REKONSTRUKSI REGULASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DI INDONESIA Indah Harlina Hermansyah Endra Wijaya Abstract The purpose of this research is to redesign or to reconstruct the ideal implementation regulation concept of corporate social responsibility in Indonesia. The researcher uses literature study for this research. The researcher uses primary data, secondary data, and document that issued by some corporations especially related to corporate social responsibility program. As complement, the researcher also interviews relevant sources. The technique of data analysis uses content analysis. The result shows Indonesia still requiring the reconstruction implementation regulation of corporate social responsibility because of insufficient regulation either philosophy or effectivity. Keywords: corporate social responsibility, the ideal implementation regulation concept
A.
Pendahuluan Pembangunan suatu negara bukan hanya merupakan tanggung jawab pihak pemerintah. Pihak perusahaan (korporasi) tentu juga mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pembangunan. Idealnya, korporasi berperan pula untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Dalam proses pembangunan, kini korporasi tidak bisa lagi hanya semata-mata mengejar keuntungan (profit), melainkan juga sudah harus memperhatikan aspek sosial (people) dan aspek lingkungan (planet). Konsep yang memperhatikan pemenuhan ketiga unsur itu secara seimbang telah dikenal dengan istilah “tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya disingkat CSR)( Erman Rajagukguk (2007: 29). Sinergi dari ketiga elemen tadi juga merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008: 43). Untuk memberikan kemudahan dalam memahami konsep CSR, maka beberapa pihak telah berupaya untuk merumuskan definisi dari CSR. Menurut World Bank, “CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and so-
ciety at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development” (Yusuf Wibisono, 2007: 7). Kemudian, menurut World Council for Sustainable Development, “CSR is continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large” (Yusuf Wibisono, 2007: 7). Yang berarti bahwa CSR adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara korporasi dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai bentuk akuntabilitas publik. Di Indonesia, masalah tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR sesungguhnya sudah dikenal cukup lama. Penerapannya secara intens baru dimulai awal tahun 2000, tetapi sebenarnya kegiatan dengan esensi dasar yang sama telah berjalan sejak tahun 1970-an. Namun dari sisi 0regulasi di Indonesia (hukum positif), masih terlihat jelas adanya “ketidakseragaman” pengaturan mengenai CSR. Hal itu tentu saja dapat memicu
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
75
terjadinya kebebasan untuk menafsirkan konsep dan sifat dari penyelenggaraan CSR pada tiap-tiap korporasi. Dengan adanya ketidakseragaman dari sisi peraturan yang mengatur masalah CSR tersebut, pada praktiknya model penyelenggaraan CSR juga mengalami variasi model penyelenggaraan, mulai dari yang paling sederhana, seperti donasi, sampai dengan yang komprehensif, seperti terintegrasi ke dalam bagian strategi perusahaan dalam mengoperasikan usahanya. Sesungguhnya kehadiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memasukkan klausula tentang CSR merupakan terobosan pemikiran yang progresif dan secara yuridis berimplikasi juga pada berubahnya sifat penyelenggaraan CSR oleh korporasi dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi bersifat kewajiban hukum (mandatory). Tetapi tampaknya kehadiran beberapa regulasi mengenai CSR itu belum juga dapat mengakhiri “silang pendapat” mengenai sifat penyelenggaraan CSR yang selama ini masih dianggap oleh sebagian pihak hanya bersifat sukarela. Regulasi yang telah ada mengenai CSR di Indonesia tersebut, kemudian menimbulkan resistensi (penolakan) dari kalangan pelaku bisnis yang menghendaki CSR tetap bersifat sukarela seperti selama ini telah mereka selenggarakan. Puncak dari penolakan kalangan pelaku bisnis di Indonesia terhadap pengaturan CSR adalah diajukannya judicial review atas Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Kadin Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Ikatan Wanita Pengusaha Muda Indonesia (IWAPI), PT. Lili Panma, PT. Apac Centra Centertex Tbk., serta PT. Kreasi Tiga Pilar ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan judicial review itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 53/PUU-VI/ 2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) serta Penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3)) yang diputuskan pada hari Jumat, 20 Maret 2009, menyatakan menolak permohonan pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/ PUU-VI/2008 itu, secara konstitusional telah memperkokoh keberadaan ketentuan CSR dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, dan hendaknya juga dapat dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan regulasi tentang CSR yang berkarakteristik keindonesiaan, sesuai dengan Pancasila dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945, juga sejalan dengan konsep triple bottom line (profit, planet, people). Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang berkaitan dengan regulasi penyelenggaraan CSR di Indonesia tentu masih perlu dilakukan penelitian secara mendalam agar ditemukan suatu konstruksi regulasi penyelenggaraan CSR yang ideal, dalam arti yang berkarakteristik keindonesiaan, serta sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, agar korporasi dapat memberi kontribusi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu tujuan utama pembangunan ekonomi nasional.
76 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
B.
Tinjauan Pustaka Sebenarnya upaya untuk meregulasikan sebuah konsep tanggung jawab sosial perusahaan bukan merupakan hal yang baru. Jauh sebelum adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, pada masa Orde Baru, pemerintah telah mengupayakan untuk meregulasi konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Bahkan apabila diperhatikan isi Undang-Undang Dasar 1945, maka Pasal 33 dari Undang-Undang Dasar 1945 itu sebenarnya adalah acuan aturan dasar untuk melaksanakan tanggung jawab sosial di Indonesia, yang akan diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dikatakan demikian, karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 terdapat prinsip dari pembangunan berkelanjutan, yaitu segala sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (Arif Budimanta et al, 2008: 92). Dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ini juga dituntut kemuliaan manusia untuk menolong mereka yang tidak cukup berkemampuan produktif dengan melakukan kerelaan kedermawanan sebagaimana dituntut oleh moralitas dan etika agama (Sri Edhi Swasono, 2005: 33-34). 1.
Aneka regulasi di Indonesia a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Upaya selanjutnya dari pemerintah untuk meregulasi CSR dalam undangundang adalah dengan membentuk dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pelaksanaan peran BUMN diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, industri,
pertambangan, keuangan, pos, telekomunikasi, transportasi, dan listrik (Yusuf Wibisono, 2007: 81-82). BUMN, seperti diketahui, merupakan badan usaha yang dibentuk dan menjalankan aktivitasnya berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, maka BUMN pun harus berfungsi sosial. Ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 semakin mempertegas bahwa BUMN memiliki peran atau fungsi sosial. Peran sosial BUMN, antara lain, lebih lanjut diatur melalui Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-236/MBU/ 2003. Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara BUMN pada tanggal 17 Juni 2003 itu pada prinsipnya mengikat BUMN untuk menyelenggarakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) (Yusuf Wibisono, 2007: 81-82). Walaupun berasal dari sumber yang sama, yaitu dari penyisihan laba setelah pajak, yang menurut Pasal 8 Keputusan Menteri Negara BUMN tersebut, adalah 1% (satu persen) sampai dengan 3% (tiga persen), namun pemanfaatan dan peruntukan dana kedua program tadi berbeda. Program kemitraan diberikan dalam bentuk pinjaman untuk pembiayaan modal kerja, pinjaman khusus yang biasanya bersifat jangka pendek dan hibah untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi serta pelatihan. Sedangkan program bina lingkungan, pemberiannya lebih berdimensi sosial dan diberikan dalam bentuk bantuan korban bencana alam, pendidikan dan/ atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan prasarana atau sarana umum dan sarana ibadah. Yang jelas program ini menjadi sangat penting dalam konteks membangun hubungan yang saling menguntungkan antara BUMN dengan masyarakat (Yusuf Wibisono, 2007: 81-82). Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-236/MBU/2003 mengatur mengenai kinerja program kemitraan sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN Permbina.
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Ketentuan inilah yang mendorong BUMN untuk melakukan dengan baik program kemitraan, karena kinerja program kemitraan yang baik mencerminkan sehatnya BUMN Pembina. BUMN yang dinilai tidak sehat tentu akan berpengaruh bagi operasional dan keuntungannya. Tetapi dalam seluruh isi keputusan ini, tidak ditemukan adanya sanksi pemaksa bagi BUMN Pembina yang tidak mau menjalankan ketentuan mengenai program kemitraan. Pada praktiknya, BUMN yang kurang atau tidak taat pada ketentuan keputusan tadi hanya sebatas diberi peringatan. Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-236/MBU/2003 kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/ 2007, yang isinya hampir sama dengan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-236/MBU/2003, hanya saja besaran dana untuk PKBL yang semula hanya 1% (satu persen) sampai dengan 3% (tiga persen) berubah menjadi maksimal 2% (dua persen). b.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Peraturan perundang-undangan lain yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai CSR adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam undangundang mengenai penanaman modal ini, dalam Pasal 15 huruf b, menentukan bahwa setiap penanam modal berkewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial dalam Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, didefinisikan sebagai tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Tidak cukup hanya melihat Pasal 15 huruf b, pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 berlanjut pada ketentuan Pasal 16 dan Pasal 17, yang bunyi:
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
77
Pasal 16: “Setiap penanam modal bertanggung jawab: a. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli dan hal lain yang merugikan negara; d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja, dan; f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 17: “Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari bunyi ketentuan tersebut jelas, bahwa sebenarnya pemerintah mewajibkan bagi penanaman modal untuk bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan atau untuk menerapkan konsep CSR. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ini, penanam modal harus bertanggung jawab secara ekonomi, sosial dan hukum, dan menerapkan konsep CSR yang mulai holistik untuk menciptakan hubungan yang serasi dan seimbang, tidak hanya dengan lingkungan tetapi juga dengan nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Kesadaran CSR tidak hanya dititikberatkan dengan memberikan bantuan atau philanthropy atau hanya
78 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
sekedar peduli terhadap lingkungan alam, tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ini juga dituntut untuk berusaha atau berbisnis secara baik dengan memperhatikan modal yang digunakan, taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertanggung jawab sosial kepada kompetitor dengan menciptakan iklim persaingan sehat dengan tidak menghalalkan segala cara, menjaga kelestarian lingkungan hidup, bertanggung jawab sosial kepada pekerja atau karyawan. Ketentuan mengenai CSR yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga telah dilekati oleh sanksi pemaksa yang mengikat. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menentukan bahwa: “Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha dan/atau f asilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal”. Pada masa Orde Baru upaya untuk meregulasi konsep CSR dilakukan, antara lain, dengan menetapkan Keputusan Presiden (Keppres.) Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dari peraturan itu adalah perlunya peningkatan kesetiakawanan sosial dengan mengikutsertakan masyarakat, khususnya wajib pajak dalam rangka mempercepat pelaksanaan pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995). Berdasarkan Keppres. Nomor 90 Tahun 1995, bantuan yang diberikan kepada keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang diberikan oleh wajib pajak pengha silan badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berasal dari penghasilan setelah pajak penghasilan yang diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
berjumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) ke atas. Wajib pajak badan maupun orang pribadi dapat membantu sampai dengan setinggi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau penghasilan setelah pajak penghasilan yang diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak untuk pembinaan keluarga prasejahtra dan keluarga I. Namun, bantuan itu diberikan kepada yayasan yang dibentuk khusus untuk mengelola. Dari bunyi ketentuan tersebut, menurut peneliti, perseroan sebenarnya telah dituntut kesetiakawanan sosialnya (mungkin itu adalah penyebutan yang digunakan oleh Orde Baru untuk tanggung jawab sosial) untuk memberikan bantuan kepada keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I, walaupun itu disalurkan melalui yayasan dengan besarnya dapat setingi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau pendapatan setelah pajak penghasilan. Keppres. Nomor 90 Tahun 1995 kemudian diubah melalui Keppres. Nomor 92 Tahun 1996 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I, yang ditetapkan pada tanggal 4 Desember 1966. Melalui Keppres. Nomor 92 Tahun 1996 ini, Pasal 2 ayat (1) Keppres. Nomor 90 Tahun 1995 diubah ketentuannya, sehingga besaran bantuan yang semula “dapat membantu setinggi-tingginya 2% (dua persen)” menjadi “wajib memberikan bantuan sebesar 2% (dua persen) dari laba atau penghasilan setelah pajak penghasilan dalam 1(satu) tahun pajak”. Jadi besaran batuan yang diberikan melalui Keppres. Nomor 92 Tahun 1996 besarnya adalah 2% (dua persen). Namun kemudian kedua Keppres. tersebut, yaitu Keppres. Nomor 90 Tahun 1995 dan Nomor 92 Tahun 1996, dicabut keberlakuannya oleh Keppres. Nomor 98 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Sebagaimana telah Diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1996. c.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan di dalam Pasal 74. Pasal 74: “(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan; (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;...” Sebelumnya, yaitu dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 telah terdapat rumusan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang merupakan terjemahan dari konsep CSR. Tanggung jawab sosial dan lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah: “...komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”. Pemberlakukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 kemudian menimbulkan beberapa kritik. Kritik-kritik itu, antara lain, adalah berkaitan dengan masalah sifat CSR yang menjadi wajib, dan masalah terjadinya tumpang tindih pengaturan CSR antara peraturan yang satu dengan yang lain.
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
79
Menyikapi masalah tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah CSR, pakar Ilmu perundang-undangan, Maria Farida Indrati, mengemukakan pendapatnya bahwa sesungguhnya pengaturan CSR itu memang mengandung suatu permasalahan. Contoh permasalahan itu, tidak perlu dibandingkan dulu dengan undang-undang lain, justru ada di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sendiri antara Pasal 1 angka 3 dan Pasal 74. Kedua pasal tersebut telah mengandung suatu permasalahan. Dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah sebuah komitmen perseroan. Istilah komitmen menggambarkan suatu bentuk keikhlasan untuk mengikatkan diri pada sesuatu. Sedangkan di dalam Pasal 74 UndangUndang tentang Perseroan Terbatas mengatur bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Itulah letak permasalahan, bahwa Pasal 1 angka 3 sebenarnya merupakan ketentuan umum, dan di dalam ketentuan umum sebenarnya memang tidak boleh terdapat norma, sehingga tidak boleh menggunakan kata “wajib”(Ricca Anggraeni, 2008: 138). Jika antara ketentuan umum dengan norma hukumnya tidak sinkron, maka yang dirujuk adalah bukan ketentuan umumnya melainkan norma hukumnya, yaitu Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007, sehingga tanggung jawab sosial dan lingkungan jelas merupakan suatu norma hukum (wajib) bagi perseroan di Indonesia. Seharusnya menurut Maria Farida Indrati, definisi tanggung jawab sosial dan lingkungan diletakkan menjadi satu kesatuan dengan Pasal 74, sehingga tidak menimbulkan suatu permasalahan (Ricca Anggraeni, 2008: 138). Menurut Wicipto Setiadi bahwa di antara berbagai peraturan yang mengatur masalah CSR sebenarnya tidak saling tumpang tindih. Berbagai peraturan perundang-undangan itu bisa dianggap saling melengkapi, misalnya saja di dalam Undang-Undang tentang
80 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Penanaman Modal telah terdapat aturan mengenai CSR, tetapi aturan mengenai CSR dalam undang-undang itu hanya diwajibkan bagi penanaman modal (investor). Belum disinggung kewajiban CSR bagi BUMN atau perseroan. Kekurangan itu kemudian bisa dilengkapi dengan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara, yang di dalamnya terdapat aturan untuk melakukan Program Bina Kemitraan dan Bina Lingkungan. Tetapi, yang diwajibkan dalam peraturan itu hanya BUMN dan bukan perseroan secara umum. Oleh karena itu, maka dilengkapi selanjutnya dengan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas inilah yang kemudian mengatur dan mewajibkan CSR bagi seluruh perseroan yang mengelola sumber daya alam dan yang berdampak terhadap lingkungan (Ricca Anggraeni, 2008: 139). Mengenai keberatan sebagian pihak yang berpendapat bahwa hanya Indonesia satu-satunya negara yang menjadikan CSR sebagai kewajiban yang dinormakan melalui peraturan perundang-undangan, mantan Ketua Panitia Khusus Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Akil Mochtar, menjelaskan bahwa tidak benar jika hanya Indonesia yang menjadikan CSR sebagai norma hukum. Karena berdasarkan hasil comparative study DPR dengan beberapa negara, menunjukkan bahwa Inggris pun ternyata telah mengatur mengenai CSR dalam sebuah peraturan perundag-undangan, kemudian begitu juga di Thailand, CSR ini diatur dalam sebuah surat keputusan menteri (Ricca Anggraeni, 2008: 141). d.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Setelah kedua Keppres. tersebut di atas dicabut, maka peraturan perundangundangan lain yang mencerminkan adanya upaya pemerintah untuk meregulasi tanggung jawab sosial perusahaan adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang sekarang telah dicabut dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dapat dikatakan bahwa undang-undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup ini sebenarnya juga mengandung prinsip tanggung jawab sosial korporasi, hanya saja dimensinya lebih kepada sisi eksternal korporasi, yaitu lingkungan hidup. Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari pembentukan undangundang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain, adalah dalam rangka untuk mendayagunakan sumber daya alam (SDA) guna memajukan kesejahteraan umum, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila. Untuk hal itulah, maka dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu, menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009). Sebenarnya bagi korporasikorporasi yang aktivitasnya terkait dengan lingkungan hidup, baik langsung maupun tidak langsung, undang-undang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut merupakan acuan atau pedoman dalam pengelolaan lingkungan sebagai bagian dari konsep CSR. Yang dimaksud dengan lingkungan menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 adalah: “...kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Sehingga, dengan pengertian lingkungan seperti di atas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya dengan bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka artinya ikut pula bertanggung jawab atas perilaku manusia untuk terus menjaga kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup. Jelaslah, ketentuan dalam undang-undang ini merupakan regulasi
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
dari salah satu konsep CSR, yaitu tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Jadi, sebenarnya masalah tanggung jawab terhadap lingkungan yang merupakan bagian dari konsep CSR memang sudah diatur dalam undang-undang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengaturan yang berkaitan dengan CSR dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat ditemukan lagi, antara lain, pada Pasal 67. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menjelaskan bahwa “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian f ungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Menurut peneliti, Pasal 67 ini pun dapat dijadikan sebagai landasan berfikir bagi korporasi untuk melakukan tanggung jawab terhadap lingkungan, karena setiap organ dalam korporasi dan/ atau decision maker dalam korporasi itu pun berkewajiban untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sehingga dalam menjalankan korporasi, bukan justru hanya mengeksploitasi kekayaan alam untuk keuntungan usaha semata-mata. e.
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I Pada masa Orde Baru upaya untuk meregulasi konsep CSR dilakukan, antara lain, dengan menetapkan Keputusan Presiden (Keppres.) Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dari peraturan itu adalah perlunya peningkatan kesetiakawanan sosial dengan mengikutsertakan masyarakat, khususnya wajib pajak dalam rangka mempercepat pelaksanaan pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995).
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
81
Berdasarkan Keppres. Nomor 90 Tahun 1995, bantuan yang diberikan kepada keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang diberikan oleh wajib pajak pengha silan badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berasal dari penghasilan setelah pajak penghasilan yang diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak berjumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) ke atas. Wajib pajak badan maupun orang pribadi dapat membantu sampai dengan setinggi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau penghasilan setelah pajak penghasilan yang diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak untuk pembinaan keluarga prasejahtra dan keluarga I. Namun, bantuan itu diberikan kepada yayasan yang dibentuk khusus untuk mengelola. Dari bunyi ketentuan tersebut, menurut peneliti, perseroan sebenarnya telah dituntut kesetiakawanan sosialnya (mungkin itu adalah penyebutan yang digunakan oleh Orde Baru untuk tanggung jawab sosial) untuk memberikan bantuan kepada keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I, walaupun itu disalurkan melalui yayasan dengan besarnya dapat setingi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau pendapatan setelah pajak penghasilan. Keppres. Nomor 90 Tahun 1995 kemudian diubah melalui Keppres. Nomor 92 Tahun 1996 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I, yang ditetapkan pada tanggal 4 Desember 1966. Melalui Keppres. Nomor 92 Tahun 1996 ini, Pasal 2 ayat (1) Keppres. Nomor 90 Tahun 1995 diubah ketentuannya, sehingga besaran bantuan yang semula “dapat membantu setinggi-tingginya 2% (dua persen)” menjadi “wajib memberikan bantuan sebesar 2% (dua persen) dari laba atau penghasilan setelah pajak penghasilan dalam 1(satu) tahun pajak”. Jadi besaran batuan yang diberikan melalui Keppres. Nomor 92 Tahun 1996 besarnya adalah 2% (dua persen). Namun kemudian kedua Keppres. tersebut, yaitu Keppres. Nomor 90 Tahun
82 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
1995 dan Nomor 92 Tahun 1996, dicabut keberlakuannya oleh Keppres. Nomor 98 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I Sebagaimana telah Diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1996. C.
Metode Penelitian Tulisan (penelitian) ini berupaya untuk membahas permasalahan regulasi penyelenggaraan CSR di Indonesia yang masih multitafsir, tidak seragam, dan masih mendapatkan penolakan dari beberapa pihak. Tujuan penelitian ini diarahkan kepada upaya untuk merancang kembali (merekonstruksi) konsep regulasi penyelenggaraan CSR yang ideal di Indonesia. Peneliti menggunakan metode kajian kepustakaan. Untuk hal itu, maka peneliti melakukan kajian kepustakaan terhadap beberapa bahan hukum primer (peraturan perundangundangan), bahan hukum sekunder, dan dokumen yang diterbitkan oleh beberapa korporasi yang diteliti, terutama yang berkaitan dengan program CSR yang mereka selenggarakan. Kemudian, sebagai pelengkap, peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber yang relevan. Teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis (tehnik analisis isi). D. 1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Beberapa Contoh Praktik CSR di Indonesia Walaupun secara de facto dan yuridis keberadaan CSR di Indonesia sudah cukup lama, namun dalam praktiknya, penerapan CSR oleh beberapa korporasi ternyata masih belum maksimal dan seragam. Hal itu disebabkan, salah satunya, karena masih belum adanya regulasi mengenai CSR yang dianggap cukup ideal, cukup jelas dan tegas, tidak multitafsir, seragam atau tidak tumpang tindih antara peraturan yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut di atas akan terungkap dari data yang telah berhasil peneliti peroleh. Berikut paparan mengenai data itu. a. PT. KPC. PT. KPC. ialah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang tambang batu bara. Daerah operasional PT. KPC. terletak di Sengata, Kutai Timur. PT. KPC. telah memiliki program Corporate
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
Social Responsibility (CSR), yang merupakan turunan dari visi dan misi PT. KPC (Rapat Koordinasi Program CSR , 19 April 2007). Visi PT. KPC. adalah untuk menjadi mitra dalam pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dari visi itu, kemudian dirumuskan 3 (tiga) misi pencapaiannya, yaitu: 1) Menjalin hubungan yang harmonis dengan pemangku kepentingan berdasarkan prinsip saling percaya dan saling menghargai. 2) Mendorong pertumbuhan perekonomian lokal yang saling menguntungkan untuk menuju masyarakat yang mandiri dan sejahtera. 3) Menjaga tatanan masyarakat dengan memelihara kelestarian alam dan budaya. Dari v isi dan misi tersebut kemudian dirumuskan program CSR PT. KPC. yang terdiri dari 7 (tujuh) program CSR, yaitu: 1) Agribisnis; 2) Kesehatan masyarakat; 3) Pendidikan dan pelatihan; 4) Ekonomi lokal serta usaha kecil dan menengah (UKM); 5) Infrastruktur; 6) Pelestarian alam dan budaya; 7) Peningkatan kapasitas masyarakat. Dalam contohnya yang konkret, program CSR PT. KPC. sebagaimana yang telah disebutkan di atas, antara lain, dilakukan dalam bentuk: 1) Program pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), yang melalui program ini, PT. KPC. telah melakukan perekrutan banyak kontraktor lokal dan tenaga kerja lokal untuk proyek-proyek tertentu, seperti di daerah Rantau Pulung, Sengata, dan Bengalon. 2) Program pendidikan untuk masyarakat lokal di Sengata dan Bengalon yang dilakukan melalui pemberian beasiswa untuk tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
3.
4.
Program pengembangan agribisnis untuk meningkatkan potensi pertanian dan pertumbuhan ekonomi lokal. Program ini dilakukan melalui kegiatan pembibitan, pengawasan, pelatihan SDM, dan pemasaran. Tanaman yang dibudidayakan, antara lain, meliputi tanaman jeruk dan kakao, di daerah Rantau Pulung, Sengata, dan Bengalon. Program pemberdayaan UKM, yang dilakukan dengan membangun jaringan wirausaha kecil dan menengah, di daerah Rantau Pulung, Sengata, dan Bengalon.
Dengan program CSR yang telah dirancang dan dilaksanakannya sejak mulai awal tahun 1990-an, PT. KPC. mempunyai simpulan pemahaman mengenai CSR, yaitu bahwa: 1. Community development merupakan bentuk program CSR PT. KPC. yang dilakukan secara transparan dengan proses perencanaan yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. Community development PT. KPC. telah memberikan manfaat bagi masyarakat Kutai Timur, khususnya di daerah sekitar tambang. 3. Community development PT. KPC. dilakukan sebagai upaya mencapai pembangunan berkelanjutan. Dari temuan data mengenai praktik CSR yang dilakukan oleh PT. KCP., maka dapat dikemukakan beberapa hal penting sebagai berikut: 1) Pemahaman CSR yang kemudian dipraktikkan oleh PT. KPC. masih tumpang tindih dengan konsep community development. Padahal, jelas konsep CSR berbeda dan jauh lebih lengkap (komprehensif) apabila dibandingkan dengan community development. 2) PT. KPC. menyadari bahwa community development adalah sebuah alat untuk mengimplementasikan konsep CSR, tetapi scope-nya yang lebih kecil. Program community development hanya terfokus pada komunitas yang merupakan bagian dari pihak terkait di luar perusahaan dengan scope yang lebih kecil. Community develop-
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
83
3)
4)
5)
ment sendiri tidak dapat diartikan sebagai pembangunan masyarakat, karena skala sebuah masyarakat adalah lebih luas dengan sistem-sistem sosialnya yang kompleks dan komprehensif. Prinsip community development yang bersumber dari perusahaan dan pemerintah pada dasarnya masih memandang komunitas lokal sebagai objek yang harus diperhatikan dan diubah agar dapat setara kehidupannya dengan komunitas lainnya dan mandiri. Untuk itu, pemerintah dan pihak korporasi harusnya memastikan keberkelanjutan investasinya melalui programprogram keterlibatan komunitas lokal, pendekatan kemitraan, mengembangkan pola-pola adaptasi dunia usaha terhadap komunitas lokal dan mengembangkan kepemilikan komunitas lokal. Program-program keterlibatan dan pendekatan kemitraan dengan komunitas lokal seperti itu mensyaratkan diikutsertakannya komunitas lokal yang bersangkutan dalam merancang serta melaksanakan program community development. Dalam hal ini, maka yang belum dapat dilihat secara jelas adalah proses diikutsertakannya komunitas lokal dalam merancang dan melaksanakan program community development dari PT. KPC. Dengan praktik community development yang telah dijalankan oleh PT. KPC. justru yang tampak adalah suatu proses yang berlangsung secara top-down dari pihak korporasi kepada komunitas lokal. Contoh yang terjadi pada pemberian bantuan bibit pohon pisang dari PT. KPC. kepada para petani di Desa Mukti Jaya, Kecamatan Rantau Pulung, dapat memperlihatkan kecenderungan proses top-down tadi. Kelompok tani di Desa Mukti Jaya sebenarnya lebih memilih untuk bertanam buah jeruk atau tanaman semusim seperti jagung, tetapi PT. KPC. justru menyiapkan bibit tanaman pisang. Apalagi bibit tanaman pisang yang diberikan oleh PT.
84 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
KPC. ternyata sudah mengandung bibit penyakit (virus), yang pada akhirnya menimbulkan kegagalan panen di pihak petani (Dani Setiawan dan Pius Ginting, ed, 2008: 119). b.
PT. MEI. Tbk. Visi dari PT. MEI. Tbk. adalah untuk menjadi perusahaan energi pilihan bagi investor dan pemegang saham, mitra kerja, pekerja PT. MEI. Tbk., publik dan komunitas secara umum. Untuk mencapai visi itu, PT. MEI. Tbk. memiliki misi membangun sumber daya energi menjadi portof olio investasi yang menguntungkan, yang dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab . PT. MEI. Tbk. menjadikan CSR sebagai bagian integral dari aktivitas perusahaan. PT. MEI. Tbk. menyakini apabila suatu perusahaan ingin mempertahankan kelanggengan usahanya dan mencapai pertumbuhan usaha yang berkelanjutan, maka dia harus menjalankan kebijakan dan aktiv itas bisnisnya sebagai wujud pelaksanaan 4 (empat) tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab hukum, tanggung jawab etika, dan tanggung jawab sosial, dengan sekaligus berpedoman pada prinsipprinsip good corporate governance. Secara lebih rinci, tujuan program CSR PT. MEI. Tbk. adalah: 1) Mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran dengan memberdayakan usaha kecil; 2) Menyediakan akses untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kehidupan spiritual, serta; 3) Membantu perbaikan infrastruktur yang menunjang peningkatan kualitas pendidikan dan kehidupan spiritual. Berikut ini adalah beberapa contoh konkret dari pelaksanaan program-program CSR PT. MEI. Tbk.: 1) Untuk program pendidikan, PT. MEI. Tbk. telah memberikan beasiswa berupa bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup mahasiswa untuk selama satu tahun. Sejak tahun 2003, PT. MEI. Tbk. telah menyalurkan beasiswa sebesar Rp. 1,3 miliar kepada 410
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
2)
3)
4)
(empat ratus sepuluh) mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia. Untuk program pemberdayaan masyarakat, PT. MEI. Tbk. telah mengembangkan konsep peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat melalui program Micro Financing Services (MFS). Program MFS ini ditujukan untuk membantu meningkatkan kualitas kesejahteraan ekonomi warga masyarakat di sekitar lokasi operasional PT. MEI. Tbk. melalui pemberian dana bergulir untuk usaha-usaha produktif berskala mikro. Program MFS pertama kali diluncurkan pada tahun 2003 di 6 (enam) desa yang berlokasi di sekitar Lapangan Kaji dan Matra di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sebagai proyek contoh. Untuk program kehidupan spiritual, PT. MEI. Tbk. secara aktif memberikan dukungan pembangunan fisik untuk fasilitas ibadah di sekitar lokasi operasional perusahaan, misalnya di Tarakan, Kalimantan Timur, dan Musi dan Banyuasin di Sumatera Selatan. Untuk program yang berbentuk bantuan kemanusiaan, PT. MEI. Tbk. telah memiliki Tim M Peduli yang beranggotakan para karyawan yang terlatih dalam situasi tanggap darurat. Salah satu contohnya, PT. MEI. Tbk. bersama tim sukarelawan telah memberikan banyak bantuan untuk korban bencana tsunami di Aceh pada tahun 2005, dan juga bagi korban gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006.
Dari penjelasan tersebut di atas, terhadap praktik CSR yang dilaksanakan oleh PT. MEI. Tbk., maka dapat diberikan catatan sebagai berikut: 1) Apa yang telah dilakukan oleh PT. MEI. Tbk. melalui program CSRnya, telah menunjukkan bahwa PT. MEI. Tbk. telah mendesain program CSR secara sistematis, terstruktur, dan cukup komprehensif. 2) Program CSR dari PT. MEI. Tbk. telah dilakukan dengan beragam model penyelenggaraan, mulai dari yang hanya berupa tindakan charYustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
3)
4)
5)
6)
ity sampai ke yang berbentuk community development. Bidang yang menjadi sasaran program CSR PT. MEI. Tbk. pun sudah sangat beragam, yaitu mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya sampai ke bidang pengembangan spiritual (keagamaan). Dari data yang dipaparkan, terlihat juga bahwa program CSR yang dilakukan oleh PT. MEI. Tbk. telah bisa membawa dampak yang positif bagi masyarakat di sekitar lokasi operasional perusahaan. Yang cukup jelas adalah apabila dilihat dari sisi peningkatan atau kemajuan di bidang pendidikan dan ekonomi. Dengan sederet program CSR dan pelaksanaannya yang dapat dianggap cukup baik seperti telah dipaparkan tersebut, yang menarik untuk dipertanyakan kemudian adalah bagaimana PT. MEI. Tbk. mengawali semuanya itu? Niat apakah yang mendorongnya? Terhadap pertanyaan itu akan diperoleh jawaban yang berbedabeda. Dan hal ini tentunya akan memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana PT. MEI. Tbk. memahami konsep CSR. Apabila dilihat dari data resmi yang diterbitkan oleh pihak PT. MEI. Tbk., maka program CSR yang dirancang dan dilaksanakan, dinyatakan sebagai suatu bentuk kesadaran dari dalam diri mereka sebagai perusahaan. Dalam kalimat yang tercantum di dalam “PT. MEI. Tbk. CSR Profile”, Mei 2007, disebutkan sebagai “...pernyataan tentang kesadaran yang telah tumbuh di lingkungan perseroan...”. Tetapi hal tersebut di atas akan berbeda apabila dibandingkan dengan hasil laporan penelitian yang telah diterbitkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 2008, yang justru menjelaskan bahwa program CSR yang dilaksanakan oleh PT. MEI. Tbk., khususnya di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, lebih merupakan
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
85
program yang dirancang dan dilaksanakan akibat adanya desakan dari warga di sekitar lokasi operasional PT. MEI. Tbk. (Dani Setiawan dan Pius Ginting ed., 2008: 50). Jadi, bukan merupakan bentuk inisiatif atau kesadaran dari dalam diri PT. MEI. Tbk. sendiri, tetapi merupakan alat untuk mencegah terjadinya konf lik dengan masyarakat sekitar. c.
PT. R PT. R adalah sebuah perusahaan timah yang beroperasi di Bangka Belitung. PT. R. telah memiliki dan melaksanakan program CSR yang berupa community development, mereka menyebutnya dengan program “sumbangan desa”. Secara matematis, PT. R untuk setiap 1 (satu) kilogram timah yang mereka hasilkan akan memberikan sumbangan desa sebesar Rp. 1.200,(seribu dua ratus rupiah). Program seperti itu telah dijalankan sejak perusahaan berproduksi, yaitu sekitar bulan Mei 2009 (Wawancara dengan FMS, President Director PT R tanggal 13 Nopember 2009 di Jakarta). Penentuan jumlah setiap 1 (satu) kilogram timah untuk Rp. 1.200,- (seribu dua ratus rupiah) bagi program sumbangan desa dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat di sekitar lokasi operasional PT. R. Walaupun diberi nama sumbangan desa, tetapi program yang dijalankan lebih luas dari sekedar kegiatan charity, karena PT. R juga melakukan program pemberdayaan masyarakat, dalam bentuk perekrutan sejumlah anggota masyarakat di sekitar lokasi operasional perusahaan untuk menjadi tenaga kerja di dalam PT. R. Program perekrutan tenaga kerja lokal itu juga dimaksudkan untuk mengimbangi proses pengurangan penggunaan tenaga kerja asing, terutama yang berasal dari Thailand di PT. R. Menurut narasumber dari PT. R yang peneliti wawancarai, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai CSR dianggap belum ideal. Sebaiknya peraturan perundangundangan itu, pada saat penyusunannya atau pada tahap implementasinya benar-
86 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
benar memberikan ruang atau wadah bagi keterlibatan aktif pihak pemerintah, pengusaha atau pihak korporasi, masyarakat, serta para pakar sosiologi. Pemerintah hendaknya juga berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap praktik CSR di lapangan. Sedangkan para pakar sosiologi justru akan sangat berperan penting dalam memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya, mengingat praktik CSR itu ada di tingkatan masyarakat secara langsung yang penuh dengan dinamika. Masih menurut narasumber, dalam peraturan perundang-undangan mengenai CSR, untuk perbaikan di waktu yang akan datang, tampaknya juga perlu mengatur sistem penghitungan dan penentuan jumlah dana yang diperuntukkan bagi program CSR secara pasti. Hal itu diperlukan agar terciptanya kepastian hukum bagi praktik CSR di lapangan. Kepastian hukum tentu akan menciptakan keadaan yang kondusif bagi berjalannya aktivitas bisnis. Narasumber juga menambahkan bahwa rekonstruksi regulasi dan model penyelenggaraan CSR di Indonesia memang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan sebenarnya dari program CSR, yaitu untuk mencapai “...sebesar-besar kemakmuran rakyat” seperti yang terdapat di dalam Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945. Bahkan perlu dipertimbangkan juga untuk memberlakukan konsep CSR bagi perusahaan lainnya, sehingga tidak hanya terbatas pada perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkaitan dengan SDA. Beberapa catatan yang bisa diberikan terhadap hasil wawancara peneliti dengan narasumber dari PT. R adalah: 1) Tampak bahwa setiap perusahaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap konsep, regulasi, dan model penyelenggaraan CSR. 2) Pemahaman yang berbeda-beda itu cenderung disebabkan, antara lain, oleh keadaan dari regulasi mengenai CSR yang ada di Indonesia sendiri. Regulasinya belum
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
3)
E. 1.
2.
ideal, belum seragam, dan masih dianggap belum dapat menciptakan kepastian hukum. Perbaikan terhadap regulasi dan model penyelenggaraan CSR di Indonesia memang sangat perlu dilakukan. Tidak lain, maksud dari perbaikan itu adalah untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan sebenarnya dari program CSR, yaitu untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Rekonstruksi Regulasi CSR yang Ideal (Berkarakteristik Keindonesiaan) Urgensi Berdasarkan data tersebut di atas, maka selanjutnya yang diperlukan adalah upaya untuk merekonstruksi regulasi penyelenggaraan CSR di Indonesia. Secara garis besar, tujuan dari upaya rekonstruksi ini adalah untuk memperoleh bentuk konsep regulasi penyelenggaraan CSR yang ideal dan berkarakteristik keindonesiaan, sehingga CSR itu dapat efektif dilaksanakan serta diharapkan juga akan membawa pengaruh yang positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (Erman Radjaguguk, 2000:1). Secara lebih rinci, maka menurut peneliti, alasan-alasan perlunya dilakukan rekonstruksi regulasi CSR di Indonesia adalah karena: a. Ketentuan peraturan yang mengatur mengenai CSR masih belum efektif ketika diterapkan di masyarakat. b. Masih timbul resistensi (penolakan) dari korporasi terhadap pengaturan CSR, khususnya terhadap peraturan CSR seperti yang terdapat di dalam UndangUndang tentang Perseroan Terbatas. c. Peraturan CSR yang ada ternyata belum berhasil mendorong perubahan paradigma korporasi terhadap konsep tanggung jawan sosial perusahaan mereka. Rekonstruksi Regulasi CSR Pertama-tama, untuk memperoleh konstruksi regulasi CSR yang ideal, yang berkarakteristik keindonesiaan, maka rekonstruksi regulasi CSR itu harus berpedoman pada: a. Memuat nilai-nilai Pancasila, dan merupakan implementasi konkret dari spirit Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencapai “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
b.
c.
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Materi regulasi tidak boleh lagi mengandung kelemahan-kelemahan yang justru dapat menghambat penerapan regulasi secara efektif. Atau dengan kalimat lain dapat dijelaskan, bahwa untuk konstruksi regulasi CSR yang ideal di waktu yang akan datang, maka sangat diperlukan ketaatan terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Memotivasi korporasi atau para pelaku bisnis untuk mengubah paradigma aktivitas bisnis mereka, yaitu dari yang hanya mengejar keuntungan (profit), menjadi concern terhadap aspek sosial (people) serta lingkungan (planet)
Berdasarkan data yang ditemukan dalam penelitian ini dan berdasarkan analisis terhadap regulasi CSR yang ada di Indonesia, justru terdapat kecenderungan bahwa nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 itu belum dijadikan landasan secara optimal bagi pembentukan regulasi dan model penyelenggaraan CSR di Indonesia. Kecenderungan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang belum dijadikan landasan secara optimal bagi pembentukan regulasi dan model penyelenggaraan CSR di Indonesia, kemudian akhirnya menimbulkan “efek domino” berupa lemahnya penerapan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan. Dalam contoh yang konkret, keadaan seperti itu dapat dilihat antara lain dari: a. Tidak dapat dilaksanakannya secara efektif dan optimal regulasi mengenai CSR di Indonesia. b. Hasil guna dari regulasi mengenai CSR yang terus di-pertanyakan, terutama apabila dikaitkan dengan masalah kemiskinan yang masih dialami oleh sebagian masyarakat. Sudah sebandingkah dengan hasil keuntungan yang berhasil dihisap oleh kor-porasi?(Eko Prasodjo, 2006: 9-10). c. Belum adanya kejelasan rumusan mengenai konsep CSR, sehingga pada tahap praktik di lapangan justru menimbulkan perbedaan penafsiran
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
87
mengenai sifat dari CSR itu sendiri. Hal ini berarti bahwa masalah kepastian hukum dalam penyeleng-garaan CSR di Indonesia masih belum juga terjamin. Karena yang akan dituju adalah “karakteristik keindonesiaan”, maka upaya merekonstruksi regulasi penyelenggaraan CSR yang berkarakteristik keindonesiaan ini harus dilandasi (diawali) dari Pancasila sebagai dasar negara (dasar filosofis). Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah wujud dari kesepakatan luhur seluruh komponen bangsa demi melaksanakan kehidupan ketatanegaraan (Moch. Isnaeni Ramdhan, 2009: 232). Pancasila sebagai dasar negara yang dirumuskan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, berdasarkan paradig-ma yuridis f ilosof is, selanjutnya diyakini bertransformasi menjadi pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945 (Moch. Isnaeni Ramdhan, 2009: 232). Kemudian agar dapat diterapkan di masyarakat, maka pasal-pasal pada UndangUndang Dasar 1945 itu dituangkan (diatur) lebih lanjut ke dalam peraturan perundangundangan, karena norma hukumnya sudah bersifat umum dan dapat mengikat seluruh warga negara Maria Farida Indrati S, 2007: 67). Apabila dihubungkan antara penjelasan tersebut di atas dengan upaya untuk merekonstruksi regulasi CSR, maka hal yang harus dilakukan pertama adalah meninjau kembali landasan yuridis filosofis dari regulasi CSR di Indonesia. Apakah landasannya itu sudah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Untuk kemudian, baru dilanjutkan pada pertanyaan, apakah regulasi CSR di Indonesia selama ini telah mengimplementasikan spirit Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencapai “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”? Jadi, kesesuaian antara regu-lasi CSR dan nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 merupakan syarat yang harus ada dalam upaya membentuk regulasi penyelenggaraan CSR yang ideal. Secara eksplisit, hal itu juga ditegaskan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2 menjelaskan bahwa “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Kemudian Pasal 3 88 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
ayat (1) menjelaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan”. Setelah landasan yuridis f ilosof is terpenuhi, barulah kemudian upaya untuk merekonstruksi regulasi penyelenggaraan CSR dilanjutkan dengan menerapkan asasasas untuk membentuk peraturan perundangundangan yang baik, yang dalam hal ini adalah untuk membentuk suatu regulasi CSR yang optimal dan diharapkan dapat berlaku efektif di masyarakat. Untuk menyediakan pedoman bagi membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pada Pasal 5 telah mengatur beberapa asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Pasal 5 menjelaskan bahwa: “Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasar-kan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasil-gunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan”. Kemudian ketentuan mengenai asasasas yang terdapat pada Pasal 5 tersebut dilengkapi lagi dengan ketentuan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menjelaskan mengenai asas-asas yang dikandung di dalam materi muatan perundangundangan, yaitu: “ (1) Materi muatan peraturan perundangundangan mengandung asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum, dan/ atau;
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Praktik penerapan regulasi CSR yang sempat mendapatkan gugatan, yaitu dengan diajukannya permohonan judicial review atas Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/ PUU-VITahun 2008), mengindikasikan belum diterapkannya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam menformulasikan CSR dalam bentuk norma hukum. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Kadin Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Ikatan Wanita Pengusaha Muda Indonesia (IWAPI), PT. Lili Panma, PT. Apac Centra Centertex Tbk., serta PT. Kreasi Tiga Pilar ke Mahkamah Konstitusi. Pada intinya, bagi pihak yang mengajukan permohonan judicial review, isi Pasal Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang mengatur tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (CSR) dianggap malah menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakukan yang tidak sama di muka hukum. Contradictio in terminis dikandung dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 itu, karena penggunaan beberapa istilah yang menyebabkan terjadinya ketidakjelasan konsep CSR, yaitu apakah bentuk tanggung jawab terhadap pelaksanaan CSR hanya bersifat voluntairly (dasar karakter sosial), atau bersifat wajib (dasar karakter hukum yang mempunyai daya paksa atau legal obligation)? (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-VITahun 2008). Atas permohonan judicial review itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 53/PUU-VI/2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) serta Penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3)) yang diputuskan pada hari Jumat, 20 Maret 2009, menyatakan menolak permohonan pemohon. Dari kasus permohonan judicial review terhadap Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) serta Penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, maka di antara pembenahan yang perlu dilakukan untuk waktu yang akan datang adalah Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
merumuskan kembali konsep CSR yang ada, sehingga dengan itu lebih dapat memberikan kepastian hukum, terutama mengenai sifat tanggung jawab pelaksanaan CSR, dan tidak lagi bersifat diskriminatif karena memberikan perlakukan yang tidak sama di muka hukum terhadap para pelaku bisnis. Selain hal tersebut di atas, untuk menghindari terulangnya hambatan terhadap penerapan regulasi CSR secara efektif, maka dalam upaya merekonstruksi regulasi CSR, prosesnya haruslah juga sudah terlebih dahulu dibekali dengan landasan yuridis filosofis yang kokoh dan mengikuti secara optimal asasasas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Untuk menjadikan suatu regulasi memiliki nilai penting yang dapat memotivasi pihak yang menjadi “objek” pengaturannya, maka regulasi itu haruslah didudukkan sebagai suatu “kebutuhan yang dipercaya dapat memberikan pengaruh yang positif” bagi pihak tadi. Dalam konteks penerapan regulasi CSR, apabila diinginkan agar regulasi CSR dapat memotivasi pihak korporasi untuk mengubah paradigma aktivitas bisnis mereka, maka regulasi CSR itu harus terlebih dahulu didudukkan sebagai suatu “kebutuhan yang dipercaya” bagi para pelaku bisnis. Motivasi tidak bisa timbul tanpa didahului dengan rasa membutuhkan serta percaya. Dan pintu masuk untuk menimbulkan kedua rasa itu dapat dilakukan (diawali) dengan melibatkan pihak korporasi dalam proses membentuk regulasi mengenai CSR. Oleh karena itulah, maka bentuk keterlibatan partisipasi publik tidak bisa diabaikan dan bahkan juga bisa menjadi syarat penting bagi upaya memotivasi pihak korporasi untuk mengubah paradigma aktivitas bisnis mereka (Jalal, Pamadi Wibowo dan Sonny Sukada, 2007: 1). Untuk menciptakan atau memberikan ruang bagi bentuk keterlibatan publik, berkaitan dengan pembentukan dan pelaksanaan regulasi CSR, maka langkah tepat yang dapat ditempuh oleh pihak yang berwenang (pihak eksekutif dan/atau legislatif) adalah dengan merancang regulasi CSR dengan merujuk pada gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki karakteristik berkelanjutan. Menurut Yuliandri, konsep “berkelanjutan” yang terdapat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki karakteristik berkelanjutan, adalah
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
89
dipahami sebagai pembentukan peraturan perundang-undangan yang diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat, yang di dalamnya mempersyaratkan adanya kepastian, konsistensi dan kepercayaan (Yuliandri, 2009: 167). Pembentukan peraturan perundangundangan yang memiliki karakteristik berkelanjutan harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (Yuliandri, 2009: 167). Dalam rumusan yang lebih teknis, maka pelaksanaan gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki karakteristik berkelanjutan diwujudkan dalam bentuk langkah-langkah: a. Perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan melalui (yang disertai dengan) penyusunan naskah akademik. Melalui naskah akademik, maka akan dipetakan, diketahui dan dianalisis berbagai hal yang berkaitan dengan masalah yang akan dibentuk peraturan perundang-undangannya (Hikmahanto Juwana, 2006: 21-23). b. Melibatkan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundangundangan. c. Memperhatikan kesesuaian antara materi muatan dan persyaratan pembentukan peraturan perundangundangan. Partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang disebutkan di atas, akan semakin terlihat arti pentingnya apabila disimak juga “peringatan” dari Satjipto Rahardjo berikut ini: “Merencanakan hukum ternyata tidak segampang seperti menuliskan sesuatu di atas lembaran kertas putih. Terjadi interaksi dinamis antara para perencana dan masyarakat yang dijadikan sasaran perencanaan. Masyarakat akan melakukan semacam pembalasan apabila perencanaan dilakukan dengan akibat merusak atau merugikan masyarakat”. (Satjipto Rahardjo, 2009: 110). Dalam konteks merekonstruksi regulasi CSR di Indonesia, maka gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai CSR yang memiliki karakteristik berkelanjutan dapat diterjemahkan sebagai langkah untuk melakukan: a. Perencanaan pembentukan regulasi CSR yang disertai dengan penyusunan naskah akademik. Penyusunan naskah akademik yang demikian diperlukan untuk memetakan sekaligus mengana90 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
b.
c.
lisis berbagai hal yang berkaitan dengan konsep CSR yang akan diregulasi. Melibatkan partisipasi publik dalam pembentukan regulasi CSR. Partisipasi publik itu melibatkan berbagai pihak, seperti pihak dari korporasi sebagai pelaku bisnis, masyarakat yang ada di sekitar perusahaan, bahkan juga pihak buruh atau karyawan, karena konsep CSR juga sampai menjangkau kepentingan buruh di dalam korporasi yang bersangkutan (The Jakarta Consulting Group, 2007: 22-24). Memperhatikan kesesuaian antara materi muatan, yaitu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, dan persyaratan pembentukan peraturan perundangundangan yang akan meregulasinya. Hal ini diperlukan, antara lain, untuk menghindari adanya tumpang tindih dan pertentangan antara beberapa regulasi yang sama-sama mengatur mengenai CSR di Indonesia.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa gagasan pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki karakteristik berkelanjutan memang tepat apabila digunakan sebagai alat bantu untuk merekonstruksi regulasi CSR di Indonesia yang diharapkan mampu untuk, salah satunya, memotivasi korporasi untuk mengubah paradigma aktivitas bisnis mereka, yaitu dari yang hanya mengejar keuntungan (profit), menjadi concern terhadap aspek sosial (people) serta lingkungan (planet). Yang perlu mendapatkan perhatian juga dalam upaya merekonstruksi regulasi CSR di Indonesia adalah strategi sosialiasi dalam rangka mempersiapkan konstruksi CSR yang baru, yang ideal. Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak eksekutif maupun legislatif harus dapat memperlihatkan dengan jelas bahwa memang terdapat hubungan berbanding lurus antara pelaksanaan CSR oleh suatu korporasi dan upaya memperoleh atau bahkan meningkatkan keuntungan (profit) bagi korporasi itu. Untuk memotivasi, tampaknya strategi yang bertumpu pada sosialisasi hal-hal yang normatif akan cenderung tidak dapat berjalan efektif. Karena sebagai pelaku bisnis di lapangan, maka data konkret (berupa angkaangka yang dapat diukur) lebih cenderung dapat menyentuh kesadaran mereka secara langsung.
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
E.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Rekonstruksi regulasi penyelenggaraan CSR di Indonesia diperlukan karena terhadap hal itu masih banyak mengandung kekurangannya. Kekurangan di dalam regulasi mengenai CSR di Indonesia sendiri dapat dilihat, antara lain, dari: a. Dari sudut efektivitas, regulasi CSR di Indonesia belum dapat dijalankan secara efektif. Hal ini, antara lain, disebabkan karena beberapa regulasi mengenai CSR masih belum seragam dalam mengaturnya, terjadi tumpang tindih pengaturan, dan juga terjadi perbedaan konsep mengenai CSR dalam setiap regulasi itu, sehingga para pelaku bisnis (korporasi) memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai CSR. b. Dasar filosofis regulasi CSR yang merujuk kepada nilai-nilai Pancasila juga cenderung diabaikan pada saat regulasi itu dirancang atau diterapkan di masyarakat. Sehingga regulasi CSR menjadi “tidak membumi” ketika dia diterapkan di masyarakat Indonesia yang memiliki dasar filosofis Pancasila. c. Khususnya regulasi CSR yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, pengaturannya juga masih mengandung beberapa kekurangan, seperti dalam hal penentuan sifat dari pelaksanaan CSR, yaitu apakah CSR bersifat voluntairly (dasar karakter sosial) atau bersifat wajib (dasar karakter hukum yang mempunyai daya paksa)? Regulasi CSR dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dengan demikian justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang akan melaksanakannya, terutama pihak korporasi. d. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ternyata belum diterapkan secara optimal pada saat menformulasikan CSR dalam bentuk norma hukum. 2. Konstruksi regulasi penyelenggaraan CSR yang berkarakteristik keindonesiaan berdasarkan Pancasila dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 pada intinya merupakan bentuk solusi alternatif bagi kekurangankekurangan yang masih ada di dalam regulasi penyelenggaraan CSR di Indonesia. F. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, maka disarankan sebagai berikut. 1. Untuk merekonstruksi regulasi CSR agar ideal, yang berkarakteristik keindonesiaan, maka upaya rekonstruksi harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila (dasar filosofis) dan harus merupakan implementasi konkret dari spirit Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencapai “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 2. Merekonstruksi regulasi CSR agar ideal di Indonesia juga harus berpedoman pada ketentuan: a. Materi regulasi tidak boleh lagi mengandung kelemahan-kelemahan yang justru dapat menghambat penerapan regulasi secara efektif. Atau dengan kalimat lain dapat dijelaskan, bahwa untuk konstruksi regulasi CSR yang ideal di waktu yang akan datang, maka sangat diperlukan ketaatan terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. b. Regulasi harus mampu memotivasi korporasi atau para pelaku bisnis untuk mengubah paradigma aktivitas bisnis mereka, yaitu dari yang hanya mengejar keuntungan (profit), menjadi concern terhadap aspek sosial (people) serta lingkungan (planet). c. Regulasi harus dapat meminimalisasi praktik CSR yang bersifat top-down. Fokus praktik CSR terletak pada masyarakat yang menjadi sasaran program CSR. Pihak korporasi sebaiknya hanya menjadi fasilitator dan pendorong bagi masyarakat tadi untuk mampu memahami masalah-masalah yang mereka hadapi, seperti kemiskinan, merancang solusinya, mempraktikkannya, dan pada akhirnya dapat dengan mandiri memberdayakan serta mengembangkan dirinya untuk mencapai kesejahteraan.
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
91
Daftar Pustaka
AB. Susanto. 2007. A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility. Jakarta: The Jakarta Consulting Group, 2007. Arif Budimanta, et al. 2008. Corporate Social Responsibility: Jawaban bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development, 2008. Indonesia. UndangUndang tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25, Lembaran Negara Tahun 2007, Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4675.Ricca Anggraeni. 2008. “Implikasi Hukum dan Finansial Ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Badan Usaha Perseroan”. Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta Dani Setiawan dan Pius Ginting ed. 2008. Mempertanyakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eko Prasojo. 2006. “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme”. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, 13 September 2006 Erman Rajagukguk. 2000. “Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”. Pidato pada Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000), di Depok, 5 Februari 2000. —————. “Pengelolaan Perusahaan yang Baik: Tanggung Jawab Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26, No. 3 (2007). Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama. 2008. Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR. Jakarta: Forum Sahabat Hikmahanto Juwana. 2006. “Penyusunan Naskah Akademik sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan RUU”, Pusat Pengkajian Hukum No. 67 Desember 2006 Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundangan-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius Mochamad Isnaeni Ramdhan. 2009. “Pancasila sebagai Grand Design Pengkajian Konstitusi”, dimuat dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti ed., Memahami Hukum: Dari Konstruksi sampai Implementasi. Jakarta: Rajawali Pers Pamadi Wibowo. 2004. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Masyarakat”,
. PT. KPC. 2007. “Bahan Rapat Koordinasi Program CSR 2007 PT. KPC”. Sengata, Kutai Timur, 9 April 2007. PT. MEI. Tbk. 2007. “PT. MEI. Tbk. CSR Profile”. Jakarta: PT. Mei Tbk. Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Sri Edi Swasono. 2005. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal Sampai ke The End of Laissez-Faire. Jakarta: Penerbit Perkumpulan Prakarsa Yuliandri. 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Yusuf Wibisono. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility. Gresik: Fascho Publishing Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
92 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 tahun 1996 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I Keputusan Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan yang Diberikan untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) serta Penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3)), tanggal 20 Maret 2009. 1
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Rekonstruksi Regulasi Tanggung Jawab....
93