Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
REKONSEPTUALISASI PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA Oleh: Winasis Yulianto* Abstrak: Hubungan antar lembaga negara didasari atas prinsip check and balances. Dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara dapat terjadi perbedaan penafsiran UUD, sehingga terjadi sengketa kewenangan lembaga negara. Bilamana sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun bagaimana bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan hukum. Penulisan ini akan menganalisisnya secara tajam dan membandingkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi di negara lain. Kata Kunci: Sengketa Kewenangan dan Lembaga Negara
1. Latar Belakang Masalah Sebagai Negara Hukum,1 Indonesia menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUDN RI 1945, sebagai ketentuan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.2 UUDN RI 1945sebagai undang-undang dasar, pada prinsipnya harus memuat tiga hal pokok,3 yaitu: *
Winasis Yulianto, Dosen Tetap dan Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo 1 Pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara hukum tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDN RI 1945 2 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Peurndang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 3 Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 51.
1111
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan yang ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Materi muatan undang-undang dasar yang mirip pendapat di atas dipaparkan oleh Miriam Budiardjo. Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:4 1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, ekskutif dan yudikatif: dalam negara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara – bagian; prosedur menyesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya. 2. Hak-hak azasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah tersendiri). 3. Prosedur mengubah undang-undang dasar. 4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undangundang dasar. Susunan ketatanegaraan atau organisasi negara merupakan aspek penting dalam kehidupan ketatanegaraan. Oleh karena itu terdapat lembaga negara yang disebutkan dalam UUDN RI 1945 dan lembaga negara yang tidak disebutkan dalam UUDN RI 1945. Lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUDN RI 1945 setelah perubahan adalah:5 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 2 dan Pasal 3); 2. Presiden (Pasal4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal15 dan Pasal 16); 3. Pemerintah Daerah (Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B); 4. Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A dan Pasal 21); 5. Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C dan Pasal 22D); 6. Komisi Pemilihan Umum (Pasal 22E); 7. Bank Sentral (Pasal 23D); 8. Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23E dan Pasal 23F); 9. Mahkamah Agung (Pasal 24 dan Pasal 24A); 10. Komisi Yudisial (Pasal 24B); 4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 101. Bandingkan lembaga-lembaga negara tersebut dengan Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 196. Bandingkan pula dengan pendapat Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 184-191. 5
1112
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
11. Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 dan Pasal 24C); 12. Tentara Nasional Indonesia (Pasal 20);dan 13. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 30). Di luar lembaga-lembaga negara yang telah disebutkan oleh UUDN RI 1945 di atas, masih terdapat lembaga-lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kelembagaan negara kalau dikelompokkan, berbentuk sebagai berikut:6 1. Lembaga-lembaga negara dan komisi-komisi negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi; 2. Lembaga-lembaga independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang; 3. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan pemerintah (ekskutif) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan; 4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan ekskutif (pemerintah) lainnya; 5. Lembaga, Korporasi dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya. Dari lembaga-lembaga negara yang telah disebutkan di atas, dalam pelaksanaan kewenangnya, terdapat kemungkinan adanya sengketa7 antar lembaga negara. Dalam hal terjadi sengketa lembaga negara yang kewenangnya diberikan oleh UUDN RI 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Lembaga yudisial yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.8 Ketentuan organik dari Pasal 24C UUDN RI 1945 adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi merupakan bunyi ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUDN RI 1945. 6
Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2009), hlm. 220-222. 7 Indriyanto Seno Adji lebih suka menggunakan istilah rivalitas. Lihat Indriyanto Seno Adji, Rivalitas atau Penegakan Hukum, Harian Kompas Selasa 7 Agustus 2012. 8 Pasal 24C ayat (1) UUDN RI 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus peselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan Pasal 24 C ayat (2) UUDN RI 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
1113
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, untuk selanjutnya disebut PMK 08, menyebutkan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); g. Lembaga Negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Dalam hal sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi, belum ada satu norma pun yang mengaturnya. Dua kali sengketa antara Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk selanjutnya disebut KPK, dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut Polri tidak diselesaikan secara yudisial. Pada sengketa pertama antara KPK dengan Polri, banyak kalangan menilai bahwa proses penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka dalam kasus pidana yang disangkakan Mabes Polri penuh kejanggalan. Proses hukum terhadap Bibit-Chandra terkesan sangat dipaksakan.9 Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa sengketa kewenangan lembaga negara bukan wewenang presiden, tetapi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikannya.10 Sengketa KPKdengan Polri berikutnya adalah penanganan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat untuk ujian surat izin mengemudi (SIM). KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo menjadi tersangka dalam dugaan korupsi tersebut.11 Titik puncak sengketa antara KPK dengan Polri adalah datangnya para perwira polisi untuk menangkap Novel Baswedan di gedung KPK Pada hari Jum’at malam tanggal 5 Oktober 2012.Menurut Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, memang ada upaya penangkapan terhadap Komisaris Novel, salah satu penyidik Polri ditempatkan di KPK. Penangkapan itu terkait kasus lama, yaitu pada tahun 2004. Novel diduga melakukan penganiayaan berat terhadap pencuri sarang burung
9
Lihat Suara Karya Online, Konflik KPK-POLRI Campur Tangan Presiden Sangat Diperlukan, Sabtu 14 November 2009 diakses hari Jumat tanggal 20 Juli 2012 pukul 17.00. 10 detikNews, Bibit & Chandra Ditahan Singgung Rivalitas KPK – Polri, SBY Hanya Bisa Menengahi, Jumat 30 Oktober 2009, http://news.detik.com/read/2009/10/30/165355/1232007/10/singgung-rivalitas-kpk-polrisby-hanya-bisa-menengahi, diakses hari Jumat tanggal 20 Juli 2012 pukul 17.10. 11 Harian Kompas, KPK Tidak Boleh Dihambat Inspektur Jenderal Djoko Susilo Jadi Tersangka, Rabu 1 Agustus 2012.
1114
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
walet.Saat ditanyakan kenapa kasus kenapa kasus lama baru ditangani sekarang, Boy mengatakan, korbannya baru melapor sebulan lalu.12 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan sengketa KPK dengan Polri, dengan menetapkan empat kebijakan:13 (1) Kasus simulator SIM ditangani oleh KPK; (2) Proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara; (3) Waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam peraturan pemerintah; (4) Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan saat ini. Sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur UUDN RI 1945, bukan hanya KPK dengan Polri. Indriyanto Seno Adji mencatat KPK beberapa kali bersengketa dengan lembaga negara lain:14 KPK dengan Mahkamah Agung (MA),KPK dengan badan pemeriksa keuangan (BPK), KPK dengan Kejaksaan Agung KPK dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP), maupun KPK dengan DPR.15 Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi. Sejauh saat ini, sengketa yang demikian dapat diselesaikan oleh Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Selanjutnya presiden memberikan instruksi-instruksi yang harus dipatuhi oleh lembaga negara yang sedang bersengketa. Masalahnya adalah, penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, yang tentu tidak memiliki kekuatan hukum bahkan dapat tidak dipatuhi. Akhirnya, dalam perspektif kehidupan bernegara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945 perlu dicarikan model penyelesaian yudisialnya. Hal ini diperlukan dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu kesejahteraan masyarakat. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan atau isu sentral yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah konsep penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara”. Dari isu sentral tersebut dapat dirumuskan permasalahan hukumnya sebagai berikut: 12
Harian Kompas, Masyarakat Bela KPK Tidak Ada Perintah Kepala Polri, Sabtu 6 Oktober 2012. Teten Masduki, SBY Akhirnya Memimpin, Harian Kompas Rabu 10 Oktober 2012. 14 Indriyanto Seno Adji, log. cit. 15 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya tanggal 8 Oktober menyatakan bahwa “Saya pernah menengahi dan mencarikan solusi, ketika ada perselisihan, antara lain, KPK dengan MA, dengan Mahkamah Agung, itu sekitar tahun 2006. BPK dengan Mahkamah Agung tahun 2007, KPK dengan Polri dan Kejaksaan Agung tahun 2009 …….”. Lihat Pidato LengkapPresiden Soal KPK-Polri, http://nasional.kompas.com/read/2012/10/09/16035782/Ini.Pidato.Lengkap.Presiden.soalKPK-Polri diunduh pada hari Senin 15 Oktober 2012 pukul 16.15. Lihat juga pidato Presiden SBY pada saat memberikan Sambutan Rakor dengan KPK dan Lembaga Tinggi Negara Lainnya di Kantor Presiden hari Senin tanggal 13 Juli 2009. 13
1115
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
1. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara? 2. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Korea Selatan? 3. Kerangka Teoritik dan Konseptual Guna menganalisis problematik hukum di atas, maka diperlukan kerangka teori dan kerangka konseptual sebagai pisau analisis. Kerangka teori yang dipergunakan dalam penulisan ini meliputi grand theory yang meliputi teori kedaulatan dan teori konstitusi, middle theory meliputi teori kewenangan dan applied theory meliputi teori lembaga negara. Sedangkan kerangka konseptual yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah konsep lembaga negara dan konsep sengketa lembaga negara.
3.1. Teori Kedaulatan Teori Kedaulatan dipilih untuk menganalisis problema penulisan ini mengingat dalam ketatanegaraan Indonesia menganut Kedaualatan Tuhan, Kedaulatan Negara, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Indonesia menganut Kedaulatan Tuhan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 terutama alenia ketiga, Pasal 29 tentang Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah presiden. Indonesia menganut Kedaulatan Negara mengingat Pasal 33 UUD 1945.Indonesia menganut Kedaulatan Hukum mengingat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Indonesia menganut Kedaulatan Rakyat mengingat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Para ahli belum terdapat kata sepakat asal muasal kata kedaulatan. Ada ahli yang berpandangan bahwa kata kedaulatan berasal dari bahasa Latin, namun ada pula yang yang berasal dari bahasa Arab.Di Indonesia pun masih terdapat perbedaan pandangan tentang asal muasal kata kedaulatan. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau soverign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara.16 Sri Sumantri M mengenalkan berbagai istilah kedaulatan merupakan padanan istilah sovereignty (Inggris), souverainete (Prancis), souvereneteit (Belanda), souranus (Italia). Semua istilah tersebut berasal dari kata Latin, superanus, yang mempunyai arti “tertinggi”.17 16
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 16. 17 Sri Sumantri M, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945 dalam Padmo Wahjono (ed.), Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 47. Baca juga Anwar C., Teori dan Hukum Konstitusi Paradigma Kedaulatan Pasca Perubahan UUD 1945, Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara (Malang: In-Trans, 2008), hlm. 25.
1116
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
Yudha Bhakti Ardhiwisastra berpendapat bahwa untuk pertama kalinya ajaran kedaulatan dirumuskan secara jelas oleh Jean Bodin (1530-1596) di dalam bukunya “De Republica”, yang diterbitkan pada tahun 1576.18 Jean Bodin memberikan definisi sovereignty (souveinete, supreme potestas) as “The absolute and perpetual power of a commonwealth (la puissance absolue et perpetuelle d une Republique), or in the later Latin edition, “The supreme power over citizens and subjects, unrestrained by law (supreme potestas in cives ac subditos, legibus solute)”.19 Dengan demikian menurut Bodin, kedaulatan adalahsebagai kekuasaan tertinggi terhadap penduduk dan benda-benda yang ada, yang tidak dibatasi oleh hukum. Pendapat berbeda tentang asal muasal kata kedaulatan dikemukakan oleh Mahendra Putra Kurnia. Ia berpendapat bahwa asal mula kata “kedaulatan” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab “daulah” atau “daulat” yang berarti kekuasaan atau dinasti pemerintahan, juga disamakan dengan sovranita dalam bahasa Italia, souvereignty/sovereignty dalam bahasa Inggris yang juga disamakan dengan kata souvereiniteit, souvereinet dan sovranus, yang mana kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin superanus yang berarti tertinggi atau dalam pustaka lain diartikan sebagai raja kepala negara yang tertinggi.20 Dari berbagai pendapat tentang makna kedaulatan, maka dapat disimpulkan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara.Namun demikian tidak berarti bahwa kedaulatan bersifat mutlak, tetapi kedaulatan memiliki batasan dalam pelaksanaannya. Batasan yang dimaksud adalah bahwa kedaulatan berlaku hanya pada wilayah negara tersebut berada dan kedaulatan berakhir ketika memasuki wilayah negara lain. Dalam literatur dikenal berbagai pandangan pemilik kedaulatan. Soehino berpendapat bahwa terdapat empat teori pemilik kedaulatan, yaitu Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Negara, Teori Kedaulatan Hukum dan Teori Kedaulatan Rakyat.21
18
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 29 19 CE Merriam, Jr., History of the Theory of Sovereignty Since Rousseau, (Kitchener: Batoche Books, 2001), p. 7. 20 Mahendra Putra Kurnia, Hukum Kewilayahan Indonesia: Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011), hlm. 25. 21 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hlm. 152-170). Jazim Hamidi berpendapat setidaknya ada lima bentuk kedaulatan: Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Negara dan Kedaulatan Hukum. Penulis berpendapat bahwa antara pendapat Soehino dan pendapat Jazim Hamidi adalah sama, karena dalam Teori Kedaulatan Tuhan yang dikemukakan oleh Soehino juga memperdebatkan siapa wakil Tuhan di dunia. Dengan demikian pendapat Soehino menggabungkan antara Teori Kekuasaan Tuhan dengan Teori Kekuasaan Raja.Wakil Tuhan di dunia di lapangan keduniawian adalah raja, sedangkan di lapangan keagamaan adalah Paus.
1117
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
3.1.1. Teori Kedaulatan Tuhan Teori Kedaulatan Tuhan merupakan teori yang paling tua dari sejarahnya.Teori ini berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi itu yang memiliki atau ada pada Tuhan yang berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke V sampai abad ke XV. Perkembangan teori ini sangat erat hubungannya dengan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu agama Kristen. Organisasi keagamaan ini adalah gereja dan dikepalai oleh seorang Paus. Dengan demikian pada saat itu terdapat dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh raja dan organisasi gereja yang dikepalai oleh seorang Paus.22 Pada awal perkembangannya, agama baru ini mendapa pertentangan karena dianggap bertentangan dengan paham atau kepercayaan yang dianut pada saat itu, yaitu menyembah dewa. Banyak para pemimpin yang ditangkap dan dibunuh karena dianggap mengancam kedudukan dan kewibaan raja. Namun dalam perkembangannya agama Kristen berkembang dengan baik dan diakui sebagai satu-satunya agama resmi yaitu agama negara. Mulai saat itu organisasi gereja mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat mengatur kehidupan negara. Maka tidak jarang timbul dua peraturan yang mengatur hal yang sama, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja. Dalam hal peraturan tersebut saling bertentangan, maka timbul persoalan peraturan yang berasal dari mana yang harus dipatuhi. Persoalan tersebut bersumber dari pertanyaan mendasar, siapakah sebenarnya wakil Tuhan di dunia ini. Dari pertanyaan mendasar tersebut, terdapat beberapa pendapat.Agustinus berpendapat bahwa wakil Tuhan di dalam suatu negara adalah Paus. Thomas Aquinas berpendapat lain, bahwa kekuasaan raja dan Paus itu adalah sama, hanya tugasnya berlainan. Raja dalam lapangan keduniawian sedangkan Paus dalam lapangan keagamaan.Marsilius berpendapat bahwa kekuasaan itu ada pada negara atau raja.Dengan demikian menurut Marsilius, yang melaksanakan kedaulatan Tuhan adalah raja. Pengaruh dari pendapat Marsilius di atas, para raja merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya. 3.1.2. Teori Kedaulatan Negara Kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan, tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Tidak ada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Salah seorang tokoh Teori Kedaulatan Negara adalah Jean Bodin yang berpendapat bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum di dalam suatu negara, yang sifatnya:23 22
Pada saat itu organisasi gereja mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat perlengkapan organisasi Negara. 23 Ibid., hlm. 79.
1118
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
1. Tunggal. Ini berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki. Jadi di dalam Negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang berhak menentukan atau membuat undang-undang, atau hukum. 2. Asli. Ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain. Jadi tidak diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau kotapraja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan yang ada padanya tidak asli, sebab diperoleh dari pusat. 3. Abadi. Ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu adalah negara, yang menurut pendapat Jean Bodin Negara itu adanya abadi. 4. Tidak dapat dibagi-bagi. Ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Tokoh lain Teori Kedaulatan Negara adalah Georg Jellinek. Georg Jellinek berpendapat bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara.Jadi juga negaralah yang menciptakan hukum, maka negara diangap satusatunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasan tertinggi atau kedaulatan.Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum. 3.1.3. Teori Kedaulatan Hukum Teori Kedaulatan Hukum atau rechts-souvereiniteit berpendapat bahwa yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Argumentasinya adalah bahwa baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Tokoh Teori Kedaulatan Hukum adalah Krabe. Menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.Hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara dan hukum itu berlaku terlepasdaripada kehendak negara. 3.1.4. Teori Kedaulatan Rakyat Teori Kedaulatan Rakyat lahir sebagai reaksi atas kedaulatan raja.24 JJ Rousseau, tokoh Teori Kedaulatan Rakyat berpendapat bahwa raja mendapat kekuasaannya dari rakyat. Jadi yang berdaulat itu adalah rakyat. Raja itu hanya merupakan pelaksaan dari apa yang telah diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat. Tokoh Teori Kedaulatan Rakyat lainnya adalah Immanuel Kant.Ia berpendapat bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada warga negaranya. Dalam pengertian bahwa kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak 24
Jazim Hamidi, Teori Hukum Tata Negara A Turning Point of The State, (Jakarta : Salemba Humanika, 2012), hlm. 5.
1119
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan. 3.2. Teori Konstitusi Teori Konstitusi dipilih untuk menganalisis problematik dalam penulisan ini mengingat bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam suatu negara.Setiap tindakan yang diambil oleh lembaga negara, penyelenggara negara maupun nmasyarakat harus tunduk pada konstitusi. Teori konstitusi akan dipergunakan untuk mencari model penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945. 3.2.1. Pengertian Konstitusi Sejak zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis. Ini dapat dibuktikan pada faham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Di antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada, karena hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai.25 Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan Resblica constituere. Dari sebutan itu lahirlah semboyan yang berbunyi “Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme Lex”, yang artinya Rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur dari pada negara, oleh karena ia adalah satu-satunya pembuat UndangUndang.26 Kata “konstitusi”, berasal dari bahasa Perancis constituer yaitu sebagai suatu ungkapan berarti membentuk.Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum atau sesudah berdirinya negara yang bersangkutan.27 Menurut Black’s Law Dictionary, constitution berarti:28
25
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 62. Bandingkan dengan Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 88. 26 Ibid. 27 Jazim Hamidi dan Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publesher, 2009), hlm. 87. 28 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1979), p. 282.
1120
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
the organic and fundamental law of a nation or state, which may be written or unwitten, establishing the character and conception of its government, laying the basic principles to which its internal life is to be conformed, organizing the government, and regulating, and limiting the functions of its different departments, and prescribing the extend and manner of the exercise of souvereign powers. Menurut Bolingbroke dalam esainya On Parties yang dikutip oleh KC Wheare, yang dimaksud dengan konstitusi adalah kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan, yang ditarik dari prinsip-prinsip rasio tertentu ….. yang membentuk sistem umum, dengan mana masyarakat setuju untuk diperintah.29 Dahlan Thaib berpendapat bahwa batasan-batan konstitusi adalah:30 1. Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa. 2. Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik. 3. Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara. 4. Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia. Joeniarto berpendapat bahwa:31 Undang-Undang Dasar ialah suatu dokumen hukum yang mengandung aturanaturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya. Dari berbagai pendapat di atas, penulis sependapat dengan Dahlan Thaib, yang menyebutkan bahwa konstitusi haruslah memiliki batasan-batasan: kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa, adanya pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik, adanya deskripsi dari lembagalembaga negara, adanya masalah hak-hak asasi manusia.
29
KC Wheare, Modern Constitution, (Oxford : Oxford University Press, 1966) diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya : Pustaka Eureka, 2003), hlm. 3-4. 30 Dahlan Tahib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 15-16. 31 Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 22.
1121
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
3.2.2. Materi Muatan Konstitusi Berbagai pandangan ahli berkaitan dengan materi muatan konstitusi. AAH Strycken berpendapat bahwa undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:32 1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau; 2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; 4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. Sri Soemantri M berpendapat bahwa undang-undang dasar atau konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:33 Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara; Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan yang Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Rosco J Tresolini dan Martin Shapiro berpendapat bahwa konstitusi Amerika Serikat mengatur tiga masalah pokok:34 1. It establishes the framework or structure government; 2. It delegates or assigns the powers to government; 3. It retrains the exercise of these powers by governmental officials in order that certain individual rights can be preserved. Menurut Miriam Budiardjo, setiap undang-undang dasar memuat ketentuanketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:35 1. Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, ekskutif dan yudikatif: dalam negara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara – bagian; prosedur menyeesaikan
32
Sri Soemantri M berpandangan bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Namun ada juga para ahli yang membedaka antara konstitusi dengan undang-undang dasar, di antaranya Herman Heller dan F Lassale. Lihat Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 10. Berkaitan dengan substansi konstitusi, lihat Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung : Alumni, 1987), hlm. 2. 33 Ibid., hlm. 51. 34 Ibid. 35 Miriam Bidiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 101.
1122
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya. 2. Hak-hak azasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah tersendiri). 3. Prosedur mengubah undang-undang ddasar. 4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undangundang dasar. Iriyanto A Baso Ence berpendapat bahwa beberapa hal pokok yang seharusnya menjadi bagian fundamental dalam penyusunan materi konstitusi adalah:36 Pertama, pembatasan kekuasaan negara secara tegas antara legislatif, ekskutif dan yudikatif; Kedua, adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negaranya; Ketiga, pembentukan susunan organisasi negara yang tepat dan sesuai kondisi yang dihadapi suatu negara; Keempat, adanya prosedur mengubah konstitusi. Dari berbagai pendapat tentang muatan konstitusi, penulis sependapat dengan Iriyanto A Baso Ence bahwa beberapa hal pokok yang seharusnya menjadi bagian fundamental dalam penyusunan materi konstitusi adalah: 1. Pembatasan kekuasaan negara secara tegas antara legislatif, ekskutif dan yudikatif; 2. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga negaranya; 3. Pembentukan susunan organisasi negara yang tepat dan sesuai kondisi yang dihadapi suatu negara; 4. Adanya prosedur mengubah konstitusi. 3.2.3. Fungsi dan Tujuan Konstitusi Dalam sejarahnya di dunia Barat, konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas kewenangan penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Dengan kebangkitan paham kebangsaan sebagai kekuatan pemersatu, serta dengan kelahiran demokrasi sebagai paham politik yang progresif dan militan, konstitusi menjamin alat rakyat untuk konsolidasi kedudukan hukum dan politik, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk negara. Berhubung dengan itu konstitusi di zaman modern tidak hanya memuat aturan-aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.37 36
Iriyanto A Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, (Bandung : Alumni, 2008), hlm. 78-79. 37 Dahlan Thaib dkk.,Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 17.
1123
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.38 Cara pembatasan yang dianggap paling efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar atau konstitusi.39 Pembatasan kekuasaan mengandung arti batas tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara, serta pembatasan mengenai waktu kekuasaan itu dapat dijalankan.40 Jimly berpendapat bahwa tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah:41 (i) keadilan; (ii) ketertiban; dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan negara oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers). Dari berbagai pendapat tentang fungsi dan tujuan konstitusi, yang terpenting adalah memahami fungsi dan tujuan konstitusi secara integral dan menyeluruh. Artinya, konstitusi harus dipahami sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. 3.3. Teori Kewenangan Teori Kewenangan dipilih untuk menganalisi problematik dalam penulisan ini mengingat bahwa setiap lembaga negara memiliki kewenangan. Teori Kewenangan diperlukan untuk membedakannya dengan kekuasaan, serta untuk mengetahui bagaimana kewenangan diperoleh. Dalam ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan fungsi pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “wewenang” memiliki arti:42 1. Hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, 2. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain, 3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan “kewenangan” memiliki arti:43 1. Hal berwenang, 2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. 38
Ibid., hlm. 18. Ibid., hlm. 19. 40 Ibid., hlm. 22. 41 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 119 42 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), hlm. 1272. 43 Ibid. 39
1124
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
Menurut Bagir Manan, “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan “wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).44 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa beda antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.45 Wewenang adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dan ekskutif. Jadi kewenangan merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai bagian tertentu (onderdeel) saja dari kewenangan, jadi di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas saja, akan tetapi juga wewenang untuk pembentukan wewenang serta distribusi wewenang, utamanya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.46 Philipus M Hadjon berpendapat bahwa47 setiap tindakan pemerintahn diisyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lasimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar; kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Dari berbagai pendapat tentang kewenangan di atas, penulis berpendapat bahwa kewenangan adalah kemampuan yang diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk melakukan tindakan tertentu yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban. Sedangkan sumber kewenangan penulis sependapat dengan Philipus M Hadjon bahwa kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan 44
Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupatendan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam Rangka Penataan Ruang, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1-2. 45 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 91-92. Bandingkan dengan pendapat Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 1. 46 I Nyoma Alit Puspadma, Perpanjangan Hak Guna Bangunan bagi Perseroan Terbatas Ditinjau dari Prinsip Kepastian Hukum, Keadilan, dan Berkelanjutan menuju Investasi yang Menyejahterakan Rakyat, Makalah Seminar Hasil Penelitian Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2012, hlm. 11. 47 Philpus M Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga pada hari Senin, tanggal 10 Oktober 1994, hlm. 7-8.
1125
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar; kewenangan delegasi dan mandate adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. 3.4.
Teori Lembaga Negara Teori Lembaga Negara diperlukan untuk menganalisis problematika penulisan ini mengingat tidak setiap lembaga negara memperoleh kewenangan dari undang-undang dasar. Melalui teori ini akan diperoleh klasifikasi lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undng dasar ataupun peraturan perundang-undangan lain. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa lembaga negara itu adalah lawan kata lembaga swasta, lembaga masyarakat atau biasa disebut Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau Non Governmental Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat adalah lembaga negara. Lembagalembaga negara itu disebut sebagai lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, ataupun lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kuasa oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.48 Ranking kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturannya berdasarkan hukum. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatannya dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.49 Dari berbagai pendapat di atas penulis sependapat dengan Jimly yang berpendapat bahwa ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kuasa oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. 3.5. Kerangka Konseptual 3.5.1. Konsep Lembaga Negara Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, lembaga negara disebut dengan menggunakan istilah political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Di Indonesia, dikenal beberapa istilah yaitu: lembaga negara, badan negara atau organ negara.50 Konsep organ negara dan lembaga negara itu sangat luas maknanya, sehingga tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasaan legislatif, ekskutif dan yudikatif saja. Pertama, organ negara paling luas mencakup setiap individu yang 48
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 60-61. Ibid., hlm. 61 50 Gunawan A Tauda, Komisi Negara Independen Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2012), hlm. 52. 49
1126
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
menjalankan law-creating dan law-applying; Kedua (pengertian kedua), organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang menjalankan law-creating dan law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; Ketiga, (pengertian ketiga), organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan/ataulaw-applying dalam kerangka sistem kenegaraan atau pemerintahan. Di dalam pengertian ini, lembaga negara mencakup pengertian lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden ataupun keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah. Keempat, organ atau lembaga Negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU atau oleh peraturan yang lebih rendah. Kelima, lembagalembaga negara yang berada di pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945.51 Dalam konsep hukum tata negara positif (positive staatsrecht), lembaga negara merupakan organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang biasanya diatur atau menjadi muatan dalam konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara.52 3.5.2. Konsep Sengketa Lembaga Negara Dalam hubungan kewenanga antar lembaga negara terdapat banyak potensi sengketa yang dapat terjadi dan memerlukan perhatian. Potensi sengketa disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur fungsi, tugas, wewenang suatu lembaga yang yang mengakibatkan munculnya beragam penafsiran karena ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur kelembagaan negara.53 Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi.54
51
Jimly Asshiddiqie, Permbangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indoensia, 2006), hlm. 40-41. 52 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 159. 53 Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataannya dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei – Agustus 2010), hlm. 3. 54 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 150.
1127
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara:55 1. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi (oleh UUD 1945); 2. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi independen (independent regulatory agencies)] yang tidak bertanggung jawab kepada siapapun. 3. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi pembuat peraturan perundang-undangan [termasuk komisi negara ekskutif (executive branch agencies)] yang bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari ekskutif. Lembaga negara/organ negara kategori pertama dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara/organ negara kategori kedua dapat pula berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara/organ negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga negara/organ negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari ekskutif.56 4. Pembahasan 4.1. Model Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dimungkinkan terjadi perbedaan penafsiran kewenangan. Sengketa antara KPK dan Polri merupakan contoh konkrit sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945. Sumber kewenangan KPK adalah UU KPK,57 sedangkan kewenangan Polri adalah UU Polri.58 Ini berarti bahwa kedua lembaga tersebut tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa lembaga negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi. Dalam praktek ketatanegaraan, sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945 diselesaikan oleh Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang bersengketa. Dalam sengketa KPK dan Polri tentang dugaan korupsi simulator SIM Korps Lalu Lintas Polri, Presiden bertemu dengan pimpinan KPK dan Kepala Polri. Setelah pertemuan dengan kedua lembaga tersebut, Presiden membuat keputusan penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM
55
Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), hlm. 41. 56 Ibid. hlm. 41-42. 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
1128
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
yang melibatkan (mantan Kepala korlantas) Inspektur Jenderal Djoko Susilo agar ditangani KPK.59 Penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden bukanlah penyelesaian hukum, karena itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Pihak-pihak yang bersengketa dapat tidak mematuhi keputusan Presiden di atas. Faktanya kemudian, Polri menggugat KPK karena KPK menyita berbagai dokumen milik Polri, yang menurut Polri tidak ada hubungannya dengan kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri. Bilamana kita cermati argumentasi filosofis pembentukan KPK dan Polri, seharusnya sengketa antara KPK dan Polri tidak perlu terjadi. Konsiderans menimbang huruf a UU KPK maupun konsideran menimbang huruf a UU Polri, keduanya dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUDN RI 1945. Dengan demikian ada kesamaan tujuan pembentukan KPK dan Polri, yaitu dalam kerangkan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Apa kemudian yang salah, sehingga terjadi sengketa antara KPK dan Polri. Penulis berpendapat bahwa sengketa kewenangan tersebut disebabkan oleh ego sektoral KPK dan Polri. Kondisi ini ditunjang dengan adanya tersangka yang berasal dari lingkungan Polri. Upaya pembelaan korps sangat kental, sehingga segala daya upaya dilakukan untuk dapat menangani perkara dugaan korupsi simulator SIM.60 Formulasi penyelesaian sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diaturdalam UUDN RI 1945 perlu mempergunakan tafsir yang lebih luas. Polri sekalipun kewenangannya tidak diatur dalam UUDN RI 1945, namun institusi Polri disebutkan dalam UUDN RI 1945.61 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Polri memiliki legal standing untuk menjadi pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi.62
59
Presiden Serahkan ke KPK, Harian Kompas Selasa 9 Oktober 2012. Salah satu kultur polisi yang berlaku universal untuk tidak melaporkan tindakan buruk teman sejawat petugas polisi. Ini yang terkenal dengan sebutan “the blue silence”. Lihat Eddy OS Hiariej, Tembok Biru yang Diam, Harian Kompas Selasa 16 Oktober 2012. 61 Lihat Pasal 30 UUDN RI 1945. 62 Margarito Kamis berpendapat bahwa SKLN bisa saja dilakukan bila Polri yang mengajukan sebab Polri disebut dalam UUD.Lihat Kasus Simulator SIM Menghitung Peluang di Mahkamah Konstitusi, Harian Kompas Kamis 9 Agustus 2012. 60
1129
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
Bagaimana dengan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945. Penulis berpendapat perlu dilakukan perubahan UUDN RI 1945, khususnya berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi selama ini memiliki kewenangan terbatas memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kewenangan tersebut agar diperluas menjadi memutus sengketa kewenangan lembaga negara.63 Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutus semua sengketa lembaga negara tanpa kecuali. Bilamana tidak dimungkinkan melakukan perubahan UUDN RI 1945, Mahkamah Agung dapat ditunjuk untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Tujuan dari penunjukkan Mahkamah Agung adalah sebagai lembaga yudisial untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Dengan adanya lembaga yudisial dimaksud, maka akan terdapat kepastian hukum bilamana terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945. Namun demikian penulis lebih sependapat bilamana sengketa kewenangan lembaga negara diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi.64 Dengan memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI 1945, maka forum hukum yang diperlukanakan terpenuhi.65 Melalui lembaga yudisial dimaksud, maka lembaga negara yang bersengketa akan mematuhi putusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi. 4.2.
Model Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Di Korea Selatan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan dalam hal: 1. The constitutionality of a law upon the request of the court; 2. Impeachment; 3. Dissolution of a political party;
63
Ni’matul Huda berpendapat bahwa konflik kewenangan antar lembaga/komisi/badan negara juga belum sepenuhnya ditampung oleh Mahkamah Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi baru sebatas pada konflik antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Ke depan perlu ada perluasan pemaknaan terhadap lembaga negara sehingga konflik-konflik kewenangan antar kelembagaan negara ataupun daerah ada saluran untuk menyelesaikan secara yuridis. Lihat Ni’matul Huda, Mekanisme Check and Balances di Antara Lembaga-Lembaga Negara, Majalah Konstitusi No. 54 – Juli 2011, hlm. 30-31. 64 Lihat Muchammad Ali Safa’at, Peran MK mewujudkan PrinsipCheck and Balances, Majalah Konstitusi No. 54 – Juli 2011, hlm. 24-25. 65 Forum Hukum merupakan istilah yang dipergunakan oleh Muchammad Ali Safa’at.Penulis sendiri lebih suka menggunakan istilah lembaga yudisial.
1130
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
4. Competence dispute between State agencies, between State agencies and local governments, and between local government; and 5. Constitutional complaint as prescribed by Act. Walaupun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki lima kewenangan, namun dalam penulisan ini yang dibahas hanya kewenangan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Dari ketentuan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan dapat ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antara: a. Lembaga-lembaga negara; b. Lembaga negara dengan pemerintah daerah; c. Pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat menyelesaikan setiap sengketa lembaga negara, tanpa memperhatikan apakah lembaga negara tersebut kewenangannya diberikan atau tidak oleh konstitusi. Dalam hal menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berbeda dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI 1945. Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berpendapat bahwa bilamana konflik antara negara, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga negara tentang tugas dan masing-masing lembaga, tidak hanya membahayakan prinsip check and balances antara kekuasaan publik, tetapi juga beresiko melumpuhkan fungsi pemerintahan yang penting. Hal ini dapat menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar warga negara, yang menyerukan mekanisme koordinasi yang sistematis. Konstitusi Korea Selatan telah menganugerahi Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili sengketa kewenangan sebagai bagian dari fungsi menjaga konstitusi.66 Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mengadili sengketa kewenangan dalam klasifikasi: a. Mengadili sengketa kewenangan antara lembaga-lembaga negara, dalam hal ini sengketa kewenangan antara Majelis Nasional, Ekskutif, pengadilan biasa dan Komisi Pemilihan Umum; b. Mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara dengan pemerintah daerah, dalam hal ini: (1) sengketa kewenangan antara Ekskutif dan Kota Metropolitan Khusus, Kota Metropolitan atau provinsi; (2) sengketa kewenangan antara ekskutif dan kota/kabupaten. 66
Alenia ini dan kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan terjemahan dari website Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, http://english.ccourt.go.kr/ diunduh pada hari Selasa tanggal 27 November 2012 pukul 09.17.
1131
Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (Winasis Yulianto)
c. Mengadili sengketa kewenangan antar pemerintah daerah, dalam hal ini: (1) sengketa kewenangan antaraKota Metropolitan Khusus, Kota Metropolitan atau provinsi; (2) sengketa kewenangan antara kota/kabupaten atau kecamatan otonom; (3) sengketa kewenangan antara Kota Metropolitan Khusus, Kota Metropolitan atau provinsi dan kota/kabupaten atau kecamatan otonom. Bilamana dikaji dari teori konstitusi, penulis berpendapat bahwa pengaturan konstitusi Korea Selatan lebih mendekati muatan konstitusi bila dibandingkan dengan muatan UUDN RI 1945. Prinsip check and balances diatur dalam konstitusi Korea Selatan tidak hanya lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam konstitusi, tetapi juga lembaga negara lain yang kewenangannya tidak diatur dalam konstitusi, termasuk pemerintah daerah. Prinsip yang diterapkan dalam konstitusi Korea Selatan sekaligus memenuhi konsep lembaga negara, tanpa perkecualian. Artinya bahwa, lembaga negara yang dimaksud dalam konstitusi Korea Selatan tidak membedakan antara lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi, undang-undang maupun peraturan perundangan lain.67 Dengan demikian, model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Korea Selatan lebih memenuhi rasa kepastian hukum.Hal ini mengingat di Korea Selatan terdapat lembaga yudisial yang mengadili sengketa kewenangan lembaga negara tanpa melihat sumber kewenangan, yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa kewenangan lembaga negara dibatasipada lembaga negara yang kewenangannya berasal dari UUDN RI 1945. Di luar lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara atribusi oleh UUD 1945, Mahkamah Konstitusi Indonesia tidak memiliki kewenangan mengadili. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa pelajaran dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia.68 5. Simpulan dan Saran Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dibatasi pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara atribusi oleh UUDN RI 1945. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga negara di luar yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, diselesaikan oleh Presiden. Penyelesaian sengketa lembaga negara model ini tidak 67
Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga Negara di Indonesia menjadi empat: lembaga Negara yang dibentuk oleh UUD, undang-undang, Keputusan Presiden dan Peraturan Menteri. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 66. 68 Andy Omara mempergunakan istilah a good lesson for the Indonesian Constitutional Court. Lihat Andy Omara, Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From the Korean Constitutional Court Experience?, (Seoul: 2008, Korea Legislation ResearchInstitute), p. 50.
1132
Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: 1111-1133
menjamin kepastian hukum dan cenderung tidak dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa. Kedua, model penyelesaian sengketa lembaga negara di Korea Selatan oleh Mahkamah Konstitusi Korea Selatan tidak membedakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi maupun peraturan perundangan lain. Model penyelesaian sengketa lembaga negara model ini akan menjamin kepastian hukum dan pelaksanaan check and balances antar lembaga negara. Dari pelajaran yang dipetik dari kewenangan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan di atas, perlulah kiranya kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia diberi kewenangan yang lebih luas dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Lembaga negara yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi tidak lagi dibatasi kewenangan yang bersumber dari atribusi UUDN RI 1945, tetapi juga kewenangan yang berasal dari peraturan perundangan lain. Untuk menunjang kewenangan diperluas Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga Negara, perlu dilakukan perubahan Pasal 24 C ayat (1) UUDN RI 1945. Frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dihilangkan, sehingga ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUDN RI 1945 berbunyi “memutus sengketa kewenangan lembaga negara”.
1133