teknik konservasi lahan dapat diterapkan pada tipe-tipe penggunaan lahan seperti ini, baik secara vegetatif maupun mekanik. 3. Kebun Campuran Tipe penggunaan lahan kebun campuran merupakan lahan yang ditanami tanaman tahunan ataupun tanaman semusim, termasuk di dalamnya tanaman produksi kayu. Beberapa jenis tanaman yang terdapat di kebun campuran adalah durian, elai, cempedak, kelapa, pisang, dan rambutan. Kebun campuran tersebar di seluruh lokasi penelitian.
Dengan kombinasi jenis tanaman yang hampir
menyerupai hutan, kebun campuran sebagai sistem agroforestri kompleks dapat direkomendasikan untuk menggantikan tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa semak belukar dan lahan terbuka. Usaha perkebunan yang berkembang di hulu DAS Karang Mumus ialah tanaman kakao, kopi, kelapa, salak, coklat, pisang, durian, dan rambutan. Pada
45
beberapa tempat dijumpai pula usaha hutan rakyat yang menanam jenis sengon, sungkai, dan jati. Pada daerah berbukit di Lempake dijumpai juga tanaman aren.
4.1.1.9. Aksesibilitas Berdasarkan survei lapang dan pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian, sungai Karang Mumus sejak tahun 1980 sudah jarang dipergunakan sebagai jalur transportasi.
Kondisi ini dapat dilihat dari sulitnya melakukan
perjalanan melalui sungai Karang Mumus karena keberadaan vegetasi dan pohonpohan yang melintang di tengah sungai (Gambar 12). Selain itu, keberadaan permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai (Gambar 13) dan jembatanjembatan
yang
menghubungkan
kedua
sisi
sempadan
sungai
semakin
memperparah kondisi sungai Karang Mumus.
Gambar 12.
Keberadaan vegetasi yang melintang di tengah sungai Karang Mumus
Gambar 13.
Permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai Karang Mumus
46
Menurut DPU Kota Samarinda (2003), sebelum tahun 1970-an sungai Karang Mumus merupakan sarana transportasi bagi petani-petani yang berasal dari desa Bayur, Muang dan Lempake untuk memasarkan hasil-hasil pertanian, buruan dan hasil hutan non kayu ke Kota Samarinda yang memerlukan waktu 2- 3 jam dengan perahu dayung, kemudian para transmigran dan penduduk lokal mulai menggunakan perahu bermesin dengan kekuatan 7 sampai dengan 10 PK. Dalam perkembangannya, kemudian dimulai pembukaan jalan dari Kota Samarinda menuju Bontang, Muara Badak dan Sangatta pada tahun 1980 - 1995. Semakin mudahnya jalur transportasi darat dan dengan biaya yang dikeluarkan hanya berkisar antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- dari daerah hulu DAS Karang Mumus atau Kecamatan Muara Badak menuju daerah hilir atau Kota Samarinda, maka sungai Karang Mumus sebagai jalur transportasi sungai semakin dilupakan.
4.1.1.10. Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan Analisis spasial dan temporal di dalam penelitian ini dilakukan terhadap citra satelit Landsat TM tahun 1992 dan 2007.
Proses interpretasi kelas
penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan pada tampilan citra secara visual dan divalidasi dengan survei lapang serta data penunjang lainnya. Berdasarkan hasil interpretasi dari citra satelit Landsat TM tahun 1992 dan 2007 terdapat 8 kelas penutupan dan penggunaan lahan, antara lain permukiman, waduk, lahan terbuka, semak belukar, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, hutan sekunder, dan hutan konservasi. Deskripsi dari masing-masing tipe penutupan dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 12. Komposisi dan penyebaran spasial tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 13, Gambar 14, dan Gambar 15.
47
Tabel 12. Deskripsi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada DAS Karang Mumus No.
Tipe penutupan dan penggunaan lahan
Deskripsi
1.
Permukiman
Bentang lahan yang digunakan sebagai lokasi tempat tinggal penduduk, terdapat kombinasi sarana jalan, bangunan, dan lainlain yang mendukung tipe penggunaan sebagai permukiman. Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri, perdagangan, dan jasa.
2.
Bendungan/waduk
Penutupan lahan yang digenangi oleh air yang berasal dari beberapa anak sungai, terdapat bangunan tanggul penahan air dan saluran outlet pada sungai utamanya.
3.
Lahan terbuka
Tanah kosong yang terbuka atau terdapat sedikit vegetasi.
4.
Semak belukar
Bentang lahan yang didominasi oleh vegetasi semak, rumputrumputan, tumbuhan menjalar, dan juga perdu.
5.
Pertanian lahan basah
Bentang lahan yang ditanami tanaman pertanian, terutama padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu. Pada umumnya diairi sejak saat penanaman hingga beberapa waktu sebelum panen. Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga perikanan.
6.
Pertanian lahan kering
Bentang lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman pertanian, terutama padi ladang, palawija, sayuran, dan buah-buahan yang diusahakan tidak memerlukan air yang banyak. Tipe penggunaan lahan ini terdiri atas tegalan, ladang, perkebunan, kebun campuran, dan peternakan.
7.
Hutan sekunder
Bentang lahan yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan. Pada umumnya diameter pohon >10 cm dengan tajuk yang cukup rimbun.
Bentang lahan yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan. Pada umumnya diameter pohon >10 cm dengan tajuk yang rimbun. Perbedaan tipe peggunaan lahan ini dengan hutan sekunder adalah kepemilikan status hukum. Sumber: Hasil survei (2008), Sabri (2004), Sehe (2007), dan Kaswanto (2007). 8.
Hutan konservasi
Tabel 13. Komposisi tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tahun 1992 dan 2007 Tipe penutupan dan penggunaan lahan
Perubahan
Luasan 1992
2007
Permukiman Waduk/Bendungan Lahan terbuka Semak belukar Pertanian lahan basah Pertanian lahan kering Hutan sekunder Hutan konservasi
ha 1.277,1 408,9 119,5 25.297,4 1.034,8 170,9 3.969,5 219,7
% 3,9 1,3 0,4 77,9 3,2 0,5 12,2 0,7
ha 1.926,9 408,9 712,7 25.762,1 807,8 99,3 2.540,5 219,7
% 5,9 1,3 2,2 79,3 2,5 0,3 7,8 0,7
Total*
32.477,7
100,0
32.477,7
100,0
Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 1992 dan 2007
ha 649,8 0 593,2 464,7 -226,9 -71,6 -1.429,0 0
% 50,9 0 495,5 1,8 21,9 41,9 36,0 0
48
Gambar 14. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra Landsat TM 1992)
49
Gambar 15. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra Landsat TM 2007)
50
Berdasarkan Tabel 13, Gambar 14, dan Gambar 15, dapat dilihat bahwa penutupan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh semak belukar dengan persentase sebesar 77,9% pada tahun 1992 dan 79,3% pada tahun 2007. Hutan sekunder mengalami penurunan persentase luas dari 12,2% menjadi 7,8%. Permukiman mengalami peningkatan persentase luas dari 3,9% menjadi 5,9%. Persentase luasan lahan terbuka meningkat dari 0,4% menjadi 2,2%. Pertanian lahan basah mengalami penurunan luas dari 3,2% pada tahun 1992 menjadi menjadi 2,5% pada tahun 2007.
Persentase luas pertanian lahan kering
mengalami penurunan luas dari 0,5% menjadi 0,3%. Luasan bendungan dan hutan konservasi tidak mengalami perubahan luasan yaitu masing-masing sebesar 1,3% dan 0,7%. Dari uraian di atas, terlihat adanya perubahan komposisi luasan pada
masing-masing
tipe
penutupan
dan
penggunaan
lahan.
Dengan
membandingkan secara temporal citra Landsat pada tahun 1992 dan 2007 dapat diketahui bahwa tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa permukiman, lahan terbuka, dan semak belukar mengalami peningkatan luas. Sebaliknya, terjadi penurunan luas pada tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder. Komposisi luasan permukiman meningkat dari 1.277,1 ha menjadi 1.926,9 ha atau meningkat seluas 649,8 ha (50,9%). Lahan terbuka meningkat dari 119,5 ha menjadi 712,7 ha atau meningkat seluas 593,2 ha (495,5%). Semak belukar meningkat dari 25.297,4 ha menjadi 25.762,1 ha atau meningkat seluas 464,7 ha (1,8%). Sebaliknya, tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan basah berkurang dari 1.034,8 ha menjadi 807,8 ha atau berkurang seluas 226,9 ha (21,9%). Pertanian lahan kering berkurang dari 170,9 ha menjadi 99,3 ha atau berkurang seluas 71,6 ha (41,9%). Hutan sekunder berkurang dari 3.969,5 ha menjadi 2.540,5 ha atau berkurang seluas 1.429,0 ha (36,0%). Sebagian besar berkurangnya luasan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder
disebabkan
terjadinya
perubahan
penggunaan
lahan
sebagai
permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka. Menurut DPU (2003), fungsi hutan alam berkurang pada DAS Karang Mumus sekitar 2% per tahun (627 ha/tahun), sebagian besar berubah menjadi daerah permukiman dan lahan kritis. Pertambahan luas daerah permukiman 0,27%
51
per tahun (85,8 ha/tahun), sebagian besar berasal dari perubahan fungsi hutan dan daerah pertanian lahan kering (perladangan). Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1992 dan 2006, dapat diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan lahan semakin meningkat dan ditambah pula dengan kemajuan teknologi yang menyebabkan terjadinya akselerasi pembukaan lahan-lahan baru. Daerah yang awalnya merupakan daerah resapan dan penahan air berubah menjadi areal permukiman yang relatif kedap. Menurut Weng (2001), pertumbuhan penduduk dan peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi faktor dominan perubahan penutupan dan penggunaan lahan hampir di seluruh permukaaan bumi. Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa pada tahun 2012 dengan jumlah penduduk sebesar 276.756 jiwa, akan terjadi pengkonversian penutupan dan penggunaan lahan yang ada pada saat ini, terutama pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, semak belukar, dan hutan sekunder menjadi lahan-lahan permukiman, lahan-lahan pertanian baru, dan juga lahan terbuka. Berdasarkan kedekatan dengan kota dan tersedianya aksesibilitas jalan, penyebaran konversi ini akan berkembang dari daerah hilir menuju ke daerah hulu DAS Karang Mumus. Kondisi ini didukung oleh Sandy (1973) yang mengatakan bahwa pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, penyebaran, profesi, dan tingkat kehidupan masyarakat, serta aksesibilitasnya. Lahan yang mudah dicapai akan dimanfaatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan lahan yang sukar dicapai.
Dengan demikian, kawasan DAS Karang Mumus akan mengalami
perubahan sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Apabila hal ini tidak menjadi perhatian berbagai pihak yang terkait, fungsi kawasan DAS Karang Mumus akan semakin menurun. Sistem agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengelola terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya
laju
pertambahan
penduduk,
mengatasi
masalah
pangan,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan juga meningkatkan kualitas lingkungan (Widianto et al., 2003).
Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa
52
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di seluruh wilayah Indonesia. Pengkombinasian secara tata ruang berbagai komponen agroforestri, yaitu kehutanan, pertanian, dan permukiman dalam penyebarannya dapat dilakukan secara horizontal (bidang datar) atau secara vertikal.
Penyebaran secara
horizontal ditinjau dari bidang datar pada lahan yang diusahakan untuk agroforestri (dilihat dari atas, sebagaimana suatu potret udara). Berbeda dengan penyebaran secara horizontal, penyebaran vertikal dilihat dari struktur kombinasi komponen penyusun agroforestri berdasarkan bidang samping atau penampang melintang (cross-section). Penyebaran horizontal dapat dikombinasikan dengan penyebaran vertikal (Sardjono et al., 2003).
Contoh kombinasi komponen
agroforestri secara horizontal dalam skala lanskap dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Contoh kombinasi komponen agroforestri secara horizontal dalam skala lanskap (Sardjono et al., 2003) 4.1.1.11. Kesesuaian Lahan Berdasarkan sistem lahan, kawasan DAS Karang Mumus dikelompokkan menjadi 7 sistem lahan (Lampiran 11).
Sistem-sistem lahan tersebut adalah
Mentalat, Teweh, Teweh Baru, Maput, Lawangwang, Kahayan, dan Kota. Hasil evaluasi kesesuaian lahan DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 14.
53
Tabel 14. Hasil evaluasi kesesuaian lahan DAS Karang Mumus Tipe penutupan dan penggunaan lahan Kawasan lindung Kawasan konservasi Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Permukiman
Kelas kesesuaian S1
S2
S3
N
ha 8.810,5
% 27,1
ha 12.805,4
% 39,4
ha 7.947,5
% 24,5
ha 2.936,6
% 9,0
3.475,5
10,7
682,3
2,1
647,7
2,0
27.694,5
85,2
20.009,7
61,6
2.237,9
6,9
8.580,2
26,4
1.672,1
5,1
12.802,5 19.520,1
39,4 60,1
8.264,5 2.745,7
25,4 8,4
2.381,0 362,9
7,3 1,1
9.051,9 9.871,3
27,9 30,4
Keterangan: S1 = Sangat sesuai; S2 = Cukup sesuai; S3 = Sesuai marjinal; N = Tidak Sesuai
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk kawasan lindung diperoleh hasil pembandingan yang dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk kawasan lindung yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 8.810,5 ha (27,1%); kawasan yang cukup sesuai (S2) untuk kawasan lindung adalah seluas 12.805,4 ha (39,4%); kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah seluas 7.947,5 ha (24,5%); kawasan yang tidak sesuai (N) seluas 2.936,6 ha (9,0%). Kemiringan lereng menjadi salah satu faktor pembatas untuk kelas kesesuaian kawasan lindung. Kemiringan lereng <15-25% pada dasarnya dapat digunakan untuk penggunaan-penggunaan lain selain kawasan lindung. Menurut Saroinsong (2002), semakin meningkat kemiringan lereng semakin sedikit proporsi sawah dan permukiman. Sebaliknya, semakin berkurang kemiringan lereng seharusnya semakin besar proporsi hutan, kebun campuran, dan talun. Pada Gambar 18 dapat dilihat hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 3.475,5 ha (10,7%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah 682,3 ha (2,1%); luas kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah 647,7 ha (2,0%); luas kawasan yang tidak sesuai (N) adalah 27.694,5 ha (85,2%). Kesesuaian lahan kawasan konservasi didasarkan atas keberadaan hutan sekunder yang masih mempunyai jenis-jenis vegetasi dan satwa alami. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), penilaian kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi didasarkan atas kekhasan masing-masing kawasan sesuai dengan tujuan konservasi yang dilakukan tersebut.
54
Gambar 17. Peta kesesuaian lahan kawasan lindung
55
Gambar 18. Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi
56
Hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 20.009,7 ha (61,6%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah 2.237,9 ha (6,9%); luas kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah seluas 8.580,2 ha (26,4%); luas kawasan yang tidak sesuai (N) adalah 1.672,1 ha (5,1%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pertanian lahan kering adalah kemiringan lereng dan drainase. Kawasan dengan kemiringan lereng 15-25% dan drainase agak terhambat merupakan kawasan yang sesuai marjinal untuk pertanian lahan kering. Untuk mengatasi faktor pembatas tersebut, diperlukan kegiatan pengelolaan berupa teknik-teknik konservasi tanah. Teknik-teknik konservasi tanah yang diterapkan harus sesuai dengan fungsi lahannya, yaitu fungsi lindung, fungsi budi daya tanaman tahunan, dan fungsi budi daya tanaman semusim (Departemen Kehutanan, 1986 diacu dalam Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007). Upaya pengelolaan dengan penerapan teknik-teknik konservasi tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas lahan menjadi kelas cukup sesuai (S2) untuk pertanian lahan kering. Pada Gambar 20 dapat dilihat hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk pertanian lahan basah yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 12.802,5 ha (39,4%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah seluas 8.264,5 ha (25,4%); luas kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah seluas 2.381,0 ha (7,3%); kawasan yang tidak sesuai (N) untuk pertanian lahan basah adalah seluas 9.051,9 ha (27,9%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pertanian lahan basah adalah kemiringan lereng dan drainase. Kawasan dengan kemiringan lereng 8->25% dan drainase sedang dan baik merupakan kawasan yang termasuk sesuai marjinal dan tidak sesuai untuk pertanian lahan basah. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan hanya dapat meningkatkan kualitas lahan menjadi satu tingkat lebih baik, yaitu menjadi cukup sesuai dan sesuai marjinal. Kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan adalah penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air dan pembuatan saluran irigasi.
57
Gambar 19. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan kering
58
Gambar 20. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan basah
59
Hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk permukiman dapat dilihat pada Gambar 21. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan yang sangat sesuai (S1) untuk permukiman adalah 19.520,1 ha (60,1%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah 2.745,7 ha (8,4%); luas kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah 362,9 ha (1,1%); kawasan yang tidak sesuai (N) adalah 9.871,3 ha (30,4%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk permukiman adalah kemiringan lereng dan banjir. Berdasarkan faktor pembatas kerawanan banjir, kawasan permukiman eksisting yang merupakan pusat Kota Samarinda berada pada kawasan yang tidak sesuai untuk permukiman. Kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah banjir adalah dengan memperbaiki saluran-saluran drainase, pengelolaan sampah, pembuatan sumursumur resapan, penanaman vegetasi, dan lain-lain. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan ini, diharapkan adanya pertimbangan Pemerintah Kota Samarinda untuk melakukan pengembangan kawasan permukiman di kawasan yang sangat sesuai untuk permukiman. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda (2005), Pemerintah Kota Samarinda akan melakukan pengembangan kawasan permukiman di wilayah Kecamatan Samarinda Utara. Kecamatan Samarinda Utara berdasarkan hasil kesesuaian lahan untuk permukiman merupakan kawasan yang sangat sesuai untuk pengembangan kawasan permukiman. Namun demikian, dalam pengembangan kawasan permukiman harus tetap memperhatikan dampakdampak lingkungan yang akan ditimbulkan akibat adanya pengembangan kawasan tersebut, termasuk juga memperhatikan kegiatan pengelolaannya.
60
Gambar 21. Peta kesesuaian lahan permukiman
61
4.1.1.12. Sedimentasi Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam ekosistem DAS sangat bermanfaat bagi pengembangan sumber daya alam, khususnya air. Sistem hidrologi erat kaitannya dengan hubungan berlangsungnya erosi di daerah tangkapan air dan besarnya sedimentasi yang terjadi di aliran sungai daerah tangkapan air tersebut. Menurut Asdak (2007), sedimen adalah hasil proses erosi, baik erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan bendungan. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Berdasarkan hasil evaluasi, hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus Sub-DAS
Luas SDR Tanah tererosi (ton/thn) Hasil sedimen (ton/thn) (ha) 2000 2002 2000 2002 584.194,4 209.457,4 4.599.956,3 6.926,8 0,127 1.649.271 Karang Mumus Ulu 129.525,3 46.440,1 846.570,5 303.530 1.274,8 0,153 Lantung 584.084,8 209.418,1 4.599.092,9 6.925,5 0,127 1.648.961 Pampang 183.324,8 65.729,4 1.198.201,3 429.604 1.804,3 0,153 Siring 214.364,9 76.858,5 1.401.078,1 502.344 2.109,8 0,153 Jaya Mulya 201.176,7 72.130,0 1.314.880,4 471.438 1.980,0 0,153 Muang 248.321,1 89.033,2 1.623.013,9 581.916 2.444,0 0,153 Betapus 674.706,3 241.909,6 5.312.648,0 8.000,0 0,127 1.904.800 Karang Mumus Ilir Total 31.465,2 7.491.863 20.859.441,5 1.010.976,3 2.819.698,4 Sumber: Diolah dari Hardwinarto (2000), Balitbangda (2002), dan BPDAS-MB (2004).
Berdasarkan data erosi tahun 2000 dan 2002, hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun 2000, hasil sedimen yang diperoleh adalah sebesar 1.010.976,3 ton/tahun meningkat menjadi 2.819.698,4 ton/tahun pada tahun 2002. Terjadi peningkatan sebesar 1.808.722,1 ton atau sekitar 178,9%.
Prediksi hasil sedimen yang
dihasilkan pada tahun 2008 adalah sebesar 8.245.864,7 ton/tahun, dengan asumsi bahwa penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tidak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil sedimen yang terjadi pada suatu DAS.
62
Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya sedimen yang terjadi adalah faktor biofisik DAS Karang Mumus. Iklim, jenis tanah, kemiringan lereng, dan vegetasi mempunyai peranan penting terhadap berlangsungnya proses erosisedimentasi (Asdak, 2007). Kondisi iklim di lokasi penelitian dengan tipe iklim tropis basah dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan tanah. Selain itu, jenis tanah yang tergolong peka terhadap erosi dan mudah longsor juga menjadi salah satu penyebab besarnya sedimentasi yang terjadi. Tingkat bahaya erosi-sedimentasi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut mempunyai tingkat kemiringan lereng yang besar. Demikian halnya dengan struktur vegetasi, semakin luasnya lahan terbuka dan semak belukar tanpa vegetasi penutup tanah yang baik dapat meningkatkan potensi terjadinya erosi-sedimentasi.
Faktor
penyebab yang lain adalah adanya aktivitas manusia yang dilakukan di DAS Karang Mumus tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Menurut Asdak (2007), tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai pada titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng, dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya.
Oleh karena itu,
besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS. Terjadinya transpor sedimen sebesar 8.245.864,7 ton/tahun di DAS Karang Mumus ke daerah hilir akan menyebabkan pendangkalan bendungan, sungai, saluran irigasi, dan terbentuknya tanah-tanah baru di pinggir-pinggir dan di deltadelta sungai. Dengan demikian, proses sedimentasi dapat memberikan dampak yang menguntungkan dan merugikan. Dikatakan menguntungkan jika pada tingkat tertentu adanya aliran sedimen ke daerah hilir dapat menambah kesuburan tanah serta terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir. Akan tetapi, pada saat bersamaan aliran sedimen juga dapat menurunkan kualitas air dan pendangkalan badan air di DAS Karang Mumus. Dalam konteks pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus, kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan bertujuan mengendalikan atau menurunkan hasil sedimen yang terjadi karena kerugian yang ditimbulkan oleh adanya proses sedimentasi jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.
63
4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya 4.2.2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah dan kepadatan penduduk merupakan unsur yang sangat penting dalam kependudukan. Kepadatan penduduk suatu wilayah dapat didekati dari dua cara, yaitu kepadatan geografis atau population density (orang per km2) dan kepadatan agraris atau man land ratio (orang per ha).
Kepadatan geografis
menggambarkan jumlah penduduk untuk setiap satuan luas wilayah, sedangkan kepadatan agraris menggambarkan beban lahan pertanian untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang menghuninya (Sehe, 2007). Perkiraan jumlah penduduk, kepadatan geografis, dan kepadatan agraris penduduk DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 16. Dengan demikian, kepadatan agraris penduduk DAS Karang Mumus untuk tahun 2006 berturut-turut adalah 68 jiwa/ha untuk Kecamatan Samarinda Ulu, 71 jiwa/ha untuk Kecamatan Samarinda Ilir, 6 jiwa/ha untuk Kecamatan Samarinda Utara, dan 3 jiwa/ha untuk Kecamatan Muara Badak. Total kepadatan agraris penduduk DAS Karang Mumus adalah 8 jiwa/ha. Hal ini berarti bahwa setiap 1 ha lahan pertanian di DAS Karang Mumus harus dapat memenuhi kebutuhan hidup 8 jiwa penduduk yang menghuninya. Tabel 16. Perkiraan jumlah, kepadatan geografis, dan kepadatan agraris penduduk DAS Karang Mumus Kecamatan
Luas (km2)
Tahun 1992 Jumlah Kepadatan penduduk geografis (jiwa) (jiwa/km2)
Tahun 2001 Jumlah Kepadatan penduduk geografis (jiwa) (jiwa/km2)
Jumlah penduduk (jiwa)
Tahun 2006 Kepadatan Kepadatan geografis agraris (jiwa/km2) (jiwa/ha)
Samarinda Ulu
5,59
41.246
7.379
33.781
6.043
37.855
6.772
68
Samarinda Ilir
3,69
95.395
25.852
29.584
8.017
26.131
7.082
71
Samarinda Utara
277,8
-
-
120.486
434
163.137
587
6
Muara Badak
27,57
3.135
114
4.023
146
8.395
304
3
Jumlah
314,65
139.776
444
187.874
597
235.518
749
8
Sumber: Diolah dari BPS Samarinda (1992, 2001, dan 2007), BPS Kukar (1995, 2001, dan 2006)
Berdasarkan data penduduk pada Tabel 16, diperoleh laju pertumbuhan penduduk DAS Karang Mumus sebesar 4,9% per tahun.
Prediksi jumlah
penduduk pada tahun 2012 yaitu 276.756 jiwa, kepadatan geografis 879 jiwa/km2, dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk setiap tahun hingga tahun 2012 adalah
64
konstan (tetap). Setiap tahun terjadi pertambahan penduduk sebesar 6.849 jiwa. Pada tahun 2012, kepadatan agraris mencapai 9 jiwa/ha.
Berarti terjadi
penambahan beban untuk 1 ha lahan pertanian agar dapat memenuhi kebutuhan hidup 9 jiwa penduduk yang menghuninya. Terkait dengan penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus, pada tahun 2012 lahan pertanian dengan luas yang semakin berkurang yaitu 907,102 ha pada tahun 2007 akan menanggung beban sebesar 305 jiwa/ha.
4.2.2.2. Umur Responden Umur adalah jangka waktu dalam tahun mulai dari tahun kelahiran responden sampai pada saat penelitian dilaksanakan. Umur merupakan salah satu identitas yang dapat mempengaruhi pola fikir dan kemampuan kerja (Purwanti, 2007).
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur dapat
dilihat pada Gambar 22. 38
40
Responden
35 30
Umur Responden
25
Persentase
20
15
15
28
13
10 5
15,96%
13,83%
40,43%
29,79%
0 20 - 30
30 - 40
40 - 50
>50
Kelompok Umur
Gambar 22. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur Dari Gambar 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang bekerja di bidang pertanian adalah kelompok umur 40 - 50 tahun, yaitu sebanyak 38 responden dengan persentase 40,43%, dan responden dengan kelompok umur >50 tahun sebanyak 28 responden dengan persentase 29,79%. Jika diakumulasikan antara kedua kelompok umur tersebut, sebanyak 66 responden atau 70,22% responden yang bekerja di bidang pertanian adalah kelompok umur 40 tahun ke atas. Akumulasi responden kelompok umur antara 20 – 30 dan 30 - 40 tahun
65
adalah sebanyak 28 responden dengan persentase 29,78%. Responden dengan kelompok umur antara 20 – 40 tahun dapat dikategorikan sebagai petani atau tenaga kerja muda. Dengan melihat perbandingan persentase kelompok umur antara 20 – 40 tahun dan kelompok umur 40 tahun ke atas, dapat dilihat kurangnya minat angkatan tenaga kerja muda untuk bekerja di bidang pertanian. Dari hasil wawancara terhadap responden diperoleh informasi bahwa angkatan tenaga kerja muda cenderung lebih memilih pekerjaan di bidang lain daripada pertanian, misalnya sebagai karyawan perusahaan, pedagang, bekerja di bidang pendidikan, jasa dan pemerintahan. Sangat disayangkan, bila tenaga kerja muda yang memiliki banyak potensi kurang mempunyai minat bekerja di bidang pertanian. Tenaga kerja muda dengan fisik yang masih sehat, pola fikir yang lebih terbuka dan lebih dinamis dalam menerima perubahan hal-hal baru merupakan potensi untuk mengembangkan pertanian (Purwanti, 2007), terutama dalam pengelolaan lanskap agroforestri yang tidak terlepas dari bidang pertanian. Dengan demikian, perlu adanya upaya dari berbagai pihak agar tenaga kerja muda berminat untuk mengembangkan pertanian berbasis lanskap agroforestri. 4.2.2.3. Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Tingkat pendidikan dibagi menjadi empat, yaitu SD atau sederajat, SMP atau sederajat, SMA atau sederajat, dan tidak sekolah. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 23, dapat dilihat bahwa responden dengan tingkat pendidikan SMA atau sederajat hanya 6 responden dengan persentase 6,38%.
Responden dengan tingkat pendidikan SMP atau
sederajat hanya sebanyak 14 responden atau 14,89% dari total responden. Responden dengan tingkat pendidikan SD atau sederajat mencapai 63 responden atau 67,02%.
Responden yang tidak pernah mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan sekolah sebanyak 11 responden atau 11,70%. Akumulasi responden dengan tingkat pendidikan SD atau sederajat dan responden yang tidak mendapatkan pendidikan sekolah adalah sebanyak 74 responden atau 78,72%.
Responden
66
70 60 50 40 30 20 10 0
63 Pendidikan Responden Persentase 14 67,02% SD/sederajat
14,89% SMP/sederajat
6
11 6,38%
SMA/sederajat
11,70% Tidak sekolah
Tingkat Pendidikan
Gambar 23. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian
Tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berkaitan dengan kelompok umur responden. Sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan SD atau sederajat dan responden yang tidak mendapatkan pendidikan sekolah merupakan responden dengan kelompok umur 40 tahun ke atas.
Hal ini
memberikan indikasi bahwa tingkat pendidikan responden yang bekerja di bidang pertanian tergolong masih rendah. Melihat kondisi tingkat pendidikan responden yang masih rendah tersebut, dikhawatirkan responden kurang dapat mengelola lahan pertaniannya dengan baik sehingga lahan tersebut menjadi lebih cepat miskin hara.
Kondisi ini sesuai
dengan pendapat Adhawati (1997) yang menyebutkan tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam kemampuan berfikir memahami arti pentingnya pengelolaan usaha pertanian dengan tetap memperhatikan konservasi tanah dengan baik dan mencari solusi atau pemecahan setiap permasalahan.
4.2.2.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah semua orang yang tinggal dalam satu rumah ataupun yang berada di luar dan menjadi tanggungan kepala keluarga, yang meliputi istri, anak, dan anggota keluarga lain yang ikut menumpang.
Banyaknya jumlah tanggungan keluarga merupakan
beban kepala keluarga untuk dapat memenuhi segala macam kebutuhannya. Semakin banyak anggota keluarga yang tinggal bersama, semakin banyak juga
67
biaya hidup yang harus dikeluarkan. Jumlah anggota keluarga responden di DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah anggota keluarga responden No.
Jumlah anggota keluarga (orang) 0 1. 1–2 2. 3–4 3. 5–6 4. 7–8 5. Total Sumber: Hasil survei (2008)
Jumlah responden
Persentase (%)
Rata-rata
5 28 48 12 1 94
5,32 29,79 51,06 12,77 1,06 100,00
1,9 3,5 5,4 7 3,6
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa sekitar 51,06% atau 48 responden memiliki anggota keluarga pada kisaran 3 – 4 orang. Secara rata-rata responden di lokasi penelitian memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 orang. Dengan demikian, berarti satu kepala keluarga petani harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup 4 orang anggota keluarganya. Anggota keluarga sebanyak 4 orang per kepala keluarga merupakan sumber tenaga kerja potensial dan apabila dikelola secara baik dapat meringankan beban kepala keluarga. Menurut Sehe (2007), anggota keluarga petani merupakan aset untuk petani berupa tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan dalam mengelola usaha pertanian. Jika potensi tenaga kerja keluarga tersebut dimanfaatkan secara optimal, akan terjadi perubahan ke arah perbaikan status ekonomi rumah tangga tani.
4.2.2.5. Kelayakan Usaha Tani dan Kebutuhan Hidup Layak Hasil perhitungan rasio B/C memperlihatkan bahwa tipe penggunaan lahan pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah memberikan hasil yang menguntungkan (rasio B/C = 2,7) (Lampiran 12). Pertanian lahan kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) juga memperlihatkan hasil yang layak untuk diusahakan dengan rasio B/C berturut-turut adalah 1,2, 2,8, dan 3,4 (Lampiran 13, 14, dan 15). Pertanian lahan kering dengan tanaman komoditi cabai memperlihatkan rasio B/C tertinggi, yaitu 3,4. Kebutuhan hidup layak (KHL) sebuah keluarga atau kebutuhan hidup yang berada pada ambang kecukupan terjadi apabila keluarga tersebut memiliki penghasilan sekurang-kurangnya 2,5 kali kebutuhan hidup minimum (KHM)
68
(Rauf, 2008). Menurut Sajogjo (1977), KHM yang merupakan standar minimal penghasilan untuk sekedar bertahan hidup per kapita per tahun di pedesaan nilainya rata-rata setara dengan 320 kilogram beras. Untuk mencapai KHL, suatu keluarga harus berpenghasilan yang dapat memenuhi KHM sekaligus dapat membiayai sekolah anak-anaknya, berobat bila sakit, memenuhi sarana prasarana kehidupan sehari-hari, membiayai kegiatan sosial, dan menabung (2,5 kali KHM). Dengan harga beras pada saat penelitian dilakukan sebesar Rp. 4.500,per kilogram, nilai KHM setiap keluarga petani dengan lima orang anggota keluarga adalah sebesar Rp. 7.200.000,- per tahun, sedangkan nilai KHLnya sebesar Rp. 18.000.000,- per tahun. Akan tetapi, KHL sebesar Rp. 18.000.000,per tahun untuk lima anggota keluarga petani ini tidak dapat memenuhi KHL di lokasi penelitian jika berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku. Sebagai perbandingan, berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku di lokasi penelitian pada tahun 2008 diperoleh KHL untuk satu keluarga petani sebesar Rp. 63.000.000,- (Lampiran 16). Dengan demikian, diperoleh kebutuhan lahan untuk pertanian lahan basah (padi sawah) seluas 3,14 ha dan pertanian lahan kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) berturut-turut adalah 9,50 ha, 3,81 ha, dan 0,28 ha untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) satu keluarga petani dengan lima anggota keluarga. Kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan harga barang konsumtif atau hasil survei ini diharapkan dapat menjadi dasar penetapan upah minimum regional untuk tahun yang akan datang. Upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Samarinda pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp. 842.000,- per bulan. Dengan demikian, diperoleh KHL untuk lima orang anggota keluarga petani, yaitu sebesar Rp. 50.520.000,-. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian, terdapat 58 responden (61,7%) responden mempunyai pendapatan di atas UMR, sedangkan 36 responden (38,3%) di antaranya mempunyai pendapatan di bawah UMR. Dengan demikian, sekitar 38,3% responden belum dapat memenuhi KHLnya berdasarkan UMR. Terkait dengan beban 1 ha lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup 305 jiwa, diharapkan dapat diperoleh melalui fungsi-fungsi pengelolaan lanskap agroforestri.
69
4.2.2.6. Latar Belakang Budaya dan Keinginan Masyarakat Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner yang diperoleh dari responden, sebagian besar responden berasal dari pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat dengan akumulasi persentase sebesar 59,58%. Selanjutnya diikuti oleh responden yang berasal dari Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Barat.
Persentase latar
belakang budaya masyarakat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 24. 40 35
35,11%
Persentase
Responden
30
Asal Daerah Responden
25 20,21%
20 15
33
13,83%
12,77%
10
8,51%
5
8
Kalsel
Sulsel
Sumbar
4,26%
3,19%
4
3
Jabar
Lain-lain
1,06% 1
1,06% 1
0 Jateng
19 13
12
Jatim
Sulteng
Kaltim
Asal Daerah
Gambar 24. Latar belakang budaya masyarakat Berdasarkan sejarah perkembangan kawasan DAS Karang Mumus, masyarakat yang bermukim di DAS Karang Mumus adalah masyarakat yang berasal dari pulau Jawa yang mengikuti program transmigrasi pemerintah, kemudian diikuti dengan migrasi spontan masyarakat Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, suku Dayak Kenyah, serta masyarakat lokal yang berasal dari suku Kutai. Kedatangan masyarakat dari berbagai daerah ini dengan tujuan memperoleh kehidupan yang lebih layak dan mendekati kota untuk tujuan memperoleh
pendidikan,
pelayanan
kesehatan,
dan
bekerja
di
bidang
pemerintahan (DPU, 2003). Di dalam pengelolaan agroforestri, keinginan masyarakat untuk ikut terlibat merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Dari hasil penelitian di lapang, 92,55% responden menyatakan berminat untuk terlibat di dalam pengelolaan agroforestri, sedangkan 7,45% responden masih berkeinginan untuk mempunyai
70
usaha di bidang lain. Selain itu, 89,36% responden di lokasi penelitian telah bekerja di bidang pertanian selama 6 - >31 tahun. Besarnya minat masyarakat terhadap pengelolaan agroforestri ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik, mengingat permasalahan yang ada di lapang sangat kompleks.
4.2.3. Faktor Kebijakan Pemerintah Kota Samarinda menyadari pentingnya sungai Karang Mumus sebagai sumber daya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat Kota Samarinda dari dulu sampai sekarang. Fungsi tersebut antara lain, sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, angkutan sungai, sumber perikanan, dan obyek wisata. Namun, dari waktu ke waktu fungsi tersebut terus
mengalami
penurunan
seiring
dengan
perkembangan
perkotaan,
bertambahnya jumlah penduduk, dan meningkatnya aktivitas manusia baik yang berada di sepanjang maupun di luar aliran DAS Karang Mumus. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan badan sungai hingga tidak mampu lagi menahan debit air yang lebih besar. Pada akhirnya terjadi banjir/genangan di beberapa wilayah Kota Samarinda. Selain itu, kualitas air sungai Karang Mumus sudah tidak layak digunakan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan biota khas Samarinda. Pada tahun 1989 dalam Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air Sungai di Surabaya, yang dihadiri oleh delapan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Timur, untuk pertama kalinya dicanangkan program kali bersih (PROKASIH).
Kedelapan provinsi ini kemudian menjadi provinsi pertama
peserta PROKASIH yang meliputi 15 daerah aliran sungai dan 35 ruas sungai, termasuk sungai Karang Mumus sebagai sub-DAS Mahakam.
Tujuan dari
PROKASIH adalah meningkatkan kualitas air sungai, memulihkan fungsi, kedayagunaan,
dan
kemanfaatan
sungai
bagi
kepentingan
umum,
dan
meningkatkan sumber daya dan kapasitas kelembagaan (institutional resources) di bidang pengendalian pencemaran air (PEMKOT Samarinda, 2007). Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan PROKASIH dan terjadinya banjir di Kota Samarinda pada tahun 1998, dilaksanakan program relokasi penduduk tepi
71
sungai Karang Mumus. Kebijakan relokasi ini merupakan salah satu langkah program penataan sungai Karang Mumus.
Langkah-langkah penataan sungai
Karang Mumus yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda, yaitu 1) kawasan permukiman kumuh yang berada di bantaran sungai Karang Mumus pada jarak ± 5 – 20 m akan direlokasi ke luar kawasan, 2) memindahkan atau menutup industri-industri kecil di sepanjang sungai Karang Mumus, 3) memperlebar jalan di tepi sungai, 4) penataan/relokasi pasar yang ada, dan 5) membuat jalur hijau dan taman, jalur rekreasi di lahan sepanjang sungai yang terkena relokasi. Dengan terjadinya banjir pada bulan Juli – Agustus 1998, seluruh program pembangunan diprioritaskan untuk penanganan sungai Karang Mumus, baik melalui program normalisasi sungai maupun program percepatan relokasi penduduk Karang Mumus. Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah juga telah dan sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk penanganan DAS Karang Mumus. Berdasarkan hasil wawancara, pemerintah telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit berupa tanaman buah-buahan, perkebunan, dan penyedia energi, seperti durian, sengon, dan lain-lain.
Masih banyak responden di lokasi penelitian yang
meragukan keberhasilan program rehabilitasi ini karena banyaknya permasalahan di lapang, seperti pendistribusian sarana dan biaya produksi yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat waktu, pemanfaatan dan pemasaran hasil produksi yang juga belum jelas. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Kartanegara (2007), Kecamatan Muara Badak dialokasikan sebagai kawasan budi daya non kehutanan. Kecamatan Muara Badak akan dikembangkan sebagai kawasan perkotaan dengan fungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa, pertambangan, dan permukiman. Sebagai daerah hulu dari DAS Karang Mumus, rencana pengembangan yang akan dilakukan di Kecamatan Muara Badak ini harus diarahkan pada konsep konservasi lingkungan, sehingga pengembangan kawasan perkotaannya perlu dibatasi. Pada saat ini telah berkembang kegiatan perdagangan dan jasa skala sub-wilayah di Kecamatan Muara Badak.
72
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda (2005), alokasi kawasan budi daya pertanian tersebar di seluruh Kecamatan Samarinda.
Kawasan lindung dialokasikan di Kecamatan Samarinda Utara
(Kelurahan Sei Siring, Bayur, Sempaja, dan Lempake). Kawasan lindung yang dimaksud di sini adalah kawasan yang masih mempunyai vegetasi heterogen yang dilindungi sebagai penangkap air hujan untuk suplai air Kota Samarinda seperti KRUS, kawasan sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak sungai yang berada di luar permukiman, kawasan sepanjang tepian waduk/bendungan yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik waduk/bendungan antara 50-100 meter dihitung dalam keadaan pasang tertinggi ke arah daratan, yaitu sekitar 1.857,19 ha. Pada kenyataannya, masyarakat masih menganggap bahwa kawasan lindung seperti sempadan sungai dan kawasan sekitar bendungan adalah harta milik bersama (common property) sehingga masih terjadi berbagai bentuk penggunaan lahan di kawasan ini. Kekhawatiran terhadap bentuk penggunaan ini adalah jika dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan sehingga menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin parah. Kawasan wisata dialokasikan di Kecamatan Samarinda Utara (Kelurahan Lempake, Pampang, dan Sungai Siring). Lempake direncanakan sebagai kawasan wisata dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan, yaitu dengan tetap berupaya mempertahankan dan memanfaatkan vegetasi heterogen sebagai cathment area (daerah tangkapan air) dan juga sebagai fungsi pariwisata alam dengan terdapatnya taman wisata tanah merah, lapangan golf, tempat-tempat pemancingan dan peristirahatan.
Pampang dan Sungai Siring dialokasikan
sebagai kawasan cagar budaya Dayak yang merupakan kawasan permukiman suku Dayak Kenyah dan Benoa Baru. Untuk menarik para wisatawan, atraksi seni dan budaya Dayak Kenyah (Gambar 25) tetap dipertahankan dan dilakukan setiap minggu di rumah Lamin Pampang.
73
Gambar 25. Seni dan budaya Dayak Kenyah Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, Kecamatan Samarinda Utara juga dialokasikan untuk perluasan permukiman, realisasi Sungai Siring sebagai Bandara Internasional dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Menurut Saroinsong (2002), perubahan penggunaan lahan menyangkut peningkatan kebutuhan penduduk tidak bisa dibendung begitu saja. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengontrol perubahan yang terjadi dan meminimalkan dampak negatif sekaligus memaksimalkan dampak positif. Dasar pengembangan wilayah yang akan dilakukan seharusnya dengan tidak mengubah begitu banyak kondisi fisik dan lingkungan yang ada, jenis kegiatan yang diijinkan, dan lokasi yang diijinkan dikembangkan harus mengacu pada ketentuan-ketentuan teknis yang diberlakukan secara ketat, terutama untuk mendukung pengembangan Bandara Internasional Sei Siring.
Pengembangan
Bandara Internasional Sei Siring akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan wilayah Kota Samarinda, terutama kawasan DAS Karang Mumus sebagai wilayah ekologisnya. Dari hasil kajian di atas, pengelolaan penggunaan lahan yang dilakukan di DAS Karang Mumus, baik oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara maupun Pemerintah Kota Samarinda harus tetap memperhatikan fungsi kawasan DAS Karang Mumus. Selain itu, juga harus tetap dapat mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada, mengkonservasi tanah dan air, mempertahankan cadangan karbon, dan mempertahankan keindahan kawasan. Dengan demikian, kondisi yang terjadi saat ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus.
74
4.2. Faktor-Faktor Pendorong Pengelolaan Lanskap Agroforestri Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik lanskap DAS Karang Mumus, faktor-faktor yang menjadi pendorong di dalam pengelolaan lanskap agroforestri adalah sebagai berikut. 1) Faktor pendorong yang merupakan faktor biologi-fisik adalah aksesibilitas, perubahan penutupan dan penggunaan lahan, dan kesesuaian penggunaan lahan. 2) Faktor pendorong yang merupakan faktor sosial-ekonomi-budaya adalah laju pertumbuhan penduduk, kelayakan usaha pertanian, dan latar belakang budaya dan keinginan masyarakat. 3) Faktor pendorong yang merupakan faktor kebijakan adalah program-program pemerintah dalam rangka penanganan permasalahan lingkungan di kawasan DAS Karang Mumus, seperti program relokasi permukiman di sempadan sungai Karang Mumus dan juga program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis. Hasil pendapat gabungan para ahli yang menunjukkan besarnya tingkat pengaruh yang diberikan terhadap masing-masing faktor pendorong rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh faktor-faktor pendorong Faktor Kebijakan Sosial-ekonomi-budaya Biologi-fisik
Bobot 0,59 0,25 0,16
Tingkat pengaruh 1 2 3
Sumber: Hasil survei (2008)
Menurut penilaian responden, faktor kebijakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap rencana pengelolaan lanskap agroforestri dengan bobot 0,59. Selanjutnya faktor pendorong dengan tingkat pengaruh kedua dan ketiga adalah faktor sosial-ekonomi-budaya dengan bobot 0,25 dan faktor biologifisik dengan bobot 0,16. Nilai rasio konsistensi yang diperoleh dari hasil analisis adalah sebesar 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan berada pada tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, cukup baik, dan dapat diterima. Responden konsisten dalam memberikan penilaian terhadap tingkat pengaruh masing-masing faktor. Faktor kebijakan menjadi faktor yang paling berpengaruh disebabkan bahwa pengelolaan yang dilakukan terhadap suatu kawasan seperti DAS Karang Mumus
75
merupakan tanggung jawab pemerintah. Dengan adanya program-program pemerintah yang dilakukan untuk penataan kawasan merupakan salah satu pendorong tercapainya pengelolaan lanskap agroforestri. Sosial-ekonomi-budaya merupakan faktor pendorong kedua. Beragamnya kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat di DAS Karang Mumus dapat menjadi salah satu pendorong pengelolaan lanskap agroforestri. Masyarakat di DAS Karang Mumus dapat dilibatkan dalam pengembangan agroforestri. Menurut Sundawati (2008), keterlibatan masyarakat di dalam pengembangan agroforestri telah mencegah perambahan hutan yang semakin luas dan menghentikan penebangan liar yang dilakukan masyarakat. Selain itu, pengembangan agroforestri telah dapat memberikan tambahan pendapatan tunai bagi masyarakat melalui diversifikasi sumber pendapatan. Faktor biologi-fisik menjadi faktor pendorong ketiga di dalam pengelolaan lanskap agroforestri. Menurut pendapat responden, menurunnya fungsi kawasan DAS Karang Mumus disebabkan karena pengelolaan yang dilakukan pada saat ini belum tepat. 4.2.1. Faktor Kebijakan Di dalam faktor kebijakan, relokasi permukiman tepi sungai Karang Mumus dengan bobot 0,67 merupakan kriteria dengan tingkat pengaruh pertama (Tabel 19). Selanjutnya diikuti oleh kriteria reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan bobot 0,33. Tabel 19. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor kebijakan Kriteria Relokasi permukiman tepi sungai Reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis
Bobot 0,67 0,33
Tingkat pengaruh 1 2
Sumber: Hasil survei (2008)
Responden lebih memilih relokasi permukiman tepi sungai yang lebih berpengaruh dibandingkan dengan reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis. Program relokasi permukiman tepi sungai yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda akan sangat mendukung tersedianya lahan untuk kawasan lindung. Kawasan lindung berupa jalur ini sebagian besar dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai jalur hijau, taman, dan jalur rekreasi.
76
Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006, pemerintah telah merelokasi 1.260 bangunan dari 3.915 bangunan yang ada. Sumber dana yang diperoleh pemerintah berasal dari subsidi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan APBD Kota Samarinda dengan total nilai sebesar Rp. 93.169.287.941,- (DPU, 2003). Program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis sebagai kriteria dengan tingkat pengaruh kedua. Secara kelembagaan, kegiatan reboisasi dan rehabilitasi berada di bawah koordinasi Pemerintah. Namun demikian, harus disadari bahwa pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ini tidak hanya merupakan tanggung-jawab dari Pemerintah, tetapi merupakan tanggung-jawab seluruh masyarakat yang berada di wilayah DAS Karang Mumus. Masyarakat dalam hal ini dikategorikan sebagai petani pemilik lahan, petani penggarap, tokoh masyarakat, tokoh agama, LKMD, tokoh adat, LSM dan lembaga-lembaga lain yang berada di wilayah DAS Karang Mumus. Jika kelembagaan masyarakat ini berjalan dengan baik, maka program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis ini diharapkan akan berhasil. 4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya Laju pertumbuhan penduduk dan latar belakang budaya masyarakat merupakan kriteria-kriteria yang paling berpengaruh di dalam faktor sosialekonomi-budaya dengan bobot masing-masing 0,43 (Tabel 20). Selanjutnya adalah kriteria kelayakan usaha pertanian dengan bobot 0,14. Tabel 20. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor sosialekonomi-budaya Kriteria Laju pertumbuhan penduduk Latar belakang budaya masyarakat Kelayakan usaha pertanian
Bobot 0,43 0,43 0,14
Tingkat pengaruh 1 1 2
Sumber: Hasil survei (2008)
Menurut pendapat responden, laju pertumbuhan penduduk dan latar belakang budaya merupakan kriteria yang paling berpengaruh di dalam faktor sosial-ekonomi-budaya. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan dengan latar belakang budaya yang beragam di DAS Karang Mumus menyebabkan meningkatnya berbagai kebutuhan hidup yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan ini akan
77
terpenuhi jika penduduk dapat meningkatkan kelayakan usaha pertaniannya. Hal ini akan tercapai jika didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat. Responden berpendapat bahwa meningkatnya jumlah penduduk seharusnya diikuti dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan keterampilan agar dapat mengelola usaha pertaniannya dengan lebih baik lagi. 4.2.3. Faktor Biologi-Fisik Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa aksesibilitas dengan bobot 0,58 merupakan kriteria yang paling berpengaruh di dalam faktor biologi-fisik. Selanjutnya diikuti oleh kriteria kesesuaian penggunaan lahan dengan bobot 0,23 dan perubahan penutupan dan penggunaan lahan dengan bobot 0,19. Tabel 21. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor biologifisik Kriteria Aksesibilitas Kesesuaian penggunaan lahan Perubahan penutupan dan penggunaan lahan
Bobot 0,58 0,23 0,19
Tingkat pengaruh 1 2 3
Sumber: Hasil survei (2008)
Aksesibilitas menjadi kriteria pendorong yang pertama karena aksessibilitas merupakan infrastruktur yang penting di dalam pengelolaan lanskap agroforestri. Pendistribusian produk-produk agroforestri tentunya sangat tergantung pada aksesibilitas. Aksesibilitas berupa jalan tanah, jalan batu, dan jalan aspal telah dibangun di Kota Samarinda sepanjang 1.164,1 km. Rencana pembangunan jalan masih terus dilakukan oleh pemerintah, baik Pemerintah Kota Samarinda maupun Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Selain itu, pemanfaatan sungai Karang Mumus sebagai aksesibilitas seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah. Kesesuaian penggunaan lahan dan perubahan penutupan dan penggunaan lahan menjadi kriteria kedua dan ketiga karena responden berpendapat bahwa penggunaan lahan seharusnya dilakukan berdasarkan kesesuaian penggunaan lahannya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kesesuaian penggunaan lahan akan mengakibatkan barbagai dampak lingkungan, ditambah lagi dengan teknik pengelolaannya yang kurang tepat.
78
4.2.4. Alternatif Rencana Pengelolaan Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan, seperti relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan dengan bobot 0,57 merupakan alternatif pengelolaan yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan lanskap agroforestri. Selanjutnya diikuti oleh alternatif pengelolaan dengan melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi dan mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya. Tabel 22. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh alternatif pengelolaan terhadap tujuan Alternatif Pengelolaan Mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan)
Bobot 0,57
Tingkat pengaruh 1
Melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi
0,22
2
Mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya
0,21
3
Sumber: Hasil survei (2008)
Diantara ketiga alternatif pengelolaan yang telah disebutkan di atas, responden memilih alternatif mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan, seperti relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan sebagai alternatif pertama. Responden berpendapat bahwa pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus akan berhasil jika terdapat kegiatan pengelolaan, seperti relokasi permukiman tepi sungai, konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan kegiatan memperindah kawasan. Kegiatan pengelolaan yang telah disebutkan di atas sangat perlu untuk dilakukan oleh pemerintah.dan didukung sepenuhnya oleh masyarakat dan pengusaha. Menurut DPU (2003), upaya pemulihan kondisi DAS karang Mumus merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah,
pendanaannya.
masyarakat,
dan
pengusaha,
termasuk
dalam
hal
79
4.3. Pengelolaan Lanskap Agroforestri Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus berdasarkan kondisi biologi-fisik dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus Karakteristik Lanskap Luas kawasan (ha) Bentuk bentang lahan Kemiringan lereng Penggunaan lahan
Kondisi sempadan sungai Wilayah administratif
Penggunaan sungai Sub DAS Pola drainase Sumber air Komoditas tanaman utama
DAS Karang Mumus 32.196,3 Datar, bergelombang, dan berbukit Datar – curam sekali Hutan konservasi, hutan sekunder, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, semak belukar, lahan terbuka, dan bendungan Jalur hijau dan taman, lahan pertanian, permukiman dan industri kecil 1. Kota Samarinda: Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Samarinda Ilir, dan Kecamatan Samarinda Utara 2. Kabupaten Kutai Kartanegara: Kecamatan Muara Badak Air minum, MCK, pengairan, perikanan, memancing ikan, pembuangan sampah dan limbah Karang mumus Ulu, Lantung, Pampang, Siring, Jaya Mulya, Muang, Betapus, dan Karang mumus Ilir Percabangan pohon (dendritic pattern) Sungai, hujan, dan sumur Tanaman pangan: padi ladang, padi sawah, jagung, lada, dan lombok Tanaman buah-buahan: cempedak, durian, elai, rambutan Tanaman perkebunan: kelapa, kakao, dan kopi
Berdasarkan hasil evaluasi dan analisis terhadap karakteristik lanskap dan faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri, sistem penggunaan lahan agroforestri terintegrasi dapat diterapkan di kawasan DAS Karang Mumus. Sistem agroforestri terintegrasi merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang memadukan komponen-komponen kehutanan, pertanian, dan permukiman pada suatu bentang lahan, yaitu DAS Karang Mumus. Dengan demikian, alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi di DAS Karang Mumus adalah sebagai berikut. 1. Kawasan lindung Kawasan lindung yang dimaksud di dalam penelitian ini tidak hanya berupa hutan lindung, tetapi juga berupa hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan lain-lain penggunaan dengan tetap mengacu pada fungsi kawasan sebagai
80
kawasan lindung. Hutan lindung adalah hutan yang perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidro-orologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan sekitarnya yang dipengaruhi (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007). Kawasan lindung dialokasikan seluas 12.972,8 ha (39,2%). Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, alokasi kawasan lindung pada suatu kawasan DAS minimal 30% dari luas DAS tersebut. Kondisi eksisting penggunaan lahan yang dialokasikan untuk kawasan lindung sebagian besar berupa semak belukar, lahan terbuka, dan permukiman. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah sangat berperan untuk dapat memenuhi alokasi kawasan lindung sebesar 39,2% tersebut. Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan pada kawasan lindung diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 2. Kawasan konservasi Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kawasan konservasi terdiri atas hutan suaka alam, hutan wisata, dan hutan konservasi lain. Pada dasarnya, pengertian hutan konservasi adalah hutan yang perlu dipertahankan dan dibina keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam, dan kekhasan masing-masing hutan dengan berbagai tujuan konservasi. Alokasi kawasan konservasi di DAS Karang Mumus adalah seluas 3.475,5 ha (10,5%). Hutan-hutan sekunder yang masih tersisa di DAS Karang Mumus sebaiknya dipertahankan sebagai hutan konservasi. Hal ini didasarkan karena masih terdapatnya jenis-jenis vegetasi alami pada hutan sekunder yang masih tersisa. Jenis tegakan pohon yang umumnya masih terdapat di hutan sekunder adalah meranti, kayu manis, karet, jati, mahoni, dan lain-lain. Jenis tegakan pohon ini masih banyak diminati oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan. Jika memungkinkan dilakukan rehabilitasi kembali terhadap lahan semak belukar,
81
sehingga semak belukar dapat dikembalikan menjadi hutan, terutama dalam mendukung fungsi kawasan sebagai kawasan konservasi. Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan pada kawasan konservasi diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 3. Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering dialokasikan seluas 6.056,5 ha (18,3%). Pertanian lahan kering di dalam penggunaannya termasuk juga penggunaan sebagai peternakan. Kombinasi jenis tanaman untuk pertanian lahan kering dapat berupa tanaman semusim, tanaman pohon, dan tanaman pakan ternak. Selain kombinasi berbagai jenis tanaman pertanian, penggunaan dapat juga dikombinasikan dengan hewan ternak. Untuk penggunaan pertanian lahan kering ini, diperlukan adanya perbaikan bentuk pengelolaan terutama disebabkan adanya dampak erosi dan sedimentasi yang ditimbulkannya. 4. Pertanian lahan basah Pertanian lahan basah dialokasikan seluas 7.342,4 ha (22,1%). Komoditi utama yang diusahakan adalah padi sawah. Selain diusahakan sebagai lahan sawah, alokasi pertanian lahan basah ini juga dapat diusahakan untuk perikanan darat. Dari alokasi pertanian lahan kering dan lahan basah dengan total luas 15.910,4 ha, diperoleh kepadatan agraris sebesar 15 jiwa/ha. Dengan demikian, beban lahan pertanian menjadi lebih ringan jika dibandingkan beban lahan pertanian berdasarkan luasan eksisting. 5. Permukiman Permukiman dialokasikan seluas 3.256,3 ha (9,8%). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, kawasan permukiman yang dialokasikan di dalam penelitian ini bukan merupakan lokasi kawasan permukiman eksisting. Faktor pembatas yang menjadi pertimbangan adalah kerawanan banjir. Kawasan permukiman eksisting di DAS Karang Mumus merupakan kawasan pusat Kota Samarinda dengan berbagai pemanfaatan. Kawasan
82
permukiman eksisting terletak di Kecamatan Samarinda Ulu dan Kecamatan Samarinda Ilir. Kawasan permukiman eksisting terutama permukiman di sepanjang sungai Karang Mumus merupakan kawasan yang rawan terhadap banjir karena terletak lebih rendah dari permukaan laut. Selain itu, sebagian besar permukiman yang berada di tepi sungai masih menganggap sungai merupakan ”halaman belakang” tempat membuang segala macam sampah atau limbah. Pembuangan sampah dan limbah ke sungai menyebabkan terjadinya pencemaran terhadap kualitas air sungai dan merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir. Selain itu, besarnya hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai yang juga merupakan penyebab terjadinya banjir. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Kota Samarinda dimasa yang akan datang, Pemerintah Kota Samarinda akan melakukan pengembangan kawasan permukiman di wilayah Kecamatan Samarinda Utara dan Kecamatan Palaran sebagai salah satu alternatif untuk menampung pertambahan jumlah penduduk. Hal ini didasarkan pada jumlah kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan Samarinda Utara (587 jiwa/km2) dan Kecamatan Palaran (212 jiwa/km2 pada tahun 2003) masih di bawah kepadatan rata-rata geografis penduduk DAS Karang Mumus (749 jiwa/km2), selain itu, wilayah Kecamatan Samarinda Utara dan Kecamatan Palaran mempunyai wilayah yang cukup luas dibandingkan wilayah Kecamatan-Kecamatan yang lainnya. Sebaran alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 26.
83
Gambar 26. Peta alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi
84
Tujuan yang ingin dicapai di dalam pengelolaan lanskap agroforestri adalah sebagai berikut. 1. Mempertahankan pengelolaan sumber daya air (water resources management) Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap degradasi lingkungan di DAS Karang Mumus dapat dilihat dari besarnya hasil sedimen yang terjadi. Kandungan sedimen yang tinggi pada air sungai akan berdampak pada penyediaan air bersih yang bersumber dari air permukaan, sehingga biaya pengolahan air bersih akan menjadi lebih mahal. Melalui pengelolaan lanskap agroforestri, diharapkan dapat mengurangi besarnya sedimentasi yang terjadi dan dapat mempertahankan pengelolaan sumber daya air. Pada sistem agroforestri, vegetasi pohon dengan sistem perakarannya yang kuat dapat menahan partikel-partikel tanah agar tidak tererosi sehingga dapat mempertahankan kestabilan tanah. Sementara itu, tumbuhan bawah (tanaman pertanian semusim) dapat menurunkan energi kinetik hujan yang ditimbulkan oleh vegetasi pohon, sehingga dapat mengurangi erosi dan meningkatkan kesempatan air hujan untuk berinfiltrasi (Widianto et al., 2003). Kapasitas infiltrasi pada kawasan hutan dan sistem agroforestri tergolong sangat tinggi dan cukup tinggi, yaitu sebesar 69,4 mm/jam dan 42,3 mm/jam. Hal ini terjadi karena rapatnya tajuk vegetasi penutup tanah dan strata tajuk yang lengkap yang berpengaruh dalam mengendalikan air ke dalam air (Kusumandari et al., 2008). Air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak cukup dalam karena adanya lapisan tanah kedap air menyebabkan air akan keluar ke permukaan tanah di bagian bawah lereng atau masuk ke sungai dan terkumpul di dalam waduk (water harvest). Air bawah tanah ini umumnya jernih dan tidak menimbulkan erosi (Arsyad, 2006). Alokasi lahan agroforestri berupa kawasan lindung dan kawasan konservasi sebesar 49,7% untuk DAS Karang Mumus diharapkan dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi air hujan yang jatuh di atas kawasan. Dengan demikian, akan semakin banyak terbentuk sumber-sumber mata air untuk memenuhi kapasitas bendungan Benanga. Bendungan Benanga pada tahun 2008 telah mendapat bantuan alat pengolah air bersih dari BNI (Gambar 27) dan dapat melayani 450 pelanggan, walaupun kapasitasnya hanya 7,5 liter per detik yang mengalir selama
85
18 jam/hari. Kapasitas air yang dihasilkan akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya sumber-sumber mata air bersih, sehingga dapat melayani lebih banyak pelanggan. Melalui rencana pengelolaan lanskap agroforestri diharapkan bahwa peran air yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dapat terpenuhi. Air yang berasal dari sungai dan bendungan bukan hanya sebagai air bersih untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, sarana transportasi, dan sarana rekreasi. Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh tambahan pendapatan melalui pengelolaan sumber daya air tersebut.
Gambar 27. Alat pengolah air bersih Selain itu, melalui pengelolaan sumber daya air, Pemerintah Kota dapat memperoleh pendapatan melalui pembeli, seperti perusahaan daerah air minum, perusahaan minuman kemasan, dan pembangkit listrik tenaga air. Pengelolaan sumber daya air yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara sebaiknya memperhatikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. 2. Mempertahankan cadangan karbon (carbon stock) Isu internasional tentang mekanisme pembangunan bersih (CDM) sesuai dengan protokol Kyoto dapat digunakan sebagai acuan bahwa sistem agroforestri merupakan salah satu program CDM yang sangat mungkin diterapkan di Indonesia dalam perdagangan karbon internasional. Namun demikian, merujuk pada protokol Kyoto, kegiatan reforestasi dapat dijadikan proyek CDM jika lahan yang digunakan merupakan lahan yang sebelum tanggal 31 Desember 1989 sudah bukan hutan. Demikian juga kegiatan aforestasi, kegiatan alih fungsi lahan dari
86
pertanian menjadi hutan yang dapat dijadikan sebagai kegiatan CDM jika sejak 50 tahun lalu lahan tersebut telah berfungsi sebagai lahan pertanian (Jalid, 2004). Dengan adanya prasyarat di atas, tidak ada luas lahan DAS Karang Mumus yang layak untuk proyek CDM. Pembukaan lahan yang dilakukan di DAS Karang Mumus dimulai pada tahun 1972 dengan adanya proyek transmigrasi. Namun, jika proposal Canada untuk mengubah batas waktu 1990 menjadi 2000 tentang status lahan dapat diterima, luas lahan yang layak untuk proyek CDM sesuai dengan alokasi untuk kawasan lindung dan kawasan konservasi adalah 16.448,3 ha. Penyerapan karbon dari satu hektar hutan adalah sebesar 6 ton karbon per tahun. Dengan demikian, diperoleh total karbon sebesar 98.689,8 ton karbon per tahun. Berdasarkan artikel Guardian – Inggris diacu dalam Nasution (2008), cadangan karbon pada saat ini dihargai sampai dengan USD 30 per ton karbon. Dengan demikian, proyek perdagangan karbon akan menghasilkan USD 2.960.694 per tahun. Jika biaya transaksi untuk mendapatkan proyek perdagangan karbon tersebut sekitar USD 1,7 per ton karbon (Murdiyarso, 2003 diacu dalam Jalid, 2004), akan diperoleh keuntungan sebesar USD 2.792.921 per tahun. Untuk satu ton karbon akan diperoleh keuntungan sebesar USD 28,3 per ton karbon per tahun, sedangkan untuk satu hektar hutan akan diperoleh keuntungan sebesar USD 169,8 per tahun. Namun demikian, keuntungan yang diperoleh petani ternyata masih kurang atraktif. 3. Mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity) Keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan agroforestri dan ketegasan pemerintah terhadap hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan hal yang sangat penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Berkurangnya luas lahan hutan sekunder di DAS Karang Mumus dari tahun 1992 sampai dengan 2007 sebesar 36,0% mengakibatkan hilangnya berbagai jenis vegetasi dan satwa yang terdapat di dalamnya. Menurut Suhardi (2008), setiap satu spesies hilang akan diikuti oleh hilangnya 10-30 spesies lainnya. Upaya pengelolaan lanskap agroforestri pada dasarnya adalah untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Alokasi lahan hutan lindung, hutan konservasi, dan pertanian lahan kering merupakan potensi yang cukup besar untuk mempertahankan keanekaragaman hayati melalui program reboisasi dan
87
rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Akan tetapi, jenis vegetasi yang digunakan sebaiknya adalah jenis vegetasi lokal. Keberhasilan pengelolaan untuk membentuk kembali kondisi lahan kritis seperti hutan akan mendatangkan berbagai spesies satwa yang merasa sesuai dengan habitatnya. Dalam skala mikro, pengembangan agroforestri di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) telah meningkatkan keanekaragaman jenis tanaman yang sebelumnya didominasi oleh Agathis lorathifolia dan Pinus merkusii yang ditanam secara monokultur. Peningkatan keanekaragaman jenis tanaman tersebut, antara lain, Ammomum cardamomum, Manihot esculenta, Coffea robusta, Swietenia macrophylla, Colocasia esculentum, Musa sp, dan Paraserianthes falcataria (Sundawati, 2008). 4. Mempertahankan keindahan lanskap (landscape beautification) Kawasan DAS Karang Mumus juga berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Kawasan-kawasan wisata yang terdapat di DAS Karang Mumus, antara lain, kawasan cagar budaya Dayak, taman wisata tanah merah, lapangan golf, tempat-tempat pemancingan, dan tempat-tempat peristirahatan. Melalui pengelolaan lanskap agroforestri, kawasan DAS Karang Mumus juga dapat dikembangkan menjadi kawasan eco-tourism, agrowisata, dan kawasan wisata sungai. Kawasan lindung dapat menjadi sumber pendapatan daerah dengan adanya eco-tourism. Selain itu, masyarakat dapat memanfaatkan kegiatan pertaniannya sebagai obyek wisata untuk pengembangan kawasan agrowisata. Masyarakat dapat memperoleh penghasilan tambahan dari usaha pertaniannya tersebut. Pengembangan kawasan wisata sungai (Gambar 28) dapat dilakukan jika relokasi permukiman tepi sungai telah berhasil dilakukan seluruhnya. Dengan demikian, untuk pengembangan kawasan wisata, kesiapan obyek wisata pertanian dan kesiapan masyarakat harus menjadi perhatian pemerintah. Tujuan-tujuan pengelolaan agroforestri di atas merupakan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat DAS Karang Mumus. Hal ini dapat dilakukan untuk mengatasi semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat DAS Karang Mumus.
88
Gambar 28. Potensi wisata sungai Pedoman pelaksanaan pengelolaan penggunaan lahan di kawasan DAS Karang Mumus diadaptasi dari Gregersen et al. (1987) diacu dalam Asdak (2007) adalah sebagai berikut. 1. Perencanaan pengelolaan harus mencakup daerah hulu dan hilir dari DAS Karang Mumus. Hal ini terkait dengan kondisi biogeofisik kawasan DAS. Pada umumnya DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar, bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara, daerah hilir DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian. Dengan adanya aktivitas perubahan lanskap di daerah hulu seperti perubahan penggunaan lahan, pembalakan liar, pembangunan jalan, dan lainlain akan memberi dampak terhadap seluruh kawasan DAS, termasuk daerah hilirnya. 2. Pengelolaan yang dilakukan harus mempertimbangkan karakteristik kawasan. Pengelolaan yang dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus diharapkan tidak menghilangkan fungsi kawasan sebagai cathment area (daerah tangkapan air) dan tidak menghilangkan karakteristik fisik lainnya.
89
3. Pengelolaan harus menyelaraskan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan yang dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus diupayakan tidak menimbulkan konflik-konflik sosial, ekonomi, dan budaya di dalam masyarakat. Pengetahuan tentang kearifan lokal yang bersumber dari budaya masyarakat harus menjadi perhatian di dalam pengelolaan kawasan. 4. Pengelolaan yang dilakukan harus mempertimbangkan batas ekologi dan batas administrasi. Terdapatnya dua wilayah administrasi di DAS Karang Mumus menyebabkan sulitnya melakukan pengelolaan dengan tujuan yang sama. Pengelolaan kawasan DAS harus bersifat lintas batas dan lintas sektoral. Sebagai contoh, pada DAS Karang Mumus, kawasan hulu DAS merupakan kawasan yang termasuk wilayah Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai batas administratifnya. Karena berada dalam satu kawasan DAS seharusnya terjadi koordinasi antarinstitusi atau lembaga di dalam menentukan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap kawasan DAS Karang Mumus tersebut.
Hal ini didukung oleh Asdak (2007) yang
menyebutkan bahwa pola pengelolaan suatu ekosistem DAS dikenal sebagai konsep satu DAS, satu rencana, satu pengelolaan (one watershed, one plan, one management). 5. Pengelolaan harus dilakukan secara holistik dan integratif. Pengelolaan DAS yang dibuat dan dilaksanakan mencakup pedoman 1 – 4 harus dapat mendorong semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam untuk saling menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian, dapat segera dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan. Selain itu, perlunya dilakukan koordinasi antara Pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara termasuk lembaga-lembaga di dalamnya terkait kebijakan-kebijakan mengenai konservasi lingkungan sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
90
Kegiatan pengelolaan penggunaan lahan di kawasan DAS merupakan kegiatan yang bersifat sekuensial dan saling berkaitan. Berikut ini adalah konsep kegiatan-kegiatan utama di dalam pengelolaan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus yang diadaptasi dari Hufschmidt (1986) diacu dalam Asdak (2007). 1. Kegiatan pertama adalah pembagian kawasan DAS Karang Mumus menjadi lima tipe penutupan dan penggunaan lahan, yaitu kawasan lindung, kawasan konservasi, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan permukiman. Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada daerah hulu, tengah, dan hilir dapat dilihat pada Tabel 24. Di daerah hulu DAS Karang Mumus, kawasan lindung dialokasikan seluas 4.833,4 ha (49,4%), kawasan konservasi dialokasikan seluas 26,9 ha (0,3%), pertanian lahan kering dialokasikan seluas 2.451,2 ha (25,0%), pertanian lahan basah dialokasikan seluas 2.113,8 ha (21,6%), dan permukiman dialokasikan seluas 364,3 ha (3,7%). Di daerah tengah DAS Karang Mumus, kawasan lindung dialokasikan seluas 7.693,7 ha (34,9%), kawasan konservasi dialokasikan seluas 3.448,6 ha (15,7%), pertanian lahan kering dialokasikan seluas 3.333,9 ha (15,1%), pertanian lahan basah dialokasikan seluas 4.681,2 ha (21,3%), dan permukiman dialokasikan seluas 2.855,1 ha (12,9%). Di daerah hilir DAS Karang Mumus, kawasan lindung dialokasikan seluas 445,7 ha (41,3%), pertanian lahan kering dialokasikan seluas 49,1 ha (4,6%), pertanian lahan basah dialokasikan seluas 547,4 ha (50,7%), dan permukiman dialokasikan seluas 36,9 ha (3,4%). Tabel 24. Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada daerah hulu, tengah, dan hilir Tipe penutupan dan penggunaan lahan Kawasan lindung
Hulu ha % 4.833,4 49,4
Tengah ha % 7.693,7 34,9
Hilir ha 445,7
% 41,3
Kawasan konservasi Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Permukiman Total
26,9
0,3
3.448,6
15,7
0
0
2.451,2
25,0
3.333,9
15,1
49,1
4,6
2.113,8 364,3 9.789,6
21,6 3,7 100,0
4.681,2 2.855,1 22.012,5
21,3 12,9 100,0
547,4 36,9 1.301,2
50,7 3,4 100,0
91
2. Kegiatan kedua adalah pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan. a. Kawasan lindung Pada dasarnya, kawasan lindung mempunyai fungsi secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis, kawasan lindung berfungsi sebagai pelindung tata air. Kawasan lindung juga menyediakan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa. Secara ekonomis, kawasan lindung dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata eco-tourism. Akan tetapi, kegiatan wisata ini harus memperhatikan pembatasan-pembatasan kegiatan agar tidak merusak kawasan lindung. Pelaksanaan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi juga perlu dilakukan pada lahan-lahan kritis yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan lindung berupa hutan lindung dan hutan produksi di dalam pengelolaannya sebaiknya memperhatikan Peraturan Pemerintah yang berlaku. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari disebut dengan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang meliputi KPH konservasi (KPHK), KPH lindung (KPHL), dan KPH produksi (KPHP). Selanjutnya dijelaskan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan hutan lindung dilakukan melalui kegiatan usaha budi daya tanaman obat, budi daya tanaman hias, budi daya jamur, budi daya lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa, dan budi daya hijauan pakan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan
92
air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Pemungutan hasil hutan bukan kayu, antara lain, berupa rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang burung walet. Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha budi daya tanaman obat, budi daya tanaman hias, budi daya jamur, budi daya lebah, penangkaran satwa, dan budi daya sarang burung walet. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem. b. Kawasan konservasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008, pemanfaatan kawasan konservasi berupa hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu kawasan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional. Cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional merupakan zona preservasi sehingga diharapkan tidak terdapat pemanfaatan kawasan pada zona preservasi tersebut. Kawasan konservasi yang berada di DAS Karang Mumus adalah Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS).
Kawasan ini menjadi satu-
satunya hutan yang dikonservasi di kawasan ini. Dengan adanya status hukum sebagai kawasan konservasi, maka pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan dilakukan oleh pihak pengelola yang telah ditunjuk. Selain KRUS, hutan sekunder juga masih terdapat di kawasan DAS Karang Mumus. Jenis tegakan pohon yang umumnya masih terdapat di hutan sekunder adalah meranti, kayu manis, karet, jati, mahoni, dan lainlain. Jenis tegakan pohon ini masih banyak diminati oleh masyarakat
93
untuk kebutuhan bahan bangunan. Hutan sekunder yang tidak memiliki status hukum sangat rawan perambahan liar. Perlu adanya penentuan zona preservasi dan konservasi serta upaya untuk melakukan reboisasi, rehabilitasi, dan juga restorasi terhadap kawasan konservasi di DAS Karang Mumus. Untuk menghindari perambahan liar yang dilakukan masyarakat perlu adanya penambahan kawasan penyangga untuk kawasan hutan konservasi. Selain itu, pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan kawasan penyangga dapat menjadi satu alternatif pengembangan pemanfaatan sumber
daya.
Pemberdayaan
masyarakat
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2008 dapat dilakukan melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, atau kemitraan. Hutan desa dapat diberikan pada hutan lindung dan hutan produksi. c. Pertanian lahan kering Tipe pertanian lahan kering meliputi pekarangan, ladang, kebun campuran, perkebunan, dan peternakan. Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan untuk pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pertanian konservasi (SPK). Sistem pertanian konservasi menurut Direktorat Pendayagunaan Lingkungan adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan atau teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang sesuai dengan tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara lestari dan berkelanjutan. Sistem pertanian ini dicirikan dengan potensi erosi yang kecil, produktivitas usaha tani cukup tinggi dengan pendapatan yang cukup tinggi, teknologi dan sistem usaha tani yang diterapkan dapat diterima dan dilaksanakan oleh petani dengan pengetahuan dan sumber daya lokal. Kondisi lahan pertanian di DAS Karang Mumus dan contoh penerapan teknologi pertanian pada lahan berlereng dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.
94
Gambar 29. Kondisi lahan pertanian di DAS Karang Mumus
Gambar 30. Contoh penerapan teknologi pertanian pada lahan berlereng (Friday et al., 2000) Selain dengan menerapkan sistem pertanian konservasi, untuk mengelola lahan pertanian dengan luasan yang terbatas, yaitu ± 0,25 ha yang pada umumnya dimiliki oleh petani dalam rangka memenuhi KHLnya dapat dikelola dengan menerapkan sistem LEISA (Low-External-Input and Sustainable Agriculture, pertanian berkelanjutan dengan masukan eksternal
rendah).
Pertanian
berkelanjutan
didefinisikan
sebagai
pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya
95
alam. Salah satu contoh pola pertanian berkelanjutan adalah pola pertanian yang memadukan tanaman, ikan, dan ternak (Mugnisjah et al., 2004). Kegiatan usaha tani yang dilakukan dengan memadukan tanaman, ikan, dan ternak memiliki beberapa dampak positif, baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial. Secara ekologis adanya tiga kegiatan budi daya (tanaman, ikan, dan ternak) memungkinkan terjadinya daur materi sebagai akibat dari adanya pemanfaatan limbah dari suatu kegiatan budi daya untuk kegiatan budi daya lainnya. Sehubungan dengan penggunaan pupuk organik, misalnya, kompos menyebabkan CO2 yang dihasilkan dilepas ke atmosfir dan menurunkan keasaman tanah, sedangkan pemberian pupuk kandang mempercepat proses pengomposan dan menghasilkan kualitas kompos yang lebih baik. Dari segi ekonomi, adanya keterpaduan antarkegiatan budi daya dapat mengurangi biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Hal tersebut disebabkan adanya faktor produksi yang dapat dipenuhi dari sistem produksi lainnya. Dari segi sosial sistem LEISA yang diusahakan berkontribusi bagi ketahanan pangan keluarga petani tersebut dan membantu penduduk sekitar dalam memperoleh pendapatan sehingga turut mengurangi jumlah pengangguran (Mugnisjah et al., 2004). d. Pertanian lahan basah Tipe pertanian lahan basah terdiri atas sawah dan perikanan. Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan juga dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pertanian LEISA. Berdasarkan hasil penelitian Mugnisjah et al. (2004), penerapan sistem LEISA pada kegiatan usaha tani terpadu padi-ikan-itik yang dilakukan di Kampung Karang Sari, Desa Sindang Asih, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dengan menggunakan lahan pertanian yang terdiri atas dua ekosistem yang berbeda yaitu sawah (1.2 ha) dan kolam (0.5 ha) merupakan kegiatan produksi yang dapat meningkatkan penggunaan sumber daya lokal sehingga dapat menekan penggunaan masukan eksternal buatan, yang oleh karenanya dapat menekan biaya produksi yang dikeluarkan. Dengan adanya tiga komoditi yang diusahakan, petani LEISA dapat mengurangi resiko kegagalan, selain itu,
96
juga berkesempatan memperoleh pendapatan yang lebih sering. Sistem LEISA yang diciptakan oleh usaha tani terpadu tersebut juga dapat mengupayakan kegiatan produksi yang tidak berdampak buruk bagi lingkungan. e. Permukiman Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan untuk tipe penggunaan lahan permukiman sangat banyak. Salah satu contohnya adalah pembangunan permukiman ekologis sebagai permukiman sehat.
Kriteria permukiman ekologis sebagai
permukiman sehat diadaptasi dari Frick (2005), terdapat sepuluh kriteria, yaitu (1) menciptakan kawasan penghijauan di antara kawasan terbangun sebagai paru-paru hijau, (2) memilih tapak bangunan yang bebas gangguan geobiologis, (3) menggunakan bahan bangunan alamiah, (4) memilih lapisan permukaan dinding dan langit-langit rumah yang mampu mengalirkan uap air, (5) menggunakan ventilasi alam untuk menyejukkan udara dalam bangunan, (6) menghindari kelembaban tanah yang naik ke dalam konstruksi bangunan, (7) meminimalkan medan elektromagnetik buatan, (8) mempertimbangkan bentuk dan proporsi ruang berdasarkan aturan harmonis, (9) menjamin bahwa bangunan yang direncanakan tidak mencemari lingkungan maupun membutuhkan energi yang berlebihan, dan (10) menjamin bahwa pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan secara luas sehingga tidak mengakibatkan efek samping yang merugikan. Untuk permukiman yang sudah terbentuk, kegiatan pengelolaan lebih banyak dilakukan terhadap pengelolaan saluran pembuangan air limbah (SPAL), pengelolaan lingkungan sekitar permukiman, pemanfaatan lahan pekarangan secara optimal, dan lain sebagainya. Pemerintah Kota Samarinda melalui Dinas Pekerjaan Umum dalam rangka penanganan drainase di kawasan permukiman sedang melakukan rehabilitasi saluran drainase, yang meliputi saluran sekunder sepanjang 14,9 km, saluran tersier sepanjang 24,1 km, dan gorong-gorong sebanyak 18 unit. Sementara itu, pembangunan saluran sekunder baru juga sedang dilakukan dengan panjang 8 km, saluran tersier 21,3 km.
97
3. Kegiatan
ketiga
di
dalam
pengelolaan
penggunaan
lahan
adalah
pengembangan kegiatan pengelolaan yang tidak hanya dilakukan di daerah hilir DAS Karang Mumus, tetapi juga di daerah tengah dan hulu DAS. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi relokasi permukiman tepi sungai, konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan. Selain itu, kegiatan yang dapat dilakukan adalah pengerukan lumpur di sungai, bendungan, dan saluran-saluran air, pengelolaan sampah dan limbah, konservasi sempadan sungai dengan pembuatan turap penahan longsor, dan penanaman vegetasi. Kegiatan pengelolaan yang lain adalah pengendalian pencemaran air. Menurut DPU (2003), beberapa upaya pengendalian
pencemaran
air
yang
dapat
dilakukan,
antara
lain,
mengupayakan reduksi limbah sejak pra produksi, penghematan penggunaan material dalam proses produksi, pemberian sanksi dan penghargaan terhadap masyarakat yang terkait dengan kegiatan pengendalian pencemaran air, dan pengawasan kegiatan pengendalian pencemaran air yang intensif dari pihak instansi yang terkait.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Karakteristik khas lanskap DAS Karang Mumus adalah bentuk bentang lahan yang relatif datar, bergelombang, dan juga berbukit dengan tipe penggunaan lahan aktual berupa hutan konservasi dengan luas 219,7 ha (0,7%); hutan sekunder dengan luas 2.540,5 ha (7,8%); pertanian lahan kering dengan luas 99,3 ha (0,3%); pertanian lahan basah dengan luas 807,8 (2,5%); semak belukar dengan luas 25.762,1 (79,3%); lahan terbuka dengan luas 712,7 ha (2,2%); bendungan dengan luas 408,9 ha (1,3%); dan permukiman dengan luas 1.926,9 ha (5,9%). 2. Faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus adalah faktor kebijakan, sosial-ekonomi-budaya, dan biologi-fisik. Faktor kebijakan meliputi relokasi permukiman tepi sungai dan reboisasi serta rehabilitasi lahan-lahan kritis. Faktor sosial-ekonomi-budaya meliputi laju pertumbuhan penduduk, latar belakang budaya masyarakat, dan kelayakan usaha pertanian. Faktor biologi-fisik meliputi aksesibilitas, kesesuaian penggunaan lahan, dan perubahan penutupan dan penggunaan lahan. 3. Rencana pengelolaan lanskap agroforestri yang direkomendasikan adalah agroforestri terintegrasi. Alokasi penggunaan lahan agroforestri terintegrasi meliputi kawasan lindung seluas 12.972,8 ha (39,2%); kawasan konservasi seluas 3.475,5 ha (10,5%); pertanian lahan kering seluas 6.056,5 ha (18,3%); pertanian lahan basah seluas 7.342,4 ha (22,2%); permukiman seluas 3.256,3 ha (9,8%). Alternatif rencana pengelolaan adalah dengan mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan, yaitu relokasi permukiman tepi sungai dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan.
99
5.2. Saran 1. Pengembangan kawasan permukiman sebaiknya dialokasikan pada lokasi yang sangat sesuai untuk penggunaan sebagai permukiman, yaitu di Kecamatan Samarinda Utara. Pengembangan permukiman ini dilakukan berdasarkan faktor pembatas kerawanan banjir. Kesesuaian penggunaan lahan untuk permukiman ini sesuai dengan rencana Pemerintah Kota Samarinda untuk melakukan pengembangan kawasan permukiman di Kecamatan Samarinda Utara. 2. Penggunaan penilaian terhadap kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan standar KHL Sajogjo (1977) perlu dipertimbangkan lagi karena standar tersebut kurang sesuai jika digunakan pada kondisi saat ini. Kekurangsesuaian standar tersebut disebabkan harga beras yang berlaku pada saat ini masih rendah untuk dapat memenuhi KHL keluarga. Kebutuhan hidup layak menjadi lebih logis jika menggunakan standar upah minimum regional (UMR) yang berlaku pada masing-masing daerah.
DAFTAR PUSTAKA Adhawati SS. 1997. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran Tinggi di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa [Tesis]. Makassar: Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar. Agresti A, B Finlay. 1997. Statistical Methods for the Social Sciences. Edisi ke-3. New Jersey: Prentice Hall. Andwiwinarno N, R Parra. 2006. Payment for Environmental Services. http://www.esp.or.id/ [28 Jan 2009]. Antrop M. 2000. Background concepts for integrated landscape analysis. Elsevier Science B. V. Agriculture Ecosystems Environment 77:17-28. Arifin HS. 2000. Ecological and economic effectiveness of the typical rural pekarangan in Cibakung, West Java, Indonesia. In: BI Setiawan, Y Sato dan Hardjito A, editor. Proceeding of International Seminar on Environment for Sustainable Rural Life. Series of the Studies on Environmental Charges and Sustainable Development. RUBRD-UT/IPB. Vol:2. Arifin HS, K Sakamoto, K Takeuchi. 2001. Study of rural landscape structure based on its different bio-climatic conditions in middle part of Citarum watershed, Cianjur District, West Java, Indonesia. Di dalam: Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Proceedings of The 1st Seminar; Tokyo, 21-23 Feb 2001. Tokyo: JSPS DGHE Core University Program in Applied Biosciences. p99-108. Arifin HS, MA Sardjono, L Sundawati, T Djogo, GA Wattimena, Widianto. 2003. Agroforestri di Indonesia. Bahan Latihan. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Arifin HS, Suhardi, C Wulandari, Q Pramukanto. 2008. Agroforestry Landscape Analysis in Mendalam River Basin, the Upper Stream of kapuas Watershed, West Kalimantan Province, Indonesia. Final Report of Indonesia Group. Indonesia: Indonesian Network for Agroforestry Education. Arsyad. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. [Balitbangda] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kaltim. 2004. Studi Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Karang Mumus. Samarinda: Pemerintah Daerah Provinsi Kaltim. [Balitbangda] Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kaltim. 2002. Studi Penataan dan Konservasi Daerah Tangkapan Air (DTA) Karang Mumus dengan Budidaya Agroforestri Berbasis Masyarakat Setempat. Samarinda: Proyek Penelitian dan Pengembangan Pembangunan Regional Provinsi Kaltim.
101
[BP DAS-MB] Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Mahakam Berau. 2004. Laporan Monitoring Tata Air SPAS Tahun 2004. Samarinda: Departemen Kehutanan. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara. 2001. Statistik Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001. Kutai Kartanegara: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara. 2006. Statistik Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2006. Kutai Kartanegara: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai. 1995. Statistik Penduduk Kabupaten Kutai Tahun 1995. Kutai: Kantor Statistik Kabupaten Kutai. [BPS] Badan Pusat Statistik Samarinda. 1992. Samarinda dalam Angka 1992. Samarinda: Kantor Statistik Kotamadya Samarinda. [BPS] Badan Pusat Statistik Samarinda. 2001. Samarinda dalam Angka 2001. Samarinda: Badan Pusat Statistik Kota Samarinda. [BPS] Badan Pusat Statistik Samarinda. 2007. Samarinda dalam Angka 2007. Samarinda: Badan Pusat Statistik Kota Samarinda. Bellmann K. 2000. Towards to a system analytical and modeling approach for intergration of ecological, hydrological, economical and social components of disturbed region. J. Lanscape Urban Plann. 51:75-87. Carlson TN, Sanchez-Azofeifa GA. 1999. Satellite remote sensing of land use changes in and around San Jose, Costa Rica. J. Remote Sens. Environ. 70:247-256. De Foresta H, A Kusworo, G Michon, WA Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat Bagi Pembangunan Berkelanjutan. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). [DPU] Dinas Pekerjaan Umum Kota Samarinda. 2003. Studi Konservasi DAS Karang Mumus. Samarinda. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Buletin 32. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1990. Land Evaluation and Farming Systems Analysis for Land Use Planning. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Forman RTT, M Godron. 1986. Landscape Ecology. New York: John Wiley & Sons. Frick H. 2005. Sepuluh Patokan Rumah Ekologis sebagai Rumah Sehat. Makalah Seminar Sustainable Architecture for Sustainable Living, 30 Apr 2005. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Friday KS, ME Drilling, DP Garrity. 2000. Rehabilitasi Padang Alang-Alang Menggunakan Agroforestri dan Pemeliharaan Permudaan Alam. Widianto, Sunaryo, D Suprayogo, K Hairiah, penerjemah. Bogor:
102
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Terjemahan dari: Imperata Grassland Rehabilitation using Agroforestry and Assisted Natural Regeneration. Geist HJ, EF Lambin. 2002. Proximate causes and underlying driving forces of tropical deforestation. Bioscience 52:143–150. Hairiah K, MA Sardjono, S Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 1. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Hairiah K, Widianto, D Suprayogo. 2008. Adaptasi dan mitigasi pemanasan global: bisakah agroforestri mengurangi resiko longsor dan emisi gas rumah kaca?. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Maret. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 286-298. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardwinarto S. 2000. Prediksi debit limpasan air sungai dan sedimen pada daerah tangkapan air sebelah hulu Bendungan Benanga di sub DAS Karang Mumus, Samarinda. Samarinda: J. Frontir 29:117-127. Hermanides G, P Nijkamp. 2000. Multicriteria evaluation of sustainable agricultural land use, a case study of lesvos. Di dalam: Euro B, P Nijkamp, editor. Multicriteria Analysis for Land Use Management. London: Kluwer Acad. Publ. Huxley P. 1999. Tropical Agroforestry. UK: Blackwell Science Ltd. ISBN 0-63204047-5. Jalid N. 2004. Sistem Agroforestri Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat: Iklim Mikro dan Simulasi Model dengan WaNuLCas [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kaswanto. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Agrowisata yang Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung, Studi Kasus di Kawasan Bogor dan Puncak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kendle T, JE Rose, J Oikawa. 2000. Sustainable landscape management. Di dalam: Benson JF, MH Roe, editor. Landscape and Sustainability. 1st Edition. London: Spon Press. Kusumandari A, FI Simorangkir, H Suryatmojo. 2008. Pengaruh bentuk penggunaan lahan terhadap infiltrasi di sub-DAS Ngrancah, Kulon Progo. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Mar 2008. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 128-141. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo.
103
Manurung GES. 2005. Dampak Dudukuhan Sebagai Sistem Agroforestri terhadap Agrobiodiversitas Jenis Tumbuhan dan Pemanfaatannya, Kasus Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. McNeely JA, SJ Scherr. 2001. Common ground, common future: how ecoagriculture can help feed the world and save wild biodiversity. IUCN and Future Harvest. Di dalam: EW Sandy, A Gillison, M van Noordwijk. Biodiversity: Issues Relevant to Integrated Natural Resource Management in the Humid Tropics. ASB Lecture Note 5. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Miranda JI. 2001. Multicriteria analysis applied to the sustainable agricultural problem. Int. J. Sustain. Dev. World Ecol. 8:67-77. Mugnisjah WQ, AS Solihin, Tiyar. 2004. Kinerja pertanian terpadu yang menerapkan konsep LEISA: Studi kasus pada usaha tani padi-ikan-itik. Gakuryoku X(2):189-193. http://www.kecubung6.com. [28 Jan 2009]. Mushi MA. 1998. Sistem hutan kerakyatan: inisiatif LSM mempromosikan komuniti forestri. Di dalam: Awang SA, MA Mushi dan Y Nugroho, editor. Menggali Potensi Bersama untuk Memekarkan Community Forestry Menjelang Abad 21. Ujung Pandang: FKKM-PT Inhutani I. Nair PKR. 1991. State-of-the-art of agroforestry system. J. Forest Ecology Manage. 45:5-29. Nardini A. 2000. Improving decision-making for land use management, key ideas for an integrated approach based on MCA negotiation forum. Di dalam: Euro B, P Nijkamp, editor. Multicriteria Analysis for Land Use Management. London: Kluwer Acad. Publ. Nasution M. 2008. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan energi serta mencegah global warming. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Mar 2008. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 5-11. [PEMKOT] Pemerintah Kota Samarinda. 2007. Ringkasan Pelaksanaan Program Relokasi Penduduk Tepi Sungai Karang Mumus Kota Samarinda Tahun 2000 – 2007. Samarinda: Dinas Permukiman dan Pengembangan Kota. Porteous JG. 1996. Environmental Aesthetics: Idea, Politics, and Planning. London: Rutledge. Prahasta. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Penerbit Informatika. Pranoto H, MA Chozin, HS Arifin, E Santosa. 2008. Identifikasi pola tanam pada praktek agroforestri di daerah aliran sungai Cianjur. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Maret. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 246254.
104
Purwanti R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino, Studi Kasus: Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa. Bogor: Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan 4(3):257-269. Rauf A. 2008. Agroforestri untuk pengentasan kemiskinan sekaligus penyelamat lingkungan. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Maret. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 246-254. Riyanto, S Riyanto. 1981. Agroforestri dan prospeknya di Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Agroforestri dan Perladangan. Jakarta: 20 Mei 1981. hlm 537-544. Rocchini D, GLW Perry, M Salerno, S Maccherini, A Chiarucci. 2005. Landscape change and the dynamics of open formations in a natural reserve. The Netherlands: Elsevier, J. Lanscape Urban Plann. 77:167-177. [RTRW] Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. 2007. Rencana Laporan Akhir. Kutai Kartanegara: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. [RTRW] Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda. 2005. Laporan Rancangan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda. Samarinda: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Setiyono L, penerjemah; Peniwati K, editor. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders. Sabri. 2004. Analisis Alih Fungsi Lahan dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Kesediaan Membayar di Sub DAS Ciliwung Hulu Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sajogjo.1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Bogor: Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP), Institut Pertanian Bogor. Sandy IM. 1973. Pola Penggunaan Lahan sebagai Indikator Tingkat Pencemaran Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Tata Guna Tanah, Departemen Dalam Negeri Jakarta. Santoso EH. 2003. Analisis Potensi Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon: Studi kasus di Taman Nasional Meru Betiri Jember, Jawa Timur. Bogor: Jurusan Geofosika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Sardjono MA, T Djogo, HS Arifin, N Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Saroinsong FB, 2002. Studi Alokasi Penggunaan Lahan untuk Optimasi Pelestarian Lingkungan dengan Integrasi Penggunaan Model Hidrologi, SIG, dan Penginderaan Jauh [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
105
Sehe S. 2007. Analisis Kesesuaian dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Kering Berbasis Agroforestri, Studi Kasus: Lahan Kering Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Bandung Utara [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simonds JO, BW Starke. 2006. Landscape Architecture, a Manual of Environmental Planning and Design. 4th Edition. New York: McGraw Hill Companies, Inc. Soerianegara I, A Indrawan. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Subroto. 2004. Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Samarinda: Fajar Gemilang. Suhardi. 2008. Konservasi air dengan model agroforestri dan hubungannya dengan ketahanan pangan. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Mar 2008. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 12-17. Sundawati L. 2008. Pengembangan agroforestri untuk pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Di dalam: Supriyono, D Purnomo, Parjanto, editor. Pendidikan Agroforestri sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global. Prosiding Seminar INAFE, Surakarta, 4 Mar 2008. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. hlm 219-225. Suyanto S, N Khususiyah. 2006. Imbalan jasa lingkungan untuk pengentasan kemiskinan. Bogor: Jurnal Agro Ekonomi Kehutanan 24(1):95-113. Tasa R. 2005. Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) sebagai Kawasan Pendidikan, Wisata, dan Seni Budaya. Samarinda: Anak Bangsa. Timpakul. 2007. Pengelolaan DAS Karang Mumus Kota Samarinda. http://timpakul.hijaubiru.org/karangmumus-2/ (10 Sep 2007). Wardiningsih S. 2005. Rencana Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Jakarta Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Weng Q. 2001. A remote sensing-gis evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in the Zhujing Delta-China. Int. J. Remote Sensing 22(10):1999-2014. Widianto, K Hairiah, D Suharjito, MA Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 3. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF). Wikipedia. 2009. Integrasi Sosial. http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi-sosial [28 Jan 2009]. Zee D van der. 1990. Aspects of Settlement, Infrastructure and Population in Land Evaluation. Nederland: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC).
LAMPIRAN
106
Lampiran 1. Batasan istilah
Agroforestri lanskap (landscape agroforestry) adalah ilmu atau bidang keilmuan yang mempelajari tentang lanskap agroforestri. Agroforestri terintegrasi (integrated agroforestry) adalah peleburan beberapa tipe penutupan dan penggunaan lahan berbasis agroforestri pada suatu bentang lahan (McNeely & Scherr, 2001). Agroforestri tersegregasi (segregated agroforestry) adalah pemisahan beberapa tipe penutupan dan penggunaan lahan berbasis agroforestri pada suatu bentang lahan (McNeely & Scherr, 2001). Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Imbal/pembiayaan jasa lingkungan (payments for environmental services) adalah kompensasi untuk penyediaan jasa-jasa lingkungan (Andwiwinarno & Parra, 2006). Kebutuhan hidup layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, baik kebutuhan hidup minimum (pangan), biaya pendidikan, biaya kesehatan, sarana dan prasarana kehidupan sehari-hari, biaya kegiatan sosial, dan tabungan (Sajogjo, 1977). Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) adalah suatu bentang lahan dengan aktivitas praktik agroforestri di dalamnya. Lanskap agroforestri dapat dianalogikan seperti istilah lainnya, antara lain, lanskap perdesaan atau lanskap perkotaan. Penutupan lahan (land cover) diartikan sebagai gambaran penutupan permukaan bumi oleh air, hutan, tanaman lain, batuan terbuka, padang pasir, struktur buatan manusia, dan lain-lain. Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai pemanfaatan lahan yang terdiri atas beragam penutupan lahan, seperti pertanian, padang penggembalaan, kehutanan, daerah rekreasi, perikanan, permukiman, dan industri (FAO, 1976). Proses hirarki analitik (analytical hierarchy process) adalah analisis yang digunakan untuk mengambil keputusan yang efektif atas permasalahan yang kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan (Saaty, 1993).
Lampiran 2. Karakteristik dan kualitas lahan pada sistem lahan DAS Karang Mumus Karakteristik lahan
Mentalat
Teweh
Teweh Baru
Maput
Lawangwang
Kahayan
Kota
Suhu rata-rata (0C) Curah hujan (mm/tahun) Kelembaban (%) Drainase tanah Tekstur tanah Kedalaman tanah (cm) pH tanah K tertukar (me/100 gram tanah) K total (ppm) KTK (me/100 gram tanah) Kejenuhan Al (%) Salinitas (mmhos/cm EC) Kesuburan kimia tanah Batuan tersingkap (%) Topografi (m) Kemiringan lereng (%) Indikasi erosi Banjir
21-31 1.800-4.400 77,4-87,9 Baik-sedang Halus-sedang 80-120 4,6-6,0 0,3-0,4 774 <20 <10 <4 Sedang 5 100-300 26->40 Rendah Tidak ada
22-31 1.600-4.400 77,4-87,9 Baik Halus-sedang 80-120 4,6-5,0 <0,1 <100 <10 20-30 <4 Rendah 0 0-300 0-40 Rendah Tidak ada
20-31 1.800-4.400 77,4-87,9 Baik Halus-sedang 80-120 4,0-4,5 10-20 100-200 5-16 30 4 Rendah 0 0-300 0-40 Rendah Tidak ada
15-31 1.600-4.000 77,4-87,9 Baik Halus-sedang 80-120 4,5-6,0 10-20 100-200 <25 31-60 <4 Rendah 5 0-150 0->40 Rendah Tidak ada
23-31 1.600-4.100 77,4-87,9 Baik-sedang Halus-sedang 80-120 4,0-4,8 0,1-0,4 <100 4,3-10,6 >22 0 Sangat rendah 0 0-150 0-40 Rendah Tidak ada
21-31 1.600-3.900 77,4-87,9 Terhambat Halus-sedang 80-120 4,5-5,3 0-0,5 201 22-55 <5 <4 Sedang 0 0-10 0-3 Tidak ada Tidak ada
21-31 1.600-4.000 77,4-87,9 Terhambat Halus-sedang 80-120 4,5-5,3 0-0,5 201 22-55 <5 <4 Sedang 0 0-10 0-3 Tidak ada Sering
107
108
Lampiran 3. Cara penilaian tekstur tanah, kesuburan tanah, dan indikasi erosi Cara penilaian tekstur tanah Kelas Kasar Agak kasar Sedang Agak halus
Tekstur tanah Pasir (p), pasir berlempung (pl) Lempung berpasir (lp) Lempung (l), lempung berdebu (ld), debu (d) Lempung liat (lli), lempung liat berpasir (llip), lempung liat berdebu (llid), liat berpasir (lip) Halus Liat berdebu (lid), liat (li) Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Cara penilaian kesuburan tanah Sifat tanah
Sangat Rendah rendah K total (ppm) <100 100-200 KTK (me/100 gram tanah) <5 5-16 K (me/100 gram tanah) <0,2 0,2-0,3 Kejenuhan Al (%) <10 10-20 Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
210-400 17-24 0,4-0,5 21-30
410-600 25-40 0,6-1,0 31-60
>600 >40 >1,0 >60
Cara penilaian indikasi erosi Indikasi Erosi Tidak ada erosi Tidak ada lapisan atas yang hilang Ringan <25% lapisan atas hilang Sedang 25-75% lapisan atas hilang Berat >75% lapisan atas hilang, <25% lapisan bawah hilang Sangat berat >25% lapisan bawah hilang Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
109
Lampiran 4. Cara penilaian drainase tanah, banjir, dan batuan tersingkap Cara penilaian drainase tanah Kelas
Klasifikasi Air mudah meresap ke dalam solum, tetapi massa tanah hanya dalam keadaan lembab, tidak pernah kenyang akan air Sedang Air mudah meresap ke dalam solum, tetapi massa tanah hanya dalam keadaan lembab, tidak pernah kenyang akan air. Karatan besi/mangan hanya sedikit di lapisan atas Agak Air ditahan oleh massa tanah, penampang sering terlihat basah. Karatan terhambat besi/mangan terlihat di seluruh penampang Terhambat Air terhambat terlepas dari massa tanah, karatan besi atau mangan mulai dari lapisan atas Sangat Karatan besi/mangan sedikit, penampang tanah sama sekali direduksikan oleh terhambat air tanah Diadaptasi dari Pusat Penelitian Tanah, 1969 diacu dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007 Baik
Cara penilaian banjir Klasifikasi Tidak pernah
Keterangan Dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam Jarang Banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan KadangSelama waktu satu bulan dalam satu tahun tanah secara teratur tertutup banjir kadang untuk jangka waktu lebih dari 24 jam Sering Selama waktu 2-5 bulan dalam satu tahun tanah secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam Sangat sering Selama waktu enam bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Cara penilaian batuan tersingkap Klasifikasi Tidak ada Sedikit
Keterangan <2% permukaan tanah tertutup 2-10% permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu Sedang 10-50% permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah dan penanaman terganggu Banyak 50-90% permukaan tanah tertutup, pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu Sangat banyak >90% permukaan tanah tertutup, tanah sama sekali tidak dapat diolah Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
110
Lampiran 5. Kuisioner AHP
RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KARANG MUMUS, KALIMANTAN TIMUR
PENNY PUJOWATI
KUISIONER PROSES HIRARKI ANALISIS (AHP)
Besar harapan saya, Bapak/Ibu/Saudara/I dapat berpartisipasi dalam penelitian ini dengan cara menuliskan jawaban untuk menentukan faktor-faktor pendorong yang paling berpengaruh di dalam rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus. Atas partisipasinya, diucapkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
111
Lampiran 5. Lanjutan KUISIONER 1. Deskripsi Kuisioner Tujuan kuisioner ini adalah menjaring pendapat para pakar (ahli) pada bidang yang berkaitan dengan pengelolaan lanskap agroforestri. Pendapat para pakar ditujukan guna menentukan: 1) bobot tingkat pengaruh dari masing-masing faktor pendorong, 2) bobot tingkat pengaruh kriteria dari masing-masing faktor pendorong tersebut, dan 3) bobot tingkat pengaruh alternatif rencana pengelolaan lanskap agroforestri. Kajian ini disusun berdasarkan metode proses hirarki analisis yang dibagi atas level I sampai level IV, sebagai berikut. Level I: Tujuan Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di DAS Karang Mumus Level II: Faktor-Faktor Pendorong Merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus, yang terdiri atas: 1. Faktor Biologi-Fisik 2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya 3. Faktor Kebijakan Level III: Kriteria dari Faktor-Faktor Pendorong 1. Aksesibilitas 2. Perubahan penutupan dan penggunaan lahan 3. Kesesuaian penggunaan lahan 4. Laju pertumbuhan penduduk 5. Kelayakan usaha pertanian 6. Latar belakang budaya masyarakat 7. Relokasi permukiman tepi sungai 8. Reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis Level IV: Alternatif Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri 1. Mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya 2. Melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi 3. Mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan) 2. Petunjuk Pengisian 1) Responden hanya menentukan angka antara 1 – 9 dalam membandingkan tiap faktor yang ada, sesuai intensitas pengaruh satu faktor terhadap faktor yang lain. 2) Intensitas pengaruh tiap angka serta definisi dan penjelasannya dapat dilihat pada tabel 1. 3) Cara membandingkannya adalah faktor yang ada pada kolom paling kiri dari tabel yang telah disediakan dibandingkan satu persatu dengan faktor yang terdapat pada baris pada tabel yang sama. Tabel 1. Skala perbandingan secara berpasangan dalam proses hirarki analisis Intensitas Pengaruh 1
Definisi
Penjelasan
3
Faktor yang satu sedikit lebih berpengaruh dibanding faktor yang lainnya
Dua faktor berpengaruh sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyebabkan satu faktor lebih berpengaruh dibanding yang lainnya.
5
Faktor yang satu sangat berpengaruh dibanding faktor yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sangat menyebabkan satu faktor lebih berpengaruh dibanding yang lainnya
Kedua faktor sama pengaruhnya
112
Lampiran 5. Lanjutan Tabel 1. Lanjutan Intensitas Definisi Pengaruh Satu faktor jelas lebih 7 berpengaruh dari faktor yang lainnya
Penjelasan Satu faktor dengan kuat berpengaruh dan dominasinya telah terlihat dalam praktik
Satu faktor mutlak lebih berpengaruh dibanding faktor yang lainnya
Bukti yang mendukung faktor yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8
Nilai tengah diantara dua pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
1/3-1/9
Nilai yang menunjukkan kebalikan dari intensitas pengaruhnya
Jika untuk faktor i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan faktor j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
9
Contoh cara menjawab: Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara faktor bio-fisik, sosial-ekonomi-budaya, dan kebijakan, faktor mana yang lebih berpengaruh dalam mencapai tujuan yaitu “rencana pengelolaan lanskap agroforestri?” Seberapa besar pengaruhnya? Jawab: Nilai 1: Faktor biologi-fisik sama pengaruhnya dengan faktor sosial-ekonomi-budaya Nilai 3: Faktor biologi-fisik sedikit lebih berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomibudaya Nilai 5: Faktor biologi-fisik sangat berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya Nilai 7: Faktor biologi-fisik jelas lebih berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya Nilai 9: Faktor biologi-fisik mutlak lebih berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomibudaya Nilai 2: Faktor biologi-fisik antara sama pengaruhnya dengan sedikit lebih berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya Nilai 4: Faktor biologi-fisik antara sedikit lebih berpengaruh dengan sangat berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya Nilai 6: Faktor biologi-fisik antara sangat penting dengan jelas lebih penting dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya Nilai 8: Faktor biologi-fisik antara jelas lebih berpengaruh dengan mutlak lebih berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya Misal dalam pertanyaan ini Bapak/Ibu/Saudara/i, mempunyai pendapat bahwa faktor biologi fisik jelas lebih berpengaruh dibandingkan faktor sosial-ekonomi-budaya, maka jawabannya memiliki nilai 7 , nilai 7 diisi pada kolom yang tersedia. Faktor Bio-Fisik Sosial-Ekonomi-Budaya Kebijakan Bio-Fisik Sosial-Ekonomi-Budaya Kebijakan
7
Misal dalam pertanyaan ini bapak/ibu/saudara/i, mempunyai pendapat kebalikannya bahwa faktor sosial-ekonomi-budaya jelas lebih berpengaruh dibandingkan faktor bio-fisik, maka jawabannya memiliki nilai 1/7 , nilai 1/7 diisi pada kolom yang tersedia. Faktor Bio-Fisik Sosial-Ekonomi-Budaya Kebijakan Bio-Fisik 1/7 Sosial-Ekonomi-Budaya Kebijakan
113
Lampiran 5. Lanjutan 3. Daftar Pertanyaan 1. Tabel level 2 (faktor-faktor pendorong) terhadap level 1 (tujuan) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara faktor bio-fisik, sosial-ekonomi-budaya, dan kebijakan, faktor mana yang lebih berpengaruh dalam mencapai tujuan yaitu “rencana pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus”? Seberapa besar pengaruhnya? Faktor
Bio-Fisik
Sosial-Ekonomi-Budaya
Kebijakan
Bio-Fisik Sosial-Ekonomi-Budaya Kebijakan 2.
Tabel level 3 (kriteria dari faktor-faktor pendorong) terhadap level 2 (faktor bio-fisik) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara kriteria aksesibilitas, perubahan penutupan dan penggunaan lahan, dan kesesuaian penggunaan lahan, kriteria mana yang lebih berpengaruh dalam faktor bio-fisik? Seberapa besar pengaruhnya? Kriteria
Aksesibilitas
Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan
Kesesuaian Penggunaan Lahan
Aksesibilitas Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan Kesesuaian Penggunaan Lahan 3.
Tabel level 3 (kriteria dari faktor-faktor pendorong) terhadap level 2 (faktor sosial-ekonomibudaya) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara kriteria laju pertumbuhan penduduk, kelayakan usaha pertanian, dan latar belakang budaya masyarakat, kriteria mana yang lebih berpengaruh dalam faktor sosial-ekonomi-budaya? Seberapa besar pengaruhnya? Kriteria
Laju Pertumbuhan Penduduk
Kelayakan Usaha Pertanian
Latar Belakang Budaya Masyarakat
Laju Pertumbuhan Penduduk Kelayakan Usaha Pertanian Latar Belakang Budaya Masyarakat 4.
Tabel level 3 (kriteria dari faktor-faktor pendorong) terhadap level 2 (faktor kebijakan) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara kriteria relokasi, reboisasi dan rehabilitasi lahanlahan kritis, kriteria mana yang lebih berpengaruh dalam faktor kebijakan? Seberapa besar pengaruhnya? Kriteria
Relokasi Permukiman Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan-Lahan Kritis
Relokasi Permukiman
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan-Lahan Kritis
114
Lampiran 5. Lanjutan 5.
Tabel level 4 (alternatif pengelolaan) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria aksesibilitas? Seberapa besar pengaruhnya? Alternatif
1
2
3
1 2 3
6.
Tabel level 4 (alternatif pengelolaan) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria perubahan penutupan dan penggunaan lahan? Seberapa besar pengaruhnya? Alternatif
1
2
3
1 2 3
7.
Tabel level 4 (alternatif) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria kesesuaian penggunaan lahan? Seberapa besar pengaruhnya? Alternatif 1 2 3
1
2
3
115
Lampiran 5. Lanjutan 8.
Tabel level 4 (alternatif) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria laju pertumbuhan penduduk? Seberapa besar pengaruhnya? Alternatif
1
2
3
1 2 3
9.
Tabel level 4 (alternatif) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria kelayakan usaha pertanian? Seberapa besar pengaruhnya? Alternatif
1
2
3
1 2 3
10. Tabel level 4 (alternatif) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria latar belakang budaya masyarakat? Seberapa besar pengaruhnya? Alternatif 1 2 3
1
2
3
116
Lampiran 5. Lanjutan 11. Tabel level 4 (alternatif) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria relokasi permukiman? Seberapa besar pengaruhnya? 1
Alternatif
2
3
1 2 3
12. Tabel level 4 (alternatif) terhadap level 3 (kriteria faktor pendorong) Menurut Bapak/Ibu/Saudara/i, diantara alternatif berikut ini: 1. mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan mengoptimalkan pengelolaannya, 2. melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi, dan 3. mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan memperindah kawasan), alternatif mana yang lebih berpengaruh dalam kriteria reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis? Seberapa besar pengaruhnya? 1
Alternatif 1 2 3
4. Biodata Responden Nama
:
Pekerjaan
:
Bidang Keahlian
:
Instansi
:
Telp./E-mail
:
2
3
117
Lampiran 6. Peta kemiringan lereng DAS Karang Mumus
118
Lampiran 7. Peta geologi DAS Karang Mumus
Lampiran 8. Deskripsi formasi geologi penyusun kawasan DAS Karang Mumus No.
Formasi geologi
1.
Alluvium
Pasir lempung endapan pantai
Datar hingga bergelombang dengan rataan kemiringan ± 15 %
2.
Kampung Baru
Batu pasir, batu lempung lensa, batu gamping, serpih lapisan batu bara
Datar dengan kemiringan ± 16 %
3.
Balikpapan
Batu pasir sisipan batu gamping, batu lempung, dan serpih lensa batu bara
4.
Pulau Balang
Batu pasir kwarsa dengan sisipan lempung serpih dan batu bara bara coklat
Fisiografi
Kedalaman efektif tanah 80 – 120 cm
Bahan induk tanah
Kelas tekstur
Batu pasir dengan sifat drainase yang baik
Lempung berpasir, lempung dan lempung liat berpasir sehingga tanah tergolong bertekstur agak kasar hingga agak halus
> 120 cm
Batu pasir dengan sifat drainase yang baik
Lempung dan lempung berliat
Bergunung dengan kemiringan ± 22 %
80 – 120 cm
Batu liat dengan drainase agak baik
Lempung dan lempung berliat, dengan peningkatan fraksi liat yang seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah
Datar dengan kemiringan ±7%
80-120 cm
Batu pasir dengan sifat drainase yang baik
Lempung dengan kadar liat, debu dan pasir yang memungkinkan air dan udara bergerak bebas di dalamnya. 119
Sumber: Hartati (1998)
Penyusun
120
Lampiran 9. Peta jenis tanah DAS Karang Mumus
121
Lampiran 10. Peta hidrologi DAS Karang Mumus
122
Lampiran 11. Peta sistem lahan DAS Karang Mumus
123
Lampiran 12. Analisis finansial pertanian lahan basah (padi sawah) dengan luas tanam 1 ha Komponen Biaya Produksi Sarana Produksi: Benih Urea NPK Pestisida Herbisida Tenaga Kerja: Persemaian Pengolahan tanah Penanaman Pemupukan Pemanenan Perontokan Pengangkutan
Volume
Satuan
Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
1.430.000 40 100 200 4 2
Kg Kg Kg Liter Liter
4.000 1.200 1.750 180.000 40.000
160.000 120.000 350.000 720.000 80.000 2.340.000
4 1 10 4 1 100 100
Hok Hand traktor Hok Hok ha Karung Karung
30.000
120.000
800.000 30.000 30.000 250.000 5.000 2.500
800.000 300.000 120.000 250.000 500.000 250.000
Total Biaya Produksi: 1 x panen 1 tahun (2 x panen) Produksi Padi: 1 x panen 1 tahun (2 x panen)
Nilai per item (Rp)
3.770.000 7.540.000
5000 10000
Kg Kg
2.760 2.760
13.800.000 27.600.000
13.800.000 27.600.000
Keuntungan: 1 x panen 1 tahun (2 x panen)
10.030.000 20.060.000
Rasio B/C: 1 x panen 1 tahun (2 x panen)
2,66 2,66
124
Lampiran 13. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis) dengan luas tanam 1 ha Komponen Biaya Produksi Sarana Produksi: Benih (umum) Urea NPK Pestisida Herbisida Tenaga Kerja: Pengolahan tanah Penanaman Pemupukan Penyiangan Pemanenan Pengangkutan
Volume
Satuan
Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
794.000 2,5 100 10 1 2
Kg Kg Karung Liter Liter
60.000 1.200 35.000 80.000 47.000
150.000 120.000 350.000 80.000 94.000 995.000
10 4 5 10 50
Hok Hok Hok Hok Karung
30.000 30.000 30.000 30.000 2.500
300.000 120.000 150.000 300.000 125.000
Total Biaya Produksi: 1 x panen 1 tahun (3 x panen) Produksi Jagung: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
Nilai per item (Rp)
1.789.000 5.367.000
50 150
Karung Karung
80.000 80.000
4.000.000 12.000.000
4.000.000 12.000.000
Keuntungan: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
2.211.000 6.633.000
Rasio B/C: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
1,24 1,24
125
Lampiran 14. Analisis finansial pertanian lahan kering (jagung manis unggul) dengan luas tanam 1 ha Komponen
Volume
Biaya Produksi Sarana Produksi: Benih Urea NPK Pestisida Herbisida
2,5 100 10 1 2
Tenaga Kerja: Pengolahan tanah Penanaman Pemupukan Penyiangan Pemanenan Pengangkutan
Satuan
Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
140.000 1.200 35.000 80.000 47.000
350.000 120.000 350.000 80.000 94.000
994.000 Kg Kg Karung Liter Liter
995.000 10 4 5 10 50
Hok Hok Hok Hok Karung
30.000 30.000 30.000 30.000 2.500
300.000 120.000 150.000 300.000 125.000
Total Biaya Produksi: 1 x panen 1 tahun (3 x panen) Produksi Jagung: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
Nilai per item (Rp)
1.989.000 5.967.000
50 150
Karung Karung
150.000 150.000
7.500.000 22.500.000
7.500.000 22.500.000
Keuntungan: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
5.511.000 16.533.000
Rasio B/C: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
2,77 2,77
126
Lampiran 15. Analisis finansial pertanian lahan kering (cabai) dengan luas tanam 1 ha Komponen Biaya Produksi Sarana Produksi: Benih Ajir Mulsa plastik Kapur Pupuk kandang NPK dasar NPK Mutiara Zat pengatur tumbuh Tenaga Kerja: Pengolahan tanah Penyemaian Penanaman Pemupukan Penyiangan Pemanenan
Volume
Satuan
Nilai satuan (Rp)
Total nilai (Rp)
15 20800 3 80 400 100 1
Bungkus Batang Gulung Karung Kg Kg Karung
85.000 500 500.000 20.000 6.500 1.750 550.000
1.275.000 10.400.000 1.500.000 1.600.000 2.600.000 175.000 550.000 3.000.000
30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000
300.000 120.000 300.000 120.000 150.000 300.000
21.100.000
1.290.000 10 4 10 4 5 10
Hok Hok Hok Hok Hok Hok
Total Biaya Produksi: 1 x panen 1 tahun (3 x panen) Produksi Padi: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
Nilai per item (Rp)
22.390.000 67.170.000
7000 21000
Kg Kg
14.000 14.000
98.000.000 294.000.000
98.000.000 294.000.000
Keuntungan: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
75.610.000 226.830.000
Rasio B/C: 1 x panen 1 tahun (3 x panen)
3,38 3,38
127
Lampiran 16. Kebutuhan hidup layak berdasarkan harga barang konsumtif di DAS Karang Mumus (2008) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pos Pengeluaran Beras Lauk-pauk Gas Listrik, 900 W Air Telepun Transportasi Sosial Perayaan Hari Besar Kesehatan Pendidikan Buku, majalah, dll Baju Sepatu Sendal Baju muslim Sajadah Alat Dapur Bohlam Surat kabar Rehabilitasi rumah Komputer Mudik Rekreasi Tabungan Zakat/sumbangan Total Total dibulatkan/bulan Total belanja/tahun
Rincian Pengeluaran
Volume
5 or*10 kg/or 30 hr 2 tab/bl
50 30 2 1 1 1 180 1
kg hr tab bl bl bl hr bl
Nilai/Unit/ bulan Rp. 4.600 Rp. 50.000 Rp. 100.000 Rp. 100.000 Rp. 75.000 Rp. 100.000 Rp. 5.000 Rp. 100.000
2 5 3 5 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1
ev or or or bl bl bl bl bl bl bh bl bl bl bl bl bl bl
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
5or*30hr
2events 5or 3or*Rp 500000/smt 5or 5or*Rp250000/thn/or 5or*Rp200000/thn/or 5or*Rp100000/thn/or 5or*Rp100000/thn/or Rp60000/5thn
Rp1.2 juta/5thn Rp1.2 juta/1thn Rp1.2juta/1thn 2.5%*total belanja
250.000 50.000 250.000 25.000 100.000 100.000 50.000 50.000 1.000 10.000 10.000 50.000 20.000 50.000 100.000 100.000 100.000 125.525
Nilai Total Rp. 230.000 Rp. 1.500.000 Rp. 200.000 Rp. 100.000 Rp. 75.000 Rp. 100.000 Rp.. 900.000 Rp. 100.000 Rp. 500.000 Rp. 250.000 Rp. 250.000 Rp. 125.000 Rp. 100.000 Rp. 100.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 1.000 Rp. 10.000 Rp. 60.000 Rp. 50.000 Rp. 20.000 Rp. 50.000 Rp. 100.000 Rp. 100.000 Rp. 100.000 Rp. 125.525 Rp. 5.246.525 Rp. 5.250.000 Rp.63.000.000