REMAJA DAN BUDAYA MASSA DALAM SERI NOVEL GLAM GIRLS Mursidah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya FIB UI
[email protected]
Abstrak Glam Girls adalah seri novel populer Indonesia bergenre clique-lite yang diterbitkan oleh Gagasmedia. Novel-novel ini mengisahkan kehidupan remaja dari sebuah sekolah internasional di Jakarta. Tiga novel pertama seri Glam Girls membentuk rangkaian cerita tentang tokoh-tokoh dan latar yang sama, meskipun ditulis oleh pengarang berbeda: GLAM GIRLS (2008) oleh Nina Ardianti, REPUTATION (2009) oleh Tessa Intanya, dan UNBELIEVABLE (2009) oleh Winna Efendi. Seri novel ini berlanjut hingga tahun 2012 dengan tiga novel berikutnya, masih berkisah tentang kehidupan remaja di sekolah yang sama, namun dengan tokoh-tokoh utama yang berbeda. Kata glam girls menjadi penanda dari kehidupan glamor/mewah dalam seri novel ini. Selain kemewahan yang kerap memicu persaingan, likaliku persahabatan, pencarian jati diri, dan intrik-intrik dalam clique (gang pertemanan) adalah persoalan dalam kisah seri novel ini. Penelitian ini akan berfokus pada tiga novel pertama seri Glam Girls. Pertama, aspekaspek apa saja yang merepresentasikan seri novel ini sebagai produk budaya massa. Kedua, bagaimana citra remaja ditampilkan dalam novel. Ketiga, fenomena sosial apa terepresentasi dari kehidupan remaja tersebut, berkaitan dengan budaya massa. Kata kunci: novel populer, Clique-lite, representasi, budaya massa.
PENDAHULUAN Istilah sastra populer mulai merebak setelah tahun 70-an. Sastra populer kerap dikategorikan sebagai sastra hiburan dan bersifat komersial. Keberadaannya dikaitkan dengan selera orang banyak, dan dengan demikian bernilai ekonomi. Bahasa sastra populer lebih ringan dan mudah dinikmati. Sastra ini tidak berpretensi mengejar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari isinya yang tergolong ringan, tetapi bersifat aktual dan
menarik. Namun, sastra populer mudah dilupakan pembacanya, apalagi dengan munculnya karya sesudahnya (Nurgiyantoro, 1998: 20). Satra populer sebagai produk budaya populer sering dilihat sebagai produk budaya rendah atau budaya massa, dikotomikan dengan sastra ‘serius’ sebagai budaya tinggi atau artistik. Budaya tinggi mengacu pada karya seni yang merepresentasikan kenyataan yang ada tetapi juga sekaligus melakukan perlawanan, dan budaya rendah atau budaya massa mengacu pada produk budaya yang diproduksi atas dasar standarisasi, konsumsi massa, dan dapat reproduksi ulang. Dikotomi tersebut didefinisikan pada abad ke-20 dan tidak lepas dari kehadiran media massa: film, televisi, radio, dan media digital. Media massa berpengaruh dalam banyak hal: reklame, propaganda, hiburan dan seni (drama radio, tv, seni video), penyampaian informasi. Media massa kerap dipakai untuk mempengaruhi publik yang lebih luas, dan mendorong pemikiran, makna, sentimen tertentu, atau untuk strategi penjualan. Karenanya dalam dunia kapitalis, budaya massa sering dipandang sebagai alat yang paling berpengaruh untuk memanipulasi dan membius publik. (Wurth, 2006: 336). Menurut Theodor Adorno ‘budaya massa’ bukan budaya dari massa, tetapi budaya yang dilekatkan pada massa: budaya industri yang diatur dengan standar, direduksi untuk mengeluarkan segala penyimpangan. Budaya massa tidak semata-mata muncul karena keinginan dan harapan massa, namun lebih merupakan keinginan dan harapan yang dimanipulasi oleh kepentingan komersial. Apa yang anda beli, penampilan bagaimana yang anda inginkan, apa yang anda upayakan dan ingin raih ditentukan oleh pesan-pesan yang setiap hari diterima dan ‘bermain’ dalam media massa. Industri budaya menempatkan individu bukan lagi sebagai korban dari para penguasa, namun sebagai individu yang tidak lagi mandiri, bagian dari konsumen massa yang dipengaruhi oleh dorongan lewat gambar-gambar klise dalam film, televisi, reklame, dsb. (Wurth, 2006: 336), Pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an perusahaan penerbitan berkembang, dan tidak lagi menjadi monopoli penerbit-penerbit besar seperti Gramedia, Grasindo, Mizan. Penulis-penulis muda dan komunitas penulis berkembang di berbagai daerah. (Riana, Desri, 2016: 27). Tahun 2000-an sastra populer bergenre teenlite dan chicklite merebak. Teenlite merupakan novel remaja dan ditulis juga oleh remaja, dan chicklite lebih merupakan novel tentang kehidupan wanita muda metropolitan masa kini. Perkembangan genre sastra ini berakar dari banyaknya novel populer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bridget Jone’s
Diary (1998) karya Helen Fielding adalah novel chiklite dari Inggris yang dianggap sebagai tonggak penulisan novel remaja (Riana, Desri, 2016: 1-2). Novel yang mengangkat perjuangan seorang wanita muda (Bridget Jones) ini mendapat sambutan luar biasa, merambah ke daratan Amerika dan berbagai belahan dunia lain, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2003. Pada tahun yang sama novel tersebut diangkat ke layar perak, dan filmnya pun menjadi film tersukses Amerika saat itu. (Riana, Desri, 2016: 14). Kehadiran genre sastra populer tersebut menggiurkan dunia penerbitan, membuat penerbit sangat antusias menghadirkan bacaan remaja ini dan mendukung remaja untuk menulis. Seperti Bridget Jone’s Diary, kesuksesan beberapa novel teenlite dan chicklite Indonesia pun difilmkan, seperti Dealova (2004) karya Dyan Nuranindya, Me vs High Heels (2004) karya Maria Ardelia. Yang unik dari fenomena berkembangnya novel-novel populer remaja adalah para penulisnya yang masih belia. Kebanyakan dari para penulis teenlite dan chicklite masih duduk di bangku SMP dan SMA. (Riana, Desri, 2016: 25). Para penulis mengenal dengan baik dunia remaja, segala permasalahan dan mimpi mereka, dan mengangkat kisah remaja sesuai dengan cara berpikir, kebiasaan, dan ragam bahasa mereka sebagai remaja. Industri penerbitan yang banyak mendapat keuntungan dari teenlite dan chicklite terus mengeksplorasi kemungkinan bagi perkembangan novel populer remaja dan tentunya tidak ingin kehilangan pangsa pasar yang besar ini. Reklame-reklame bagi penulisan novel-novel remaja ini disebarkan di media sosial, komunitas penulisan kreatif pun dibuat, dan sub-sub genre teenlite dan chicklite dibuat untuk menarik publik remaja dan menginspirasi remaja untuk menulis. Budaya pop kerap disamakan dengan budaya massa, karena produksi budaya ini berkaitan erat aspek komersial yang berorientasi pada produk yang besar, efisien (secara ekonomi), dan dapat menjadi konsumsi massa. Seri novel Glam Girls yang diproduksi oleh penerbit Gagasmedia merupakan sebuah contoh dari beroperasinya budaya massa, baik dalam sistem penerbitan seri novel ini maupun kisah yang diangkat oleh para penulisnya yang masih terbilang remaja. Produksi seri Glam Girls yang dimulai tahun 2008 diberi etiket oleh penerbitnya sebagai Clique-lite, yaitu novel yang mengangkat gang/kelompok pertemanan (terutama remaja wanita) dalam kehidupan pergaulan remaja. Sampai tahun 2012 terbit enam novel seri Glam Girls, yang ditulis oleh penulis yang berbeda, kecuali novel pertama dan terakhir (ke-6). Berikut ini adalah keenam novel tersebut:
(1) GLAM GIRLS: Semua cewek ingin seperti dia. Kecuali dirinya sendiri (2008) karya Nina Ardianti. (2) The glam girls novel. REPUTATION: Popularitas memang bukan segalanya …melainkan, satu-satunya (2009) karya Tessa Intanya, (3) The glam girls novel. UNBELIEVABLE: Skandal adalah kebenaran yang disembunyikan (2009) karya Winna Efendi, (4) The glam girls novel. MAGNIFICENT: Kecantikan menjelma dari balik tas make-up. Bukan dari hati (2009) karya Al Dhimas, (5) The GLAM GIRLS novel. ONTRAGEOUS: Sahabat terbaik popularitas adalah dirinya sendiri (2010) karya Momoe Rizal, (6) The Glam GIRLS novel. IMPOSSIBLE (2012) karya Nina Ardianti. Glam Girls mengangkat kisah pergaulan para remaja di Voltaire International School (VIS) yang serba mewah dan glamor. Lika-liku dalam pertemanan, persaingan, pencarian jati diri, intrik-intrik dalam clique (gang pertemanan) merupakan persoalan yang dialami remaja tersebut. Penelitian ini dibahasi pada tiga novel pertama. Pertama seri Glam Girls akan diteliti sebagai sastra populer yang merupakan produk budaya massa. Unsur-unsur apa saja yang memperlihatkan ketiga novel memeliki kesamaan, benang merah sebagai produk industri penerbitan, dan merupakan hasil operasional dari pola atau ketentuan dan standar yang dibuat oleh penerbit (sebagai produsen). Kedua, penelitian akan menyoroti cerita ketiga novel: persoalan remaja, dan cara mereka menyikapi persoalan, memandang diri sendiri dan lingkungannya, untuk melihat bagaimana citra remaja ditampilkan. Ketiga, fenomena sosial apa terepresentasi dari kehidupan remaja tersebut, berkaitan dengan budaya massa.
Seri novel Glam Girls sebagai produk budaya massa.
Novel-novel Glam Girls ditulis oleh penulis yang berbeda. Berarti penulis bekerja atas dasar ‘pesanan’ penerbit, mengikuti pola dan ketentuan yang telah digariskan, atau sebelumnya telah dibuat sebuah kesepakatan antarpenulis dan penerbit mengenai cerita dan strukturnya.
Masing-masing novel dapat berdiri sendiri, tapi juga saling melengkapi. Untuk orang yang membaca ketiga novel tersebut, akan melihat pengulangan penjelasan tentang konteks cerita yang sudah cukup jelas di novel yang lain. Cerita ketiga novel ditulis dengan pencerita aku-an, namun dari sudut pandang yang berbeda. Novel pertama dari sudut pandang Adrianna, novel kedua sudut pandang Rashi, dan novel ketiga May. Dengan teknik penulisan seperti ini ketiga novel dapat ditulis secara terpisah, tentunya dengan kesepakatan penerbit atau para penulisnya terkait : tokoh-tokoh, peran, karakter, identitas, dan latar belakang sosial; pokok dari alur cerita; dan lain-lain terkait dengan struktur ceritanya. Sistem produksi seperti ini membuat novel dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat dan proses produksi menjadi lebih efisien. Editor berperan penting dalam menyelaraskan ketiga novel. Editor di kedua novel pertama adalah Christian Simamora dan Widyawati Oktavia, sedangkan di novel ketiga hanya Christian Simamora. Produksi, publikasi melibatkan media yang beragam. Situs web Gagasmedia misalnya, memfasilitasi informasi sekaligus reklame tentang buku-buku yang telah dan akan diproduksi, ‘saluran’ komunikasi dengan para penulis dan pihak penerbit, pelatihan menulis, dan hal-hal yang mendukung produksi dan pemasaran dari produk-produk buku yang dihasilkan. Reklame seri novel berikutnya sudah ada di penerbitan novel sebelumnya. Kerja sama dengan ‘industri’ lain dilakukan untuk saling mendukung usaha mereka. Misalnya, pembatas buku yang diselipkan dalam novel berisi reklame dan diskon dari sebuah café dan sekaligus merupakan kupon untuk mendapatkan 100 CD dari sebuah single music terbaru saat itu. ‘Kemasan’ yang digunakan ketiga novel pun sama. Sampul depan menggunakan foto tiga model yang sama (Claudia, Sheila, Indah) dengan gaya yang berbeda, dibuat oleh fotografer yang sama (Hadi Iswanto), di lokasi pemotretan yang sama (Bakwan Etcetera, Kemang), dengan fashion stylist yang sama (Dwi Anissa Anindhika), dan menggunakan Wardrobe yang sama (Lime, Illuminate, Gaudi). Di halaman bagian belakang ketiga alamat Wardrobe dan tempat pemotretan ditampilkan sebagai iklan. Untuk tiga novel seri Glam Girl yang selanjutnya ditampilkan format yang tidak jauh berbeda, namun melibatkan foto model, fotografer, lokasi pemotretan, dan pihak-pihak yang berbeda. Pola cerita dipakai dalam Glam Girls ini mirip dengan produk budaya populer yang kita kenal dalam industri film remaja Amerika: yaitu kisah-kisah tentang persahabatan dan permasalahannya, popularitas, tokoh utama yang awalnya ‘bukan siapa-siapa’ kemudian menjadi ‘seseorang’, dan pencarian jati diri. Di sini kita melihat pola produksi ulang dari materi
bahan yang kurang lebih sama, menjadi produk budaya dalam bentuk yang berbeda. Pola Frenchise seperti terjadi dalam produksi novel-novel populer remaja ini. Duplikasi dari bisnis yang sudah sukses, sehingga produsen hanya menjaga agar sistem bisa berjalan dengan baik. Bentuk ‘kemasan’ ditampilkan seperti aslinya: judul dalam bahasa Inggris, foto sampul menggunakan gambar-gambar model (seperti dalam film), dan ragam bahasa melekatkan bahasa Inggris secara dominan. Setiap bab novel ke-2 dan ke-3 memakai judul-judul bahasa Inggris, misalnya di novel ke-2 Meet Rashi untuk bab pertama dan Viva la Reputation untuk bab terakhir/24, dan di novel ke-3 Girls just wanna have fun untuk bab pertama dan The Verdict untuk bab terakhir/19. Sisi muka dari setiap bab dari ketiga novel selalu memperlihatkan deretan ilustrasi atau semacam lambang heraldik dari kaum bangsawan disertai quote berbahasa Inggris dari tokoh-tokoh internasional. Pola-pola yang sama dalam setiap novel, merupakan unsur yang diciptakan penerbit (sebagai produsen) untuk menghasilkan produk seri novel yang seragam dan membentuk citra ‘berkelas dan internasional’ dari seri ini.
Contoh: Muka bab 1 dari novel ke-3. “A love of fashion makes the economy go round” -- Liz Tiberlis
Tokoh-Tokoh Glam Girls
Tokoh-tokoh dalam Glam Girls adalah anak-anak yang bersekolah di Voltaire International School (selanjutnya disebut VIS), sekolah menengah atas internasional di Jakarta. VIS juga mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah, yakni TK, SD, dan SMP. Banyak dari tokoh yang sejak jenjang TK sudah mengikuti pendidikan di sekolah ini. Karakterisasi tokoh dalam seri novel ini disampaikan secara langsung dan eksplisit melalui tuturan tokoh itu sendiri dan terutama dari komentar dan pandangan tokoh-tokoh lain. Pengenalan tentang karakter tokoh disampaikan secara sederhana. Kehidupan batin, gejolak perasaan dan pikiran para tokoh digambarkan secara simpel. Ada empat tokoh yang berperan penting dalam tiga novel pertama seri Glam Girls, yang akan dibahas berikut ini. Pertama, Adrianna Fernandhita Fauzi (Adrianna atau Ad). Dia kecewa harus meneruskan sekolah menengah atasnya di VIS. Sejak TK dia sudah bersekolah di sana, dia bosan dan mengidamkan untuk masuk SMA Harapan Bangsa (sekolah negeri peringkat satu Nasional), bersama sahabatnya Lelly dan Nadine. Ad mampu untuk masuk ke Harapan Bangsa, namun orangtuanya (terutama ayahnya) tidak mengizinkannya. Pada awalnya Ad merupakan tokoh yang berbeda ‘arus’ dari yang kebanyakan temannya di VIS. Ad sosok yang mandiri, serius belajar, tidak menonjolkan penampilan luar, tidak suka bergosip dan mencampuri urusan teman-temannya, dan tidak ingin menjadi bagian dari clique (gang) teman-temanya. Keadaan memaksa Ad berinteraksi dengan Rashi dan gangnya. Pertama, ia amat terganggu dengan suara berisik mereka, karena mereka tidak bisa mengerjakan soal, dan Ad pun memberi contekan agar mereka diam. Kedua, untuk tugas Indonesian Studies Ad ditempatkan satu kelompok dengan Rashi dan Maybella. Saat mengerjakan tugas kelompok, mereka malah mengajak Ad shopping dan bersenang-senang. Ad tidak dapat menolak mereka, dan hidupnya mulai berubah. Ad yang pintar tapi dianggap kuper perlahan-lahan mulai berubah. Ia memperhatikan penampilannya, memasuki kehidupan yang semula ia jauhi, dan menjadi bagian dari clique-Rashi. Sampai akhirnya nilai Ad anjlok dan harus ikut remedial. Ketika Ad dihukum oleh ibunya, tidak boleh keluar rumah, Ad malah kabur menghadiri Premiere di Senayan City. Kedua, Rashida Agashi Pradokso (Rashi). Pada novel kedua Rashi berperan sebagai pencerita atau tokoh Aku. Dia bangga dengan VIS, dan kagum dengan teman-temannya yang selalu terpukau melihat penampilannya. Ia adalah putri dari pengusaha konglomerat yang
hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan, pemilik fashion blog yang tenar dan sering di-endorse oleh merek-merek terkenal. Karena itu Rashi menjadi amat populer, dan dia dianggap Paris Hilton-nya Indonesia. Sifat Rashi cool, angkuh, bossy dan jutek. Dalam cliquenya dia orang ‘terkuat’ secara status sosial, oleh karena itu menjadi semacam queen-bee (menjadi bos) dan teman-teman clique-nya melayani apa yang dia mau. Namun kehidupan Rashi di rumahnya tidak sebahagia yang dia tampilkan. Sifat cool-nya sebetulnya merupakan caranya untuk menguasai diri dan tidak memperlihatkan dirinya apa adanya. Hubungan dengan ibunya (yang dipanggilnya Ayu saja) tidak harmonis, selalu terjadi pertengkaran dengan ibunya. Dia tidak ingin teman dekatnya sekalipun tahu tentang hal itu. Karena dia tidak mau hal tersebut menjadi gosip, dan merusak nama besar keluarga Pradokso. Namun, Rashi amat menyayangi ayahnya (71 tahun) yang kesehatannya sudah menurun dan akrab dengan mantan-mantan istri ayahnya dan saudara-saudara tirinya. Ketiga, Shinna Maessa Wijaya (May/Maybella). May adalah blasteran dan pindahan dari US. Saat usianya masih 15 tahun dia sudah menjadi model Maybelline di New York. May terkenal sebagai model, dan selalu tampil modis. Ia sibuk berpikir tentang belanja, dandan (terobsesi dengan lipstik), dan pacaran (sering berganti cowok), dalam hal akademis dia amat rendah dan sering kali mengikuti remedial. Keempat, Marion Theroux (Marion), bule asal Prancis yang keluarganya dekat dengan keluarga Pradokso. Karena itulah ia bisa dekat dengan Rashi. Namun di perjalanan cerita dia berkonflik dengan Rashi karena urusan cowok, dan diam-diam Marion juga memendam rasa iri pada Rashi.
KEMEWAHAN DAN KESOMBONGAN Di novel pertama, Adrianna (sebagai pencerita) mengemukakan kekecewaannya tidak bisa meneruskan ke SMA Harapan Bangsa (sekolah negeri peringkat satu Nasional), sedangkan sahabatnya Lelly dan Nadine bersekolah di sana. Ketidakbahagiaannya masuk VIS dijelaskan sebagai berikut: Tapi, mau namanya SD, SMP, atau SMA – nuansa sekolahnya sama semua. Jenis orangnya juga bisa dipastikan sama semua. Ramai-ramai menonjolkan kekayaan. Kalau dulu waktu SD, sih, nggak terlalu kelihatan, justru yang show off lebih orangtuanya daripada para murid. Tapi, waktu masuk SMP, tongkat sombong dan show off-nya diteruskan ke anak-anaknya. Nggak kebayang deh, seperti apa jadinya VIS versi SMA. (Adrianti, 2008: 12)
Adrianna ‘muak’ dengan murid-murid di sekolah tersebut yang menonjolkan kekayaan dan bersaing memamerkan kemewahan, dan mereka meniru sikap orangtua mereka. VIS menjadi semacam ‘arena’ unjuk kemewahan. VIS atau Voltaire International School adalah sekolah internasional yang – uhm, gimana, ya mendeskripsikannya? Pokoknya, sekolah ini bertaraf internasional dengan kurikulum yang berbeda dengan sekolah Indonesia kebanyakan. Dengan sistem kurikulum yang berstandar internasional, para siswa diharapkan untuk lebih aktif dalam belajar. Semacam active learning gitu. Itu yang membuat sekolah ini berbeda dari sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Tapi, sebenarnya kalau dilihat-lihat, perbedaan mencolok bukan pada kurikulumnya, melainkan pada murid-muridnya. Syarat utama jadi murid VIS hanya dua: kalau enggak KAYA BANGET, ya, harus PINTER BANGET. Kalau bisa dua-duanya, lebih bagus lagi—tapi, yang seperti ini pasti jarang banget. (Adrianti, 2008: 11)
Kutipan di atas memperlihatkan kurikulum VIS, kenyataannya, dan murid-muridnya. Yang membedakannya dari sekolah lain adalah murid-muridnya, yang seperti telah dibahas sebelumnya, ‘tampil beda’ karena kemewahannya. Hanya Adrianna, satu-satunya tokoh dalam seri ini yang masuk kategori (pinter banget), tapi akhirnya dia pun terbawa ‘arus’ teman-temannya. Kekayaan direpresentasikan melalui merk-merk produk yang merupakan brand internasional dalam pakaian, tas, sepatu, mobil, dan berbagai perlengkapan yang dipakai ke sekolah. Juga dalam obrolan, kegiatan mereka di luar sekolah, barang-barang di rumah. Kehidupan glamor para remaja sesuai dengan judul glam girls pada judul seri novel. Gaya hidup mereka ini pun memicu mereka untuk merasa lebih baik daripada yang lain dalam hal penampilan, merendahkan yang lain dalam komentar, gosip, atau dalam pikiran. Hal itu terutama terjadi pada saingannya. Namun, penampilan juga sering kali dinilai secara ekonomi. Judul novel kedua, Reputation: Popularitas memang bukan segalanya-- melainkan, satu-satunya, merepresentasikan bahwa bukan prestasi sekolah yang menjadi target dari para tokoh di sekolah tersebut, melainkan ‘popularitas’. Kutipan berikut ini menunjukkan bagaimana Rashi memandang orang yang berprestasi di sekolahnya. Ternyata, Adrianna lagi kejebak di acara keluarga di rumah (…). Motifnya kebaca banget, pengen supaya Ad deket sama putra bungsu di pemilik rumah yang seumuran dan pinter banget fisikanya. Tahun ini, cowok itu berhasil mewakili sekolahnya untuk perlombaan bergengsi – read my lips: NOT AT ALL – Olimpiade Fisika Internasional. Since when does Science Competition become PRESTIGIOUS? Ewwwww 50 x … Yang bener aja, deh! Bottom line, Tante Lolita –ibunya Ad—pengen putrinya itu menjadi lebih geeky daripada dirinya yang sekarang. Poor Adrianna darling. (Intanya, 2009: 43)
Prestasi akademis dipandang Rashi sebagai sesuatu yang ‘bodoh’, karena mungkin yang dibayangkannya adalah keseriusan dan waktu yang digunakan seseorang dalam belajar. Secara implisit kutipan di atas mengatakan, bahwa tak akan ada waktu lagi untuk memperhatikan penampilan diri, untuk bersenang-senang, sehingga pasti membuat penampilan orang tersebut ‘menyedihkan’.
BERSAINGAN, CLIQUE DALAM PERGAULAN SEKOLAH, DAN GOSIP ‘Kekuasaan’ dalam seri novel ini direpresentasikan dengan beragam hal: kekayaan, senioritas, popularitas, dan pacar yang keren. “Malam ini, lo datang ke ulang tahun kakaknya Lukas?” tanya Kak Della –orang ketiga itu— berusaha terkesan santai. “Kami bertiga, sih, diundang.” “Bagus, dong”, kataku dengan suara datar. “The more, the merrier, no?” “Tapi…, lo.. diundang, kan?” Aku menoleh. What is THAT supposed to mean?! “Kakak aja diundang Lukas, apalagi aku.” Aku menatap langsung ke mata Kak Della. Ngasih tanda yang jelas kalau aku nggak takut pada dia sama sekali. “Kan, aku yang punya status sebagai pacarnya.” (Intanya, 2009: 21)
Della adalah senior dari Rashi (satu tahun lebih tua), dia merasa mempunyai status yang lebih tinggi dan lebih ‘berkuasa’ atas yuniornya (Rashi). Dia pun merasa ‘lebih berhak’ atas Lukas. Pertanyaan Della pada Rashi merupakan bentuk ‘tekanan’ untuk menunjukkan ‘prestise’-nya bahwa ia diundang Lukas. Namun, jawaban Rashi menunjukkan kemenangannya atas Della. Status menjadi pacar Lukas (yang kaya dan populer) membuat ‘prestise’ Rashi lebih tinggi daripada Della. Aku benci ngelakui itu, apalagi pake acara menyombongkan status “pacar Lukas” segala. Tapi, sekali ini aja, khusus di depen cewek itu, aku pura-pura bangga banget dengan status tersebut. Let it eat het alive, the fact that he is no longer hers… Dalam beberapa hal, aku dan Kak Della bisa dibilang seimbang. An equal rival… Ayahnya penerus bisnis keluarga, Hariadi Group – yeah, pabrik rokok itu. Dan, seperti May, Kak Della juga model. Tapi, satu yang aku punya dan dia enggak: Lukas. Kabarnya, Lukas mutusin dia demi aku. Makanya, setiap kali ketemu, selalu aja ada ulah cewek itu untuk bikin perkara penting denganku. (Intanya, 2009: 22)
Kekayaan dan popularitas keluarga Rashi dan Della membuat status sosial mereka boleh dikatakan seimbang. Sehingga bahwa Lukas lebih memilih Rashi (daripada Della) untuk menjadi pacarnya menjadi faktor keunggulan Rashi.
Clique (gang cewek) di VIS merupakan representasi dari ikatan pertemanan yang akrab, kekompakkan, minat yang sama, saling mempercayai dan pertahanan yang lebih kuat. Pun merupakan ‘ruang’ untuk curhat dan bergosip. Setiap kelompok ingin tampil lebih ‘baik dan solid’. Secara tidak langsung setiap gang akan bersaing untuk ‘prestise’. Status sosial keluarga yang baik sudah menjadi modal awal. Awalnya, May dan Marion menjadi Clique-nya Rashi, dan mereka dipandang oleh yang lain sebagai trio glossy di VIS dan kehadiran mereka di sekolah tersebut langsung menarik perhatian banyak orang. Menjadi bagian dari clique-nya Rashi, merupakan penanda status sosial yang tingga dan menjadi harapan para cewek. Karena Rashi memberi akses untuk memasuki tempat-tempat bergengsi, dan hadir di acara kelas atas yang privat dan untuk undangan terbatas. Setiap Jumat VIS memperbolehkan muridnya berpakaian bebas. Gangnya Rashi ini selalu tampil beda dan menjadi trendsetter bagi banyak temannya yang lain. Marion dan Rashi berselisih paham karena masalah cowok dan Marion sudah lama memendam iri pada Rashi yang populer. Marion ‘didepak’ oleh Rashi dari clique-nya dan Adrianna kemudian masuk menggantikan Marion. Itu terjadi setelah Adrianna terlibat dalam kerja kelompok bersama Rashi dan Maybella. Gosip memicu permasalah antartokoh menjadi berkembang. Tokoh-tokoh populer merupakan target gosip paling utama. Mengekspos sisi-sisi negatif dari tokoh tersebut untuk ‘menggoyang’ popularitasnya, dan merupakan ekspresi dari rasa iri tokoh yang kurang populer. Hal-hal kecil yang didengar oleh ‘masyarakat’ di luar clique akan bisa menjadi sumber gosip. “Di rumah, lagi banyak banget makanan. Ibu sama Ayah mutusin buat spend much and spend big dalam rangka ulang tahun Ayu. (…) “Gah! Even the mention of food, makes me wanna barf! Uweek…” “Rass, do you have an eating disorder?” tanya Ad asal. “HAH?!” teriakku, “Puh-lease deh Ad! Jangan bikin gosip baru tentang gue… Next thing I know, berita itu udah jadi headline di ‘jktsocialsuicides’! Males!!” (Intanya, 2009: 231)
Rashi berusaha selalu tampil cool dan menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, dan dia takut kalau hal-hal kecil dari kehidupannya menjadi konsumsi publik dan beredar lewat gosip.
CITRA REMAJA DALAM SERI GLAM GIRLS Remaja dalam seri Glam Girls direpresentasikan sebagai orang-orang kelas atas, remaja dari keluarga berkelebihan. ‘Ruang’ VIS juga membingkai mereka sebagai orang-orang modern dan
bersifat internasional. Ragam bahasa gaul yang bercampur dengan bahasa Inggris dalam novel, merepresentasikan remaja yang modern. Quotes dalam bahasa Inggris disamping mencitrakan remaja yang modern , ‘berkelas’, juga merupakan kata-kata motivasi (pesan positif) bagi para remaja yang masih mencari identitas. Remaja digambarkan bersaing dalam hal penampilan (fisik) dan menggunakan kelompok/gang sebagai sebuah ‘kekuatan’ untuk mempertahankan ‘eksistensi’ mereka dalam persaingan di ruang sosial yang lebih besar (VIS). Di sini ditekankan bahwa kepintaran (prestasi akademis) tidak cukup untuk bersaing dalam ‘masyarakat VIS’ secara khusus, dan masyarakat kosmopolitan secara umum. ‘Tampil berbeda’ merupakan syarat untuk mendapat perhatian dari lingkungannya, sehingga diakui eksistensinya sebagai ‘seseorang’. Di VIS, elo nggak bisa menjadi orang yang biasa-biasa saja. Gue tahu kalau otak lo itu mungkin nggak berbelah sehingga lo bisa punya photographic memory. Tapi, satu yang perlu lo ingat, Ad: pintar aja nggak cukup untuk bisa menjadi somebody di VIS. Tapi, kalau elo memang milih jadi just another face in the crowd, sih, gue nggak bisa bilang apa-apa." "This is your first lesson. You have to stand out of the crowd -then you'll be the next thing." (Adrianti, 2008: 77) .
Para remaja dalam novel ini amat ‘sadar’ fashion terkini, berpenampilan glamor, dan konsumtif. Segala sesuatu yang berhubungan penampilannya selalu dikaitkan dengan merknya yang merupakan brand-internasional dan merepresentasikan kebanggaan atas status sosialnya.
Di hari Jumat mereka boleh memakai pakaian bebas, dan kesempatan
tersebut merupakan peluang mereka untuk mengekspresikan diri mereka sebagai ‘sesorang’ yang ‘berbeda’ dan ‘berkelas’, dan memperkuat citra Clique mereka. Tokoh terpopuler dan ternama berperan menjadi semacam queen bee yang menentukan dress code mereka pada hari itu. Sehari hari tokoh tersebut berperan sebagai bos yang memegang kendali kelompok (yaitu Rashi) dan tokoh-tokoh lain ‘melayani’nya, menjadi pengikutnya, juga dapat menikmati segala fasilitas dari kemewahan yang dimilikinya. Yang menambah “keceriaan” hari ini adalah: it’s anti-uniform day alias baju bebas! So ah-vious why this is my most favorite day of the week, rite? Sehari sebelumnya, aku bahkan udah ngabarin yang lain supaya datang dengan dress code yang aku tentukan dan ngumpul di depan gerbang di waktu yang udah ditentukan pula. See… We’re soooo gonna rock this school TODAY! But, first thing’s first… Sebelum keluar dari mobil, aku sempat membenarkan posisi kacamata Tsumori Chisatoku di depan kaca spion. Lipgloss, check! Smokey eyes, check! Adorable smile, check! 100 % perfect. TRES PARFAIT!
(…) dua menit dari jadwal masuk, phew … that’s close enough to ecure one not-so glam ticket to detention –clique-ku udah siap di posisi. Aku berdiri di sebelah May, sementara Marion dan Ad mengapit kami berdua. (Intanya, 2009: 320)
FENOMENA SOSIAL Citra remaja yang dibangun dalam seri novel ini merepresentasikan sebuah ‘keberhasilan’ dari budaya massa menjadikan remaja sebagai konsumen, pasar dari produk-produk ‘mahal’ dan ‘mutakhir’ mereka. Para remaja berkompetisi untuk menampilkan brand dari produk-produk internasional, mereka tidak lagi menampilkan diri sebagi individu yang memiliki keunikan masing-masing. Remaja yang masih mencari identitas, mencoba tampil berbeda untuk menarik perhatian lingkungannya dan eksistensi dirinya, namun kualitas dirinya ‘dilekatkan’ pada brand dan merk-merk terkenal, bukan pada kualitas diri. Rashi dan clique-nya merepresentasikan ‘pemegang kekuasaan’ dalam ‘masyarakat’ sekolahnya dalam hal penampilan, karena kemampuan finansial yang dimilikinya. Rashid an May adalah trendsetter dari anggota ‘masyarakat’ (teman-teman sekolahnya), dan mereka tampil ‘meniru’. Budaya fashion ‘tumbuh’ dengan baik pada massa (anak-anak remaja kelas atas), dan mereka sudah menjadi bagian dari sistem kapitalis. Didukung oleh media massa (media sosial) sistem itu bekerja dengan baik. Rashi yang memiliki fashion blog yang tenar, dan sering di-endorse oleh merek-merek terkenal, menjadi bagian dari sistem kapitalis yang berperan mencetak standarisasi kecantikan dan penampilan yang berkelas. Kapitalisme telah ‘sukses’ menjadikan para remaja kelas atas ini sebagai target komoditas dan ‘mengatur’ prilaku mereka. Produk-produk kecantikan, fashion membentuk citra diri dan status sosial mereka sebagai remaja ‘berkelas’. Clique merepresentasikan fenomena ‘penggalangan kekuatan dan pengakuan’ remaja untuk tampil dan ‘berkuasa’ di lingkup sosial yang kecil. Proses upaya remaja dalam mencari identitasnya, sebelum akhirnya tampil sebagai individu dan tidak lagi sebagai kelompok. Namun di sisi lain clique juga ‘menyeragamkan’ ide, tampilan, dan menciptakan hirarki. Yang ‘kuat’ adalah yang berkuasa, memutuskan, membentuk selera massa.
DAFTAR PUSTAKA Primer: Ardianti, Nina. 2008. GLAM GIRLS: Semua cewek ingin seperti dia. Kecuali dirinya sendiri
Jakarta: Gagasmedia. Intanya, Tessa. 2009. The glam girls novel. REPUTATION: Popularitas memang bukan segalanya …melainkan, satu-satunya. Jakarta: Gagasmedia. Efendi, Winna. 2009. The glam girls novel. UNBELIEVABLE: Skandal adalah kebenaran yang disembunyikan. Jakarta: Gagasmedia. Sekunder: Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Riana, Desri. 2016. Teenlite dalam Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Wurth, Kiene Brillenburg & Rigney. Ann (red). 2006. Het Leven van Teksten: Een inleiding tot de literatuurwetenschap. Amsterdam: Amsterdam University Press. Robbie, Angela Mc. (2011). Postmodernisme dan Budaya Pop. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana Offset.