Rekonstruksi Iman dan Moral, Analisis Pembinaan melalui Pendekatan Tasawuf Asmal May* Abstrak Dalam perjalanan kehidupan kelompok orang-orang sufi, mereka lebih mengkhususkan diri untuk beribadah secara sistematis di bawah bimbingan seorang mursyid. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf. Pada kurun waktu berikutnya muncul metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah konsep-konsep tasawuf. Tindak lanjut dari perbincangan ini adalah kemunculan berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana' dan ittihad. Sejak munculnya doktrin fana' dan ittihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan Allah s.w.t. sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah meningkat pada penyatuan diri dengan Tuhan.Tasawuf bersifat dinamis. Seorang sufi berati menjadikan ajaran agama sebagai penggerak hidupnya. Manusia sempurna (insan kamil), beriman dan bermoral yang paripurna adalah idola setiap sufi Kata kunci: tasawuf, maqamat, iman, moral A. Pendahuluan 1. Tasawuf Kata tasawuf mempunyai banyak kata untuk menjelaskan istilah tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-Suffah (orang yang ikut berpindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), Saf (Barisan), Sufi (Suci), Sophos (bahasa Yunani: Hikmah) dan Suf (Wol).1 Hamka mengatakan bahwa tasawuf atau kaum sufi ialah kaum yang telah menyusun kumpulan menyisihkan diri dari orang banyak dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan atau memakai pakaian yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia supaya hidup kelihatan kurus kering bagai kayu di
*
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), p.179. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
738
padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan khaliknya.2 Kata ahl al-suffah menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah s.w.t.. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan lainnya untuk hijrah dengan Nabi ke Madinah tanpa rasa iman dan kecintaan kepada Allah s.w.t., hal tersebut mungkin sulit untuk dilakukan. Kata saf juga menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah s.w.t. dan melakukan amal kebajikan. Demikian juga kata suf (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat. Kata suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia. Kata sophos (bahasa Yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran. Istilah tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua hijrah3 sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan mengembangkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada abad kedua hijrah dan memasuki abad ketiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoretis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini adalah kemunculan berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga, pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada 2
Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), pp. 1-2. Al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, (Kairo: Jannati al-Ta'lif wa alTarjamah wa al-Nasyr, 1956), p. 138. 3
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
739
tingkat fana' dan ittihad. Bersamaan itu pula tampil para penulis tasawuf seperti al- Muhasibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H) dan al-Junaid (w. 297 H) dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagaman menjadi ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.4 Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman, tampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga faktor, infuse ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul. Pertama, karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Dorongan yang paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekular dan glamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etika. Tokoh popular yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khouf–al-roja', Rabiah alAdawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf alKharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya.5 Tampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang introversionis, pemisahan dari tren kehidupan eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar. Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan politik pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).6 Apabila diukur dari kriteria sosiologi, tampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok umat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan 4Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, (Cairo: Dar al-Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979), pp. 80-82, Kitab karangan al-Muhasibi, alRi’ayah li’l Huquq al-Insan; al-Kharraj, al-Thariq ila al-Allah; al Junaid, Dawa’ al-Aiwah. 5 R.A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism, (London: University Press, 1921), p. 4. 6 Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
740
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
kritis terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang bebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta. Ketiga, tampaknya, karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehilangan moralitasnya menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suassana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para zuhhad tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas sehingga memacu pergeseran asketisme kesalehan kepada tasawuf. Doktrin al-zuhd misalnya, yang tadinya sebagai dorongan untuk meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah s.w.t. agar selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakkal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan yang profanistik di satu pihak dan konsep sentral tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian popular dengan doktrin al-hubb. Doktrin al-hubb adalah tingkat akhir sebelum ma’rifat yang berati mengenal Allah s.w.t. secara langsung melalui pandangan batin. Menurut sebagian sufi, ma’rifat Allah s.w.t. adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagian paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini.kondisi ini hanya dapat dicapai sesudah mencintai (al-hubb) Allah s.w.t. dengan segenap ekspresinya. Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dapat dikatakan sebagai gerakan gnotisisme (ilmu ladunni, al-ma’rifat) atau barangkali dapat disejajarkan dengan manipulationist dalam filsafat. Kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang. Untuk memiliki kualitas ilmu yang seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkattingkat. Pada abad itu juga, tampil Dzu al-Nun al-Mishri (w. 245 H) dengan konsep lain mengenai metodologi spiritual menuju Tuhan almaqomat yang secara parallel berjalan bersama teori al-hal yang bersifat psiko-gnostik. Sejak diterimanya secara luas doktrin al-maqomat dan al-hal, perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
741
dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun dalam ajaran. Di sisi lain, sejak periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin berat dan sulit, hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama. Kalau kelahiran pertama justru menyonsong kehidupan duniawi yang mengasikkan, tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan membuang kehidupan materi yang menyenangkan, untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu, pada abad ketiga ini juga Abu Yazid al-Bisthomi (w. 260H) melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana', yakni beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat keIlahian sehingga terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan.7 Sejak munculnya doktrin fana' dan ittihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya, sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah menaik lagi pada tingkat penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melaksanakan transformasi atau transendensi melalui mi’raj spiritual ke alam ilahiyat. Berbarengan dengan itu, sikap pro dan kontra muncul terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik internal sufisme maupun dengan teologi dan fiqh. Dua kelompok terakhir menuduh sufisme sebagai gerakan sempalan yang sesat. Fase tersebut merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi berpaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga hijriyah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsepkonsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani dan apabila dapat mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa' atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana'. Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasanganpasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu lembaga. Menurut berbagai pandangan, ada dua bentuk tasawuf: 7
Ibid., p. 186.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
742
1. Bercorak religius. Tasawuf relegius adalah semacam gejala yang sama dalam semua agama baik dalam agama langit dan agama bumi. Tasawuf religius adakalanya terpadu dengan filsafat. Hal ini dapat dilihat pada beberapa sufi muslim atau banyak mistikus Kristen. Perpaduan antara kencenderungan intelektual dan kecenderungan mistis merupakan suatu yang tidak asing. 2. Bercorak filosofis. Tasawuf sejak lama telah dikenal di Timur sebagai warisan filsafat orang-orang Yunani, sedangkan di Eropa modern yang mempunyai kecenderungan mistik ialah Bradley di Inggris dan Bergeson di Perancis. Bertrand Russel mengatakan bahwa di antara para filosof pun ada yang mampu memadukan kecenderungan mistis dan intelektual ini. Menurutnya, pemaduan mistis dan intelektual tersebut merupakan pendakian akal, sehingga orang yang mampu melakukanya pun dipandang sebagai seorang filosof dalam pengertian sebenar-benarnya. Para tokoh besar filosof sangat memerlukan baik itu ilmu pengetahuan maupun mistisisme, sebab intuisi mistis adalah semacam pemberi ilham bagi berbagai problem besar yang terdapat pada setiap manusia. 2. Maqamat Secara harfiah, maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. 8 Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah s.w.t..9 Dalam bahasa Inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Di kalangan sufi, orang yang pertama yang membahas maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, barangkali adalah al-Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Ia digelari al-Muhasibi karena kegemarannya melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak di antara keimanan dan kekefiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan riya'.10 Kemudian muncul pula al-Surri al-Saqathi (w. 257 H), dia merupakan satu angkatan dengan Haris ibnu Asad. Dia berpendapat bahwa ada empat hal yang harus ada dalam kalbu seseorang, yaitu rasa takut hanya kepada Allah s.w.t., rasa harap hanya kepada Allah s.w.t., rasa cinta hanya kepada Allah s.w.t. dan rasa akrab hanya dengan Allah s.w.t.. 8
Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),
p. 362. 9
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme.........., p. 62. A. Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufistik Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), p. 113. 10
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
743
Kemudian tampil pula Abu Zaid al-Kharraz (w. 277 H) dengan formasi lengkap serial dan fase perjalanan sufi. Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul wujud berkembang pula ke mana-mana pada abad ketujuh hijrah, ajaran ini berkembang di Mesir melalui sufi penyair Ibn al-Faridh (w. 633 H) dan Ibn Saba’in (w. 699 H) di Andalusia, serta meluas di Persia lewat syairsyair Jalaludin Rumi (w. 672 H). seperti dinyatakan oleh Ibn Arabi bahwa doktrin wahdatul wujud tidak sama dengan inti ajaran ma’rifat. Menurut ajaran ini, Tuhan sebagai esensi mutlak, yang menurut al-Ghazali dapat dikenal, tidak mungkin dikenal oleh siapapun, walau oleh Nabi sekalipun. Menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai dzat mutlak hanya bisa dikenal melalui nama dan sifat-sifat-Nya yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan dalam konsep tasawuf Abu Yazid alBusthomi dan Hallaj, tetapi dalam bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali di dunia Islam dalam tulisan Ibn Arabi. Siapapun yang pertama kali menyusun al-maqamat, tidaklah menjadi permasalahan utama. Yang pasti adalah bahwa sejak abad ke-3 Hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai macam latihan amalan, baik yang bersifat amalan lahiriyah maupun batiniyyah. Kendatipun pengetahuan ketasawufan itu bersifat relatif, namun dapat dipelajari melalui tahapan-tahapan tertentu yang disebut maqamat yang membawa kepada perbaikan moral secara maksimal. Menurut Reynold A.Nicholson, kata mistik berasal dari agama Yunani, yang kemudian merembes ke dalam kepustakaan Eropa; dan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Persia dan Turki, yang merupakan bahasa utama dalam Islam disebut dengan istilah sufi. Istilah ini sedikit berbeda makna, karena istilah sufi memiliki konotasi religius yang lebih khusus dan biasa digunakan secara terbatas hanya untuk meyebut mistik bagi para penganut ajaran islam. Kata dalam bahasa Arab tersebut, walau ketika memperkenalkan pertama kalinya harus berhadapan dengan istilah Yunani yang untuk mengucapkanya lidah terselubungi oleh misteri suci, mata tertutup, dengan pandangan yang memukau, namun ternyata mengandung makna yang lebih luhur dan memancarkan kebersahajaan.11 Secara umum, tasawuf adalah filsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah.12 Meskipun tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan itu, 11
R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1974),
12
al-Taftazani, Madkhal, p. 3.
p. 3.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
744
pengertian pada kata ini masih kabur dalam makna yang beragam, ada kalanya malah bertentangan. Ini disebabkan karena tasawuf atau mistisisme telah menjadi milik bersama berbagai agama, filsafat dan kebudayaan dalam berbagai kurun waktu. Bertrand Russel menerangkan bahwa di antara para filosofpun ada yang mampu memadukan kecenderungan mistis dan kecenderungan intelektual. Menurutnya, perpaduan kedua kecenderungan itu merupakan pendakian akal, sehingga orang yang melakukanya pun dipandang sebagai filosof dalam pengertian yang sebenarnya. Para filosof memerlukan ilmu pengetahuan dan mistisisme, sebab intuisi mistis adalah semacam pemberian ilham dari berbagai problema besar yang terdapat pada setiap manusia, sebagai contoh tokoh-tokohnya ia menyebut: Heraclitus, Plato dan Paramenides.13 B. Rekonstruksi Iman dan Moral melalui Pendekatan Tasawuf Tasawuf, seperti kata Reynold A.Nicholson, merupakan salah satu unsur yang vital dalam Islam, sehingga tanpa adanya pemahaman dari gagasan dan bentuk-bentuk sufistik yang mereka kembangkan, maka akan susah menelusuri kehidupan keagamaan Muhammad yang tampak di permukaanya saja.14 Titus Burckhardt mengatakan bahwa tasawuf sebagai sesuatu yang di tambah-tambahkan kepada Islam, karena yang demikian akan bersifat sesuatu yang bersifat pinggiran (pheriferal) dengan hubunganya dengan sarana-sarana rohani Islam.15 Khan Sahib Khaja Khan menegaskan, kalau Islam dipisahkan dari aspek esoterismenya (tasawuf), maka ia hanya menjadi rangka formalitas saja yang akhirnya akan menghilangkan keindahan Islam itu sendiri.16 Menurut Max Weber, citra umum tasawuf yang kita miliki tentang tasawuf timbul pertanyaan apakah hidup secara sufi berarti ”melepaskan diri dari dunia”? Menurutnya, orang-orang sufi memang mempunyai orientasi ke arah dunia lain, bukan dunia sekarang ini, inilah yang disebut asketisme yang mendunia. Nasr menyatakan bahwa tasawuf serupa dengan nafas yang memberikan hidup, telah memberikan semangatnya kepada struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun intelektual.17 Ibrahim 13
Bertrand Russell, Mysticim and Logic, (New York: The Modern Library, 1927), pp. 16-55. 14 R.A. Nicholson, Studies, p. vi. 15 Titus Burckhard, An Introduction to Sufi Doctrine, (Lahore: tp, 1973), pp. 4-5. 16 Khan Sahib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, (New Delhi: Darah-i Adabiyat-i, 1978), pp. ix-x. 17 Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), p. 11. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
745
Madkur dengan nada antusias mengungkapkan bahwa tasawuf dalam hubungan perimbangan antara kecederungan duniawi dan ukhrawi. Islam katanya, tidak melapangkan dada bagi kependetaan Masehi dan kesederhanaan Hindu. Islam selalu mengajak berkarya demi meraih dunia dan menikmati segala kenikmatan hidup yang memang diperbolehkan.18 Tasawuf, kata Abu al-Wafa’ al-Taftanzani, tidak berarti suatu tindak pelarian dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan kepada mereka yang anti, tetapi ia adalah yang akan mempersenjatai diri (manusia) dengan nilai-nilai rohaniah baru yang akan menegakkannya saat menghadapi kehidupan, merealisasikan keseimbangan jiwa, sehingga timbul kemampuanya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidupnya.19 Prinsip-prinsip positif tasawuf yang mampu mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyarakatantara lain hendaklah manusia selalu mawas diri demi meluruskan kesalahan-kesalahan serta menyempurnakan keutamaan-keutamaanya. Tasawuf mendorong wawasan hidup menjadi moderat dan membuat manusia tidak terjerat hawa nafsunya ataupun lupa pada diri dan Tuhannya, yang akan membuatnya terjerumus dalam penderitaan yang amat berat. Kehidupan ini adalah sekedar sarana, bukan tujuan; dan hendaklah seseorang sekedar mengambil apa yang diperlukanya serta hendaklah jangan terperangkap dalam perbudakan cinta harta ataupun pangkat dan hendaklah tidak menyombongkan diri pada orang lain. Dengan semua itu, barulah manusia dapat sepenuhnya bebas dari nafsu dan syahwatnya.20 Perjalanan dari satu etape ke etape berikutnya adalah suatu perjalanan safari yang berat dan sulit. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan itu, tidak akan terlaksana kecuali melalui perjuangan dan pengorbanan yang disebut mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriyah dan hal-hal yang bersifat pelaksanaan syari'at dan muamalah maupun aspek batiniah atau hakikat, mempertinggi mutu pengetahuan dan pengalamannya, melenyapkan sikap-sikap yang tidak baik dan mengisi diri dengan sikap-sikap yang terpuji sampai tercapai tingkat muqqarabin. Banyak metode yang dilakukan para sufi untuk melakukan mujahadat yaitu: 1) riyadah, yaitu latihan secara intensif dan berkesinambungan untuk membiasakan sikap hidup dengan situasi yang baru dialami, sehingga lambat laun akan terbiasa dan menjadi kepribadian; 2) al-Taubah yang berasal dari bahasa Arab, yaitu taba, yatubu taubatan yang artinya kembali, sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon 18
Ibrahim Madkur, Fi al-Filsafat Al-Islamiyah, (Cairo: Dar Al-Ma’arif, 1976), p. 66. al-Taftazani, Madkhal, p. 7. 20 Ibid. 19
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
746
ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution mengatakan bahwa taubat yang dimaksud kaum sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.21 Para sufi berbeda pendapat dalam mengartikan taubat, tetapi secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebajikan secara terus menerus; 2) keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut pada murka Allah s.w.t.; 3) terus menerus bertaubat walaupun sudah tidak pernah lagi berbuat dosa yang disebut taubat ’ala al-dawam atau taubat abadi. Menurut sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah s.w.t. adalah karena dosa, sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepada-Nya atau ingin melihat-Nya, maka ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam pengertian yang sebenarnya. Selanjutnya, Mustafa Zahri menyebut taubat berbarengan dengan istighfar (memohon ampun). Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi (aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali sehari semalam. Bagi orang khawas, bertaubat dengan mengadakan riyadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.22 Bagi sufi, fungsi taubat bukan hanya menghapus dosa, akan tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai syarat mutlak agar dapat dekat dengan Allah s.w.t. Oleh karena itu, mereka menetapkan istighfar sebagai salah satu amalan yang harus dilakukan beratus-ratus kali dalam sehari agar ia bersih dari dosa. Taubat adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang mulai memasuki sufi yang ingin berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Rasulullah s.a.w. yang bersih dari dosa, masih memohon ampun dan bertaubat apalagi seorang manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. 1. Al-Zuhud Secara harfiah, al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian,23 sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalnya dunia dan hidup kematerian.24 Selanjutnya, Al21 22
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, p. 67. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), pp.
105-106. 23 24
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, p. 158. Harun Nasution, Falsafat, p. 64.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
747
Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang berzuhud di dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah s.w.t., yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan dan mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, dari pada mengejar kehidupan dunia yang fana' dan sementara. Sikap zuhud adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaun yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Mu'awiyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan, anaknya Yazid dikenal juga sebagai pemabuk.25 Demikian pula halnya dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, sehingga ia dibenci oleh ibunya sendiri Zubaidah. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Mu'awiyah dan Abbasiyyah itu telah timbul pula sikap perlombaan dan persaingan tidak sehat di zaman Usman dan Ali. Dalam keadaan demikian, ada sahabat yang tidak melibatkan diri. Mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut. Berkenaan dengan hal demikian, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kuffahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Mu'awiyyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w.135 H), Abu Hasyim (w. 150 H), Jabir Ibn Hasyim (w. 190), Hasan Basri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah. 2. Al-Wara’ Secara harfiah, al-wara’ artinya saleh, dan saleh itu artinya baik, yaitu menjauhkan diri dari semua perbuatan buruk, dan selalu berusaha untuk melakukan perbuatan baik semaksimal mungkin. Kata ini selanjutnya mengandung arti orang yang sangat ta’at kepada Allah s.w.t.. Keta’atannya itu pulalah yang mendatangkan rezki yang berlimpah kepadanya secara halal lagi baik. Al-wara’ dalam pengertian sufi yang lebih ekstrim adalah 25
Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
748
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram, apa lagi yang haram. Orang sufi yang mengisi hidup dan kehidupannya dengan selalu menjaga jiwa dan raganya dalam kesucian, keindahan dalam kebaikan, karena itu mereka tentu saja selalu waspada dalam berbuat. Mereka tidak mau menggunakan sesuatu yang tidak jelas statusnya, apalagi yang jelasjelas haram. Sikap hidup yang seperti itulah yang disebut wara’. 3. Al-Faqr Seperti halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-faqr juga mempunyai interpretasi yang berbeda antara satu sufi dengan sufi yang lain. Secara harfiah, fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada dirinya. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, tidak meminta walaupun itu tidak ada pada diri kita. Pesan yang tersirat di dalamnya adalah agar manusia bersikap hatihati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Mereka merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau sudah merasa cukup dengan apa adanya daripada punya akan tetapi menyiksa. Hal ini sesuai dengan pola hidup dasar kaum sufi yang tergambar di atas yang selalu berhati-hati. 4. Al-Shabr Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Misri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah s.w.t., tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan dan menempatkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Sabar yaitu sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah s.w.t., dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakann-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Allah s.w.t., sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu datangnya pertolongan. Sikap mental sabar inipun tidak bisa terwujud begitu saja tanpa melalui latihan yang sungguh-sungguh. Sikap sabar memegang peranan penting dalam rangka mencapai tujuan para sufi. Begitu pentingnya nilai dan makna kesabaran, sehingga sukses tidaknya suatu perjuangan sangat tergantung kepada kesabaran. Orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai manusia penyabar ia akan memperoleh status yang tinggi dan mulia. 5. Al-Tawakkal Pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara kepada Allah s.w.t. setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
749
Tawakkal erat hubungannya dengan rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang dan usaha yang dijalankan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan rencana, maka hasilnya diserahkan kepada Allah s.w.t.. Hanya Allah s.w.t. yang dapat mengetahui dengan pasti apa yangakan terjadi. Oleh karena itu, manusia harus menyerahkan kepada keputusan dan ketentuan Allah s.w.t.. Tawakkal dilakukan setelah sesudah segala daya upaya dan ikhtiyar dijalankannya. Jadi, yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Allah s.w.t. adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiyar dilakukannya. Dalam tasawuf, tawakal dijadikan satu maqam yang diberi pengertian secara khusus yang berbeda dan menyimpang dari ajaran rawakkal dalam agama. Menurut Simuh, tasawuf menjadikan maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan mensucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniawian serta apa saja selain Allah s.w.t.. Oleh karena itu, sesuai dengan cita ajaran tasawuf tawakal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah kepada paham Jabariyah mutlak.26 6. Al-Ridha Ridha berarti menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Menurut Dzu nun al-Mishri sebagaimana dikutip oleh Rivay Siregar bahwa tandatanda orang yang sudah ridha ada tiga yaitu mempercakan hasil usaha sebelum terjadi ketentua, lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang bergelora ketika turunnya mala petaka.27 Ridha di atas tampaknya merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal, sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun yang datang itu merupakan bencana. C. Penutup Tasawuf secara umum merupakan falsafah hidup, yaitu tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah. Meskipun tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan hal itu pengertian terhadap hal ini kabur dalam beragam makna yang ada kalanya bertentangan. Hal tersebut terjadi karena tasawuf telah jadi semacam milik bersama berbagai agama, filsafat, dan kebudayaan dalam berbagai kurun 26
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), pp. 66-67. 27 A. Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufistik, p. 122. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
750
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
waktu yang masa. Dalam kenyataannya, setiap sufi selalu berusaha mengungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat. Tujuan terpenting dari tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah s.w.t. Tasawuf mempunyai beberapa sasaran awal sebelum kepada sasaran akhir kepada Allah s.w.t. Pertama, tasawuf bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu, sehingga manusia komitmen dan konsisten hanya kepada keluhuran moral. Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk makrifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab. Tasawuf itu adalah zauq (rasa), lezatnya iman baru dirasakan apabila orang tasawuf sudah sampai ke puncak maqam tertinggi. Tasawuf berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. sehingga ia bisa ”bertemu” dengan Allah s.w.t.. Proses perjalanan yang ditempuh kaum sufi ternyata benarbenar mampu mengantarkan mereka kepada tujuan yang mencapai moral dan iman yang maksimal. Metode dan jalan tasawuf ini merupakan sebuah proses yang cukup panjang yang membutuhkan pemahaman dan konsentrasi yang cukup mendalam.
Daftar Pustaka al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, Kairo: Jannati al-Ta'lif wa alTarjamah wa al-Nasyr, 1956. al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, Cairo: Dar al-Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979. Burckhard, Titus, An Introduction to Sufi Doctrine, Lahore: tp., 1973. Hamka, Tasauf Moderen, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Khaja Khan, Khan Sahib, Studies in Tasawuf, New Delhi: Darah-i Adabiyati, 1978. Madjid, Nurcholis, “Pasantern dan Tasawuf”, Pasantren dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1985. Madkur, Ibrahim, Fi al-Filsafat Al-Islamiyah, Cairo: Dar Al-Ma’arif, 1976. Nasr, Sayyid Husein, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Asmal May: Rekonstruksi Iman dan Moral Analisis Pembinaan...
751
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Nicholson, R.A., Studies in Islamic Mysticism, London: University Press, 1921. Nicholson, R.A., The Mistic of Islam, London: Routledge and Kegan Paul, 1974. Rahman, Fazlur, Islam, terj. Senoaji Saleh, Jakarta: Bina Aksara, 1979. Russell, Bertrand, Mysticim and Logic, New York: The Modern Library, 1927. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Siregar, A. Rivay, Tasawuf, Dari Sufistik Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990. Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010