Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
REKONSTRUKSI KARAKTER DALAM CERITA RAKYAT “KANCIL” UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER DI TAMAN KANAK-KANAK Tri Na’imah1 , Retno Dwiyanti2 1,2 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto 1 Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji metode rekonstruksi karakter dalam cerita ‘kancil’ yang digunakan guru taman kanak-kanak. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan focus group discussion. Informan adalah guru taman kanak-kanak di TK UMP. Analisis data menggunakan analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Guru melakukan rekonstruksi karakter dalam cerita ‘kancil’ dengan cara pendekatan content dan konteks. Pendekatan content dilakukan dengan cara merekonstruksi alur cerita, menghilangkan tokoh karakter kancil yang kurang baik, merubah isi cerita dengan menambahkan konsekuensi dari perilaku yang kurang baik, membuat ending cerita yang menempatkan karakter positif sebagai karakter yang dimiliki ‘kancil’. Pendekatan konteks dilakukan dengan merekonstruksi setting cerita, dan menyesuaikan dengan tema pembelajaran, Kata kunci : rekonstruksi, karakter, pendidikan karakter, taman kanak-kanak.
PENDAHULUAN Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak yang dilakukan dengan internalisasi dalam suatu sistem. Penelitian ini didasarkan pada teori pendidikan karakter dari Lickona (1991) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral behavior). Di dalam konsep moral terdapat komponen kesadaran moral, pengetahuan moral, penalaran moral, pengambilan keputusan. Kemudian, di dalam sikap moral terdapat komponen kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta, kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan hati, sedangkan perilaku moral adalah implementasi dari konsep dan sikap moral dalam bentuk tingkah laku. Hal ini ditegaskan lagi oleh Berkowitz & Fekula (1999) bahwa mengembangkan karakter meliputi aspek perilaku, kognisi, nilai kepribadian dan keterampilan. Permasalahannya adalah masih banyaknya praktik pendidikan karakter yang keliru orientasinya, sehingga menjadi overkognitif dengan pendekatan yang overbehaviorist. Akibatnya dalam implikasinya pendidikan karakter dilaksanakan dengan pendekatan konvensional yang minim dengan suasana nyaman. Penelitian Naimah & Pamujo (2014) menemukan bahwa model school well being dapat digunakan untuk menguatkan pendidikan karakter untuk anak usia dini. School weel being adalah kondisi sekolah yang memberikan kenyamanan dan kesejahteraan psikologis anak saat di sekolah. Kondisi ini bisa tercapai dengan terpenuhinya kebutuhan anak (having), relasi sosial (loving) dan pemenuhan diri (being) (Konu & Rimpela, 2002). Maka implementasi pendidikan karakter di TK dapat dilakukan dengan menciptakan suasana yang menyenangkan, relasi sosial yang baik dan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. 107
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Beberapa hasil penelitian menunjukkan ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk pendidikan karakter anak. Andayani (2010) menemukan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan model kantin kejujuran, sosiodrama dan metode bercerita. Penelitian ini merupakan implikasi pendidikan karakter di TK melalui metode bercerita. Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak Taman Kanak-kanak dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan Metode bercerita dalam kegiatan pengajaran di TK mempunyai beberapa manfaat penting bagi pencapaian tujuan pendidikan TK. Fanani (dalam Djuko, 2013) menyatakan bahwa, bercerita / mendongeng adalah metode komunikasi universal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Melalui cerita-cerita / dongeng yang baik, sesungguhnya anak tidak hanya memperoleh kesenangan atau hiburan saja, tetapi mendapatkan pendidikan yang jauh lebih luas, bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerita ternyata menyentuh berbagai aspek pembentukan kepribadian anak-anak. Dengan demikian, selain bisa menciptakan suasana yang menyenangkan metode bercerita juga bisa menjadi media internalisasi nilai dan karakter. Untuk itu, muatan isi cerita betul betul harus diperhatikan guru. Indonesia memiliki beraneka ragam dongeng binatang salah satunya adalah dongeng Si Kancil. Dongeng Si Kancil di Indonesia memiliki kekhasan dan daya tarik tersendiri. Dongeng Si Kancil pun beragam judulnya di antaranya adalah Si Kancil Mencuri Timun, Kancil dan Beruang, Kancil Menipu Anjing, Menipu Para Buaya, Sabuk Nabi Sulaiman, Hakim yang Cerdik, Kancil dan Kerbau, dan Kerbau Dungu (Ikranegara). Si Kancil Anak Nakal (mencemooh Sang Raja), Langit Akan Runtuh (Memperdaya Gajah) (Siswojo, 1999). Djamaris (1993) membagi cerita/dongeng kancil ke dalam empat golongan yaitu : 1) motif mengadili perkara, persengketaan di antara binatang lain; 2) berlaku sebagai penipu yang licik dan jahat; 3) berlaku sebagai binatang yang sombong sehingga kalah bertanding dengan binatang yang lebih kecil dan lemah; dan 4), dengan kecerdikannya kancil menjadi penguasa seluruh binatang dan menyebut dirinya Syah Alam di Rimba. Dari beragam judul tersebut, karakter Si Kancil yang digambarkan dalam cerita tetap sama yaitu cerdik tetapi licik, sombong, suka menipu bahkan tega terhadap binatang lain. Penonjolan karakter Si Kancil ini menimbulkan kesan sebagai tokoh protagonis bagi anak-anak sebab Si Kancil digambarkan sebagai pemenang tetapi dengan menggunakan karakter yang kurang baik. Oleh karena itu jika guru kurang cermat dalam bercerita dapat menanamkan karakter yang kurang baik pada anak. Pada usia dini anak merupakan peniru yang ulung, maka jika sumber peniruannya kurang baik anak mudah menginternalisasi karakter yang kurang baik juga. Berdasarkan hal itu guru perlu merekonstruksi karakter kancil menjadi karakter positif. Metode untuk merekonstruksi didasarkan pada konsep educational reconstruction dari Duit et all (2012) yang dilakukan dengan analisis content dan analisis konteks terhadap isi cerita kancil. Analisis konteks dilakukan karena isi cerita kancil tidak bisa disajikan secara abstrak, tetapi harus direkonstruksi sesuai dengan konteks tertentu yaitu konteks masyarakat. Analisis content digunakan untuk merekonstruksi struktur content karakter menjadi content pendidikan karakter di taman kanak kanak dengan memperhatikan ranah moral knowing, moral feeling dan behavior serta merumuskannya dalam konteks tertentu. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji metode rekonstruksi karakter dalam cerita ‘kancil’ yang digunakan guru taman kanak-kanak di Purwokerto. 108
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Informannya adalah guru taman kanak-kanak di TK UMP. Metode prngumpulan data adalah wawancara dan focus group discussion. Adapun analisis data menggunakan analisis interaktif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru menganggap penting penggunaan metode bercerita untuk mengembangkan karakter di taman kanak-kanak. Isi cerita yang berbasis cerita rakyat menjadi salah satu pilihan guru, karena hampir semua anak tidak memahami cerita rakyat dari daerahnya sendiri. Temuan juga menunjukkan bahwa cerita rakyat yang digunakan tidak beragam. Cerita rakyat banyumasan juga tidak digunakan di taman kanakkanak, karena minimnya sumber bahan cerita. Bahan cerita yang digunakan guru adalah cerita rakyat kancil dengan berbagai macam versinya, karena guru menganggap cerita kancil adalah cerita yang sangat familiar dan memuat pendidikan karakter. Penggunakan sastra anak-anak untuk meningkatkan program pendidikan karakter adalah pilihan yang praktis dan dapat menjadi alat yang sangat kuat (Brynildssen, 2003; Kilpatrick, Wolfe, & Wolfe, 1994). Menurut Lamme (1996), sastra anak-anak yang berkualitas mengandung banyak konsep etika dan prinsip-prinsip demokrasi yang menggambarkan nilai-nilai penting. Baldis (2004) menyatakan bahwa salah satu strategi pembelajaran yang paling efektif dalam pendidikan karakter adalah pengajaran langsung dari karakter yang dihubungkan dengan sebuah cerita yang menggambarkan karakter tersebut. Namun, permasalahannya adalah tokoh Kancil merupakan representasi karakter orang yang memiliki karakter kurang baik. Untuk itu guru melakukan rekonstruksi cerita kancil untuk menghindari resiko buruk bagi perkembangan kepribadian anak akibat internalisasi karakter kancil yang tidak dapat dapat dicontoh dan diteladani. Hasil temuan selanjutnya menunjukkan bahwa dalam merekonstruksi cerita guru menggunakan pendekatan contens dan konteks. Pendekatan contens dilakukan dengan menganalisis isi pesan dan mengolah pesan untuk menganalisis isi perilaku dari tokoh kancil. Hasilnya dapat dilihat dalam sampel cerita berikut ini : Tabel 1. Pendekatan contens terhadap karakter kancil Cuplikan cerita asli
Muatan karakter
Rekonstruksi karakter
Cerita hasil rekonstruksi
Melihat Kancil ingin pergi begitu saja, Buaya berteriak, “Hei, Kancil, mana hadiah dari Raja Sulaiman yang kamu janjikan?”
Kancil memiliki karakter suka menipu untuk memenuhi kebutuhannya. Kancil berbohong pada buaya dan tidak memiliki rasa bersalah maupun rasa terima kasih.
Merekonstruksi alur cerita dengan menghilangkan karakter kancil yang kurang baik
Melihat Kancil ingin pergi begitu saja, Buaya berteriak, “Hei, Kancil, mana hadiah dari Raja Sulaiman yang kamu janjikan?”
“Oiya, aku belum mengatakannya pada kalian ya? Raja Sulaiman ternyata sudah memberikan hadiahhadiahnya untuk buaya-
“Oiya, maaf ya... aku belum sempat mengucapkan terimakasih pada kalian. Teman-teman buaya saya berterima kasish sekali karena kalian sudah
109
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
buaya di tempat lain. Sehingga tidak ada hadiah untuk kalian. Hahaha…”
menolong saya menyeberang sungai ini.” Buaya menjawab : “Ya Cil, kita kan harus saling membantu”.
Sekarang tahulah buaya telah ditipu oleh kancil. Mereka bersumpah dan tidak akan melepaskan Kancil apabila bertemu pada masa akan datang. Dendam buaya tersebut terus membara hingga hari ini. Sementara itu, Kancil terus melompat kegembiraan dan terus meninggalkan buayabuaya tersebut. (Sumber : Seri Kancil dan Buaya)
Kancil : “tapi teman maaf lagi, saya tadi bohong. Sebenarnya Nabi Sulaiman tidak menitipkan hadiah pada saya, jadi saya tidak bisa memberi hadiah pada kalian”. Buaya : “ gak pa pa Cil, kami menghargai kejujuranmu, siapa tahu lain waktu kami yang perlu minta bantuan pada kamu”. Selanjutnya kancil terus melompat kegembiraan dan terus meninggalkan buayabuaya
Berdasarkan temuan tersebut, guru merekonstruksi alur cerita dengan menghilangkan karakter kancil yang kurang baik yaitu pembohong, penipu , tidak memiliki rasa bersalah dan tidak memiliki rasa terima kasih. Ending ceritanya guru tetap menempatkan karakter positif yang memiliki konsekunsi perilaku positif juga. Buaya tidak mendendam pada kancil karena kancil tidak menipu, bahkan buaya menginginkan hubungan baik lagi dengan kancil. Hasil ini untuk mereduksi apa yang dikhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menganggap tokoh Si Kancil justru mendidik agar anak tidak bertanggungjawab, berbohong dan mencuri. (http://news.okezone.com/read/2015/03/26/340/1124854/kpk-dongeng-sikancil-tak-mendidik). Selanjutnya, guru juga menggunakan pendekatan konteks dalam merekonstruksi karakter kancil. Metode yang digunakan guru adalah dengan menyesuaikan isi cerita dengan setting lingkungan anak dan menyesuaikan isi cerita dengan tema pembelajaran. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2. Pendekatan konteks terhadap karakter kancil Cuplikan cerita asli
Muatan karakter
Rekonstruksi karakter
Cerita hasil rekonstruksi
Pagi yang sangat cerah. Matahari bersinar dengan indah. Pak Tani bersiap-siap pergi ke ladang dengan sangat gembira dengan memanggul pacul.
Kancil memiliki karakter suka mencuri, suka merusak lingkungan
Menyesuaikan alur cerita dengan tema pembelajaran, yaitu tema lingkungan. Setting liengkungan dalam cerita kancil tersebut adalah lingkunganku. Maka guru bisa mengembangkan
Pagi yang sangat cerah. Matahari bersinar dengan indah. Pak Tani bersiap-siap pergi ke ladang dengan sangat gembira dengan memanggul pacul.
‘’Aku akan pergi ke
110
‘’Aku akan pergi ke
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
ladang untuk memeriksa kebun timunku, mungkin saja besok sudah bisa dipanen.’’
karakter cinta pada lingkungan, tidak merusak lingkungan dengan mencuri hasil tanaman
ladang untuk memeriksa kebun timunku, mungkin saja besok sudah bisa dipanen.’’
Sesampainya di kebun timun Pak Tani sangat terkejut. Buah timun di kebunnya banyak yang rusak.
Pak Tani sangat menyayngi kebun dan tanaman didalamnya, sehingga rajin merawatnya.
‘’Aduh siapa yang berani merusak buah timunku ini. Mengapa harus dirusak? Aku bukan petani yang pelit, jika ada orang yang mau timunku ambil saja. Tapi tidak untuk dirusak’’
Sesampainya di kebun timun Pak Tani sangat terkejut. Buah timun di kebunnya banyak yang rusak. Pasti hewan yang merusak dan mencuri kebun mentimun ku adalah si Kancil’’. Gumam Pak Tani. Maka pak Tani mencari kancil dan membawanya pulang. Pak Tani : “Cil kamu harus tanggung jawab sudah merusak kebunku, ayooo kamu harus merapikannya, ini cangkulnya”.
Pasti hewan yang merusak dan mencuri kebun mentimun ku adalah si Kancil’’. Gumam Pak Tani. (Sumber : Seri Kancil Mencuri Mentimun)
Kancil : “Wah pak tani, berat banget, tolong dong dibantuin”. Pak Tani : “Iya nanti tak bantuin, makanya jangan suka merusak lingkungan. Lagipula ini kan kebunku, kalau mau timun ya tinggal bilang to Cil, jangan jadi pencuri”.
Merekonstruksi cerita kancil menunjukkan bahwa guru cerdik, kreatif, berani berpikir sehingga mengatasi dan menyelesaikan masalah kehidupan yang dihadapi seharihari terutama berkaitan dengan pengembangan karakter. Hal ini sesuai dengan pendapat Junus (1993) yang mengatakan bahwa bagaimanapun dongeng diandaikan mengacu pada realitas, sesuatuyang benar-benar terjadi. Kalau tidak mengacu pada realitas, dongeng kehilangan fungsi dedaktiknya. Merekonstruksi cerita kancil dengan harapan bahwa tokoh kancil yang menjadi idola tidak berdampak buruk bagi pewarisnya karena secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi cara berpikir masyarakat pendukungnya.
111
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
KESIMPULAN Implementasi pendidikan karakter di TK dapat dilakukan melalui metode bercerita/mendongeng. Cerita rakyat sebagai karya sastra memiliki sifat yang menyenangkan sehingga diharapkan mampu membangun karakter anak. Namun masalahnya adalah masih ada beberapa cerita rakyat yang berisi tokoh-tokoh cerita yang kurang edukatif. Salah satunya adalah cerita rakyat “kancil” dengan berbagai macam versinya. Kancil selalu ditokohkan sebagai karakter yang cerdik tetapi curang, suka menipu, sombong, suka melanggar norma bahkan tega terhadap sesama. Oleh karena itu perlu ada rekonstruksi karakter tokoh kancil, agar tetap menjadi cerita rakyat yang disukai anak dan mengandung nilai-nilai yang berguna bagi pembangunan karakter anak. Proses rekonstruksi karakter tokoh kancil dapat dilakukan dengan pendekatan contens dan pendekatan konteks. DAFTAR PUSTAKA Andayani, T.R., (2010). “Model pembelajaran nilai kejujuran melalui budaya malu pada anak usia SD”. Jurnal Penelitian Inovasi dan Perekayasa Pendidikan, no.2 tahun ke 1, Agustus 2010. Halaman 297-322 Baldis, S. R. (2004). Character education in the classroom: A personal approach. English Leadership Quarterly, 26(4), 4 – 6. Berkowitz, M. W., & Fekula, M. J. (1999). Educating for character. About Campus, 4(5), 17-22. Brynildssen, S. (2003). Character education through children’s literature. Bloomington, IN: Family Learning Association Bloomington IN.(ERIC Document Reproduction Service No. ED469929) Djamaris, E. (1993). Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. Djuko, R.U., (2013). “Meningkatkan Minat Membaca Pada Anak Usia Dini Melalui Metode Bercerita Dengan Gambar Di Paud Andini Kelurahan Bulotadaa Timur Kecamatan Sipatana Kota Gorontalo”. Ejournal FIP UNG, Volume 04, No 01 (hlm.671-681). Duit H, Kattmann U., Michael K., & Parchmann, (2012), The Model of Educational Reconstruction – A Framework for Improving Teaching and Learning Science, (editor : Jorde & Dillon), Notherdam : Sense Publisher. http://news.okezone.com/read/2015/03/26/340/1124854/kpk-dongeng-si-kancil-tak-mendidik Kilpatrick, W., Wolfe, G., & Wolfe, S. M. (1994). Books that build character: A guide to teaching your child moral values through stories. New York: Simon & Schuster. Konu A.I, & Rimpela¨ M.K. (2002), “Well-being in schools: a conceptual model”. Health Promot Int , Vol. 17, 2002, 79–87. Lickona, T., (1991). Educating for Character How Our Schools Can Teach Responsibility, New York: Bantam Books
Respect and
Naimah, T & Pamujo, (2014), “School Well Being pada Anak Didik di Taman Kanak-kanak”, Jurnal Penelitian SAINTEKS, Vol XI No 2 Oktober 2014 Siswojo, E., (1994), Dongeng Kancil 2, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
112