Rekor Dana Asing di Surat Utang Negara Porsi asing di SUN mencapai 499,98 triliun atau 40,18 % tatal SUN JAKARTA, Aset asing di portofolio Indonesia semakin gendut. Di surat utang negara (SUN), berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengeloaan Utang Kementerian Keuangan, pada 29 Januari 2015, porsi asing mencapai 40,18%. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Secara nominal, kepemilikan asing mencapai Rp 499,98 triliun dari total surat berharga Negara (SBN) yang diperdagangkan senilai Rp 1,224,45 triliun. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan akhir tahun lalu yang sebesar Rp 461,35 triliun atau 38,13% dari total SBN. Asing juga gencar masuk kepasar saham domestic. Secara year to date (ytd) per 30 Januari 2015, net buy asing tercatat Rp 212,19 triliun. Analis Fixed income PT Samuel Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus mengatakan, masuknya asing dipicu oleh kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) yang menggelontorkan quantitative easing pada 22 Januari 2015 lalu. Indonesia dianggap sebagai Negara seksi, tapi kesadaran masyarakat berinvestasi di pasar modal minim. “Asing melihat ini sebuah kesempatan. Sehingga, pasar obligasi Indonesia lebih besar dikendalikan oleh asing,” ujar Nico, Jumat (30/1). Memanasnya kondisi politik dalam negeri terkait polemik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tak mengurangi minat asing terhadap pasar obligasi Indonesia. Asing menganggap bahwa kondisi tersebut sebagai suatu proses demokrasi, sehingga Indonesia bisa menjadi lebih baik. Banjir dana asing ikut mendorong penurunan yield obligasi negara. Data Indonesia Bpond Princing Agency (IBPA) menunjukkan, serluruh yield seri acuan atau benchmark pada perdagangan Jumat (30/1) bergerak turun. Yield seri FR 0069 bertenor lima tahun turun menjadi 6,81% dibandingkan perdagangan sebelumya yang sekitar 6,82%. Seri FER 0070 bertenor 10 tahun juga turun menjadi 7%. Kemudian, yield seri FR 0071 bertenor 15 tahun turun menjadi 7,26% dibandingkan sebelunya yang 7,31%. Yield seri FR 0068 bertenor 20 tahun turun menjadi 7,37% dibandingkan sebelumnya yang sebesar 7,42%. Analisis Nico, tren penurunan yield obligasi terlihat sejak dua pekan lalu. Saat itu, ECB mulai memberikan kepastikan terkait quantitative easing. “Yield juga terapresiasi akibat rendahnya ekspektasi inflasi seiring turunya harga minyak dan bahan bakar minyak (BBM) sejak kuartal IV-2014.” Ujar Nico. IBPA mencatat, rata-rata yield obligasi pemerintah pada pekan periode 19 hingga 23 januari 2015 turun 47,9 basis poin secara week on week (WOW). “Rata-rata yield obligasi korporasi juga turun 61,6 hasis poin secara WOW, “ tulis analis IBA Robby Rushandie dalam risetnya.
Strategi investor Nico memperkirakan, tren bullish pasar obligasi masih akan berlanjut, kendati demikian, laju bullish akan terbatas lantaran terganjal rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Fed. Di tengah kondisi ini , investor bisa masuk ke seri-seri acuan obligasi pemerintah, seperti seri FR0068, FR0069, FR0070, dan FR0071. Seri tersebut merupakan surat utang paling likuid di pasar. “Namun bila harga sudah terlalu tinggi, ada baiknya menunggu beberapa obligasi pemerintah yang akan terbit seperti SR007,” imbuh Nico. Sekedar informasi, seri SR007 tersebut akan ditawarkan pemerintah mulai 23 Februari 2015 mendatang. Apabila ingin berinvestasi di obligasi korporasi, investor dapat masuk di pasar sekunder dan mengincar obligasi yang masih murah dengan harga di bawah 100. Strategi tersebut akan memberikan yield menarik. “Investor yang masih menginginkan yield lebih, maka dapat memilih obligasi korporasi subordinasi,” tutur Nico. Sedangkan untuk investasi jangka panjang, investor dapat memilih obligasi korporasi antara 10 tahun hingga 20 tahun, Instrumen investasi tersebut masih memberikan yield menarik dan memiliki potensi penguatan. “Tapi untuk transaksi jangka pendek, investor perlu melihat dari sisi analisis teknikal dan berita lebih dulu agar bisa memberikan keputusan secara lebih cepat.” Ujar Nico
Koran Kontan, 31 Januari 2015
Tiga Bank Sindikasi “Hedging” Garuda Rp 1 T JAKARTA, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) berkolaborasi dengan PT CIMB Niaga Tbk dan Standar Chartered Bank Indonesia, melayani lindung nilai (hedging) untuk PT Garuda Indonesia (persero) Tbk. Instrumen hedging yang digunakan adalah transaksi cross currency swap senilai Rp 1 triliun, dengan underlying obligasi rupiah dari Garuda Indonesia. “Dalam sindikasi ini, porsi BNI sebesar Rp 250 miliar. Transaksi menggunakan instrumen cross currency swap berjangka waktu 3,5 tahun dan akan berakhir pada 5 Juli 2018, sesuai berakhirnya obligasi rupiah Garuda Indonesia. Sindikasi ini merupakan bentuk komitmen perseroan untuk meningkatkan transaksi hedging di Indonesia,” kata Direktur Utama BNI Gatot Mudiantoro Suwondo dalam acara penanda tanganan kesepakatan kerja sama layanan lindung nilai (hedging) Garuda Indonesia dengan BNI, Bank CIMB Niaga, dan Standard Chartered di Jakarta, Senin (2/2). Dia mengartakan, perseroan berupaya memberikan solusi keuangan yang komprehensif kepada nasabah, terutama mengenai solusi hedging. Proyek ini merupakan kerja sama BNI yang kedua dengan Garuda Indonesia, namun pertama kali untuk sindikasi hedging dengan Garuda. Adapun nilai referensi tukar yang digunakan dalam transaksi hedging ini berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada 13 Januari 2015, yaitu Rp 12.608 per dolar AS. Direktur Utama Garuda Indonesia M Arif Wibowo mengatakan, suku bunga rupiah yang menjadi acuan transaksi sesuai dengan tingkat kupon obligasi, yaitu 9,25% per tahun dengan kondisi tetap (fixed) untuk frekuensi pembayaran bunga setiap kuartal. “Transaksi ini dilakukan guna melakukan hedging terhadap risiko tingkat bunga, menukar asset kewajiban ke dalam mata uang lain, sekaligus menukar tingkat suku bunga yang menjadi referensi maupun risiko nilai tukar. Selain itu, untuk melindungi nilai transaksi pembayaran pinjaman perseroan atas sebagian obligasi rupiah yang diterbitkan,” ungkap Arif. Menurut Gatot, transaksi hedging dibutuhkan di tengah kondisi perekonomian global yang masih berisiko, karena likuiditas global yang mengetat dan harga komoditas barang sumber daya alam yang rendah. Selain itu, mata uang rupiah merupakan salah satu mata uang dengan fluktuasi (volatile) paling tinggi di wilayah Asia sepanjang 2014. “Tahun ini, pergerakan nilai tukar rupiah diperkirakan masih cenderung berfluktuasi, karena terpengaruh dolar AS yang masih mendominasi rupiah awal 2015. Tetapi, pelemahan nilai tukar uang terhadap dolar AS juga terjadi di Negara lain selain Indonesia, “jelas Gatot. Biaya Operasional
Sementara itu, Direktur Treasury and F1 BNI Suwoko Singoastro mengatakan, BNI telah membangun infrastruktur dan menyiapkan tim untuk melayani transaksi hedging dengan BUMN nonbank. BNI diharapkan dapat memberikan solusi hedging pada BUMN nonbank guna mengurangi biaya operasional yang melonjak, akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadapvaluta asing (valas). Presiden Direktur Bank CIMB Niaga Arwin Rasyid dan Chief Executive Officer (CEO) Standard Chartered Shee Tse Koon menyatakan senang dapat bekerja sama terkait transaksi hedging Garuda Indonesia. Menurut Shee, kerja sama tersebut merupakan bentuk komitmen Here for Good dari Standard Charered. Melalui kolaborasi ini. Sementara itu, Arwin berharap, Bank CIMB niaga dapat terus mendukung program pemerintah mengenai kebijakan manajemen risiko valas terhadap korporasi dan perusahaan BUMN non-bank. Executive Vice President Head of Treasury BNI A Bimo Notowidigdo mengungkapkan, underlying yang digunakan untuk transaksi saat ini dan sebelumnya berbeda. Untuk transaksi hedging pertama, yang menjadi underlying adalah pinjaman rupiah. Sedangkan underlying untuk kerja sama saat ini adalah obligasi rupiah Garuda Indonesia senilai Rp 2 triliun. “Dan obligasi itu, baru Rp 1 triliun yang di swap. Kali ini kami bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga dan Standard Chartered, dengan tujuan meningkatkan jumlah bank penyedia dan pelaku transaksi hedging. Di sisi lain, ini bertujuan untuk menyebar risiko dan pendalaman pasar guna mendukung transaksi derivative,” jelas Bimo. Dia mengatakan, fokus BNI saat ini adalah mengedukssi dan berbicara dengan perusahaan BUMN non bank yang memiliki eksposur utang luar negeri. Namun, untuk menangani perusahaan tersebut, ada proyek yang dapat dikerjakan sendiri dan ada yang memerlukan sindikasi.
Koran Kontan, Selasa 3 Februari 2015
Perekonomian India Menyusul China Setelah mengubah metode perhitungan, pertumbuhan ekonomi India direvisi dari 4,7% menjadi 6,9% NEW DELHI, India mengubah metode untuk mengukur perekonomian. Alhasil, proyeksi pertumbuhan ekonomi India untuk tahun fiskal yang berakhir maret 2014 dikoreksi dari sebelumnya 4,7% menjadi 6,9%. Dengan bagitu, India menjadi Negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua dunia setelah China. Selain merevisi pertumbuhan ekonomi, produk domestic bruto (PDB) India juga berubah dari sebelumnya INR 113,6 triliun menjadi INR 113,5 triliun. Sebelumnya, metode perhitungan pertumbuhan ekonomi India menggunakan faktor biaya 2004-2005. Kini, Pemerintah India menghitung pertumbuhan ekonomi berdasarkan harga pasar tahun 2011-2012. “Tingkat revisi keatas sangat tajam. Jadi semua perkiraan masa depan pertumbuhan, defisit fiskal dan indikator lainnya harus kembali dikalibrasi,’ ujar Sujan Hajra, ekonomi di Anand Rathi Financial Services Ltd seperti dikutip Bloomberg. Perubahan angka tersebu disebabkan data base yang mencakup lebih banyak perusahaan. Selain itu juga perluasan data pajak ikut menyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi. Faktor lainnya adalah data dari pialang saham, bursa, reksadana, dana pension dan regulator pasar. Ambil contoh, di sektor perdagangan, hotel dan restoran yang sebelumnya dihitung hanya tumbuh 1%. Begitupun juga dengan ekspansi di sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan melambat menjadi 7,3% dari 12,9%. Dikutip dari Reuters, Pemerintah India memprediksi, perubahan akan membantu menurunkan defisit fiskal India. Hal ini memudahkan Perdana Menteri India, Narendra Modi memangkas kesenjangan defisit ke level terendah dalam tujuh tahun terakhir yakni 4,1%.
Perubahan metode perhitungan akan mengurangi deficit fiskal. Metodologi baru yang digunakan India lebih sesuai dengan standar global dengan mengukur ekonomi menggunakan harga pasar. “Ini akan membantu mengurangi distorsi pasar dan memberikan representasi yang lebih baik untuk sektor manufaktur,” ujar Sournya Kanti Ghosh, penasihat ekonomi utama di State Bank of India. Kebijakan moneter Selein mengubah metode perhitungan pertumbuhan ekonomi, India juga harus menjaga disiplin fiskal. Gubernur Bank Sentral India, Raghuram Rajan mempertimbangkan memakai jasa tembaga independen untuk memeriksa anggaran tahunan dalam rangka mengontrol defisit anggaran. “Kehati-hatian fiskal ini sangat penting.” Ujar Rajan. Bank Sentral India sendiri telah mengambil langkah moneter dengan mengurangi cadangan di bank umum supaya daya yang mengalir ke pinjaman lebih banyak ketimbang memarkir uang
di obligasi pemerintah. Kebijakan tersebut bertujuan mendorong perusahaan dan individu untuk meminjam dan berinvestasi. Kata Rajan, bank sentral berniat memangkas suku bunga acuan setelah melakukan pemotongan 0,25% pada pertengahan Januari lalu. “Sampai kami mendapat kan lebih banyak data, saya pikir kami jeda dulu,” ujar Rajan. Harga minyak yang lebih rendah, jelas Rajan, membantu India mengurangai ancaraman inflasi. Bank Sentral India akan melihat data-data ekonomi seperti inflasi dan usulan anggaran tahunan pemerintah sebelum menurunkan suku bunga. “Biarkan kebijakan moneter mengikuti arusnya,” ujar Rajan dikutip dari ‘The new York Times. Salah satu yang menjadi keluhan Rajan adalah walau Bank Sentral India telah menurunkan suku bunga acuan, namun bank-bank komersial terlambat menurunkan suku bunga kredit. Beberapa bank tetap mempertahankan suku bunga dalam tiga minggu terakhir. Bank-bank komersial menggunakan selisih dari bunga yang dikutip dari peminjam dengan pembaranan kepada deposan untuk menggemukkan margin keuntungan. Pasalnya, bank-bank komersial harus menggenjot pendapatan untuk mengimbangi jumlah kredit macet. Namun, dengan persainan yang semakin ketat, Rajan optimistis, bank-bank komersial pada akhirnya akan menurunkan suku bunga demi menggaet nasabah.
Koran Kontan, Rabu 4 Februari 2015