/00 l REDUKSI REVERBERASI DENGAN NARROW BEAM RECEIVER PADA SONAR UNTUK AKUHASI INTERPRETASI TARGET
KARYA ILMIAH
oIeh INDRA
JAVA
C 161 360
FAKUL TAS PERIKANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1984
REDUKSI REVERBERASI DENGAN NARROW BEA\! RECEIVER
PADA
SONAR
UNTUK AKURASI INTERPRETASI TARGET
KARYA ILMIAH Da1am Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
01eh
INDRA JAYA C. 161 360
FAKULTAS PERIKANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1984
REDUKSI REVERBERASI DENGAN MARROW BEAM RECEIVER PADA SONAR UNTUK AKURASI INTERPRETASI TARGET
KARYA ILMIAH Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pacta Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogar
Oleh INDRA JAYA
Mengetahui:
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
1/1 if
v
.'
BAMBANG MURD IY ANTO Ketua
\..
/
K~a
.Jz~
.. , «
/r;,::::;~, ~. U. G
;f
/fJt:?tLvLf'
BONAR p. PASARIBU
//
24 September 1984 Tanggal lulus
------"
!zYODHYOA Anggota
RINGKASAN INDRA JAYA, C 161 360.
REDUKSI REVERBERASI DENGAN
NARROW BEAM RECEIVER PADA SONAR UNTUK AKURASI INTERPRETASI TARGET
(Dibawah bimbingan BONAR P. PASARIBU dan
A. U. AYODHYOA). Sal~h
satu pembatas utama da1am pendeteksian kelom-
pok ikan adalah reverberasi.
Reverberasi dapat sebagian
menutupi sinyal echo (echo ikan) sehingga menyulitkan, kadang tidak memungkinkan penerimaan sinyal.
Penutupan
sinyal ini terj adi j ika besarnya penerimaan sinyal echo lebih kecil daripada peringkat reverberasi pada waktu dan jarak tertentu. Pada sistem electronic sector scanning sonar (ES ), 3 penggunaan narrow beam receiver akan
memperkecil efektif
target strength latar be1akang terhadap echo ikan.
Se-
lain i tu, teknik scanning dan kemampuan resolusi tinggi yang dimiliki ES
3
mampu menekan reverberasi pada pering-
kat yang sangat rendah.
Dengan rendahnya reverberasi
ini, maka penerimaan sinyal jelas. Geometri beam yang secara tidak langsung mengatur perilaku reverberasi mengontrol volume sampel per radiasi.
Pada pendeteksian dekat dasar perairan, pengaruh
geometri dari narrow beam memperkecil dead zone yang terbentuk.
Hal ini berarti semakin dekatnya nilai dugaan
dengan nilai sebenarnya.
KAT A PENGANT AR Tulisan yang disusun berdasarkan telaah pustaka ini, membahas tentang
pengaruh reverberasi terhadap interpre-
tasi target dan peranan narrow beam dalam usaha mereduksi reverberasi.
Di samping itu pengetahuan tentang mengope-
rasikan alat-alat akustik dilakukan dalam praktek di "KM TENGGIRI" dari tanggal 19 sampai dengan 26 Juni 1984. Penyajian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarj ana Perikanan pada Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Atas pengenalan disiplin ilmu perikanan (khususnya dalam ruang lingkup pemanfaatan sumberdaya), dan masamasa yang berharga selama berada di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, penulis ucapkan terima kasih pada segenap staf jurusan.
Pada Bapak Dr Bonar P. Pasaribu dan Bapal,
A. U. Ayodhyoa, MSc. selaku dosen pembimbing, atas bantuannya selama penulisan karya ilmiah ini, penulis ucapkan terima kasih. Pada kesempat an ini pula, penulis t ak lupa mengucapkan terima kasih pada Direktur
Bina Sumberdaya Hayati -
Direktorat Jenderal Perikanan serta segenap crew KM TENGGIRI atas bantuan fasilitas dan penjelasan-penjelasan yang diberikan selama praktek. Akhirnya, pemberian kesempatan mengecap pendidikan tinggi adalah merupakan salah satu pilihan pemberian
terbaik kepada seseorang.
Karena pada jenjang pendidik-
an tinggi setiap peserta didik diajarkan dan diikutsertakan mengembangkan cara berpikir dan berlaku lebih sistematis dan sistemik.
Pada Ibu dan Tata, terima kasih atas
pemberian tersebut.
Bogar,
September Penulis.
1984
DAFTAR lSI Halaman DAFTAR GAMBAR .
vi
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1.
PENDAHULUAN
1
2.
KONSEP-KONSEP PENDUGAAN DENGAN MET ODE AKUSTIK DAN TEORI REVERBERASI . . . . • • . ..,
7
2.1
Konsep-konsep Pendug-aan dengan Metode Akust ik • . . . . . • . . . . 2.1.1 Persamaan Akustik 2.1.2 Pengukuran Volume Backscattering Strength . . . • • . . . . . • . 2.1.3 Pengukuran Bottom Backscattering Strength . . . • • . . . . . 2.1.4 Pengukuran Mean Volume Backscattering St rength • . • . . 2.1.5 Pengukuran Kepadatan Relatif dan Kepadatan Mutlak ••... 2.1.6 Penentuan Kepadatan Rata-rata pada Areal Tertentu
...
2.2
3.
7 7
10 15 16 19 21
Teori Reverberasi
22
2.2.1 2.2.2 2.2.3
22 25 28
Teori Reverberasi Kolom Teori Reverberasi Permukaan Reverberasi yang Teramati di Laut
ELECTRONIC SECTOR SCANNING SONAR (ES ) 3 3.1 Garis Besar Sistem ES 3 3.2 Cara Kerja ES 3 3.3 Multiplicative Signal Processing (MSP)
31 33 3b
3.4 4.
Signal-to-Noise Ratio (SNR) dan Signalto-Reverberation Ratio (SRR) pada ES . 3 PEMBAHASAN.. . . .. .. .. ..
31
. .
4.1
..
Pengaruh Reverberasi Terhadap Ketepatan Pendeteksian . . . . • • • • . • . . . .
38 40
40
Hal am an 4.2
5.
Pengaruh Narrow Beam Terhadap Reverberasi
44 46
PENUTUP.
DAFTAR PUSTAKA
48
RIWAYAT HIDUP •
51
LAMP IRAN
..
•
52
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor 1.
Pengorganisasian Jalan Pemikiran Penyusunan Karya Ilmiah . . . . . . . . . . . . . .
6
2.
Sistem Sonar dan Parameter-parameternya
9
3.
Ilustrasi Acoustic Backscattering oleh Suatu Volume Kecil, dV . . . . . . . . . • .
11
4.
Skema Pengolahan Gelombang Reverberasi
14
5.
Kurva Bottom Backscattering Strength
15
6.
Ilustrasi Sampling MVBS
18
7.
Survai Track Penentuan Kepadatan Rata-rata
21
8.
Volume Efektif • .
25
9.
Daerah Reverberasi Efektif
26
10.
Orientasi Vertikal Transducer
27
11,
Orientasi Khusus Transducer
27
12.
Pendeteksian Dasar Laut
13.
Skema Sistem Electronic Sector Scanning Son ar~-. • .
32
14.
Cara Kerja ES
34
15.
Sistem Multiplicative Signal Processing
36
16.
Tahap-tahap Pengolahan Sinyal Secara Multiplicative . . . . . • • • . . • •
37
17.
Dead Zone yang Terbagi Atas Dua Bagian
42
18.
Ilustrasi Pendeteksian dengal1 Wide Beam dan Narrow Beam pada Area yang Sallia .•••.
43
..
3
30
Halaman
Nomor 19.
JFS-688 Scanning Sonar . .
56
20.
JFS Scanning Sonar Display (PPI)
57
21.
Scanning Sonar Recorder
57
22.
Echo Sounder (freq: 50 kHz dan 200 kHz)
58
23.
SIMRAD Colour Display CF-IOO
58
24.
SIMRAD Echo Integrator QM-MK II
59
25.
SIMRAD FK 400 Computerized Integrator
59
DAFT AR LAMP IRAN Halaman
Nomor
1. 2.
Daftar Istilah • • • .
•
•
•
!
•
•
•
Alat-alat Akustik yang Terdapat pada •.••••••••••
KM TENGG IRI
53 56
1
PENDAHULUAN Informasi yang akurat tentang kepadatan atau kelim-
pahan stok suatu perairan akan sangat membantu rasionalisasi pengelolaan ekonomi dan perumusan kebijakan-kebijakan pengembangan usaha perikanan (CUSHING, 1979; and LOSOW, 1981;
MATHISEN, 1982;
LAO, 1983).
SUOMALA Hal ini
juga sekaligus sebagai suatu upaya menj amin kelangsungan hidup stok di masa depan.
Agar diperoleh informasi yang
lebih akurat tersebut, haruslah ada masukan sains dan telmologi sehingga dapat dipertimbangkan metode-metode yang sesuai pemanfaatannya dalam perikanan. Salah satu metode yang relatif baru untuk menduga kelimpahan stok ikan ialah penggunaan metode akustik. Menurut PASARIBU (1982), hasil dugaan metode akustik dapat diperoleh secara langsung, singkat dan cukup akurat. Selain itu, metode akustik mampu meliput areal yang luas. Kemampuan ini sangat penting dalam memonitor pergerakan ikan (MATHISEN, 1982). Pendugaan kelimpahan stok dengan met ode akustik telah dilaksanakan di beberapa perairan di Indonesia.
Di
perairan Jawa Banet bagim, Selatan dilakukan pendugaan stok ikan pelagik, dan survai perikanan lemuru di Selat Bali (VINCENTIUS, 1980).
Di Selat Makassar dan Laut Su-
lawesi (NACHROWI, 1981), dan di Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna - Laut Cina Selatan (SUHENDAR, 1983) dilaksanakan pendugaan stol, ikan pelagik dan demersal.
2
Di luar negeri, pendugaan stok ikan dengan metode akustik telah dilalmkan di perairan Peru dalam survai kelimpahan stok ikan anchoveta (VILLANUEVA, 1966), di perairan Jepang (NISHIMURA et al., 1967), dan di perairan seki tar pulau-pulau kecil sebelah barat Inggris (MIDTTUN, 1972) . Menurut laporan CSIRO (1980), permasalahan penerapan metode akustik dalam perikanan laut, baik dalam penentuan lokasi dan penangkapan ikan maupun dalam pendugaan stok yang ditemui oleh para akustisi dan operator sonar adalah yang berhubungan dengan:
(1) reverberasi latar belakang
(background reverberation) yang dihasilkan oleh penghamburan (scattering) di dalam laut, (2) echo terputus-putus yang di'sebabkan oleh pemantulan di dalam laut.
Gangguan
(interference) reverberasi ini akan mempengaruhi "kualitas" echo yang di terima, dan selanjutnya mempengaruhi nilai dugaan.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan nilai
dugaan dengan ketepatan tinggi perlu diperhitungkan pengaruh reverberasi. Masalah gangguan reverberasi ini akan terus menyulitkan penerimaan sinyal echo, jika reverberasi masih menjadi faktor dominan.
Untuk mendapatkan penerimaan sinyal yang
jelas, sinyal echo harus berada lebih tinggi dari reverberasi.
Hal ini dapat dicapai melalui dua cara, yakni
menaikkan sinyal echo atau menekan reverberasi para peringkat yang rendah.
3
Masalah lain yang timbul berhubungan dengan sulitnya pendeteksian adalah terbentuknya "dead zone".
Dead zone
dimaksudkan sebagai daerah dimana pendeteksian (dalam hal ini pengambilan contoh dengan metode
ah~stik)
tidak di-
mungkinkan . Untuk mengatasi masalah penerimaan sinyal echo dan luasnya daerah (volume) yang t idak dapat diarnbil con tohnya dengan metode akustik, dalam tulisan ini, diusulkan gagasan penggunaan narrow beam. Dengan penggunaan narrow bearn, sinyak echo diharapkan sedikit mungkin mengalarni gangguan dengan dapat ditekannya reverberasi pada peringkat yang rendah.
Pene-
kanan ini dimungkinkan oleh karena semakin mengecilnya kekuatan efel';:tif latar belakang target. Kemungkinan besarnya volume dead zone diperkecil dapat ditunjukkan dengan jalan mempertimbangkan bentuk geometri beam yang dipancarkan.
Hasil studi teoritis da-
lam tulisan ini menunjukkan bahwa penjumlahan total beambeam sempit (narrow bearn) akan menghasilkan volume dead zone yang lebih kecil dibanding penggunaan beam lebar (wide bearn) pada luas daerah liputan yang sarna. Tulisan ini dibagi atac; lima bagian.
Bagian I ada-
lah pendahuluan yang merupakan rangkuman garis besar dari latar belakang perlunya pendugaan ketepatan stok ikan lebih akurat, masalah-masalah yang dihadapi dalarn proses pendugaan tersebut, dan pokok-pokok pemikiran pemecahan
4
masalah.
Persamaan akustik yang menggambarkan penampilan
sistem akustik, serta berbagai pengukuran tentang volume backscattering strength, bottom backscattering strength, mean volume backscattering strength, kepadatan relatif dan kepadatan mutlak, dan kepadatan rata-rata pada areal tertentu diutarakan pada Bagian II.
Pada Bagian II di-
singgung pula tentang teori reverberasi, baik reverberasi dasar maupun reverberasi volume.
Gejala maupun fakta ten-
tang reverberasi yang terj adi di laut disertakan pu lao Bagian III menggambarl{an electronic sector scanning sonar CES3), meliputi garis besar sistem, cara kerja, penggunaan multiplicative signal processing, dan signal-to-noise ratio dan signal-to-reverberation ratio pada ES . Penga3 ruh reverberasi terhadap ketepatan pendeteksian dan pengaruh narrow beam terhadap reverberasi dibahas pada Bagian IV.
Bagian V merupakan penutup at au kesimpulan dari
isi tulisan ini. Pengalaman praktek yang dilakukan di KM TENGGIRI sangat berharga dalam rangka awal pemahaman terhadap permasalahan penerapan metode akustik.
Adapun alat-alat
akustik yang sempat dipelaj ari dan dipraktekkan cara p~ngoperasiannya
secara manual adalah echo sounder, scan-
ning sonar, dan echo integrator.
Gambar dan spesifikasi
dari masing-masing alat tersebut diterakan pada Lampiran 2, dalam tulisan ini.
5
Dari hasil studi teori tis ini, ditunjukkan bahwa pada sistem ES
penggunaan narrow berun akan memperkecil 3 efektif target strength latar belakang terhadap sinyal echo.
Selain itu, teknik scanning dan kemampuan resolusi
tinggi yang dimiliki ES
3
mampu menekan reverberasi pada
peringkat yang sangat rendah.
Dengan rendahnya peringkat
reverberasi atau berkurangnya gangguan reverberasi ini, maka penerimaan sinyal jelas, dan hal ini beI'aI'ti pula semakin almI'atnya nilai dugaan yang akan diperoleh. Berikut ini diterakan diagram pengorganisasian jaIan pemikiran penulisan karya ilmiah (GambaI' 1).
gangguan reverberasi
penerimaan sinyal echo tidak jelas
MASALAH
lebih tinggi luasnya (volume) dead zone
I penggunaant
1---;----<
dz
mengecil
t t wide beam
Keterangan: NB - Narrow Beam srr - signal-to-reverberation ratio dz - dead zon c Gambar 1.
Pengorganisasian jalan pemikiran penyusunan Karya Ilmiah
2
KONSEP-KONSEP PENDUGAAN DENGAN METODE AKUSTIK DAN TEORI REVERBERASI
2.1
Konsep-konsep Pendugaan dengan Metode Almstik Dalam pendugaan stok dengan met ode akustik digunakan
sejumlah asumsi-asumsi yang disederhanakan berhubungan dengan penyebaran dan kepadatan kelompok ikan. Asumsi-asumsi yang digunakan antara lain:
perambat-
an gelombang akustik berada pada garis lurus dengan tetap mempertimbangkan "spreading loss", il,an tersebar dengan peluang yang sarna dalam keseluruhan kolom yang ditempati oleh setengah panj ang pulsa pada sembarang range, dan tidak terdapat penghamburan berganda (multiple scattering). 2.1.1
Persamaan Akustik Persamaan akustik adalah persamaan yang dapat meng-
gambarkan penampilan dari suatu sistem akustik (sistem sonar).
Persamaan akustik terbentuk dari interaksi suara
(termasuk efek dari "spreading loss" dan "absorption loss") dan karakteristik penghamburan target (CLAY and MEDWIN, 1977) . Menurut CUSHING (1973), ada t iga bentuk parameter yang penting dalam persamaan akustik yakni ditentukan oleh peralat an, medium, dan target.
Secara skemat ik, paramet er-
parameter yang berpengaruh pada sistem sonar ditunjukkan pada Gambar :1...
8
Peralat an meliputi peringkat sumber suara (source level, SL) dan '!directivity characteristic", dan juga peringkat noise (noise level, NL) peralatan.
Medium ber-
peran dalam menentukan besarnya "transmission loss" (TL), peringkat reverberasi (reverberation level, RL) dan "ambient noise".
Sedang target berperan dalam penentuan
target strength (TS).
Target Strength menyatakan besar-
nya sinyal pantulan atau yang dihamburbalikkan (backscattered) dari target pada satuan jarak dari target ke arah transducer. CARUTHERS (1977) menyatakan bahwa persoalan dasar yang dihadapi dalam akustik menyangkut cara pengukuran sejumlah sinyal (kemungkinan echo) terhadap reverberasi. Agar supaya sinyal dapat didetel,si (melampaui reverberasi latar belakang), rasio sinyal terukur terhadap latar belakang terukur (signal-to-noise ratio) haruslah sekurang-kurangnya berada
pada nilai minimum yang ditentu-
kan oleh sistem. Secara umum, kriteria rancangan agar dapat berfungsinya sistem akustik dinyatakan oleh pertidaksamaan berikut:
SIGNAL
~
tIDS; DT + NL
Dasar kondisi operasional minimal bagi sistem sonar adalah DT ;
tIDS - NL, dimana DT (detection threshold) meru-
pakan peringkat kesanggupan deteksi sinyal minimum (minimum detecable signal, 1IDS) sewaktu NL sama dengan 0 dB. Dengan kata lain DT adalah kesanggupan deteksi ratio signal-to-noise.
minimum
sonar system
~I(
platform geometri
I I
sonar nature
I target geometri
---:::::::::======:::::--.\. . I
<----- sonar syst em
sound velocity pro-
file, geometri wave, bottom nature, wind
I
I
I I r-----, I acoustic
i
acoustic
'-_~
channel
ambient noise wave, wind, volume & bottom scattering, sound velocity profile
Gambar 2.
I I I I
sonar target
signal X-mitter f---+~channel
I I
C;ve, wind
j
Sistem sonar dan parameter-parameternya (Sumber: Griffth ~ al. (ed), 1973)
sensor & signal conditioning
space & time processing
10 Persamaan akustik untuk menentukan ambang deteksi (detection threshold, DT) mengikuti persamaan : DT = SL - 2TL + TS - NL, dalam kondisi noise adalah "isotropic", dan transducer (receiver) "non-directional". Dalam kasus ini sistem dikatakan berada dalam keadaan noise terbatas (noise limited). Apabila transducer berarah (directional) dengan "directivity index", DI, persamaan di atas menjadi : DT = SL -2TL + TS - NL + DI Jika energi yang dipancarkan transmitter ke dalam air sehingga peringkat reverberasi, RL melampaui peringkat noise terukur, persamaan di atas menjadi : DT
=
SL - 2TL + TS - RL + AG, dimana AG adalah "array
gain" yang mesti digunakan menggantikan DI karena RL tidak isotropic.
Dalam kasus ini sistem dikatakan berada rever-
berasi terbat as (reverberation-limited). 2.1.2
Pengukuran Volume Backscattering Strength Untuk menyederhanakan penjelasan dari volume back-
scattering diterapkan konsepsi bahwa:
ada kesatuan tang-
gap di bagian dalam beam dan tidak terdapat pada bagian luarnya.
Dalam prakteknya pola beam transducer sebenarnya
digantikan oleh "equivalent beam", MITSON, 1983).
1\5'
(JOHANNESSON and
11
transducer
Garnbar 3.
Ilustrasi acoustic backscattering oleh suatu volume kecil, dV (Sumber: Johannesson and Mit son , 1983)
Pada Gambar 3, panj ang dV cukup kecil sehingga j ika teradiasi oleh suatu pulsa (insonified) maka seluruh pengharnburan yang dihasilkan oleh volume tersebut diterima oleh transducer pada saat yang
bersarnaan.
Hal ini dapat
dijelaskan (visualised) dengan mula-mula memperhatikan permukaan depan pulsa yang mencapai dan beraksi terhadap pengharnbur-penghambur (scatterers) pada bagian be lakang dV.
Energi yang diharnburbalil':kan (backscatt ered) dari
daerah bagian belakang dan bagian depan d\' :L1{an tiba di transducer dari bagian permukaan belakang pulsa. ga panj ang dV sarna dengan c 'C/2. dV
=
2 R c
Gdil,
dimana
t:
Sehing-
Dengan demikian volume
adalah pulse duration, R adalah
range (j arak permukaan transducer ke permukaan target),
12 c adalah kecepatan gelombang akustik dalam air, dan d.D. adalah solid beam angle. Diperlukan penentuan intensitas penghamburanbalik akustik (acoustic backscattering intensity) dari volume ini, dan untuk melakukannya diperlukan suatu pengertian yang mirip dengan TS, yakni "volume backscattering coefficient", s . v
Volume backscattering coefficient didefi-
nisikan sebagai ratio dari intensitas hamburan balik (backscatter intensity), I , yang dihasilkan oleh satuan b volume pada jarak 1 meter dari volume terhadap intensitas gelombang yang mengenai target (incident intensity, Ii)' dalam
hal ini : Sv = Ib/Ii dan Sv = 10 log Sv
Volume dV (pada Gambar 3) menj adi :
s .R v
2
.co .d.fl,
sehingga untuk keseluruhan beam, substitusi d.fl dengan dV
=
sv. R
2
l.j5,
.cr. .'0/.
Penentuan peringkat reverberasi (RL) dapat dicari dari persamaan di atas.
Jika intensitas transducer ada-
lab I, al,an tereduksi sebesar R4 (= 40 log R) yaitu sewal,tu merambat dari transducer ke volume dV dan sebaliknya. RL = IR
-4
2 sv. R . c 1:, •
'!f1,
dalam bent uk logari tma
RL = SL-20 log R+10 log Sv + 10 log C0 + 10 log
0/
Pada prakteknya, absorption loss, 2.(R, dalam hal inioC adalah attenuation coefficient of sound, mesti diperhitungkan pula sehingga diperoleh -(20 log R + 2,( R), namun
13 jika digunakan time varied gain (TVG) nilai ini dapat dikompensasikan sehingga tidal, muncul dalam persamaan. Volume backscattering strength, S ty scattering layer.
merupal,an properv Hal ini berbeda dengan TS, dimana
pada TS hanya dapat memberikan gambaran karakter terhadap objek tunggal, tidak terhadap scattering layer at au obj ek yang bervmjud volume lainnya sebab TS akan tergantung pada beam pattern dan juga panj ang pulsa (pulse length). Volume backscattering strength dapat ditentukan dengan persamaan berikut: S
v
~
V - SL - VR + (20 log R + 2.cR) + 10 logl'! rms
r
-10 log c
~
/2
"
dimana V rms VR
~
tegangan pada output terkalibrasi
~
receiving voltage dB//l volt perf Bar
Pada Gambar 4, tekanan gelombang membentuk aksi RL pada transducer yang diterima, menghasilkan tegangan VRT (voltage at transducer terminal) sebesar RL + SRT, sehingga:
VRT
~
SL + SRT + Sv + 10 log
c~/2
+ 10 log
~1
Gambar 4, memperlihatkan tegangan VRT diolah melalui echo sounder, mula-mula oleh gain amplifier tetap, G , dan ke1 mudian dalam amplifier TVG, G . 2
Gaim amplifier TVG biasa-
nya memberikan gambaran range maksimum TVG.
Semua tegang-
an dari echo sounder dikuadratkan dalam eCho-integrator untuk dikonversikan dari tegangan ke intensitas.
Dilak-
sanakan pula penyesuaian terhadap kecepatan kapal, kedalaman, dan selang kedalaman.
14
Echo-Integrator
2 VR
Depth Selector
TInS
Squarer
VR
TVG amplifier
Echo Sounder
Pre-amplifier
VRT
I \t_________
Transducer
S_R_T______
I
I
RL
~,1 \
\
I
\
I
I I
\
I
\
I
\
I
I /
I
\ \
I
\
I
I
\
\
I
\
\
\
/
/
\
\
\
I I I I I
I
EVERBERASI
Gambar 4.
Skema pengolahan gelombang reverberasi (Sumber: J ohannesson and Mitson, 1983)
15
2.1.3
Pengukuran Bottom Backscattering Strength Sewaktu gelombang suara mengenai dasar perairan, se-
bagian dari energi yang mengenai dasar perairan (incident energy) akan dipantulkan.
Energi pantulan ini akan di-
sebarkan ke segala arah.
Sebaran energi akibat pantulan
ini sepenuhnya tergantung pada kekasaran permukaan dasar. Bottom backscattering strength, Ss' didefinisikan sebagai intensitas suara yang dihamburbalikkan dari per2 mukaan dasar 1 m ke arah transducer (indeks "s" menandakan "surface", dalam konteks ini dimaksudkan sebagai permukaan dasar). Besarnya bottom backscattering strength tergantung pada sudut datang (grazing angle) suara yang tiba pada permukaan dan struktur dasar perairan (lihat GambaI' 5).
rough bottom
Grazing angle
GambaI' 5.
Grazing angle
Kurva bottom backscattering strength (Sumber: SUIRAD, 1968)
Secara kuantitatif, bottom backscattering strength dihi tung (SIMRAD, 1968) dengan persamaan berikut: V
rms
- SL - VR +(40 log R + 2.cR) -
16 dimana bb' - beam pattern transducer dA
- elemental bottom area
-e- -
sudut dengan arab tegak lurus ke bidang radiasi
¢ 2.1.4
sudut dari arah acuan tertentu
Pengukuran Mean Volume Backscattering Strength (MVBS) Mean volume backscattering strength adalah rata-rata
Spada satu atau lebih pancaran pada selang range (6 R) v dan satuan jarak tertentu. Untuk selan g kedalaman L::,. R
=
R2 - R , volume back1
scattering strength untuk satu pancaran adalah merupakan pengukuran intensi t as akustik yang dipantulkan seket ika 3 pada tiap-tiap m penambahan air dan dirata-ratakan terhadap L::,. R.
Sepanjang jarak yang dilayari, hasil MVBS
adalah MVBS per
pancaran (radiasi), dirata-ratal,an ter-
hadap 6.R dan satuan jarak yang relevan. Secara logari tma S
v
dapat dinyat akan sebagai
~\ = 10 log?v + TS
dimana
TS - rata-rata TS individu ikan dalam keseluruhan volume teradiasi
?v -
3 rata-rata kepadatan (ikan/m )
Jika Sv diketahui dan nilai TS diketahui pula sebelumnya, maka rata-rata kepadatan ikan yang menjadi target dapat diduga.
17 Mean volume backscattering strength pancaran akustik tunggal yang melewati selang jarak .6R = R2 - R1 selanjutnya dapat dinyat akan sebagai jumlah pulsa "volume scattering coefficient" individu dibagi selang jarak. Dengan demikian,
S
v
dimana C. - mewakili parameter instrumen seperti l SL, SRT, N (V
= .6R/c C/2 - adalah banyaknya panjang pulsa yang terjadi dalam selang
? -
o n
Imadrat tegangan output ke-n
Dalam survai sebenarnya, nilai MVBS rata-rata yang terjadi pada j arak 1 mil laut adalah : t=T
s-vv
MVBS 1 -ml.1 = dijllana T
x
x
= t= L 1 S v IT x
- jumlah total pancaran selama 1 mil
s-vv
rat a-rat a dari rat a-rat a pulsa volume backscatter
Dari pernyataan-pernyataan di at as , ada dua faktor penting yang dapat dikemukakan:
(1) MVBS merupakan
scattering parameter biomas, bebas dari parameter-parameter sistem, (2) bi la Sv merupakan hasi 1 rat a-rat a terhadap selang integrasi terpilih daripada merupakan crosssect ion sebenarnya dari lapisan ikan, maka MVBS berhubungan dengan equivalent kepadat an ikan (JOHANNESSON and MITSON, 1983).
Ikan diasumsikan tersebar merat a dalam
18 seluruh volume selang kedalaman, namun bukan merupakan kepadatan sebenarnya, diilustrasikan pada Gambar
6.
transducer
R ~
Gambar 6.
Ilustrasi sampling MVBS (Sumber: Johannesson and Mitson, 1983)
Menurut JOHANNESSON and MITSON (1983), walaupun MVBS dapat mengukur kepadatan biomas relatif (TS tidak diketahui), seperti nilai pengamatan M (dibahas pada bagian 2.1.5), terdapat perbedaan penting:
MVBS berlaku umum
sedang nilai M menggambarkan jumlah
yang berbeda-beda
(arbitrary).
Sehingga nilai MVBS yang diperoleh dari sa-
tu kapal/sistem pada daerah tertentu langsung dapat dibandingkan dengan nilai MVBS yang dikumpulkan oleh kapal/ sistem lain pada daerah yang berlainan.
Perbandingan
19 serupa antara nilai M dari dua kapal survai yang
berbeda
tidak dapat dipakai, sebab nilai-nilai ini tergantung pada scattering parameter dan juga pada pemilihan pemasangan kontrol. Dengan
bantuan integrat or, SAETERSDAL et al.
(1982),
menghitung MVBS dengan persamaan
= 10 log I - A + VOl - 10 log
Sv dimana I
A
~R + C
1 + C2
- integrator output (mm) - integrator gain (dB)
VOl - tetapan penampilan integrator 6R - selang pencatatan - tetapan echo sounder - tetapan echo sounder sewaktu digunakan (setting) 2.1.5
Pengukuran Kepadatan Relatif dan Kepadatan Mutlak (1)
Pengukuran Kepadatan Relatif
Nilai-nilai pengamatan yang diperoleh echo-integrator (11 , 11 , 113 . 1 2
.
.) sewaktu melakukan survai kepadat an
populasi, merupakan survai kepadat an populasi, yakni pengukuran langsung 1-mil echo-abundance index terhadap volume air yang teradiasi dengan pulsa (insonified), dan kepadat2 an area I"818tif (biomasjmi1 ) antara satuan jarak. Echo-abundance index selain merupakan fungsi kepadatan ikan juga sekaligus sebagai fungsi ketebalan lapisan ikan yang terdapat dalam bat as-bat as kedalaman terintegrasi.
20 (2)
Pengukuran Kepadatan Mutlak
Menurut MIDTTUN and NAKKEN (1977), hasil keluaran echo-integrator pada survai stok ikan secara akustik adalah berbanding langsung dengan kepadatan ikan yang di-
;0 =
amati, yakni
C x M (JOHANNESSON and MITSON, 1983).
Konversi nilai kepadatan relatif dalam milimeter 2 (nilai keluaran integrator) ke kepadatan mutlak (tonjmi1 ) diperoleh melalui perkali an dengan tet apan 'C'.
Tet apan
konversi integrator ini memegang peranan penting dalam transformasi dari kepadatan relatif ke kepadatan mutlak (JOHANNESSON and MITSON, 1983). Dari hasil pendekatan teoritis dan hasil praktis pengukuran suatu percobaan dengan menggunakan dua met ode pengukuran, yakni "standard sphere" dan "hydrophone", VOROBYOV et al.
(1981) merekomendasikan pengukuran tetap-
an C dengan menggunakan standard sphere.
Kemudian STEP-
NOWSKI and BURCZYNSKI (1981) memberikan persamaan untuk menentukan nilai C sebagai berikut: 10 log C
=
10 log 3430 + Sv - TS -10 log
1
kg+ 10 log ~R
M
= TS - 10 log n 1kg
dimana '1'Slkg
Dengan met ode lain, FOOTE, KNUDSEN and VESTNES (1982) menggunakan digital integrator (multi channel computerized integrator) dan kalibrasi tingkat lanjut dengan target standar menduga kepadatan mutlak melalui pengukuran MVBS (JOHANNESSON and MITSON, 1983).
Kepadat an dihitung mela-
lui persamaan dalam bantuk antilog: 10 0 ,1 (S
v
_ TS - 10 log 6R)
21 2.1.6
Penentuan Kepadatan Rata-rata pada Areal Tertentu Penentuan kepadatan ikan rata-rata merupakan kombi-
nasi proses pengukuran dan analisa statistik. Pada GambaI' 7, penentuan kepadatan ikan rata-rata pada daerah A dengan ni1ai pengamatan 11 , 11 , M , 1 2 3 M dan tetapan ka1ibrasi C, menggunakan rumus: n
j=N
=
C
(C
j=l
M.)
J
IN
Menurut JOHANNESSON and MITSON (1983), rumus ini hanya ber1aku jika nilai 11 diperlakukan sebagai variabel acak kontinyu, memenuhi fungsi peluang kepadatan yang dapat didekati dengan sebaran normal.
Jika hal tersebut ben ar,
C merupakan tetapan kalibrasi tal<;: berbias, sehingga hasil dugaan kepadatan rata-rata pun tak berbias.
survai track
Gambar 7.
Survai t:racli: penentuan kepadatan ratarata (Sumber: Johannesson and Mitson, 1983)
22 2.2
Teori Reverberasi Sebagai t amb ah an dari echo target dan ambient noise,
sonar akan menerima sebagian energi yang dipancarkannya sendiri dalam bent uk echo yang tidak dikehendaki.
Energi
kembalian hasil pantulan bebas titik-titik pemantul atau penghambur yang tersebar dalam medium ini dikenal sebagai reverberasi.
Berbagai-bagai ketidakseragaman dalam kolom
dan pada permukaan yang membatasi medium memberikan pengaruh terhadap penghamburan ini (JOHNSEN, 1973; CARUTHERS, 1977) . Teori reverberasi (CARUTHERS, 1977) dibangun dalam dua bentuk:
(1) reverberasi kolom (volume reverberation),
dan (2) reverberasi permukaan (surface reverberation). Reverberasi permukaan secara fisik kemudian dibagi menjadi dua: 2.2.1
permukaan laut dan permukaan dasar laut. Teori Reverberasi Kolom Pada reverberasi kolom, penghamburan suara oleh ke-
tidakseragaman dalam air dapat berkisar antara dua ekstrim: (1) penghamburan Rayleigh, oleh partikel yang jauh lebih keci 1 daripada panjang gelombang,
A,
pancaran.
Pengham-
buran ini tidak tergantung pada bentuk dari penghambur, namun tergantung pada pangkat dua frekuensi,
(2) pemantul-
an geometrik teratur, oleh objek yang lebih besar daripada
A pancaran.
Penghamburan ini tergantung pada "acoustical
properties" individu-individu penghambur dan tidak tergantung pada frekuensi.
23 Berbagai organisme plankton dan ikan-ikan muda berukuran lebih pendek dari
A akustik.
Gelembung gas yang
dihasilkan oleh al,tivitas hidup plankton ini mempunyai kemampuan
memantul (reflectivity) yang lebih besar dari
plankton itu sendiri (YUDANOV and KALIKHMAN, 1982).
Hal
ini sangat mempengaruhi karakteristik akustik dalam perhitungan . Menurut CARUTHERS (1977), untuk menggambarkan reverberasi kolom secara kuanti tatif, diperlukan konsepsi tentang volume scattering coefficient (m ) dan volume scatv
tering strength (s ). v Volume scattering coefficient, m , didefinisikan sev bagai daya (power) per satuan intensitas dan volume penghamburan yang dihamburkan oleh volume kecil (V) dari intensitas gelombang yang mengenai bidang (I), dalam hal p
ini:
m
v
=
scat
LV
(L
-1
), dimana P scat adalah total daya
yang dihamburkan be a'll.
Karena m V mempunyai dimensi area v dan memotong daya I(m V), maka m dapat ditafsirkan sebav v gai "effective cross-sectional area" dari volume penghamburan.
Dengan demikian m
v
dapat pula disebut "backscatter
cross-section" . Volume scattering st!'ength, s , merupakan intensitas v per satuan intensitas yang mengenai target (incident intensity) dan volume penghamburan yang dihamburkan oleh suatu volume kecil dari intensitas gelombang yang mengenai bidang, dan diukur pada satuan jarak dengan arah
(~,~),
24 I
dalam hal ini:
Sv
(-61-,,) = ~~~t (-e-,~)
(L -3), dimana
Iscat (-{T,~) adalah in tensi t as yang dihamburkan dari beam dengan arah (-\r,t) dan diukur pada jarak acuan dari pusat akustik penghambur.
Volume backscattering strength ada-
lah scattering strength berarah backscatter. Total scattering strength dari volume laut teradiasi I
suara adalah:
s~at =
I
svdV.
Biasanya s
v
v
diasumsikan
tetap dalam volume sehingga integral tereduksi menjadi s V. v
Nilai decibel dari total scattering strength adalah I
ekuivalen dengan TS, sehingga:
TS
=
10 log
scat I
= Sv +
10 log V.
Peringkat reverberasi kolom (RL ) adalah peringkat v bidang gelombang sepanjang aksis almstik yang tiba pada transducer (receiver) menghasilkan respon hydrophone yang sa.ma dengan reverberasi. RL v
= SL - 2TL + S v +
insonified volume". 2 iT = r
10 log iT, dimana V adalah "effective
Volume efektif di tentukrul dengan:
4TG
(c 0/2)jb(-\T,t) b l (-e-,~) d.Q, dimana
o
t:.
adalah pulse
duration dan b dan b l masing-masing adalal1 pola beam pancaran dan penerimaan, lihat Gambar 8. 4n;
Nilai
.f b(-lT,~) o
b l (%,~) dD dikenal sebagai "equivalent
solid angle beOL'!1width" (7.lS). "sperical spreading", RL RL
v
=
v
Jika diasumsikan terj adi
dapat dituliskan sebagai :
2 SL - 40 log R + Sv + 10 log R c L. /2 + 10 log
<\5
25
transducer
Gambar 8.
2.2.2
Volume efektif (Sumber: Caruthers, 1977)
Teori Reverberasi Permukaan Reverberasi permukaan adalah reverberasi yang diha-
silkan oleh penghamburan energi akustik dari permukaan ketimbang dari kolom medium.
Permukaan-permukaan yang
dimaksud dalam akustik bahwa air adalah permukaan atas dan permukaan dasar laut. Seperti halnya pada reverberasi kolom, untuk memperoleh gambaran reverberasi permukaan secara kuantitatif perlu pula diketahui beberapa konsepsi dasar.
Surface
scattering coefficient, m , merupakan daya per satuan ins tensitas dan penghamburan daerah permukaan yang dihamburkan oleh permukaan keci 1 (A) dari in tens it as (I) ge lombang P
yang mengenai bidang, dalam hal ini: dimensi) .
ms
Surface scattering strength, s
=
s
scat (tak ber-
LA
, adalah inten-
sitas per intensitas yang mengenai target dan penghamburan
26 daerah permukaan yang dihamburkan oleh daerah kecil dari bidang gelombang yang mengenai target dan diukur pada satuan jarak acuan dengan arah C-e-,t) dalam hal ini
C-e-,~)
Ss
=
IscatC-€)-,t) LA
Peringkat reverberasi permukaan, RL RL
s
adalah:
s
= SL - 2TL + S s + 10 log A, dimana A merupakan dae-
rah reverberasi efektif. Konsepsi daerah reverberasi efektif dapat diterangkan sebagai berilmt:
pada Gambar 9, sudut,,(, dan ~ mewa-
kili sudut-sudut pada ti tik P pada permukaan relatif terhadap posisi transducer CT), dan misalnya hal ini dipilih
fl sehingga
dalam
koinsiden dengan sudut azimuth
seki tar transducer, maka dA Co()
s
f3 = t '
=
RC d:..) c
r, /2
d
dA
T
Gambar 9.
Daerah reverberasi efektif CSumber: Caruthers, 1977)
Pada Gambar 10, -9-merupakan orientasi vertikal dari transducer.
27
p
T
Gambar 10.
--- --- --- ----- aksis akustik
bb'
Orientasi vertikal transducer (Sumber: Caruthers, 1977)
Daerah efektif yang teradiasi pada titik P adalah A(.( ;(T)
=
2n:
R(.( )
cc, /21 b(-"O-,(Pl b' o
(-e-,~) d~
Tidak seperti volume efektif, daerah efektif mempunyai ketergantungan sudut.
Range R (atau sudut.c) tidak
dihubungkan secara geometris dengan sudut -{7- hingga orientasi transducer dikhususkan (lihat Gambar 11).
Gambar 11.
Orientasi khusus transducer (Sumber: Caruthers, 1977)
28 Jika dimisalkan A(
r£ ;Q-) =
RLs
=
0/
R(£) c
211 (~) = jb({t,t) b' (-{t,~) d
6/24
o
(-{t),
r
sehingga
diperoleh nilai RLs
SL - 40 log R + Ss + 10 log (RcE. /2) + 10 log~ (.g.)
~ (-9-) dapat pula dinyatakan sebagai: th (-{t) = [b({t-S,O)b' ({t-Lo)] ~o '1' cos-& dimana ~ adalah sudut ketinggian (elevasi) aksis trans-
-e- < 30 0
ducer dan
~o =~ 2.2.3
(CARUTHERS, 1977) dan
~o
adalah:
21t
(0)
=.Jb(O,~)b'(O,4» o
d<j>
"
Reverberasi yang Termati di Laut (1)
Reverberasi Kolom
Sumber utama reverberasi kolom adalah deep scattering layer (DSL).
Penghambur yang bertanggungjawab terha-
dap reverberasi ini bersifat biologis, namun makhluk yang pasti membentuk DSL belum diidentifikasikan secara pasti. Beberapa studi dengan menggunal{an jaring tarik (towed net), fotografi, peralatan bawah-air, dan echo ranging hanya memberikan satu hasil pasti; meter yang ~0,05
jumlah makhluk per kubik
bert an ggungj awab terhadap DSL kuat adalah
m-3 .
Studi mengemukakan bahwa organisme yang ter-
Ii bat adalah myctophids (l'l.n tern fish), siphonophores, euphausids (makhluk yang menyerupai ud:mg), cumi-cumi dan copepods (CARUTHERS, 1977). (2)
Reverberasi Permukaan Laut
Posisi transducer yang berada dekat permukaan kapal akan memberikan pengaruh lebih besar terhadap reverberasi
29 permukaan laut pada suatu operasi sonar.
Reverberasi da-
ri pantulan dan hamburan sebenarnya yang terjadi pada tempat pertemuan udara dan laut ini sangat penting pada perambatan saluran permukaan (CARUTHERS, 1977). CARUTHERS (1977) menyat akan bahwa penghamburan volume yang disebabkan gelembung-gelembung dekat permukaan terjadi sampai kedalaman satu kaki pada permukaan;
dika-
renakan begitu dekatnya dengan permukaan dan tak dapat dibedakannya dari penghamburan ke permukaan sebenarnya, selain dari interpretasi data terperinci, maka dianggap penghamburan tersebut sebagai
bagian reverberasi permuka-
an.
(3)
Reverberasi Permukaan Dasar Laut
Pada perairan dangkal, penghamburan dari dasar umumnya merupakan penyumbang terkuat.
Besarnya urutan nilai
bagi reverberasi kolom, permukaan, dan dasar pada perairan dangkal masing-masing adalah -80 dB, -40 dB, dan -25 dB (CARUTHERS, 1977). Reverberasi dasar tergantung pada tipe dan kekasaran dasar dan konturnya.
Namun secara umum diyakini bahwa
kontur memberikan pengaruh terbesar.
Hal ini dikuatkan
oleh kealpaan ketergantungan frekuensi kuat bagi frekuensi di bawah 10 kHz.
Penghamburan pada frekuensi di atas
10 kHz menunjukkan semaldn nyatanya pengaruh property dasar laut (CARUTHERS, 1977).
Dasar perairan yang agak ha-
Ius seperti yang terdiri dari pasir, silt dan lumpur
30
menunjukkan peningkatan scattering strength 3 dB per oktaf peningkatan frekuensi, sedang batu dan pasir bercampur batu dan dasar kulit kerang-kerangan nampaknya tidak menunjukkan ketergantungan frekuensi, hingga sekurangkurangnya 60 kHz (CARUTHERS, 1977) •
.----. transducer beam
daerah dimana deteksi dibatasi oleh reverberasi dasar
Gambar 12.
Pendeteksi an dasar laut (Sumber: Tucker, 1967)
Pada Gambar 12, di tunjukkan bagaimana reverberasi dasar membatasi range dari pendeteksian.
Range yang diba-
tasi garis busur putus-putus ke atas dapat mendeteksi ikan yang berada di dalamnya, jika echo cukup kuat dibandingkan dengan noise latar belakang dari laut.
Namun echo yang
berasal dari ikan pada daerah yang diarsir di luar garis busur akan diterima secara bersamaan (simultan) dengan penghamburan dari dasar laut.
Besarnya penghamburan ini
berada lebih tinggi daripada peringkat echo ikan sehingga tidak dapat dideteksi.
3
ELECTRONIC SECTOR SCANNING SONAR (ES ) 3 Scanning Sonar adalah suatu alat deteksi yang dipa-
kai di perairan untuk mengumpull;:an data-data (informasi) tentang objek-objek dan kejadian-kejadian di bawah air dengan jalan memancarkan gelombang suara secara horisontal maupun vertikal dan mengobservasi gem a (echoes) yang kembali (BURCZYNSKI, 1982). Menurut TUCKER and WELSBY (1964), dan MARGETTS (1969), jenis alat ini lebih maju dari peralatan-peralatan deteksi sebelurrmya.
Perkembangan terakhir dari per-
alatan ini adalah dari segi "performance" yakni dengan peningkatan "angular resolution" dan cara penggunaannya sehingga memungkinkan pengukuran ketepatan pendeteksian lebih tinggi dan penentuan lokasi kelompok ikan yang berada sangat dekat dengan dasar perairan. 3.1
Garis Besar Sistem ES
3
Diagram sistem secara skematik ditunjukkan pada Gambar 13.
Transducer penerima panjangnya n kali transducer
pemancar dan dibagi ke dalam n bagian, dimana n adalah jumlah beamwidth (yang diukur antara dua titik dimana daya respon berkurang menjadi setengahnya) yang diharapkan berada dalam scanned sector.
Jika n bagian-bagian ini dihu-
bungkan ke n ruangan yang seragam, dan delay line dibuka maka beam akan dibelokkan tergantung pada sejumlah pergeseran fase (phase-shift) dalam delay line.
32 Jika echo yang diterima dari target dengan bearing relatif terhadap aksis tega};: lurus transducer, maka front gelombang dari pulsa echo terletak paralel pada garis yang diperlihatkan pada Gambar 13.
Echo di terima oleh bagian
transducer pertama sebelum mencapai transducer kedua, demikian selanjutnya sehingga sinyal echo yang diterima kedua (akhir) ditunda dalam fase relatif terhadap sinyal bagian pertama (sebelumnya).
T"mSMITTING
TRANSDUCER _+-_FREQUENCY
LOCAL OSCILLA10R
CHANGER
FREQUCNCY
DELAY LINE
CONTROL
A.G.C.AMPLIFIER
TRANSMITTING O~CILLATOR
AND PULSING
UNIT
C.R.O INTENSITY MODULATION
KANGE TIME-BASE
+
BEARING
Gambar 13.
Skema sistem electronic sector scanning sonar (Sumber: Tucker, 1967)
33 Untuk mendapatkan output puncak pada sudut datang tertentu, maka pada delay line disisipkan phase shift sehingga semua komponen dari output yang dikombinasikan berada pada fase yang sarna. Dalam sistem scanning, peralatan peubah-frekuensi (frequency-changers) disisipkan antara bagian transducer dan delay line.
Osilator lokal yang mensupplai peubah-
frekuensi disapu dalam frekuensi oleh bearing-time-base, sehingga frekuensi sinyal yang di terima oleh delay line beragarn pada kisaran setiap sapuan dari bearing-timebase.
Jika kemudian delay line mempunyai pergeseran fa-
se yang beragam atas kisaran frekuensi dari nilai negatif 1,e nilai positif, beam akan menyapu dari kiri ke kanan pada setiap sapuan dari bearing-time-base.
Bearing-time-
base juga membelokkan titik pada CRT (cathode ray tube) dari kiri ke kanan sehingga sinyal yang diterima pada setiap bearing tertentu di rekarn pada display.
Range-Time-
Base bekerja dengan cara yang biasa, sehingga posisi titik echo pada tabung memberi indikasi posisi objek yang menghasilkan echo pada aksis segi empat panjang dari bearing dan range. 3.2
Cara Kerja ES
3
Pengoperasian scanning sonar dilakukan dengan cara radiasi suara terhadap suatu luasan sektor, misalnya 30 0
,
dengan pulsa yang dipancarkan dari transducer dengan bearn
34
lebar.
Beam penerima dibuat dengan sudut yang sangat
sempit, misalnya 1
0
,
yang secara elektronik dengan cepat
dapat menyapu dari satu sisi ke sisi lain dari sektor (lihat Gambar 14). HARROW RECEIVING SEAM SWEPT IlAPIDlY OVER SECl1lR
&ECTOR ILLUMINATED BY
1
TRANSMln~o PULSE
~--_ _ _ UANSMITTED PULSE TRAVELLING OUT THROUGH THE WATER
-
TRANSPUCERS
RECEIVIN/;
TRAN5MITTINIl
ELEeiRONfCS ,
ELECTRONICS CAiHODE RAY DISPLAY
RANGE
(II - SCAN)
(TIME·SASE SYNCHRONIZED WiTH PULSE TRAVELLING OUT THROU6H WATER)
'--+-
ECHOES
SEARIN(l (TIME·IIASE SYNCHRONIZED
WITH
SW~Er
OF RE.CEIVING
SEAM)
Gambar 14.
Cara kerja ES (Sumber: Welsby, 1964) 3
Tucker and
Proses ini dilakukan berulang-ulang secara berkesinambungan.
Wal;:tu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu sapu-
an sebanding'dengan lamanya (duration) pulsa yang
35 dipancarkan.
Hal ini berarti bahwa dari segala arah yang
berada dalam sektor sudah terambil contohnya (sampled) se be lum pu lsa bergerak (sej auh p anj ang pulsa) me lalui air.
Dengan kata lain, keseluruhan lebar sektor telah
dideteksi secara simultan;
dan pada saat pulsa mencapai
range terjauh, informasi telah terkumpul dari segala penjuru sektor. 3.3
Multiplicative Signal Processing (MSP) Penggun aan MSP sebagi an membawa pengaruh at as ter-
ciptanya resolusi tinggi ES
yang mampu membentuk beam 3 yang sangat sempit dalam hubungannya dengan ukuran transducer. Pada Gambar 15, ditunjukkan dasar sistem pengolahan sinyal.
Deret an transducer penerima dengan panj ang
f ,
dibagi dua, sehingga ruang antara pertengahan dua bagian adalah
£/2.
Setiap bagian dihubungkan secara terpisah
dengan sirkuit elektronik yang akan menghasilkan tegangan output pada waktu yang sesegera mungkin sebanding dengan penjumlahan dua tegangan sekaligus. Bila suatu gelombang sinyal tiba dengan arah sudut '!)- , maka gelombang pada A (Gambar 15) mempunyai fase acuan (dalam hal ini nol), sehingga dapat dituliskan sebagai P cos W t, dimana W frekuensi sudut dan t
adalah waktu.
Jika kita asumsikan besar tekanan akustik P dikonversikan ke besar tegangan V oleh transducer tanpa pergeseran fase selanjutnya, sehingga sinyal gelombang listrik yang bekerja
36 pada multiplier di A adalah V cos
W t.
Pada B, gelombang
yang diterima harus menjalani jarak ekstra CB yang sarna dengan (
e/2
sin.(7-) sehingga gelombang pada B tertunda
dalam fase dengan sudut '(1 E
= n.f / A
sin
-e-.
Akustik si-
nyal pada B adalah P cos (Wt -"it ) dan dalam bentuk siE nyal listrik sebesar V cos (oot - it" E) .
direction of arriving wave
wavefront
L--l[==><~3~=Jr.·;::::~-MULTIPL IER LOW-PASS FILTER OR SMoarHER
• ,-I_~-r"--...J
t
OUTPUT SIGNAL
Garnbar 15.
Sistem multiplicative signal processing (Sumber: Tucker, 1967)
Jika gelombang frekuensi ganda diperhalus (smoothed) dengan cara melewatkan sinyal dari multiplier melalui sirkuit penyaring (biasa dikenal sebagai low-pass filter) seperti yang di terakan pada Garnbar 15, maka yang tersisa adalah semata-mata komponen DC yang merupakan amplitude rata-rata.
Dan jika gelombang sinyal berasal dari ber-
bagai arah, fase sudut
-e- E
akan berbeda.
Tegangan DC
37 (untuk besar gelombang akustik tetap) oleh karenanya beragam sesuai mum
=
-e- E'
0 bila ~E
maksimum
=
=
0,5 bila -Q- E
~/2 radian.
=
0, dan mini-
Variasi-variasi ini mem-
bentuk respon langsung dari sistem multiplicative. Dengan ES , t ahap-tahap pengolahan sinyal secara 3 multiplicative terlihat seperti pada Gambar 16.
n/2 SECTIOUS
nl2 SECTIONS
r-r-y-y----..,-, r-r-r-r---,-. mN6DUCER IN L.,-t...,--'-;-'----'-;-' '-;--'-0'-;--'-----'-;-' n Sf eTION S fREQUENCY CHANGtRS
DELAI LINE
DELAY LINE
OELAY NETWORK
LQw·rA5~
fiLTER
TO AMrUFIERS AND DISPLAY
Gambar 16.
Tahap-tahap pengolahan sinyal secara multiplicative (Sumber: Tucker, 1967)
Komponen delay line (setengah dari panjang yang digunakan pada sistem non multiplicative) digunakan untuk menyapu pola arah (directional pattern) separuh bagian transducer, sedang tambahan fase "delay network" telah berada pada salah satu fase terdahulu dari bagian pola arah ke "multiplier" untuk menyapu multiplicative murni.
38 "Low-Pass-Filter", setelah multiplier, diperlengkapi dengan "cut-off frequency" cukup tinggi untuk meloloskan sinyal pulsa naik dan meluruh dengan cepat dalam memproduksi bentuk pulsa, yang secara normalnya sekurang-kurangnya 20 kali frekuensi tertinggi yang dibutuhkan untuk melewatkan pulsa. Akhir dari pemaruhan beamwidth yang dihasilkan oleh sistem multiplicative ini, mampu meningkatkan resolusi sudut (angular resolution). 3.4
Signal-to-Noise Ratio (SNR) dan Signal-to-Reverberation Ratio (SRR) pada ES
3
Noise biasanya dihubungkan dengan bagian dari latar belakang (background) yang tidak diinginkan terhadap echo sinyal target yang mesti dideteksi, yang kan dari transmisi sonar itu sendiri;
mana timbul bu-
reverberasi ada-
lah hambur-balik umum energi akustik dari pulsa yang dipancarkan.
Signal-to-noise ratio (mengukur kesanggupan
deteksi dari echo sinyal) dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan peringkat daya (power level) pancaran;
na-
mun SRR (biasanya dominan mengukur kesanggupan deteksi beam yang hampir horisontal pada perairan dangkal)
tidal~
dapat ditingkatkan dengan cara ini, karena sinyal dan reverberasi secara bersamaan bergantung pada peringkat daya yang dipancarkan. Pada ES , energi yang dipancarkan disebarkan ke sek3 tor yang luasnya sebesar n kali lebar sudut beam penerima.
39
Sehingga peringkat daya atau intensitas akustik pada sembarang range, hanya lin kali yang akan diterima jika sekiranya daya telah dipusatkan dalarn suatu beamwidth sempi t
sarna dengan beamwidth penerima seperti pada non-
scanning sonar.
Penerimaan peringkat noise tentunya ti-
dak dipengaruhi oleh scanning(setidak-tidalmya pada sistem ideal), sehingga SNR berkurang sebesar 10 log n dB, dinyatakan sebagai ratio daya, berkurang n kali; dalam ratio tegangan sebesar
Vn
kali.
jika
Narnun rate pe-
ngumpulan data (data rate) meningkat dengan ratio n, dan ini bukan saja
merupakan kompensasi teoritis bagi ber-
kurangnya SNR yang dapat disadari terlebih dahulu, juga lebih dapat ditafsirkan. dan digrafikkan pada display. Pada SRR, dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan peringkat daya per beamwidth mempengaruhi sinyal dan reverberasi secara sarna.
Kenyataan bahwa SNR berkurang de-
ngan adanya scanning dapat diartikan bahwa SRR mungkin merupakan faktor dominan pada non-scanning sonar sebab peringkat noise berada di bawah peringkat reverberasi. Peringkat noise dapat melampaui peringkat reverberasi sehingga SRR tidak lagi menjadi fal,tor dominan.
Dalarn ke-
adaan seperti ini, akan bij aksana merancang meningkatkan daya pancar sehingga SRR sekali lagi menjadi dominan.
4
PE1IBAHASAN
4.1
Pengaruh Reverberasi Terhadap Ketepat an Pendeteksian Pada survai akustik, kesalahan dapat timbul disebab-
kan variasi tingkah laku ikan, pola migrasi dan keadaan alamo
Keragaman tingkah laku memberikan pengaruh sangat
nyata pada pendugaan populasi ikan dengan met ode akustik (MITSON, 1982;
KJELL et al., 1982;
VILHJ ALMSSON, 1982).
Walaupun sulit mengumpulkan informasi yang penting tentang tingkah laku ikan, namun OLSEN et al.
(1982) berke-
yakinan bahwa perbaikan pendugaan kelimpahan dengan metode akustik akan sulit terlaksana tanpa bantuan in formasi ini. Sewaktu ikan berada terlalu dekat dengan permukaan, sulit dilakukan deteksi secara akustik (antara lain karena adanya reverberasi).
Sebagian reverberasi ini menu-
tupi sinyal akustik sehingga menyulitkan, kadang tidak memungkinkan penerimaan sinyal. Penutupan sinyal ini terjadi jika besarnya penerimaan sinyal echo lebih kecil daripada peringkat reverberasi pada waktu dan j arak tertentu.
Sinyal reverberasi akan
diterima jika saat tiba reverberasi telah berada di bawah peringkat sinyal echo. Perlu diingat bahwa intensitas sinyal pantulan adalah berbanding langsung dengan daya yang dipancarkan. Namun peningkatan dalam daya akan meningkatkan reverberasi
41 sehingga reverberasi tidak dapat dikurangi dengan peningkatan daya.
Penurunan pemancaran daya akan mengurangi
peringkat reverberasi, konsekuensinya, terjadi pengurangan range dalam mendeteksi kelompok atau individu ikan. Sehingga variasi daya yang dipancarkan tidak dapat mereduksi peringkat reverberasi relatif terhadap sinyal echo ikan . Untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan akibat reverberasi, maka perlu diketahui beberapa parameter fisik yang dapat mengontrol secara tidal, langsung perilaku reverberasi.
Parameter tersebut antara lain:
pulse dura-
tion, {, , yang menentukan seberapa dekat. sistem dengan batas dasar laut agar efektif, dan geometri beam yang mengontrol volume sampel per radiasi (oleh KALIKHMAN and TESLES, (1982) parameter ini dimaksudkan sebagai efektif beam akustik yakni solid angle dan volume yang berada dalam sudut ini). Pada pendeteksian dekat dasar perairan, pengaruh geometri beam dapat digambarkan dengan memperhatikan luas (volume) "dead zone" yang t imbul dari masing-masing beam. Dead zone didefinisikan sebagai
aerah dimana peng-
ambilan contoh dengan met ode akustik tidak dimungkinkan lagi, yakni pada jarak c {, /2 di atas dasar laut (dimana c adalah kecepatan gelombang akustik dan l. adalah pulse duration).
Zone ini diilustrasikan pada Gambar 17.
42
Indefinite Dead Zone (IDZ) Definite Dead Zone (DDZ)
c G/2
Gambar 17.
Dead zone yang terbagi atas dua bagian (Sumber: Mitson, 1982)
Luasnya volume dead zone ini, dengan menganggap beam berbentuk kerucut, dapat dinyatakan sebagai berikut: Volume dead zone = Volume frustrum - Volume cap V frustrum = 1t /3
I( d-c 1:. /2)( 1-cos .fT /2 )+c ~
/2]
[(2d tan ~/2)2+(2(d-C (, /2) tan .1;]-/2)2 + (2d tan f) /2)(2(d-cG /2) tanV/2)] V
cap
= 11:/3 [(d-cG/2)(1-COS1r/2)]2[3(d-C(,/2) (d-c C. /2) (l-cos
-e- /2)]
Dengan mengasumsikan c dan C sarna pada narrow beam dan wide beam, volume dead zone yang ditimbulkan oleh wide beam lebih besar dibanding narrow beam pada luas liputan area yang sarna.
43 Penggunaan wide beam, misalnya 30°, dan narrow beam, 1°, dan pada kedalaman perairan 100 meter, c sebesar 1500 meter/detik, dan
c"
1,0 mdetik, pada luas liputan
area yang sarna akan menghasilkan dead zone masing-masing 3
sebesar 8959,45 m
3
dan 2115,15 m
transducer ~
r
.....
ith ~
r-
~
-IT;'
~ II
z
j.J
...~~
I' Io-
~h Z
/\
1\
/1
d
\\
/
1/~~r--
[lr- - -
-&7z
_vvf\
1--- - --- -- --
C¥2
1\
',:',' ,', :. ",', : " : '.' ... 1,,' ••• ', ~ ::..-:.'" .:. ',.:.:.'," ".". ", "': -: : :',:.: ,": :' ...,' ... ~ : ••••• :,.:"::.,,.::,- ••• ~. ~.: .. : •. : : •• ;.-: .••• :':.
Gambar 18.
A:.
Ilustrasi pendeteksian dengan wide beam dan narrow beam pada area yang sarna
44 4.2
Pengaruh Narrow Beam Terhadap Reverberasi Salah satu pembatas utama dalam pendeteksian kelom-
pok ikan adalah reverberasi.
Efektif target strength
beamwidth yang lebih tinggi ketimbang target strength ikan mampu menghilangkan echo ikan pada daerah dimana ikan dan dasar berada pada selang range yang sarna.
Ke-
mungkinan yang dapat dilakukan adalah penggunaan beam yang demikian sempit, sehingga efektif target strength dasar lebih kecil dari ikan. Reverberasi mungkin saja tidak terdiri dari penjumlahan acak dari echo-echo yang sangat kecil seperti yang berasal dari butir-butir pasir atau kerikil, namun dapat berasal dari satu atau dua echo dominan dari batu besar atau ridge kecil.
Dalam hal ini, pantulan atau hamburan
balik tidak hanya merupakan suatu daerah berbutir-butir terhadap titik tunggal echo-echo ikan melainkan mungkin terdiri dari sejumlah echo titik tunggal dari batu-batu besar yang al,an dapat dibedakan dari echo ikan.
Sehingga
pen ggun aan narrow beam dapat diharapkan berfungsi dengan baik dalam pendeteksian ikan demersal. Pada sistem ES , narrow beam akan berfungsi lebih 3 baik lagi dengan di gun al, ann ya teknik scanning yang sangat cepat tersebut.
Sebab dengan telmik ini pantulan atau
hamburan balik dari permul,aan dasar laut akan ditekan pada peringkat yang sangat rendah.
45
Penggunaan narrow beam selain akan mempertajam atau meningkatkan resolusi, juga akan meningkatkan ratio ikan terhadap latar belakang reverberasi dasar atau permull:aan membentuk latar belakang pada range yang sama.
Latar be-
lakang yang timbul dari volume reverberasi pun berada pada peringkat yang sangat rendah.
5
PEI'.'1JTUP Telah diuraikan dengan cukup terperinci tentang kon-
sep-konsep pendugaan, teori reverberasi, dan ES
3
dengan
narrow beam receivernya, serta pengaruhnya satu sarna lain. Konsep-konsep dasar pendugaan yang berisi persamaan dan met ode-met ode pengukuran sistem akustik perlu diketahui sebelum melakukan survai akustik.
Uraian tentang rever-
berasi menyadarkan kita al,an hal-hal yang perlu menjadi perhatian sewal{tu akan melal{sanal{an survai akustik. ES
3
Dan
menggambarkan apa dan bagaimana peralatan ini mende-
teksi kelompok atau individu ikan. Dari hasil uraian-uraian terse but , penulis berpendapat ada beberapa hal yang patut dikemukakan sebagai al,hir dari penutup tulis.an ini. Bahwa reverberasi akan selalu menjadi faktor pembatas dalam suatu pendeteksian atau pendugaan kelimpahan stok ikan.
Hal ini dikarenakan tidak dimungkinkannya
menghilangkan seluruh pengaruh reverberasi.
Kita hanya
dapat berusaha menguranginya ke peringkat yang lebih rendah seperti penggunaan narrow beam. Electronic sector scanning sonar dengan narrow beamnya, menunjukkan beberapa keunggulan dibanding dengan peralatan deteksi lainnya.
Teknik scanning yang cepat,
beam sempit, dan multiplicative signal processing memungkinkan diperolehnya ket aj aman deteksi (resolusi) tinggi. Selanjutnya dengan kemampuan resolusi tinggi ini akan meningkatkan ketepatan pendugaan.
47 Penggunaan narrow beam akan mereduksi reverberasi ke peringkat yang lebih rendah.
Dengan narrow beam, ra-
tio ikan terhadap ratio latar belakang yang timbul dari volume reverberasi berada pada peringkat yang sangat rendah. Cukup beralasan kiranya untuk bersikap optimis mendapatkan hasil dugaan yang mendekati nilai sebenarnya, jika ES
3
ini dipakai dalam pendugaan stok ikan.
hal ini perlu dibuktikan secara eksperimental.
Namun
DAFT AR PUST AKA AZHAZHA, V. G. and SHISHKOVA, E. V. 1967. Fish lication by hydroacoustic devices. Israel Program for Scien~ tific Translation Ltd. Jerussalem. 114p. 1982. Introduction to the use of sonar BURCZYNSKI, J. estimating fish biomass. FAO fish. Tech. systems for Pap. (191) Rev. 1:89p. CARUTHERS, J. W. 1977. Fundamental of marine acoustics. Elsevier oceanography series: 18. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. CLAY, C. S. and MEDWIN, H. 1977. Acoustical oceanography: principles and application. A Wiley-Inter Science, John Wiley and Son, New York. 366p. CSIRO. 1980. Report 123. p.33. In Castle, M. J. (ed.). Proceeding of the AustralasiMWorkshop on the Use of Underwater Acoustic in Biological Oceanography. Australia Div. Fish. Oceanography. CUSHING, D. 1973. The detection of fish. Pergamon Press, Oxford. 1979. Fisheries resources of the sea and their management. ELBS edition 1st published, Oxford University Press, Oxford. GRIFFTHS, W. R., et al. (ed.). 1973. Signal processing. Proceeding o~A~ATO advance study institute on signal processing with particular reference to underwater acoustic. Academic Press. JOHANNESSON, K. A. and MEDWIN, H. 1983. Fisheries acoustic. A practical manual for aquatic biomass estimation. FAO Fish. Tech. Pap. (240) :249p. KJELL, O. et al. 1982. Observed fish reaction to a surveying vessel with special reference to herring, cod, and capelin and polar cod. p.131-138. In NAKKEN, O. and VENEMA, S. C., (ed). Symposium on fisheries acoustic. Selected papers of the ICES/FAO Symposium on fisheries acoustic. LAO, T. R. 1983. Sonar: An overview of application. p. 18-19. Fisheries Today, vol. V no 1 June 1983. A new digest published by the fisheries Industries Development Council, Ministry of Natural Resources, Philippine.
49. MARGETT, A. R. 1972. Sector scanning sonar used for observing deep-sea trawling. p.137-140. In KRISTJONSON (ed). Fishing Gear of the World 3. Fishing News (Books) Ltd. London. 11ATHISEN, O. A., et al. 1982. Hydroacoustic indices as input to dynamiC-management system of fish stock. p.223-231. In NAKKEN, O. and VENEMA, S. C. (ed). Symposium on~isheries acoustic. Selected papers of the ICES/FAO Symposium on fisheries acoustic. MITSON, R. B. 1982. Acoustic detection and estimation of fish near the sea-bed and surface. p.27-34. In NAKKEN, O. and VENEMA, S. C. (ed). Symposium on fisheries acoustic. Selected papers of the ICES/FAO Symposium of fisheries acoustic. NARROWI. 1981. Suatu studi tentang pengkajian stok ikan dan penyebarannya dengan menggunakan echo-integrator (kasus perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi). Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (t idak dipublikasikan) NISHIMURA, et al. 1967. Development of echo counting for estimating fish stock in Japan. p.99-103. In KRISTJONSON (ed). Fishing Gear of the World 3. Fishing News (Books) Ltd. London. PASARIBU, B. P. 1982. Study on the acoustic target strength of fish model. Dissertation, Graduate School of Marine Science and Technology, Tokio University, Japan. SAETERSDAL, G. et al. 1982. Some observation of frequency dependent backscattering strength. p.150-156. In NAKKEN, O. and VENEMA, S. C. (ed). Symposium on fisheries acoustic. Selected papers of the ICES/FAO Symposium on fisheries acoustic.
sumAD.
1968. Measuring target strength and backscattering strength. SIMRAD Bulletin no. 5. Simonsen & Mustad A. S. Norway.
STEPNOWSKI, A. and BURCZYNSKI, J. 1981. The analysis of the calibration constant in the hydroacoustic system of fish abundance estimation. In SUOMALA, J. B. (ed). Meeting on hydroacoustical methods for the estimation of marine fish population I I: contributed papers, discussion and comment. The Charles St ark Draper Lab. Inc., Cambirdge, Mass. USA.
50 TUCKER, G. D. 1967. Sonar in fisheries a forward lock. Fishing News (Books) Ltd. London. 136p. TUCKER, G. D. and WE LSBY , V. G. 1964. Sector scanning sonar for fisheries purpose. p.367-370. In KRISTJONSON (ed). Fishing Gear of the World 2-.- Fishing News (Books) Ltd., London. SUHENDAR, I. S. 1983. Suatu studi tentang aplikasi echointegrator dalam eksplorasi dan estimasi stok ikan di perairan Kepulauan Anambas dan Kepulauan NatunaLaut Cina Selatan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogar, Bogor. (tidal, dipublikasikan). SUOMALA, J. B. and LOZOW, J. B. 1981. Hydroacoustics in fisheries biomass estimation. p. 9-22. In SU01IALA, J. B. (ed). Meeting on hydroacoustical methods for the estimation of marine fish population II: constributed papers, discussion and comment. The Charles Stark Draper Lab., Inc. Cambridge, Mass. USA. 1982. Acoustic abundance estimation of VILHJALMSSON, H. the Icelandic stock of capelin 1978-1982. p.208-216. In NAKKEN, O. and VENEMA, S. C. (ed). Symposium on fisheries acoustic. Selected papers of the ICES/FAO Symposium on fisheries acoustic. VILLANUVEA, R. 1966. The Peruvian eureka programme of rapid acoustic survey. p. 20-25. In KRIST JONSON (ed). Fishing Gear of the World 3. Fishing News (Books) Ltd. London. VINCENTIUS, P. S. 1980. Suatu pendugaan stok ikan pelagis di perairan Jawa Barat bagian selatan dan di perairan Selat Bali. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogar. (tidak dipublikasikan). VOROBYOV, et al. 1981. Calibration of hydroacoustic fish searchinginstrument. Determination of the constant Co. In SUOMALA, J. B. (ed). Meeting on hydroacoustical-methods for the estimation of marine fish population II: contributed papers, discussion and comment. The Ch~r13s Stark Draper Lab., Inc., Cambridge, Mass. USA. YUDANOV, K. I. and KALIKHMAN, I. L. 1982. Sound scattering by marine animal. In SUOMALA, J. B. (ed). Meeting on hydroacoustical .methods for the estimation of marine fish population II: contributed papers, discussion and comment. The Charles Stark Draper Lab. , Inc., Cambridge, Mass., USA.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palopo (Sulawesi Selatan), pada tanggal 10 April 1961 dari ayah bernama A. Muis Ismail dan ibu Sinar. Di kota Ujungpandang penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Selwlah Dasar Negeri 23 pada tahun 1972, Sekolah Menengah Pertama Negeri I pada tahun 1975, dan Sekolah Menengah At as Negeri II pada t ahun 1979. Pada tahun 1979 - 1980 atas beasiswa AFS International Intercultural Programs, penulis mengikuti "student exchange programme" ke Amerika Serikat. Penulis mulai belajar di Institut Pertanian Bogor tahun 1980 dan kemudian memilih Falmltas Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Penulis dinyatakan
lulus dari Fakultas Perikanan IPB dalam sidang ujian tanggal 24 September 1984.
LAMPIRAN
53
Lampiran 1.
Daftar Istilah
- absorption loss: hilangnya daya gelombang akustik akibat pengaruh temperatur dan frekuensi (Satuan: dB). - acoustic equation (persamaan akustik): persamaan yang dapat menggambarkan penampilan dari suatu sistem akustik (sistem sonar). - ambient noise: suara-suara yang ditimbulkan oleh gelombang laut dan hewan-hewan akuatik. - amplifier:
alat yang meningkatkan ukuran (besar) sinyal.
- amplitude:
ulmran (besarnya) sinyal.
- angular resolution: besarnya sudut yang memisahkan antara dua target (satuan: deraj at). - attenuation: reduksi daya akustik yang disebabkan oleh sperical spreading dan absorpsi gelombang (satuan: dB /km). - backscattering (penghamburbalikkan): besarnya daya akustik yang dihamburkan (scattered) oleh target ke arah transducer pemancar. - backscattering layer: lapisan biomass yang menghamburbalikkan daya akust ik. - beam pattern: pola dua dimensi yang menggambarkan respon dari beam. - beam width: j arak yang melintasi beam akustik pada range (jarak) tertentu. directional pattern: diagram pengkonsentrasian daya transducer dalam beam angle dan relatif amplitude lobes. - directivity index: pengkonsentrasian daya transducer yang berhubungan dengan dimensi dan panjang gelombang akustik. - dead zone: daerah dimana pengambilan contoh dengan metode akustik tidak dimungkinkan lagi. - echo:
gelombang akustik yang dipantulkan dari target.
54
- echo integrator: unit yang mengolah dan menambah intensitas akustik dari selang kedalaman terpilih. - equivalent beam angle: seluruh sudut yang berada dalam beam 'ide aI', dihi tung berdasarkan karakteristik transducer sebenarnya. - gain:
besarnya ukuran sinyal yang dinaikkan.
- geometrical spreading: peningkatan sayatan melintang beam akustik yang sebanding dengan pangkat dua j arale. hydrophone: alat untuk menerima gelombang akustik dan kemudian mengkonversikannya ke dalam bentuk sinyal listrik. - isotropic:
tidal, mempunyai properties arah.
- narrow beam:
full angle yang lebih kecil dari 100
- noise level: besarnya dB dimana noise berada di atas atau di bawah acuan tertentu. - pulse duration: selang waletu selama transducer melal,ukan vibrasi pada setiap pulsa. - pulse length: air.
jaral, perambatan (ketebalan) pulsa dalam
- reverberasi: jumlah dari seluruh energi alwstik yang dihamburkan (scattered). - sonar: singkatan dari sound navigating and rangj_ng, biasanya diperuntukkan bagi beam dengan-arah yang horisontal. - standar target: target yang telah diketahui target strengthnya, digunakan untuk kalibrasi sistem akustik. - time base: acuan waktu terhadap sinyal pada kertas pencatat atau oscilloscope. transducer: alat untuk mengkonversil,an energi akustik ke dalam energi listrik dan sebalilmya. - transmitter: unit yang menghasilkan daya listrik pada frekuensi yang diinginkan.
55
, - transmission loss: metric loss.
jumlah absorption loss dan geo-
time-varied-gain: gain yang dikontrol secara cermat relatif terhadap waktu setelah transmisi, biasanya untuk mengoreksi transmission loss.
56
Lampiran 2.
Alat-alat akustik yang terdapat pada KM TENGGIRI
Gambar 19.
JFS-688 Scanning Sonar
Spesi fikasi JFS-688 Scannin g Son ar: 1. Operating frequency: 88 kHz 2. Search range; four range o to 100 m (0 to 175 m) o to 200 m (0 to 350 m) o to 400 m (0 to 700 m) o to 800 m (0 to 1400 m) 3. Tilt angle: variable continuously from 0 to 90 0 4. Scan range: horizontal 360 0 full scan (180 0 per scan) vertical 0 to 90 0 5. Pulse width: variable continuously 6. Picture of echo: Display on PPI - 10 inch 7. Audio output: 5 11' 8. Transducer: covered with dome of 286 mm in dia.
57
Gambar 20.
JFS Scanning Sonar Display (PPI)
Gambar 21.
JFS-688 Scanning Sonar Recorder
58
~
~_ _ _ _~_ _~_ _ _ _~v , Gambar 22.
Gambar 23.
Echo Sounder (freq: 50 kHz dan 200 kHz)
SlllRAD Colour Display CF-100
59
':,7f1j
• .~
•
.' ... ~I
¢'~I I
t';'
°1.i
o
,-"",-,-:..1.":1) -,:...1
Gambar 24.
Gambar 25.
SIMRAD Echo Integrator QM-MK II
SIMRAD EK 400 Computerized Integrator