RELASI SIMBIOSIS MUTUALISME DAN TRANSAKSIONAL (RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON DPR DAPIL 1 SUMATERA UTARA) MURYANTO AMIN
Muryanto Amin RELASI SIMBIOSIS MUTUALISME DAN TRANSAKSIONAL (Kasus Relasi Organisasi Pemuda Dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara), ISBN 978-‐602-‐17785-‐1-‐7 Cetakan Pertama, Januari 2015 Vote Institute Hak cipta dilindungi oleh undang-‐undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit, kecuali kutipan singkat untuk resensi atau penelitian ilmiah di luar tujuan komersil.
PENGANTAR Buku berjudul Relasi Simbiosis Mutualisme dan Transaksional (Kasus Relasi Organisasi Pemuda Dengan Calon DPR Dapil 1 Sumatera Utara) merupakan hasil penelitian Program Hibah Bersaing yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Tahun 2014. Judul penelitian yang dipilih dilatari oleh prilaku subyektif kelompok organisasi pemuda di Sumatera Utara dalam memberikan dukungan kepada salah seorang calon anggota DPR pada saat Pemilu 2014. Prilaku subyektif tersebut dilakukan hanya untuk mengutamakan kepentingan kelompok dan pribadi para elit kelompok tersebut. Relasi antar tokoh dalam aktivitas politik seperti memilih calon anggota legislatif menjadi ukuran untuk memastikan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal berjalan dengan baik. Salah satu ukuran baik atau buruknya kualitas pemilu ditentukan oleh tingkat kesadaran yang bersumber dari tokoh organisasi pemuda. Pilihan organisasi pemuda dianggap penting karena mereka memiliki peluang yang besar untuk menentukan arah pembangunan di Sumatera Utara. Begitu pula realisasi tanggung jawab para anggota legislatif yang terpilih untuk membangun daerah pemilihannya ditentukan oleh kekuatan pengawasan dari tokoh pemuda. Semakin ketat pengawasan dari tokoh pemuda maka akan semakin baik tanggung jawab politik anggota DPR terhadap daerah pemilihannya. Justru, temuan dalam penelitian ini menjelaskan relasi yang terjalin dilakukan atas dasar hubungan simbiosis mutualisme (salin menguntungkan) dengan cara transaksional atau menggunakan uang untuk mendapatkan suara. Pola relasi yang menjadi lokasi penelitian adalah Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi. Pentingnya pemilihan Dapil Sumut 1 karena selalu menjadi ukuran representasi Sumatera Utara terkait besar dan heterogennya jumlah pemilih. Terungkapnya pola relasi tersebut akan membantu menyusun model pendidikan politik bagi organisasi pemuda di Sumatera Utara. Selain itu, juga akan membantu membuat indikator tanggung jawab politik anggota legislatif terpilih yang akan dijadikan pedoman bagi organisasi pemuda dalam mengawasi tugasnya. Buku ini akan memberikan kontribusi dalam menjelaskan pentingnya meningkatkan kesadaran politik bagi tokoh organisasi pemuda untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemilihannya. Pada awal Bab buku ini menjelaskan tentang hambatan konsolidasi demokrasi tingkat lokal yang sedang berlangsung di Indonesia. Hambatan tersebut di antaranya adalah bentuk transaksional yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR. Asumsi tentang
adanya hambatan itu dilihat dari beberapa perspektif teoritis seperti Teori Bos Lokal dan Patron Klien dan untuk mendapatkan data pembuktiannya dilakukan dengan metode kualitatif. Bab 2 akan menjelaskan profil lokasi penelitian dan objek yang diteliti. Bab 3 menguraikan tentang pola relasi yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR yang ingin dimenangkan dalam Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1. Buku ini juga masih menjadi tulisan yang harus didiskusikan oleh para pemerhati dan pelaku pemilu, tokoh dan pengurus organisasi pemuda, serta para akademisi yang mengabdikan ilmunya untuk melihat konteks lokal dalam mempercepat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tentu saja, penulis menerima berbagai saran dan masukan guna memperbaiki isi buku ini agar semakin mendekati sempurna karena wujud prilaku masyarakat dalam merespon pemilu berlangsung sangat dinamis. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dari penulis kepada para narasumber yang memberikan informasi dari pengalaman dan pengamatannya pada saat berlangsungnya Pemilu 2014. The last but not least, para tim pendukung yang telah membantu penulis mencarikan bahan dan narasumber, tanpa mereka buku ini tidak akan menjadi goresan tulisan yang mudah didapatkan. Thank you for all of you my team. Medan, Januari 2015
Muryanto Amin
DAFTAR ISI
PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1 MOTIF YANG MELATARI SIMBIOSIS MUTUALISME DAN TRAKSAKSIONAL DALAM PEMILU 1.1. Hambatan Konsolidasi Demokrasi Organisasi Pemuda ………………………………………………………….. 1.2. Permasalahan Relasi Pemberian Dukungan ……... 1.3. Perspektif Teori ……………………………………………... 1.4. Penelitian Terdahulu …………………………………........ 1.5. Metode Penelitian …………………………………………… 1.6. Bagan Penelitian …………………………………………….. BAB 2 PEMILU & PROFIL DAERAH PEMILIHAN SUMUT 1 DPR & ORGANISASI PEMUDA 2.1. Dasar Penentuan Daerah Pemilihan ………………. 2.2. Sejarah Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Sosial, dan Penduduk di Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI Provinsi Sumatera Utara ………………………………………………. 2.3. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara ……… 2.4. Profil Organisasi Pemuda di Sumatera Utara …….. 2.5. Pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 di Dapil Sumut 1 DPR RI ………………………………….. BAB 3 RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PADA PEMILU 2014 3.1. Tokoh Pemuda dan Calon Anggota DPR Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 ……………………… 3.2. Bentuk Transaksi Antara Calon Legislatif dan Tokoh Pemuda ……………………………………. 3.3. Pola Relasi Simbiosis Mutalisme dan Transaksional di Sumut …………………………… 3.4. Pentingnya Pendidikan Politik ……………………. BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan ……………………………………….. 4.2. Rekomendasi ………………………………………
1 6 7 16 18 22 23 26 35 42 56 61 76 82 87 91 93
Demi Konsolidasi Demokrasi Lokal di Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Hambatan Konsolidasi Demokrasi Organisasi Pemuda Penerapan demokrasi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun lokal.1 Kebijakan desentralisasi menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk memilih kepala daerah secara langsung. 2 Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif, terdapat beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya kesetaraan politik (political equality) 3 dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi sebagian permasalahan mendasar 1
Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan gubernur, walikota dan bupati yang dipilih secara demokratis. 2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu 2 Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. hal. 1 dan 13. 3 Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.
1
yang
dihadapi
banyak
negara
berkembang
dalam
menerapkan
desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang lebih baik.4 Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di Asia Tenggara. Hampir menjadi keniscayaan bahwa tidak adanya korelasi antara desentralisasi, demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang-orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan umum, perpajakan, dan lain sebagainya. 4
Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press.
2
Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam studi relasi negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal5 pada dekade 1980-an, yaitu sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien
(klientelisme),
antara
orang
kuat
lokal
dengan
masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga utama dukungan terhadap
kekuasaan
mereka.
Hanya
penggunaan
kekerasan
dan
intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan jauh lebih menonjol dalam menggambarkan hubungan antara orang kuat lokal dan pendukungnya.6 Temuan
Sidel
di
Indonesia
juga
menyimpulkan
bahwa
penyelenggaraan Pemilu 1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada individu tertentu yang kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism). 7 Mereka memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat birokrasi pemerintah 5
Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press. 6 Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos. 7 Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78.
3
lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan-keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan kepentingan para mafia lokal tersebut. 8 Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan.
9
Situasi itu telah
membawa para aktor lokal ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah ketika otonomi daerah diberlakukan.10 Menjelang Pemilu 2014 di Sumatera Utara, aktor lokal tersebut memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi yang diterapkan. Para aktor lokal yang dimaksud adalah pimpinan anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi mahasiswa, organisasi keagamaan, dan lain sebagainya. Sementara, demokrasi tidak akan berkembang kalau tidak ada para demokrat yang mendukungnya. 8
John T. Sidel. “Bosisme ….” Ibid. hal. 96-97; Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. 9 Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 10 Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. hal. 235-253.
4
Seorang demokrat adalah warga negara yang memiliki pengetahuan dasar tentang demokrasi, mengenal nilai-nilai demokrasi, punya komitmen terhadap nilai-nilai tersebut, memiliki keterampilan menerapkannya dalam kegiatan politik dan kehidupan sehari-hari. Para tokoh demokrat sejatinya harus dapat ditemukan dalam daftar kader partai politik yang ditawarkan kepada para pemilih untuk menjadi anggota legislatif maupun eksekutif di daerah (bupati/walikota dan gubernur). Tokoh partai politik dan pimpinan organisasi masyarakat seharusnya memiliki relasi positif dalam kaitan mengatasi persoalan masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Kenyataan yang sering ditemui di Sumatera Utara adalah tidak begitu jelas apakah setiap parpol punya mekanisme seleksi caloncalonnya, yang menjamin mereka yang direkut sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif mempunyai perlengkapan sebagai seorang demokrat. Sementara beberapa organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara, merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu. Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering disebut sebagai preman11 karena tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan” lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang. Namun, pada saat 11
Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman mengalami perubahan yaitu sebagai orang, individu, atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti dan hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakantindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme. Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41.
5
yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini. Kondisi tersebut, dalam aktivitas Pemilu 2014, diasumsikan akan melahirkan relasi antara tokoh partai politik dan pimpinan organisasi masyarakat yang berlangsung secara transaksional. Transaksi yang terjadi di antara para tokoh tersebut adalah kesepakatan untuk saling menukar berupa material (uang atau bantuan barang lainnya yang dibutuhkan) dengan perolehan suara atau untuk menduduki jabatan publik tertentu di pemerintahan seperti kepala dinas agar lebih mudah mendapatkan dana proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) jika terpilih menjadi anggota legislatif.12 1.2. Permasalahan Relasi Pemberian Dukungan Penelitian ini akan berupaya menjelaskan pola relasi yang terjadi di antara tokoh organisasi pemuda dengan pilihan mereka kepada para calon anggota legislatif DPR-RI yang berasal dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1). Pilihan organisasi pemuda dianggap penting karena mereka memiliki peluang yang besar untuk menentukan arah pembangunan di Sumatera Utara. Sedangkan alasan pentingnya pemilihan Dapil Sumut 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi) karena partai politik menganggap daerah pemilihan 12
Saat reformasi bergulir, para aktor lokal pendukung Orde Baru menguasai panggung politik dan memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara. Lihat Muryanto Amin. 2013. ”Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
6
tersebut sebagai daerah yang selalu menjadi ukuran representasi Sumatera Utara.13 Selain itu, alasan pilihan untuk calon anggota legislatif DPR-RI karena besarnya jumlah pemilih yang mereka temui.14 Untuk menguji asumsi tentang adanya pola relasi yang saling menguntungkan tersebut, maka penelitian ini akan menjawab sejumlah pertanyaan berikut: 1. Siapa saja tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI dari Dapil Sumut 1 yang menjalin relasi untuk pemenangan Pemilu 2014? 2. Seperti apakah bentuk transaksi yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 tersebut dalam Pemilu 2014? 3. Bagaimana pola relasi yang terjalin di antara pimpinan organisasi pemuda dengan para calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 tersebut? 1.3. Perspektif Teoritis Patrimonialisme merujuk pada paham mengenai bentuk-bentuk hubungan yang menganggap seseorang patron menjadi pemimpin kelompok yang didasarkan atas kaitan personal. Nathan Quimpo memperjelas istilah patrimonialisme “as a type rule in which the ruler does not distinguish between personal and public patrimony and treats matter and resources of state as his personal affair” 15 (sebagai jenis aturan di mana penguasa tidak membedakan antara warisan pribadi dan publik dan memperlakukan masalah dan sumber daya negara sebagai 13
Hasil diskusi informal dari pimpinan partai politik di Sumatera Utara yang menegaskan bahwa Sumut 1 dapat merepresentasikan keinginan masyarakat Sumut (pedesaan maupun perkotaan). Sumut 1 sering disebut “Dapil Neraka” karena para calon legislatifnya saat ini sebagian besar masih tercatat sebagai anggota DPR-RI (calon petahana). 14 Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi besaran luasnya mencapai 4.703,01 KM persegi dan jumlah pemilihnya 3.626.000 jiwa dari total pemilih sebanyak 9.736.732 jiwa. 15 Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. JanuariMarch.
7
urusan pribadi). Dalam hubungan kekuasaan, patrimonialisme menjadi bentuk hubungan timbal balik antara pemimpin (patron) dan bawahan (klien) yang loyal kepadanya. Bentuk-bentuk hubungan patron klien dijelaskan oleh James C. Scott sebagai berikut, “The patron-client relationship–an exchange relationship between roles–may be defined as a special case of dyadic (two person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefit, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal, to the patron”.16 Dalam konteks hubungan patron-klien, posisi seorang patron memiliki sumber yang melebihi baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang klien. Posisi itu menyebabkan seorang patron mampu mempengaruhi sikap dan prilaku klien. Sebaliknya, klien mengakui dan menerima sumber yang dimiliki patron sehingga bila mempengaruhi klien, maka klien akan menerima dan mengakui pengaruh tersebut secara sadar atau sukarela. Sifat hubungan patron-klien didasarkan atas pertukaran yang tidak seimbang karena adanya perbedaan status di antara keduanya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut membuat klien merasa berhutang budi dan membalas jasa baik kepada patron. Hubungan yang bersifat personal itu kemudian akan menciptakan loyalitas, kepercayaan dan kasih sayang yang diberikan di antara mereka serta bersifat fleksibel dan tanpa batas waktu. Scott kemudian menjelaskan bahwa kelompok patron-klien bisa berbentuk gugus (patron-client cluster) yaitu seorang patron dengan beberapa orang klien. Kelompok patron-klien bisa juga berbentuk 16
James C. Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972). hal. 92.
8
gabungan dari berbagai gugus patron-klien yang dipimpin oleh seorang patron sebagai patron tertinggi (patron-client pyramid). Di bawah patron tertinggi itu, terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi sejumlah klien. Seorang klien dari patron tertinggi juga menjadi seorang patron bagi beberapa orang klien. Dalam bentuk piramid itu, ada beberapa patron kecil yang menjadi klien patron tertinggi dan mempunyai beberapa klien sendiri.17 Maswadi Rauf menjelaskan tentang faktor penting dalam kelompok patron-klien adalah hubungan kekuasaan. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, materi, maupun kemampuan yang tidak dimiliki oleh para klien. Kemampuan patron untuk memberikan perlindungan dan kebutuhan hidup kepada orang lain menjadi penyebab orang lain itu bersedia menjadi kliennya. Dalam relasi kekuasaan, patrimonialisme tidak hanya berlangsung atas dasar ekonomi atau kekayaan tetapi juga berdasarkan hubungan yang bersifat inklusif dari semua bidang kehidupan. Pada awalnya yang menjadi patron adalah tuan tanah yang memiliki tanah yang luas untuk pertanian. Sedangkan para kliennya adalah para petani yang menggarap tanah tersebut dan memperoleh perlindungan serta sumber kebutuhan hidup dari patron. Sebaliknya, para petani memberikan dukungan fisik kepada patron termasuk berperang melawan musuh patron. Pada masa modern, sumber kekuasaan patron telah bergeser dari kepemilikan tanah kepada kekuasaan bidang pemerintahan dan politik. Jabatan pemerintahan dan politik menjadi sumber patron untuk memberikan pengaruh dan penguasaan sumber-sumber daya dalam jumlah besar kepada pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh politik. Pengaruh itu digunakan oleh mereka untuk menarik sejumlah orang 17
Ibid. hal 96. Lihat juga penjelasan Maswadi Rauf. 2005. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi. hal. 99.
9
menjadi kliennya. Seorang patron akan memberikan atau membantu mendapatkan jabatan pemerintahan dan politik kepada para klien yang membutuhkannya. Atas bantuan itu, para klien diharuskan memberikan dukungan politik dan membantu patron untuk mempertahankan, memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik mereka. Bentuk hubungan ini disebut sebagai patrimonialisme baru (new patrimonialism).18 Kecenderungan
hubungan
patron-klien
dalam
masyarakat
Indonesia masih sangat kuat. Dwight King menjelaskan praktik new patrimonialism pada masa pemerintahan Orde Baru yang dijabarkannya dalam konsep rejim otoriter bercirikan tingkat korporatisme yang begitu tinggi. King menjelaskan, berbagai kelompok di dalam institusi negara dan masyarakat sipil selalu dihubungkan dengan para pemimpin negara yang dianggap sebagai patron besar. Bentuk korporasi kelompokkelompok masyarakat selau merujuk kepada seorang pemimpin dan representasi kepentingan kelompok masyarakat itu berada kuat di bawah pengaruh Presiden Soeharto yang paternalistik.19 Ikatan-ikatan patron-klien yang masih kuat di Indonesia pada akhirnya menjadi landasan bagi pembentukan kekuasaan politik. Untuk kepentingan penelitian ini, teori Scott tentang hubungan patron-klien dan Maswadi Rauf mengenai patrimonialisme baru itu akan digunakan untuk melihat bentuk jaringan patronase yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara. Jaringan patronase yang dimaksud adalah pola relasi antara tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dengan para anak buahnya dan relasi antara tokoh organisasi pemuda dengan partai politik dan calon anggota legislatif. 18
Ibid. hal. 100. Dwigth King. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to The Debate. Ithaca. New York: Cornell University Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62).
19
10
Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik, ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda kepentingannya. Masaaki dan Rozaki menyebut kelompok yang berperan, setelah
rezim
Orde
Baru,
sebagai
kelompok
yang
bersaing
memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan (struggle of Gods).20 Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah
Orde
Baru.
Mereka
hadir
dengan
memanfaatkan
ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan. Masaaki dan Rozaki juga menjelaskan bahwa keberadaan kelompok kekerasan non-negara terjadi bukan karena negara yang 20
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. hal. xvi.
11
mengizinkannya tetapi karena negara yang tidak bisa menolak keberadaannya, atau lebih tepatnya, negara yang membutuhkannya. Kehadiran kelompok masyarakat seperti itu, menghambat jalannya laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku (frozen democracy) karena peran kaum reformis kalah kekuatannya dengan kelompok kepentingan yang mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik. Kondisi ini berimbas pula pada adanya
potret
buram
lembaga
DPRD
yang
belum
mampu
mengejawantahkan sebagai koridor penampung aspirasi masyarakat. Proses penegakan hukum yang lemah, tentu saja, menjadi modal politik bagi mereka yang memiliki akses dan kapasitas di dalam memanfaatkan kekerasan dan ancaman kekerasan sehingga sangat berguna untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.21 Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran negara yang tidak lagi dominan, namun hanya menjadikan pemerintah sebagai fasilitator. Oleh karena itu, memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi kelompok masyarakat sebagai stake holders. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengendorkan peran perlindungan negara atas warganya dan sebaliknya kelompok masyarakat yang memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari pemain utama.22 Dalam konteks penelitian ini, teori Masaaki dan Rozaki akan digunakan untuk membantu merumuskan kerangka berpikir ketika melihat keberadaan organisasi pemuda di Sumatera Utara dengan segala aktivitas yang cenderung dalam kasus memberikan dukungan kepada calon anggota DPR-RI. Melalui organisasi pemuda di Sumatera Utara, para anggota dan kadernya bisa muncul menjadi tokoh yang turut 21 22
Ibid. Ibid.
12
berpengaruh dalam aktivitas politik seperti Pemilihan Umum meskipun keterlibatannya terkait pada soal perlindungan keamanan dan kekuatan uang. Eksistensi kelompok kekerasan dalam masyarakat tidak terlepas dari para aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau bossism kembali menjadi pembahasan pada saat John T. Sidel, profesor Ilmu Politik di University of London, menjelaskan fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi negara dan masyarakat pada tingkat lokal.23 Sebelumnya, fenomena munculnya orang kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin, di mana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Setiap masyarakat memiliki social capacity yang memungkinkan mereka menerapkan aturan main mereka tanpa dapat diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara untuk mengontrol melemah, maka para strongmen menapakkan kekuasaannya dalam tingkatan lokal atau wilayah yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Migdal, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui para pemimpin formal dan birokrat lokal disebabkan berkembangnya struktur masyarakat yang mirip jaringan.24 Penjelasan yang berbeda dari Migdal dikemukakan oleh John T. Sidel, dari hasil penelitiannya di Filipina, Thailand, dan Indonesia. Dari penelitian itu, Sidel menyebut istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol 23
Istilah local strongmen tersebut dipopulerkan oleh Migdal, sedangkan Sidel menggunakan istilah local bossism. John T. Sidel. 2005. “Bosisme ….”, Op. Cit. 24 Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform and Capabilities in the Third World. Princenton University Press. Meskipun di buku yang terakhir pembahasan mengenai orang kuat lokal agak terbatas, namun intinya tetap sama.
13
monopolistik terhadap kekuatan paksaan dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.25 Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol pusat terhadap daerah pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Kondisi tersebut telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.26 Berkembangnya bosisme lokal, menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan. Otonomi daerah sejatinya bukan hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik kewenangan, dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. 25 26
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 72-74. Ibid. hal. 85.
14
Sedangkan hubungan antara negara dan masyarakat menunjukkan akses yang sama dalam ikut serta mempengaruhi proses kebijakan.27 Dalam menganalisa relasi tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dalam penguasaan politik lokal, teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Sidel. Teori Sidel tentang local bossism membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan cara-cara penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para tokoh organisasi pemuda. Fenomena munculnya kelompok kekerasan dan bos lokal pada panggung politik di Sumatera Utara justru terkait dengan kebijakan otonomi daerah. Mereka adalah orang-orang, yang pada masa Orde Baru, memperoleh banyak keberuntungan. Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal. Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh organisasi pemuda di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan. Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus relasi tokoh organisasi pemuda dalam mendukung calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 pada Pemilu 2014.
27
Ketiga nilai tersebut adalah political equality, accountability, dan responsiveness. Lihat dalam Brian C. Smith. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: Allen & Unwin. hal. 24-30.
15
1.4. Penelitian Terdahulu Penelusuran literatur terhadap topik yang relevan dengan fokus studi ini dilakukan pada jurnal ilmiah di internet, buku serta publikasi cetak lainnya. Buku yang ditulis oleh Colombijn dan Lindblad berjudul ”Indonesia is a violent country” menyimpulkan bahwa penanganan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak dan aturan main mengenai keamanan dan kekerasan belum juga muncul. Oleh karena itu, pemerintah pusat mencoba mengikis organisasi masyarakat yang cenderung menggunakan kekerasan dengan merevisi undang-undang mengenai organisasi masyarakat.28 Buku lain yang disunting oleh Okamato Masaaki dan Abdur Rozaki berjudul ”Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi” membedah tentang kemunduran negara (retreat of the state) di bidang keamanan dan kemunculan broker keamanan dan kelompok kekerasan dengan mengangkat beberapa kasus di Jakarta, Banten, Kalimantan Barat dan Bali.29 Setiap kasus memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Tulisan Okamoto Masaaki memperlihatkan dua jenis broker keamanan yang memiliki corak yang sangat berbeda di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk memberikan jasa pengamanan bagi mereka yang membutuhkan, walau keduanya muncul karena adanya ketidakamanan pada pasca pemerintahan Soeharto. Kondisi itu terjadi karena hubungan antara negara dan masyarakat dari segi keamanan tidak jelas lagi.30 Tulisan Untung Wahyono mengenai ”Jagoan Betawi dari Cakung” menguraikan kelompok kekerasan yang sangat mengemuka di DKI yaitu Forum Betawi Rempug (FBR) yang melakukan intimidasi dengan cara 28
Freek Colombijn dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS. 29 Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. 30 Okamoto Masaaki. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 1-18.
16
kekerasan untuk menghimpun dana kepada perusahaan, pedagang, supir angkutan umum dan warga di Jakarta dan Bekasi. Ketika berlangsung pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, FBR ikut mendukung salah satu kandidat. 31 Di daerah Banten artikel Abdul Hamid yang berjudul ”Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten” menjelaskan dominannya kelompok jawara pada bidang politik dan ekonomi di Banten yang mengakibatkan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elit saja.32 Kondisi kekerasan terjadi juga di Madura, tulisan Abdur Rozaki menggambarkan para blater dan kyai muncul sebagai pemain politik dari tingkat kabupaten hingga desa. Mereka menjalin hubungan dengan para politisi dan birokrasi menggunakan pola simbiosis mutalisme, hingga sulit bagi munculnya kelompok kritis yang mengoreksi kesalahan jalannya pemerintahan lokal.33 Penelitian I Ngurah Suryawan di Bali menjelaskan revitalisasi adat melahirkan penjaga keamanan ’tradisional’ yaitu pecalang sebagai tradisi yang terbuat (invented tradition). 34 Di wilayah Kalimantan juga terbentuk kelompok kekerasan dengan nama headhunter Dayak. Dari tulisan John Bamba terlihat bahwa di kalangan masyarakat Dayak sendiri, militerisme juga sudah mulai merambah.35 Meskipun terdapat penelitian yang membahas mengenai kelompok kekerasan dan orang-orang yang berpengaruh, namun penelitian yang secara khusus dilakukan mengenai politik premanisme (political
31
Untung Widyanto, “Jagoan Betawi dari Cakung.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 21-41. 32 Abdul Hamid. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 45-63. 33 Abdur Rozaki. “Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal.67-89. 34 I Ngurah Suryawan. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok Milisi di Bali. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 91-114. 35 John Bamba. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal.115-125.
17
gangster) di kota Medan dan Jakarta hanya dilakukan oleh Loren Ryter (1998) dan Vedi R. Hadiz (2005).36 Perbedaan studi ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, fenomena munculnya kelompok kekerasan dan tokoh lokal yang cukup kuat di Indonesia terjadi dengan pola yang berbeda-beda. Studi ini akan menjelaskan bahwa di Sumatera Utara, fenomena kemunculan tokoh lokal yang cukup kuat bukan hanya berasal dari kekuatan individu berupa fisik, kekayaan atau patron semata, tetapi juga berasal dari kekuatan kelompok atau organisasi yang ada di antara organisasi sejenis dalam kehidupan masyarakat lokal. Kedua, studi sebelumnya tidak membahas mengenai fenomena muncul, bertahan dan berhasilnya tokoh lokal yang mampu menggerakkan organisasi untuk kepentingan mereka di antara kelompok masyarakat lainnya saat pemilihan kepala daerah secara langung. Studi terdahulu dilakukan sebelum pemilihan langsung kepala daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, studi ini akan membahas secara khusus tentang fenomena tersebut dengan mengambil kasus Pemilu 2014 di Dapil Sumatera Utara 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi). 1.5 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus sebagai strategi penelitian. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik atau utuh. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam studi ini menggunakan bagaimana maka pilihan studi kasus sebagai strategi penelitian menjadi relevan. Pilihan pendekatan kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
36
Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?” Indonesia, 66, Oktober.; Vedi R. Hadiz. Op. Cit.
18
fenomena sosial yang sedang terjadi. 37 Oleh karena itu, tipe penelitian ini menggunakan strategi studi kasus yang eksplanatoris. Keleluasaan dan akses yang dimiliki pada peristiwa yang diteliti masih ada. Misalnya, peneliti bisa menghubungi pelaku yang diteliti untuk mengadakan wawancara. Berbeda dengan penelitian tipe historis yang berkenaan dengan masa lampau, yakni bila tidak ada lagi saksi hidup yang bisa dihubungi. Studi kasus dipergunakan untuk melacak peristiwa masa kini, yaitu terkait salah satu tema penting tentang kekuasaan dan politik lokal di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara yaitu organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila (PP) Sumatera Utara, Ikatan Pemuda Karya (IPK) Sumatera Utara, dan Forum Komunikasi Putra/i Punawirawan Indonesia (FKPPI) yang berkedudukan di Sumatera Utara. Para calon anggota DPR-RI dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) yaitu Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi. Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio, pengambilan foto atau film.38 Dalam penelitian ini, sumber data utama yang digunakan adalah
kata-kata
dan
tindakan
orang-orang
yang
diamati
dan
diwawancarai dari pimpinan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara atau tokoh lainnya yang berkaitan. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu, pertama, dokumentasi dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada, baik berupa dokumen kebijakan, makalah, jurnal, atau buku-buku hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan dinamika politik lokal 37
K. Robert Yin.. 2000. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal.1. J. Lofland. 1971. Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. Belmont, CA: Wadsworth. hal. 112.
38
19
di Sumatera Utara serta berkaitan dengan aktivitas organisasi pemuda dan calon anggota DPR-RI Periode 2014-2019 Dapil Sumut 1 dengan kelompok lainnya. Kedua, wawancara mendalam. Data juga diuraikan dan dianalisis melalui teknik wawancara mendalam (depth interview) dengan 15 informan dari pimpinan organisasi pemuda baik di tingkat lokal dan nasional serta individu yang terlibat atau berkaitan dengan aktivitas politik di Sumatera Utara. Wawancara diutamakan kepada informan kunci (key informant) dan infomasi selanjutnya diperoleh dari pilihan informan lainnya dengan cara snawball. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh dan pengurus Pemuda Pancasila (PP) Sumatera Utara, Ikatan Pemuda Karya (IPK) Sumatera Utara dan FKPPI Sumatera Utara. Informan kunci lainnya adalah pimpinan partai politik di Sumatera Utara serta calon anggota DPR-RI dari Dapil Sumut 1 (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi) yang menjalin relasi dengan tokoh organisasi pemuda saat Pemilu 2014. Ketiga melakukan observasi untuk memberikan dimensi-dimensi baru sehingga dapat memahami konteks dari satu fenomena yang diteliti seperti foto-foto atau saat interaksi di antara elit Pemuda Pancasila dengan pengikutnya maupun kelompok lain, dan peristiwa lainnya yang berkaitan dan relevan dengan topik penelitian. Keempat, untuk mencari model pendidikan politik antara calon anggota legislatif dan kelompok organisasi pemuda akan dilakukan Diskusi Kelompok Terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dengan informan kunci dari tokoh organisasi pemuda, calon anggota DPR-RI, ilmuwan politik, tokoh pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. FGD akan dipandu langsung oleh peneliti dengan melakukan diskusi terbatas terkait pola relasi yang dilakukan antara tokoh organisasi pemuda dan calon anggota legislatif dalam meraih suara pada Pemilu 2014.
20
Data yang didapat baik berupa dokumen tertulis maupun hasil wawancara dan observasi akan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif teknik tipologi. Bogdan dan Taylor mengemukakan, bahwa metode analisa kualitatif sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun terucapkan dari pelaku yang diamati. 39 Analisis kualitatif dalam strategi tipologi merupakan usaha mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang
diperoleh.
Data-data
dikumpulkan
dan
diseleksi,
lalu
disederhanakan dengan mengambil intisarinya hingga ditemukan tema pokok, fokus masalah dan pola-polanya.40 Teknik analisa kualitatif dengan tipologi ini dilakukan berdasarkan interpretasi penulis atas data baik bahan tertulis, wawancara dan observasi. Kemungkinan hal mustahil yang diyakini penulis adalah bahwa seorang aktor yakin dan jujur akan apa yang dikatakannya. Sebab itu, untuk menghindari atau meminimalisasi kemungkinan adanya bias, maka penulis berusaha mencocokkan hasil wawancara antara satu narasumber dengan yang lainnya kemudian dari dokumen-dokumen yang ditemukan tentang keterlibatan organisasi pemuda dengan kelompokkelompok lainnya dalam memenangkan calon anggota DPR-RI Dapil Sumut 1 yang didukungnya pada Pemilu 2014.
39
Robert Bogdan & Taylor J. Steven. 1993. Metode Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. hal. 27-30. 40 J. Lofland. Op. Cit.
21
1.6. Bagan Penelitian Identifikasi tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPRD-‐RI Dapil Sumut 1
Bentuk kesepakatan yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dan calon anggota DPRD-‐RI
Pelaksanaan pemberian dukungan dan suara dari pimpinan organisasi pemuda kepada calon anggota DPRD-‐RI Dapil Sumut 1
Sesuai atau tidak sesuai dari rancangan kesepakatan
Pola relasi Tokoh Organisasi Pemuda dan Calon Anggota DPR-‐RI Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014
Model Pendidikan Politik bagi Organisasi Pemuda
22
BAB 2 PEMILU 2014 & PROFIL ORGANISASI PEMUDA DI SUMATERA UTARA 2.1. Dasar Penentuan Daerah Pemilihan Penentuan daerah pemilihan atau yang sering disingkat dengan Dapil dilakukan atas dasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan itu juga menetapkan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tercantum dalam lampirannya. Sementara penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU. Penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan untuk masingmasing lembaga perwakilan disusun secara proporsional. Para ahli merumuskan beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam melakukan penghitungan alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan.41 Prinsipprinsip
tersebut
yaitu
kesetaraan
populasi,
integralitas
wilayah,
kesinambungan wilayah, pencakupan wilayah (coterminus), kohesivitas penduduk, dan perlindungan petahana (preserving of incumbent). Prinsip kesetaraan populasi adalah harga kursi dibanding penduduk kurang lebih sama antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain. Ini juga bagian dari pemenuhan prinsip opovov (one person, one vote, one value)42 dalam pemilu demokratis. Oleh karena itu, prinsip tersebut harus ditempatkan sebagai prinsip nomor satu sehingga 41
Prinsip dalam penentuan alokasi kursi dan daerah pemilihan lihat Komisi Pemilihan Umum Indonesia. 2004. Pemilu Legislatif 2004. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. 42 Pengertian one person one vote one value sebagai pengganti one man one vote digulir oleh gerakan kritis kelompok Feminis. Lihat tulisan Pippa Norris. 2005. Radical Right: Voters and Parties in the Electoral Market. New York: Cambridge University Press.
23
bisa dihindari terjadinya diskriminasi politik, karena nilai suara/penduduk di
satu
daerah
pemilihan
lebih
murah/mahal
daripada
nilai
suara/penduduk di daerah pemilihan yang lain. Prinsip integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis. Secara umum pembentukan wilayah administrasi juga memperhatikan masalah ini, sehingga penggunaan wilayah administrasi sebagai peta dasar pembentukan daerah pemilihan sebagaimana dikehendaki UU No. 8/2012 tidak mengganggu penerapan prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah ini. Prinsip pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi. Prinsip ini untuk memudahkan penyaluran aspirasi secara berjenjang ke lembaga perwakilan, atau sebaliknya untuk memudahkan penggalian aspirasi ke bawah. Bagi pemilu Indonesia yang penyelenggaraan pemilu DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan secara serentak penerapan prinsip ini tidak hanya memudahkan partai politik dan calon anggota legislatif dalam berhubungan dengan konstituen di daerah pemilihan, tetapi juga memudahkan petugas pemilu dalam menjalankan tugasnya. Prinsip kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas. Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga perlu dijaga
24
agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di parlemen. Prinsip kohesivitas ini tidak begitu masalah diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPR, tetapi ketika diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPRD provinsi dan lebih-lebih lagi DPRD kabupaten/kota, khususnya di luar Jawa, menimbulkan masalah yang kompleks. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan kebijakan KPU dalam menetapkan daerah pemilihan. Terakhir prinsip perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu mayoritarian yang hanya memiliki 1 kursi di daerah pemilihan. Tentu tidak semua prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan pemilu demokratis tersebut bisa diterapkan dalam waktu bersamaan. Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk, menyebabkan penerapan satu prinsip bisa menegasikan prinsip yang lain. Oleh karena itu, penerapan prinsip tersebut selalu diurutkan berdasarkan prioritas. Prinsip kesetaraan populasi selalu menjadi prioritas pertama guna menghindari terjadinya diskriminasi politik. Prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah menjadi prioritas kedua, lalu disusul prinsip pencakupan wilayah, dan baru kohesivitas penduduk. Dalam konteks pemilu Indonesia, prinsip perlindungan petahana, bisa diabaikan. Demi menegakkan prinsip kesetaraan populasi, maka penghitungan alokasi kursi ke daerah pemilihan, dipergunakan metode penghitungan yang hasilnya proporsional. Dua metode proporsional yang dikenal
25
adalah metode kuota dan metode divisor.43 Metode divisor, khususnya varian Webster/St Lague dikenal paling proporsional dan tidak menimbulkan paradoks. Namun metode ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu dipaksakan penggunaannya dalam penyusunan daerah pemilihan. Untuk
memenuhi
prinsip-prinsip
yang
diinginkan
dalam
pembentukan Daerah Pemilihan, maka Dapil Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI di Provinsi Sumatera Utara terbentuk setelah melalui proses konsultasi publik yang ditetapkan sejak Pemilu 2004.44 Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk menjadi pertimbangan penting dalam menentukan empat daerah menjadi Dapil 1 DPR-RI. Posisi geografis empat daerah (Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi) berada di pinggir Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk dan keragamannya di masing-masing wilayah hampir memiliki kesamaan jika dilihat dari luasan wilayahnya. Bagian berikut akan menjelaskan sepintas sejarah dan dinamika demografi empat daerah tersebut. 2.2. Sejarah Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Sosial, dan Penduduk di Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 (Dapil Sumut 1) DPR-RI Provinsi Sumatera Utara Daerah Pemilihan 1 Provinsi Sumatera Utara pada saat penyelenggaraan Pemilu 2014 terdiri dari dua kota dan dua kabupaten yaitu Kota Medan dan Kota Tebing Tinggi serta Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Empat daerah tersebut merupakan daerah terbesar dari 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara baik dari luasan dan 43
Lihat Pipit Rochijat. 2004. Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004. Sumber diperoleh dari Watch Indonesia: The University of Michigan. Hal. 49. 44 Wawancara dengan Evi Novida Ginting, Anggota KPU Provinsi Sumatera Utara, Senin, 11 Agustus 2014, pukul 12.10 Wib, di Medan.
26
jumlah pemilihnya. Pertumbuhan ekonomi dan dinamika sosial di empat daerah tersebut sangat memengaruhi kelangsungan hidup masyarakat Provinsi Sumatera Utara. Kondisi itu terjadi karena pembentukan Provinsi Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah yang melatari sejak adanya Sumatera Timur sebagai wilayah sumber ekonomi perkebunan. Artinya, wilayah Dapil 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara dari sejarahnya merupakan bagian dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur. Sumatera Timur adalah daerah dataran rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km2. Karesidenan Sumatera Timur adalah wilayah administrasi Hindia Belanda di kawasan pesisir timur Sumatera bagian utara yang berdiri pada 1 Maret 1887, dikendalikan oleh seorang Residen di Medan, dan terdiri atas beberapa Afdeling, yang sekarang menjadi daerah kabupaten. Pertama, Afdeling Asahan berasal dari Kesultanan Asahan dan kini menjadi Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kedua, Afdeling Deli en Serdang Berasal dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang dan kini menjadi Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Ketiga, Afdeling Langkat berasal dari Kesultanan Langkat dan kini menjadi Kabupaten Langkat. Keempat, Afdeling Simelungun en Karolanden kini menjadi Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar Kekayaan alam Sumatera Timur terdiri dari hutan-hutan Payau (Mangrove) yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi Karo dan Simalungun itu membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan
27
endapan lumpur.45 Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis. Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga. Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat kerajaan. 46 Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928. Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya tradisional. 47 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun. 48 Etnis Melayu Pesisir Sumatera 45
Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34. 46 Orang Cina, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie (MBGD), 1912-1925. hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978. hal. 76. 47 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56. 48 Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87.
28
Timur mendiami daerah Pantai Timur Sumatera. Etnis Melayu yang dimaksud adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat budaya dan Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka. Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di bandar-bandar Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.49 Hubungan raja-raja Melayu dengan Pemerintah Belanda mulai intensif
ketika
Pemerintah
Belanda
melancarkan
politik
ekspansionismenya ke Sumatera pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh Belanda
semakin
kuat
setelah
Sultan
Serdang
(Basyaruddin)
menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Belanda pada tanggal 16 Agustus 1862. Perjanjian yang dikenal dengan Acte van Erkenning yang menyatakan
tentang
pengakuan
Sultan
Serdang
beserta
daerah
taklukkannya Padang Bedagai, Denai, Pertjoet, Perbaungan termasuk daerah kekuasaan Siak Sri Indrapura. Pada 1873, Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis.50 Mengingat
perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Sumatera
Timur, maka pada tahun 1887 ibukota Residensi Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Pada saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima Afdeling yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli, dan Batubara.51 49
Ibid. hal. 24. T. Luckman Sinar. 1986. Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Medan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. hal. 154. 51 Ibid. hal. 3-6. 50
29
Medan sebagai ibukota Residensi Sumatera Timur, menjadi tempat tinggal kaum elit kolonial yang terdiri dari orang-orang Eropa sebagai elit pemerintahan kolonial (European Wijk). Mereka bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli), dengan ciri-ciri Presiden Deli Mij dan dianggap lebih pantas untuk dihormati dari pada Gubernur Jendral Hindia-Belanda. Kota Medan dibangun dari susunan tata ruang (spatial arrangement) yang menampilkan wajah ganda yaitu pemukiman di pusat kota dihuni elit pemerintahan kolonial (European Wijk), khas, kasar, pemabuk, kurang adat, benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta. Kemudian pusat perdagangan yang dihuni oleh Orang Cina dan “Timur Asing” lainnya seperti Arab dan India. Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemukiman elit politis dan bisnis ini dihuni oleh Bumiputera. Memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan ke wilayah Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Pak-Pak Dairi. 52 Di antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Semua kontrak politik yang telah ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatera Timur yang membawahi lima Afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan. Langkat ibukotanya Binjai,
Simalungun
en
Karolanden
ibukotanya
Siantar,
Asahan
ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.
52
T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa tahun terbit. hal. 33-50, dan Mededeelingen. Op. Cit. hal. 549-564.
30
Masyarakat Sumatera Timur telah dijamin oleh penguasa Belanda sebagai penduduk asli dengan hak-hak istimewa atas tanah sesuai dengan hukum adat. 53 Hak istimewa inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat pendatang (migran). Dengan adanya penyusunan kembali wilayah kerajaan di Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang terpusat di Batavia. Ini bermakna bahwa Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Di samping itu, Belanda juga telah menghubungkan Sumatera Timur dengan Jawa. Dengan cara demikian Sumatera Timur telah memiliki identitas baru. Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda bersama-sama melakukan perubahan drastis54 dari kehidupan masyarakat Sumatera Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu. Secara nyata kekuasaan kolonial Belanda dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir semua raja-raja di Sumatera Timur. Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Perjanjian politik kontraknya dengan Pemerintah
Belanda,
masih
membolehkan
mereka
menjalankan
kekuasaan hukum adat mereka antara lain yang terpenting adalah tanah. Imbalan honorarium dari perubahaan perkebunan, terus menerus mengalir ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pajak-pajak ini masuk ke kantong pribadi para Sultan
53
Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978. 54 Mengenai perubahan itu, baca Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. hal. 77-126i; Mohammad Said. 1977 ‘Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Antara Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada; Karl J. Pelzeer, Op. Cit., him. 51-90.
31
dan Datuk-Datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium. Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini muncullah perubahan gaya hidup sebagian Sultan dan Bangsawan Sumatera Timur khususnya Melayu. Kaum bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya, sebelum datangnya Belanda, berada dalam keadaan yang melarat. 55 Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka telah mampu membangun istana-istana megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa.56 Gaya hidup kemewahan akhirnya menjadi prilaku keseharian para sultan tersebut. Para Sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut
tamu-tamu
penting
(orang-orang
Eropa).
Untuk
mununjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan yang berasal dari kelompoknya. Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit Eropa dan orang Cina dengan masyarakat Jawa yang menjadi buruh-buruh perkebunan. Dalam konteks yang sama juga terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit kerajaan dengan kaum petani di pedesaan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada masa kolonial benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Langenberg menggambarkan sebagai berikut. Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolonial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang
Eropa,
yaitu
pejabat-pejabat
kolonial,
administratur
perkebunan, dan para pengusaha. Kedua, keluarga 6 kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang dan Siak. Ketiga adalah 55
Tentang keadaan istana dan kehidupan kesultanan Melayu. pada masa itu lihat, Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 168-169 dan John Anderson. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, London: Oxford University Press. 56 Sultan Machmoed dari Langkat memiliki 13 mobil, Kuda Pacu, dan Kapal Secoci Pesiar. Anthony Reid. Op. Cit. 1987. hal. 89. Sultan Serdang memiliki 10 buah mobil pribadi, lihat pada Budi Agustono. 1993 “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal. 75.
32
para bangsawan Melayu dari kesultanan yang kecil, raja-raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat (dokter, pengacara, pejabat sipil kolonial senior), dan para pedagang kaya Cina, India, dan Indonesia.57 Sebagian besar penduduk Sumatera Timur tinggal di pedesaan. Mereka adalah para buruh perkebunan yang hidupnya sangat tertekan dan menderita.
Kehidupan
buruh-buruh
perkebunan
ini
sangatlah
menyedihkan, lingkungan kumuh, terancam kelaparan, dan kekurangan gizi. Para buruh perkebunan yang hidupnya miskin ini terus semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 1883 jumlah penduduk miskin mencapai 31.454 jiwa dan pada tahun 1932 meningkat lagi menjadi 336.000 jiwa. Mereka adalah para buruh perkebunan yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para majikan perkebunan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa para pendatang yang sebagian besar adalah kelompok usia muda inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerakan politik dan sosial di Sumatera Timur. Merekalah yang kemudian melancarkan kritik tajam terhadap kepincangan sosial, penindasan para buruh kebun dan kemapanan sistem feodalisme. Kritikan tajam, perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang menyebarkan isu-isu perlawanan, penolakan (negasi) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan sistem feodal yang dijalankan para penguasa saat itu. 58 Tokoh-tokoh pemuda di Sumatera Timur tampil di depan untuk melawan
57
Diterjemahkan dari Michael van Langenberg dalam Auderey R. Kahin. 1985. (ed.) Regional Dynamica of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii. hal. 115. Penduduk Sumatera Timur pada masa itu dibagi dalam empat lapisan orang Eropa, Timur Asing, Pribumi, dan kuli-kuli kebon. Staatsblad van Nederlandsch-Indie. 1939. No. 146. 58 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan.
33
penguasaan dan pengelolaan tanah yang dilakukan para Sultan dengan pemerintah kolonial Belanda. Dinamika perkembangan penduduk Sumatera Timur hingga menjadi Provinsi Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kota Tebing Tinggi. Saat ini, empat daerah tersebut menjadi ukuran dalam mencermati dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Sumatera Utara. Tabel 2.1. Jumlah Penduduk, Pemilih, dan Pengguna Hak Pilih di Daerah Pemilihan 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 2014 Daerah
Jumlah Penduduk
Jumlah Pemilih
Pengguna Hak Pilih
Kota Medan 2.602.612 1.767.247 915.903 Deli Serdang 1.846.262 1.389.343 765.247 Serdang Bedagai 671.812 463.082 348.984 Kota Tebing Tinggi 168.242 126.358 88.749 Jumlah 5.288.928 3.746.030 2.118.883 Sumber: diolah dari Data BPS dan KPU Provinsi Sumatera Utara, 2014.
% Pengguna Hak Pilih 51,82 55,07 75,36 70,23 56,56
Jumlah penduduk dan pemilih di Provinsi Sumatera Utara tercatat sebanyak 15.227.719 dan 8.788.455 yang tersebar di 33 kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan pemilih di Dapil Sumut 1 DPR-RI maka terdapat 34,73% dan 42,62% berada di empat daerah tersebut. Data tersebut menjelaskan bahwa mayoritas penduduk dan pemilih berada di Dapil Sumut 1 DPR RI Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 tetap menjadi daerah pemilihan yang sangat kompetitif bagi 12 partai politik dan calon anggota legislatif sehingga Dapil 1 sering disebut sebagai ”Dapil Neraka”.59 59
Sebutan “Dapil Neraka” muncul dari ucapan calon anggota legislatif pada saat intensitas kegiatan kampanye pada Pemilu 2014 mulai meningkat. Dapil Sumut 1 juga dipenuhi dengan calon anggota legislatif dari partai politik yang memiliki popularitas baik di masyarakat. Sebut saja misalnya Ramadhan Pohan dan Ruhut Sitompul dari Partai Demokrat, Meutya Hafid dan Leo Nababan dari Partai Golkar, Hasrul Azwar dari PPP, Tiffatul Sembiring dari PKS, dan nama-nama terkenal lainnya.
34
2.3. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara dipenuhi para pemuda dengan nama besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia yang pernah mengunjunginya serta tinggal bersama-sama kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Utara. Sebut saja, Dr. Sutomo pernah tinggal di Pakam dan Tanjung Morawa, Tan Malaka, Dr. Pirngadi60, dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan kebijakan exorbitante rechten (hak istimewa) pemerintah Kolonial
Belanda
menjalankan
praktek
”pengasingan”
atau
“pembuangan” para pejuang dari daerahnya ke berbagai tempat lainnya di Nusantara. Bung Karno dan Hatta beserta beberapa tokoh pejuang lainnya pernah diasingkan atau dibuang ke Sumatera Utara. Demikian beberapa peristiwa penting yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pemuda di Sumatera Utara hingga memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia.61 Proklamasi Kemerdekaan RI resmi diumumkan, di Sumatera Utara, oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan pada tanggal 30 September 1945. Sedangkan Pemerintahan Republik Indonesia baru berjalan di Kota Medan tanggal 3 Oktober 1945. Itupun secara diam-diam karena masih takut pada pemerintah dan tentara Jepang. Lalu sepuluh hari kemudian, 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran di hotel “Pension Wilhelmina” di Jalan Bali, Medan, antara rakyat dengan tentara Belanda yang disusupkan sekutu/Inggris (NICA). Pertempuran serupa juga terjadi di Pematang 60
Saat ini nama Dr. Pirngadi sebagai nama Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Medan. Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 provinsi masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 April itulah ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1956 ditetapkan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Aceh.
61
35
Siantar 15 Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945.62 Wujud lain kehidupan segregatif (terpisah-pisah) masyarakat Kota
Medan
terefleksi
dalam
organisasi
keagamaan
beserta
kepemudaannya. Keanggotaan kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori,
namun
Muhammadiyah
masih yang
menyiratkan didominasi
etnisitas. warga
Ada
etnis
organisasi
Minangkabau;
Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen Protestan
Simalungun; Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja
Methodist Indonesia (Cina); dan seterusnya. Hal yang sama terjadi pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA (Himpunan Keluarga Mandailing); Minang Saiyo (Minangkabau); IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh); Persatuan Warga Sunda (PWS); PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran
Sumatera);
dan
lain-lain.
Sementara
di
tingkat
pelajar/mahasiswa terdapat IMA-Tapsel (Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan); Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (Minangkabau), HIMAH (Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah) dari etnis Melayu; dan sebagainya. Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya memiliki ciri-ciri resmi (formal). Besar kemungkinannya kelompok etnis tersebut mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem administrasi yang jelas. Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering disebut preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak 62
Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-II/BB. hal. 19-24
36
memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai organisasi resmi kepada pemerintah, partai politik, maupun organisasi kemasyarakatan dan lainlain. Bahkan di mata pihak keamanan kota, kelompok-kelompok preman itulah yang seharusnya diberantas atau “didekati” karena ada anggapan bahwa banyak kerusuhan yang terjadi di kota, didalangi oleh preman. Tetapi apapun alasannya sepanjang daya serap sektor formal masih sangat terbatas, serta tingkat putus sekolah masih tinggi, maka fenomena preman masih akan sulit ditiadakan. Lebih-lebih dalam keadaan dimana kepastian hukum tidak berjalan, atau keadaan kurang aman, maka kehadiran preman justru menjadi sentral. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan menawarkan dirinya untuk dijadikan tenaga “pengaman” bayaran. Dalam masa-masa awal kemerdekaan, belum banyak ditemukan perubahan menyangkut sifat segregatif pemukiman. Daerah tapal batas pemukiman masih tetap sebagai daerah rawan kerusuhan. Senggolan fisik dan kesalahpahaman saja dapat melahirkan perkelahian antar individu yang justru sering menjadi perkelahian antar kelompok kampung yang berlarut-larut. Peristiwa perkelahian seperti itu tetap sulit diredam terkait dengan belum berkurangnya jumlah pengangguran di setiap kampung. Daya serap lapangan pekerjaan di sektor formal sangat kecil, sementara angka drop out sekolah di kalangan pemuda tetap tinggi. Di satu sisi sektor formal semakin mengutamakan pendidikan, sedangkan di sisi lain kesempatan memasuki sekolah masih terbatas. Bahkan proses penyelesaian pendidikan di sekolah pun amat berat. Tidak banyak anak muda yang dapat menyelesaikan sekolahnya hingga akhir.63 63
Kemiskinan menjadi persoalan utama di masyarakat Kota Medan. Banyak keluarga yang tidak dapat memberikan pendidikan sekolah secara formal kepada anak-anaknya karena tidak memiliki uang untuk membayar sekolah dan membeli peralatan belajar. Sementara program pemerintah untuk sektor
37
Gaya hidup di pusat Kota Medan merepresentasikan gaya hidup urban atau perkotaan, sedang yang lainnya merepresentasikan gaya hidup rural atau pedesaan. Sementara pada kawasan pinggir Kota Medan banyak para pendatang baru datang dan tinggal menetap dari berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sehingga kawasan pinggiran tersebut tumbuh menjadi kantong-kantong pemukiman kelompok etnis. Di sekitar pusat kota lama (daerah Kesawan dan Polonia) dihuni oleh para elit pemerintahan serta orang Cina dan Timur Asing yang bergerak di bidang perdagangan. Sementara itu di kawasan pinggiran Kota Medan bermukim kelompok-kelompok etnis Bumiputera yang juga hidup secara segregatif. Di pinggiran Kota Medan tersebut banyak terjadi
kerawanan
sosial
seperti
perampokan,
penjambretan,
perkelahian, berdirinya pondok-pondok prostitusi liar, dan tempat perjudian. Penyebab dari kerawanan sosial itu menurut Pelly berpangkal pada segregasi kehidupan pemukiman antar etnis, antar strata sosial, dan okupasi.64 Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari masing-masing kelompok etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis semakin terpelihara dan loyalitas kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan antar kelompok etnis yang identik dengan persaingan antar kampung (teritori) di Kota Medan tersebut memiliki potensi konflik (latent conflict) dalam kehidupan sehari-hari. Daerah-daerah perbatasan teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh kerusuhan berupa “perang massal” antar kampung. “Perang massal” ini biasanya dipelopori oleh para pendidikan sangat kecil dan tidak memungkinkan untuk dinikmati oleh banyak kalangan warga miskin di Kota Medan. 64 Usman Pelly. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud. hal. 27.
38
pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau di kantong-kantong pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satu penyebab munculnya perkelahian antar kampung. Anak-anak muda di tiap kampung/pemukiman kelompok etnis di pinggiran Kota Medan, pada waktu itu, membentuk satuan-satuan pemuda dengan dasar solidaritas teritorial/etnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat satuansatuan pemuda dengan nama: Cross-Boys Medan Baru, Jati Boys di Jalan Jati, Seri Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame, dan lain-lain. Satuan-satuan pemuda kampung itu juga merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat oleh kesadaran etnis dan teritorialnya. Akan tetapi walaupun bersatu dalam satu kesatuan “pemuda kampung”, namun antara pemuda menganggur dan pemuda sekolah tetap terdapat perbedaan. Pemuda bersekolah tetap melakukan kegiatan sehari-hari seperti pemuda pengangguran, duduk-duduk selepas sekolah di persimpangan jalan, mereka itu dinamakan cross-boys (anak-anak simpang) atau biasa juga disebut “pemuda roman”. Sedangkan pemuda kampung yang betul-betul menganggur dan hidup selamanya di jalanan, dinamakan “preman”. Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada dasawarsa 1950-an hingga awal 1960-an.65 Di waktu itu sebagian anakanak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah polanya yang “nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari kontrol orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda perempuan dan juga mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak 65
Era ini sering disebut “masa aman” karena dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi-aksi militer berkenaan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan dari tekanan musuh masih berlangsung. Para kumpulan pemuda di Kota Medan relatif lebih bebas melakukan kegiatan yang mereka inginkan.
39
jarang kelakuan mereka memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya “mejeng” anak muda dewasa ini. Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya yang disebut chips. Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai “preman lontong”. Lain halnya dengan pemuda yang bernama “preman”. Mereka terdiri dari orang-orang pengangguran yang hidup di jalanan sambil “mencari makan” untuk kebutuhan sendiri, terutama di bioskop-bioskop terdekat. Mereka mengelola penjualan tiket melalui “sistem catut” atau black market. Kegiatan ini pada dasarnya “direstui” oleh pengelola bioskop, entah dengan terpaksa atau tidak. Namun dengan adanya kesempatan bagi preman itu untuk mengelola karcis “catut” maka kerusuhan di bioskop tidak terjadi. Orang lain tidak akan berani membuat kerusuhan di bioskop itu kalau tidak mau ambil resiko berkelahi dengan preman bioskop tersebut. Oleh sebab itu, menurut anggota-anggota preman itu sendiri, kehadiran mereka di salah satu bioskop itu dipandangnya sebagai satuan pengaman bagi bioskop itu sendiri. Keamanan di bioskop tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik atau pengelola bioskop itu sendiri. Selain berfungsi mengamankan bioskop terdekat, kelompok preman ini juga merasa difungsikan mengamankan kampungnya sendiri. Atas dasar itulah, menurut beberapa preman era 1950-an dan 1960-an66, para orang tua kampung setempat selalu simpati pada preman ketika itu. Mereka tidak membuat kerusuhan di kampungnya dan sebaliknya karena mereka pula, orang dari kampung lain tidak berani membuat kerusuhan di 66
Di antara mereka yang dikenal sebagai preman adalah Effendi Nasution (Pendi Keling), Rosiman (preman yang mengusai Medan Bioskop), Yan Paruhuman Lubis (Ucok Majestik), Paruhum Siregar. Selain itu, Effendi Nasution dan Rosiman juga dikenal sebagai petinju yang sering bertanding dalam turnamen yang diselenggarakan di Kota Medan.
40
kampung tersebut. Itu sebabnya anak-anak cross-boys yang tidak berhasil meneruskan sekolahnya, sebagian terjun ke dunia preman. Jarang pulang ke rumah, cari makan dan pakaian sendiri-sendiri di jalanan. Sedangkan yang mampu meneruskan sekolah, memperoleh manfaat, ada sebagian di antara mereka berhasil menduduki jabatan strategis di pemerintahan, militer atau perusahaan. Oleh karena klain mereka disebut sebagai kelompok pengamanan, maka tidak jarang anggota preman itu membekali diri mereka dengan seperangkat keahlian “bela diri” (silat, karate, dan lain-lain). Bahkan menurut sebagian preman era 1950-an itu, tidak jarang di antara mereka juga harus memiliki ilmu batin, yang berarti “ilmu kebal”. Orang-orang yang memiliki “keahlian lebih” itulah yang muncul sebagai kapala bagi kelompoknya. Seorang yang menjadi kapala harus berani, kuat, disegani lawan dan kawan, bersifat setia dan melindungi anggota, serta mampu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan kelompoknya. Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu kesatuan yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat, mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan sumber-sumber penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat yang lain. Hal ini menjadi suatu keharusan karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis, sepatu mengkilap ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah dan meminum minuman keras, menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan. Oleh karenanya, keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok
41
preman lain di bioskop yang terletak di kampung etnis lain juga tidak bisa dihindari. Perkelahian antar kelompok preman pada dasarnya merupakan perkelahian antar kelompok warga etnis kampung tertentu. Preman kelompok etnis dari satu kampung tertentu menyerang dan merebut bioskop yang telah dikuasai preman kelompok etnis kampung yang lain. Demikian misalnya, pada era 1960-an awal, terjadi penguasaan bioskopbioskop Kota Medan secara etnis. Bioskop Rex atau Mega Ria dikuasai oleh preman etnis Aceh, Astana Ria dikuasai oleh preman etnis Karo, Bioskop Morning dikuasai preman etnis Minangkabau, Bioskop Olimpia dikuasai preman etnis Toba, Bioskop Majestic dikuasai oleh preman etnis Mandailing, serta bioskop-bioskop yang lain dengan preman-preman dari etnis yang lain pula. 2.4. Profil Organisasi Pemuda di Sumatera Utara Sampai dengan tahun 2014, Provinsi Sumatera Utara berkembang tidak
hanya
pada
struktur
organisasinya,
namun
berikut
juga
perkembangan organisasi kemasyarakatan tingkat lokal. Munculnya beragam organisasi masyarakat di Sumatera Utara tidak terlepas dari kebebasan yang didapat setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru. Untuk tingkat lokal, adanya kebebasan berorganisasi setidaknya diharapkan dapat memunculkan keinginan-keinginan masyarakat lokal dalam melaksanakan demokrasi lokal. Hal ini penting dilihat dalam kaitan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Tumbuhnya beragam organisasi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara menandakan bahwa tingginya partisipasi masyarakat terutama ketika pelaksanaan pemilihan umum. Provinsi Sumatera Utara memiliki 46 organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) telah terdaftar. OKP yang terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol
42
Linmas) Provinsi Sumatera Utara tersebut sangat beragam di antaranya ada yang berbasiskan etnis, agama dan nasional seperti Ikatan Pemuda Tapanuli Selatan (Imatapsel), Himmah Alwashliyah, Pemuda Katolik, GMKI, GM Kosgoro, Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FKPPI, dan lain sebagainya. Selain itu, jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan yayasan di Provinsi Sumatera Utara, yang terdaftar di Kesbangpol dan Linmas, berjumlah 115 dengan beragam spesifikasi bidang pekerjaan diantaranya pekerja sosial anak, pendidikan, kesehatan, pemukiman kumuh, kajian wanita, dan lain sebagainya. Untuk ormas keagaamaan dan umum di Sumatera Utara berjumlah 27 dan 45, serta organisasi profesi lainnya berjumlah 14.67 Tabel 2.2. Data OKP dan Ormas di Provinsi Sumatera Utara tahun 2013 No.
Organisasi
Jumlah
1.
Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP)
46
2.
Partai Politik baru terdaftar
12
3.
LSM dan Yayasan
115
4.
Ormas Keagamaan
27
5.
Ormas Umum
45
6.
Organisasi Profesi
14
Sumber: Bidang Hubungan Antar Lembaga Badan Kesbang dan Linmas Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2013.
Meskipun ada 46 OKP yang terdafar di Sumatera Utara, tetapi hanya Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) yang memiliki infrastruktur organisasi, kegiatan, dan anggota yang dikenal oleh mayoritas masyarakat di Sumatera Utara. Terbentuknya PP, IPK, dan
67
Data dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2013.
43
FKPPI68 memiliki keterkaitan dengan kegiatan-kegiatan kekerasan yang sangat identik dengan istilah atau sebutan preman. Untuk memuluskan tujuan politik tertentu yaitu untuk membantu militer melaksanakan ”pembersihan” kaum komunis, pendirian PP banyak merekrut preman sebagai anggota organisasi dan bahkan duduk sebagai pengurus. Premanpreman yang ada setiap wilayah Provinsi Sumatera Utara, memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan dari para pemilik toko atau pedagang. Ketika PP berkembang menjadi organisasi yang besar dan memiliki jaringan politik dan ekonomi yang cukup kuat di Sumatera Utara, pada saat yang sama, pihak militer tidak dapat lagi mengontrol aktivitas mereka. Selain itu, karena adanya perebutan kendali atas wilayah kekuasaan untuk mendapatkan uang dari usaha perjudian menyebabkan lahirnya IPK sebagai organisasi pemuda di Medan, yang kemudian juga berkembang, menjadi besar selain PP. Perkembangan selanjutnya, untuk memperluas jaringan militer di Golkar, FKPPI dibentuk di Jakarta dan di daerahdaerah lainnya termasuk Medan, Provinsi Sumatera Utara. Pembentukan dan perkembangan ketiga organisasi pemuda tersebut sangat berkaitan dengan aktivitas premanisme karena alasan-alasan ekonomi yang harus dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dan anggota organisasi. Didukung oleh para aparat militer dan beberapa elit dan politisi, mereka kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi yang memiliki jaringan kuat di Sumatera Utara. Berikut akan diuraikan profil ketiga organisasi pemuda tersebut.
68
Penelitian ini memilih tiga organisasi pemuda yaitu PP, IPK, dan FKPPI karena independensi organisasi yang tidak berpihak pada salah satu partai politik. Meskipun realitasnya, ketiga organisasi pemuda itu selalu berpihak pada saat kegiatan pemilu (pemilihan legislatif, kepala daerah, dan pemilihan presiden) digelar.
44
Pemuda Pancasila Sejak kelahiran Pemuda Pancasila 48 tahun yang lalu, 28 Oktober 1959, perkembangan struktur organisasi mengalami kemajuan di Sumatera Utara. Pada daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen, toleran, dan mempunyai sikap penerimaan yang baik merupakan tempat yang potensial untuk menggalang massa dalam mengembangkan struktur organisasi Pemuda Pancasila. Pada waktu itu banyak kelompok pemuda yang terkumpul karena alasan primordial dan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lantas oleh Kerani Bukit, yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Sumatera Utara, para pemuda itu direkrut menjadi anggota organisasi. Pidato Kerani Bukit, tahun 1960 sebagai pimpinan IPKI Sumatera Utara, menegaskan adanya ancaman terhadap keselamatan bangsa dan negara dari gerakan komunis (PKI) beserta antek-anteknya. Sehingga, perlu kiranya pemuda-pemuda yang berada di Medan dihimpun ke dalam organisasi yang bernaung di bawah bendera IPKI. M.Y. Munculnya Effendi Nasution, yang dikenal sebagai tokoh pemuda di Medan, sebagai ketua P2KM (Persatuan Pemuda Kota Medan) mengajak tokoh-tokoh pemuda di Medan untuk membentuk Pemuda Pancasila. Akhirnya, Effendi Nasution mendapat mandat untuk membentuk Pemuda Pancasila di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara dan segera membentuk Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Effendi Nasution, yang lebih dikenal dengan sebutan Pendi Keling, kemudian merekrut pemuda-pemuda di kota Medan yang sering disebut preman atau cross boy (manusia bebas yang hidup di jalanan), sehingga mereka bebas untuk memasuki organisasi Pemuda Pancasila karena tidak ada yang melarang. Preman-preman tersebut menjadi paduan unsur-unsur yang sangat dominan dari keberadaan Pemuda Pancasila di kota Medan. Prilaku
para
preman
selalu
menyelesaikan
masalah
organisasi 45
menggunakan ”otot” atau kekerasan secara fisik. Pada periode awal berdirinya Pemuda Pancasila, kriteria untuk menjadi seorang pimpinan Pemuda Pancasila didasarkan pada siapa yang paling ”jago” di kelompoknya masing-masing. Atas dasar kriteria itu, maka tidak terlalu sulit untuk mendirikan organisasi di tingkat lingkungan atau yang disebut anak ranting. Seluruh kegiatan organisasi, pada waktu itu, dikendalikan oleh M.Y. Effendi Nasution yang menjadi pimpinan utama Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Pada bulan Agustus 1961 di gedung Selecta Jalan Listrik Medan Pengurus Pemuda Pancasila dikukuhkan menjadi organisasi formal di Sumatera Utara. Pelantikan itu dihadiri oleh H.A. Azis yang mewakili Gubernur Sumatera Utara dan Mayor Hamid dari Koanda (Komandan Angkatan Darat) di Sumatera Utara. Sedangkan Kerani Bukit bertugas untuk melantik M.Y. Effendi Nasution (Ketua Umum), Daniel Mamora (Ketua), Barik (Ketua), Jansen Hasibuan (Sekretaris Umum), Rosiman (Sekretaris), dan seorang turunan Tionghoa Klengki A (Bendahara). Jumlah anggota awal Pemuda Pancasila adalah sekitar 40 orang pemuda dengan tugas pokoknya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi pengawal dan pengaman Pancasila dan UUD 1945 dari rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta antekanteknya. Atas dasar itu pula, semua ikrar PP menunjukkan bahwa anggota organisasi siap mengawal dan mengamankan Pancasila dengan cara apapun termasuk dengan cara-cara kekerasan atau fisik. Untuk menghandalkan kekuatan fisik dari anggota PP bukanlah hal yang sulit, karena mereka sudah ditempa oleh kekerasan di jalanan. Perkelahian bukanlah hal yang baru bagi mereka, tetapi kemampuan berbicara anggota PP dalam forum-forum resmi jarang dilakukan karena kurangnya pendidikan dan keberanian dalam mengutarakan pendapat tersebut. Berbeda halnya ketika berbicara dalam forum-forum tidak resmi
46
seperti di warung atau kedai kopi, terlihat mereka yang paling mengetahui dan merasa benar dalam topik diskusi yang sedang dibahas. Selama satu tahun sejak organisasi pemuda ini terbentuk, jumlah anggotanya mencapai ribuan orang. Tokoh-tokoh Pemuda Pancasila yang juga turut mempengaruhi aktivitas organisasi adalah M.Y. Effendi Nasution, Rosiman, Yan Paruhum Lubis, Amran Ys, Das Tagor Lubis, M. Saat Gurning, Razali, Yansen Hasibuan, Amril Ys, Bangkit Sitepu dan lain-lain. Untuk pimpinan kota Medan akhirnya ditunjukkah Das Tagor Lubis sebagai ketua. Pilihan kepada Effendi Nasution sebagai ketua Pemuda Pancasila Sumatera Utara dengan basis anggotanya di Medan dikarenakan keberanian dan kesetiaan para pengikutnya di Perkumpulan Pemuda Kotamadya Medan (P2KM). Organiasi pemuda P2KM menjadi wadah pertama yang berdiri di Kota Medan dan dapat mempersatukan para preman di perkampungan sekitar kota Medan yang sebelumnya masih selalu terlibat perkelahian antar sesamanya. Wadah P2KM telah menjadi arena sosial bagi para preman, pemuda-pemuda brandal dan cross boy untuk bekerja sama, membangun saling pengertian baik dalam pergaulan juga dalam aktifitas ”cari makan” di jalanan.69 Ketika Effendi Nasution beserta pengikut-pengikutnya dari P2KM beralih ke Pemuda Pancasila, suasana bersatu di kalangan pemuda preman sudah terbentuk, perkelahian antar kampung untuk sebagian dapat dihindari. Para preman yang tergabung dalam Pemuda Pancasila, pada awalnya, hanya terikat kesamaan wilayah namun saat ini sudah dapat melampui batas teritori kampung. Oleh sebab itu, kehadiran Pemuda Pancasila menjadi mudah diterima di kalangan preman. Seperti yang dinyatakan oleh Effendi Nasution sebagai berikut: 69
Sarmadan Pasaribu. 2002. Peranan Pemuda Pancasila Menentang Gerakan Partai Komunis Indonesia di Kotamadya Medan. Tahun 1960 sampai tahun 1966. Skripsi. Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
47
”dulu mana tau kita dek. Organisasi kata orang, ya organisasi. Lantik katanya ya lantik lah. Kan sekarang baru kita tau organisasi itu apa, setelah pelantikan lalu ada pelatihan atau penataran dan sebagainya. Sebelumnya, mana ada tatar-tatar. Karena preman, cross boy, pencuri, perampok, dan pembunuh ada semua di situ. Apa itu DPW, DPC mana tau itu ya kan. Yang penting kita bikin dulu, dirikan di mana-mana. Jadi, lain dek.... tidak seperti sekarang. Sekarang ini orang sudah banyak yang tau bahwa DPW melantik DPC. DPC melantik anak cabang. Dulu mana ada itu. Preman semuanya di situ dek.”70 Gambar 2.1 Struktur Organisasi Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Majelis Pimpinan Wilayah
Majelis Pertimbanga n
Lembaga Tingkat Wilayah
Majelis Pertimbanga n
Majelis Pimpinan Cabang Ketua
Pimpinan Harian
Wakil Ketua 1 s/d 2
Ketua-Ketua 1s/d 9 Bendahara
Sekretaris
Wakil Bendahara
Wakil Sekretaris
LEMBAGA TINGKAT CABANG Ex. Officio Ketua & Sekretaris
Keterangan: Garis perintah ------------------ Garis Koordinasi Garis Konsultatif
Pimpinan Pleno
Anggota-Anggota Bidang PAC
RANTING/ANAK RANTING
PENASEHA T PENASEHA T
Sumber: MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara, 2013. 70
DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara dan Pusat Kajian Antropologi FISIP USU. 1996. Pemuda Pancasila: Sejarah dan Tokoh Utama. Medan. Tanpa Penerbit.
48
Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila (MPW PP) Provinsi Sumatera Utara, sampai dengan tahun 2013, memiliki jumlah anggota sekitar 500 ribu orang, dengan Pimpinan Cabang (PC) sebanyak 30 kabupaten/kota. Besaran infrastruktur dan jumlah anggota organisasi tersebut
terlihat
bahwa
eksistensi
Pemuda
Pancasila
cukup
diperhitungkan dalam kegiatan Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP) serta pengambilan keputusan tingkat lokal. Ikatan Pemuda Karya Ikatan Pemuda Karya atau yang disingkat dengan IPK adalah salah satu Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang berorientasi dan berjuang di bidang karya dan kekaryaan. IPK didirikan oleh Olo Panggabean, 71 di Medan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 28 Agustus 1969.
Pembentukan IPK sebagai kelanjutan dari Sentral
Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila ) yang berdiri pada tanggal 19 Juni 1954 di Jakarta serta berinduk kepada Koordinasi Ikatan-Ikatan Pancasila (KODI) dan merupakan salah satu pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (GAKARI). Baik KODI maupun GAKARI adalah pilar-pilar organisasi kemasyarakatan yang didirikan untuk mendukung Orde Baru. Oleh karena itu, pendirian IPK bersifat politis karena mendapatkan diharapkan menjadi pendukung pemerintah dan partai politik tertentu. Berdirinya IPK tidak terlepas dari konflik internal yang terjadi di Pemuda Pancasila. Meskipun secara formal, IPK didirikan pada tahun 1969 namun eksistensinya baru diakui pada awal-awal 1980-an. Pada saat itu, terjadi perpecahan di tubuh internal PP karena perebutan kendali atas wilayah kekuasaan untuk pembagian pendapatan dari usaha perjudian. 71
Sahara Oloan Panggabean, lahir di Tarutung, 24 Mei 1941 dan meninggal di Medan, 30 April 2009 pada umur 67 tahun) adalah seorang tokoh yang terkenal karena kegiatannya di bidang perjudian dan juga karena sifat filantropinya.
49
Lahirnya Ikatan Pemuda Karya (IPK) dibayai sebagian pengusaha Cina dan didukung oleh beberapa militer. Kemunculan IPK dianggap sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan yang dimiliki oleh PP.72 Sebagai pendiri, Olo Panggabean seorang Kristiani yang bersuku Batak Toba serta menguasai bahasa Hokkien, langsung memimpin organisasi pemuda di kota Medan. Tidak lama setelah itu, IPK menjadi organisasi pemuda yang pengurus pusatnya berada di Medan, Sumatera Utara. Tidak seperti Pemuda Pancasila, IPK memulai aktivitasnya dengan mengatur operasi perjudian ketimbang melakukan penekanan, berkedok perlindungan, dengan kekerasan untuk mendapatkan uang. Langkah Olo selanjutnya adalah melanjutkan usaha perjudian yang dikelolanya sejak masih menjadi anggota Pemuda Pancasila pada tahun 1973 di Medan Fair, suatu tempat hiburan di kota Medan, ketika ia bertugas sebagai penjaga keamanan. Segera sesudah itu ia membuka KIM (permainan judi yang menggunakan kupon), berbagai permainan kartu bingo untuk mendapatkan hadiah tunai dan dilakukan secara terbuka di Medan Fair. Interaksi antara PP dan IPK berjalan secara tidak normal karena selalu terjadi perkelahian antara anggota PP dan IPK dan tidak jarang yang mengalami kematian akibat pekelahian itu. Peristiwa perkelahian antara anggota organisai pemuda itu dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi misalnya dengan penculikan disertai siksaan fisik. Untuk mendukung eksistensi usahanya, IPK berusaha mencari dukungan yang bersifat politis. IPK berupaya mendukung Golkar melalui bantuan massa maupun finansial yang lebih besar ketimbang PP. Setiap kampanye pemilu Golkar, IPK selalu memberikan bantuan, untuk menunjukkan kepada elit Golkar sebagai bentuk show of force. Masingmasing kelompok memobilisasi anggotanya yang dapat dilihat melalui 72
Kemunculan IPK juga mendapat restu dari pimpinan militer ketika itu termauk Benny Murdani.
50
penggunaan atribut seragam seperti pakaian loreng ala militer. Begitulah usaha-usaha untuk mendapatkan perlindungan secara politis yang dilakukan oleh PP maupun IPK. Selain Olo Panggabean, tidak ada tokoh lain yang sangat menentukan dan memutuskan perkembangan organisasi IPK. Tetapi, setelah meninggal, IPK mengalami penurunan aktivitas organisasi karena kehilangan tokoh sentralnya. Meskipun ada beberapa tokoh pemuda yang muncul seperti Deni Ilham Panggabean, Budi Panggabean, Moses Tambunan dan lain sebagainya, namun keberadaan mereka tidak terlepas dari pengaruh sang kakanda.73 Berbeda dengan Pemuda Pancasila yang memiliki banyak tokoh di internal organisasi. Kelebihan Olo dalam mengelola organisasinya adalah mampu memberikan sesuatu yang lebih berupa uang dan kekuasaan ketimbang Pemuda Pancasila atau organisasi pemuda lainnya. IPK, dalam perkembangannya berpusat di Medan Sumatera Utara, sekaligus sebagai tempat kedudukan Dewan Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang mengendalikan seluruh kebijakan dan kegiatan organisasi di seluruh provinsi Indonesia. Saat ini, IPK telah berdiri di 24 Provinsi di Indonesia dan disebut sebagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Ada yang sudah bertahun-tahun eksis dan ada pula yang masih baru berdiri. Sampai dengan tahun 2013, IPK telah berkembang sebagai organisasi pemuda yang memiliki cabang sebanyak 58 di 24 Provinsi Indonesia dari mulai Aceh sampai Papua. Sumatera Utara, sebagai basis organisasi, jumlah anggota IPK berkisar 100 ribu orang. Keunikan dari IPK dibandingkan organisasi pemuda besar lainnya adalah kantor pusat berada di Medan bukan di Jakarta. Meskipun demikian, bukan berarti eksistensi dan pengaruhnya di luar Medan kecil, justru kemajuan organisasi di luar Medan lebih berhasil ketimbang di kantor 73
Kakanda adalah sebutan yang selalu digunakan oleh orang-orang terdekat Olo Panggabean.
51
pusatnya.74 Struktur organisasi IPK sendiri juga mengalami perubahan dengan mengikuti jenjang karir keorganisasian. Anggaran Rumah Tangga (ART) IPK Bab V Pasal 5 tentang Susunan Pengurus disebutkan bahwa Dewan Pembina Organisasi yang berkedudukan di Medan adalah sebagai badan pengambil
keputusan
tertinggi di seluruh tingkatan Organisasi Ikatan Pemuda Karya yang ada di Indonesia. Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Pemuda Karya Provinsi Sumatera
Utara
sebagai
Dewan
Pimpinan
Pusat
merupakan
Kebijaksanaan Umum Dewan Pembina Organisasi yang berkedudukan di Medan yang masa bakti kepengurusannya telah ditentukan. Selain dari Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Pemuda Karya Provinsi Sumatera Utara sebagai Dewan Pimpinan Pusat yang berkedudukan di Medan, masa periodesasi di semua tingkatan organisasi Ikatan Pemuda Karya di seluruh Indonesia adalah 5 (lima) tahun. Setelah itu dapat dipilih dan disusun kembali kepengurusannya untuk periode selanjutnya melalui musyawarah sesuai dengan tingkatannya. Struktur organisasi IPK dapat dilihat dalam bagan berikut.
74
Wawancara dengan Uli Tobing, 18 Oktober 2007.
52
Gambar 2.2 Struktur Organisasi Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota IPK
Dewan Pembina
Dewan Pimpinan Pusat
Dewan Pimpinan Daerah Provinsi
Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota Ketua Sekretaris Wakil – Wakil Ketua
Bendahara
Wakil Sekretaris
Wakil Bendahara
Bagian-Bagian
PAC Keterangan: Garis perintah ------------------ Garis Koordinasi Garis Konsultatif
Sumber: DPP IPK, 2013.
Bidang ekonomi, beberapa cabang usaha yang dimiliki oleh IPK dikoordinasikan di ”Gedung Putih”.75 Melalui markas besar itu, pimpinan IPK melakukan kerjasama secara timbal balik dengan instansi pemerintah, swasta dan lembaga-lembaga non pemerintah dalam 75
Gedung Putih adalah istilah untuk kantor atau markas besar yang digunakan oleh Olo Panggabean untuk mengorganisasikan aktivitas IPK dan perusahaan-perusahaan yang dikelolanya termasuk usaha perjudian seperti KIM, Togel, dan lain sebagainya. Namun, tidak tersedia data yang dapat disampaikan mengenai berapa jumlah perusahaan yang dikelola oleh Olo Panggabean dan anggota intinya di IPK.
53
mendapatkan peluang proyek/usaha dan lapangan kerja bagi para anggota. Makna kerjasama timbal balik ini sering diartikan sebagai pemberian jasa keamanan bagi pengerjaan proyek-proyek pemerintah seperti pembuatan jalan, pembangunan gedung, dan lain sebagainya. Bentuk lainnya adalah kompensasi fee proyek yang diberikan sekitar 5-10 persen setiap proyek yang dikerjakan.76 Untuk aktivitas sosialnya, organisasi ini juga mendirikan satu perusahaan yang bernama CV. Ceraz dengan aktivitas utamanya adalah memberikan bantuan kepada para pemuda dan mahasiswa yang akan melakukan aktivitas organisasinya, termasuk memberikan bantuan dana perkuliahan bagi orang yang membutuhkan. Bantuan itu pun diberikan bagi individu yang mendukung aktivitas IPK di lingkungannya baik di masyarakat maupun di kampus-kampus tertentu yang ada Satuan Mahasiswa (SATMA) IPK.77 Tidak jarang pula, Olo sendiri memberikan bantuan langsung kepada korban bencana seperti kejadian konflik Aceh dan Tsunami. Ketika itu, Olo, memberikan bantuan berupa 25 bus kepada pengungsi konflik Aceh yang dipulangkan ke Jawa. Pada saat Tsunami, Olo, memberikan bantuan uang dan tempat bagi mereka yang mengungsi ke Medan. FKPPI Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, muncul kelompok pemuda nasional pendukung Golkar lainnya yang menjadi underbow di wilayah Medan, seperti FKPPI, kelompok anak-anak purnawirawan ABRI, yang pada masa Orde Baru keberadaannya dipimpin oleh putra penguasa nasional Orde Baru, Suharto, yaitu Bambang Trihatmojo.
Ide
76
Wawancara dengan Uli Tobing, 18 Oktober 2007. Satma IPK adalah Satuan Mahasiswa IPK yang didirikan untuk tujuan rekrutmen anggota IPK dari unsur mahasiswa
77
54
pembentukan wadah pembinaan putra-putri ABRI berawal dari Munas VII PEPABRI, 20 Juni 1977, di Asrama Haji Bukit Duri Jakarta. Melalui serangkaian proses yang panjang dengan usulan berbagai nama
organisasi
mulai
dari
P4-ABRI
(Persatuan
Putra
Putri
Purnawirawan ABRI), P4-I (Persatuan Putra Putri Purnawirawan Indonesia) yang kemudian menjadi FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia). Melalui perjuangan para pendiri utama di antaranya Surya Paloh, Yoseano Waas, Agus Santoso, Prof. Dr. Karel.S.Waas, Tjokro Supriyanto, Capt Haribowo dan Wisnu Batubara, maka pada 12 September 1978 diproklamirkan berdirinya FKPPI pada saat ulang tahun PEPABRI di Gedung Wanita Nyi Ageng Serang Kuningan Jakarta. Pengurus Besar FKPPI untuk pertama kalinya terbentuk diketuai oleh Surya Paloh dengan Sekjen Karel.S.Waas yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan Pengurus Besar PEPABRI pada Munas I FKPPI di Jakarta untuk masa bakti 1981-1984. Selanjutnya organisasi ini berkembang terus dan terbentuk di seluruh Indonesia mulai dari tingkat pusat, provinsi, kota/kabupaten hingga kecamatan-kecamatan. Ketika Reformasi terjadi, maka pada 5-6 Maret 1999 dilaksanakan Musyawarah Luabr Biasa (Munaslub) GM FKPPI di Padepokan Pencak Silat TMII Jakarta yang salah satu keputusan penting adalah menyempurnakan AD/ART GM-FKPPI. Keanggotaan GM FKPPI dapat dirangkap dengan keanggotaan Partai Politik sepanjang tetap berazaskan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, serta menegaskan kembali konsep FKPPI adalah Rumah Bersama. Munaslub juga menegaskan keberadaan lembaga POLRI tetap menjadi Anggota Dewan Pembina, serta putra putri POLRI tetap menjadi anggota biasa FKPPI walaupun pada 1 April 1999 lembaga POLRI dipisahkan dari kesatuan ABRI. Pada 12-16 Oktober 2003 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) VII secara bersama
55
antara FKPPI dan GM FKPPI di Wisma Haji Pondok Gede Jakarta. Hasil Munas FKPPI itu, terpilih sebagai Ketua Umum Ponco Sutowo dan Bahriyoen Sucipto sebagai Sekretaris Jenderal (2003-2008). Untuk GM FKPPI terpilih Dudhie Makmun Murod sebagai Ketua Umum dengan Sayed.M.Muliadi sebagai Sekretaris Jenderal Masa Bakti 2003-2006. Pendirian FKPPI di Kota Medan dimulai setelah terbentuk organisasi Provinsi Sumatera Utara. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan dengan ditandai beberapa kali turunnya surat mandat dari Pengurus Pusat FKPPI kepada beberapa tokoh Sumatera Utara di antaranya adalah Raja Inal Siregar, maka di Sumatera Utara FKPPI baru dapat dibentuk pada tahun 1985. Surya Paloh, yang pernah tinggal di Sumatera Utara kemudian membentuk FKPPI di Kota Medan. FKPPI Kota Medan dipimpin oleh Martius Latuparisa untuk periode 2003-2008 dan dibantu oleh Nazaruddin Sihombing (Ucok Bau). Aktivitas FKPPI tidaklah jauh berbeda dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua organisasi pemuda pendahulunya yaitu Pemuda Pancasila dan IPK. Akibatnya, yang terjadi adalah daftar panjang tentang perselisihan
untuk
memperebutkan
daerah
kekuasaan
dengan
mengandalan kekuatan pendukung masing-masing organisasi. 2.5. Pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 di Dapil Sumut 1 DPR RI Pemilihan Umum 2014 dilaksanakan pada 9 April 2014 di Indonesia untuk memilih 560 anggota DPR, 132 anggota DPD, serta 2.112
anggota
DPRD
Provinsi,
dan
16.895
anggota
DPRD
Kabupaten/Kota Periode 2014-2019. Peserta Pemilu 2014 diikuti 12 partai politik nasional dan 3 partai lokal di Aceh. Daerah pemilihan Pemilihan Umum Anggota DPR adalah provinsi atau gabungan kabupaten/kota dalam 1 provinsi, dengan total 77 daerah pemilihan. Jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan berkisar antara 3-10 kursi.
56
Penentuan besarnya daerah pemilihan disesuaikan dengan jumlah penduduk di daerah tersebut.78 Provinsi Sumatera Utara dibagi menjadi 3 Daerah Pemilihan dan diikuti 353 calon anggota legislatif yang berasal dari 12 partai politik. Berikut daftar daerah pemilihan, jumlah calon anggota legislatif, dan anggota legislatif. Tabel 2.3. Daerah Pemilihan, Jumlah Calon Anggota Legislatif, dan Anggota Legislatif DPR dari Provinsi Sumatera Utara No. 1.
Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1
Kabupaten/Kota
Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi 2. Sumatera Utara 2 Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Mandailing Natal, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat, Gunung Sitoli, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir 3. Sumatera Utara 2 Asahan, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Simalungun, Pak-Pak Bharat, Dairi, Karo, Binjai, Langkat, Batubara Jumlah Sumber: Data KPU, 2014.
Jumlah Caleg 119
Jumlah Kursi 10
118
10
116
10
353
30
Daerah Pemilihan Sumut 1 untuk Dewan Pemilihan Rakyat (DPR) menampilkan 119 calon anggota legislatif dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014. Para calon anggota legislatif itu akan berkompetisi meraih suara terbanyak di masing-masing partai politik dengan menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Sistem pemilu tersebut menjadikan 78
Data lengkap mengenai hal ini dapat diakses di laman www.kpu.go.id tentang Pemilu 2014.
57
setiap calon anggota legislatif berupaya meraih suara terbanyak sehingga arena kompetisi tidak hanya terjadi antar partai politik, tetapi justru persaingan yang ketat akan terjadi di antara calon dalam satu partai politik. Oleh karena itu, kesulitan yang terjadi adalah membuat kesepaktan untuk mengawasi dari setiap kegiatan para calon sesama partai politik dari tujuannya masing-masing. Kompetisi sesama calon anggota partai politik membuat para pemilih di daerah pemilihan akan ditawarkan atau dijanjikan berbagai program kegiatan. Sulit untuk menciptakan area atau wilayah tertentu yang akan dijadikan basis perolehan suara masing-masing calon anggota legislatif. Selain itu, para pemilih yang terkelompok dalam organisasi masyarakat juga akan memiliki kesempatan untuk dijadikan sebagai objek kampanye secara bergantian oleh seluruh calon anggota legislatif. Merujuk pada jumlah calon anggota legislatif DPR dari Dapil Sumut 1, maka akan ada 119 calon yang akan bertemu dengan kelompok masyarakat dari bermacam karakteristiknya. Tahapan Pemilu 2014 yang sangat panjang bermula dari proses pencalonan di partai politik, kampanye, pemilihan, perhitungan suara, penetapan hasil pemilihan, dan menunggu sidang gugatan hasil pemilu harus dilalui oleh setiap calon anggota legislatif. Pada setiap tahapan pemilu, kegiatan yang terus menerus dilakukan calon anggota legislatif adalah membentuk tim sukses, mencari, bertemu, menyampaikan program, dan memastikan para pemilih ikut memilih dirinya pada 9 April 2014 di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pada semua tahapan pemilu itu, seluruh potensi yang dimiliki para calon anggota legislatif digunakan untuk meraih simpati, disuka, dan kemudian dipercaya oleh pemilih. “….. semua tahapan pemilu menjadi titik-titik penting kegiatan. Makanya harus direncanakan dengan baik agar semua yang dilakukan bisa bermanfaat. Memang, saya harus pinter-pinter memilih orang-orang yang membantu saya, syaratnya harus
58
percaya. Trus, harus bisa yakin siapa yang akan dijumpai, apa yang mau dibawa sampe segala sesuatunya clear. Jadi biar orang percaya sama kita sebagai calon.”79 Kompetisi yang ketat untuk mendapatkan suara maksimal mengharuskan setiap calon anggota legislatif melakukan aktivitas sosialisasi dan kempanye yang tepat, efisien, dan terukur. Persaingan tersebut dalam pelaksanaannya cenderung melakukan segala cara karena mayoritas pemilih menginginkan pemberian langsung berupa uang atau sesuatu barang dari para calon anggota legislatif. Bahkan hubungan yang telah terjalin antara calon anggota legislatif dengan konstituennya masih harus disertakan dengan pemberian “sesuatu” tersebut. Bantuan berupa materi dan nonmateri yang diberikan oleh calon anggota legislatif kepada konstituennya bukan menjadi pertimbangan satu-satunya bagi pemilih untuk kembali memilihnya pada saat pelaksanaan pemberian suara di TPS.80 Hasil akhir dari pelaksanaan Pemilu 2014 pada 9 April 2014 telah terpilih 10 orang dari 119 calon anggota legislatif di Dapil Sumut 1. Hanya empat orang (Irmadi Lubis, Meutya Hafid, Hasrul Azwar, dan Nurdin Tampubolon) yang terpilih kembali menjadi anggota DPR Periode 2014-2019. Tifatul Sembiring dan Ruhut Poltak Sitompul terpilih kembali sebagai anggota DPR, tetapi pada Periode 2009-2014 bukan berasal dari Dapil Sumut 1. Sedangkan Mulfachri Harahap yang berhasil meraih suara terbanyak di PAN pernah terpilih sebagai anggota DPR Periode 2004-2009 dari Dapil Sumut 3, tetapi tidak terpilih pada Pemilu 2009. Dua orang disebut sebagai “wajah baru” yang mewakili Dapil Sumut 1 yaitu Prananda Surya Paloh dan dr. Sofyan Tan. 79
Wawancara dengan PSP, 6 Agustus 2014, pukul 16.30 di Medan. Keterangan mengenai pemberian “sesuatu” dari calon anggota legislatif dengan konstituennya diperoleh dari hampir seluruh calon, sebut saja seperti Hasrul Azwar (anggota DPRRI Periode 20092014) dari Dapil Sumut 1, Ramadhan Pohan (anggota DPRRI Periode 2009-2014) dari Dapil Jatim 2.
80
59
Tabel 2.4. Daftar Jumlah Calon Anggota Legislatif dari Partai Politik di Dapil Sumut 1 DPR RI No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Partai Politik Nasional Demokrat PKB PKS PDIP
Golkar Gerindra Demokrat PAN PPP Hanura PBB PKPI Jumlah Sumber: Data KPU, 2014.
Jumlah Caleg 10 10 9 10 10 10 10 10 10 10 10 10 119
1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 -
Caleg Terpilih Prananda Surya Paloh Tifatul Sembiring H. Irmadi Lubis dr. Sofyan Tan Meutya Hafid H.R. M. Syafii, SH Ruhut Poltak S., SH Mulfachri Harahap, SH Drs. H. Hasrul Azwar Ir. Nurdin Tampubolon 10
Suara 46.233 74.510 46.039 113.716 45.232 46.438 34.685 47.280 43.908 49.859 501.667
Para calon anggota legislatif dari Dapil Sumut 1 memiliki latar belakang aktivitas kemasyarakatan yang beragam, tetapi hampir dipastikan mereka sebelumnya memiliki pengalaman sebagai anggota organisasi masyarakat. Tidak terkecuali bahwa sebagian dari para calon anggota legislatif pernah aktif di organisasi kemahasiswaan atau pemuda di Indonesia. Anggota DPR yang terpilih pada Pemilu 2014 dari Dapil Sumut 1 (lihat Tabel 5.4.) adalah politisi yang memiliki latar belakang aktivis organisasi yang kuat, kecuali Prananda Surya Paloh yang tidak begitu dikenal latar belakang aktivis organisasinya.
60
BAB III RELASI ORGANISASI PEMUDA DENGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF PADA PEMILU 2014 3.1. Tokoh Pemuda dan Calon Anggota DPR Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 Organisasi pemuda di Sumatera Utara yang selalu aktif dalam setiap kegiatan Pemilihan Umum adalah Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda Karya, FKPPI. Ketiga organisasi pemuda terbesar di Sumatera Utara itu menjadi salah satu sumber suara yang dapat diperoleh dari para calon anggota DPR. Melalui para tokoh organisasi pemuda itu, mayoritas calon anggota legislatif berupaya untuk bertemu dan berharap mendapat dukungan organisasi. Bentuk dukungan yang nyata di antaranya adalah tokoh dan pimpinan organisasi pemuda memerintahkan anggota masingmasing organisasi untuk memilih calon anggota legislatif dan mencari tambahan suara. Selain itu, untuk meminimalisir kecurangan yang terjadi di TPS, maka pimpinan organisasi pemuda diyakini memiliki kemampuan untuk memberi perintah kepada kader-kadernya menjaga perolehan suara. Tidak hanya menjaga, tetapi lebih dari itu diupayakan menambah suara di TPS dengan cara apapun termasuk menggunakan ancaman. Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara berasal dari kekuatan fisik dan keberanian untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti kehendaknya. Dari kekuatan fisik itu, pengaruh para tokoh Pemuda Pancasila semakin kuat pada saat mereka memperoleh kekayaan atau ekonomi. 81 Sedangkan cara-cara 81
Lihat penjelasan Miriam Budiardjo tentang sumber-sumber kekuasaan. Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 13. Lihat juga Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 130.
61
penggunaan kekuasaan paksaan, mereka lakukan dengan cara paksaan seperti mengancam, melukai, bahkan membunuh kepada orang lain yang tidak mengikuti keinginannya. Antonio Gramschi menyebutnya sebagai praktek dominasi atau penindasan.82 Oleh karena praktik kekuatan fisik dan uang itu pula yang kemudian banyak pihak menyebut sebagian besar prilaku anggota organisasi pemuda di Sumatera Utara mirip dengan premanisme. Namun, bukan berarti prilaku kekerasan dan uang yang sering dilakukan tokoh organisasi pemuda tidak disukai oleh masyarakat. Sebagian dari tokoh organisasi pemuda itu menjadi anggota dan pengurus partai politik dan terpilih menjadi anggota legislatif serta pejabat eksekutif di Provinsi Sumatera Utara. Jabatan formal yang diperoleh kader Pemuda Pancasila digunakan secara lebih otonom dalam menentukan pilihannya pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari para elit politik di Jakarta. Potensi kekuatan fisik yang dimiliki oleh organisasi pemuda di Sumatera Utara menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh calon anggota legislatif. Pada saat Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1 DPR, tercatat beberapa nama calon anggota legislatif yang menjadi anggota atau pengurus organisasi pemuda di tingkat pusat maupun daerah. Keberadaan mereka akan berimplikasi pada perebutan basis suara yang diyakini dapat memberikan suara. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mendapatkan dukungan yang sama dari tokoh dan pimpinan organisasi.
82
Penjelasan tentang cara-cara penggunaan kekuasaan lihat Antonio Gramsci. 1971. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Roger Simon. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Press.
62
Tabel 3.1. Daftar Calon Anggota DPR dari Dapil Sumut 1 yang Menjalin Relasi dengan PP, IPK, dan FKPPI di Sumatera Utara No. Nama 1. Irmadi Lubis
Asal Partai PDIP
Jalinan Relasi Pemuda Pancasila
2.
Muetya Hafid
Golkar
Pemuda Pancasila
3.
Leo Nababan
Golkar
Ikatan Pemuda Karya
4.
Hardi Mulyono
Golkar
Pemuda Pancasila
5.
Ruhut Poltak Sitompul
Demokrat
Pemuda Pancasila & FKPPI
6.
Hasrul Azwar
PPP
Pemuda Pancasila
7.
Nurdin Tampubolon
Hanura
Pemuda Pancasila & FKPPI
Sumber: hasil penelitian, 2014.
Pimpinan organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI berpendapat bahwa partisipasi organisasi pemuda dalam Pemilu 2014 di Sumatera Utara menjadi keharusan. Bentuk nyata dari partisipasi tersebut adalah memberikan dukungan kepada calon anggota DPR dengan kriteria yang disepakati oleh pimpinan organisasi. Secara umum relasi yang terjalin tersebut menggunakan pola yang sama di semua organisasi pemuda. Oleh karena itu, penjelasan yang akan ditulis tidak dilakukan di setiap organisasi pemuda karena alasan kesamaan pola yang terjadi. Relasi yang terjalin di antara calon anggota akan dijelaskan pada bagian berikut ini. Dukungan yang diberikan adalah ikut serta membantu para calon anggota DPR berkampanye, memberi perintah kepada anggota organisasi untuk memilih calon yang didukung, dan mempengaruhi pemilih lainnya agar mencoblos calon tersebut. Memastikan dukungan yang diberikan kepada calon anggota DPR sesuai dengan jumlah suara yang ingin diperoleh maka ketua organisasi pemuda harus merancang mekanisme kerja pemenangan.
63
“…kami di Pemuda Pancasila itu membuat perintah kepada seluruh anggota organisasi tingkat cabang sampe ke ranting. Kalau apapun kegiatannya pasti perintah itu akan dipatuhi seperti sanki pemecatan organisasi. Mekanisme kami kepada anggota cuma satu yaitu perintah. Waktu Pemilu lalu, yang kami utamakan dukungan itu dari kader PP, setelah itu baru yang lain kalau tidak ada. Kami buat komitmen dulu dengan calon-calon itu, kalau nggak gitu, gak ada manfaatnya sama kami.”83 Bentuk komitmen yang terjalin antara pimpinan organisasi pemuda dengan calon anggota DPR adalah dukungan suara, kegiatan sosialisasi, dan pasca pemilihan. Ketua organisasi pemuda diminta untuk memberikan suara kepada calon anggota DPR yang didukung. Untuk mendapatkan suara itu maka calon anggota DPR akan memberikan bantuan pendanaan setiap kegiatan yang berkaitan dengan sosialisasi dalam rangka mendapatkan suara. Pasca terpilih sebagai anggota DPR, maka calon yang didukung harus selalu membantu kelancaran kegiatan organisasi secara umum dan kepentingan pimpinan organisasi terkait urusan pribadi.84 “…kita perlu ikut partisipasi dalam Pemilu itu karena kegiatan organisasi kita juga harus berlangsung karena kita juga harus tau apa kerja DPR ini. Jangan dipilih orang-orang yang gak mau tau dengan kita pemuda ini. Orang itu kan harus tau juga kalau FKPPI juga lahirnya dari pemerintah khususnya ABRI waktu dulu. Jadi, harus ikutlah memberi dukungan sama calon anggota DPR itu. Cuma masing-masing sudah harus tau adat istiadatnya.”85 Seorang calon anggota DPR yang menginginkan suara dari anggota organisasi pemuda bertemu dengan seorang tokoh salah satu organisasi 83
Wawancara dengan Anuar Shah, Ketua MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara, 8 Agustus 2014, pukul 14.00 Wib di Medan. Penjelasan yang hampir sama juga diutarakan oleh NS, 9 Agustus 2014, pukul 17.00 Wib di Medan. 84 Urusan pribadi yang dimaksud adalah urusan yang tidak terkait dengan program pemerintah, tetapi kepentingan pribadi seperti meminta bantuan untuk meluluskan ujian masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi tertentu, membantu memuluskan seseorang untuk jabatan di birokrasi, dan lain sebagainya. 85 Wawancara dengan NS, 9 Agustus 2014, pukul 17.00 Wib di Medan.
64
pemuda yang masih memiliki pengaruh. Setelah bertemu, calon tersebut membuat kesepakatan dengan ketua organisasi pemuda itu untuk mendapatkan suara. Untuk memastikan jalinan relasi antara calon anggota DPR dan pimpinan organisasi pemuda sesuai dengan kesepakatan tergantung dari lamanya perkenalan dan hubungan yang telah dilakukan. Semakin lama jalinan hubungan terjadi tanpa ada pihak yang merasa kecewa maka semakin mendekati kepastian kesepakatan akan dipatuhi masing-masing pihak. Pimpinan organisasi pemuda tidak begitu memperhatikan rekam jejak calon anggota DPR yang didukung. Alasan pemberian dukungan hanya dilakukan atas dasar hubungan yang telah terjalin dari masing-masing pihak serta dukungan pendanaan yang dimiliki oleh calon anggota DPR yang akan didukung. Penjelasan yang disampaikan oleh Ketua MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara bahwa dukungan suara akan diberikan kepada calon yang didukung dari anggota organisasi di daerah pemilihan. Melalui pengurus di tingkat cabang, diharapkan suara dapat diberikan kepada calon anggota DPR yang didukung. Hitungan suara yang akan diperoleh berasal dari jumlah anggota aktif yang selalu mengikuti kegiatan organisasi. Setiap anggota organisasi diwajibkan mencari sebanyak-banyaknya suara dari orang-orang yang tinggal serumah, tetangga, teman, dan kerabat. Data pemilih menjadi rujukan untuk mencari suara dengan jumlah tertentu di setiap TPS. Pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) kemudian didaftarkan sebagai pemilih yang sudah dipengaruhi untuk memilih calon anggota DPR yang didukung. Calon anggota DPR yang didukung oleh organisasi pemuda akan mendengarkan penjelasan ketua organisasi pemuda tentang potensi suara yang dapat diraih. Penjelasan itu sangat penting didengar oleh calon anggota DPR, agar dapat memastikan perolehan suara yang ingin didapat. Struktur organisasi yang tersebar dari mulai tingkat provinsi hingga
65
kecamatan, jumlah anggota yang dimiliki, dan pengaruh tokoh serta pimpinan organisasi menjadi pertimbangan penting bagi calon anggota DPR untuk mendekati organisasi pemuda di Sumatera Utara. Selain mengharapkan suara, calon anggota DPR meminta agar diberikan bantuan pengamanan di daerah pemilihannya pada setiap tahapan pemilihan.86 Oleh karena itu, ketika bertemu dengan pimpinan organisasi pemuda, calon anggota DPR mengharapkan jumlah suara yang nyata pada daerah pemilihan yang menjadi area kompetisi. “…hubungan saya dengan tokoh senior maupun ketua organisasi pemuda seperti PP sudah lama. Jadi, bukan hanya pada saat pemilu ini, tetapi berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Saya bertemu dengan mereka dan minta untuk dibantu agar saya bisa menang. Mereka pun akan membantu saya, caranya memberi perintah anggotanya untuk buat kegiatan, mengenalkan saya untuk dipilih. Anggotanya kan banyak, tinggal didekati dan dikasi perintah aja.”87 Potensi suara yang bisa diperoleh dihitung secara, meskipun tidak dapat dipastikan jumlahnya, tetapi antara calon anggota DPR dan pimpinan organisasi pemuda telah memahami akan mendapatkan suara tersebut. Setelah itu, rancangan kegiatan untuk melakukan sosialisasi calon anggota DPR yang didukung disepakati secara bersama. Jika ketua organisasi membuat acara untuk memperkenalkan calon anggota DPR yang didukung kepada anggotanya, maka calon tersebut akan membantu pendanaan untuk acara itu. Jumlah biaya yang dibantu adalah untuk pembelian konsumsi, transportasi, dan honor panitia yang mengatur acara tersebut. Tidak begitu banyak program penting yang disampaikan pada acara pertemuan untuk memperkenalkan calon anggota DPR yang didukung. Hanya semacam memberikan instruksi dan perintah bahwa 86
Bantuan pengamanan yang dimaksud adalah menjaga alat peraga (spanduk, selebaran, baleho, dan lain sebagainya), bertemu dengan para pemilih, dan tidak dicurangi pada saat hari pemilihan di TPS daerah pemilihan. 87 Wawancara dengan HA, calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1, 15 Agustus 2014, pukul 21.00 Wib di Medan.
66
pada saat di TPS, seluruh anggota PP, teman, maupun kerabatnya agar memilih calon anggota DPR yang didukung oleh PP. Tidak ada dialog maupun diskusi yang mempertanyakan program penting dari calon anggota DPR yang didukung. Penyampaian program dianggap bukan sesuatu yang dianggap penting untuk disampaikan karena antara calon anggota DPR dan pimpinan organisasi pemuda sudah sama-sama mengetahuinya. Setiap organisasi pemuda, tidak hanya memberi dukungan kepada satu calon anggota DPR. Ada beberapa calon anggota DPR yang juga diberikan dukungan meskipun berasal dari daerah pemilihan yang sama. Terkait dengan dukungan yang diberikan tersebut, pimpinan organisasi pemuda menentukan skala prioritas kepada siapa dukungan itu diberikan. Pertimbangan untuk menentukan skala prioritas itu adalah hubungan baik yang telah terjalin selama ini dan bukan dilakukan atas dasar program yang ditawarkan apalagi prestasi yang telah dilakukan oleh calon anggota DPR di daerah tersebut. Semakin baik hubungan yang saling menguntungkan itu berlangsung maka semakin tinggi skala prioritas yang ditentukan untuk didukung oleh pimpinan organisasi pemuda. Selain itu, faktor pendanaan menjadi pertimbangan kedua untuk menentukan skala prioritas dukungan. Jika pendanaan dari calon anggota DPR yang didukung untuk kegiatan sosialisasi kecil maka semakin kecil pula skala prioritas untuk dibantu meraih suara. Dukungan yang diberikan oleh pimpinan organisasi pemuda kepada calon anggota DPR di Daerah Pemilihan Sumut 1, dilakukan secara konsisten. Pertimbangan skala prioritas dan transaksi kegiatan yang diputuskan oleh pimpinan organisasi pemuda menjadi pedoman dalam
menjalankan
program
aksinya.
Hubungan
yang
saling
menguntungkan dan transaksional menjadi pertimbangan penting oleh pimpinan organisasi pemuda dalam memberikan dukungan kepada calon
67
anggota DPR di Dapil Sumut 1. Kedua bentuk relasi tersebut menjadi penting dilihat dari pelaksanaan kegiatan pemberian dukungan secara nyata dari pimpinan organisasi pemuda kepada anggotanya. “…beberapa kegiatan yang dibuat sama PP, saya hadiri. Saya juga memberikan bantuan dana untuk kegiatan itu. Acaranya yah…internal mereka, saya hadir dan diperkenalkan. Trus, bagibagi hadiah, nyebarin selebaran. Di acara itu, ketua PP wilayah, cabang, sampe ranting ada. Memang tidak banyak yang hadir, hanya pengurus organisasi dan beberapa anggota yang dianggap penting saja. Itu penjelasan dari pengurus wilayah.”88 Pada saat hari pemilihan digelar, setelah kegiatan sosialisasi dilakukan, anggota organisasi pemuda yang ditugaskan oleh ketuanya masing-masing, menjaga TPS secara bergiliran dari daftar petugas yang sudah diberikan. Tidak hanya menjaga, tetapi mereka juga mendatangi rumah para pemilih di sekitar TPS itu untuk hadir dan memberikan suara. Sebagian dari mereka juga diberikan tugas untuk menjadi anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS). 89 Sangat penting bagi anggota organisasi pemuda melaksanakan perintah yang telah diberikan dari ketua organisasinya. Jika perolehan suara didapat sesuai target yang ditentukan maka anggota organisasi yang diberikan tugas akan mendapatkan apresiasi khusus seperti diberikan uang, jabatan yang dapat menghasilkan uang, dan tugas-tugas lainnya. “…kami punya gaya perintah yang khusus ke semua anggota organisasi. Kita kasi orang itu (maksudnya anggota organisasi) makan, ya harus bisa menjalankan perintah organisasi. Kalau gak bisa kita pecat, kalau bisa kita kasih penghargaan. Waktu di TPS, anggota itu kita berikan tanggung jawab lah. Berapa suara yang
88
Wawancara dengan IL, calon anggota DPR PDIP dari Dapil Sumut 1, 24 Juli 2014, pukul 15.30 di Medan. 89 KPPS adalah petugas pemilu di TPS untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara serta mengirimnya ke Panitia Pemilihan Suara (PPS) di kelurahan. Peneliti tidak dapat menemukan data pasti berapa jumlah anggota organisasi pemuda yang ditugaskan sebagai KPPS maupun tugas lainnya yang diberikan oleh pimpinan organisasinya.
68
bisa kau kasi untuk calon DPR yang kita dukung. Harus jelas itu semua kalau kita mau ngasih dukungan.”90 Kesetiaan anggota organisasi kepada ketuanya menjadi indikator utama untuk menentukan jalannya perintah pimpinan. Kesetiaan itu juga yang membuat roda organisasi dapat berlangsung secara terus menerus. Ketergantungan anggota organisasi kepada pimpinan dan institusinya berlangsung atas dasar pemenuhan kebutuhan hidup. Organisasi pemuda seperti PP, IPK, dan FKPPI, bagi mayoritas anggotanya, menjadi salah satu wadah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Atas dasar itulah, maka mereka memberikan loyalitas kepada pimpinan dan institusnya sendiri. Perintah dan cara memenangkan calon anggota DPR yang didukung dari pimpinan organisasi disebarkan ke seluruh wilayah yang disesuaikan dengan daerah pemilihan. Untuk Dapil Sumut 1, maka perintah pengurus wilayah Sumatera Utara akan disebarkan ke Kota Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Tebing Tinggi. Keempat daerah pemilihan itu, menjadi arena kompetisi di antara anggota organisasi pemuda yaitu PP, IPK, dan FKPPI. Pada tingkat akar rumput, masing-masing anggota organisasi mencoba mempengaruhi para pemilih di sekitar tempat tinggal dan aktivitas keseharian mereka. Masing-masing organisasi telah “memiliki wilayah” binaan dan sepertinya telah menjadi kesepakatan tidak tertulis. Satu organisasi tidak akan memasuki wilayah yang telah “dikuasai” organisasi yang lain. Oleh karena itu, pada Pemilu 2014 lalu, wilayah untuk melakukan kampanye atau penjagaan TPS sulit akan terjadi perebutan suara di antara ketiga organisasi pemuda tersebut. Kota Tebing Tinggi misalnya, ketiga organisasi pemuda tersebut bila menentukan afiliasi politiknya kepada partai tertentu, kerapkali 90
Wawancara dengan Boyke Turangan, Ketua MPC PP Kota Medan, 19 Juni 2014, pukul 11.30 Wib, di Medan.
69
bergantung kepada afiliasi politik pimpinannya atau ketua. IPK Kota Tebing Tinggi yang dipimpin Erik Sitorus berafiliasi ke Partai Demokrat karena Erik merupakan anggota DPRD Kota Tebing Tinggi periode 2009-2014 dan caleg untuk DPRD Sumatera Utara Dapil Sumut 3 juga dari Partai Demokrat. Sedangkan organisasi FKPPI dipimpin oleh Ferry Lukas Tarigan yang merupakan caleg DPRD Kota Tebing Tinggi Dapil Tebing Tinggi 1 dari Partai Golkar, sehingga FKPPI berafiliasi ke Partai Golkar pada Pemilu tahun 2014. Prioritas dukungan yang diberikan Ketua Pemuda Pancasila Kota Tebing Tinggi kepada calon anggota DPR adalah kepada Hardi Mulyono dan Meutya Hafid (Partai Golkar nomor urut 10 dan 2). Proses pemberian dukungan tersebut karena hubungan antara Hardi Mulyono dengan Syafri Chap, Ketua PP Kota Tebing Tinggi, sudah lama terjalin. Tetapi pada saat kampanye dan hari pemilihan, Hardi Mulyono, tidak dapat secara penuh memberikan bantuan dana untuk kegiatan pemenangan. Atas alasan itu, Hardi Mulyono tidak berhasil meraih suara maksimal di Kota Tebing Tinggi dan gagal terpilih menjadi anggota DPR dari Dapil Sumut 1. Sedangkan, Meutya Hafid terpilih sebagai anggota DPR dari Dapil Sumut 1. Organisasi Pemuda Pancasila Tebing Tinggi sampai sekarang masih dipimpin oleh tokoh kawakan HM Syafri Chap, yang telah memimpin Partai Golkar Tebing Tinggi sejak tahun 1990-an. Selama kepemimpinannya, Partai Golkar Tebing Tinggi selalu keluar sebagai pemenang Pemilu legislatif di Kota Tebing Tinggi mulai dari Pemilu 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Buah dari kemenangan Partai Golkar adalah dengan duduknya HM Syafri Chap di kursi Ketua DPRD Kota Tebing Tinggi hasil Pemilu 1999, 2004 hingga 2009. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa kemenangan Partai Golkar selama beberapa momentum pemilihan umum baik sebelum maupun sesudah reformasi di
70
Kota Tebing Tinggi tidak terlepas dari peran organisasi Pemuda Pancasila yang diorganisir oleh HM Syafri Chap. Meskipun menerapkan gaya kepemimpinan yang sentralistis (otoriter) namun HM Syafri Chap telah berhasil membangun sebuah kekuatan yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi dalam peta politik dan pemerintahan di Kota Tebing Tinggi hingga sekarang. Bukan hanya pada momentum pemilu legislatif di Kota Tebing Tinggi, pada momentum pemilihan lainnya seperti pemilihan gubernur pun organisasi Pemuda Pancasila selalu diperhitungkan. Contoh menarik terjadi pada Pilgub secara langsung yang pertama kali tahun 2008, dimana suara kader Pemuda Pancasila diarahkan kepada pasangan Syamsul Arifin – Gatot Pudjo Nugroho (Sampurno), padahal Partai Golkar waktu itu mencalonkan juga Ketua Golkar Sumut Ali Umri yang berpasangan dengan H Maratua Simanjuntak. Alasan HM Syafri Chap adalah Syamsul Arifin merupakan temannya sejak puluhan tahun, sehingga ada ungkapan beliau bahwa “istilah mantan Ketua ada, tetapi mantan kawan tidak pernah ada”. Khusus pada Pemilu legislatif tahun 2014, afiliasi politik organisasi Pemuda Pancasila Tebing Tinggi tetap diarahkan kepada Partai Golkar dengan sebab yang sama, yakni kedua organisasi tersebut (Pemuda Pancasila dan Partai Golkar) dipimpin oleh orang yang sama, yakni HM Syafri Chap. Dari 5 kuri DPRD Kota Tebing Tinggi yang berhasil diperoleh Partai Golkar, 4 di antaranya diduduki oleh kader Pemuda Pancasila Tebing Tinggi, yakni Ibrahim Nasution, Basharuddin , Yuridho Chap (anak kandung HM Syafri Chap) dan Hendra Gunawan (menantu HM Syafri Chap). Selain pada DPRD Kota, dukungan Pemuda Pancasila Tebing Tinggi juga diberikan kepada calon anggota DPR Dapil Sumut 1 dari Partai Golkar. Hasilnya, perolehan suara Partai Golkar Dapil Sumut 1 di Kota Tebing Tinggi merupakan yang tertinggi dibandingkan partai politik lainnya.
71
Di antara 10 orang calon anggota DPR Dapil Sumut 1 dari Partai Golkar, yang mendapat dukungan resmi dari Pemuda Pancasila adalah Meutya Hafid dan Hardi Mulyono.91 Pola relasi yang terjadi di antara caleg DPR-RI tersebut dengan organisasi Pemuda Pancasila tetap melalui satu perintah yakni melalui HM Syafri Chap. Kedua caleg tersebut menemui HM Syafri Chap untuk meminta dukungan resmi dari Pemuda Pancasila agar mengarahkan para kadernya untuk mendukung Meutya dan Hardi. Hasilnya, dari 10 caleg DPR-RI Dapil Sumut 1 Partai Golkar, Meutya berhasil memperoleh suara tertinggi di Tebing Tinggi. Transaksi yang terjadi di antara Pemuda Pancasila Tebing Tinggi dengan Meutya adalah pemberian dana yang diperuntukkan bagi operasional kegiatan kampanye. Meutya hanya berpartisipasi mendukung terselenggaranya kegiatan kampanye Partai Golkar di Tebing Tinggi, dengan menyediakan alat-alat peraga kampanye serta bantuan materil penyelenggaraan kampanye. Sebagaimana pada pemilu sebelumnya, komitmen politik yang terjadi antara organisasi Pemuda Pancasila dengan calon anggota DPR adalah bila calon tersebut terpilih adalah membantu kegiatan PP di Kota Tebing Tinggi jika diperlukan. Komitmen Meutya dengan tokoh PP dapat terjalin karena adanya jaminan dari salah seorang tokoh yang berkedudukan di Jakarta. Suasana yang tidak begitu berbeda juga terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai. Pemuda Pancasila di Kabupaten Serdang Bedagai memberikan prioritas dukungan kepada Hardi Mulyono. Tetapi dalam perjalanan kampanye, Hardi Mulyono, tidak memberikan kebutuhan yang diperlukan untuk kegiatan pemenangan. Dukungan itu kemudian berubah diberikan kepada Irmadi Lubis atas perintah Ketua PP Wilayah Sumatera Utara dan Boyke Turangan, Ketua PP Kota Medan. Dasar pengalihan 91
Wawancara dengan Rusli, Sekretaris PP Kota Tebing Tinggi, 16 Juli 2014, pukul 17.00 Wib di Tebing Tinggi.
72
dukungan karena komitmen Irmadi Lubis untuk menyediakan kebutuhan kampanye terpenuhi. Syaiful Azhar, Ketua PP Serdang Bedagai, menjelaskan bahwa pengalihan dukungan karena alasan operasional dan adanya perintah dari pengurus wilayah Sumatera Utara.92 Irmadi Lubis terpilih menjadi anggota DPR Periode 2014-2019, meskipun tidak ditemukan data yang pasti jumlah suara yang diperoleh berasal dari anggota Pemuda Pancasila Serdang Bedagai. Ruhut Sitompul menjalin hubungan dengan FKPPI Kabupaten Serdang Bedagai. Basis suara yang direbut oleh Ruhut berasal dari wilayah yang mayoritas pemilihnya beragama Kristen. Pengurus FKPPI tidak secara resmi mendukung Ruhut sebagai calon anggota DPR, tetapi Ruhut mencari kader-kader FKPPI di Serdang Bedagai yang beragama Kristen untuk memberi dukungan dan mencari suara di daerah tersebut. Relasi yang terjalin antara Ruhut dan kader-kader FKPPI tersebut dilakukan atas dasar transaksi yaitu memberikan sejumlah uang untuk kegiatan kampanye dan pemberian “sesuatu” menjelang hari pemilihan. Ruhut membentuk tim sukses yang dipilih oleh orang-orang yang dipercayanya mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Tidak ada komitmen secara organisasi yang dilakukan Ruhut dengan kaderkader FKPPI di Kabupaten Serdang Bedagai, tetapi semua dilakukan secara transaksional dengan mengutamakan uang dan alasan kesamaan agama. Ruhut terpilih sebagai anggota DPR dari Dapil Sumut 1 dari Partai Demokrat Nomor Urut 1 dengan jumlah suara tertinggi di wilayah yang mayoritas pemilihnya beragama Kristen di Kabupaten Serdang Bedagai.93 Kabupaten Deli Serdang menjadi daerah dengan jumlah pemilih terbesar kedua setelah Kota Medan. Wilayah ini menjadi arena kompetisi 92
Wawancara dengan Syaiful Azhar, 3 Juli 2014, pukul 10.30 Wib, di Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. 93 Wawancara dengan RS, 21 Juli 2014, pukul 15.30 Wib, di Medan.
73
yang sangat dinamis bagi para calon anggota DPR yang menjalin relasi dengan organisasi pemuda. Hasrul Azwar, calon anggota DPR dari PPP di Dapil Sumut 1, menjadikan Deli Serdang sebagai basis perolehan suaranya setelah Medan. Hasrul Azwar meminta Ketua MPW Pemuda Pancasila membantunya untuk meraih suara dari anggota PP. Komitmen di antara mereka terjadi pada Pemilu 2014 karena hubungan yang telah lama terjalin. Selain itu, Hasrul juga memberikan bantuan dana untuk kegiatan kampanye yang dilakukan oleh internal PP seperti pertemuan dengan anggota organisasi, menyebarkan alat peraga, dan kegiatan untuk menjaga suara di beberapa TPS. Basis suara yang akan direbut berada di wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan, wilayah yang jumlah pemilihnya terbesar di Kabupaten Deli Serdang.94 Tidak begitu banyak pembicaraan program yang akan dilakukan oleh Hasrul pada saat kegiatan pertemuan yang dilakukan oleh PP. Beberapa acara yang dihadirinya hanya memperkenalkan dirinya kemudian membagikan alat peraga berupa kalender, spanduk, dan lainnya. Hasil yang diperoleh HA dari jalinan hubungan dengan PP, meskipun tidak ditemukan jumlah pastinya, dipercaya menambah perolehan suara bagi dirinya. Sebagai kader Partai Islam, Hasrul, hanya memberikan
penjelasan
tentang
komitmennya
untuk
lebih
memberdayakan umat Islam seperti memberikan bantuan untuk anakanak muslim yang kesulitan sekolah dan membayar biaya guru ngaji di beberapa wilayah Kabupaten Deli Serdang. Hasrul Azwar terpilih menjadi anggota DPR dari PPP di Dapil Sumut 1 pada Pemilu 2014. Kota Medan menjadi satu-satunya basis perebutan suara calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1. Selain jumlah pemilih yang paling besar di Sumatera Utara, wilayah Medan lebih mudah untuk dikunjungi 94
Wawancara dengan HA, calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1, 15 Agustus 2014, pukul 21.00 Wib di Medan. Penjelasan serupa juga diperoleh dari wawancara dengan Anuar Shah, Ketua MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara, 8 Agustus 2014, pukul 14.00 Wib di Medan.
74
oleh para calon anggota DPR. Banyaknya jumlah organisasi pemuda di Kota Medan menyebabkan calon anggota DPR memilih organisasi yang dipastikan akan membantu kemenangan dalam kompetisi Pemilu 2014. Selain itu, seluruh tokoh pemuda yang memiliki pengaruh menetap di Kota Medan. Setiap calon anggota DPR yang telah mengetahui konfigurasi politik di Kota Medan akan sangat hati-hati dalam menjalin relasi dengan organisasi pemuda di Medan. Organisasi Pemuda Pancasila memberikan dukungan karena adanya kader Pemuda Pancasila yaitu Ajib Shah yang merupakan Ketua DPD I Partai Golkar Sumatera Utara yang berkeinginan memenangkan Partai Golkar di Provinsi Sumatera Utara. Jika Partai Golkar menang di Sumatera Utara maka yang akan menjadi Ketua DPRD Sumatera Utara adalah Ajib Shah. Untuk mewujudkan keinginan itu, maka Ketua MPW Pemuda Pancasila Anuar Shah, yang merupakan adik kandung Ajib Shah, memberikan instruksi kepada seluruh kader PP untuk mendukung dan memenangkan Partai Golkar khususnya untuk Caleg DPRD Sumatera Utara. Ketua MPC Pemuda Pancasila Kota Medan, Boyke Turangan, mengarahkan kader PP untuk memilih Partai Golkar untuk Caleg DPRD Sumut, tetapi untuk DPR RI Boyke Turangan memberikan dukungan kepada Irmadi Lubis caleg DPR RI asal PDI Perjuangan dikarenakan Boyke yang merupakan kader PDI Perjuangan dan mempunyai ikatan emosional dengan Irmadi Lubis. Boyke juga mengatakan dibutuhkan dana untuk mensosialisasikan Irmadi Lubis melalui struktur organisasi. Irmadi Lubis menepati perjanjian yang telah disepakati bersama dengan
75
Boyke.95 Irmadi terpilih menjadi anggota DPR dari PDIP di Dapil Sumut 1 pada Pemilu 2014. Keberuntungan yang didapat oleh PP tidak semulus IPK yang hanya mendukung calon anggota DPR dari kadernya sendiri, itu pun harus ada kesepakatan bersama serta mampu menyediakan dana taktis untuk organisasi. Sejak meninggalnya Olo, IPK tidak cukup kuat lagi melakukan aktivitas organisasi terutama menjalin relasi dengan para tokoh lokal dan nasional. Kondisi itu menjadi salah satu penyebab IPK tidak memiliki kekuatan yang cukup dalam menjalin relasi dengan calon anggota DPR yang memiliki kemampuan untuk terpilih. “… penyelenggaraan Pemilu 2014 masih diwarnai dengan money politic, jadi yang bisa menjadi anggota DPR hanya yang punya duit, dengan duit para caleg (calon legislatif) sangat mudah mendekati dan mencari kantong-kantong suara, caleg tersebut tinggal dating dan membagi kan uang tersebut kepada calon pemilihnya.”96 Dukungan FKPPI kepada calon anggota DPR, diberikan kepada para kadernya. Ruhut Sitompul adalah salah seorang kader FKPPI yang mencalonkan dirinya kembali menjadi anggota DPR dari Dapil Sumurt 1. Ruhut Sitompul mendapat dukungan GM FKPPI Kota Medan. Komitmen yang dijalin antara Ruhut dengan pengurus GM FKPPI Kota Medan dilakukan secara transaksional. Ruhut tidak perlu turun langsung ke daerah pemilihan untuk mensosialisasikan dirinya, cukup para kader FKPPI dan GM FKPPI yang bekerja termasuk memasang alat peraga kampanyenya seperti spanduk, baleho, stiker, dan lain-lain. Untuk seluruh biaya kegiatan itu, Ruhut, memberikan dana operasional kepada pengurus dan anggota GM FKPPI di Kota Medan. Selama ini, Ruhut, 95
Wawancara dengan IL, calon anggota DPR PDIP dari Dapil Sumut 1, 24 Juli 2014, pukul 15.30 di Medan. Penjelasan yang sama juga disampaikan dari wawancara dengan Boyke Turangan, Ketua MPC PP Kota Medan, 19 Juni 2014, pukul 11.30 Wib, di Medan. 96 Wawancara dengan Basirun, Ketua DPD IPK Kota Medan, 19 Juni 2014, di Medan.
76
sering membantu kegiatan yang dilakukan FKPPI maupun GM FKPPI Kota Medan. 3.2. Bentuk Transaksi Antara Calon Legislatif dan Tokoh Pemuda Sistem Pemilu 2014 menjelaskan bahwa setiap calon anggota legislatif yang mampu mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya memiliki peluang yang besar menjadi pemenang. Meskipun beberapa persyaratan seperti terpenuhinya parliamentary threshold untuk calon anggota legislatif di DPRRI menjadi sangat penting. Atas dasar itu, setiap calon anggota legislatif akan mencari suara sebanyak-banyaknya dan cenderung tidak peduli dengan calon sesama partai politik apalagi antar partai politik. Seluruh aktor yang berpengaruh, kelompok dan komunitas yang ada di masyarakat menjadi target suara yang harus didekati. Tidak terkecuali bagi tokoh organisasi pemuda yang dipercaya memiliki basis keanggotaan pemuda yang cukup banyak di Sumatera Utara. Sebagian calon anggota DPRRI dari Dapil 1 Sumatera Utara sangat percaya bahwa organisasi pemuda di Sumatera Utara dapat membantu mereka untuk meraih suara dalam Pemilu 2014 (lihat Tabel 5.5). Mereka yang termasuk dalam kategori pertama ini adalah calon anggota legislatif yang pernah atau masih aktif menjadi pengurus organisasi pemuda. Sebagai tokoh yang selalu memiliki perhatian terhadap organisasi pemuda maka para calon anggota DPRRI dari Dapil 1 Sumatera Utara menjalin kesepakatan dengan pimpinan organisasi atau tokoh pemuda di Sumatera Utara. Bentuk kesepakatan yang terjalin adalah calon anggota DPRRI dari Dapil 1 Sumatera Utara melakukan pertemuan dengan anggota organisasi di tingkat cabang hingga ranting dalam rangka meraih suara saat hari pencoblosan suara. Detail dari pertemuan tersebut termasuk jadwal, tempat, pendanaan, dan materi acaranya disepakati
77
secara bersama. Calon anggota legislatif memberikan dana yang dibutuhkan
untuk
acara
itu
dan
pimpinan
organisasi
pemuda
mempersiapkan pertemuan tersebut. Tidak semua calon anggota legislatif yang menjalin kesepakatan berhasil meraih dukungan penuh dari pimpinan organisasi pemuda. Mereka yang relatif disebut berhasil karena memiliki hubungan emosional yang sangat dekat dan disertai dengan pemenuhan kebutuhan materi yang diperlukan bagi anggota organisasi pemuda. Kebutuhan materi yang diperlukan tidak hanya sebatas pada saat pelaksanaan acara untuk meraih suara itu, tetapi berlangsung secara terus menerus tanpa melihat substansi kebutuhan yang disampaikan oleh anggota, pengurus maupun tokoh organisasi pemuda. Selain hubungan emosional yang sudah terjalin, tidak semua tingkatan organisasi pemuda yang mentaati perintah dari struktur di atasnya atau tidak semua arahan organisasi provinsi
dapat
dipastikan
akan
dijalankan
oleh
pengurus
di
kabupaten/kota hingga ranting. Masing-masing pimpinan organisasi setiap tingkatan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memberi dukungan kepada calon anggota legislatif. Beragam motif dan alasan yang menyebabkan adanya diferensiasi dukungan dari tokoh organisasi pemuda. Atas dasar itu, harus ada perlakuan khusus yang diperbuat oleh calon anggota legislatif untuk meraih simpati dan dukungan dari pimpinan organisasi pemuda di tingkat kota/kabupaten. Sebut saja seperti Lubis yang menjalin kesepakatan dengan Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan pada saat Pemilu 2014 meraih suara yang cukup besar di basis-basis yang dijanjikan oleh tokoh Pemuda Pancasila di Kota Medan dan Deli Serdang. Tetapi, hasil yang sama tidak diperoleh Irmadi di wilayah Serdang Bedagai dan Kota
78
Tebing Tinggi.97 Oleh karena itu, pada kategori pertama ini, hubungan emosional dan transaksi dalam bentuk uang dan dukungan (saling memberi dan menerima) menjadi bentuk hubungan yang paling kuat antara anggota DPRRI dari Dapil 1 Sumatera Utara dengan pimpinan organisasi pemuda. Kategori kedua dari bentuk transaksi yang dilakukan adalah sebagian pimpinan organisasi tidak begitu mempertimbangkan hubungan emosional yang telah atau pernah terjalin sebelumnya. Calon anggota DPRRI Dapil Sumatera Utara 1 yang tidak pernah menjalin hubungan dengan pimpinan organisasi pemuda meminta dukungan untuk meraih suara di lokasi-lokasi tertentu sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak. Para caleg itu, kemudian diminta memberikan sejumlah dana untuk melakukan sosialisasi dengan anggota organisasi pemuda pada lokasi-lokasi sebagaimana yang telah disepakati. Kegiatan pertemuan dengan anggota organisasi pemuda tetap dilaksanakan, tetapi hasil suara yang diperoleh tidak sesuai seperti yang diharapkan. Banyak faktor yang menjadi penyebab tidak tercapainya perkiraan perolehan suara dengan perolehan suara pada saat perhitungan di TPS. Sedikitnya interaksi yang dilakukan para caleg dengan pimpinan organisasi pemuda menjadi salah satu penyebab kegagalan meraih suara sebagaimana yang diharapkan. Tidak semua pimpinan organisasi pemuda yang mempertimbangkan gagasan dan rekam jejak para caleg untuk ditawarkan kepada seluruh anggota organisasi berikut jaringan yang dimilikinya. Selalu saja hubungan emosional yang sebelumnya telah terjalin lama menjadi pertimbangan penting untuk memberikan dukungan. Ramadhan Pohan, caleg DPRRI Sumut 1, mencoba memberikan tawaran kesepakatan dengan salah seorang tokoh organisasi pemuda untuk meraih suara di lokasi yang telah disepakati. Ramadhan 97
Wawancara dengan IL, 13 Oktober 2014, di Medan.
79
kemudian menyetujui permintaan dari tokoh organisasi pemuda kecuali pemberian uang secara langsung untuk mendapatkan suara. Ramadhan hanya memberikan bantuan berupa konsumsi pertemuan dan alat peraga yang dibutuhkan untuk dibagikan ke anggota organisasi dan jaringannya. Hasilnya, Ramadhan tidak banyak mendapatkan suara di daerah-daerah sebagaimana yang disepakati dan dia tidak terpilih menjadi anggota DPR RI Periode 2014-2019.98 Hal yang berbeda dialami oleh Ruhut, yang menjalin kesepakatan dengan Pemuda Pancasila dan FKPPI secara langsung dengan tokoh organisasi pemuda di tingkat desa atau lingkungan, tanpa melalui Pengurus Wilayah Sumatera Utara. Kesepakatan dilakukan langsung dengan pimpinan ranting (tingkat lingkungan) tanpa unsur pimpinan di atasnya. Ruhut dan tim suksesnya sangat ketat melakukan pengawasan dari kesepakatan yang telah dijalin dengan beberapa pimpinan organisasi pemuda secara langsung di tingkatan desa atau lingkungan. Hasilnya Ruhut memperoleh suara yang cukup di wilayah yang menjadi basis kampanyenya. Meskipun tingkat popularitas Ruhut yang sangat tinggi karena relatif dikenal oleh sebagian besar pemilih di Dapil Sumut 1, tetapi Ruhut menjalankan strategi pemenangan yang sangat ketat untuk memastikan suara yang hendak diperolehnya.99 Ketiga narasumber yang disebutkan di atas, secara terpisah, menjelaskan bahwa struktur organisasi pemuda di Sumatera Utara (Pemuda Pancasila, IPK, dan FKPPI) yang telah terbentuk hingga ke tingkat desa atau lingkungan, memudahkan mereka untuk menawarkan kerjasama kepada setiap caleg agar meraih suara dalam Pemilu. Tidak semua jenjang atau tingkatan organisasi pemuda mengikuti arahan atau 98
Wawancara dengan seorang caleg DPR RI, 10 Oktober, di Medan. Salah seorang kerabatnya tercatat sebagai kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara yang disegani karena mengetahui sejarah pembentukan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. 99 Wawancara dengan RS, 5 September 2014, di Medan.
80
perintah pimpinan organisasi, walaupun selalu saja pimpinan organisasi di atasnya memberikan arahan atau perintah dalam menggerakkan anggota organisasi. Situasi itu terjadi karena beragamnya kepentingan yang ada di antara pimpinan organisasi pemuda sehingga tidak selalu sesuai dengan keinginan anggota organisasi. Keterikatan
pemuda
sebagai
anggota
organisasi
dengan
institusinya, hampir seluruhnya, hanya didasarkan oleh pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tidak sedikit anggota organisasi pemuda yang mendapatkan uang dengan cara memberi jasa keamanan dan petugas parkir di wilayah-wilayah tertentu. Jarang ditemukan seorang anggota organisasi pemuda yang aktif dalam kegiatan organisasi dilakukan atas pengabdian dirinya untuk melakukan aktivitas sosial yang dapat meningkatkan harkat dan martabat pemuda. Atas dasar itulah, anggota organisasi pemuda sulit untuk menjalankan arahan atau perintah dari pimpinan organisasi jika tidak diiringi dengan imbalan materi yang sesuai dengan perintah tersebut. Keterlibatan anggota organisasi pemuda dalam kegiatan pemilu seharusnya dapat mendorong mereka untuk menjalin kesepakatan dengan calon anggota legislatif agar sangat memperhatikan kegiatan organisasi pemuda. Tokoh, pimpinan, dan anggota organisasi pemuda diharapkan meminta seluruh caleg yang menjalin kesepakatan harus menjadi bagian dari hidup dan matinya organisasi pemuda. Sehingga proses regenerasi elit partai politik, yang salah satu sumbernya dari organisasi pemuda, dapat berlangsung secara berkelanjutan dalam kuantitas maupun kualitasnya. Pimpinan organisasi pemuda harus dapat memastikan bahwa mereka memiliki wakil di DPR yang secara serius memperhatikan aktivitas perkembangan pemuda di daerah. Aspirasi pemuda di daerah dengan cepat akan mendapat respon dari pengambil kebijakan di legislatif maupun eksekutif.
81
Kesepakatan yang terjalin seharusnya tidak selalu dilakukan atas dasar transaksional, tetapi lebih dipertimbangkan pemikiran atau gagasan untuk meminimalisir persoalan yang dihadapi pemuda di daerah. Proses regenerasi
tokoh
politik
yang
diperlukan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat hanya dapat diperoleh jika sumber dari rekrutmen itu terjadi secara alamiah. Kadar alamiah itu terkait dengan kebutuhan bersama yang menjadi prioritas untuk diperoleh bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. Aktivitas organisasi pemuda di Sumatera Utara dalam kegiatan politik diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik dalam posisinya sebagai pelaku, pemerhati, atau penerima manfaat. Oleh karena itu, bentuk transaksi yang seharusnya dilakukan oleh pimpinan atau tokoh organisasi pemuda adalah dengan melihat ide, gagasan, dan rekam jejak para caleg yang akan dibantu mendapatkan suara. Semakin baik ide, gagasan, dan rekam jejak yang menjadi pertimbangan maka akan semakin banyak kegiatan dukungan yang harus diberikan. Jika ide, gagasan, dan rekam jejak itu menjadi pertimbangan utama dalam memberi dukungan maka proses regenerasi elit politik di tingkat lokal dan nasional akan berjalan dalam kadar kualitas yang sangat baik. 3.3. Pola Relasi Simbiosis Mutalisme dan Transaksional di Sumut Ketiga organisasi pemuda di Sumatera Utara (PP, IPK, dan FKPPI) memiliki kontribusi dalam kontestasi Pemilihan Umum 2014 di Sumatera Utara. Keterlibatan mereka mulai dari menjalin kesepakatan dengan calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1 tanpa melihat asal partainya, memobilisasi potensi organisasi pada saat kampanye, dan menjaga TPS pada hari pemilihan adalah bagian dari optimalisasi kekuatan yang dimiliki. Meskipun sulit untuk membuktikan ukuran kuantitatif tentang pengaruh dukungan PP, IPK, dan FKPPI dalam calon anggota DPR yang
82
didukung. Namun peran PP, IPK, IPK di Sumatera Utara dalam Pemilu 2014 itu setidaknya mengambarkan bahwa organisasi pemuda memiliki pengaruh kepara pemilih di Sumatera Utara khususnya Dapil Sumut 1. Upaya pemenangan yang dilakukan PP, IPK, dan FKPPI di Sumatera Utara terhadap pemilih untuk memenangkan caleg yang didukungnya menjadi bagian dari kemenangan tersebut. Mulai dari tahapan menjalin komitmen, mobilisasi potensi organisasi, dan menjada TPS dilakukan dengan cara-cara yang beragam, saling mengait, dan penuh intrik. Peran PP, IPK, dan FKPPI dalam pemilihan Pemilu 2014 itu dilakukan sebagai bagian dari cara untuk mempertahankan akses kekuasaan dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang dikuasai. Keberhasilan memelihara basis anggota organisasi, menjalin komitmen dengan calon anggota DPR Dapil Sumut 1 dilakukan atas dasar kepentingan yang beragam di antara pengurus Pemuda Pancasila. Relasi yang terjalin antara pimpinan organisasi pemuda dengan calon anggota DPR itu itu dilakukan atas dasar hubungan yang saling menguntungkan.100 Di satu sisi, organisasi pemuda menginginkan tetap memperoleh akses mendapatkan sumber-sumber daya lokal (local government resources). Sementara di sisi lain, para calon anggota DPR membutuhkan kekuatan organisasi pemuda untuk mereaih suaram melalui berbagai kegiatan. Beragam kepentingan politik dan ekonomi organisasi pemuda di Sumatera Utara harus disalurkan kepada para kader dan pengurusnya. Untuk melanjutkan eksistensi organisasi, maka kader dan pengurus Pemuda Pancasila harus menjalin relasi dengan para calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1. Relasi itu dilakukan untuk kepentingan mendapatkan 100
Teori Sidel tentang Bosisme menjelaskan hal yang sama yaitu penyanggah utama pola hubungan antara birokrat, bos-bos partai, dan pengusaha terjalin atas dasar hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Teori Sidel berlaku dalam menjelaskan kasus relasi organisasi pemuda dengan calon anggota DPR dalam Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1. Lihat John T. Sidel. 1997. “Philippine Politics ......”. Loc. Cit. hal. 962.
83
akses kekuasaan yang berimplikasi kepada usaha-usaha yang dapat menghasilkan uang. Kepentingan untuk memperoleh akses kekuasaan dilakukan dalam rangka mendapatkan melanjutkan kekuasaan mereka di organisasi pemuda sebagai upaya untuk mencoba mendapatkan “sesuatu” yang bersumber dari negara terutama pada sektor-sektor yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Calon terpilih harus memberikan bantuan kemudahan kepada pengurus organisasi pemuda untuk mendapatkan “sesuatu” informasi apapun yang diinginkan. Atas dasar itulah, calon anggota DPR terpilih dari Dapil Sumut 1 harus membantu tokoh organisasi pemuda dalam rangka pengamanan kekuasaannya di daerah tersebut. Agar kepentingan untuk tetap mempertahankan akses politik dan ekonomi itu, maka pengurus organisasi pemuda di Sumatera Utara harus menjalin relasi dengan berbagai pihak yang berpengaruh. Kedekatan pengurus organisasi pemuda dengan hampir semua calon anggota DPR terjalin sejak lama di Sumatera Utara. Dari peristiwa yang dilalui itu, relasi di antara mereka berjalan atas dasar saling menguntungkan. Masing-masing pimpinan organisasi memahami benar kepentingan terkait kegiatan yang dilakukan.
84
Gambar 3.1. Pola Relasi Hubungan yang Saling Menguntungkan
Organisasi Pemuda 1. Dasar relasi dilakukan atas hubungan yang sudah terjalin. 2. Komitmen yang dijalin berupa: a. memberikan bantuan dana operasional pemenangan. b. memperhatikan kegiatan organisasi. c. membantu melancarkan urusan pribadi terkait jaringan yang dimiliki oleh calon anggota DPR.
Calon Anggota DPR
Hubungan yang Saling Menguntunkan
1. Menyerahkan bantuan dana untuk operasional kegiatan pemenangan. 2. Memberikan bantuan untuk kelancaran organisasi dan pribadi tokoh organisasi pemuda. 3. Memperoleh dukungan dan suara dari anggota organisasi di seluruh daerah pemilihan.
Sumber: hasil penelitian, 2012.
Perolehan hasil suara yang didapat calon anggota DPR terpilih di Dapil Sumut 1 merupakan upaya kolektif baik dari tim sukses maupun kekuatan figur. Organiasi Pemuda (PP, IPK, dan FKPPI) di Sumatera Utara merupakan bagian dari tim sukses itu yang juga melakukan serangkaian kegiatan pemenangan. Pola relasi yang telah terjalin lama antara organisasi pemuda dengan calon anggota DPR itu menjadi modal yang cukup kuat untuk membantu memenangkan calon yang didukung organisasi pemuda. Persekutuan di antara mereka mempermudah untuk menggerakkan anggota organisasi pemuda dalam setiap kegiatan pemenangan.
85
Pola relasi yang saling menguntungkan itu terjadi dengan tidak memperhatikan rekam jejak dari calon anggota DPR yang didukung. Faktor penting yang menjadi dasar pola relasi adalah simbiosis mutualisme dan transaksi yang terjadi di antara pemberi dan penerima dukungan berupa kekuatan uang. Pola relasi yang saling menguntungkan itu dapat berlangsung secara terus menerus karena sistem pemilu dengan suara terbanyak. Mereka yang memiliki uang dan hubungan yang telah terjalin selama ini adalah salah satu pihak yang menerima manfaat dari organisasi pemuda di Sumatera Utara. Tokoh organisasi pemuda hanya bermaksud membangun dan mempertahankan jaringan baru yang berupaya mendapatkan akses kekuasaan dan sumber-sumber daya dari anggota DPR yang terpilih. Jaringan yang menyebar itu tidak lagi dikendalikan oleh elit-elit Jakarta dalam sistem sentralisasi, tetapi para kader dan tokoh organisasi pemuda telah menata kembali diri mereka dalam
bentuk
relasi
yang
saling
menguntungkan
dan
bersifat
transaksional. Pelaksanaan Pemilu 2014, jika dilihat dari partisipasi organisasi pemuda justru sangat memberikan peluang kepada mereka untuk memaksimalkan keuntungan politik dan ekonomi. Hasil penelitian ini, memiliki relevansi dengan perdebatan yang tengah berlangsung tentang arah dan karakter demokrasi di Indonesia. Pola relasi yang dibentuk oleh tokoh organisasi pemuda ditandai oleh adanya koalisi yang saling menguntungkan. Koalisi tersebut bekerja untuk membangun akses kekuasaan negara dan sumber-sumber daya lokal dengan cara merasionalkan pentingnya uang pada masyarakat yang sedang membutuhkannya. Pola relasi baru menjadi tumbuh subur pada saat sistem pemilu sangat memungkinkan konstelasi kekuasaan relatif dikendalikan oleh kepentingan elit organisasi pemuda.
86
3.4. Pentingnya Pendidikan Politik Pola relasi yang terjalin antara tokoh organisasi pemuda dengan calon anggota DPR dari Dapil Sumut 1 yang dilakukan atas dasar simbiosis mutualisme dan transaksional berpotensi akan menghambat konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di tingkat lokat. Konsolidasi demokrasi yang dimaksud, salah satunya, adalah memastikan bahwa penyelenggaraaan pemilihan umum anggota legislatif dilakukan dengan mengutamakan prinsip kebebasan, kesetaraan politik (political equality) dan akuntabilitas lokal yang memadai. Sementara, pola relasi yang dilakukan oleh calon anggota DPR dengan organisasi pemuda di Dapil Sumut 1 pada saat Pemilu 2014 tidak mencerminkan kedua prinsip tersebut. Jika pola itu dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda, yang menjadi salah satu sumber dalam proses regenerasi kepemimpinan, maka jalan untuk menuju ke arah pemantapan pelaksanaan demokrasi akan ditempuh semakin panjang. Hubungan simbiosis mutualisme yang dilakukan atas dasar transaksional dengan mengandalkan kekuatan uang menjadi penanda bahwa kebebasan, kesetaraan dan akuntabilitas politik akan semakin sulit diwujudkan. Padahal kedua persyaratan itu menjadi pesan penting untuk diwujudkan dalam proses berdemokrasi. Potensi hambatan tersebut akan berlangsung lama karena para pelakunya adalah calon pemimpin politik yang aktif di organisasi pemuda. Artinya bahwa pemahaman tentang pentingnya demokrasi yang terwujud dalam pelaksanaan pemilihan umum belum dimiliki secara utuh di kalangan pemuda. Kalau pemahaman tentang demokrasi belum dimengerti oleh pemuda, maka akan sulit meminta agar pemuda memiliki prilaku dan sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi sampai dapat disebut sebagai seorang demokrat.
87
Ruang untuk menjadi seorang demokrat telah disediakan oleh negara melalui aturan perundang-undangan yang memastikan hak-hak politik warga negara yaitu memilih dan dipilih terpenuhi. Itulah yang disebut demokrasi dalam konteks prosedural karena aturan pemilu telah memenuhi
prinsip
kebebasan,
kesetaraan,
dan
akuntabilitasnya.
Seharusnya demokrasi prosedural itu akan diiringi dengan prilaku dan sikap yang mengutamakan prinsip demokrasi atau disebut sebagai demokrasi substansial. Mewujudkan demokrasi substansi perlu langkahlangkah yang terencana dan bersifat holistik serta menjadi kemauan bersama terutama dari para pemimpin masyarakat. Menghargai kompetisi yang fair sebagai cara untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas merupakan salah satu contoh sikap seorang demokrat. Oleh karena itu, pembelajaran demokrasi harus dilakukan melalui pendidikan politik kepada para calon pemimpin yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Selama ini, pemahaman tentang pendidikan politik hanya menjadi tugas partai politik agar konstituen dan anggota partai memiliki pemahaman yang cukup tentang demokrasi. Pada saat yang sama, sumber rekrutmen anggota dan pengurus partai politik mayoritas berasal dari aktivis atau penggiat organisasi kemasyarakatan dan pemuda. Semestinya pendidikan politik diberikan sejak dini terutama kepada para pemuda apalagi yang tergabung dalam organisasi pemuda karena akan lebih mudah mengumpulkan kadernya melalui struktur organisasi yang ada. Kendala utama yang sering diperoleh – dari berbagai informasi – untuk melakukan pendidikan politik adalah minimnya sumber pendanaan kegiatan organisasi pemuda yang masih mengutamakan bantuan dari pemerintah. Isu kemandirian dalam menopang aktivitas organisasi pemuda penting dikemukakan, karena bila kemandirian dalam pendanaan tidak ada, maka sikap ketregantungan dan keberpihakan terhadap kepentingan
88
pihak pemberi dana akan
kerapkali menjadi sikap resmi organisasi
pemuda. Ketiadaan dukungan dana secara mandiri ini juga yang menyebabkan para aktivis muda potensial memutuskan segera bergabung dengan partai politik, meskipun partai politik yang dimasukinya bukanlah partai kader yang bisa mengoptimalkan potensinya. Situasi ini secara struktural menempatkan pemuda pada struktur bawah dalam polarisasi patron-klien di partai politik. Konsekuensinya, para pemuda hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik pimpinan partai. Bila tujuan yang akan dicapai itu baik, tentu saja akan memberikan pengalaman berharga bagi pemuda, namun bila ternyata tujuan tersebut harus dicapai melalui tindakan-tindakan curang dan manipulatif, maka pemuda akan menjadi pewaris tindakan-tindakan koruptif tersebut. Praktik politik dan calon anggota legislatif di Indonesia telah menyajikan fakta betapa sikap sportifitas hampir hilang dalam kompetisi untuk meraih kekuasaan politik, baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Pada saat pemilu legislatif 9 April 2014 yang lalu, terlepas dari regulasi yang menyebabkan para calon anggota legislatif dalam satu partai harus saling bersaing keras, praktik money politics terjadi begitu massif, baik di level pemilihan legislatif pusat maupun daerah. Organ penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi proses penyelenggaraan pemilu yakni Bawaslu dan jajarannya hingga ke desa/kelurahan, tidak sanggup mencegah terjadinya politik uang tersebut. Bahkan Bawaslu pun tidak sanggup menindak para pelaku dan aktor intelektual dari praktik yang tergolong modus korupsi tersebut. Lemahnya pengawasan dan penindakan menyebabkan warga pemilih menjadi permisif dengan politik uang dan tidak takut lagi dengan sanksi pidana penjara maupun denda yang telah termuat dalam UU Nomor 32 tahun 2004, meskipun sebenarnya nurani mereka juga tidak membenarkan. Dari sisi partai politik, telah jelas bahwa para calegnya telah “terlepas” dari pengawasan
89
pimpinan partai, sehingga pimpinan partai pun tak mampu menengahi upaya saling sikut antar caleg dalam satu daerah pemilihan. Dalam pusaran konflik tersebut, di mana posisi pemuda kader parpol? Mereka terjebak ke dalam turbulensi praktik money politics. Sudah menjadi rahasia umum, modus money politics adalah dengan memberikan uang kepada pemilih, sesaat sebelum pemilih datang ke TPS yang dikenal dengan ‘serangan fajar’. Alamat pemilih
yang disasar
didapatkan melalui Daftar Pemilih Tetap (DPT), lalu
pelaku
menjalankan aksinya dari pintu ke pintu. Sering terjadi, warga pemilih telah lebih dahulu didatangi kompetitor, namun pelaku tidak peduli, dia terus menjalankan misinya karena memang posisinya adalah sebagai petugas pemberi. Pelaku atau petugas pemberi inilah yang didominasi oleh kaum muda yang memiliki energi, semangat dan belum banyak pertimbangan dalam memikirkan efek tindakannya. Mereka tidak sadar bahwa siklus korupsi dimulai dari proses rekruitmen politik yang sarat dengan tindakan manipulatif dan praktik politik uang. Kemenangan yang diraih caleg sebagai aktor intelektualnya, jelas amat bergantung dari para petugas (pemuda) yang melakukannya di lapangan. Kurangnya pemahaman pemuda terhadap efek dari tindakannya diyakini banyak kalangan sebagai bukti minimnya pendidikan politik di kalangan kaum muda. Para pemuda yang melakukan praktik itu seperti terorganisir dalam satu wadah resmi yang sebenarnya diharapkan dapat melakukan transformasi ke tindakan demokrasi. Untuk memperkecil praktik yang tidak demokratis dalam pemilu, maka harus dilakukan pendidikan politik kepada pengurus dan kader-kader organisasi pemuda. Pendidikan politik akan memberikan materi ajar terkait pengertian politik sebagai sebuah ilmu dan seni untuk mewujudkan kesejahteraan masysrakat, arti dan pentingnya demokrasi, serta peran partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
90
BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan Tumbuhnya beragam organisasi masyarakat di Provinsi Sumatera Utara menandakan tingginya perhatian dan partisipasi masyarakat dalam aktifitas sosial politik terutama ketika pelaksanaan pemilihan umum. Provinsi Sumatera Utara memiliki 46 organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) telah terdaftar. Meskipun ada 46 OKP yang terdafar di Sumatera Utara, tetapi hanya Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK), dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) yang memiliki infrastruktur organisasi, kegiatan, dan anggota yang dikenal oleh mayoritas masyarakat di Sumatera Utara. Ketiga organisasi pemuda itu tidak terafiliasi dengan partai politik apapun. Daerah Pemilihan (Dapil) Sumut 1 untuk Dewan Pemilihan Rakyat (DPR) yang meliputi Kota Medan, Kabupaten Deli serdang, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, menampilkan 119 calon anggota legislatif dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014. Hasil akhir dari pelaksanaan Pemilu 2014 pada 9 April 2014 telah terpilih 10 orang dari 119 calon anggota legislatif di Dapil Sumut 1. Hanya empat orang (Irmadi Lubis, Meutya Hafid, Hasrul Azwar, dan Nurdin Tampubolon) yang terpilih kembali menjadi anggota DPR Periode 2014-2019. Tifatul Sembiring dan Ruhut Poltak Sitompul terpilih kembali sebagai anggota DPR, tetapi pada Periode 2009-2014 bukan berasal dari Dapil Sumut 1. Sedangkan Mulfachri Harahap yang berhasil meraih suara terbanyak di PAN pernah terpilih sebagai anggota DPR Periode 2004-2009 dari Dapil Sumut 3, tetapi tidak terpilih pada Pemilu 2009. Dua orang disebut sebagai “wajah baru” yang mewakili Dapil Sumut 1 yaitu Prananda Surya Paloh dan dr. Sofyan Tan.
91
Melalui para tokoh organisasi pemuda, mayoritas calon anggota legislatif berupaya untuk bertemu dan berharap mendapat dukungan organisasi. Bentuk dukungan yang nyata di antaranya adalah tokoh dan pimpinan organisasi pemuda memerintahkan anggota masing-masing organisasi untuk memilih calon anggota DPR dan mencari tambahan suara. Selain itu, untuk meminimalisir kecurangan yang terjadi di TPS, maka pimpinan organisasi pemuda diyakini memiliki kemampuan untuk memberi perintah kepada kader-kadernya menjaga perolehan suara. Tidak hanya menjaga, tetapi lebih dari itu diupayakan menambah suara di TPS dengan cara apapun termasuk menggunakan ancaman. Potensi kekuatan fisik yang dimiliki oleh organisasi pemuda di Sumatera Utara menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh calon anggota legislatif. Pada saat Pemilu 2014 di Dapil Sumut 1 DPR, tercatat beberapa nama calon anggota legislatif yang menjadi anggota atau pengurus organisasi pemuda di tingkat pusat maupun daerah, seperti Ruhut Poltak Sitompul (Pemuda Pancasila), Akbar Himawan Bukhori (AMPI), Nurdin Tampubolon (GAMKI), Hardi Mulyono (Pemuda Pancasila), dan lain-lain. Keberadaan mereka akan berimplikasi pada perebutan basis suara yang diyakini dapat mendulang suara. Calon anggota DPR Dapil Sumut 1 yang menjalin relasi dengan organisasi pemuda yaitu PP, IPK, dan FKPPI adalah Irmadi Lubis (PDIP, Nomor Urut 2) dengan Pemuda Pancasila, Meutya Hafid (Golkar, Nomor Urut 2) dengan Pemuda Pancasila, Hardi Mulyono (Golkar, Nomor Urut 10) dengan Pemuda Pancasila, Ruhut Poltak Sitompul (Demokrat, Nomor Urut 1) dengan Pemuda Pancasila dan FKPPI, Hasrul Azwar (PPP, Nomor Urut 1) dengan Pemuda Pancasila, dan Nurdin Tampubolon (Hanura, Nomo Urut 1) dengan Pemuda Pancasila dan FKPPI.
92
Bentuk transaksi yang dilakukan oleh tokoh organisasi pemuda adalah memberikan dukungan suara kepada calon anggota DPR Dapil Sumut 1 dengan beberapa persyaratan seperti menyerahkan bantuan dana untuk operasional kegiatan pemenangan dan memberikan bantuan untuk kelancaran organisasi dan pribadi tokoh organisasi pemuda. Pola relasi yang dibentuk oleh tokoh organisasi pemuda ditandai oleh adanya koalisi yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Koalisi tersebut bekerja untuk membangun akses kekuasaan negara dan sumber-sumber daya lokal dengan cara merasionalkan pentingnya uang pada masyarakat yang sedang membutuhkannya. Pola relasi baru menjadi tumbuh subur pada saat sistem pemilu sangat memungkinkan konstelasi kekuasaan relatif dikendalikan oleh kepentingan elit organisasi pemuda.
4.2. Rekomendasi Setelah mengetahui bentuk transaksi dan pola relasi yang dilakukan oleh tokoh dan pimpinan organisasi pemuda dengan calon anggota DPR RI Dapil Sumatera Utara 1, maka rekomendasi dari penelitian ini adalah: a. Melakukan sosialisasi hasil penelitian kepada aktivis organisasi pemuda dan mahasiswa tentang bentuk transaksi dan pola relasi dalam menentukan pilihan politik terkait dengan dukungan yang diberikan dari tokoh dan pimpinan organisasi pemuda kepada calon anggota legislatif. Bentuk transaksi dan pola relasi yang mengutamakan imbalan secara langsung dalam bentuk simbiosis mutalisme akan menjadi penghambat dalam proses konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia. b. Menghimpun pendapat dari narasumber yang ahli untuk menyusun model pendidikan politik yang harus dilakukan anggota legislatif
93
dengan organisasi pemuda dengan dua judul, yaitu “Pemuda Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu”. Para ahli yang dijadikan narasumber adalah ilmuwan politik, tokoh pendidikan, pejabat birokrasi yang terkait dengan bidang tugas organisasi pemuda. Penyusunan model pendidikan politik tersebut akan diuraikan dalam bentuk kurikulum pendidikan politik yang dapat dijadikan sebagai bahan bagi anggota legislatif dalam menjalankan tugasnya melakukan pendidikan politik kepada konstituennya. Kurikukum akan dilengkapi dengan Satuan Acara Pembelajaran (SAP) dari Modul Mata Pelajaran yang akan dijadikan sebagai pedoman. c. Proses penyusunan modul pendidikan politik dengan judul “Pemuda Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu” dilakukan melalui desk study, focus group discussion (FGD), dan wawancara mendalam. d. Hasil rumusan penyusunan modul pendidikan politik akan dilakukan seminar terbatas dengan para ahli tertentu untuk mendapatkan masukan berupa ide-ide tentang aspek-aspek yang luput dari perhatian peneliti. e. Model pendidikan politik yang berjudul “Pemuda Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin Politik” dan “Memahami Makna Hasil Pemilu” akan ditawarkan kepada pemerintah daerah, organisasi pemuda, dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk digunakan dalam program pendidikan politik di organisasi pemuda masing-masing. Peneliti akan menjajaki program kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melakukan pendidikan politik yang terprogram dan dilakukan secara terus-menerus bagi kader-kader organisasi pemuda yang berminat meniti karir sebagai politisi. f. Peran organisasi pemuda di dalam momentum dan ajang demokrasi seperti
pemilihan
umum
hendaknya
mengedepankan
prinsip
kemandirian dan independensi, agar bangunan organisasi tidak
94
terpecah belah oleh konflik kepentingan, baik berupa konflik vertikal (antara pengurus di level atasan dengan level di bawahnya) maupun konflik horisontal (antar anggota dalam satu level kepengurusan). g. Proses regenerasi kepemimpinan politik salah satunya bersumber dari organisasi
pemuda
yang
hendaknya
dilakukan
dalam
wujud
internalisasi nilai-nilai kebangsaan, religiusitas, inklusifitas, serta moral antikorupsi, agar dalam momentum perhelatan demokrasi, pemuda tidak dijadikan alat menumbuhsuburkan praktik money politics oleh kelompok kepentingan yang tidak berpihak kepada keadilan. Relasi dalam pemberian dukungan politik yang dilakukan secara transaksional menjadi awal mula terjadinya korupsi di lembagalembaga eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah. Transaksi yang mengutamakan kekuatan uang menjadi penanda bahwa proses rekrutmen politik saat pemilu yang sarat dengan praktik-praktik money politics. Untuk memutus siklus tersebut maka penting untuk membersihkan jiwa generasi muda agar memiliki resistensi terhadap aneka bentuk korupsi yang ingin diwariskan oleh politikus generasi sebelumnya. h. Pemerintah pusat dan daerah hendaknya memberi perhatian lebih terhadap pengembangan potensi kepemudaan, antara lain dengan membuat program-program yang mampu memberikan pendidikan politik yang benar kepada pemuda, serta menciptakan pemuda menjadi agen-agen perubahan yang memiliki jiwa patriotisme dan tanggung jawab,
baik
melalui
lembaga
pendidikan
maupun
lembaga
kemasyarakatan.
95
DAFTAR PUSTAKA Amin, Muryanto. 2013. ”Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Bamba, John. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. Bogdan, Robert, & Taylor J. Steven. 1993. Metode Kualitatif: Dasardasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Colombijn, Freek dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS. Crook, Richard, C. dan James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press. Hadiz, Vedi, R. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. Hamid, Abdul. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. King, Dwigth. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to The Debate. Ithaca. New York: Cornell University Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62). Lively, Jack. Democracy. Blackwell.
1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil
Lofland, J. 1971. Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. Belmont, CA: Wadsworth.
96
Masaaki, Okamoto & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. Masaaki, Okamoto & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. Masaaki, Okamoto. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. Migdal, Joel, S. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform and Capabilities in the Third World. Princenton University Press. Migdal, Joel, S. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Press. MS, Burhani – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. Nordholt, Henk, Schutle dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Quimpo, Nathan, G. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari-March. Rauf, Maswadi. 2005. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi. Romli, Lili. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi. Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok. Rozaki, Abdur. “Sosial Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura.” Dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press.
97
Ryter, Loren. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?” Indonesia, 66, Oktober. Scott, James, C. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972). Sidel, John, T. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos. Sidel, John, T. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos. Sidel, John, T. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997) Simanjuntak, Maruli, CC. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. Smith, Brian, C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: Allen & Unwin. Suryawan, I, Ngurah. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok Milisi di Bali. dalam Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. Widyanto, Untung. “Jagoan Betawi dari Cakung.” Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Yogyakarta: IRE Press. Yin, K, Robert. 2000. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
98
Profil Penulis Muryanto Amin lahir di Medan bekerja sebagai pengajar Ilmu Politik di FISIP Universitas Sumatera Utara. Menyelesaikan pendidikan S3 bidang Ilmu Politik di Universitas Indonesia dengan topik konsolidasi demokrasi di tingkat lokal dalam kasus pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Prilaku politik dalam aktivitas pemilu dan partisipasi masyarakat di tingkat lokal menjadi agenda prioritas pengabdian ilmu yang dilakukannya. Pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat selalu dilakukannya dengan memilih tema memberikan pendidikan politik bagi generasi muda sebagai jalan untuk mempercepat konsolidasi demokrasi pada tingkat individu dan kelompok kecil di masyarakat. Pengalamannya sebagai observer, analis, dan terkadang ikut terlibat dalam kegiatan pemilu, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan presiden mengharuskannya menulis beberapa buku seperti Politik Layar Terkembang (2013), Hambatan Konsolidasi Demokrasi (2014) serta tulisan lainnya di jurnal ilmiah terakreditasi, dan media online lainnya.
99