Pembalakan dengan Dampak Dikurangi (Reduced Impact Logging) di Kalimantan Timur: Sebuah Cara untuk Melestarikan Hutan dan Keuntungan Metode pembalakan dengan dampak dikurangi dapat mengurangi emisi CO 2e hingga 34 juta ton pada tahun 2030
Prioritas pengurangan emisi Program prioritas Kalimantan Timur untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) antara lain peningkatan penggunaan lahan nonhutan untuk kepentingan ekonomi, implementasi praktik pembalakan dengan dampak dikurangi / reduced impact logging (RIL), dan konservasi dan rehabilitasi lahan gambut yang kaya kandungan karbon. DDPI telah melakukan analisis awal yang mengidentifikasi adanya 2,6 juta hektare lahan terdegradasi yang dapat digunakan untuk budi daya pertanian, termasuk kelapa sawit. Pengurangan emisi yang dihasilkan bervariasi mulai dari 3 hingga 40 juta ton per tahun pada tahun 2030, bergantung pada seberapa ekstensif lahan ini digunakan untuk menggantikan laju deforestasi yang telah direncanakan. RIL merupakan elemen penting dalam strategi Kalimantan Timur guna memastikan pengelolaan konsesi penebangan yang ekstensif secara lebih terkontrol dan berkelanjutan. Pelaksanaan praktik RIL yang ketat dapat mengurangi emisi hingga 34 juta ton pada tahun 2030. Analisis yang dilakukan oleh DDPI juga menyoroti tiga pendekatan yang saling terkait untuk mengurangi emisi dari lahan gambut: pembelian izin-izin penggunaan lahan gambut dalam yang ada saat ini; pelestarian lahan gambut yang tidak terganggu; dan rehabilitasi lahan gambut yang telah terdegradasi. Langkah-langkah ini secara bersamaan dapat mengurangi emisi tahunan CO2 e hingga 18 juta ton pada tahun 2030.
Pembangunan berkelanjutan Kalimantan Timur, salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman ekologis tinggi, selama beberapa tahun terakhir telah bekerja secara aktif untuk mencapai pertumbuhan hijau (green growth). Gubernur Dr. Awang Faroek Ishak bercita-cita untuk menciptakan masa depan Kalimantan Timur yang terus menghasilkan kemakmuran ekonomi sekaligus melestarikan kekayaan lingkungan hidup dan mengurangi emisi karbon. Beberapa tonggak pencapaian penting antara lain pembentukan Kaltim Green pada tahun 2009, sebuah kelompok kerja tingkat provinsi yang menangani isu-isu lingkungan, yang diikuti dengan pendirian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Timur pada bulan Februari 2011. Lembaga ini menyediakan kerangka bagi aspirasi provinsi menuju green growth, dan didukung oleh penasihat teknis independen untuk perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Ketua Umum DDPI adalah Gubernur Awang Faroek, sedangkan Profesor Daddy Ruhiyat adalah Direktur Eksekutif DDPI. Bersama dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Kalimantan Timur telah menyusun sebuah strategi pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Strategi ini menggabungkan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan dan pelestarian lingkungan melalui pengelolaan lahan yang efisien dan industri-industri yang rendah karbon. Strategi Permbangunan Kalimantan Timur yang Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan yang dipublikasikan pada Oktober 2010, merupakan langkah maju yang penting untuk mengubah pembangunan provinsi di masa depan. Sebagai dasar kebijakan provinsi yang disetujui oleh Gubernur Awang pada bulan Mei 2011, strategi ini mengkaji emisi yang dihasilkan dalam skenario kondisi biasa (business-as-usual) di tingkat provinsi, dan mengidentifikasi 20 cara untuk mengurangi emisi dan mencapai pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Dokumen mengenai pembalakan dengan dampak dikurangi (RIL) berikut ini adalah salah satu dari rangkaian brosur yang diterbitkan oleh DDPI untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik mengenai isu-isu green growth di Kalimantan Timur.
Emisi sektor kehutanan dapat dikurangi Sektor kehutanan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 45 MtCO2e pada tahun 2005. Degradasi yang disebabkan oleh pembalakan hutan adalah salah satu kontributor terbesar dari volume emisi tersebut.
penegakan aturan ini tidak berjalan secara merata. Seluruh konsesi pembalakan di Kalimantan Timur, kecuali dua konsesi, menerapkan praktik pembalakan dengan dampak dikurangi yang masih sangat jauh dari standar praktik terbaik internasional.
Provinsi Kalimantan Timur memiliki area seluas 19,7 juta hektare, dimana 12,8 juta hektare dari luas tersebut merupakan hutan alami. Konsesi pembalakan, yang disebut dengan Hak Penguasaan Hutan atau HPH, telah diberikan untuk area seluas 6.146.320 hektare. Pada tahun 2009, volume pembalakan tahunan mencapai 1.694.215 meter kubik.
RIL dapat mengurangi kerusakan lingkungan (collateral damage) yang disebabkan pembalakan, tetapi RIL membutuhkan perencanaan awal yang lebih baik, praktik pembalakan yang lebih hati-hati, dan reboisasi pasca panen yang lebih baik.
Kegiatan pengelolaan hutan dan pembalakan di Indonesia diatur dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pengaturan ini memberikan sanksi kepada yang melanggar, tetapi
Hasil akhirnya adalah jumlah biomassa yang hilang melalui pembalakan biasa dapat dikurangi hingga 30%. Jika seluruh konsesi pembalakan di provinsi menerapkan praktik RIL, maka emisi CO2 e Kalimantan Timur dapat berkurang hingga 10% pada tahun 2030.
Pembalakan dengan dampak dikurangi tidak menurunkan pendapatan Banyak perusahaan operator pembalakan memiliki persepsi yang salah mengenai RIL, yaitu mengartikan RIL sebagai pembalakan dengan pendapatan yang dikurangi (reduced income logging). Para operator tidak sepenuhnya memahami manfaat yang dihasilkan RIL: efisiensi yang lebih baik dalam operasi, penghematan biaya, dan limbah yang lebih sedikit dan secara keseluruhan akan menghasilkan pendapatan yang lebih
tinggi dan biaya yang lebih rendah. Dengan dukungan dan edukasi yang memadai, para operator dapat mengubah praktik yang mereka jalankan, dan secara substansial mengurangi emisi. Para operator juga dapat memperoleh keuntungan, karena meskipun biaya awal untuk pembalakan yang berkelanjutan lebih tinggi, namun pendapatan jangka panjang yang diperoleh juga lebih tinggi.
Melalui penerapan yang tepat, RIL dapat menghasilkan manfaat dan hasil yang signifikan terhadap karbon bersih yang hilang Manfaat RIL bagi lingkungan
▪ 41% lebih
sedikit kerusakan terhadap sisa
tegakan
▪ 50% lebih
Karbon netral bersih Karbon hilang melalui kegiatan penebangan di HPH t-karbon per ha
sedikit area yang tertutup oleh
jalur penyaradan
205
▪ 40% lebih
sedikit area yang rusak oleh konstruksi jalan
▪ 50% lebih
205
105 22
21 142
83
42
42
sedikit kerusakan pada keseluruhan
lokasi
▪ 33% lebih ▪ 33% lebih
sedikit pembukaan kanopi sedikit volume kayu yang hilang Kepadatan karbon ratarata di konsesi
Karbon hilang melalui pembalakan konvensional
SUMBER: Killmann et al. 2001; Putz et al. 2010; Stanley et al 2009; Putz 2008; Lasco et al 2006
Pertumbuhan kembali saat siklus regenerasi
Stok karbon pasca penebangan (pembalakan konvensional)
Karbon hilang yang terhindarkan melalui RIL
Pertum- Kepabuhan datan kembali karbon setelah rata-rata RIL setelah 30 tahun (RIL)
Praktik pembalakan konvensional tidak efisien Fokus pembalakan konvensional telah lama ditujukan pada seberapa banyak kayu yang dapat diekstrak dengan cara yang tercepat dan termurah. Akan tetapi, seringkali praktik tersebut menghasilkan limbah dan kerusakan lingkungan. Limbah dihasilkan sebelum dan selama berlangsungnya panen, yaitu ketika tunggul tidak dipotong cukup rendah hingga mendekati tanah, dan tidak memadainya jalan hingga memaksa pemakaian traktor untuk membuka jalan melalui hutan, atau kurangnya kepedulian yang menyebabkan penempatan kayu gelondongan (logs) menjadi tidak teratur. Dalam pembalakan konvensional hanya sedikit perhatian yang diberikan untuk inisiatif pembaruan atau penanaman kembali hutan setelah kegiatan panen. Selama berlangsungnya proses, hanya ada sedikit kesadaran tentang bagaimana praktik pembalakan yang lebih hati-hati akan memberikan keuntungan bagi para operator dan lingkungan. Secara keseluruhan, pembalakan konvensional dapat menyebabkan hilangnya biomassa hingga empat kali lipat dari target tebangan komersial yang sebenarnya disebabkan kerusakan lingkungan yang tidak perlu terjadi. Manfaat dari pembalakan dengan dampak dikurangi adalah kemampuan untuk mencegah dihasilkannya limbah.
RIL – panduan 7-langkah 1. Membuat inventori lahan dan memetakan pohonpohon yang akan ditebang secara individu. 2. Merencanakan dan membangun jalan, jalur penyaradan, dan tempat pendaratan untuk mengakses area panen dengan cara yang akan memperkecil gangguan terhadap tanah dan melindungi aliran air. 3. Menerapkan teknik penebangan dan penggergajian yang tepat: memotong liana dan tumbuhan pemanjat lainnya yang menghubungkan tajuk pohon satu dengan lainnya, menetapkan arah rebah tebangan, memotong tunggul pohon sedekat mungkin dengan permukaan tanah, memotong batang pohon ke dalam ukuran-ukuran tertentu (logs) untuk memaksimalkan kegunaannya. 4. Menderek kayu gelondongan ke jalur penyaradan yang telah disiapkan, dan memastikan bahwa mesin penyaradan selalu berada di jalur penyaradan. 5. Menyimpan kayu gelondongan dengan cara menangguhkan kayu tersebut di tempat penyimpanan untuk melindungi tanah dan sisa vegetasi. 6. Menganalisis setiap panen sehingga para pembalak dan pemilik dapat mengetahui cara untuk meningkatkan praktik yang dijalankan. 7. Memperbarui, menanam kembali, dan regenerasi hutan untuk memaksimalkan pertumbuhan dan kekuatan hutan di masa depan.
RIL dapat menghasilkan pendapatan bersih yang lebih tinggi RIL melibatkan berbagai inisiatif spesifik dalam kegiatan perencanaan, pemanenan, dan pasca panen yang tidak dilakukan dalam pembalakan konvensional. Kegiatan-kegiatan tambahan ini meningkatkan biaya operasional dari operasi pembalakan, yang membuat RIL secara ekonomis tidak menarik dibandingkan pembalakan konvensional. Sebagai contoh, kegiatan pra-pemanenan yang ekstensif, antara lain pemetaan pohon-pohon yang akan ditebang secara individu dan perencanaan jalan, serta pengenalan mengenai teknikteknik pemanenan baru, membutuhkan investasi dalam hal pelatihan, modal, dan pengawasan. Semua hal ini menjadi tambahan untuk biaya awal. Meskipun demikian, net present value (NPV) dari pendapatan jangka panjang yang diterima melalui pembalakan dengan dampak dikurangi juga lebih tinggi. Hasil akhir yang tinggi dapat dicapai, karena RIL menghasilkan lebih sedikit kerusakan pada tegakan hutan (standing forest) yang masih tersisa. Pertumbuhan ulang biomassa yang lebih tinggi dan volume kayu yang lebih besar akan dihasilkan pada rotasi kedua, karena akan ada lebih banyak pohon yang masih dibiarkan tumbuh. Selain itu, penggergajian yang lebih akurat ketika menebang, akan mengurangi limbah dari pohon yang ditebang dan mengurangi banyaknya limbah pembalakan yang tertinggal di hutan, yang akhirnya menghasilkan pendapatan lebih tinggi untuk tiap pohon yang ditebang. Efisiensi lebih tinggi melalui perencanaan yang lebih baik akan berujung pada tingkat kerusakan mesin (downtime), biaya pemeliharaan, bahkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah.
Dalam jangka waktu 40 tahun, pembalakan dengan dampak dikurangi menghasilkan net present value per hektare yang lebih tinggi dibandingkan pembalakan konvensional
STUDI KASUS: MALAYSIA
Meskipun biaya pemanenan RIL lebih tinggi dibandingkan pembalakan konvensional, namun NPV yang dihasilkan RIL juga lebih tinggi, karena: ▪ Kerusakan lebih sedikit pada sisa tegakan yang dapat meningkatkan hasil di masa depan ▪ Limbah langsung yang lebih sedikit – Kayu ▪ Limbah tidak langsung yang lebih sedikit – Tenaga kerja – Mesin
Biaya pemanenan1 RM/m3
NPV sistem pemanenan2 RM/ha 737
267
584 170
Pembalakan konvensional
RIL
1 Dalam jangka waktu 1 tahun 2 Dalam jangka waktu 40 tahun SUMBER: Samad et al, 2009
Pembalakan konvensional
RIL
Kalimantan Timur dapat menerapkan RIL Melalui upaya bersama dari semua pihak yang terlibat, Kalimantan Timur dapat mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menerapkan RIL dan melestarikan keberadaan sekunder secara lebih baik. Di dalam kerangka hukum yang ada saat ini, banyak manfaat yang dapat diperoleh melalui penegakan dan pengetatan peraturan yang ada. Penyerahan rencana RIL sebagai syarat untuk memperoleh izin konsesi pembalakan dapat menjadi pertimbangan. Keahlian dan pengetahuan yang spesifik tentang RIL masih sangat kurang di Kalimantan Timur - hal ini mungkin merupakan salah satu hambatan yang paling mudah diatasi.
Penegakan peraturan yang lebih baik Penegakan peraturan yang tidak menyeluruh dan adil untuk perlindungan hutan merupakan isu klasik dalam sektor kehutanan Indonesia. Satu hambatan adalah duplikasi peraturan di tingkat kabupaten dan provinsi, yang menyebabkan ketidakjelasan batasan tanggung jawab. Untuk mengatasi hal ini pihak berwenang di tingkat provinsi dapat melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap peraturan-peraturan tersebut dan menghapuskan upaya sama yang dilakukan di tingkat kabupaten. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah melalui percontohan (pilot) di sebuah wilayah tertentu dimana penegakan peraturan sangat buruk. Saat ini DDPI bersama dengan lembaga-lembaga lain (misalnya dinas kehutanan provinsi) berupaya untuk membentuk satgas kecil tingkat provinsi, yang akan bekerja untuk mempersiapkan, melatih, dan mendukung para pejabat Dinas Kehutanan dalam mengawasi operasi konsesi penebangan hutan.
Penegakan penalti/hukuman Pembalakan liar (illegal logging), baik dalam bentuk pembalakan di lahan nonkonsesi maupun pembalakan berlebih (over-logging), merupakan penghambat utama bagi para operator legal untuk mengadopsi RIL. Praktik-praktik tidak bertanggung jawab ini dapat menekan harga pasar karena biaya operasinya yang lebih rendah. Selain itu, operator RIL bersusah payah menjaga konsesinya hanya untuk melihat bahwa hasil kerjanya dieksploitasi oleh para pembalak liar. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Kalimantan Timur berkomitmen untuk memperkuat upaya penegakan hukum terhadap para pembalak liar. Sebuah bukti nyata dari hasil penegakan peraturan yang dipublikasikan secara luas dapat memberikan sinyal terhadap komitmen dan tujuan provinsi Kalimantan Timur untuk menegakkan supremasi hukum.
Promosi rencana pemanenan yang berkelanjutan Perubahan kebijakan pada tingkat provinsi sedang dipertimbangkan untuk memastikan bahwa para operator menyusun dan mengajukan rencana RIL guna menerapkan praktik pemanenan yang berkelanjutan sebelum diberikan izin penebangan. Namun, ada maupun tidak peraturan baru, pemohon izin konsesi dapat didorong untuk turut menyertakan rencana RIL. Dukungan dari pusat dan provinsi dapat diberikan melalui penilaian dan persetujuan atau penolakan terhadap rencana implementasi RIL tersebut.
Bantuan adopsi RIL Sejumlah operator telah menyampaikan kesediaan untuk mengadopsi RIL apabila kebutuhan biaya tambahan dapat dibiayai dan para pekerja mendapatkan pelatihan yang memadai. Dana untuk membiayai biaya sewa atau pembelian peralatan khusus dapat membantu para operator yang mau mengadopsi praktik RIL. Revisi peraturan dapat dilakukan dengan cara memberikan penghentian pajak sementara (tax break) atau tambahan lahan hutan konsesi bagi para operator pembalakan yang menerapkan praktik RIL pada konsesi-konsesi lainnya. Pembentukan sebuah organisasi untuk melatih para pekerja tentang teknik-teknik RIL dapat membantu para operator dalam mengatasi kelangkaan pengalaman RIL di seluruh wilayah Indonesia. Penasihat teknis independen telah memberikan pelatihan dan bantuan tentang RIL, namun kapasitas mereka dalam menjalankan operasi dibatasi oleh ketergantungan pada pendanaan eksternal. Para operator RIL seringkali merasa keberatan untuk membayar biaya pelatihan karena pemahaman yang salah bahwa RIL memerlukan biaya tinggi. Siklus permasalahan ini menyulitkan pengadopsian RIL pada skala yang lebih luas. Biaya yang dibutuhkan untuk mendorong para operator mengadopsi praktik RIL dapat ditanggung oleh seluruh operator dengan cara menuntut retribusi dari semua konsesi pembalakan yang beroperasi di Kalimantan Timur, dan mengembangkan mekanisme pencairan dana disertai prosedur pemeriksaan dan pengawasan yang jelas untuk mencegah penyalahgunaannya.
Dibutuhkan upaya yang melibatkan banyak pemangku kepentingan Meskipun RIL merupakan cara menghemat biaya dalam pemanenan secara berkelanjutan, tetapi masih banyak tantangan yang harus diatasi agar dapat diterapkan secara luas di Kalimantan Timur. Untuk mengatasi tantangantantangan tersebut, seluruh pemangku kepentingan harus ikut berpartisipasi. Berikut ini beberapa pelaku kunci yang mempunyai dampak sangat besar: Pemerintah Kalimantan Timur – dapat memastikan bahwa kebijakan dan peraturan ditegakkan dan diterapkan dengan benar; pemerintah dapat juga mempertimbangkan perbaikan dan perubahan kebijakan. Masyarakat sipil – dapat memberikan masukan mengenai peraturan, dan umpan balik mengenai dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi dari proyek percontohan RIL. Organisasi-organisasi lingkungan ternama, seperti World Wildlife Fund for Nature atau The Nature
Conservancy, dapat membantu untuk memimpin proyek percontohan (pilot project), dan memberikan saran, keahlian, serta pelatihan teknis untuk implementasi. Pemegang konsesi hutan – dapat mengadopsi RIL melalui proyek percontohan dan perlahan membangun keyakinan dan pemahaman tentang manfaat ekonomi dan lingkungan yang dihasilkan RIL. Semakin banyak pemegang konsesi yang mengadopsi RIL, maka mereka bisa menjadi kelompok pendukung yang dapat mempromosikan adopsi RIL lebih jauh lagi. Dengan dukungan dari para pemangku kepentingan, Kalimantan Timur dapat sepenuhnya mengadopsi RIL dan mengubah praktik-praktik menuju kehutanan yang berkelanjutan. Implementasi langkah-langkah tersebut dapat mengurangi emisi CO e 2 hingga 34 juta ton pada tahun 2030.
Map Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Timur didirikan pada bulan Februari 2011 dengan tujuan:
fo r b ack
• Merumuskan strategi tingkat provinsi terkait pengurangan emisi dan mitigasi perubahan iklim
page
• Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dalam bidang adaptasi, mitigasi, dan adopsi teknologi • Merancang strategi provinsi Kalimantan Timur untuk mengakses pasar perdagangan karbon • Mengawasi, melaporkan, dan memverifikasi seluruh kegiatan dan peraturan terkait perubahan iklim • Memastikan bahwa seluruh kabupaten mengadopsi strategi pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan
Luas lahan: 19,7 juta hektare
Populasi: 3.550.600
Hutan alam: 12,8 juta hektare
PDB (2010): Rp 320 triliun
Konsesi hutan:
PDB per kapita: Rp 90 juta
Konsesi pembalakan (HPH): 6.146.320 hektare Volume pembalakan per tahun: 1.694.215 meter kubik Diterbitkan oleh DDPI, November 2011