REKONSTRUKSI EVALUASI PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM Mundir1 ABSTRAK Kajian konseptual ini mendiskusikan dan mengkritisi eksistensi pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah dan madrasah. Senang atau tidak, diakui atau tidak, dan bahkan sengaja atau tidak, mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sering mendapatkan tempat yang kurang menggembirakan di hati para wali siswa dan siswa. Mereka memandang pelajaran Pendidikan Agama Islam tidak terlalu penting, sehingga mereka tidak terlalu merisaukan akan hasil pelajaran Pendidikan Agama Islam. Lain halnya dengan pelajaran di luar Pendidikan Agama Islam, khususnya sejumlah pelajaran yang masuk dalam Ujian Nasional. Pelajaran itu adalah: Imu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Indonesia, dan pelajaran lain yang serumpun. Mereka begitu antusias untuk menambah jam pelajaran di luar jam efektif melalui berbagai program, mulai les di sekolah, les privat hingga masuk program bimbingan belajar. Dengan demikian mata pelajaran yang diikutkan Ujian Nasional, benar benar mendapatkan perhatian ekstra. Faktor lain yang ikut mempengaruhi rendahnya perhatian terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sistem evaluasi yang masih didominasi oleh tes yang cenderung hanya mampu mengungkap hal-hal yang sifatnya kognitif semata, dan belum banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotorik, serta strategi pembelajaran 1
Dosen Jurusan Tarbiyah dan Pascasarjana IAIN Jember
yang tradisional. Menyadari hal ini, para pemerhati pendidikan dan pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai solusi alternatif di tawarkan, mulai dari penerapan modelmodel pembelajaran innovatif, pembelajaran berpusat pada siswa, Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Menyenangkan, dan Islami (PAIKEMI), memasukkan unsur-unsur karakter ke dalam kajian pokok/sub pokok bahasan semua pelajaran (Pendidikan Agama Islam dan pelajaran lainnya), memberlakukan kurikulum 2013, melakukan evaluasi dengan instrumen nontes atau alternatif tes, hingga melakukan program sertifikasi guru. Kata Kunci: Pelajaran Agama Islam, Pembelajaran Berpusat Pada Siswa, dan Sertifikasi Guru PENDAHULUAN Sebagai mata pelajaran atau mata kuliah, pendidikan agama Islam wajib diprogram di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi,
2
karena Pendidikan
Agama Islam diyakini dapat menfasilitasi terwujudnya insan-insan yang cerdas. Kecerdasan tidak hanya dari aspek intelektual, namun juga dari aspek emosi, dan spiritual. Inilah sejatinya tujuan pendidikan bagi bangsa Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bab II pasal 3, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusiayang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
2
Syahidin, dkk. Moral dan Kognisi Islam (Bandung: CV Alfaeta, 2009), 1
2|
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis sertabertanggung jawab.3 Dengan memperhatikan tujuan pendidikan nasional tersebut, ditemukan bahwa iman, takwa, dan aklak mulia harus lebih dikedepankan daripada yang lain. Iman, taqwa dan akhlak mulia semestinya menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan. Sejak perencanaan pembelajaran, pelaksanaan, hingga evaluasi, pelaku pendidikan harus selalu memandang aspek spiritual dan moral sebagai prioritas dalam pendidikan. Dengan demikian, tidak akan ditemukan (atau hanya sedikit) pelajar yang kehilangan jati diri dan kehilangan karakter yang berdampak pada kemuduran umat Islam secara umum.4 Mereka tidak akan melakukan tawuran antar sesama pelajar, mengkonsumsi narkoba dan lain-lain yang dilarang oleh agama, lembaga pendidikan, maupun pemerintah. Begitu juga halnya dengan output atau lulusan sebuah lembaga pendidikan pada jenjang manapun, tidak ada lagi diantara mereka yang berperilaku menyimpang atau bertentangan dengan norma-norma agama dan norma-norma berbangsa dan bernegara. Mereka telah memiliki iman yang kuat dantaqwa yang mantap. Akhlakmulia telah menjadi kebiasaan dalam berfikir, berucap, dan bertindak, telah ‚mendarah daging‛ sehingga watak kepribadian dan karakter mereka sebagai seorang muslim. Namun das sein memang sering berlainan dengan das sollen. Fenomena yang terjadi adalah banyak siswa yang belajar pendidikan agama Islam dan berhenti pada tataran sebagai pengetahuan, dan belum menjadikannya sebagai ajaran yang harus dilaksanakan dalam 3
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Kehilangan karakter merupakan salah satu penyebab mundurnya ummat Islam. Baca buku bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 60 4
Volume 3, November 2016 │ 3
kehidupan sehari-hari. Mereka memang sudah belajar tentang agama Islam, tetapi belum banyak belajar tentang bagaimana beragama Islam.5 Skor mereka mungkin dapat dibanggakan, namun minim pengamalan dalam realitas kehidupan. Di sisi lain, terdapat fenomena ketidak-adilan dalam menentukan barometer keberhasilan belajar. Siswa yang dianggap berhasil adalah mereka yang mampu menunjukkan performansinya di bidang mata pelajaran non-agama, semisal matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa Inggris, dan lain-lainya. Siswa yang dapat menunjukkan performasinya di bidang agama Islam tidak mendapatkan apresiasi yang proporsional dan bahkan hanya dipandang sebelah mata. Bahkan sampai pada tingkat nasionalpun keberhasilan di bidang mata pelajaran agama tidak pernah mendapat tempat yang bergengsi sebagai penentu kelulusan ujian nasional sebagaimana mata pelajaran non-agama. Hal ini berdampak pada kurang diminatinya mata pelajaran PAI oleh kebanyakan siswa dan wali siswa. Kalau kondisinya memang demikian, maka siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah, pendidik, orang tua, masyarakat, atau siswa? Pertanyaan tersebut nampaknya bertujuan mencari kambing hitam dan berupaya melempar tanggung jawab kepada pihak lain. Langkah yang bijak adalah upaya mencoba mencari akar masalah dengan tanpa mengambing-hitamkan pihak-pihak tertentu. Karena tidak ada satu pihak pun yang mau disalahkan atau yang
5 Paling tidak ada dua pendapat terkait dengan keberadaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah maupun di Perguruan Tinggi. Pendapat pertama, memandang bahwa PAI merupakan mata pelajaran atau mata kuliah seperti mata pelajaran atau mata kuliah lain, yang tidak harus selalu diaplikasikan dalam kehidupan nhyata. Pendapat yang kedua, memandanag bahwa PAI memiliki jangkauan yang lebih luas, bukan sekedar mata pelajaran atau mata kuliah yang harus diajarkan, namun juga sebagai sebagai ajaran yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, baca buku Syahidin, dkk. Moral dan Kognisi Islam (Bandung: CV Alfaeta, 2009), 6
4|
harus menanggung kesalahan sendiri. Pemerintah sejauh ini telah menunjukkan i’tikad baiknya untuk menjembatani kesenjangan yang ada melalui berbagai inovasi, antara lain program sertifikasi guru dan dosen, program penanaman karakter untuk setiap mata pelajaran, dan yang terkini adalah pemberlakuan kurikulum 2013. Pemberlakuan program sertifikasi bagi guru dan dosen merupakan salah satu bentuk inovasi yang disambut antusias oleh para pendidik. Dalam program sertifikasi, pendidik (guru dan dosen) dituntut
mampu
melakukan
pembelajaran
sejak
pembelajaran.
Pendidik
inovasi
perencanaan, dituntut
khususnya
proses, untuk
di
bidang
hingga
evaluasi
melakukan
evaluasi
pembelajaran yang benar-benar otentik. Keberhasilan pembelajaran tidak lagi semata-mata diukur melalui hasil yang bersifat kuantitatif (skor atau nilai), tetapi melalui hasil yang bersifat kualitatif (sikap dan perilaku). Instrumen pengukuran yang digunakan tidak lagi hanya bernuansa tes yang memerlukan jawaban benar atau salah, tetapi
juga
instrumen
yang
bersifat
non-tes,
yang
dapat
mengeksplorasi kedalaman sikap dan kebiasaan perilaku dan pengalaman keagamaan. Inovasi yang kedua adalah program penanaman karakter untuk setiap mata pelajaran dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan pemberlakukan kurikulum 2013. Melalui program penanaman karakter, pemerintah telah mendistribusikan jenis-jenis karakter yang berbeda yang harus ditanamkan atau dibangun oleh guru melalui mata pelajaran yang sedang diajarkan. Program ini menunjukkan bahwa pemerintah menilai perlunya setiap mata pelajaran dikaitkan dengan pembentukan sikap dan perilaku positif yang sejatinya itu merupakan subtansi ajaran agama Islam.
Volume 3, November 2016 │ 5
Inovasi yang terkini adalah pemberlakuan kurikulum 2013 (K13). Dalam K-13, pemerintah telah memasukkan Kompetensi Inti (KI) 1 dan 2, yaitu kompetensi spiritual dan sosial sebagai dasar bagi KI 3 dan 4, yaitu kompetensi pengetahuan dan ketrampilan. Kompetensi dasar yang dibreak-down dari KI 1 dan 2 harus senantiasa dijadikan dasar bagi kompetensi dasar yang dibreak-down dari KI 3 dan 4, untuk semua mata pelajaran.6 Dengan program penanaman karakter untuk setiap mata pelajaran, disadari bahwa selama ini pembelajaran belum mampu membangun karakter anak bangsa yang terealisasikan dalam akhlak mulia dengan dasar iman dan taqwa. Seringkali mereka telah cerdas, namun kecerdasan mereka berhenti pada tataran intelektual, belum menyentuh level emosi, spiritual, dan sosial. Pemberlakuan program sertifikasi bagi guru dan dosen, sejatinya pemerintah menyadari bahwa selama ini proses pembelajaran masih perlu disempurnakan atau
ditingkatkan
kualitasnya.
Khusus
di
bidang
evaluasi
pembelajaran, seringkali didominasi oleh nuansa tes untuk semua mata pelajaran, termasuk pelajaran agama Islam yang semestinya lebih
tepat
benuansa
non-tes.
Dengan
pemberlakuan
K-13
pemerintah juga menyadari bahwa selama ini proses pembelajaran yang ada masih menunjukkan keterasingan dan tidak adanya keterkaitan pendidikan agama Islam dari/dengan mata pelajaran yang lain. Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai subjek matter (mata pelajaran atau mata kuliah) memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang lain. Dalam PAI, nuansa spiritual dan sosial tentu lebih dominan 6
dibandingkan
dengan
nuansa
pengetahuan
dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
6|
keterampilan.
Konsekwensinya,
bentuk
pembelajaran
yang
dibutuhkan juga berbeda. Pembelajaran PAI lebih memfokuskan pada ranah sikap dan keterampilan, yang didasari oleh ranah pengetahuan. Pembelajaran tidak cukup berhenti pada tataran penguasaan teori dan materi atau bahan ajar, namun lebih jauh harus bermuara pada tataran aplikasi ajaran agama Islam dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian,
PAI
membutuhkan
perencanaan
pembelajaran, proses, dan evaluasi yang dapat memfasilitasi terwujudnya manusia cerdas dan beradab, maju, dan terampil, dengan tetap didasari oleh iman, taqwa, dan akhlak mulia. Perencanaan pembelajaran PAI, khususnya pada aspek evaluasi memerlukan penataan ulang (rekonstruksi) agar benar-benar sesuai dengan karakteristik pembelajaran PAI. Oleh karena itu, makalah ini mengambil judul ‚Rekonstruksi Evaluasi Pembelajaran Agama Islam‛ Bedasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Bagaimana karakteristik Pendidikan Agama Islam? b) Bagaimana strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam? c) Bagaimana evaluasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam? PEMBAHASAN 1. Karakteristik Pendidikan Agama Islam Karkteristik atau ciri khas Pendidikan Agama Islam (PAI, sebagai mata pelajaran atau mata kuliah) dapat dilihat dari pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan agama. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik
Volume 3, November 2016 │ 7
dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.7 Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terrencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan al Hadits, melalui
kegiatan
bimbingan,
pengajaran,
latihan,
serta
penggunaan pengalaman.
8
Sementara itu, fungsi dan tujuan pendidikan agama dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan bab II, pasal 2, ayat 1 dan 2 sebagai berikut.9 a. Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. b.
Pendidikan
agama
bertujuan
untuk
berkembangnya
kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Abu Ahmadi mengklasifikasi tujuan PAI ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu tujuan tertinggi/terakhir, tujuan umum, tujuan 7
khusus,
dan
tujuan
sementara.10
Tujuan
khusus
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab I, Pasal 1, ayat 1. 8 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 21 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat 1 dan 2 10 Abu Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), 63
8|
pembelajaran PAI adalah identik dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Tujuan umum, adalah tujuan yang diharapkan tercapai setelah penyelenggaraan pembelajaran dalam bentuk perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian siswa. Tujuan khusus adalah tujuan yang relatif situasional dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, minat dan bakat, kultur dan cita-cita bangsa, namun tetap berpijak pada tujuan tertinggi/terakhir dan umum. Sedangkan tujuan sementara adalah tujuan tertentu setelah siswa diberi pengalaman belajar melalui pembelajaran. Namun dalam kesempatan ini hanya akan dipaparkan tujuan tertinggi/terakhir dan tujuan umum pembelajaran PAI. Menurut Ramayulis,11 tujuan tertinggi pembelajaran PAI adalah mengkondisikan siswa agar menjadi hamba Allah,12 menjadi kholifatullah fil ardh, yang mampu memakmurkan bumi, melestarikannya, dan menjadi rahmat bagi alam semester, 13 serta mengantarkan
siswa
untuk
memperoleh
kesejahteraan,
kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.14 Sedangkan tujuan umum pembelajaran PAI, berdasarkan rekomendasi Konferensi Intrnasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah, 8 April 1977, adalah sebagai berikut: ‚Tujuan umum pendidikan Islam diarahkan untuk
mencapai
pertumbuhan
keseimbangan
kepribadian
menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, jiwa rasional, perasaan, dan penghayatan lahir. Karena itu pendidikan harus menyiapkan 11
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam . . . , 30 Perhatikan firman Allah, Q. S. Adz-Dzaariyat, 56) 13 Perhatikan firman Allah Q. S. Al-Baqarah, 2; Q. S. Al-An‟am, 165; dan Q. S. AlAnbiya‟, 107 14 Perhatikan firman Allah Q. S. Al-Qashash, 77, dan Q. S. Al-Baqarah, 21. 12
Volume 3, November 2016 │ 9
pertumbuhan
manusia
dalam
segi:
spiritual,
intelektual,
imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari oleh motivasi mencapai kebaikan dan perfeksi. Tujuan akhir pendidikan muslim itu terletak pada aktifitas merealisasikan pengabdian kemanusiaan seluruhnya.‛15 Rumusan tujuan umum di atas diperkuat oleh hasil kongres sedunia tentang pendidikan Islam di Islamabad, pada tanggan 15-20 Maret 1980 bahwa Pendidikan harus ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan melatih jiwa, akal fikiran, perasaan,
dan
fisik
manusia.
Dengan
demikian,
harus
mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, intelektual, daya hayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kekbaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perseorangan, kelompok maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya.16Tujuan pendidikan Islam dapat pula
dirumuskan
sebagai
upaya
membentuk
dan
mengembangkan manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu, bekerja, dan berakhlak mulia sepanjang hayat menurut tuntunan syariat Islam.17
15
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam . . . , 33 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
16
62 17 Ismail SM, Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (ed. ), Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah Walisongo Semarang, 20001), 41
10 |
Berdasarkan rumusan tujuan pembelajaran PAI di atas, maka dapat dipahami bahwa ciri khas atau karakteristik PAI adalah sebagai berikut. a. PAI mengkondisikan siswa untuk menyadari posisinya sebagai hamba Allah dan fungsi atau perannya sebagai kholifatullah fil ardh. b. PAI dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian integral dari ajaran Islam. c. PAI tidak hanya mengantarkan siswa dapat menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian keislaman sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan seharihari. d. PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, tetapi yang lebih penting adalah aspek afektif dan psikomotornya. Sehingga terciptalah kedamaian dan kerukunan inter dan antar ummat beragama. e. PAI
dipelajari
bukan
semata-mata
untuk
kepentingan
pengetahuan, tetapi lebih jauh sebagai dasar pijakan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Dalam sub bab ini terdapat 3 (tiga) istilah yang perlu dimengerti, yaitu strategi, pembelajaran, dan pendidikan agama Islam. Namun karena pengertian pendidikan agama Islam telah dipaparkan sebelumnya, maka pada kesempatan ini hanya diperlukan
paparan
tentang
pengertian
strategi
dan
pembelajaran.
Volume 3, November 2016 │ 11
Strategi merupakan usaha untuk memperoleh kesuksesan dan
keberhasilan
dalam
mencapai
tujuan.
Dalam
dunia
pendidikan, strategi dapat diartikansebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal.18 Pembelajaran adalah proses interaksi antar Peserta Didik, antara Peserta Didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar.19
Degeng
mendefinisikan
pembelajaran
sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Artinya interaksi yang terjadi antar siswa atau antara siswa dengan guru adalah hasil dari pengkondisian guru terhadap siswanya agar mereka dapat atau mau belajar, bukan semata-mata guru dapat mengajar.20 Dengan demikian, strategi pembelajaran PAI dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan PAI. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai
tujuan
pembelajaran
PAI,
yaitu
siswa
yang
berpengetahuan, berkepribadian, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan mampu mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Pendek kata, strategi pembelajaran PAI adalah 18
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya (Jakarta: Depdiknas, 2008), 3 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 1 ayat 19. 20 N. S. Degeng. Buku Pegangan Teknologi Pendidikan Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka (Jakarta: Depdikbud RI, Dirjen Dikti, 1993), 1
12 |
suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Terkait dengan strategi pembelajaran PAI, terdapat sejumlah
metode
yang
dapat
digunakan
dalam
rangka
menciptakan Pembelajaran PAI yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Endang Mulyatiningsih merekomendasikan
sejumlah
model
pembelajaran,
seperti
Contextual Teaching Learning (CTL), Problem Based Learning (PBL), Cooperatif Learning dan sebagainya. Subtansi PAIKEM terletak pada kemampuan guru untuk memilih strategi dan metode pembelajaran yang inovatif, sehingga guru dituntut untuk berkreasi
dalam
rangka
berinovasi
di
bidang
stratgegi
pembelajaran, sehingga terciptalah suasana yang menyenangkan bagi siswa untuk belajar.21 Apabila pembelajaran PAIKEM ditambah dengan salah satu dari sekian metode Qur’ani, maka pembelajaran akan menjadi PAIKEMI (PAIKEM yang Islami). Sejumlah metode Qur’ani yang dapat diterapkan dalam pembelajaran PAI, yaitu a) metode hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi; b) metode kisah Qur’ani dan Nabawi; c) metode amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi; d) metode keteladanan (uswah hasanah); e) metode pembiasaan
(latihan
dan
pengamalan);
f)
metode
‘ibrah
(mengambil pelajaran) dan mau’idhah (nasihat); g) metode targhib (janji yang menyenangkan) dan tarhib (janji yang menakutkan).22 21 Endang Mulyatiningsih. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) (Depok Jawa Barat: Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Di P4TK Bisnis dan Pariwisata, 2010), 4 22 Ramahyulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam . . . . , 282. Baca pula Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), 189
Volume 3, November 2016 │ 13
Mujamil Qomar menambahkan sejumlah metode Islami yang dapat digunakan dalam pembelajaran PAI, yaitu metode rasional, metode intuitif (dzauq), metode dialogis, metode komparatif, dan metode kritik.23 Dari
sejumlah
metode
tersebut,
guru
dapat
menggunakannya secara kreatif dan inovatif sesuai dengan materi (pokok bahasan atau sub pokok bahasa) serta situasi dan kondisi kelas dan lingkungan, lingkungan fisik maupun nonfisik. 3. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Evaluasi pembelajaran merupakan merupakan tahapan yang dilakukan guru setelah melaksanakan pembelajaran. Evaluasi
(evaluation,
to
evaluate,
bahasa
Inggris)
sering
diidentikkan artinya dengan tes, pengukuran, asesmen, dan penilaian. Agar menjadi lebih jelas, perlu kiranya diberikan pengertian masing-masing dengan memperhatikan kedudukan masing-masing terlebih dahulu melalui gambar berikut.
Evaluasi Asesmen Pengukuran Tes
Gambar: Kedudukan antara Tes, Pengukuran, Asesmen dan Evaluasi 23
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005), 271
14 |
Berdasarkan pada gambar tersebut dapat dijelaskan pengertian masing-masing sebagai berikut. Tes adalah salah satu alat untuk melakukan pengukuran, disamping non-tes. Alat ukur diperlukan untuk mengetahui sejauh mana proses atau hasil belajar yang telah dilakukan siswa. Dengan kata lain, pengukuran adalah
penggunaan
alat
ukur
(tes
atau
non-tes)
untuk
mengetahui proses atau hasil belajar siswa. Tes memerlukan jawaban yang dapat dikategorikan benar atau salah, sedangkan non-tes memerlukan jawaban yang tidak berkategori benar atau salah, namun realitas yang terjadi atau ada pada diri siswa. Asesmen adalah kekgiatan untuk mengumpulkan sejumlah informasi terkait dengan proses atau hasil belajar siswa yang diperoleh melalui berbagai jenis tagihan dan mengolahnya untuk menilai proses atau hasil belajar dan perkembangan belajar siswa. Evaluasi memiliki arti yang lebih luas dari asesmen, pengukuran, atau tes. Evaluasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan guru
sejak
melakukan
tes
(testing),
pengukuran,
hingga
asesmen.24 Terkait dengan penerapan evaluasi PAI, alat ukur mana yang tepat digunakan, apakah tes atau non-tes? Sejatinya, kedua alat
ukur
tersebut sama-sama dapat digunakan. Namun
mengingat PAI merupakan mata pelajaran atau mata kuliah yang lebih menekankan aspek afektif dan psikomotorik (dengan tetap didasari oleh aspek kognitif), maka dari kedua alat ukur tersebut yang dipandang paling tepat adalah non-tes. Untuk mengevaluasi ranah kognitif, sejumlah teknik yang dapat digunakan antara lain adalah tes lisan, tes tulis, dan 24
Adi Suryanto, dkk. Evaluasi Pembelajaran di SD (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009),
1. 10
Volume 3, November 2016 │ 15
portofolio; untuk ranah afektif adalah observasi, wawancara, laporan pribadi, dan skala sikap; sedangkan untuk ranah psikomotorik adalah tes perbuatan atau kinerja (performance).25 Teknik non-tes sering disebut dengan alternatif tes, yang terdiri dari sepuluh macam teknik yang disingkat dengan Ten Ps (sepuluh P) yang terdiri atas: 1) paper (makalah), 2) presentation (presentasi), 3) participation (partisipasi), 4) project (proyek atau penelitian), 5) practice (praktik), 6) performance (performa atau kinerja), 7) pre test (pre-tes), 8) proposal writing (penulisan proposal), 9) portofolio, dan 10) presence (kehadiran).26 Dengan memperhatikan sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk evaluasi pada PAI, dapat dipahami bahwa teknik tes sebenarnya dapat juga digunakan dalam evaluasi PAI asalkan aspek yang dinilai berada pada ranah kognitif. Namun apabila aspek yang dinilai itu berada pada ranah afektif dan psikomotorik, maka teknik non-tes lebih tepat digunakan. PENUTUP Sebagai penutup dari seluruh pembahasan, kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Bahwa pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) masih memerlukan penyempurnaan, karena PAI dipandang belum mampu menjembatani terwujudnya anak bangsa yang cerdas dan beradab dengan didasari oleh iman, taqwa dan akhlak mulia sebagai karakter kepribadiannya.
25
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam . . . . , 413 Hisyam Zaini, dkk. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development (CTSD) IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 166 26
16 |
2. Solusi yang telah ditempuh oleh pemerintah antara lain adalah dengan memasukkannya pendidikan karakter pada setiap mata pelajaran, menyelenggarakan program sertifikasi guru dan dosen, dan yang terkini adalah pemberlakuan kurikulum 2013. 3. Menjadikan Kompetensi Inti (KI) 1 dan 2 sebagai dasar yang selalu menginspirasi terhadap KI 3 dan 4. 4. Sejumlah metode pembelajaran dapat diterpkan dalam mata pelajaran PAI dengan tetap mempertimbangkan aspek inovasi dan kemenarikan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai ajaran Islam. 5. Evaluasi pembelajaran PAI dapat diterapkan dengan teknik tes maupun non tes (alternatif tes). Namun mengingat mata pelajaran PAI lebih didominasi aspek afektif dan psikomotorik, maka teknik non-tes
(alternatif
tes)
harus
lebih
mendominasi
dalam
peleksanaan evaluasinya. Dalam artikel ini disusun, semoga dapat bermanfaat dan menjadi acuan dalam diskusi atau kajian berikutnya. Atas segala kekurangan, dimohon kritik dan saran, demi perbaikan artikel pada edisi berikutnya. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media Umar, Bukhari. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah Degeng. NS. 1993 Buku Pegangan Teknologi Pendidikan Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka (Jakarta: Depdikbud RI, Dirjen Dikti
Volume 3, November 2016 │ 17
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik
Pendidikan
dan
Nasional.
Tenaga 2008.
Kependidikan Strategi
Departemen
Pembelajaran
dan
Pemilihannya. Jakarta: Depdiknas Mulyatiningsih, Endang. 2010. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM). Depok Jawa Barat: Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Di P4TK Bisnis dan Pariwisata Ismail SM, Huda, Nurul & Kholiq, Abdul (ed. ). 2001 Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah Walisongo Semarang Muchsin,
Bashori
&
Wahid,
Abdul.
2009.
Pendidikan
Islam
Kontemporer. Bandung: PT Refika Aditama Nata, Abudin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik IndonesiaNomor 81A Tahun 2013 tentangImplementasi Kurikulum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 1 ayat 19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga Ramayulis. 2010. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia
18 |
Suryanto, Adi. dkk. 2009. Evaluasi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka Syahidin, dkk. 2009. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV Alfabeta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Zaini, Hisyam dkk. 2002. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development (CTSD) IAIN Sunan Kalijaga
Volume 3, November 2016 │ 19