RELATIONSHIP BETWEEN BURNOUT WITH ACADEMIC ACHIEVEMENT MOTIVATION FOR WORKING STUDENTS RAMON DIAZ, ANITA ZULKAIDA, S.PSI., M.PSI Undergraduate Program, 2007 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id Key Words: Burnout, academic achievement motivation ABSTRACT : This study aimed to examine the relationship between burnout with academic achievement motivation on the students working. Burnout is a syndrome caused by psychological and environmental pressures that do not support the occupation and the ideals that do not comply with the reality that goes from time to time that cause emotional exhaustion, depersonalization and a decrease in personal achievement. Achievement motivation is the human internal processes that drive and motivate behavior on achievement goals and ability to confront and overcome all obstacles and achieve success in the tasks more difficult in the academic field. Achievement motivation has five characteristics namely the risk of election duties, need feedback, persistence, responsibility, and innovative. Test assumptions in this research are the testing of normality and linearity test. Normality test is done by using One Sample Kolgomorov Smirnov and Shapiro-Wilk Test. For burnout value is significant at 0.000 (p < 0.05). Significant scores on achievement motivation are 0.000 (p < 0.05). Results of normality test scores showed that the distribution of both variables and burnout research, namely achievement motivation is not normal. Burnout linearity test results with achievement motivation showed a linear, where a score of 168.194 and F significance value of 0.000 (p <0.05). To further the research data will be analyzed using nonparametric statistical calculations. By using Karl Pearsons correlation test, correlation coefficients obtained (r) equal to -0.798 with a significance level of 0.000 (p <0.05). Results of correlation test showed that there was a significant relationship between burnout with achievement motivation.
HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG BEKERJA ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Motivasi berprestasi adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis. Motivasi berprestasi memiliki lima karakteristik yaitu resiko pemilihan tugas, membutuhkan umpan balik, ketekunan, tanggung jawab dan inovatif. Penelitian ini bersifat korelasional yang dilakukan terhadap 98 mahasiswa yang bekerja dari lima lembaga perguruan tinggi di Jakarta dan di Depok, dengan karakteristik antara lain berusia minimal 20 tahun, belum menikah, mengambil Strata Satu dari berbagai jurusan. Uji asumsi dalam penelitian ini yaitu uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov dan Shapiro-Wilk Test. Untuk nilai signifikan pada burnout adalah 0,000 (p<0,05). Skor signifikan pada motivasi berprestasi adalah 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu burnout dan motivasi berprestasi adalah tidak normal. Hasil uji linearitas burnout dengan motivasi berprestasi menunjukkan hasil yang linear dimana skor F sebesar 168,194 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Untuk selanjutnya data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik non parametrik. Dengan menggunakan uji korelasi Karl Pearson, didapat koefesien korelasi (r) sebesar -0,798 dengan taraf signifikasi 0,000 (p<0,05). Hasil uji korelai tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini diterima dan hal ini berarti terdapat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Kata kunci: burnout, motivasi berprestasi,mahasiswa yang bekerja PENDAHULUAN Memasuki akhir tahun 1970 laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mulai berkembang dengan cepat. Begitu banyak alat dan media yang dihasilkan dari berbagai inovasi yang bertujuan memajukan industri dalam berbagai bidang. Pada saat itu industri informasi-komunikasi, ekonomi dalam hal ini perbankan serta teknologi alat-alat rumah tangga hingga pabrik besar mulai mengalami perubahan serta perkembangan yang luar biasa. Perkembangan begitu terasa, dalam bidang informasi komunikasi terlihat dengan semakin berkembangnya industri surat kabar, radio serta pertelevisian. Dalam bidang ekonomi, pada saat itu perekonomian dunia semakin membaik terutama sektor perbankan dimana inovasi alat serta layanan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas
untuk mulai menabung. Terlebih lagi di bidang teknologi, berbagai alat tercipta untuk berbagai keperluan, mulai dari peralatan rumah tangga, peralatan kantor, peralatan pendidikan, peralatan kesehatan hingga peralatan industri besar seperti pabrik. Dalam bidang pendidikan, banyak perguruan tinggi yang berpartisipasi untuk melakukan berbagai penelitian demi kemajuan industri. Kemajuan dan perkembangan tersebut terus berlanjut hingga memasuki tahun 1990 dimana laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mengalami transformasi ke era komputerisasi yang lebih dikenal industri global (Wikipedia, 2005). Perubahan serta perkembangan tersebut tentu saja membangkitkan kompetisi diantara perusahaan-perusahan yang bergerak dalam industri informasi-komunikasi, ekonomi, dan teknologi. Kinerja serta kemampuan karyawan mulai dituntut oleh perusahaan demi persaingan industri global. Bahkan beberapa perusahaan mulai menetapkan standar dalam penerimaan, seleksi serta penempatan karyawan dan salah satu standar tersebut adalah tingkat pendidikan. Hal ini tentunya demi kemajuan serta eksistensi perusahaan dalam industri global. Standar tingkat pendidikan tersebut menyebabkan terjadi persaingan diantara karyawan selaku tenaga kerja dalam mempertahankan posisinya dari calon tenaga kerja baru dan juga meraih posisi atau jabatan yang lebih baik dalam perusahaan selain memiliki prestasi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab persaingan yang semakin meningkat diantara para karyawan maupun tenaga kerja baru maka diawal tahun 1980-an banyak karyawan yang mulai memikirkan bahkan kembali menduduki bangku kuliah di perguruan tinggi. Fenomena baru muncul, yaitu mahasiswa yang bekerja. Lulusan sekolah menengah atas dan setingkat yang tak mampu kuliah, memilih bekerja lebih dahulu, kemudian kuliah dengan hasil atau gaji yang didapatkan. Ada banyak individu yang adalah mahasiswa karena banyak hal kemudian bekerja untuk mencukupi biaya kuliah. Terlepas dari semua itu individu tersebut adalah mahasiswa yang berkewajiban untuk meraih prestasi akademis (Orsgaz dkk., 2001). Untuk meraih prestasi akademis yang baik ada faktor yang tidak dapat dilupakan yaitu motivasi berprestasi dalam hal ini motivasi berprestasi akademis. Dalam dunia bisnis, di sekolah, dan berbagai profesi, motivasi berprestasi menjadi suatu prediktor penting untuk kesuksesan. Pandangan umum juga memprediksi bahwa orang-orang yang paling sukses adalah orang-orang yang mempunyai dua motif, yaitu motivasi berprestasi dan motivasi berkompetisi yang kuat (Riyanti & Prabowo, 1998). Winkel (1991) mengatakan, bahwa dalam rangka belajar di sekolah atau di sebuah lembaga pendidikan, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi maksimal yang dimaksudkan, ditentukan oleh siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Motivasi berprestasi dapat dilihat seberapa sering dan baik mahasiswa itu sendiri dengan tekun menghadiri kuliah, kualitas pengerjaan tugas, seperti paper, quiz, dan ujian semester. Kondisi tersebut menyebabkan banyak perguruan tinggi berusaha meningkatkan, motivasi mahasiswa untuk meraih prestasi akademis yang tinggi, antara lain dengan memberikan reward, seperti nilai tambah kehadiran, beasiswa kuliah, penghargaan, mengikutsertakan pada perlombaan ilmiah mahasiswa dan lainnya. Ini membuktikan betapa pentingnya motivasi berprestasi dalam mencapai prestasi akademis yang tinggi. Mahasiswa yang bekerja biasanya mengambil jam kuliah pada sore sampai malam hari, karena di pagi harinya mereka harus bekerja. Dapat dikatakan mahasiswa yang bekerja, sebagai individu memiliki status lain yaitu pegawai atau karyawan di suatu lembaga usaha (Sarwono, 1981). Dalam hal ini mahasiswa yang bekerja tentunya
memiliki waktu yang sedikit dibanding mahasiswa yang tidak bekerja. Mahasiswa yang bekerja, harus mengelola waktu belajar dalam waktu yang sempit. Seringkali dalam kondisi lelah setelah pulang kantor, harus mengikuti kuliah, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan dengan terburu-buru, bahkan bila terlalu lelah, banyak mahasiswa yang memutuskan untuk tidak mengikuti perkuliahan malam itu. Masalah lainnya, adalah berbagai problematika yang terjadi di tempat kerja dapat memberi dampak terhadap proses belajar mahasiswa yang bekerja. Masalah-masalah yang sering dihadapi di tempat kerja antara lain, rutinitas pekerjaan yang monoton, konflik dan hubungan yang tak harmonis sesama pegawai atau dengan atasan, persaingan yang ketat, tuntutan kerja yang makin bertambah, perkerjaan yang bertumpuk, serta gaji yang tak sesuai. Masalah tersebut adalah sedikit hal yang menyebabkan kelelahan baik emosi dan fisik pada karyawan (Dwivedi, 1981) Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout pada karyawan disetiap jenjang jabatan dan pekerjaan. Dalam sebuah artikel bertajuk “Membunuh Burnout, memanfaatkan Stress” pada harian Republika, 5 Agustus 1993 (dalam Sutjipto, 2001) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Cordes dan Daugherty (dalam Cooper dkk., 2001) menjelaskan bahwa burnout adalah kelelahan yang amat sangat dimana membuat kinerja individu terhambat bahkan berhenti. Saat ini burnout menjadi masalah krusial di dunia kerja, karena seringkali menghambat laju kinerja para karyawan yang akhirnya merugikan perusahaan. Burnout seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan yang tinggi dalam kesehariaannya (Cooper dkk., 2001). Sebab itu banyak perusahaan mencari cara untuk membantu setiap karyawan yang ada untuk menanggulangi burnout di tempat kerja. Mohan (dalam Dwivedi, 1981) menjelaskan bahwa kelelahan yang disebabkan burnout di tempat kerja memberi dampak pada aktivitas lain dalam hidup karyawan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya perhatian pada sekitar, menurunnya kemampuan persepsi dan berpikir, menurunnya motivasi terhadap kegiatan lain, dan menurunnya kegiatan secara fisik dan mental di luar jam kerja. Narayan dan Shanmugam (dalam Dwivedi, 1981) sejak tahun 1971 sampai dengan 1973 melakukan penelitian terhadap kelelahan di kalangan karyawan dengan menggunakan berbagai alat ukur yang bertujuan mengukur tingkat kewaspadaan, konsentrasi, hubungan interpersonal serta istirahat kerja. Hasilnya menunjukan adanya penurunan motivasi, menurunnya kinerja inteligensi, bertambahnya tingkat kecelakaan kerja serta penurunan dalam seksualitas. Penelitian yang dilakukan Grenberger & Steinberg (dalam Santrock, 1990) menunjukkan adanya dampak yang dialami oleh mahasiswa yang bekerja, yaitu mereka sulit menyeimbangkan tuntutan di dunia kerja, pendidikan, keluarga dan teman-teman mereka. Sementara itu Steinberg (1993) menjelaskan bahwa 20 jam kerja perminggu akan memberi pengaruh yang kurang baik terhadap prestasi akademis maupun terhadap kondisi psikologis bagi mahasiswa yang bekerja. Spickard (2001) menjelaskan bahwa pada mahasiswa yang bekerja salah satu penyebab turunnya prestasi di bangku perkuliaan adalah faktor pekerjaan. Masalah di tempat kerja seperti rutinitas kerja, pekerjaan yang bertumpuk, persaingan yang ketat, dan hubungan yang kurang harmonis dengan sesama karyawan atau dengan atasan serta jenis pekerjaan yang berat menimbulkan kelelahan yang berat. Hal itu berdampak bagi motivasi berprestasi pada mahasiswa yang bekerja. Pada mahasiswa yang bekerja masalah yang dihadapi di tempat kerja amat berpengaruh pada tingkat konsentrasi dan penalaran terhadap perkuliahan, serta stamina untuk menyelesaikan tugas-tugas
perkuliahan. Uraian tersebut memberi gambaran bahwa kondisi di tempat kerja sangat berdampak pada kegiatan perkuliahan mahasiswa yang bekerja. Dengan uraian di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah melihat apakah ada hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Manfaat dari penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi para mahasiswa khususnya yang bekerja terutama tentang hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi, sehingga dapat membantu para mahasiswa dalam mengcoping / menyikapi keadaan tersebut. Kemudian memberikan masukan bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya ilmu Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Pendidikan, dengan mengungkap lebih jauh tentang burnout dan motivasi berprestasi serta hubungan antara kedua kedua konsep tersebut. Pada penelitian ini juga disusun skala burnout dan motivasi berprestasi yang akan menambah pengetahuan tentang pengembangan alat ukur psikologis. TINJAUAN PUSTAKA Seorang gadis yang ingin menjadi dokter. Seorang lelaki yang berjuang untuk memiliki kekuasaan politik. Seseorang yang mengalami penderitaan yang hebat menginginkan kelegaan. Seseorang yang sangat kelaparan dan hanya berpikir tentang makanan. Seorang anak yang kesepian dan berharap memiliki teman. Seorang pria melakukan pembunuhan dan polisi mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut adalah balas dendam. Seorang wanita yang bekerja keras untuk mencapai rasa sukses dan mampu. Hal-hal tersebut adalah beberapa motif yang berperan dalam perilaku manusia. Motif menggerakkan secara keseluruhan mulai dari keinginan dasar, seperti lapar dan seks, sampai kepada hal yang rumit, yaitu motif-motif jangka panjang, seperti ambisi politik, keinginan untuk melayani kemanusiaan, atau kebutuhan untuk menguasai lingkungan sekitarnya (Morgan dkk., 1986). Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku itu didorong dan diarahkan pada tujuan.Contoh-contoh tersebut juga menunjukan bahwa perilaku yang mengarah pada suatu tujuan cenderung untuk menetap. Suatu istilah yang menunjuk kepada dorongan dan kekuatan yang menentukan keberhasilan perilaku yang yang tetap pada tujuan tertentu. Istilah itu adalah motivasi (Morgan dkk., 1986). Banyak sekali orang yang tertarik dengan kata motivasi, bahkan melakukan penyelidikan terhadap alasan mengapa seseorang melalukan suatu tindakan yang tidak biasanya (Hollyforde & Whiddet, 2003). Begitu banyak definisi dari motivasi.yang dikemukakan oleh para ahli. Baron (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) menyatakan bahwa motivasi adalah proses internal yang mengaktifkan, mengarahkan dan menjaga perilaku (terutama perilaku yang memiliki tujuan). Seiring dengan pernyataan tersebut Robertson dan Smith (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003), menyatakan motivasi adalah suatu konsep psikologis yang terkait dengan kekuatan dan arah dari perilaku manusia. Atkinson (1964) memandang motivasi sebagai suatu disposisi latent yang berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Sepanjang disposisi tersebut belum terpenuhi maka ia akan selalu muncul kepermukaan. Heckhansen (dalam Asnawi, 2002) memberi pandangan tentang motivasi yaitu sesuatu yang potensial dalam diri manusia yang merupakan keadaan normal tetapi juga sangat menentukan bagaimana suatu situasi menjadi memuaskan.
Teevan dan Smith memandangan motivasi sebagai suatu konstruksi yang mengaktifkan perilaku (dalam Asnawi, 2002). Terry dan Leslie (dalam Asnawi, 2002) menyatakan motivasi membuat orang bekerja lebih berprestasi. Dengan demikian motivasi dipandangnya sebagai suatu daya dorong untuk berbuat sesuatu dalam kapasitas dan produktivitas optimal atau maksimal. Asnawi (2002) berpendapat motivasi adalah konstruksi dan proses interaksi antara harapan dan kenyataan masa yang akan datang baik dalam jangka pendek, sedang atau panjang. McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) merupakan salah satu tokoh penganut teori konten, yaitu menekankan pada faktor “apa” yang ada dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tersebut berperilaku tertentu. McClelland mengatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan yang menyebabkan mereka terdorong untuk berperilaku untuk mengurangi atau memenuhinya. Sebab itu seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada pemuasan dari kebutuhan mereka. Pada awalnya McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) menganut suatu pemahaman bahwa motif seseorang telah terbentuk atau dipelajari sejak masa dini, dan sekali motif tersebut terbentuk maka akan sukar untuk mengubahnya. Dengan latar belakang pemahaman tersebut McClelland tertarik untuk meneliti apakah benar motif tersebut tidak dapat diubah. Ternyata dalam hasil pengamatannya lebih lanjut, banyak hal yang dapat merubah motivasi seseorang, contohnya motif seseorang dapat berubah saat seseorang sakit dan sembuh atau mengalami jatuh cinta. Menurut McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) pada saat itu, motivasi adalah pengungkapan kembali (tujuan) oleh isyarat perubahan dalam situasi affektif. Pengungkapan kembali tersebut terjadi sebagai hasil dari pengalaman sebelumnya, seperti contoh seorang yang sakit dan akhirnya sembuh. Motif dapat muncul dan dipelajari karena adanya perubahan suasana hati yang timbul karena adanya perbedaan harapan dan kenyataan yang diamati. McClelland (dalam McCelland dkk, 1953), mengungkapkan dalam mendefinisikan motif harus dibedakan jenis harapan yang terlibat didalamnya, kemudian dasar tindakkan, yaitu sampai dimana harapan-harapan tersebut dapat menjadi suatu tujuan yang dapat dicapai. McClelland (dalam McCelland dkk., 1953), mengemukakan ada beberapa jenis motivasi yang cenderung ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. Motif-motif tersebut disebut juga motif sosial, yaitu: 1) Motivasi Berprestasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dengan menitik beratkan kepada pencapaian prestasi tertentu. 2) Motivasi Berafiliasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan. 3) Motivasi Berkuasa, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai kepuasan dengan menguasai dan mempengaruhi orang lain. McClelland (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) merasakan bahwa motivasi berprestasi sangat berperan dalam semua budaya kehidupan manusia, karna semua manusia dari berbagai latar selalu berusaha mencapai keberhasilan dan menjauhi kegagalan. Hal ini adalah hasil pembelajaran bahwa dalam keseluruhanya masyarakat selalu memberikan penghargaan terhadap keberhasilan (berupa pujian, topik pembicaraan) begitu juga dalam keluarga (berupa pelukan, senyuman dan sanjungan). Oleh karena itu apabila seseorang selalu berusaha mengerjakan yang lebih baik maka dapat dikatakan mempunyai motivasi berprestasi tinggi.
Asnawi (2002) menjelaskan Motivasi berprestasi berhubungan dengan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang tinggi, bersaing melalui usaha keras, untuk mengungguli orang lain. McClelland dan Burnham (dalam Asnawi, 2002) menjelaskan motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih efesien dari sebelumnya. Sedangkan Dwivedi dan Herbert (Dwivedi, 1981) mengartikan motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standarnya sendiri maupun orang lain. Menurut Davis (Hollyforde dan Whiddet, 2003), motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan, sehingga menyebabkan individu bekerja lebih baik lagi. Gage dan Berliner (1992) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah motivasi untuk sukses, untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu hal. Hollyforde dan Whiddet (2003) menyatakan basis dari motivasi berprestasi adalah kekuatan untuk mencapai kesuksesan. Tentunya setiap individu memiliki definisi tentang kesuksesan pada diri mereka masing. Semakin sukses seseorang mencapai tujuannya, semakin seseorang tersebut memiliki kepuasan dan pengalaman dalam pencapaiannya, sebab itu mereka akan berjuang untuk melakukan dan mendapatkan hal tersebut di masa yang akan datang. Atkinson (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai sebuah kemampuan untuk mengalami kebanggaan dalam penyelesaian tugas demi tugas. Semakin seseorang berhasil dalam suatu tugas yang sama semakin berkurang dorongan pencapaian yang maksimal untuk menyelesaikannya. Hal ini disebabkan adanya suatu asumsi semakin besar rasa pencapaian tugas apabila seseorang diberikan kesempatan menyelesaikan tugas yang lebih sulit dari pada tugas sebelumnya atau tugas yang lebih mudah. Murray (dalam Chaplin, 1999) mendefinisikannya dengan bahasa yang lebih mudah, yaitu motivasi berprestasi adalah motif untuk mengatasi rintangan-rintangan, atau berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Istilah akademis sangat terkait hubungannya dengan aktivitas keilmuan dan lembaganya seperti sekolah dan perguruan tinggi dimana terjadi proses belajar mengajar. Winkel (1991) menjelaskan bahwa dalam rangka aktivitas belajar di sekolah, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi belajar yang maksimal yang dimaksud adalah penentuan dari siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan seluruh uraian di atas serta definisi-definisi tentang motivasi dan motivasi berprestasi dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis. Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout (Farber, 1991). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri
megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah seperti gedung yang terbakar tadi. Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (Freudenberger & Richelson dalam Farber, 1991). Deskripsi awal Freudenberger mengenai seseorang yang menderita karena sindrom burnout sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa: " ….dan anda menempatkan sebagian besar diri anda di dalam pekerjaan. Anda secara gradual terbentuk di dalam lingkungan sekitar anda dan di dalam diri anda sendiri ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda merasakan sense of commitment yang utuh" (Farber, 1991). Maksudnya adalah jika kita bekerja pada suatu pelayanan, misalnya guru, maka kita akan terbentuk secara keseluruhan oleh atmosfir layanan pembelajaran secara intens dengan membiarkan keterlibatan pribadi kita dan sumber emosi kita sampai pada akhirnya kita menemukan diri kita dalam keadaan kelelahan. Gambaran tersebut menjelaskan, bahwa terdapat pemahaman awal mengenai burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang bekerja terlalu rutin, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanan-tekanan untuk memberi lebih banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari klien/siswa yang amat membutuhkan, dan dari kepungan para administrator (penilik/pengawas dan sebagainya). Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa bersalah, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka, maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau frustrasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger dalam Farber, 1991) Penelitian tentang burnout sendiri sebenarnya telah berlangsung selama 20 tahun (Schaufeli dkk., 1993) sehingga menghasilkan berbagai ragam pengertian. Maslach dan Jackson dalam penelitiannya tersebut tentang burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang kesehatan mental, bidang pelayanan kesehatan, bidang pelayanan sosial, bidang penegakan hukum, maupun bidang pendidikan, dalam perkembangannya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memahami burnout. Mereka menemukan bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun penurunan pencapaian prestasi pribadi (Schaufeli dkk., 1993). Kemudian Pines dan Aronson (1989) mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, emosional dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh tuntutan emosional. Menurut mereka burnout dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor pelayanan sosial yang cukup lama. Pada jenis pekerjaan tersebut, menurutnya, seseorang menghadapi tuntutan dari klien, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan yang adekuat terhadap kinerja pemberi layanan. Situasi menghadapi tuntutan dari penerima layanan menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional. Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun
memperoleh apresiasi yang minimal. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut menurut Pines dan Aronson (dalam Wally & Huby, 2000) adalah: a. Kelelahan fisik, yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi fisik. Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, rasa ngilu, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih yang kronis, dan lemah. b. Kelelahan emosional, yaitu suatu kelelahan pada individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi. Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang tiada henti, tidak dapat dikontrol, suka marah, gelisah, tidak peduli terhadap tujuan, tidak peduli dengan peserta didik orang lain, merasa tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya (Sutjipto, 2001). c. Kelelahan mental, yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi. Kelelahan mental ini dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal, tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih kasih, selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah, merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup (Sutjipto, 2001). Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Pandangan Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freuddenberger bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak mereka capai pada awal bekerja. Ia merasa terpanggil untuk bekerja, sehingga idealisme mereka pun tinggi. Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami perubahan motivasi, mereka mengalami burnout (Greenberg & Baron, 1993). Baron, McKnight & Glass, Parker & Kulik (dalam Sarafino, 1998) memberi definisi bahwa burnout sebagai suatu kondisi kelelahan fisik dan psikososial yang kronis, timbul sebagai akibat derajat stress yang tinggi karena pengendalian diri yang kurang kuat. Sedangkan Taylor (1999) menjelaskan bahwa burnout merupakan resiko yang terjadi pada individu yang bekerja dalam menghadapi orang-orang yang kekurangan. Kreitner dan Kinicki (2000) mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan emosional dan sikap-sikap negative dari waktu ke waktu. Kreitner dan Kinicki menjelaskan sikap-sikap negatif tersebut antara lain adalah fatalisme, kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan, kekasaran, ketidak puasan dan melarikan diri. Berdasarkan definisi dan pandangan-pandangan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Fenomena mahasiswa yang bekerja sudah lama muncul dikalangan mahasiswa. Bass (dalam Stella, 2004) mengemukakan, mahasiswa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mengaktualisasikan diri, serta mencari pengalaman dan relasi.
Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) menjelaskan bahwa kuliah adalah waktu untuk mengungkap intelektual dan pertumbuhan personal. Bagi mahasiswa yang sedang memasuki tahap perkembangan dewasa awal, pendidikan di perguruan tinggi memberi kesempatan untuk menjawab asumsi-asumsi yang dimiliki sejak masa kanak-kanak dan oleh karena itu hal ini membentuk identitas diri dimasa dewasa. Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) juga berpendapat, penemuan dan pengenalan diri memberi peluang terhadap pemilihan karir yang baru dan realistik. Spickard (2001) menjelaskan mengapa mahasiswa tersebut bekerja, salah satunya adalah untuk menguji kemampuan serta intelektualitas yang mereka asah di bangku perkuliahan dalam kondisi nyata yaitu di lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Mahasiswa yang bekerja biasanya menggunakan waktu luang mereka untuk melakukan pekerjaan. Bagi mahasiswa yang bekerja, mereka memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri (Spickard, 2001). Salah satu keuntungannya mereka telah melakukan penjajakan lebih awal terhadap karir yang mereka akan tempuh, hal ini memberi informasi melalui apa yang mereka alami di lapangan kerja. Kerugiannya, tidak sedikit mahasiswa yang bekerja mengalami permasalahan dalam pembagian waktu dan penyelesaian tugas dibangku kuliah berkaitan dengan pekerjaan mereka. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa bekerja adalah mahasiswa yang memberikan sebagian waktunya bukan hanya pada bangku perkuliahan, tetapi juga pada dunia kerja. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini variabel yang akan dikaji adalah : Prediktor : Burnout Kriterium : Motivasi Berprestasi Akademis Definisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Burnout Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung serta idealisme yang tidak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini burnout diungkap melalui dimensi yang dikemukakan Maslach (2001) yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. 2. Motivasi Berprestasi Akademis Motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis, yang mengacu pada karakteristik yang dikemukakan oleh McClelland (1953). Karakteristik motivasi berprestasi akademis adalah sebagai berikut : tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa S1 yang bekerja minimal selama 1,5 tahun atau lebih dengan rentang usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi universitas di Jakarta dan sekitarnya. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah angket yang terdiri dari skala motivasi berprestasi akademis dan skala burnout. Validitas berkaitan dengan kesesuaian antara suatu konsep dengan indikator yang digunakan untuk mengukurnya (Prasetyo & Jannah, 2005). Azwar (1996) mengemukakan validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu instrimen pengukur dalam 1. 2.
melakukan fungsi ukurnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, validitas menurut Chaplin (1999) yaitu bahwa alat-alat tersebut bisa mengukur menurut kenyataannya seperti yang dikehendaki untuk diukur. Reliabelitas berkaitan dengan keterandalan suatu indikator. Informasi yang ada pada indikator ini tidak berubah-ubah dengan kata lain konsisten (Prasetyo & Jannah, 2005). Menurut Azwar (1996) reliabelitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya bila suatu pengamatan dilakukan dengan perangkat ukur yang sama lebih dari satu kali, hasil pengamatan itu sama. Bila tidak sama, maka perangkat ukur tersebut tidak reliabel (Prasetyo & Jannah, 2005). Pada penelitian ini, skala motivasi berprestasi akademis dibuat berdasarkan karakteristik sebagai berikut: tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. Karakteristik tersebut digunakan untuk membuat serta menyusun item-item yang kuat untuk dijadikan sebuah alat tes yang berbentuk skala. Pada skala burnout, item-item dibuat dan disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Sebelum menjadi alat tes terlebih dahulu dilakukan validitas isi (content validity) pada kedua skala tersebut. Azwar (1996) mengemukakan pengujian validitas isi tidak melalui analisis statistika tetapi menggunakan analisis rasional. Lebih lanjut Azwar (1996) mengemukakan bahwa validitas isi telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah item-item dalam dalam tes yang telah ditulis sesuai dengan blueprint yaitu telah sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing item telah sesuai dengan indikator perilaku yang hendak diungkapnya. Selanjutnya kedua skala tersebut dibentuk dalam angket dengan penampilan yang layak agar memberikan kemudahan serta menarik minat dalam pengisian alat tes. Kemudian pengujian validitas item untuk skala burnout dan motivasi berprestasi akademis menggunakan total item correlation dengan mengkorelasikan skor setiap item dengan total item yang dihitung dengan menggunakan formulasi korelasi product moment Karl Pearson yang dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows. Pengujian reliabilitas item menggunakan formula Alpha Cronbach yang dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows. Untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi digunakan korelasi product moment Karl Pearson dengan bantuan program SPSS ver 12.0 for windows. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode try out terpakai. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 dan 14 November 2006 di beberapa perguruan tinggi. Total kuesioner yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 107 eksemplar. Berdasarkan kriteria usia, lama bekerja serta status pernikahan subjek, dilakukan seleksi dan hasilnya terdapat 9 eksemplar yang tidak memenuhi kriteria, maka kuesioner yang dapat digunakan adalah sebanyak 98 eksemplar. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Hasil uji linearitas pada motivasi berprestasi dan burnout menunjukkan hasil yang linear, dimana skor F tes sebesar 168,194 dan nilai signifikasi 0,000 (p<0,05). Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik teknik korelasi Karl Pearson dan diperoleh hasil seperti tertera dalam tabel hasil perhitungan SPSS 12.00 for Windows di bawah ini:
Tabel 7. Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan SPSS 12.00 for Windows
Motivasi Berprestasi
Burnout
Motivasi Berprestasi
Burnout
Korelasi Pearson
1
-0,798(**)
Sig. (1-tailed)
.
0,000
N (Jumlah Subjek)
98
98
Korelasi Pearson
-0,798(**)
1
Sig. (1-tailed)
0,000
.
N (Jumlah Subjek)
98
98
** signifikansi korelasi pada tingkat 0,01 (1-tailed). Dari hasil analisis data tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan yang negatif antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis, diterima. PEMBAHASAN Penelitian ini berusaha untuk menguji adanya hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, hipotesis penelitian diterima, dimana terdapat hubungan negatif yang signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa semakin tinggi burnout, semakin rendah motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Semakin rendah burnout, semakin tinggi motivasi berprestasi akademis mahasiswa yang bekerja. Miller (2000) mengemukakan berdasarkan penelitian-penelitan yang dilakukan, diketemukan bahwa burnout berkorelasi negatif terhadap pembelajaran, kebiasaan yang membangun dan keberhasilan memecahkan masalah. Pembelajaran dalam hal ini adalah motivasi berprestasi dan pencapaian terhadap suatu hal. Hal serupa juga diungkapkan oleh Spickard (2001) dalam hasil penelitiannya terhadap mahasiswa kedokteran yang bekerja adalah bahwa burnout memiliki hubungan yang negatif terhadap pencapaian pribadi dan motivasi berprestasi akademis. Faktor lain yang juga mempengaruhi terjadinya burnout adalah kondisi di lapangan antara lain beban kerja. Beberapa ahli yang telah berkecimpung dalam penelitian terhadap burnout berpendapat bahwa masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout (Schaufeli dkk., 1993). Sekalipun individu memiliki motivasi berprestasi yang cukup tinggi, dimana individu mampu melihat dan memilih setiap resiko tugas yang diberikan, kenyataan yang sering terjadi dalam dunia kerja, banyak situasi yang membuat individu tidak dapat menolak tugas yang diperintahkan serta seringkali harapan dan insentif yang diterima setelah menyelesaikan tugas tidak sebanding. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kreitner dan Kinicki (2005) mengenai harapan-harapan dalam hal ini penugasan kerja, pembayaran atau promosi sangat rentan terhadap konflik yang menyebabkan burnout pada karyawan.
Kondisi tersebut bila terus berlanjut akan menyebabkan burnout dimana terjadi kelelahan emosional, depersonalisasi yaitu kondisi dan sikap yang kurang bersahabat atau menarik diri, serta menurunnya pencapaian prestasi pribadi pada banyak sisi kehidupan individu. Mahasiswa yang bekerja lalu mengalami burnout akan mendapatkan dirinya menderita penurunan motivasi sekalipun banyak mereka yang tidak mengakuinya. Hal tersebut disebabkan karena mereka berpikir lebih baik menarik diri untuk sementara waktu (Briscoe, 1984). Kondisi tersebut justru membuat mahasiswa yang bekerja menjadi jarang atau bahkan sering kali tidak mengikuti perkuliahan secara teratur dan akhirnya berdampak pada tugas serta nilai akademis mereka. Neumann dan Reichel (dalam Repak, 2005), profesor dari Universitas Boston dan Universitas Ben Gurion, melakukan penelitian tentang burnout terhadap para mahasiswa dan menemukan bahwa mahasiswa biasa juga dapat mengalami burnout, apalagi mahasiswa yang bekerja sekaligus kuliah, dimana tuntutan jauh lebih banyak mereka dapatkan dibanding yang mereka harapkan. Hasil perhitungan skor rerata empirik dan skor rerata hipotetik skala burnout dan motivasi berprestasi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 14. Rerata Empirik dan Rerata Hipotetik Skala Penelitian. Total
Rerata Empirik
Rerata Hipotetik
Sub jek
Item
Standar Deviasi Empirik
MB
98
50
26,73
77,00
164,00
102,57
Burnout
98
28
17,22
44,00
116,00
83,19
Skala
X min
X max
Rerata
Standar Deviasi Hipotetik
X min
X max
Rerata
25
50
200
125
18,67
28
140
84
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa rerata empirik pada skala motivasi berprestasi sebesar 102,57 lebih rendah dari pada rerata hipotetik sebesar 125. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki motivasi berprestasi yang sedang. Pada skala burnout rerata empirik adalah sebesar 83, 19 sedikit rendah dari rerata hipotetik sebesar 84, maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian mengalami burnout. Rendahnya rerata empirik dari pada rerata hipotetik diatas terjadi karena kesuntukan pekerjaan serta tugas kuliah yang banyak mulai berkurang, apalagi situasi saat disebarkannya angket penelitian adalah pada minggu terakhir bulan puasa. Kelelahan yang biasa terjadi pada hari kerja tidak begitu berat juga beban perkuliahan serta tugastugas kuliah tidak sebanyak diluar bulan puasa. Perusahaan-perusahaan juga menyesuaikan beban dan waktu kerja pada karyawan selama bulan puasa. Kantor-kantor juga memilih meliburkan karyawan pada hari sabtu, 18 November 2006 di akhir minggu, dimana hari raya Idul Fitri pada saat itu jatuh pada hari selasa dan rabu, 21 dan 22 November 2006. Penelitian yang dilakukan Shin, Rossario dan Morch (dalam Brian, 1999) dengan rentang usia 23 tahun sampai dengan 65 tahun mengenai coping terhadap burnout, menunjukkan bahwa pada rentang dibawah 25 tahun dengan status lajang dan menjalani studi mengalami kesulitan dalam melakukan coping. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan rentang dibawah 25 tahun yang masih studi mengalami kesulitan
dalam membagi waktu dan prioritas kegiatan. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil dari subjek penelitian seperti pada tabel 9 tentang deskripsi subjek berdasarkan usia (hal 45). Berdasarkan tabel 9 tentang deskripsi subjek berdasarkan usia, terlihat bahwa mahasiswa yang bekerja dengan rentang usia mulai 23 sampai 30 tahun mengalami motivasi berprestasi akademis rendah dan kecenderungan burnout tinggi sedangkan subjek penelitian dengan usia dibawah 23 tahun memiliki motivasi berprestasi akademis tinggi dan burnout yang rendah. Ini bisa terjadi karena prioritas subjek penelitian dengan usia antara 23 tahun sampai dengan 30 tahun lebih memilih pekerjaan dibandingkan subjek penelitian dengan usia dibawah 23 tahun yang lebih memilih kuliah. Kecenderungan perilaku tersebut dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 15. Deskripsi Subjek berdasarkan Prioritas Tugas Rerata Motivasi Berprestasi Prioritas Tugas Jumlah Persen Akademis Pekerjaan 73 74% 99,69 Kuliah 25 26% 110,96
Rerata Burnout 85,39 76,76
Berdasarkan data deskriftif pada tabel 17 terlihat bahwa individu yang memprioritaskan penyelesaian tugas pekerjaan, lebih banyak jumlahnya dan memiliki motivasi berprestasi akademis rendah serta burnout tinggi. Hal ini dapat dikaitkan dengan motivasi mahasiswa yang bekerja dalam mengambil kuliah, seperti tertera pada tabel 12 tentang deskripsi subjek berdasarkan motivasi mengambil kuliah pada halaman 46. Berdasarkan pada tabel 12, terlihat subjek penelitian dengan motivasi mengambil kuliah untuk kenaikan jabatan memiliki rerata burnout yang tinggi terhadap motivasi berprestasi akademis. Oleh sebab itu subjek penelitian akan lebih memprioritaskan pekerjaan dibanding kuliah, dikarenakan perkuliahan hanya sebagai syarat untuk mendukung kenaikan jabatan. Pada suatu penelitian di Inggris yaitu NUS Survey (dalam Wood & Armstrong, 1999) terhadap mahasiswa bekerja yang sering gagal ujian, diketemukan 59% mahasiswa terpengaruh dengan kehidupan kerja dan 48% mahasiswa memilih mengutamakan kerja dibanding studi. Kemudian 38% mahasiswa sering tidak mengikuti perkuliahan dan tidak sempat belajar. Hal tersebut juga diketemukan dalam tabel 13 tentang deskripsi subjek berdasarkan waktu khusus belajar pada halaman 47. Pada tabel 13, terlihat individu yang tidak sempat memberikan waktu khusus untuk belajar memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout tinggi. Dibanding individu yang menyempatkan diri khusus untuk belajar, rerata burnout lebih rendah dan rerata motivasi berprestasi akademis lebih tinggi. Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan ada saat dimana motivasi berprestasi terlihat begitu tinggi walaupun hasilnya menurun. Akan tetapi bila terjadi kegagalan dalam meningkatkan hasilnya hal tersebut akan membawa individu menderita penurunan motivasi. Sebaliknya bila berhasil dilakukan hal tersebut akan membangkitkan dorongan untuk berkembang pada pencapaian selanjutnya. Dengan menyempatkan diri secara khusus untuk belajar, membangkitkan motivasi untuk maju pada pencapaian berikutnya. Beberapa hal ditempat kerja juga memiliki dampak pada mahasiswa yang bekerja seperti yang terlihat pada data deskriptif tentang hal-hal yang kurang memuaskan ditempat kerja pada tabel berikut:
Tabel 16. Deskripsi Subjek berdasarkan Hal-hal Yang Kurang Memuaskan di Tempat Kerja
Hal-hal Yang Kurang Memuaskan di Tempat Kerja
Jumlah
Persen
Rerata Motivasi Berprestasi Akademis
Rerata Burnout
Jenis Pekerjaan
7
7%
139,57
61,42
Jabatan
13
13%
106,84
76,84
Suasana kenyamanan
2
2%
132,00
76,50
Hubungan
1
1%
146,00
49,00
Peningkatan Karier
34
35%
89,00
91,44
Gaji-Insentif
39
40%
104,43
82,97
Fasilitas Kerja
2
2%
88,50
88,50
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat subjek penelitian merasa kurang puas terhadap peningkatan karir, ini terbukti dengan nilai rerata burnout yang lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Untuk subjek penelitian yang mengalami masalah dengan fasilitas kerja dapat dilihat bahwa rerata motivasi berprestasi akademis lebih rendah dibanding hal-hal lain. Adapun data deskriptif berdasarkan komponen-komponen variabel burnout dan motivasi berprestasi akademis memperlihatkan kondisi subjek secara lebih spesifik seperti pada tabel berikut: Tabel 17. Deskripsi Rerata Dimensi Burnout Dimensi Burnout
Jumlah Item
Persen
Rerata Dimensi Burnout
Kelelahan Emosional
8
30%
3,091
Depersonalisasi
10
35%
3,209
Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi
10
35%
3,008
Berdasarkan tabel diatas, nilai rerata pada dimensi depersonalisasi lebih tinggi dibandingkan dimensi-dimensi burnout lainnya. Hal ini disebabkan subjek penelitian berdasarkan jenis pekerjaan, lebih banyak bekerja dalam bidang yang berkaitan dengan pelayanan publik atau berinteraksi dengan orang banyak. Perilaku yang kurang sesuai terhadap orang lain bisa saja muncul dalam keseharian mereka berdasarkan dimensi burnout yang mereka alami.
Tabel 18. Deskripsi Rerata Aspek-Aspek Motivasi Berprestasi Akademis Aspek-aspek Motivasi Berprestasi
Jumlah Item
Persen
Rerata Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Akademis
Tanggung Jawab Membutuhkan Umpan Balik Inovatif Resiko Pemilihan Tugas Ketekunan
9 11 10 10 10
18% 22% 20% 20% 20%
2,658 2,344 2,378 1,835 2,288
Berdasarkan tabel 20 tersebut subjek penelitian dalam aspek tanggung jawab memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dari aspek-aspek lainnya. Hal ini mungkin disebabkan subjek penelitian sudah terbiasa bertanggung jawab atas tugas serta tuntutan yang diberikan di kantor sehingga sekalipun dalam keadaan burnout mereka berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dan kuliah. Sedangkan untuk aspek resiko pemilihan tugas memiliki nilai rerata yang lebih rendah dibanding aspek-aspek lainnya. Hal ini mungkin, dikarenakan sebagian besar mahasiswa yang bekerja, cenderung memilih diberikan tugas-tugas pekerjaan dan perkuliahan yang mereka kuasai, namun kenyataannya seringkali mereka tidak memiliki pilihan sehingga, pada saat diberi tugas perkuliahan mereka mengerjakan tugas kuliah tidak maksimal dan tidak jarang meminta diberikan tugas kuliah yang tidak sulit karena tugas pekerjaan mereka sudah menumpuk. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara skor burnout dengan skor motivasi berprestasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan semakin tinggi burnout yang dialami Individu maka semakin rendah motivasi berprestasi akademis, demikian juga sebaliknya, semakin rendah burnout yang dialami individu maka motivasi berprestasinya akan semakin tinggi. Rerata burnout dikategorikan sedang dan motivasi berprestasi akademik dikategorikan sedang, ini dikarenakan kondisi waktu pengambilan data pada bulan ramadhan yang berpengaruh pada kondisi subjek penelitian. Berdasarkan identitas pada subjek penelitian dengan usia rentang 23 tahun sampai 30 tahun memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout yang tinggi dibanding subjek penelitian dengan yang berusia antara 20 tahun sampai dengan 22 tahun. Hal ini berkaitan dengan prioritas penyelesaian tugas dimana jumlah subjek penelitian lebih banyak memprioritaskan penyelesaian tugas pada pekerjaan memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout tinggi. Motivasi mengambil kuliah untuk kenaikan jabatan memiliki rerata burnout tinggi dan rerata motivasi berprestasi akademis rendah. Demikian halnya dengan individu yang tidak menyempatkan diri memberi waktu khusus untuk belajar mengalami burnout dan motivasi berprestasi akademis rendah dibanding individu yang menyempatkan diri memberi waktu khusus untuk belajar. Untuk hal-hal yang kurang memuaskan, subjek penelitian merasa kurang puas terhadap peningkatan karir, ini terbukti dengan nilai rerata burnout yang lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Untuk hal peningkatan karier dapat dilihat bahwa rerata motivasi berprestasi akademis lebih rendah dibanding hal-hal lain. Dimensi depersonalisasi pada variabel burnout memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dibanding dimensi lainnya. Hal ini dikarenakan subjek penelitian berdasarkan data jenis pekerjaan berada dalam bidang pelayanan publik atau lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Pada variabel motivasi berprestasi akademis, aspek tanggung jawab
memiliki nilai rerata tertinggi. Ini dikarenakan subjek penelitian terbiasa dituntut tanggung jawab dalam bekerja. Sedangkan aspek resiko pemilihan tugas memiliki nilai rerata terendah, hal ini disebabkan mahasiswa yang bekerja berusaha mengerjakan tugas kuliah yang mereka dapat kerjakan dan tidak jarang meminta diberikan tugas kuliah yang tidak sulit karena tugas pekerjaan mereka sudah menumpuk. SARAN Kepada Subjek dengan mengetahui kondisi mereka secara pribadi, maka subjek diharapkan untuk dapat menanggulangi burnout, dengan membuka diri, bercerita atau berkonsultasi, beribadah, menyusun skala prioritas dan melakukan kegiatan-kegiatan menyenangkan yang positif seperti olah raga dan rekreasi. Kepada Lembaga Perguruan Tinggi disarankan untuk membuka wadah konsultasi dikampus sebagai sarana untuk mendengar dan mengatasi burnout, yang diberikan pada seluruh perangkat akademisi dalam hal ini mahasiswa, khususnya mahasiswa bekerja. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor-faktor penyebab burnout kaitannya dengan motivasi berprestasi akademis atau sebaliknya faktor-faktor motivasi berprestasi akademis kaitannya dengan burnout. Memilih subjek penelitian dengan karakteristik yang berbeda seperti mahasiswa sekolah tinggi agama atau cacat fisik juga memperhatikan variabel lainnya seperti gender, perbedaan jenis kelamin, status pernikahan, jenis pekerjaan, jabatan pekerjaan, jurusan perkuliahan, motivasi berkuliah, jarak tempat tinggal dengan kantor dan kampus, serta banyak hal yang dapat dikaitkan dengan burnout dan motivasi berprestasi akademis. DAFTAR PUSTAKA Amir, Y. (1985). Hubungan antara Locus of Control dengan Motivasi Berprestasi Siswa SMAN 07 Jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Atkinson, J. W. (1964). An Introduction to Motivation. Princeton: Van Nostrand. Asnawi, S. (2002). Teori Motivasi Dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press. Azwar, S. (1996). Tes Prestasi Fungsi Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brewer, E. W., & Clippard, L. F. (1996). Burnout and job satisfaction among student support services personnel. Human Resource Development Quarterly. http://web.utk.edu/~ewbrewer. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Brian, D. (1999). Burnout in Academic World: Teacher and Working Studentst. www.uqjpsp.com/article. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007. Briscoe, M. L. (1984). Reflections On Academic Burnout. www.ade.org/ade/bulletin. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007
ADE
Buletin.
Chaplin, J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa: Kartini Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O’Driscoll, M. P. (2001). Organizational Stress: A Review and Critique of Theory Research and Aplications. California: Sage Publications Inc. Cherniss, C. (1980). Staff Burnout: Job Stress In Human Services. London: Sage Dwivedi, R. S. (1981). Dynamics of Human Behavior at Work. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Farber, A. B. (1991). Crisis In Education: Stress and Burnout In The American Teacher. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. Gage, N. L., & Berliner, D. C. (1992). Educational Psychology. 5th Edition. Boston: Houngton Mifflin Company. Hollyforde, S. & Whiddett, S. (2003). The Motivation Handbook. Mumbai: Jaico Publishing House. Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. New York: McGraw Hill Book Company. Juvonen, J. (2003). Motivation Analysis in Prediction of Four Year College Academic Achievement. www.overbooked.org/gpapredict.htm. Diakses hari Selasa, 20 Maret 2007. Kreitner, R. & Kincki, A. (2005). Perilaku Organisasi. Edisi 5. Buku 2 Indonesia. Alih Bahasa: Erly Suandy . Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Maslach, C. (2001). Annual Review of Psychology: Job Burnout. www.anualreviews.org/maslach_01. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. McClelland, D. C., Atkinson, J. W., Clark, R. A., & Lowell, E. L. (1953). The Achievement Motive. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc. McClelland, D. C. (1961). The Achieving Society. Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc. Miller, D. (2000). Dying to Care? Work, Stress and Burnout in HIV/AIDS. New York: Routledge the Taylor & Francis Group. Morgan, C. T., King, R. A., Weisz, J. R., & Schopler, J. (1986). Introduction To Psychology: International Edition. Singapore: McGraw Hill.
Oktarina, A. (2002). Hubungan Persepsi Siswa terhadap Dukungan Sosial Orang Tua, Guru, dan Teman dengan Motivasi Berprestasi pada Siswa SLTP Peringkat Tinggi dan Peringkat Rendah. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Orsgaz, J. M., Orsgaz, P. R., Whitmore, D. M. (2001). Learning and Earning: Working in College. www.brockport.edu/car01.htm. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Papalia, D. E., & Olds, S. W. (1992). Human Development. 5th Edition. New York: McGraw Hill Inc Patient Information Publications. (1997). Burnout in Medical College Student. http://www.patient.co.uk. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Pines, A. & Aronson, E. (1989).Career Burnout: Causes and Cures. New York: The Free Press Potter, B. (2006). The Burnout Sindrom. www.rwbo_rsh.edu/index/rc_12743.php. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Prasetyo, B. & Jannah, L.M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Reksoatmodjo, T. N. (2007). Statistika untuk Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Refika Aditama. Repak, N. (2005). Burnout: Emotional Fatigue and Coping in Academic Student. www.gradresources.org/article. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007 Riyanti, B. P. & Prabowo, H. (1998). Psikologi Umum 2. Jakarta: Penerbit Gunadarma. Sarafino, E. P. (1998). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 3rd Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc Sarwono, S. W. (1981). Penggeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Penelitian terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: Rajawali. Santrock, J. W. (1990). Adolesence. 4th edition. New York: Wm C. Brown Publisher. Schaufeli, W. B., Maslach, C., & Marek, T. (1993). Profesional Burnout: Recent Developments In Theory and Research. Washington DC: Routledge the Taylor & Francis Group. Spickard. (2001). Working College Students: Health, Educations and Burnout. www.mc.vanderbilt.edu/root. Diakses hari Jumat, 3 Maret 2006. Steinberg, L. (1993). Adolesence. 5th edition. New York: McGraw Hill Inc.
Stella, S. R. (2004). Hubungan antara Stress Kerja dengan Motivasi Berprestasi pada Mahasiswa yang Bekerja Paruh Waktu. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta. Unika Atmajaya. Sternberg, R. J., & Grigorenko, E. L. (2000). Teaching for successful intelligence. Arlington Heights, IL: Skylight Training and Publishing Inc. Sutjipto. (2001). Apakah anda mengalami Burnout. www.depdiknas.go.id/jurnal/32/apakah_anda_mengalami_burnout.htm. Diakses Jumat, 3 Maret 2006 Taylor, S. E. (1999). Health Psychology. 4th Edition. Singapore: McGraw Hill Inc Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan Development. 5th edition. Orlando: Holt, Rineheart & Winston, Inc. Usman, H. & Akbar, P. S. (2003). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Usman, R. (2001). Kampus sebagai Institusi Pencerahan. Aceh Timur: Pemda tingkat II Aceh Timur. Wally, N & Hubby, G. (2000). Working Student and Education Problem. http://ericae.net/edo/ED414521.htm. Diakses hari Jumat, 3 Maret 2006. Wikipedia. (2005). Global Industry. www.wikipedia.com/glob_histry. Diakses hari Selasa, 20 Maret 2007. Winkel, W. S. (1991). Psikologi Pengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Wood, S. N., Armstrong, D. P. (1999). Working Student and Job Burnout: Academic Problem and Job Dissatisfaction Studies. www.troubleatwork.org.uk. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007.