239
RELEVANSI PEMBIAYAAN BANK SYARIAH TERHADAP SISTEM PERKEBUNAN DI INDONESIA Mariatul Qibtiyah & Herlina Yustati (Dosen UIN Raden Fatah Palembang & IAIN Bengkulu) (Alumnus SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) ABSTRAK Sektor perkebunan memainkan peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Walaupun demikian, sektor perkebunan ini masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, diantaranya kurangnya permodalan pelaku usaha perkebunan. Perbankan syariah, secara teori memiliki potensi besar sebagai pendukung pembiayaan perkebunan karena secara legal formal merupakan lembaga intermediasi keuangan. Namun, fakta menunjukkan penyaluran kredit perbankan ke sektor perkebunan masih didominasi oleh perbankan konvensional. Tulisan ini bertujuan melakukan review terhadap potensi dan peran serta berbagai permasalahan yang dihadapi perbankan syariah dalam pembiayaan di sektor perkebunan. Hasil studi menunjukkan bahwa minimnya pembiayaan di sektor perkebunan oleh perbankan syariah disebabkan beberapa hal, diantaranya : minimnya pengetahuan mengenai produk bank dan pengalaman menggunakan bank syariah, anggapan kesamaan operasional antara bank syariah dan bank konvensional, penyembunyian keuntungan bila nasabah tidak jujur, pengeluaran pluktuatif, hasil panen diluar perkiraan, peran bank sebagai lembaga Intermediari, serta keterbatasan kompetensi perbankan syariah di bidang perkebunan. Kata Kunci: Pembiayaan, Bank Syariah, Perkebunan ABSTRACT Plantation sector plays a strategic role in the Indonesian economy. However, the plantation sector is still faced with several problems, including lack of capital plantation businesses. Islamic banking, in theory, has a great potential to support the financing of the plantation as a formal legal institutions of financial intermediation. However, the facts show bank lending to the plantation sector is still dominated by conventional banks. This paper aims to conduct a review of the potential and role of the various problems faced by Islamic banks in financing in the plantation sector. The study shows that the lack of financing in the Islamic banking sector by the plantation due to several things, including: lack of knowledge about the bank's products and experience to use Islamic banks, assuming operational similarity between Islamic banks and conventional banks, concealment of profits when customers are not honest, fluctuating expenses, results unexpected harvest, the role of banks as intermediaries institution, as well as the limited competence in the field of Islamic banking in plantation. Keywords: Finance, Islamic Banking, Plantation Sector
\ PENDAHULUAN
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
240
esuburan tanah negara Indonesia memperlihatkan potensi yang dimiliki negara ini ada pada sektor pertanian. Perkebunan sebagai cabang sektor pertanian dapat menunjang dan merangsang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.1 Sebagaimana tertuang dalam konsiderans Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
K
lembaga keuangan seharusnya akan semakin signifikan. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Dirjen Perkebunan Deptan, menganggap bahwa peningkatan kesejahteraan petani pekebun di Indonesia dapat dicapai apabila lembaga terkait dan semua faktor produksinya digabungkan dalam suatu bentuk terpadu mulai dari penanaman sampai dengan pemasarannya. Melalui suatu studi kelayakan tahun 1974/1975, Pemerintah memutuskan untuk mengembangkan suatu proyek perkebunan rakyat melalui
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.2 Untuk menunjang kegiatan
pemukiman daerah-daerah baru dengan dukungan perusahaan perkebunan negara sebagai intinya. Bentuk proyek ini disebut Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun) yang berasal dari terjemahan Nucleus Estate and Smallholder Development Project, disingkat
perkebunan tersebut, pemerintah mengatur hubungan antara perusahaan perkebunan dengan pekebun. Hal ini dilakukan untuk memungkinkan bergeraknya sektor agribisnis ke arah yang lebih baik dan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan masyarakat. Mengingat sangat minimnya modal dan teknologi yang dimiliki oleh petani perkebunan Indonesia. Dengan kecenderungan seperti ini, maka peran
NES-Project (Soetrisno dan Winahyu, 1991). Selanjutnya, melalui bantuan Bank Dunia sebagai sumber pendanaan proyek maka pada tahun 1977/1978 pemerintah membangun dua proyek PIR di dua propinsi, yakni Sumatera Selatan dan D.I. Aceh.3 Tujuan dari model PIR-Bun ini tidak hanya terbatas pada pembangunan fisik kebun saja, tetapi lebih luas lagi yaitu membangun masyarakat pekebun yang berwiraswasta, sejahtera, dan selaras dengan lingkungannya yang
1
Rudianto Salmon Sinaga, Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kemitraan Inti Plasma Perkebunan Kelapa Sawit (Tesis Universitas Indonesia, 2011), 12 2 www.bpkp.go.id , Undang-Undang tentang Perkebunan, UU Nomor 18 Tahun 2004,.Psl 1 ayat 1.
3 Anonim, 5 April 2010, “Inti, Plasma (PIRTrans) dan KKPA Perkebunan Kelapa Sawit. http://h0404055.wordpress.com/category/perkeb unan/
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
241
dilaksanakan di wilayah bukaan baru yang pada akhirnya diharapkan terbentuknya petani modern. Secara konseptual, maka pengertian PIR-Bun adalah suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan, melalui sistem agribisnis yang dimulai dari penyediaan saprodi, produksi, pengolahan dan
Winahyu, 1991). Khusus untuk pengembangan PIR kelapa sawit, maka pada awal pelita IV, pemerintah menciptakan dua jenis PIR-Bun baru, yakni Akselerasi Kelapa Sawit dan PIR Swasta Kelapa Sawit. Pada jenis PIRBun sebelumnya (PIR lokal, PIR khusus, PIR berbantuan, dan PIR trans), dana proyek disediakan oleh pemerintah. Sedangkan, pada proyek PIR Akselerasi Kelapa Sawit dan PIR Swasta Kelapa Sawit dibiayai terlebih dahulu oleh perusahaan inti.4 Kehadiran perkebunan PIR dalam
pemasaran hasil. Dalam perkebunan Indonesia, komoditas kelapa sawit (terutama minyak sawit) mempunyai peran yang cukup strategis dan potensial dalam meningkatkan perekonomian. Pertama, minyak sawit merupakan bahan utama
pola plasma-inti menjadi sebuah peluang bagi perbankan untuk menunjang kemajuan perekonomian di sektor riil. Dalam hal ini, perbankan syariah mempertimbangkan keseimbangan sektor moneter dan sektor riil, dan memiliki karakteristik shared prosperity
minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng. Ini penting, sebab minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat sehingga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditas ini memiliki prospek yang baik sebagai sumber perolehan devisa maupun pajak. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Soetrisno dan
system sehingga terwujud keseimbangan antrara dua sektor tersebut. Berbeda dengan karakteristik perbankan konvensional yang memungkinkan terjadinya decoupling antara sektor moneter dan sektor riil, perbankan syariah menutup kemungkinan terjadinya decoupling. Kemampuan perbankan syariah menghimpun dana cukup signifikan dari sekitar kurang lebih 500 milyar rupiah pada 1997 menjadi kurang lebih 6 triliun rupiah pada 2003. Kemampuan menghimpun 4 Ashari. “Roles of National Banking In Agricultural Finance in Indonesia”. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volum 27 No. 1, Juli 2009 : 13-27.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
242
dana inilah yang menjadi jaminan pendanaan sektor riil. Financing to Deposit Ratio (FDR) perbankan syariah lebih dari 100% yang berarti kemampuan menyalurkan Dana Pihak Ketiga sangat tinggi, atau seluruh dana yang terkumpul dapat disalurkan melalui produk-produk pembiayaan bank syariah. Sedangkan FDR bank konvensional yang hanya sekitar 50%60% saja. Sektor perkebunan merupakan salah satu sektor riil yang berkaitan langsung dengan penguatan ekonomi domestik. Hal ini mengakibatkan sektor
selain rugi juga harus membayar bunga. Dengan adanya keterkaitan ini, perbankan syariah dapat dengan mudah masuk ke sektor perkebunan. Pertama, usaha perkebunan harus menjadi target pembiayaan utama perbankan syariah. Pembiayaan dilakukan secara langsung dengan menyalurkannya kepada kelompok tani yang membutuhkan dana melalui KUD. Pembiayaan yang membutuhkan modal kecil dapat disalurkan melalui lembaga keuangan mikro syariah. Hal ini bertujuan untuk melayani dana usaha perkebunan yang
pertanian berpengaruh besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Yang menjadi masalah di Indonesia adalah ketidakseimbangan antara penyerapan tenaga kerja dengan produk yang dihasilkan yaitu penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 46,7% dari total
kecil. Kedua, melakukan kerjasama dengan perusahaan inti perkebunan dalam memberi pendampingan dan pengarahan didalam usaha perkebunan. Ketiga, memperluas jaringan kerja perbankan syariah mengigat para pertani mayoritas tinggal di pedesaan. Keempat,
tenaga kerja di Indonesia, tetapi hanya menyumbang 13,6% dari total PDB (Produk Domestik Bruto).5 Dari segi filosofis, perbankan syariah memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor pertanian – dalam hal ini sektor perkebunan. Petani Indonesia sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil yang istilahnya adalah maro, gaduhan, dan lain-lain. Kedua, sistem bunga kurang cocok bagi petani karena jika terjadi kerugian, petani merasa mendapatkan kerugian berganda yaitu
memberi kemudahan dalam layanan pembiayaan kepada petani mengingat kondisi SDM petani yang mayoritas rendah. Hal inilah yang seharusnya ditawarkan perbankan syariah sebagai strategi untuk meningkatkan peranannya terhadap sektor riil terutama sektor perkebunan. Tulisan paper ini bertujuan untuk melihat sejauh mana peran perbankan syariah dan kendala/permasalahan yang dihadapi dalam pembiayaan sektor perkebunan di Indonesia. Dengan mengkaji berbagai permasalahan tersebut diharapkan dapat diperoleh alternatif solusi agar di masa-masa
5 Positivego, 31 Oktober 2009, “Perbankan Syariah, dalam Peran dan Strategi Bidang Pertanian. http://www.kompasiana.com/posts/type/raport/
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
243
mendatang, perbankan syariah dapat berkontribusi lebih besar sekaligus mitra usaha yang saling menguntungkan dengan para pelaku usaha di sektor perkebunan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: (i) bagi Pemerintah sebagai policy maker dan pemberi insentif bagi terlaksananya program tersebut; (ii) sebagai rekomendasi bagi bank syariah untuk beretribusi dalam pembiayaan perkebunan; (iii) sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan inti untuk melakukan kerjasama dengan
pembiayaan yang bervariasi ini akan dideskripsikan secara teoritis sehingga peneliti akan memverifikasi akad pembiayaan yang tepat yang bisa diaplikasikan dalam sistem perkebunan. Jenis penelitian yang digunakan adalah library research karena data yang diperlukan adalah data sekunder yang berkaitan dengan konsep. Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel dan jurnal yang terkait dengan tema penelitian ini. Selain bersifat deskriptif, penelitian ini mencoba menggunakan
bank syariah dalam menyalurkan kredit kepada petani; dan (iv) sebagai informasi bagi petani peserta apakah bank syariah memiliki prospektif dalam meningkatkan usaha perkebunan dan kesejahteraan keluarganya.
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) dalam menganalisis peran bank syariah dalam pembiayaan perkebunan. Analisis SWOT ini adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan,
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif6. Analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini akan memberikan gambaran bagaimana konsep atau akad pembiayaan perbankan syariah dapat diaplikasikan dalam sistem perkebunan Indonesia. Konsep atau akad
peluang, dan ancaman dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
6
Kata deskriptif berasal dari bahasa Inggris, descriptive, yang berarti bersifat menggambarkan atau melukiskan sesuatu hal. Analisis deskriptif dalam penelitian ini adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. (Husaini dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta,: Bumi Aksara, 2008: 130)
PEMBAHASAN Program pembangunan perkebunan yang digalakkan pemerintah saat ini merupakan sistem perkebunan yang bersifat plasma inti dengan melibatkan masyarakat petani secara langsung. Sistem perkebunan di
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
244
Indonesia dilakukan melalui dua sistem, yaitu pola PIR yang didasarkan pada Inpres No. 1 tahun 1986, dan pola KKPA yang didasarkan atas keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73/Kpts/KB.510/2/1998 dan No. 01/SKB/M/11/98. Kedua sistem ini bertujuan sama yaitu meningkatkan produksi non migas, meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah serta menunjang pengembangan perkebunan, meningkatkan serta memberdayakan
hasil kotor kebun sesuai dengan perjanjian antara bank dengan koperasi.8 Perkebunan inti plasma atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat) merupakan salah satu pola yang diterapkan pada perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Dalam konsep PIR, perusahaan perkebunan besar, baik nasional maupun swasta, berperan sebagai “inti”, sedangkan kebun yang berada sekitarnya, sejenis perkebunan rakyat, disebut “plasma”, dengan petani yang dialokasikan 2 ha/KK lahan dan rumah dari inti pada tahap
KUD di wilayah plasma.7 Sistem perkebunan ini memberikan peluang bagi pihak bank untuk turut serta memberdayakan masyarakat. KKPA Perkebunan Kelapa Sawit adalah KKPA yang diberikan untuk
pembangunan. Tujuan yang dimaksudkan ini adalah meningkatkan produksi, meningkatkan pendapatan petani, dan mengembangkan ekonomi setempat. Pada pelaksanaan program PIR, instansi yang terkait seperti perusahaan
pembangunan kebun kelapa sawit petani anggota koperasi primer. Oleh karena jangka waktu pembangunan kebun ini cukup panjang dan masa pengembaliannya juga lama, maka jenis kredit ini termasuk dalam kredit investasi. Kredit ini dikembalikan atau diangsur sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian bersama dengan Bank. Besarnya cicilan kredit termasuk bungab dihitung dengan persentase tertentu dari
inti, bank, dan KUD bekerjasama untuk mengurusi segala keperluan kelompok tani. Tugas Perusahaan Inti adalah bertanggung jawab untuk membina KUD, kelompok tani serta memotong hasil produksi petani untuk pembayaran kredit pembangunan kebun pada Bank pelaksana. Selain itu, perusahaan inti juga menerima hasil produksi petani peserta melalui KUD. Sedangkan untuk tugas KUD adalah berkewajiban mengkoordinasi pemeliharaan, panen, transport hasil petani peserta ke lokasi pabrik, menyediakan kebutuhan petani
7 Anonim, 5 April 2010, “Inti, Plasma (PIRTrans) dan KKPA Perkebunan Kelapa Sawit. http://h0404055.wordpress.com/category/perkeb unan/
Anonim, “Kredit Koperasi Primer Untuk Anggota”, http://www.sawitplasma.com/ 8
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
245
peserta, melakukan administrasi terhadap penjualan hasil petani peserta, mengaturkan hubungan kerjasama dengan petani peserta, kelompok tani dan perusahaan inti, mengadministrasikan seluruh transaksi keuangan antara kebun plasma dengan bank secara periodik, memupuk sumber dana sebagai tabungan untuk menambah modal KUD, membantu anggota/petani peserta memperoleh bantuan kredit perbankan untuk mengembangkan usaha, serta mempersiapkan diri untuk pembelian saham Perusahaan Inti. Untuk
mendapat bantuan dalam bentuk sarana produksi, bimbingan, serta pemasarana hasil kelapa sawit. Dalam bentuk keuangan didapat bantuan dari Bank melalui KUD. Jadi dengan adanya fasilitas yang telah disediakan, petani hanya dituntut untuk mengelola tanah dengan sebaik-baiknya, sehingga didapat hasil yang memuaskan. Berdasarkan hal tersebut, bank syariah dapat mengambil alih pembiayaan dalam sitem perkebunan Indonesia. Melalui berbagai konsep yang ditawarkan dalam bank syariah – yang
tugas dan tanggung jawab Bank adalah menerima cicilan kredit dari perusahaan inti, membayar pendapatan hasil produksi petani pada masing-masing KUD, membantu mencari potensi usaha perkebunan arus pengembalian dan penyaluran kredit pada KUD. Sedangkan
berbeda dari bank konvensional, bank syariah dapat berperan aktif dimana selama ini peran perbankan konvensional lebih mendominasi dalam pembiayaan tersebut. Ketika terjadinya akad misalnya antara KUD dan petani melalui bank sebagai pihak pemberi
tugas dan tanggung jawab Petani Peserta adalah membayar kredit pembangunan kebun plasma/KKPA, melaksanakan pengusahaan kebunnya sesuai bimbingan dari Perusahaan Inti, menyerahkan/menjual hasil kebun plasmanya kepada perusahaan inti dengan syarat dan harga wajar yang saling menguntungkan, mentaati kontrak kerja sama yang sudah di sepakati antara para petani peserta (sebagai anggota kelompok tani) dengan perusahaan inti dan Bank.9 Beberapa petani kelapa sawit yang tergabung dalam kelompok tani
dana, bank syariah dapat menawarkan produk bagi hasil atau jual beli kepada petani.
9
Fauzi et al. 1992: Yahya 2005
Aplikasi Konsep Perbankan Syariah Dalam Pembiayaan Perkebunan Sistem perkebunan Indonesia memberikan peluang bagi bank syariah untuk ikut berkontribusi karena perbankan syariah memiliki peran yang strategis dalam mengembangkan sektor riil yang akan meningkatkan produktifitas masyarakat. Hal ini pun telah dijelaskan dalam konsep Islam bahwa sektor yang harus dikembangkan dalam perbankan adalah sektor riil bukan menonjolkan sektor financialnya.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
246
Dengan demikian sebagai salah satu bagian dari sistem perbankan nasional, bank syariah juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan perekonomian nasional – dalam hal ini pengembangan di sektor perkebunan. Produk pembiayaan bank syariah sangat relevan untuk pembiayaan perkebunan di Indonesia. Produk perbankan Syariah ini terdiri dari produk bagi hasil, jual beli, sewa dan jasa. Namun, dari ketiga produk yang ditawarkan tersebut, produk yang sangat relevan untuk pembiayaan perkebunan
ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “alardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.10 Secara singkat mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan persentase keuntungan.11 Dengan kata lain Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain
adalah produk bagi hasil dan jual beli. Prinsip bagi hasil dalam Islam yang dijadikan konsep produk bagi bank syariah terdiri dari, mudharabah, musyarakah, muzaraah dan musaqah. Sedangkan konsep jual beli dalam perbankan syariah terdiri dari
agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya
Murabahah, Salam, dan Isthisna’. Prinsip bagi hasil yang dapat digunakan oleh perbankan syariah untuk diterapkan dalam pembiayaan perkebunan di Indonesia dapat dijabarkan sebagai berikut:
dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohibulmaal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk
1. Mudharabah Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba – yadhribu – dharban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata
10 http://www.koperasisyariah.com/definisimudharabah/ 11 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah., (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), 60.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
247
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohibumaal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal.
Musyarakah di perbankan Islam (syariah) telah dipahami sebagai suatu mekanisme yang dapat menyatukan kerja dan modal untuk produksi barang dan jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Musyarakah dapat digunakan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan laba12. Bagi bank-bank Islam (syariah), musyarakah dapat digunakan untuk tujuan murni yang lazimnya bersifat jangka pendek, atau untuk keikutsertaan dalam investasi proyek-proyek jangka menengah hingga jangka panjang.
Pada prinsip bagi hasil ini mudharabah kurang tepat, karena pada akad mudharabah dana 100% dari bank sehingga sangat rentan dengan penyembunyian keuntungan dan penyimpangan penggunaan dari akad. Karena salah satu pihak merasa kurang
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masingmasing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.13
memiliki tanggung jawab terhadap pendanaan. Jika kedua belah pihak memiliki kontribusi terhadap pendanaan maka akan muncul rasa tanggung jawab terhadap pengelolaan pendanaan.
Pada dasarnya musyarakah atau syirkah (kerja sama) terbagi dalam dua bentuk, yaitu :
2.
Musyarakah Islam mengakui adanya partnership (isytirak) dalam harta, baik dengan pemilikan (milk) maupun kontrak (aqad), hukum-hukumnyapun meliputi berbagai bentuk isytirak, seperti isytiraknya para mujtahidin dalam ghanimah, isytiraknya ahli waris dalam bagian warisan dan bentuk-bentuk isytirak lainnya.
1. Syirkah al milk (kerjasama non kontraktual), Syirkah al-milk (kerjasama non kontraktual), mengimplikasikan kepemilikan bersama dan terjadi ketika dua atau lebih orang secara kebetulan mendapatkan kepemilikan bersama
12
Abdullah Saeed, Menyoal Bank syariah Kritik atas Interpretasi Bunga bank Kaum NeoRevivalis. Translated by Arif Maftuhin. Jakarta : Paramadina, 2004), 93 13 Syafii Antonio, (Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani), 90.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
248
beberapa aset tanpa persetujuan kerja sama.
melalui b.
2. Syirkah al uqud (kerjasama kontraktual) Syirkah al uqud menunjukkan kebersamaan dua atau lebih orang untuk menjalankan suatu usaha yang bertujuan membagi keuntungan dengan investasi bersama sebagai kelaziman pada periode pembentukan kerjasama tersebut, berupa kerjasama dalam jumlah modal tertentu, dalam bekerjasama dengan mengkontribusikan tenaga dan keahlian dan kerjasama dalam pembiayaan dimana tidak ada modal dikontribusikan dan para pihak memberli dan menjual atas atas pembiayaan dengan suatu pemahaman bahwa mereka akan membagi keuntungan. Suatu kerjasama dengan karakter campuran dapat terjadi dalam bentuk kerjasama modal dan pekerjaan, lahan pertanian dan pekerjaan perusahaan industri dan hal-hal yang sejenis. Syirkah al-uqud dibagi menjadi menjadi empat macam : a. mufawadah (kewajiban dan kewenangan penuh), dalam syirkah muwafadah para pihak adalah orang-orang dewasa yang memiliki kesamaan dalam kontribusi modal, kemampuan mereka untuk memikul tanggung jawab serta bagian keuntungan dan kerugian. Oleh karena itu, setiap pihak dapat bertindak selaku agen (wakil) untuk usaha kerjasama dan bertindak
c.
d.
sebagai penjamin (kafil) dari pihak lain. Al-Inan (kewenangan dan kewajiban terbatas), Mengimplikasikan bahwa semua pihak tidak perlu harus dewasa atau memiliki kontribusi yang sama atas modal. Tanggung jawab mereka terhadap kerugian juga sesuai modal mereka. Oleh karena itu, dalam syirkah Al-inan para pihak bertindak sebagai agen, tetapi tidak bertindak sebagai penjamin dari kolega mereka. Al-Abdan (tenaga, keahlian, dan manajemen), Adalah suatu kerjasama para pihak mengkontribusikan kemampuan mereka terhadap manajemen tanpa mengkontribusikan modal. Al wujuh (good will, kepercayaan, pembiayaan dan kontrak). Para pihak menggunakan good will (kepercayaan) terhadap mereka untuk memeroleh pembiayaan dan hubungan mereka dalam memproduksikan modal sedikitpun Para ulama sepakat bahwa syarikah annan/inan dibolehkan dan sah. Sedangkan untuk syarikah lain terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama : Ulama Syafi’iyah dan Dhahariyah. Imaniyah berpendapat bahwa segala jenis syarikah tidak dibolehkan kecuali syarikah inan dan syarikah mudharabah. Hanabilah
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
249
memperbolehkan semua jenis syarikah kecuali syariah muwafadah. Malikiyah memperbolehkan semua jenis syarikah, kecuali syarikah wujuh dan mufawwadah dalam versi definisi Hanafiyah. Hanafiyah dan Zaidiyah memperbolehkan semua jenis syarikah jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dalam Perbankan Syariah yang dijalankan adalah Musyarakah Al-inan atau Syirkah Al-Inan karena perbankan
dapat diterapkan antara pihak perusahaan inti dan Bank Syariah. Perusahaan inti perkebunan dalam sistem perkebunan PIR yang memiliki lahan - namun belum cukup untuk mendanai pengelolaan perkebunan maka perusahaan inti tersebut dapat mengajukan pembiayaan kepada Bank Syariah. Selanjutnya, Bank Syariah akan memberikan kontribusi dana untuk membiayai perkebunan tersebut. Dengan adanya kontribusi dana ini diharapkan adanya keuntungan bagi kedua belah pihak. Keuntungan yang diharapkan
syariah memiliki kontribusi yang sama atas modal, tanggung jawab mereka terhadap kerugian juga sesuai modal mereka, dan tidak bertindak sebagai penjamin dari kolega mereka. Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha
diperoleh melalui hasil perkebunan yang dijual petani kepada perusahaan inti. Sebagaimana dalam sistem perkebunan PIR, seluruh petani selaku pengelola perkebunan wajib menjualkan hasil perkebunannya kepada perusahaan inti sehingga dapat diketahui dengan jelas
pemilik dana atau modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji atau upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut.14 Aplikasi konsep musyarakah dalam praktek perkebunan di Indonesia
berapa hasil yang perkebunan tersebut.
14
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007: 51.
3.
Muzaraah, Mukhabarah.
diperoleh
Musaqah
dari
dan
Muzaraah, Musaqah dan Mukhabarah merupakan suatu akad yang sangat menyentuh masyarakat kelas bawah (grass root), terutama sekali bagi masyarakat desa yang mayoritas hidupnya adalah bertani. Muzaraah adalah bentuk transaksi yang disepakati antara pemilik lahan pertanian (sawah) dengan pekerja dalam mengelola lahan tersebut dengan memberikan imbalan dan pada waktu
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
250
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini ada dua bentuk imbalan, yaitu imbalan yang diambilkan dari hasil panen, kedua berupa gaji atau upah kerja berupa uang ataupun hasil panen diambilkan dari luar panen.15 Muzaraah sering diidentikkan dengan mukhabarah, namun ada sedikit perbedaan yaitu pada muzaraah benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah benih dari penggarap.16 Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
angkat, dalam hal ini adalah orang yang memiliki modal dan lahan atas perkebunan dan yang telah melakukan kontrak kerja sama langsung dengan perusahaan inti – sedangkan buruh tani adalah penggarap lahan perkebunan di tempat bapak angkat. Dengan menggunakan konsep muzaraah, bapak angkat dapat memberikan upah kepada buruh tani karena telah mengelola lahan perkebunannya.
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.17 Akad tersebut dapat diterapkan antara perusahaan inti sebagai pemilik perkebunan terhadap petani yang tidak memiliki lahan.
perkebunan adalah: 1. Murabahah Murabahah adalah istilah dalam fikih Islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang
Akad muzaraah dan musaqah ini perlu dikembangkan secara terus menerus apalagi dalam wilayah negara agraria seperti Indonesia. Karena akad ini sangat membantu sekali dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat bawah (grass root).18 Dalam sistem perkebunan PIR di Indonesia sebenarnya telah sesuai dengan konsep muzaraah. Dalam sistem ini dikenal istilah adanya hubungan sosial antara bapak angkat dan buruh tani. Bapak
dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.19 Prakteknya secara umum bank syariah bukan penjual barang, tetapi sebagai lembaga penyedia dana, di sini bank hanya perantara antara nasabah yang membutuhkan barang dengan perusahaan penyedia barang. Di satu sisi nasabah akan menjadi wakil bank untuk mengambil barang tersebut. Namun ada juga nasabah sendiri yang akan memilih di perusahaan mana nasabah akan membeli barang yang dibutuhkannya,
15
Husein Syahatah, 168 Syafii Antonio, (Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani), 99. 17 Syafii Antonio, (Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani), 100. 18 Husein Syahatah, 189 16
Untuk prinsip jual beli yang relevan diterapkan untuk pembiayaan
19
Ascarya, , Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007: 82
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
251
dan peran bank hanya akan membayar biaya pembelian barang tersebut kepada perusahaan yang bersangkutan. Akad murabahah dalam sistem perkebunan dapat diaplikasikan ketika Bank Syariah mendelegasikan KUD (Koperasi Unit Desa) sebagai perwakilan penyedia dana. Petani yang membutuhkan dana untuk mengelola lahan perkebunan – mulai dari benih, pupuk dan biaya perawatan – dapat mengajukan permohonan pembiayaan kepada KUD (sebagai perwakilan Bank). Dalam pembiayaan murabahah ini KUD
lukisan, dan lain-lain yang merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam. Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.21 Konsep salam dalam perbankan syariah dapat diimplementasikan dalam sistem perkebunan di Indonesia. Dalam hal ini perbankan membeli sekian ton
dapat mengambil keuntungan pembelian bibit dan pupuk petani.
2. Salam Dalam pengertian sederhana, ba’i as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan
hasil tandan perkebunan dengan harga tertentu. Ketika panen tiba, pemilik perkebunan harus menyepakati akad dengan menyediakan sekian ton yang telah dijanjikan, jika hasil panen kurang dari yang telah dijanjikan maka pemilik perkebunan harus memenuhi kekurangan
pembayaran dilakukan di muka.20 Salam merupakan bentuk jual beli dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti produk-produk perkebunan dan produkproduk fungibel (barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya. Barangbarang non-fungibel seperti batu mulia,
hasil perkebunan tersebut. Namun jika hasil panen lebih banyak dari yang disepakati maka kelebihan dari hasil perkebunan tersebut akan menjadi hak pemilik perkebunan. Akad salam dapat diterapkan jika pemilik perkebunan kelapa sawit kekurangan dana pada saat mengelola perkebunan tersebut dan bank syariah bertindak sebagai pembeli dari hasil perkebunan, dengan pemilik perkebunan selaku penjual. Misalnya pengelola lahan perkebunan kelapa sawit membutuhkan dana Rp.100.000.000,- untuk mengelola
20
dari
Syafii Antonio, (Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani), 108
21
Ascarya, , Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007: 90
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
252
lahan kelapa sawit seluas 50 ha. Biasanya perhektar kebun kelapa sawit tersebut menghasilkan 2 ton atau 2000 kg . Maka bank syariah dapat menyediakan dana sebesar Rp.100.000.000,- dengan membeli 50 ton atau 50.000 kg tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dengan harga Rp.2000/kg. Dengan akad salam ini, pengelola harus menyerahkan 5 ton TBS kelapa sawitnya kepada pihak bank dan apabila terdapat kelebihan TBS, maka TBS ini bisa diambil oleh pengelola. Bentuk akad salam ini juga bisa
menginvestasikan dana yang dimilikinya untuk membeli barang yang akan diambilnya pada saat yang diinginkan dengan harga dibawah standar saat pembelian barang itu. Selanjutnya bank dapat menjual hasil perkebunan pada konsumen lain dengan sistem jual beli biasa dan dengan harga pasar saat itu.
diterapkan selanjutnya pada pembiayaan perkebunan antara pihak bank syariah dengan perusahaan inti. Akad salam ini memungkinan kedua belah pihak untuk memperoleh keuntungan sangat besar dan sulit untuk terjadi kecurangan disalah satu pihak. Dalam hal ini pun
dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati di awal akad. Isthisna’ adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Isthisna’ merupakan
peran lembaga bank sebagai lembaga intermediari telah terlaksana, dimana bank menyediakan dana bagi nasabah yang kekurangan dana. Akad salam memang merupakan akad jual beli namun tidak cenderung konsumtif, karena penerima pembiayaan salam diminta untuk produktif dalam mengelola perkebunan yang dimilikinya. Keunggulan lain dari pembiayaan dengan akad salam diantaranya dari sisi pengelola lahan dapat menjadi jawaban atas kekurangan modal atau dana untuk mengelola lahannya. Sedangkan bagi bank selaku pemilik modal, transaksi ini memberi keuntungan dimana bank dapat
salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan oleh syariah.22 Isthisna’ biasanya diaplikasikan untuk barang industri dan manufaktur. Sebagai bentuk jual beli forward, isthisna’ mirip dengan salam. Namun ada beberapa perbedaan di antara keduanya, antara lain:23 a. Objek Istishna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek
3. Istishna’ Isthisna’ adalah jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya
22 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), 96. 23 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), 97.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
253
salam bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi lebih dahulu. b. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga dalam akad istishna’ tidak harus dibayar penuh di muka, melainkan dapat juga dicicil atau dibayar di belakang. c. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam istishna’ akad dapat diputuskan sebelum
yang lebih baik daripada negara-negara lain.24 Mayoritas rakyat Indonesia (75%) bekerja di lima sektor ekonomi berbasis SDA, yakni pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, pertambangan dan Energi (ESDM), dan pariwisata. Maka, adalah pilihan yang tepat dan cerdas bila kelima sektor ini diperkuat dan dikembangkan.25 Perbankan syariah selaku lembaga intermediari memiliki peran yang krusial untuk memajukan negeri ini, salah satunya dengan pembiayaan terhadap pertanian dalam
perusahaan mulai memproduksi. d. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad salam, namun dalam akad isthisna’ tidak merupakan keharusan.
hal ini adalah perkebunan. Namun untuk berperan dalam perkebunan ini bank syariah memiliki kendala diantaranya :
Kendala Perbankan Syariah dalam Pembiayaan Perkebunan Visi pembangunan dan pengembangan agrobisnis yang berdaya saing, baik di dalam maupun di luar negeri secara berkesinambungan hendaklah dijadikan prioritas utama bagi Indonesia. Hal itu didukung oleh potensi yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara agraris, seperti lahan yang luas dengan iklim yang sangat mendukung dan biaya produksi yang rendah. Dalam hal ini berarti upaya pembangunan dan pengembangan agribisnis, kuhusunya di sektor perkebunan kelapa sawit, mempunyai perbandingan keuntungan
1. Minimnya pengetahuan mengenai produk bank dan pengalaman menggunakan bank syariah Perkembangan perbankan syariah dalam kurun waktu terakhir, khususnya Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang merupakan dominan aset perbankan syariah cukup pesat, sehingga asetnya meningkat tajam per Oktober 2011 (yoy) hingga 48,10% menjadi Rp 127,19 triliun yang merupakan pertumbuhan tertinggi sepanjang 3 tahun terakhir. Ditambah dengan aset BPRS yang telah mencapai 24
Suyatno Risza, Masa Depan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Yogyakarta : Kanisius. 2010), 168. 25 Rokhmin Dahuri, Membangun Bangsa : Kembalikan Kejayaan Negeri Bahari dan Pertanian Untuk Kemajuan dan Kemakmuran Rakyat, 2013 (Jakarta : Ganti), 52.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
254
± Rp 3,35 triliun, sehingga total aset per Oktober 2011 telah mencapai sekitar Rp 130,5 triliun.26 Perkembangan perbankan syariah tersebut belum menjangkau masyarakat pedesaan. Kebanyakan masyarakat pedesaan lebih mengenal bank konvensional daripada bank syariah. Dan diperparah lagi sebagian masyarkat pedesaan tidak memiliki pengalaman atau merasa asing terhadap dunia perbankan. Karena kebanyakan masyarakat menganggap bahw perbankan hanya milik orang-orang
kelebihan pengembalian dari pembiayaan, padahal pembiayaan murabahah yang kelebihan tersebut merupakan margin yang diperoleh bank dari selisih harga barang yang diinginkan nasabah. Dengan adanya anggapan ini maka masyarakat enggan untuk menjalin kerjasama dengan perbankan syariah. Masyarakat lebih memilih bank konvensional yang lebih berpengalaman dalam memberikan kredit pada perkebunan.
kelas atas. Ditambah lagi urusan dengan perbankan adalah urusan yang rumit bagi masyarakat pedesaan yang buta huruf. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap produk perbankan syariah diantaranya sosialisasi perbankan syariah yang kurang universal. Belum
3. Penyembunyian keuntungan bila nasabah tidak jujur Penyembunyian keuntungan merupakan hal yang sangat mungkin terjadi dari pihak pengelola dana, dalam hal ini adalah pemilik perkebunan. Hal ini terjadi jika akad yang digunakan
menyentuh kalangan bawah.
bank syariah adalah akad musyarakah.
2. Anggapan kesamaan operasional antara bank syariah dan bank konvensional Jika tidak memahami operasional perbankan syariah maka banyak masyarakat yang menganggap bahwa perbankan syariah sama dengan bank konvensional. Misalnya saja pada pembiayaan murabahah, banyak masyarakat yang menganggap bahwa murabahah di bank syariah sama dengan bunga di bank konvensional, karena ada
4. Pengeluaran pluktuatif Pengelola perkebunan lebih terbiasa menggunakan bank konvensional, karena dengan menggunakan prinsip bunga maka jelas dana setiap bulan yang harus dikeluarkan sebagai kewajiban terhadap bank. Berbeda dengan bank syariah yang pluktuatif, yang menurut sebagian pengelola perkebunan merepotkan.
26
5. perkiraan
Hasil
panen
diluar
http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Siaran +Pers/sp_134411.html Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
255
Jika terjadi gagal panen hal ini akan merugikan pengelola, karena pengelola telah berjanji untuk menyerahkan hasil panen kepada bank sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati (jika menggunakan akad salam). 6. Peran bank sebagai lembaga Intermediari Bank syariah mempunyai peran yang sama dengan bank konvensional yaitu sebagai lembaga intermediari. Karena peran bank sebagai lembaga
KESIMPULAN Visi pembangunan dan pengembangan agrobisnis secara besarbesaran merupakan faktor penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Dalam sistem perkebunan Indonesia, kelapa sawit memegang peranan yang sangat strategis, sebab budi daya ini mempunyai prospek yang sangat bagus sebagai sumber devisa negara dan berdampak positif terhadap perluasan kesempatan berusaha disamping menciptakan lapangan kerja yang luas serta tersedianya peluang pasar baik di
intermediari jika menerapkan konsep salam maka bank akan menerima barang, dan itu akan menyulitkan lembaga keuangan seperti bank. Bank kan dituntut untuk menyediakan gudang yang akan menampung barang tersebut, bank akan dituntut untuk menyediakan
dalam maupun di luar negeri. Dalam pengembangan agrobisnis di Indonesia, pemerintah telah merencanakan inovasi dan teknologi yang berorientasi pasar. Sistem perkebunan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang bersifat pola plasma
SDM yang mampu untuk mengelola barang tersebut.
merupakan strategi pemerintah untuk mengembangkan perekonomian Indonesia dalam sektor riil. Untuk mendukung program ini, pemerintah membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk dapat turut serta dalam proyek perkebunan ini. Ketika berbicara mengenai proyek perkebunan, modal merupakan persoalan utama dalam membangun proyek ini. Perbankan syariah, secara teori memiliki potensi besar sebagai pendukung pembiayaan perkebunan karena secara legal formal merupakan lembaga intermediasi keuangan. Namun, fakta menunjukkan penyaluran kredit perbankan ke sektor
7. Keterbatasan kompetensi perbankan syariah di bidang perkebunan Kendala yang dihadapi oleh Bank Syariah untuk melakukan pembiayaan pada sektor perkebunan adalah kompetisinya dengan perbankan konvensional yang telah lebih dulu bergerak di bidang perkebunan. Perbankan konvensional lebih memiliki pengalaman dan teknologi yang lebih dibanding bank syariah.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
256
perkebunan masih didominasi oleh perbankan konvensional. Produk yang menjadi unggulan bagi perbankan syariah dalam menyalurkan pembiayaan adalah murabahah. Jika dibanding dengan produk-produk lainnya presentasi produk murabahah sebesar 50% mendominasi produk-produk perbankan syariah lainnya. Potensi ini harusnya didukung oleh kebijakan pemerintah dalam mengimplementasikan produk murabahan ini ke dalam sistem perkebunan di Indonesia. Murabahah sebagai akad intermedian dapat menjadi intermediasi antara perusahaan inti dengan bank syariah sebagai penyedia modal. Pemerintah sebagai policy maker, harus merangkul bank syariah sebagai partner yang kondusif dalam melakukan pembiayaan di sektor perkebunan. Dengan demikian, konsep murabahah yang selama ini terkesan konsumtif dapat bersifat produktif dalam mengembangkan sektor riil.
DAFTAR PUSTAKA Antonio, Muhammad Syafi’I. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. Anonim, 5 April 2010, “Inti, Plasma (PIR-Trans) dan KKPA Perkebunan Kelapa Sawit. http://h0404055.wordpress.com/category /perkebunan/
Anonim, “Kredit Koperasi Primer Untuk Anggota”, http://www.sawitplasma.com/ Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Dahuri , Rokhmin. 2013. Membangun Bangsa : Kembalikan Kejayaan Negeri Bahari dan Pertanian Untuk Kemajuan dan Kemakmuran Rakyat, Jakarta : Ganti. Fauzi et. al. 2007. Kelapa Sawit: Budi Daya Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya. Risza, Suyatno. 2010. Masa Depan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Sinaga, Rudianto Salmon. 2011. Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kemitraan Inti Plasma Perkebunan Kelapa Sawit Tesis Universitas Indonesia. Positivego, 31 Oktober 2009, “Perbankan Syariah, dalam Peran dan Strategi Bidang Pertanian. http://www.kompasiana.com/posts/type/r aport/ Saeed, Abdullah. 2004. Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Translated by Arif Maftuhin. Jakarta : Paramadina. Usman, Husaini dan Purnomo. 2008. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta : Bumi Aksara. www.bpkp.go.id , Undang-Undang tentang Perkebunan, UU Nomor 18 Tahun 2004,.Psl 1 ayat 1. http://www.bi.go.id/web/id/Ruang +Media/Siaran+Pers/sp_134411.html
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015