RELEVANSI BUDAYA ORGANISASI DENGAN KINERJA ORGANISASI PUBLIK Oleh : Bambang Pujiyono, MM.,M.Si1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur E-mail:
[email protected]
Abstract
Relation in cultural organization and performance of public organization can be explained in two aspects: organization value and Personnel. Relation in the first aspect is represented in debates among many values which can be done to manage organisatorist to achieve the purposes and parameters of productivity. Relation in the second aspect is represented in struggle between value-free and value-laden approach. These relations put into continuum for developing public organization because between organization cultural and productivity both of them are viewed as complementary. Key words: Organiztion, Culture, Productivity
1
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fikom Universitas Budi Luhur Jakarta
I. Pendahuluan I.1. Latar Belakang Budaya kepercayaan
organisasi dan
nilai-nilai
merupakan
sistem
penyebaran
yang berkembang dalam suatu
organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya organisasi mendukung strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat. Budaya organisasi bukan lagi sekedar pelengkap bagi organisasi itu sendiri tetapi telah menjadi suatu kapabilitas utama di samping kapabilitas lainnya. Handoko (1995:3) menyatakan terdapat tiga kapabilitas yang perlu dikembangkan oleh setiap organisasi dalam menghadapi lingkungan yang semakin cepat berubah dan berbasis pengetahuan dan semua itu dipusatkan pada akumulasi dan kreasi aset yang tidak nyata. Kapabilitas pertama adalah learning organization (Senge, 1994:3) sebagai organisasi di mana orang secara terus menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh diinginkan, di mana pola berfikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibiarkan bebas dan orang secara terus menerus berupaya belajar bersama. Kedua, organization knowledge yaitu kapabilitas organisasi secara keseluruhan untuk menciptakan pengetahuan baru, menyebarkan ke seluruh jajaran organisasi, dan mewujudkan pada berbagai produk, pelayanan, dan sistem (Nonaka
&
Takaeuchi,1995:viii).
Ketiga,
kemampuan
untuk
menyusun kembali budaya organisasi agar selaras, serasi, dan seimbang dengan strategi organisasi (Fomburn,1992:194-195).
Dalam konteks administrasi publik, organisasi dalam hal ini birokrasi
merupakan
perangkat
kerja
pemerintahan
yang
melaksanakan fungsi pelayanan publik. Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Apapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting
adalah
kemudahan
kepada
bagaimana
memberikan
masyarakat
dalam
bantuan
rangka
dan
memenuhi
kebutuhan dan kepentingannya. Pemerintah sebagai suatu organisasi besar dalam sebuah negara
mempunyai
tugas
mengelola,
mengatur,
dan
menyelenggarakan layanan publik kepada masyarakat. Bentuk pelayanan yang diberikan merupakan aktivitas abdi negara untuk memberikan jasa dalam wujud keramahtamahan, sigap dalam membantu, antusiasme, lengkap dalam memberikan informasi sehingga masyarakat mendapatkan kepuasan dalam pelayanan tersebut (Woworuntu, 1997:12). Mutu dan bentuk pelayanan ini tergantung dari perilaku dan budaya yang tertanam dan yang ditanamkan kepada pelaksananya atau abdi negara. Berkait dengan hal tersebut, Lukito (1995:10) menyatakan budaya organisasi konservatif yang beroreintasi ke dalam dan tidak mau berubah seiring dengan perubahan tuntutan lingkungan budaya. Budaya jenis ini umumnya sangat tergantung kepada senioritas, nepotisme, tidak mandiri ( selalu minta petunjuk), tidak disiplin seperti yang umum terjadi pada budaya di Indonesia. Pada
kenyataannya
menunjukkan masih ada sebagian aparat negara
yang melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, terlalu birokratik, tidak profesional, bekerja kurang efisien, dan kurang efektif,
disiplin
produktivitas
masih
masih
rendah,
rendah,
kurang dan
menghargai
kurang
peka
waktu, terhadap
perkembangan dan perubahan politik. Adapun
budaya
yang
diharapkan
dalam
organisasi
pemerintah seperti yang tercantum dalam Pedoman Umum Pelaksanaan Peningkatan Efisiensi dan Disiplin Kinerja Aparatur Negara, Kementerian Pendayaan Aparatur Negara (2002) dalam bentuk kebijakan sebagai berikut : 1. Memantapkan
koordinasi,
integrasi,
dan
sinkronisasi;
pelaksanaan peningkatan efisiensi dan disiplin aparatur negara dilakukan secara integral, terencana, terarah, terpadu, terukur, bertahap, berkelanjutan, dan terkendali. 2. Menumbuhkan dan mengembangakan perilaku aparatur negara menuju budaya wiraswasta, pemanfaatan, efisien, efektif, disiplin dan sederhana. Setiap aparatur negara khususnya pimpinan agar menjadi contoh dan teladan dalam melaksanakan jiwa kewirausahaan, pemanfaatan, penghematan, efisiensi, efektivitas dan penyederhanaan dalam memberikan pelayanan kepada publik 3. Mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat baik di tingkat pusat maupun daerah 4. Meningkatkan
peran
serta
masyarakat.
Masyarakat
diharapkan berperan serta dalam pemantuan, pengawasan, dan pemberian umpan balik terhadap pelaksanaan tugastugas aparatur negara.
Dalam kenyataannya, nilai-nilai di atas belum menjadi budaya dalam organisasi pemerintahan. Lembaga publik belum mampu menunjukkan kinerja yang dibangkitkan oleh budaya organisasi yang ada. Kesimpulan umum dari berbagai penelitian dan kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sebagai nilai-nilai yang ada belum melembaga menjadi sebuah pedoman dalam bertindak untuk mencapai tujuan organisasi. I.2. Perumusan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang permasalahan organisasi di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah sejauh mana relevansi budaya organisasi dengan produktivitas kerja organisasi publik. 1.3. Tujuan tulisan a.
Mendiskripsikan konsepsi tentang budaya organisasi
b.
Mendiskripsikan
konsepsi
tentang
relevansi
budaya
organisasi dan produktivitas kerja organisasi publik 2. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini berupa tinjauan pustaka. Penulis melakukan eksplorasi dalam rangka menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan budaya organisasi serta kinerja organisasi publik. Hasil analisis ini menghasilkan proposisi yang merupakan hubungan antara kedua konsep
tersebut.
Proposisi
yang
disusun
secara
eksplisit
menunjukkan relevansi antara budaya organisasi dan kinerja organisasi publik.
3. Pembahasan 3.1. Pengertian Budaya Organisasi Dalam lingkup organisasi, budaya organisasi sering diartikan sebagai sekumpulan sistem nilai yang diakui dan dibuat oleh semua anggotanya, yang membedakan organisasi yang satu dengan
lainnya
(Robbins1991).
Denilson
dalam
bukunya
“corporate culture and organizational effectiveness (1990)”, menyatakan bahwa, budaya organisasi adalah “istilah yang dipakai untuk memuat rangkaian variabel-variabel perilaku yang mengacu pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan prinsip pokok yang berperan sebagai suatu dasar bagi suatu sistem manajemen organisasi”. Menurut Gibson, Ivancevich and Donelly (1987), norma perilaku yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku individu dan kelompok. Mempertegas arti budaya organisasi, Djamaludin Ancok mendefinisikan
sebagai
nilai,
norma,
keyakinan
akan
mengarahkan karyawan pada arah yang sama, dalam usahanya mengatasi problem internal maupun eksternalnya. Oleh karena itulah, karyawan yang bergabung ke dalam suatu organisasi, harus memiliki pemahaman dan kesesuaian dengan budaya organisasi atau mampu melakukan sosialisasi dengan baik. Quchi
(1982)
menyatakan
bahwa
budaya
organisasi
tercakup dalam falsafah manajemennya, yang terdiri atas teoriteori, dan secara tersirat menjelaskan sasaran dan prosedur yang digunakan untuk mencapainya. Sasaran dimaksud meliputi nilainilai dari pemilik organisasi (perusahaan), karyawan, relasi dan pemerintah. Suatu falsafah organisasi memberikan pengertian tentang norma-norma bekerja untuk hidup, menyarankan cara
bertingkahlaku dalam organisasi dan menunjukkan bagaimana organisasi
bertingkah
laku
sebagai
tanggapan
terhadap
karyawan, relasi dan masyarakat yang dilayaninya. Miller (1987) dalam bukunya “Manajemen Era Baru”: Beberapa Pandangan Mengenai Budaya Perusahaan Modern” menyebutkan semangat
bahwa
budaya
mendasar
dalam
organisasi cara
adalah
nilai
mengelola
dan serta
mengorganisasikannya. Nilai-nilai itu merupakan keyakinan yang dipegang teguh dan terkadang tidak terungkapkan. Sedangkan Daniel Denilson (1990), dalam bukunya “Corporate Culture and
Organizational Efectiveness” menerjemahkan budaya organisasi sebagai kekuatan dan potensi yang dimiliki dalam suatu organisasi untuk melakukan koordinasi dan kontrol terhadap perilaku anggota organisasi tersebut. Semakin kuat budaya organisasi dan sosialisasi diantara para anggotanya dengan baik, akan berpengaruh semakin meningkatnya mutu informasi serta koordinasi perilaku. Schein (1997:12) melihat budaya sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok untuk menjelaskan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan proses adaptasi eksternal maupun integrasi internal dan diyakini telah berjalan dengan baik sehingga dianggap pantas untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara
yang
tepat
untuk
membayangkan,
memikirkan
dan
merasakan segala hal yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut. Zwell (2000:9) budaya organisasi adalah way of life organisasi yang diwariskan oleh suatu generasi yang diwariskan
oleh suatu generasi karyawan yang sukses. Budaya adalah ”who
are, what we believe, what we do, and how we do it.” Hatch
(1997:205)
telah
menyeleksi
definisi
budaya
organisasi yang dikutip dari para pakar organisasi. Beberapa definisi tersebut diantaranya 1. Elliot Jaquest (1952) menekankan bahwa budaya organisasi berkait dengan cara berfikir dan cara bekerja yang umum dan sudah menjadi tradisi, tersebar ke seluruh anggota organisasi nilai–nilai tersebut dan dilaksanakan dalam memberikan pelayanan. 2. Joane Martin (1984) mendefiniskan budaya organisasi sebagai perekat organisasi yang terpola dan bermakna dalam konteks kerja sama. 3. Janice Beyer (1993) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu fenomena kolektif di mana individu dalam kelompok dapat merespon keadaan-keadaan yang kurang baik. Respon tersebut dapat berupa substansi seperti pertukaran kepercayaan, perasaan,dll dan bentuk budaya seperti tindakan ekspresi dll. Kesemua respon tersebut dalam rangka pengelolaan organisasi yang baik. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian lain bahwa budaya organisasi merupakan solusi yang secara konsisten dapat berjalan baik bagi suatu kelompok dalam menghadapi persoalan-persoalan eksternal dan internalnya. Budaya organisasi dapat diajarkan kepada para anggota baru sebagai suatu cara persepsi, berpikir dan merasakan dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan tersebut. Solusisolusi yang dimaksud pada akhirnya akan menjadi asumsi-
asumsi tentang sifat realita, kebenaran, waktu, ruang, sifat manusia, kegiatan manusia dan hubungan kemanusiaan, yang kemudian menjadi taken for granted. 3.2. Karakteristik Budaya Organisasi Lundberg (dalam Wienberg, 1990), mengemukakan adanya 4 (empat) dimensi budaya organisasi, yakni : 1. Artifacts, yang berupa kata-kata yang digunakan (seperti mitos-mitos yang dilestarikan oleh anggota organisasi, tindakan-tindakan budaya, misalnya upacara bendera, rapatrapat rutin, rapat kerja, kongres dan sebagainya, serta obyek-obyek budaya, seperti adanya pakaian seragam, peralatan kantor yang digunakan dan sebagainya); 2.Perspectives, adalah berbagai norma sosial dan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana para anggotanya
seharusnya
berperilaku
dalam
situasi-situasi
khusus; 3.Values, mencerminkan falsafah dan misi organisasi, cita-cita organisasi, (sins)
atau
tujuan-tujuan,
standar-standar
larangan-larangan.
Para
dan
dosa-dosa
anggota
organisasi
menggunakan nilai-nilai (values) ini, untuk menilai (judging) kepada anggota lain, tindakan-tindakan dan peluang-peluang serta mengambil keputusan atas nama organisasi; 4.Assumption, yang dapat disebut sebagai lapisan terdalam atau inti budaya organisasi, yaitu berupa kepercayaan-kepercayaan para anggota organisasi yang tidak berhubungan dengan orang lain, sifat organisasi dan hubungannya dengan dunia luar. Karena kesemuanya merupakan asumsi-asumsi dasar dari kehidupan organisasi, maka jarang sekali diartikulasikan atau tidak disampaikan secara lisan atau terbuka.
Robin (1995:480) mengajukan sepuluh karakteristik atau dimensi budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik tersebut meliputi : 1. Inisiatif individual, tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dimiliki individu 2. Toleransi terhadap tindakan beresiko. Sejauh mana pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko 3. Arah. Sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi 4. Integrasi. Tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi 5. Dukungan dari manajemen. Tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap anak buah 6. Kontrol. Jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai 7. Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota organisasi mengidentifikasi
dirinya
secara
keselurahan
dengan
organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu 8. Sistem imbalan. Tingkat sejauh mana alokasi imbalan seperti kenaikan gaji, promosi didasari oleh prestasi kerja
9. Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka 10. Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal. Berdasar
uraian
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
karakteristik budaya organisasi sangat bervariasi. Karakteristik tersebut dapat diketahui secara detail pada organisasi yang dijalankan melalui sistem terbuka. Hal ini perlu diketahui sebab pada sistem organisasi yang tertutup, beberapa karakteristik budaya organisasi di atas tidak nampak.
3.3. Fungsi Budaya Organisasi Budaya organisasi yang kuat pada kenyataanya memiliki nilai dan dampak positif bagi kinerja ekonomis organisasi. Berkait dengan hal tersebut Gordon, jr dalam Purwanto (2001:76) memberikan rincian fungsi budaya organisasi sebagai berikut : 1. Untuk mendukung strategi usaha organisasi; tuntutantuntutan
baru
budaya
pelayanan
terhadap
konsumen
mendorong budaya organisasi yang ada berubah secara fleksibel dan akomodatif. 2. Memberikan format-format nilai budaya yang dapat diterima pengelola untuk berinteraksi dengan pihak stakeholder. 3. Membantu membuat keputusan kinerja; evaluasi kemampuan kerja dapat didasarkan pada parameter budaya organisasi yang mesti dipatuhi para pegawai 4. Memberi rambu-rambu secara alamiah sehingga dapat diterima oleh semua pihak dalam rangka membina hubungan antar pribadi dalam organisasi, baik secara vertical maupun horizontal dalam konteks pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. 5. Menentukan corak gaya pengelolaan organisasi yang tepat. Pengelolaan organisasi akan berhasil jika memperhitungkan unsur-unsur dalam budaya organisasi 3.4. Pembentukan Budaya Organisasi Budaya sering diartikan sebagai budi dan daya atau hasil budidaya manusia, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Hal ini bermakna bahwa, pembentukan budaya adalah hasil rekayasa
manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan hidup. Demikian juga budaya organisasi, terbentuk sebagai upaya pemilik organisasi yang berupa falsafah dasar pemiliknya, sistem nilai dan norma-norma yang diberlakukan. Tujuannya agar organisasi memiliki suatu landasan moral dan identitas yang berbeda dengan organisasi lain. Menurut
Shein
(1992),
budaya
sebuah
organisasi
terbentuk sebagai tanggapan terhadap 2 (dua) hal, yakni sebagai berikut : 1. Persoalan-persoalan Adaptasi dan Survival yang Bersifat Eksternal Dalam hal ini Shein berpendapat bahwa, organisasi selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang berasal dari luar. Sebagai suatu sistem yang terbuka, organisasi tidak terlepas dari pengaruh sistem-sistem lain dari luar organisasi. Sistem
dimaksud,
antara
lain
sistem
politik,
sistem
administrasi pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem keagamaan serta sistem keamanan. Kesemua sistem ini secara langsung atau tidak mempengaruhi jalannya roda organisasi. Tantangannya apakah suatu organisasi mampu
menyesuaikan
cenderung
berubah.
organisasi
tidak
diri
dengan
Menurut
memiliki
Shein,
kemampuan
lingkungan
yang
manakala
suatu
adaptasi,
maka
kehidupannya akan terancam. Oleh karena itu, dalam kerangka pembentukan budaya organisasi perlu diperhatikan sejauhmana
suatu
organisasi
memiliki
melakukan adaptasi agar tetap survive.
kemampuan
2. Persoalan-Persoalan
Integrasi
Organisasi
yang
Bersifat
Internal. Seperti diketahui bahwa manusia yang berada dalam organisasi masing-masing memiliki budaya yang dibawa dari luar. Sistem nilai dan norma-norma yang telah ada dalam organisasi, tentu saja berbeda dengan budaya dari masingmasing anggota atau karyawan organisasi tersebut. Berdasarkan kenyataan itu, Schein berpendapat bahwa budaya organisasi dapat terbentuk dengan aman dan baik, jika organisasi
tersebut
mampu
mengintegrasikan
berbagai
perbedaan internal organisasi.
Secara visual, proses pembentukan budaya organisasi dapat disimak dalam gambar berikut ini : Philosophy of Organizations Founders
Selection Criteria
Top Management
Sosialization
Organization Culture
Gambar II. 1. Proses Pembentukan Budaya Organisasi. Sumber : Robbin (1996:302)
Apabila dilihat proses pembentukan budaya organisasi nampak bahwa kepemimpinan puncak merupakan penentu terhadap bentuk budaya organisasi. Ini berarti sikap, perilaku, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan olehnya menjadi panutan para
bawahannya.
khususnya
bagi
Berdasarkan
perusahaan
beberapa
bisnis,
hasil
penggantian
penelitian, pimpinan
berdampak terjadinya perubahan budaya organisasi. Meskipun perubahan yang terjadi tidak terlalu besar, karena sistem nilai dasar
dari
para
pendiri
organisasi
tetap
menjadi
acuan
utamanya. Namun demikian, adanya perubahan tetap saja dapat dirasakan, terutama perubahan dalam gaya kepemimpinan. 3.5. Tingkatan Budaya Schein (1997:16-26) memberikan analisis tentang derajad kebudayaan. Pada tingkat permukaan akan ditemukan artifak yang memiliki sifat kasat mata, dapat didengar, dan dirasakan. Termasuk dalam tingkatan ini adalah produk-produk yang visible seperti lingkungan fisik organisasi, bahasa, teknologi, gaya berpakaian, mitos, dokumen-dokumen ataupun upacara ritual dan seremonial yang juga termasuk perilaku individu. Tingkat ini mudah diobservasi tetapi sulit diuraikan atau ditafsirkan, hanya dapat
digambarkan,
dilihat,
dirasakan
tetapi
tidak
dapat
menjelaskan apa sesungguhnya maksud sesuatu tersebut. Tingkat kedua adalah espoused value, yaitu nilai – nilai yang mengarahkan perilaku seseorang, asumsi-asumsi tentang mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai ini sulit untuk diamati secara langsung. Untuk memahaminya dapat dilakukan dengan cara mengobservasi kandungan artifak atau dengan mempelajari apa yang dikatakan seseorang sebagai alasan
mengapa berperilaku tertentu. Espoused value juga merupakan
rasionable yang hampir sama dengan asumsi dasar, dan menjadi filosofi perilaku kelompok. Dalam menganalisa nilai – nilai ini harus berhati-hati dalam membedakan mana yang benar-benar berfungsi sebagai asumsi dasar, sebagai pembenaran atau hanya merupakan aspirasi tentang masa depan. Tingkat ketiga adalah basic assumption yaitu sesuatu yang secara tidak disadari telah menjadi pengarah bagi anggota kelompok bagaimana seharusnya berperilaku, berfikir, dan merasakan. Asumsi dasar bermula dari satu hipotesis didukung oleh nilai-nilai yang berangsur-angsur berubah sebagai realitas. Pada saat asumsi mengakar kuat maka cenderung tidak dapat dibantah atau diperdebatkan dan menjadi sangat sulit untuk diubah. 3.6. Hubungan Budaya Organisasi Dengan Kinerja Organisasi Adanya keterkaitan hubungan antara budaya korporat dengan kinerja organisasi yang dapat dijelaskan dalam model diagnosis budaya organisasi Tiernay bahwa semakin baik kualitas faktor-faktor yang terdapat dalam budaya organisasi makin baik kinerja organisasi tersebut (Moelyono Djokosantoso, 2003:42). Karyawan
yang
sudah
memahami
keseluruhan
nilai-nilai
organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja individual. Didukung dengan sumber daya manusia yang ada, sistem dan teknologi, strategi perusahaan dan logistik, masing-masing kinerja individu yang baik akan menimbulkan kinerja organisasi yang baik pula.
Dampak budaya organisasi terhadap kinerja dapat dilihat pada beberapa contoh perusahaan yang memiliki kinerja yang tinggi, seperti Singapore Airlines yang menekankan pada perubahan-perubahan yang berkesinambungan, inovatif dan menjadi
yang
perusahaan
terbaik.
terbesar
di
Baxter
International,
dunia,
memiliki
salah
budaya
satu
respect,
responsiveness dan result, dan nilai -nilai yang tampak di sini adalah bagaimana mereka berperilaku ke arah orang lain, kepada customer, pemegang saham, supplier dan masyarakat (Pastin, 1986; 272). Organisasi harus memiliki nilai-nilai yang telah diyakini, dijunjung tinggi, dan menjadi motor penggerak oleh kebanyakan anggota organisasi sebagai aturan main yang sah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, membuat nilai-nilai itu menjadi budaya organisasi. Terdapat tujuh karakteristik yang membentuk budaya organisasi: 1) Inovasi dan pengambilan resiko; 2) Perhatian terhadap detil; 3) Berorientasi pada hasil; 4) Berorientasi pada manusia; 5) Berorientasi pada tim; 6) Agresivitas; 7) Stabilitas (Robbins, 1998 : 248). Menurut Zwell (2000:12-13) budaya organisasi yang mampu
mendukung
suksesnya
organisasi
harus
memiliki
karakteristik khusus yaitu 1) Mampu membantu pengembangan kemampuan anggota dan mendorongnya untuk berbuat lebih maksimal lagi bagi organisasi, 2) Mampu memberikan jalan atau sarana
bagi
anggota
yang
berpotensi
tinggi
dalam
mengembangkan bakatnya, 3) Menciptakan lingkungan kerja yang menarik, menantang, dan memotivasi, dan 4) Adanya
reward sistem dalam bentuk kompensasi dan pengakuan atas
kinerja
dan
kontribusi
anggota
dalam usaha
mendukung
suksesnya organisasi. Dananjaya
(1995)
menyatakan bahwa
mengutip
pendapat
Vijay
Sathe
budaya yang kuat dapat mempengaruhi
kehidupan organisasi diantaranya : 1. Kerja sama dalam menjalankan sistem dan prosedur kerja yang ada dalam organisasi atas dasar kesamaan asumsi, nilai, dan kepercayaan. 2. Pembuatan keputusan harus didasari oleh kesamaan asumsi nilai dan kepercayaan. 3. Pengendalian yaitu pengambilan langkah yang tepat untuk mencapai hasil yang telah direncanakan. 4. Komunikasi yaitu kesamaan nilai dan kepercayaan untuk mengurangi berbagai kesalahpahaman dalam bekerja 5. Komitmen, yaitu timbul rasa kebanggaan bersama dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi 6. Persepsi. Realitas organisasi dibangun lewat interaksi dan pandangan tentang bagaimana kiranya sesama anggota organisasi saling memandang dirinya, organisasi, dan relasinya. 4. Kesimpulan Relevansi
budaya
organisasi
dengan
produktivitas
kerja
organisasi publik sangat nyata secara konseptual. Berkait dengan relevansi tersebut perlu dilakukan kajian empiris berbasis data untuk mendiskripsikan kekuatan hubungan antar variabel tersebut. Dengan demikian, hasil kajian yang menggunakan data empiris, nantinya dapat digunakan untuk memetakan budaya organisasi yang ada berdasarkan aspek budaya organisasi yang kuat, lemah, dan mungkin budaya organisasi tertentu yang akan
dikembangkan dalam organisasi publik dalam rangka memperbaiki kinerjanya.
Daftar Bacaan Amstrong, Michael, 1998. Performance Management The New Realities, Institutes of Personnel and Development, London Dananjaya, Andreas, 1994. Budaya Perusahaan, Mitra, Jakarta Edward T. Jennings, Jr., Does the Black-Box Make a Difference? The Quality of Management and the Success of Welfare Reform, ,Prepared for presentation at the National Public Management Research Conference, Georgetown University, Washington, D.C., October 9-11, 2003 Gibson et all, 1994. Organisasi, Jilid 1 dan 2, alih bahasa Agus Dharma, Erlangga, Jakarta. Gibson, Rowan, 1998. Rethinking The Future : rethinking bussines,
principles, competition, control, leadership, markets, and the world ( terjemahan), Jakarta : Gramedia
Gilley, Jerry W. and Ann Maycunich.2000. Beyond the Learning
Organization: creating a culture of continous growth and development trough state of the art human resources practices, Perseus Book, Cambridge, Massachusetts
Handoko, T. Hani, 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua, BPFE UGM, Yogyakarta. Islamy, Irfan, 2001, Reformasi Birokrasi di Indonesia, Brawijaya, Malang Joko Purwanto, dkk,2001, Teori Organisasi, Bina Aksara, Jakarta Koter, P. John and James L. Haeskett.1992 Corporare Culture and Performance, the free Press, New York Luthans, Fred, 1997. Organizational Behavior , Third Edition. The McGraw-Hill Companies Inc., New York. Marry Jo Hatch, 1997, Orgazation Theory: Modern, Symbolic and Postmodern Perspective, Oxford University Press, England.
Martani Huseini, 2003, Teori Organisasi, UI pers, Jakarta Moeljono Djokosantoso, 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi, Elex Media Komputindo, Jakarta Nonaka, Ikujiro and Hirotaka Takeuchi, 1995. The Knowledge Creating
Company: How Japanese Companies Create the Dinamic of Innovation, Oxford University press.
Robbins,
Stephern
P.,
1998.
Organization Behavior, Concepts,
Controversies, Application. Seventh Edition, Englewood Cliffs , PT. Prenhallindo, Jakarta.
Robbin, Stephen P., 1994, Teori Organisasi (edisi ketiga), Jakarta
Arcan,
Roger, S. 1990. Performance Management in Local Government, Jesica Kindsey Publiser, London. Senge, Peter. 1994, The Fifth Dicipline : The art and practice of the learning organization, Dobleday, New York Schein, Edgar H. 1992, Organizational Culture and Leadership, Josseybass Publiser, San Fransisco Susanto, AB., 1997. Budaya Perusahaan : Seri Manajemen Dan Persaingan Bisnis. Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta. Wirawan, 2007. Budaya dan Iklim Organisasi : Teori, Aplikasi, dan Penelitian, Jakarta : Salemba Empat Woworuntu, Bob,2002. Budaya Kinerja PT. Angkasa Pura I, Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia Zwell, Michael, 2000. Creating A Culture of Competence, New York: John Wiley & Son