REDESAIN WISMA FAJAR SENAYAN UNTUK FUNGSI WISMA ATLET YANG MENDUKUNG PEMULIHAN KELELAHAN Ferina Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Indonesia
Abstrak Atlet dituntut untuk selalu memiliki kondisi tubuh yang prima, terutama pada musim pertandingan untuk mencapai hasil yang optimal. Adakalanya, kondisi fisik atlet terganggu oleh kelelahan yang dapat ditimbulkan oleh beban fisik dan mental dari latihan dan pertandingan, kondisi lingkungan yang tidak mendukung, kurangnya istirahat, tidak terpenuhinya sumber energi, dsb. Kelelahan ini sudah harus dapat pulih dalam waktu 24 jam agar tidak mengganggu aktivitas atlet, khususnya ketika menghadapi pertandingan. Pemulihan kelelahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan kegiatan istirahat, pemulihan pasif dan aktif, serta pengisian sumber energi yang diperlukan tubuh. Penanggulangan kelelahan tidak hanya dapat diupayakan dengan kegiatan pemulihan, tetapi juga dapat dicapai dengan menghindari penyebab kelelahan tersebut. Hal ini dapat ditunjang dengan rancangan permukiman atlet yang menerapkan prinsip-prinsip ergonomi. Fokus utama dalam prinsip ergonomi ini adalah setiap rancangan selalu mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan manusia, sehingga tercipta
kenyamanan dan dapat terhindar dari beban lelah tambahan. Wisma Fajar Senayan yang saat ini sering digunakan untuk hunian atlet, dirasakan tidak nyaman oleh para atlet yang pernah menempatinya, perasaan tidak nyaman ini terkadang memberikan pengaruh negatif pada kegiatan istirahat mereka, khususnya tidur. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi Wisma Fajar kurang cocok untuk hunian atlet, khususnya untuk mendukung terjadinya pemulihan kelelahan atlet. Untuk itu, dibutuhkan adanya redesain Wisma Fajar yang dapat menjawab kebutuhan atlet akan hunian dan pemulihan kelelahan, sehingga atlet dapat selalu tampil optimal.
Katakunci : Redesain, Wisma atlet, Pemulihan, Kelelahan
1. Pendahuluan Atlet dituntut untuk selalu memiliki kondisi tubuh yang prima, terutama pada musim pertandingan untuk mencapai hasil yang optimal. Atlet dengan jadwal pertandingan yang padat memiliki kemungkinan cukup besar mengalami kelelahan fisik yang tentunya akan sangat menyulitkan atlet yang mengikuti pertandingan untuk tampil optimal, dan jika dipaksakan pun akan semakin memupuk tingkat kelelahan menjadi semakin besar. Pemulihan kelelahan menjadi salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai kondisi fisik atlet yang optimal. Pemulihan kelelahan dapat dicapai dengan lingkungan yang mendukung. Tempat tinggal merupakan bagian dari lingkungan menjadi salah satu faktor yang dapat mendukung pencapaian kondisi fisik optimal pada atlet. Wisma Fajar dirasakan sebagian besar atlet kurang sesuai untuk mencapai kondisi optimal seperti yang diharapkan, khususnya dalam hal pemulihan kelelahan fisik. Wisma Fajar yang terletak pada kawasan Gelora Senayan, sejak awal memang tidak difungsikan
untuk hunian atlet, melainkan difungsikan sebagai mess karyawan Singapura, sehingga layout ruang pada Wisma Fajar tidak seperti layout pada wisma atlet pada umumnya. Layout Wisma Fajar seperti pada unit apartemen, dengan ruang bersama pada bagian depan dengan koridor yang menghubungkan dengan kamar tidur. Lantai dasar Wisma Fajar juga hanya berupa koridor terbuka yang memudahkan siapapun mengakses unit-unit wisma. Hal ini kurang menguntungkan bagi atlet yang ingin menghindari gangguan dari publik, misalnya dari media massa ataupun penggemar. Selain itu, Wisma juga tidak memiliki fasilitas untuk tamu, misalnya lobby atau ruang penerima tamu, hal ini memungkinkan tamu menggunakan fasilitas pada unit hunian yang mungkin menimbulkan kesesakan, kebisingan, dan gangguan lain, baik bagi atlet yang menerima kunjungan, maupun tidak. Wisma Fajar juga tidak memiliki fasilitas yang dapat membantu mempercepat proses pemulihan kelelahan, misalnya fasilitas spa, massage, dll. Padahal, dibutuhkan beberapa alternatif metode yang mampu memulihkan kelelahan secepat mungkin. Pemaparan diatas menjelaskan pentingnya melakukan redesain Wisma Fajar dengan memperhatikan kebutuhan atlet akan pemulihan kelelahan agar tercipta kondisi yang optimal. Diharapkan dengan dilaksanakannya redesain dapat memberikan hunian yang lebih aman, sehat, dan nyaman, melalui perancangan ruang dan fasilitas-fasilitas sesuai kebutuhan atlet, sehingga dapat membantu proses pemulihan kelelahan atlet secara optimal.
2. Permasalahan Untuk menyusun konsep perancangan dalam kasus redesain Wisma Fajar Senayan untuk fungsi wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan, perlu diketahui permasalahan-permasalahan apa saja yang mungkin akan dihadapi selama proses perancangan. Dalam hal ini perlu memperhatikan beberapa aspek, antara lain : II.1 Aspek Manusia Dengan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas dan kebutuhan manusia sebagai pelaku kegiatan, antara lain seperti: gaya hidup, kebiasaan, nilai-nilai dan sistem yang dianut, standard-standard kenyamanan (dimensi tempat duduk, dimensi ruang, dimensi furniture). Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji adalah : Bagaimana program ruang yang dapat menjawab kebutuhan atlet akan pemulihan kelelahan? II.2 Aspek Ruang Dengan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan ruang dalam suatu bangunan yang dapat berupa ruang privat, maupun ruang publik. Pertimbangan dapat berupa faktor kenyamanan dalam ruang (kenyamanan thermal, akustik, pencahayaan), organisasi ruang, hubungan ruang, penggunaan warna dan material dalam ruang, sirkuasi dalam ruang, penggunaan furniture yang sesuai, dsb. Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji adalah : Bagaimana merancang ruang yang dapat mendukung proses pemulihan kelelahan atlet?
II.3 Aspek Lingkungan Dengan mempertimbangkan hal-hal yang ada pada tapak, yang dapat berupa sirkulasi dari lingkungan menuju bangunan dan sebaliknya, vegetasi pada tapak, faktor ketidaknyamanan yang berasal dari lingkungan (suhu dan kelembaban udara, kebisingan, dan radiasi matahari), dsb. Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji, antara lain : Bagaimana meminimalisir ketidaknyamanan lingkungan yang dapat mengganggu proses pemulihan kelelahan? Bagaimana memanfaatkan potensi lingkungan sehingga dapat mendukung proses pemulihan kelelahan atlet? II.4 Aspek Bangunan Dengan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan
bangunan, yang dapat
berupa sistem utilitas, massa bangunan, struktur bangunan fasad bangunan, material pada bangunan, dsb. Dalam hal ini permasalahan yang perlu dikaji adalah : Bagaimana sistem-sistem dalam bangunan yang dapat mendukung proses pemulihan kelelahan, serta tidak menambah beban lelah bagi atlet? .
3. Metodologi Karya tulis ini menggabungkan 2 jenis metode, yaitu metode penelitian dan juga metode perancangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Alasan pemilihan metode ini karena metode deskriptif cocok untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Proses penelitian deskriptif dilakukan dengan pengumpulan data, penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut.
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode, antara lain : 1.
Metode studi literature, dengan mengkaji dari bahan-bahan pustaka dan referensi yang diperoleh melalui buku, majalah, internet, dan sumber lainnya mengenai permukiman atlet, kelelahan, pemulihan lelah, fasilitas pemulihan kelelahan.
2.
Metode kuesioner, dengan membagikan kuesioner pada atlet dan pelatih, sehingga diperoleh data yang berguna untuk perancangan.
3.
Metode wawancara, dengan mewawancarai narasumber yang dapat memberikan informasi seputar topik dan tema, yaitu atlet, pelatih, pengelola Wisma Fajar.
4.
Metode observasi lapangan, dengan mengumpulkan data secara langsung di lapangan dan mendokumentasikannya, serta mengambil beberapa objek sebagai bahan studi banding. Untuk metode perancangan dengan menggunakan pendekatan aspek manusia, ruang,
lingkungan, dan bangunan.
4. Hasil Dan Pembahasan Karena perancangan arsitektur ditujukan untuk manusia, maka untuk mendapatkan perancangan yang baik perencanaan dan perancangan harus didasarkan pada manusia dengan segala perilakunya. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam perencanaan dan perancangan ulang Wisma Fajar dilakukan sejumlah riset mengenai perilaku atlet yang berkaitan dengan kelelahan dan pemulihannya, sehingga didapatkan bahan perancangan yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan atlet sebagai pengguna wisma atlet. Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh data bahwa mayoritas atlet sering mengalami kelelahan, baik kelelahan fisik, maupun mental. Kelelahan fisik umumnya lebih banyak dirasakan oleh atlet yang mengandalkan kekuatan fisik, sedangkan kelelahan mental
lebih banyak dirasakan oleh para atlet yang mengandalkan konsentrasi otak. Baik kelelahan fisik, maupun mental sudah harus dipulihkan dalam waktu 24 jam agar tidak mengganggu performa atlet di hari berikutnya, khususnya performa saat pertandingan. Setiap jenis kelelahan
memiliki cara pemulihan yang berbeda. Beberapa kegiatan yang umumnya
dilakukan untuk memulihkan kelelahan fisik adalah tidur, massage, spa, mandi air hangat, bersantai, dan olahraga ringan, sedangkan untuk memulihkan kelelahan mental, umumnya kegiatan yang dilakukan para atlet adalah mengobrol, bercanda, menonton televisi, jalanjalan, membaca buku, menikmati pemandangan alam, relaksasi, meditasi, dan yoga. Dengan demikian, juga terdapat perbedaan fasilitas antara kelelahan fisik dan kelelahan mental. Berbagai fasilitas pemulihan ini harus dirancang dengan kapasitas besar, sehingga dapat menampung sejumlah besar atlet dalam waktu bersamaan karena adanya keterbatasan waktu istirahat atlet dalam waktu sehari, sedangkan atlet sudah harus pulih dalam waktu 24 jam. Selain dengan penyediaan fasilitas-fasilitas pemulihan, pemulihan kelelahan dapat diwujudkan dengan rancangan wisma yang dapat menghambat terjadinya kelelahan, salah satunya dengan penerapan ergonomi pada bangunan. Fokus perhatian dari sebuah kajian ergonomis akan mengarah ke upaya pencapaian sebuah perancanganan desain suatu produk yang memenuhi persyaratan ‘fitting the task to the man’ (Granjean, 1982), sehingga setiap rancangan desain harus selalu memikirkan kepentingan manusia, yakni perihal keselamatan, kesehatan, keamanan maupun kenyamanan. Penerapan ergonomi dalam perencanaan dan perancangan wisma atlet ini meliputi : 1.
Perancangan luasan ruang yang mempertimbangkan dimensi tubuh manusia, ruang gerak manusia, dan dimensi furniture yang ideal bagi manusia.
2.
Perancangan wisma dengan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan manusia, yang diwujudkan dengan penyediaan fasilitas untuk kemudahan penyandang cacat
3.
Perancangan ruang dalam dan luar yang mempertimbangkan aspek psikologi manusia, seperti memasukkan suasana yang mendukung pemulihan kelelahan atlet.
4.
Perancangan ruang dalam dan luar juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan terhadap manusia, antara lain berupa : -
Cahaya. Untuk pencahayaan alami digunakan ratio jendela dan lantai 1:5, untuk menghindari silau dapat digunakan sun shading, gorden/ tirai, dan tumbuhan. Untuk pencahayaan buatan digunakan lampu dengan kuat penerangan sesuai standar, misalnya 120 lux untuk pencahayaan ruang tidur, 50 lux untuk lampu tidur, 200-1000 lux untuk lampu baca.
-
Kebisingan. Kebisingan pada unit hunian dapat diatasi dengan pembatasan jumlah penghuni dalam ruang, penempatan area ruang tidur di zona private, penempatan kamar mandi di bagian depan ruang tidur yang berbatasan dengan koridor, serta menghindari penataan ruang dengan pintu-pintu saling berhadapan. Kebisingan dari luar bangunan dapat diatasi dengan menempatkan barrier vegetasi, serta penempatan bangunan di tengah tapak dengan dikelilingi taman.
-
Getaran mekanis. Getaran mekanis dapat diatasi dengan menggunakan peredam di sekitar benda yang mengeluarkan getaran mekanis, serta menggunakan material yang dapat mengurangi getaran, seperti beton.
-
Temperatur dan kelembaban. Karena suhu udara Jakarta cukup bervariasi, yaitu 24,4°C-33,8°C dan adanya perbedaan kebutuhan masing-masing individu akan suhu udara yang nyaman, maka selain digunakan penghawaan alami dengan ventilasi silang, juga menggunakan penghawaan buatan dengan AC.
-
Warna. Penerapan warna yang tepat diyakini dapat memberikan efek positif bagi pengguna ruang, misalnya untuk ruang makan digunakan warna biru dan biru muda, untuk ruang makan digunakan kuning dan warna oranye, dsb.
Di samping penerapan aspek ergonomi, perlu juga dilakukan upaya-upaya lain untuk mengurangi beban lelah tambahan, antara lain dengan menyediakan fasilitas kebutuhan sehar-hari, seperti mini market, fasilitas laundry, dsb , sehingga memungkinkan atlet menggunakan waktu istirahat mereka secara optimal, serta menyediakan fasilitas yang dapat meminimalisir terjadinya gangguan-ganggunan (misalnya kebisingan karena kunjungan tamu, penggemar, ataupun media massa) di area hunian, seperti adanya ruang menerima tamu, konferensi pers, serta sistem kartu akses menuju area khusus atlet. Mempertimbangkan beberapa kriteria di atas, Wisma Fajar dinilai membutuhkan perancangan ulang atau redesain karena kondisinya berbeda jauh dari harapan para atlet akan wisma atlet, khususnya untuk wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan. Redesain Wisma Fajar ini meliputi : 1.
Pembongkaran Tower B yang awalnya terdiri dari 12 lapis dan terpisah dengan tower lain menjadi tower baru dengan ketinggian 16 lapis yang terhubung dengan 2 tower lainnya, yaitu tower A dan C. Pembongkaran ini dilakukan karena adanya kebutuhan penambahan luasan ruang, baik untuk fasilitas, maupun hunian. Pembongkaran pada tower B agar fasilitas pemulihan mudah diakses dari tower manapun. 4.1 Ilustrasi Perubahan pada Wisma Fajar
Sumber : Dokumentasi pribadi
Tower baru dirancang lebih menjorok karena adanya koridor terbuka pada lantai dasar yang difungsikan sebagai tempat bersantai, serta adanya area-area terbuka pada lantai 3 dan 4 yang difungsikan untuk ruang makan terbuka, serta area spa dan massage terbuka, agar area-area tersebut terhalang dari cahaya matahari langsung dengan letak yang diapit 2 tower lainnya. Bentuk massa bangunan menyesuaikan dengan bangunan yang telah ada, khususnya pada area hunian agar tercipta kesan adil, tidak ada perbedaan antara hunian pada tower lama dan baru. Namun, terdapat modifikasi bentuk pada bagianbagian tertentu yang memungkinkan, misalnya pada bagian balkon podium menggunakan bentuk lengkung, agar bangunan tidak terkesan kaku. 4.2 Bentuk Massa Bangunan
Sumber : Dokumentasi pribadi
2.
Adanya perubahan layout pada Tower A dan Tower C, Dengan layout lama yang seperti apartemen potensi terjadinya kebisingan dan interaksi yang tidak diinginkan sangat besar. 4.3 Perubahan layout pada area hunian
Sumber : Dokumentasi pribadi
3.
Adanya perubahan fasade karena adanya penyesuaian dengan rancangan bukaan dan balkon. Fasade baru banyak menggunakan material alami seperti batu alam, warna netral, serta banyak memasukkan vegetasi pada bangunan. Balkon memasukkan unsur alam dengan menggunakan tanaman pada dinding pembatas. 4.4 Perubahan Fasade
Sumber : Dokumentasi pribadi
4.
Adanya penambahan lift pada Tower A dan C karena waktu tunggu lift yang tidak ideal, sehingga memungkinkan terjadi kepadatan saat menunggu lift dan penggunaan tangga untuk mencapai unit hunian. Penambahan lift ini mencakup 1 lift penumpang dan 1 lift barang. Sedangkan pada Tower B disediakan 3 lift penumpang dan1 buah lift barang karena jumlah pengguna Tower B yang lebih banyak.
5.
Adanya penambahan tangga darurat
karena Wisma fajar tidak memiliki tangga
darurat yang terpisah dengan tangga sirkulasi. Setiap tower memiliki 2 unit tangga darurat.
6.
Adanya penggunaan sprinkler, smoke detector dan hydrant untuk pencegahan bahaya kebakaran.
7.
Menggunakan sistem daur ulang air
8.
Adanya penggunaan ramp untuk transportasi vertical pada bagian podium, ramp ini selain sebagai penghubung antara tower A dan C dengan Tower B pada bagian podium, juga dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan olahraga ringan.
9.
Adanya penambahan entrance bagi pejalan kaki untuk memudahkan akses dari luar tapak ke masing-masing tower .
10.
Taman dirancang dengan bentuk lengkung yang dinamis dengan unsur air pada
taman, seperti kolam, air mancur, dsb agar tidak memberikan kesan monoton. 11.
Ruang terbuka tidak hanya dijadikan lahan parkir, tetapi juga sebagai tempat bersantai, relaksasi, dan olahraga ringan.
5. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Wisma Fajar Senayan kurang cocok untuk fungsi wisma atlet, khususnya untuk wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan, sehingga perlu adanya redesain yang disesuaikan dengan perilaku para atlet sebagai pengguna bangunan. Dalam merancang wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan hal-hal yang perlu diperhatikan dan pertimbangkan antara lain : 1.
Pentingnya prinsip ergonomic dalam perancangan wisma atlet yang mendukung pemulihan kelelahan.
2.
Perlunya penyediaan fasilitas-fasilitas pemulihan kelelahan, seperti fasilitas spa dan massage, fasilitas menonton, fasilitas meditasi, jogging track, dsb.
3.
Perlunya fasilitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari agar para atlet dapat menggunakan waktu istirahat secara efektif.
4.
Perlunya penyediaan fasilitas untuk menerima tamu, serta sistem akses kartu untuk menuju area khusus atlet agar atlet terbebas dari kunjungan yang tidak diinginkan, sehingga waktu istirahat dapat digunakan secara efektif.
5.
Pentingnya keadilan dalam rancangan wisma atlet, baik dalam hal kemudahan pencapaian, fasilitas yang diberikan
6.
Kemudahan akses, baik dari tapak ke dalam bangunan, lobby ke unit hunian, maupun hunian ke fasilitas.
7.
Menghindari terjadinya kesesakan pada ruang, baik dengan perancangan luasan ruang yag memadai, maupun dengan perancangan ruang terbuka.
8.
Menghindari terjadinya waktu tunggu lift yang lama.
9.
Menerapkan bentuk-bentuk yang dinamis.
10.
Suasana alami yang dapat mendukung pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA
Almuktabar, N. T. K. (2009). Perspektif Fisiologi Suatu Analisis Kelelahan Saat Dehidrasi. Jurnal IPTEK Olahraga, 11(2), 94-108. American College of Sport Medicine. (2009). Nutrisi dan Performance Athletic. Official Journal of the American College of Sport Medicine, 709-731. Andiningsari, P. (2009). ”Hubungan Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kelelahan (Fatigue) pada Pengemudi Travel X-Trans Jakarta Trayek Jakarta-Bandung Tahun 2009”. Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Darmasetiawan, C, Puspakesuma, L. (1991). Teknik Pencahayaan dan Tata Letak Lampu. Jakarta: Grasindo. Dinangsit, D. (2009). ”Perbedaan Pengaruh Metode Massage Air (Hydromassage) dan Metode Massage Manual terhadap Performa setelah Kelelahan”. Program Studi
Pendidikan
Olahraga Sekolah Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Frick, H, Suskiyanto, B. (2007). Dasar-dasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius. Giriwijoyo, H. Y. S, Komaryah, L. Kartinah, N. T. (2007). Ilmu Kesehatan Olahraga. Bandung: UPI. Juwana, J. S. (2005). Sistem Bangunan Tinggi. Jakarta: Erlangga. Manuaba, I. B. A. (1983). Aspek Ergonomi dalam Perencanaan Kompleks Olahraga dan Rekreasi. Diskusi Rencana Induk Gelora Senayan. Marcella, J. (2004). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: Grasindo. Marlina, E. (2008). Panduan Perancangan Bangunan Komersial. Yogyakarta: ANDI. Med Express. (2009). Bebas Kelelahan. Yogyakarta: Kanisius Muhaimin, M. T. (2001). Teknologi Pencahayaan. Bandung: Refika. Nuzuli (2005). Perbandingan Pengaruh Efektivitas Kebugaran Fisisk Daerah Pegunungan dengan Daerah Dataran Rendah terhadap Cardiovascular. Jurnal Ilmu Keolahragaan Sport Sains, 1(1), 1-9. Rini, D. S. (2011). ”Dampak Penerapan Pelatihan Harness terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik”. Program Sarjana Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Panero, J. Zelnik, M. (2003). Dimensi Manusia dan Ruang Interior. Jakarta: Erlangga. Sitepu, I. D. (2007). ”Efektifitas Massage terhadap Penurunan Kelelahan Otot Tangan Operator Komputer PUSKOM UNIMED Tahun 2007”. Program Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Silvanne, C. O. (2010). ”Desain Interior Asian Spa di Kawasan Wisata Tawangmangu”. Program Sarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Sudana. (2009). ”Perbedaan Kelelahan Kerja pada Operator SPBU antara Shift Pagi dan Shift Pagi dan Shift Malam di SPBU 14203163 Tanjung Morawa Tahun 2009”. Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan. Suptandar, J.P. (2004). Faktor Akustik dalam Perancangan Disain Interior. Jakarta: Djambatan. Suptandar, J.P. (2004). Pengantar Mata Kuliah Desain Interior untuk Arsitek dan Desainer. Jakarta: Universitas Trisakti. Sari, S. M. (2003). Peran Warna pada Interior Rumah Sakit Berwawasan Healing Environment terhadap Proses Penyembuhan Pasien. Dimensi Interior, 1(2), 141-156. Sofia, Y. (2010). Hal-Hal Sepele yang Biasa Anda Remehkan tapi Sangat Bermanfaat bagi Kesehatan. Yogyakarta: Madhara Pustaka. Wardani, L.K. (2003). Evaluasi Ergonomi dalam Perancangan Desain. Dimensi Interior, 1(1), 61-73. Zuhriyah, F. (2007). ”Hubungan antara Kesesakan dengan Kelelahan akibat Kerja pada Karyawan Bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi PT Mondrian Klaten Jawa Tengah”. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.