Salam Borobudur…… Tahun 2004 adalah tahun yang penuh duka cita bagi bangsa Indonesia. Bencana alam dan sosial berturut-turut terjadi. Dari mulai Banjir dibeberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera, Gempa Bumu di Alor NTT, gempa bumi di Nabire Papua sampai dengan gempa dan Bencana Tsunami pada akhir 2004 di Aceh dan Sumut. Khusus bagi Aceh dan Papua jelas gempa dan bencana yang terjadi semakin memojokkan kondisi masyarakat. Hal ini dikarenakan dua wilayah tersebut sebelum gempa dan Bencana merupakan wilayah yang sudah memprihatinkan akibat konflik sosial yang terjadi. Sebelum gempa dan bencana terjadi tercatat korban masyarakat sipil di dua wilayah tersebut yakni 126 jiwa terbunuh diluar prosedur hukum, 40 orang dihilangkan secara paksa, 141 orang disiksa, dan 89 orang di tahan secara sewenangwenang. Total kasus kekerasan di Indonesia sepanjang tahun 2004 telah menelan korban sebanyak 1011 orang. Duka karena bencana alam yang menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang ini semakin menyesakkan dada. Sebelumnya kita juga harus mendapati kabar bahwa Munir secara tidak wajar. Ia dibunuh dengan racun arsenic dalam pesawat ketika ia melakukan perjalanan ke Belanda untuk melakukan studi magister hukum. Kematian Munir menunjukkan pada dunia dan rakyat Indonesia bahwa di Indonesia demokrasi hanya tampak bagus dari luarnya saja dan bersifat semu. Kematian Munir yang tidak wajar, menimbulkan banyak pertanyaan, khususnya di kalangan masyarakat yang peduli pada perjuangan yang telah dilakukan oleh Munir khususnya, dan umumnya oleh para pembela hak asasi manusia (Human Rights Defender) lainnya, yang telah lama memperjuangkan hak-hak masyarakat tertindas. Pembunuhan terhadap Munir hanya salah satu kasus dari 165 kasus yang terjadi di Indonesia dalam bentuk pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan paksa dan kriminalisasi yang berujung pada penahanan secara sewenang-wenang yang dialami oleh Pembela HAM. Kasus-kasus ini merupakan tanggung jawab Negara untuk menyelesaikannya. Selain soal pembunuhan terhadap Munir, Berita KontraS juga membahas tentang definisi Pembela HAM, serta sepak terjang apa saja yang dilakukan oleh para Pembela HAM yang menyebabkan mereka seringkali mendapatkan terror dan intimidasai dan dikriminalisasikan, bahkan dibungkam dengan cara dibunuh. Kemudian kami juga menyampaikan beberapa berita dari daerah, serta beberapa kegiatan yang KontraS lakukan selama bulan November-Desember 2004. selamat membaca.
RedaksiHuman Rights Defender;
Sebuah “Pilihan” yang Sangat Mahal Pembela Hak Asasi Manusia atau yang juga sering disebut dengan Human Rights Defenders, adalah para pejuang yang memainkan peranan penting dalam usaha menentang pelanggaran hak asasi manusia dan memajukan perbaikan kondisi hak asasi manusia di dunia. Human Rights Defenders ini, bisa dari atau siapa saja yang terlibat dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk pengacara, dokter, sanak keluarga korban, guru, aktivis serikat buruh, wartawan, aktivis mahasiswa, dan para anggota organisasi petani atau perempuan, dan para aktivis hak asasi manusia. Akan tetapi, hingga kini keprihatinan yang mendalam masih sangat dirasakan oleh mereka/para pembela hak asasi manusia dalam perjuangannya menegakkan keadilan. Para aktivis pembela hak asasi seringkali mengalami berbagai hambatan yang kasar dari pemerintah-pemerintah represif ketika mereka berjuang memajukan hak asasi manusia. Dalam tahun-tahun terakhir jumlah tindakan kasar terhadap para pembela hak asasi manusia yang dilaporkan terus meningkat secara dramatis. Tindakan kasar itu mencakup; intimidasi dan teror, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan dan kekerasan fisik lainnya. Sementara para pelaku tindak kekerasan itu menikmati kekebalan sepenuhnya. Hukum tak kuasa menjangkau mereka. Selain mendapatkan kekerasan fisikal, para pembela hak asasi manusia juga menghadapi bentuk represi yang lebih tersamar, yakni melalui perundang-undangan nasional. Misalnya dalam bentuk pemaksaan prosedur-prosedur pendaftaran yang berkepanjangan saat membentuk organisasi, membuat persyaratan yang memberatkan dalam hal pencarian dana bagi kegiatan pembelaaan hak asasi manusia, pembatasan lainnya terhadap kebebasan bergerak (ke luar dan dalam negeri), pembatasan terhadap kebebasan berkumpul, seperti mengadakan seminar, debat publik, rapat umum, unjuk rasa dan seterusnya. Bentuk-bentuk represi seperti ini memang tidak sekasar bentuk-bentuk kekerasan fisik, tetapi mempunyai implikasi yang sama, menghambat usaha pemajuan dan penegakan hak asasi manusia oleh pembela hak asasi manusia. Teror di Indonesia Ketika Soeharto berkuasa, selama puluhan tahun praktik-praktik kekejaman terhadap hak asasi manusia bergulir bak arus deras yang tak bisa dihentikan. Atas nama kedaulatan, atas nama keamanan, atas nama politik dan entah atas nama apa lainnya, negara ‘merasa’ berhak melakukan segala upaya pada warganya. Akibatnya marak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM. Mereka (warga negara) yang ingin berjuang untuk mempertahankan dirinya harus menerima bentuk-bentuk kekerasan, mulai dari intimidasi, teror, diculik, dihilangkan, dipenjarakan bahkan dibunuh mati. Mereka (warga negara) ini dianggap sebagai musuh negara. Bahkan, mereka-mereka yang dicurigai sebagai musuh negara, dalam beberapa kasus, dihukum tanpa melalui proses pengadilan. Padahal saat kekerasan tersebut terjadi konstitusi Indonesia; UUD 1945 dengan sangat jelas menyatakan bahwa ‘Indonesia adalah negara hukum’. Hal ini dapat diartikan bahwa Indonesia sebagai negara Hukum hanyalah tektual belaka. Kenyataannya hanya ilusi dimata warga negara.
Berita Utama Tetapi, kondisi ini tidaklah mematikan hati nurani anak-anak negeri lainnya. Mati satu tumbih seribu. Kekangan kebebasan malah melahirkan keberanian bagi anak bangsa lainnya yang berjuang merobek tirani kekejaman itu. Mereka mungkin hanya segelintir, tapi kekuatan serta keberanian mereka untuk berjuang membela yang tertindas, yang teraniaya, jadi saksi dan bukti perlawanan. Mereka konsisten dan menetapkan pilihan hidupnya untuk terus berjuang memperbaiki harkat manusia. Mereka adalah Pekerja HAM yang sebenarnya. Kehidupan mereka yang berjuang untuk membela kebenaran dan hak asasi manusia ini selalu dibayang-bayangi kekerasan. Bahkan oleh maut yang senantiasa mengintai. Posisi penuh resiko ini bukan tidak disadari oleh para Pekerja HAM di Indonesia. Oleh karena itu berbagai upaya terus dilakukan agar pemerintah memberikan perhatian dan jaminan yang cukup terhadap para Pekerja HAM. Sayangnya, hingga saat ini di Indonesia instrumen yang dapat menjamin posisi Pekerja HAM tidak tersedia dengan layak. Terutama dalam implemantasinya. Yang terjadi justru para Pekerja HAM diposisikan sebagai saksi atau tersangka dalam sebuah kasus. Sebaliknya para pelaku teror, pengrusakan/penyerangan fasilitas kantor, penculikan, pembunuhan dan tindakan lainnya yang menjadi ancaman Pekerja HAM hampir bisa dipastikan selalu lolos dari penghukuman yang layak (baca: mendapat perlindungan). Hal ini dikarenkan mereka, para pelaku kejahatan/kekerasan (Aparat negara atau kekuatan masyarakat lainnya) memiliki berbagai macam kekuatan-kekuasaan, cerdik menggunakan dan memasuki celah-celah hukum & lembaga politik. Para pelaku juga menggunakan metode ‘ruang debat ilmiah’ seperti menggelar berbagai macam seminar, diskusi, media massa, mendekati komunitas tertentu sebagai kelompok teror, dan lain sebagainya. Disamping itu, bentuk teror yang umum dan kerap menimpa pekarja HAM adalah teror via telepon, faksimili, surat kaleng, dan lain sebagainya. Potret kekejaman rezim dan para pelaku diatas membuktikan betapa tak berharganya nyawa manusia, termasuk seorang/beberapa Pekerja HAM yang notebene berusaha membuat kondisi menjadi baik. Lihat saja kematian seorang buruh pabrik bernama Marsinah yang memperjuangkan hak kaum buruh di Sidoarjo, Jawa Timur. Lalu penyair Wiji Thukul yang hilang hingga kini, hanya karena negara sangat paranoid pada kekuatansyair-syair dalam puisinya, Udin wartawan Bernas Yogyakarta yang dihilangkan kemudian ditemukan meninggal hanya karena keberaniannya menulis sebuah fakta kebenaran tentang korupsi seorang penjabat. Kekerasan terhadap Pekerja HAM seperti penganiayaan/penyiksaa, penculikan dan penghilangan juga sangat rentan terjadi di wilayah konflik seperti Aceh dan Papua serta Poso. Yang paling menghebohkan adalah penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis prodemokrasi 1997-1998. Beberapa catatan diatas semakin membuktikan tak berharganya hidup sang pembela keadilan di negeri Indonesia ini. Politik kekerasan/teror/pembunuhan yang ditujukan kepada para Pekerja HAM bukanlah terjadi dengan begitu saja, namun dilatarbelakngi oleh sebuah sebuah keinginan kuat yang sistematis dan terorganisir. Hal ini mereka (baca: pelaku) lakukan demi mencegah dan menolak semua upaya advokasi dan pembelaan yang terus dilakukan oleh para Pekerja HAM. September tahun 2004, kita dikejutkan oleh kematian mendadak tokoh pejuang hak asasi manusia, Munir, didalam pesawat yang akan membawanya ke Belanda untuk menuntut ilmu. Nyatanya, Munir bukan meninggal karena diare seperti yang diberitakan sebelumnya. Munir dibunuh. Dibunuh dalam pesawat. Inilah klimak dari tak berartinya nyawa para pekerja hak asasi manusia. Sang ikon dari hak asasi manusi itu juga harus
berakhir dalam perjuangannya saat hendak pergi menimba ilmu di bidang perjuangan hak asasi manusia. Membunuh Humanisme Seperti diketahui, Munir sejak reformasi 1998 secara alamiah telah menjadi ikon bangkitnya perjuangan HAM di Indonesia. Disadari atau tidak, karena sepak terjang Munir-lah kasuskasus pelanggaran HAM di Indonesia mulai terungkap. Dan selama perjuangannya itulah seorang Munir seperti terus menghadapi berbagai tekanan. “Ancaman dan teror datang silih berganti dalam hidup saya, di kantor, rumah kontrakan, rumah keluarga di Batu, dan lainlain. Itu resiko pilihan hidup yang saya jalani,” ujarnya disebuah seminar HAM di Jakarta. Inilah potret kehidupan seorang Pekerja HAM. Inilah resiko dari sebuah pilihan perjuangan Pekerja HAM. Bahkan seorang Socrates, tokoh Filsafat Klasik asal Yunani, dalam apology nya (menjelang kematiannya di penjara) berkali-berkali mengatakan “Jika saya harus dihukum mati, itu tidak mengherankan. Sebab demikianlah nasib para penengak kebenaran.” Sedangkan kematian Munir meninggalkan luka dan kemarahan, karena meneguhkan stigma resistennya negara meski setiap hari dijejali konsep pemberantas korupsi, penegakan keadilan, kemanusiaan, dan keberadaban. Seorang Pekerja HAM seperti Munir merupakan prototype dari pergumulan usaha penghormatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Respon terhadap sikap Pekerja HAM seperti Munir merupakan bukti awal sikap terhadap kemanusiaan di Indonesia. Maka Jika merespon Munir secara negatif maka hampir dipastikan pihak tersebut mempunyai pretensi buruk terhadap persoalan kemanusiaan di Indonesia. Begitupun sebaliknya, merespon munir secara positif ibarat merespon upaya penghormatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu kematian Munir menyiratkan Indonesia sebagai zona dangerous living. Pembunuhan terhadap Munir merupakan membunuh humanisme. Demikianlah potret paling nyata dari kehidupan mereka yang berjuang menegakkan kebenaran dan berjuang untuk hak asasi manusia lainnya. Sebuah potret dari mahalnya sebuah “pilihan” pejuangan. Meski kematian Munir tidak akan menyurutkan langkah para pejuang hak asasi manusia lainnya, tapi sisi lain menunjukkan betapa masih sangat beratnya “hidup” Pekerja HAM. Penyiksaan, penjara, bahkan nyawa menjadi taruhan. Layaknya sebuah cermin, maka inilah wajah negeri kita. Wajah perlakuan negara terhadap para pembela kebenaran. Wajah perlakuan terhadap nyawa manusia. Human Rights Defender Conference Setiap tahunnya Uni Eropa (EU) membuat pertemuan yang khusus mengenai Hak Azasi Manusia. Pada 2004 pertemuan (dalam bentuk konferensi) tersebut jatuh pada 9-10 Desember 2004 di Den Haag, Belanda. Pilihan kota Den Haag rupa merupakan hasil dari bayang-bayang nama besar kota tersebut yang berhasil menelorkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang bertaraf internasional. Pertemuan tahunan EU kali ini dikelolah oleh Departemen Luar Negeri Kerajaan Belanda.
Berita Utama Pertemuan EU dibidang HAM tahun 2004 membahas topik Human Rights Defender (Pekerja HAM). Pilihan topik ini bukan sesuatu yang hampa. Hal ini berkenaan dengan rencana penerapan Guidelines (petunjuk) yang berkaitan dengan Pekerja HAM. Guidelines EU untuk PEKERJA HAM ini telah disahkan pada Juni 2004. oleh karena itu pertemuan ini diarahkan untuk membuat rumusan implementasi dari Guidelines tersebut. Pertemuan yang bertaraf internasional ini dihadiri oleh sekitar 150 peserta yang berasal dari hampir seluruh dunia; Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Amerika Latin. Para peserta tersebut ada yang berasal dari kalangan diplomat—rata-rata diplomat politik kedutaankedutaan negara Eropa dan Amerika, LSM (nasional maupun Internasional), pejabat organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Forum Komnas HAM Asia Pasifik dan sejumlah analis dibidang HAM terutama dibidang Pekerja HAM. KontraS juga merupakan salah satu dari sejumlah peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut. Bagi KontraS pertemuan ini menjadi sangat berarti karena pertemuan ini diadakan tidak hanya dalam momen Hari HAM yang jatuh pada 10 Desember, tetapi lebih substansial dari sekedar momentum tahunan. KontraS baru saja kehilangan seorang Kolega; Munir yang meninggal pada 6 September 2004. Pertemuan tersebut kontan menjadi ajang eksplorasi atas kasus pembunuhan Munir, yang cukup dikenal dan diikuti berita pembunuhannya oleh sejumlah besar peserta. Bahkan Hira Jilani (UN Special Reppeurteur on Human Rights Defender), yang juga hadir dan menjadi pembicara pembuka dalam pertemuan ini, sampai meminta KontraS untuk memberitakan kepadanya setiap perkembangan penanganan kasus Munir. Human Rights Defender; problem dan urgensinya Dari pertemuan ini muncul sejumlah persoalan yang konkrit dialami oleh PEKERJA HAM diberbagai negara. Oleh karena itu sebelum speech oleh Hira Jilani, pelapor khusus PBB dibidang PEKERJA HAM, panitia mempersilahkan terlebih dahulu kesaksian dari dua perempuan yang aktif memperjuangkan hak-hak demokrasinya. Pertama adalah Tamara Chikunova, direktur dari organisasi Mothers against the death penalty and torture, Uzbekistan. Kedua adalah Christina Laur, wakil direktur dari organisasi CALDH (Center for Human Rights Legal Action) Guatemala. Hadir juag dalam sessi sharing experience ini Arnold Tsunga, Direktur dari organisasi Zimbabwe Lawyers for Human Rights, Zimbabwe. Kesaksian Tamara Chikunova, Ukraina, kiranya mampu memberikan gambaran umum bahwa PEKERJA HAM kerap mengalami bentuk-bentuk kekerasan seperti Ancaman (terhadap Keluarga), kriminalisasi (dianggap melanggar hukum pidana dan konstitusi) dan pelarangan (delegitimasi) organisasi HR(D). Yang kemudian coba dijawab dalam ekplorasi acara ini adalah kenapa PEKERJA HAM kerap menjadi sasaran kekerasan oleh pemerintahan yang tidak demokratis.
Mengenai hal terakhir diatas Piet De Klerk, duta besar HAM Belanda dalam sambutannya pembukaan mengutarakan kenapa PEKERJA HAM diancam, dia mengatakan karena PEKERJA HAM kerap memberikan Informasi seperti kepada UN Special Reppertur. Intinya PEKERJA HAM membuat informasi menjadi terbuka. Pekerja HAM juga aktif berorganisasi, meng-advokasi korban, mengumpulkan bukti dan terus memperjuangkan supremasi HAM. Memang kerja-kerja PEKERJA HAM terikat dan selalu mempromosi, menjaga, membuat kerja-kerja yang efektif dan menginisiasi HAM dan Demokrasi. Tugas PEKERJA HAM yang tak kalah pentingnya adalah memonitoring institusi-institusi negara. Eksistensi PEKERJA HAM memang selalu menjadikan dirinya sebagai taruhan. Hal ini karena keberadaannya yang selalu tidak nyaman. PEKERJA HAM menjadi bagian yang penting dalam konflik, penyelesaian konflik, desakan-desakan, perjanjian-perjanjian perdamaian. Selain itu, umumnya PEKERJA HAM menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan kekuasaan. Bukan hanya kekuasaan yang terinstitusikan seperti Negara, bahkan juga kekuasaan yang terorganisir lainnya (non-state). Oleh karena itu PEKERJA HAM tidak hanya menghadapi negara tetapi juga menghadapi aktor bukan negara. Ancaman-ancaman tersebut tidak hanya menggetarkan PEKERJA HAM untuk tetap berada digaris depan, dan akan begitu seterusnya. Secara fungsional PEKERJA HAM dikatakan juga sebagai Serve of our eyes and ears, sementara menurut Hira Jilani, PEKERJA HAM merupakan Watch dog. Tetapi secara filosofis PEKERJA HAM merupakan pihak yang penting, yang turut serta dalam membuat kehidupan menjadi lebih baik. PEKERJA HAM dalam bidang apapun; SipilPolitik, Ekonomi-sosial-budaya, Lingkungan Hidup, dan pada intinya yang memperjuangkan kualitas hidup manusia/masyarakat. Akan tetapi kondisi PEKERJA HAM diberbagai belahan dunia masih rentan. Menurut Mr. Rolf Kimens, Ada jarak yang cukup jauh antara Fakta yang terjadi terhadap PEKERJA HAM dengan kondisi kita saat ini, dimana kondisi kita sangat kecil oleh karena itu kita harus melakukan sesuatu. Dalam rangka itulah EU seharusnya berperan dalam penghormatan terhadap HAM terutama PEKERJA HAM. Dan guideline menjadi signifikan untuk secara gigih diterapkan. Pekerja HAM dalam Guidelines yang dibuat oleh EU1, dikatakan “Setiap orang memiliki hak, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan perwujudan hak asasi manusia dan kebebasan dasar pada tingkat nasional dan internasional” sebagai dasar rumusan. Pembela hak asasi manusia adalah individu, kelompok dan badan masyarakat yang memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui secara universal. Pembela hak asasi manusia memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta memajukan, melindungi dan mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pembela hak asasi manusia juga memajukan dan melindungi hak-hak anggota kelompok seperti masyarakat pribumi. Definisi ini tidak mencakup individu atau kelompok yang melakukan atau menyebarkan kekerasan. 1 Mengikuti paragraph 1 dalam “Deklarasi PBB mengenai Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok dan Badan Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal”.
Berita Utama
Untuk menunjang penghormatan dan kerja-kerja PEKERJA HAM tersebut oleh EU dalam penerapannya maka perlu diperhatikan persoalan pertama, membuat Monitoring, pelaporan dan penilaian. Kedua, informasi, kontak dan respon penting. Ketiga, membangun peningkatan kapasitas PEKERJA HAM, mengangkat keperdulian publik dan jaringan melalui pembangunan dukungan. Keempat, bagaimana melibatkan kondisi PEKERJA HAM dalam dialog politik disuatu negara. Dan yang terakhir, kelima, membangun mekanisme regional untuk melindungi PEKERJA HAM; berdasarkan pengalaman dan harapan masa depan. Kelima hal diatas-lah yang menjadi topik untuk dibahas kemudian di workshop dalam pertemuan ini. Salah satu hal menarik adalah bahan-bahan yang diajukan untuk dibahas dalam setiap kelompok merupakan hasil atau kontribusi dari lembaga-lembaga non pemerintah di tingkat Internasional seperti Amnesty Internasional dan HIVOS Belanda. Keprihatinan EU terhadap persoalan-persoalan HAM sebetulnya tidak lepas dari lingkungan dan tren ancaman yang kian menjauhkan PEKERJA HAM dari cita-cita kemanusiaan. Sejumlah ancaman masih terjadi atas PEKERJA HAM atau subyek apapun yang berusaha membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Jaminan-jaminan terhadap PEKERJA HAM sebagian sudah ada dan dijalankan. Akan tetapi masih ada beberapa persoalan yang belum dijamin dalam eksistensi PEKERJA HAM diberbagai belahan dunia. Bahkan disebagian tempat atau wilayah sama sekali tidak ada jaminan apapun terhadap PEKERJA HAM. Jurang hukum (dan Implementasinya) inilah yang menyebabkan masih terjadinya kekerasan terhadap PEKERJA HAM. Bahkan tren kontemporer justru melegalkan melakukan tindakan represi terhadap PEKERJA HAM, Seperti dalam kebijakan “war against terrorism” yang sangat potensial mengancam PEKERJA HAM (kerja-kerjanya). Hal ini wajar karena PEKERJA HAM dalam kerja-kerjanya banyak bergerak dalam isu-isu (Hak-hak) pembebasan. Oleh karena itu perlu hati-hati atau memonitoring dengan cara mengefektifkan guidelines perlindungan PEKERJA HAM. Dalam mempromosikan PEKERJA HAM perlu kerjasama antar NGO’s dengan Negara, karena Keberadaan NGO’s disuatu negara menjadi penting terutama dalam memonitoring PEKERJA HAM. Melalui guidelines inilah diharapkan dapat menjadi modal bagi EU untuk mempromosikan PEKERJA HAM dalam kedudukan yang layak. Hingga wajar jika banyak ketentuan-ketentuan yang diterapkan dalam guideline Uni Eropa untuk pemajuan PEKERJA HAM, termasuk juga banyak harapan yang muncul dari peserta agar guideline ini bisa berjalan. Termasuk KontraS, melalui Haris Azhar yang hadir dalam pertemuan ini, mengutarakannya ke Menteri Luar Negeri kerajaan Belanda, agar guideline ini dapat dijadikan acuan oleh Belanda (sebagai salah satu anggota EU) untuk membantu Indonesia dalam mengungkap kematian Munir.
Harapan lain muncul seperti dari Mrs. Helene Flantre; PEKERJA HAM guidelines ini memberikan harapan, tetapi secara implisit dia juga mengatakan bahwa peran ideal atau eksistensi ideal PEKERJA HAM hanya cocok bagi pemerintahan yang bebas dari otoriterianisme. Oleh karena itu dalam implementasinya penting untuk membuat komitmen dengan negara/pihak III (negara-negara bukan anggota EU) untuk menghormati dan menjamin PEKERJA HAM, karena EU mempunyai kapasitas ekonomi-politik terhadap negara/pihak III. Akan tetapi modal EU ini tidak bisa hanya sebatas tindakan politik. EU juga harus memikirkan mekanisme lain yang realistis seperti mekanisme lokal dan mekanisme PBB. Menurut Hira Jilani, EU guidelines kehadirannya sangat penting, tetapi yang juga penting adalah pelaksanaan di tingkat regional dan mekanisme PBB2 Secara lebih umum EU harus berkomitmen dengan sungguh-sungguh dalam mengimplementasikannya. Sebagaimana dikatakan Hira Jilani : semua anggota EU harus memiliki kesamaan pemahaman tentang PEKERJA HAM. Guidelines tidak akan berarti apa-apa jika hanya untuk disepakati (normatif). Laporan : Haris Azhar ( dari Human Rights Defender Conference, Belanda)
2 Hira Jilani, UN Special Representativeof the secretary-General on the situation of Human Rights Defender. Dalam pidato Pembukaan 6th EU Human Rights Discussion Forum; EU Guidelines on Human rights Defenders: Feedback and ways ahead from a UN Perspective, The Hague, 9 Desember 2004.
Berita Daerah BOJONG
Darurat Sipil, Hilangnya Gagasan Penyelesaian Damai Aceh KontraS menyesalkan keputusan yang diambil oleh pemerintah, melakukan perpanjangan Darurat Sipil di Aceh. Keputusan ini merupakan gambaran tidak berkembangnya gagasan penyelesaian konflik Aceh secara damai dan demokratis oleh Presiden dan DPR RI Kontras menilai keputusan Presiden Susilo Banbang Yudhoyono melakukan perpanjangan status Darurat Sipil ini bertentangan dengan janji Presiden selama masa kampanye Pemilihan Presiden yang menjanjikan penyelesaian Aceh secara bermartabat, tuntas dan sedamai mungkin. Terlebih dihadapan masyarakat Aceh, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemimpin pondok pesantren di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) di Lhokseumawe (04 /09 2004), Presiden menjanjikan untuk melakukan dialog dengan GAM serta memberi Amnesti kepada anggota GAM yang m,enyerahkan diri. Bila janji ini tidak dipenuhi oleh SBY tentu akan menambah kekecewaan masyarakat Aceh kepada pemimpin nasional negeri ini yang kerap mengingkari janji sejak masa pemerintahan Soekarno. Sementara itu perpanjangan Darurat Sipil ini tidak berdasarkan pada evaluasi yang komprehensif terhadap pelaksanaan Darurat Militer dan Darurat Sipil sebelumnya. Pemerintah lagi-lagi hanya memperhitungkan keberadaan GAM yang hanya sekitar 2.500 orang dengan 800 pucuk senjata yang dinilai masih memiliki potensi untuk melakukan gangguan keamanan. Akan tetapi pemerintah tidak secara khusus mempertimbangkan situasi batiniah dan lahiriah masyarakat Aceh yang selalu hidup dalam ketakutan, keterancaman, ketidakberdayaan, dan kemiskinan sebagai dampak dari diterapkannya operasi keamanan/militer di Aceh. Dapat dikatakan pemerintah tidak pernah melakukan koreksi untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Aceh kepada negeri ini. Tidak pernah digelar pengadilan HAM atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa DOM dan paska DOM, serta rendahnya penegakan hukum pada praktek kekerasan yang kerap dilakukan aparat terhadap masyarakat sipil Aceh, membuat masyarakat Aceh sekan tidak pernah memiliki hak atas perlindungan diri dan tidak menjadi bagian dari bangsa ini. Kekuatiran terhadap kontrol masyarakat sipil di Aceh membuat aktifis kemanusiaan yang masih bertahan di Aceh kerap mendapat kekerasan maupun pemidanaan oleh aparat TNI/Polri dengan meng”GAM’kan mereka. Tetap Tidak Peduli Operasi terpadu yang selama ini pemerintah dengungkan sebagai bagian dari penerapan Darurat Militer dan Darurat Sipil, ternyata tidak menunjukkan hasil bahkan tidak menjadi prioritas. Karena operasi pemulihan kemanusiaan, pemantapan pemerintahan, pemantapan ekonomi diluar operasi penegakan hukum dan keamanan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan bahkan kondisi sebaliknya tingkat kemiskinan dan pengangguran, angka kematian ibu dan bayi mengalami peningkatan serta kekurangan gizi dikalangan balita. Artinya pemerintah selama ini kurang peduli pada perbaikan taraf hidup masyarakat Aceh. Padahal ini adalah persoalan akut yang menjadi salah satu factor kekecewaan Aceh terhadap Pusat. Sementara alokasi dana umum pemda NAD sebesar 6 triliun tidak pernah jelas penyalurannya bahkan cenderung menjadi lahan korupsi para penjabat di Aceh. Pemerintah juga masih menggunakan paradigma lama atas nasionalisme sempit yang
lebih mengedepankan tanah/wilayah dibanding keberadaan nasib manusia diatas wilayah ini. Keutuhan Aceh masih dilihat sebatas teritori. Pemerintah tidak pernah mengambil langkah radikal untuk menarik simpati dan menyembuhkan luka rakyat Aceh atas ketidakadilan ekonomi dan politik yang telah berlangsung lama. Sehingga pengambilan keputusan perpanjangan Darurat Sipil ini sebenarnya lebih merupakan gambaran sikap politik pemerintah yang mengabaikan aspirasi rakyat Aceh yang telah lama menderita. Berdasarkan penilaian tersebut, KontraS mendesak pemerintah untuk meninjau kembali keputusan perpanjangan Darurat Sipil di Aceh. Pemerintah dan GAM harus kembali ke meja perundingan. Perundingan yang dilakukan harus melibatkan unsur masyarakat yang lebih kompleks. Masyarakat dunia internasional yang netral/terpercaya harus mendorong dan memfasilitasi perundingan damai anatara Pemerintah RI dan GAM serta unsur masyarakat lainnya. Negara harus melakukan pertanggungjawaban atas pelanggaran berat HAM yang terjadi selama DOM dan paska DOM, begitu pula kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh GAM.
Kekerasan Polisi dipertontonkan di Bojong Dengan mengatasnamakan pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat, pemkab Bogor mengizinkan kawasan Bojong untuk dijadikan lokasi tempat pembuangan sampah terakhir (TPST). Persetujuan ini jelas-jelas telah melecehkan hak-hak warga untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat seperti termaktub dalam pasal 5 UU NO 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Ironisnya, aspirasi warga untuk menolak keberadaan proyek TPST ternyata tidak mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan masih dipaksakannya operasionalisasi TPST tersebut oleh pemerintah Bogor. Beberapa pelanggaran TPST Bojong : 1. Menyalahi Perda Bogor No. 17 tahun 2000 tentang tata ruang wilayah kabupaten Bogor (Bojong sebagai wilayah pengembangan perkotaan) 2. Dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tidak sesuai prosedur, seharusnya AMDAL melewati proses sosialisasi dan transparan dengan menjelaskan dampak dari proyek TPST yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan dan teknis. 3. Realitas dilapangan tidak sesuai izin operasi. Sosialisasi awal yang diterima warga, dikatakan bahwa kawasan tersebut akan dijadikan pabrik keramik tetapi nyatanya diperuntukan sebagai TPST. Sosialisai teknologi TPST yang digunakan adalah balapress dan tidak ada pemilahan sampah. Sampah dikirim dengan menggunakan truk terbuka sehingga air berceceran disepanjang jalan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. 4. Pengabaikan hak warga atas lingkungan yang sehat berupa sistem dan teknologi pengelolaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, pencemaran tanah, pencemaran kualitas air dan pencemaran udara. Penolakan terhadap adanya proyek TPST tersebut digulirkan oleh warga desa dari Bojong, Cipeucang, Situsari, Singasari, Sukamaju, Singajaya sejak awal 2003. Akan tetapi, kegiatan penolakan tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah setempat. Aksi massa digelar pertama pada Juni 2003 di kantor Pemkab Bogor. Sebanyak 500 orang mendatangi kantor tersebut dan diterima komisi A dan B hasilnya, anggota berjanji akan meninjau ulang keputusan Pemkab Bogor menjadikan Bojong sebagai lokasi TPST. Gerakan penolakan digulirkan lagi bulan Agustus 2003 dengan tujuan ke pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI. Warga juga sudah melayangkan surat keberbagai instansi pemerintah antara lain ke Bupati Bogor, Pemprov DKI Jakarta, DPRD Bogor, DPRD DKI Jakarta, dan Kementrian lingkungan Hidup. Namun hasilnya tidak memuaskan warga. Kekerasan pada Warga 11 Desember 2003 kurang lebih 400 warga Bojong melakukan penghadangan terhadap kendaraan proyek yang membawa peralatan pengelolaan sampah. Penghadangan tersebut mendapat tekanan dari aparat dengan menangkap secara sewenang-wenang 4 orang warga, Mereka ditangkap karena dianggap menghambat pembangunan. Aksi berlanjut pada 23 Desember 2003 ketika kontainer mesin peralatan pengelola sampah tetap datang, padahal para pejabat Pemkab Bogor berjanji akan menyelesaikan terlebih dulu tuntutan yang disampaikan oleh warga. Sekitar 700 warga Bojong dan sekitarnya turun kejalan guna menghalau masuknya peralatan tersebut. Massa duduk dijalan melakukan aksi damai, tetapi pada pukul 14.00 WIB kontainer datang dengan dikawal polisi sebanyak 60 orang. Aparat meminta warga untuk menyingkir dari jalan tetapi warga tetap bertahan dan kemudian
aparat merangsek maju dan memukul, menendang dan menangkap warga yang berada dilokasi dengan tuduhan menghambat pembangunan. 22 November 2004 warga melakukan aksi disepanjang jalan sekitar desa Bojong, Cipeucang, Situsari, Singasari, Sukamaju, Singajaya, dan desa Mampir. Ketujuh desa tersebut melakukan aksi damai menolakan terhadap rencana pengoprasian TPST Bojong, tetapi aksi tersebut dihadapi aparat kepolisi dengan sangat represif. Penangkapan sewenang-wenang, pemukulan, penggeledahan, perusakan dan penembakan dilakukan oleh aparat kepolisian . Dalam aksinya tersebut, polisi telah menangkap secara sewenang-wenang 35 warga dan penembakan secara brutal hingga melukai 6 orang warga sipil. Sampai saat ini, warga yang masih ditahan dipolres Bogor sebanyak 19 orang dengan setatus tersangka, sementara yang sudah dibebaskan 17 dari Polres dan 6 dari Polsek Cileungsi (terkena tembak). Sementara warga yang belum kembali kerumah sekitar 133 orang. Tim hukum mengajukan gugatan praperadilan warga Bojong terhadap Kapolwil Bogor, Kapolres Bogor, Kapolsek Klapanunggal, Kapolsek Cileungsi dan Komandan Satuan II Brimob Kedunghalang Bogor ke pengadilan Negeri Cibinong, atas terjadinya kekerasan, penangkapan, penggeledahan, penahanan sewenang-wenang polisi terhadap 35 warga Bojong. Di Pengadilan Negeri Cibinong majelis hakim Marsudin Nainggolan SH (13,12,04) menolak gugatan warga tersebut. Sementara di Polwil Bogor enam polisi yang telibat dalam aksi kekerasan terhadap warga ini, hanya dijatuhi hukuman dinyatakan bersalah oleh majelis Hakim Komisi Kode Etik. Mereka dinyatakan melanggar pasal 7 UU Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI. Keenam polisi. tersebut adalah Anjun Inspektur Dua Paralungan Simatupang,. Brigadir Dua Ahmad, Brigadir Dua asep Syaiful,. Brigadir Dua Agus Gunawan, Brigadir dua Sutopo,. Brigadir Dua Roy D samudra. Dari keenam orang itu hanya Paralungan yang berdinas di kepolisian Sektor Administratif Cileungsi. Lima lainya dari Polres Bogor.
Berita Daerah IRIAN Penyelidikan Independen untuk Papua KontraS mendesak Komnas HAM dan Pemerintah segera mengambil inisiatif bagi adanya penyelidikan independen atas kasus Mulia di Puncak Jaya, 14 Oktober 2004 lalu. Pengusutan atas penembakan dan penyanderaan yang menewaskan 6 orang warga sipil itu hingga kini belum jelas arahnya. Semestinya pengusutan atas kasus Mulia dilakukan sesuai standar umum dan hukum yang berlaku. Terlebih, Undang Undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM, menyatakan Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM. Penyelidikan yang independen amat diperlukan mengingat berkembangnya kontroversi antara jajaran Pangdam XVII/Trikora dengan kalangan masyarakat. Dari pihak Juru bicara masyarakat, Jefri Pakagawa mengatakan, kasus pembunuhan enam warga sipil oleh OPM di Kampung Tinggi Nambut, Distrik Illu, Kabupaten Puncak Jaya, berdampak negatif terhadap seluruh bidang kehidupan masyarakat. Situasi ini terjadi menyusul pengejaran terhadap OPM pimpinan Goliath Tabuni, yang dilakukan oleh tim gabungan TNI/Polri. Sementara Pusat Penerangan Mabes TNI menyebutkan, upaya evakuasi korban pembunuhan oleh kelompok OPM dilakukan oleh aparat keamanan gabungan TNI/Polri. Ini dilakukan setelah tim negoisasi ditolak OPM. Pihak TNI membantah adanya korban sipil yang tewas dalam upaya evakuasi oleh tim gabungan itu. Penembakan di sekitar Puncak Senyum hanya untuk memecahkan konsentrasi OPM dan melindungi pasukan yang akan mengevakuasi. Akan tetapi, massa Pengunungan Tengah mendesak pemerintah pusat agar kasus pembunuhan terhadap warga sipil oleh OPM di Puncak Jaya diselesaikan secara tuntas. Pengejaran terhadap kelompok sipil bersenjata dilakukan hati-hati dan tidak menebar ancaman dan ketakutan terhadap warga sipil, apalagi pelanggaran HAM. Masyarakat Puncak Jaya sudah hidup dalam situasi miskin dan terisolasi. Di Luar Kewenangan Tentara “Mungkin bagi sebagian orang kondisi di Puncak Jaya sudah aman terkendali, tetapi sebagian besar masyarakat sipil tidak seperti itu. Mereka takut pergi ke kebun karena merasa tidak aman, baik oleh aktivis tim gabungan TNI/Polri maupun oleh OPM. Kami menyesalkan gencarnya operasi militer aparat keamanan mengejar OPM paska peristiwa. Warga sekitar juga mengalami ketakutan, meski bersembunyi di berbagai tempat yang dirasa aman, mengungsi atau berdiam di rumah,” ujar Jefri. KontraS melihat, adanya kecurigaan TNI dalam hal ini Kodam Trikora terhadap anggota OPM selaku pelakunya, tidak bisa dijadikan alasan pembenaran bagi tentara untuk mengejar pelaku. Tentara tidak bisa memonopoli respon atas terjadinya kasus tewasnya 6 warga sipil. Sebab hal itu diluar kewenangan tentara. Jika TNI ingin membantu, TNI seharusnya mengambil peran mem-back up langkah penyelidikan oleh lembaga yang berkompoeten, dibawah kendali kepolisian. Operasi keamanan semestinya menjamin hak atas rasa aman dan hak untuk bebas beraktifitas. Operasi yang kini gencar dilakukan paska kasus Mulia berpotensi dapat menimbulkan kekerasan lebih lanjut. Oleh karena itu sebaiknya operasi ini dihentikan
demi lancarnya proses penyelidikan yang kredibel. KontraS mendesak Langkah responsif pemerintah amat penting sebagai wujud komitmennya terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia. Apalagi pemerintah memprioritaskan Papua sebagai salah satu program utama 100 hari. Terbentuknya pemerintahan baru dinilai membangun harapan rakyat Papua bahwa penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua dapat melangkah maju. Tidak seperti sebelumnya, megalami kebuntuan, tidak tuntas atau diadili sekadarnya lewat pengadilan militer. Pemerintah ditantang untuk bisa membuktikan komitmennya menghormati hak-hak rakyat Papua. Dan juga agar dimasa depan menjadikan HAM sebagai standar kehidupan ketatanegaraan, sebagaimana dijamin oleh Konstitusi RI.
Berita Daerah POSO Memperluas Konflik Poso Pada 12 Desember 2004, kekerasan kembali terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kekerasan tersebut berbentuk pengeboman terhadap Gereja-Gereja GKST jemaat Immanuel Palu yang mengakibatkan seorang petugas keamanan gereja tersebut mengalami luka tembak dan dua jemaat gereja mengalami trauma. Selain itu juga terjadi penembakan terhadap Gereja GKST Jemaat Anugerah Manimbaya Palu. Penembakan ini mengakibatkan dua orang mengalami luka tembak dan satu orang mengalami trauma serius. Kekerasan di Palu dengan cara penembakan bukan merupakan peristiwa pertama yang dialami oleh salah satu kelompok beragama di Palu. Peristiwa ini pernah terjadi terhadap seorang jaksa yang bernama Ferry Silalahi pada bulan Mei 2004 dan terhadap pendeta Susianti Tinulele pada Juli 2004. Kekerasan-kekerasan yang terjadi seakan memperlihatkan perluasan (wilayah) kekerasan dari konflik Poso yang sudah berlangsung sejak 1998. Perluasan kekerasan didaerah konflik sosial seperti di Sulteng jelas memperlihatkan kerangka ketidakmampuan Pemerintah untuk menyelesaikan konflik dan melakukan pemulihan masyarakat. Padahal sudah ribuan aparat keamanan diterjunkan di Poso dan Prop.Sulteg pada umumnya. Khusus Poso aparat gabungan mencapai 3.900 personil. Bahkan ada perencanaan pembentukan batalyon 714 di Kabupaten Poso. SBY, saat menjadi MenkoPolkam, memberlakukan operasi Intelijen pada Oktober 2003. Hingga saat ini telah dikucurkan 54 milyar rupiah dana kemanusiaan, tetapi masih saja problem-problem konflik dan ekses negatif muncul. Dari sisi lain bisa dikatakan semua problem dan ekses tersebut justru menjadi peluang sebagian pihak mengambil keuntungan, korupsi dana bantuan kemanusiaan dan bisnis keamanan oleh aparat. Pemerintahan SBY-Kalla telah gagal mewujudkan rasa aman dan kebebasan masyarakat di Poso dan Sulteng secara umum. Hal ini dikarenakan ketiadaan itikad politik dan agenda utama untuk penyelesaian konflik di Poso dan Sulteng. Peristiwa pengeboman dan penembakan kembali terjadi dan meluas ke Palu, hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah hanya melakukan tindakan-tindakan responsif dan seporadis atas kekerasan-kekerasan sebelumnya. Pemerintah telah melakukan penyelesaian menyeluruh yang dalam hal ini mampu mencegah efek perluasan kekerasan sampai ke Palu. Penyelesaian konflik hanya diserahkan ke otoritas lokal yang notebenenya tidak mampu dan tidak akuntabel. Oleh karena itu perlu kiranya segera dilakukan pemeriksaan dari pemerintah pusat terhadap aparat pemerintah lokal, seperti Gubernur dan Bupati yang bertanggungjawab atas pengelolaan daerah Poso dan Sulteng. Dan juga harus dilakukan evaluasi terhadap aparat keamanan termasuk aparat Militer di Sulteng maupun di Poso. Evaluasi juga harus dilakukan terhadap kerja intelijen diwilayah Poso dan Sulteng. Pemerintah Pusat harus memberikan perhatian lebih besar kepada Poso dan Sulteng dalam hal keamanan dan kebebasan masyarakat. Oleh karena itu Komnas HAM dan KPK harus segera melakukan kerja-kerja yang berkekuatan hukum dan solusif atas kasus (pembiaran) kekerasan, kebebasan beragama dan korupsi.
Yang Lemah, Yang Kecil, Yang (terancam) Kalah! Berawal dari keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tk II Kabupaten Tangerang Tahun 2002 tentang Persetujuan DPRD Terhadap Kerjasama Pembangunan Pasar Kuta Bumi, Desa Kuta Bumi, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang. Berdasarkan keputusan tersebut maka Bupati Tangerang selaku Eksekutif daerah, menunjuk dinas pasar untuk merealisasikan proyek tersebut. Selanjutnya dinas pasar mengadakan perjanjian kerjasama dengan KOPASSTAM (Koperasi Pasar Taman Kuta Bumi Tangerang) yang menunjuk pihak ketiga, bernama Bianto, selaku pengembang proyek,. Selaku pengembang, sesuai dengan perjanjian tertulis yang dibuat dinas pasar dan KOPASSTAM, Bianto, mempunyai kewajiban menyelesaikan pekerjaannya berupa membuat kios grosir 20 unit ukuran 3 m X 6 m, kios ukuran 421 unit ukuran 3 m X 3m dan los sejumlah 286 unit ukuran 2 m X 2m. Namun dalam proses pembangunan proyek pasar tersebut, Bianto ternyata tidak melaksanakan isi perjanjian dengan baik, justru Bianto melakukan tugasnya yang melampaui kapasitasnya. Bianto ikut menentukan letak, tempat dan batas – batas tempat yang seharusnya menjadi tugas dinas pasar. Bahkan fasilitas penunjang yang awalnya dijanjikan belum dibangun, seperti MCK, pos keamanan, truk sampah, Musholla, pos mantri / kesehatan pasar dan gardu listrik. Disisi lain cicilan dari para pedagang terus berjalan. Kepemilikan Grosir, kios dan los tersebut masing – masing pedagang dikenakan uang muka sebesar 30 persen. Melalui proses musyawarah ditingkatan pedagang yang tergabung dalam keanggotaan KOPASSTAM (Koperasi Pasar Taman Kuta Bumi), para pedagang memberikan surat kuasa kepada sebuah Tim yang terdiri dari 7 orang diantaranya Drs. Ma’ruf Bin Abdul Latif, 2Muh. Yunus, Kholid TB Bin Mubarrak, Ombay Bin Endang, Yayah Sutariyah Bin Binti Muhammad Khair, Shintia Dewi Als Susi Binti Anwar, dan Iwan Ad Anwar. Para pedagang melalui kuasanya (Perwakilan) mempertanyakan kepada dinas pasar atas kerugian yang dialami pedagang, namun tidak pernah ditanggapi, bahkan hal ini sempat dibawa ke Bupati tapi juga tidak ada solusi yang memuaskan dari Bupati. Akhirnya Tim perwakilan ini (setelah sebelumnya melalui pemberitahuan ke Bupati) membuat spanduk yang bertuliskan “Stop manipulasi, hentikan cicilan sampai ada keputusan dari kabupaten untuk menghentikan manipulasi dalam pasar Taman Kuta Bumi”. Peristiwa ini lalu dilaporkan Bianto selaku pengembang bersama dinas pasar ke Polres Tangerang, dengan dalih Tim perwakilan telah melakukan penghasutan terhadap pedagang yang mengakibatkan para pedagang berhenti membayar cicilan. Dalam waktu singkat jajaran Polres Tangerang menangkapi ke – 7 pedagang anggota KOPASSTAM tersebut. Dalam proses penangkapan hanya Drs. Ma’ruf yang dilengkapi surat penangkapan, sedangkan enam terdakwa lainnya tidak dilengkapi surat penangkapan. Mereka kemudian oleh Jaksa penuntut Umum dijerat dengan dakwaan Primer Pasal 160 KUHP Yo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, Subsidair Pasal 161 ayat 1 KUHP Yo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan lebih subsidair pasal 335 ayat 1 ke 1 KUHP Yo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Kasus ini telah melibatkan jaringan mahasiswa melakukan pengorganisiran pedagang
Berita Daerah TANGGERANG yang kemudian ditindaklanjuti dengan aksi bersama didepan halaman Pengadilan Negeri Tangerang. Gencarnya aksi ini menyebabkan majelis hakim memberikan status tahanan luar kepada 7 orang terdakwa. Tetapi, pengadilan juga meminta demonstrasi dihentikan dengan alasan untuk menjaga situasi persidangan lebih kondusif. Tetapi, saat demonstrasi dihentikan desakkan – desakkan dari UPT Pasar Kuta Bumi, Asda (Asisten Daerah) Tk II Kabupaten Tangerang dan beberapa anggota DPRD Tk II, justru semakin keras. Mereka meminta agar 7 terdakwa tersebut menandatangani surat perjanjian damai diluar persidangan, peristiwa ini dinyatakan salah satu terdakwa didukung lewat pernyataan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum diluar persidangan. Pada dasarnya isi surat tersebut memuat point yang intinya tidak memperbolehkan pedagang untuk menuntut balik pengembang. Bahkan Dakaudin dari Komisi A DPRD Tk II yang sebelumnya menjadi penjamin 7 orang terdakwa supaya berstatus tahanan luar, justru paling gencar mendesak 7 orang terdakwa, baik lewat telpon maupun datang kerumah 7 terdakwa, untuk segera menandatangani surat tersebut.
Diluar sepengetahuan Penasehat Hukum 7 terdakwa itu digiring oleh pihak – pihak tersebut ke Kantor Dinas Pasar untuk melakukan penandatangan surat perjanjian itu. Bahkan mereka dijanjikan adanya jaminan bebas dari Majelis Hakim. Dinas Pasar dan pengurus Koperasi juga dihadirkan. Namun, para terdakwa dan penasehat hukum yang awalnya optimis akan bebas justru dihadapkan keadaan dimana Majelis Hakim dan JPU justru terkesan mencari – cari kesalahan para terdakwa. Desakkan dari pejabat setempat baik DPRD Tk II, Asda Tk II Kabupaten Tangerang serta Dinas Pasar justru semakin gencar agar tim 7 dan pedagang tidak usah macam– macam, akibat politik rayuan oleh pihak – pihak diatas mengakibatkan pula pengurus koperasi terkesan acuh dan bermuka dua. Selain juga tersebar isu yang kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Berita Daerah GORONTALO Mendesak Jaksa Memerika Kasus Timor Timur Mahkamah Agung (MA) dalam putusan peninjauan kembali membebaskan mantan Gubernur Timor Timur abilio Soares dalam kasus pelanggaran berat HAM pasca jajak pendapat tahun 1999. Putusan mahkamah Agung dalam kasus Abilio Soares tersebut menjadikan hampir tidak ada seorangpun dari pemegang otoritas baik sipil maupun militer yang bertanggungjawab atas kekejaman yang terjadi di Timtim. Putusan MA dalam kasus pelanggaran berat HAM pasca jajak pendapat tahun 1999 jelas menimbulkan kekaburan dalam upaya membangun rasa keadilan, terutama terhadap sejumlah korban. Ironisnya kasus ini telah menjadi perhatian masyarakat internasional. Kontan saja, putusan MA ini berakibat pada preseden buruk bagi Indonesia di mata dunia internasional. Hal yang menarik adalah cara pandang dan penggunaan fakta hukum atas pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timor Timur. Dalam putusannya terhadap dugaan sejumlah perwira tinggi TNI/Polri, MA membebaskan seluruh para perwira TNI/Polri karena tidak terbukti/ditemukannya relasi antara pemegang komando dengan otoritas sipil dengan militer, maka para perwira tersebut tidak bertangungjawab atas pelanggaran HAM yang terjadi saat itu. Akan tetapi fakta hukum yang disampaikan dalam putusan PK MA yang membebaskan Abilio justru menyatakan adalah TNI/Polri yang memiliki kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban selama jajak pendapat berlangsung. Posisi gubernur adalah sebatas pada kewenangan administratif. Sudah sepantasnya kontradiksi putusan dalam beberapa peradilan atas pelanggaran berat HAM yang terjadi dapat mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan evaluasi terhadap jalannya peradilan kasus pelanggaran HAM di Timtim. Alasan lain adalah karena pengadilan Indonesia dinilai mengingkari kepercayaan yang diberikan masyarakat intenasional untuk mengadili sendiri para pelaku kejahatan internasional. Karena ukuran keadilan belum tercapai, putusan ditingkat MA atau PK tidak bisa dianggap sebagai putusan akhir dan kasus Timor timur dianggap selesai. Justru preseden hukum yang buruk tersebut bisa menjadi pijakan awal bagi Kejaksaan Agung untuk membuka serta mengajukan kembali ke pengadilan seluruh bukti-bukti yang belum digunakan dalam peradilan kasus pelanggaran berat HAM di Timtim. Kejaksaan Agung juga harus melakukan re-eksaminasi dengan memperhatikan serta mengacu pada fakta-fakta, temuan-temuan serta rekomendasi dari Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timtim. Untuk itu, kami mendesak Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk segera mengajukan kembali kasus-kasus tersebut sebagai langkah-langkah nyata memutus rantai impunitas (cycle of impunity) yang hingga kini masih terus berlangsung di tanah air kita.
Kembali Kampus Diserang Sekelompok orang tak dikenal bentrok dengan sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo (UNG), awal Desember lalu. Insiden berawal ketika gerombolan yang sebagian bersenjata tajam ini dengan tiba-tiba mendatangi kampus UNG. Mereka pun langsung menyerang mahasiswa yang ada di sekitar lokasi. Massa juga melempari beberapa fasilitas kampus dengan bom Molotov. Penyerbuan tidak berhenti sampai di situ. Massa makin beringas dan terus merangsek dan mengobrak-abrik semua yang ada di kampus. Para mahasiswa pun berusaha memberi perlawanan seadanya meski akhirnya kondisi ini tidak seimbang. Rektor Universitas Negeri Gorontalo, Nelson Pomalingo, mengatakan massa merusak sejumlah fasilitas antara lain, laboratorium, ruang kuliah dan kantor pusat. Kaca banyak yang pecah, akibat serangan kelompok massa, sejumlah fasilitas belajar mengajar di kampus itu rusak berat. Serangan ini mengakibatkan sebelas mahasiswa terluka diantaranya pada bagian kepala karena terkena sabetan benda tajam. Semua korban dilarikan kerumah sakit setempat. Para mahasiswa yang terluka diantaranya adalah; Arman (memar pinggul dan dada), Razik Gandi (memar di dada kepala, pinggang dan kaki), Frangki Laparaga/Sekjen BEM UNG (bagian belakang kepala bocor), Hendra Haju (robek didahi), Basnis (lecet tangan kiri dan leher), Husain Jawali (dahi atas robek) Mas,ud (robek di kepala), Hasyim Labinta (robek dikaki), Indrus Polapa (luka bagian mata kiri), Haris Sugianto (luka tikaman pada paha kanan). Peristiwa diatas dipicu karena beberapa hari sebelum peristiwa terjadi, mahasiswa gencar berujuk rasa menuntut agar Wali Kota Gorontalo Medi Botutide mengundurkan diri. Para mahasiswa memprotes kebijakan Medi Botutihe yang membongkar restoran milik salah satu dosen UNG yang dinilai tidak mempunyai surat izin mendirikan bangunan (IMB). Saat bangunan dibongkar, mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat. Sejak itulah situasi terus memanas. Akibat serangan ini, selang beberapa saat, mahasiswa menyerang balik. Sasaran serangan adalah rumah Wali Kota Gorontalo Medi Botutihe yang memang tidak terlalu jauh dari kampus. Dari situ sebagian mahasiswa bergerak ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat, menuntut sang penjabat turun. Sementara itu untuk mengantisipasi bentrokan susulan seluruh wilayah Gorontalo dikondisikan dalam status Siaga Satu. Selanjutnya, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Provinsi Gorontalo dan Muspida Kota Madya Gorontalo, serta pihak rektorat UNG bertemu. Pertemuan digelar pasca kerusuhan di kampus UNG. Sementara ribuan mahasiswa se-Gorontalo seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gorontalo, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer, dan Universitas Ikhsan berkumpul di kampus UNG. Mahasiswa menuntut penyerang kampus UNG diusut secara hukum. Walikota Gorontalo Medi Botutihe juga diminta mundur dari jabatanya karena diduga berada di balik penyerangan ini. Menurut mahasiswa, massa yang menyerang kampus UNG adalah preman yang mendukung Medi. Mereka juga menyatakan siap memberikan rekaman gambar video untuk mengidentifikasi penyerang. Untuk mengantisipasi kerusuhan, ratusan anggota kepolisian disiagakan dijalan-jalan raya kota.
Laporan Khusus KASUS MUNIR
Ketika Ia “Dipaksa” Pergi (dikutip dari Laporan Kontras : PEMBUNUHAN MUNIR)
Kepergian Munir yang begitu tiba-tiba, telah meninggalkan kesedihan yang begitu dalam. Begitu banyak yang belum ia selesaikan dan begitu banyak “kata” yang tak sempat kita ucapkan. Kata tentang arti kehadirannya serta perjuangannya dalam membela hak asasi manusia. dan, pilihannya untuk terus berjuang menegakkan kebenaran dibuktikan hingga akhir hayatnya. Kepergiannya meninggalkan cerita panjang bagaimana arti pilihannya-itu bagi kita semua yang ditinggalkan. Bagi kita yang mengerti dan mengetahui apa arti perjuangannya itu. Dan, duka itu begitu menyayat, ketika akhirnya 11 November 2004 kita tahu, Munir dibunuh bahkan sengaja dibunuh dalam pesawat yang akan membawanya terbang kenegeri Belanda guna menuntut ilmu demi memperkaya pengetahuannya dan demi untuk terus membela orang-orang kecil dan mereka yang tertindas. Demi sebuah pilihan, membela si kecil, Munir “wajib” dilenyapkan. Dan kita bukan hanya menangis untuk Munir. Kita menangis untuk negeri ini. Untuk keadilan dan kebenaran yang kembali mati ditangan orang-orang yang bebas mematikan nyawa atau jiwa siapapun yang dikehendakinya. Kita menangis untuk kebenaran. Kita menangis untuk keadilan. Sementara itu, hingga kini kematian Munir seakan sangat sulit untuk diselidiki. Hingga kini titik terang itu seakan masih tak terjangkau. Seakan hukum memang telah mati. Mati selamanya ditangan orang-orang yang tak beradab. Tak seorangpun menyangka, terlebih, Suciwati, sang isteri bahwa pertemuannya di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng merupakan pertemuan yang terakhir dengan sang suami. Kepergiannya yang begitu tiba-tiba sejak awal memang telah membuat kita mengira-gira benarkah Munir meninggal karena sakit (baca: diare)? Atau karena sebab lainnya??? Dibunuh “Arsenik” Kekhawatiran sebab kematian yang tidak wajar dalam kematian Munir menjadi kenyataan. Otopsi Netherlands Forensic Institute mengidentifikasi kandungan zat arsen dosis tinggi dan mematikan dalam tubuh almarhum. Hasil otopsi ini langsung mengundang reaksi keras berbagai kalangan dalam maupun luar negeri. Menurut informasi yang diperoleh Penyidik, awal mulanya berkisar kira-kira 2 jam 30 menit setelah take off dari Singapura, ada laporan penumpang a.n Munir menderita sakit perut, beberapa kali ke toilet dan muntah-muntah. Almarhum sempat meminta bantuan awak Garuda untuk memanggil Dr.Tarmizi. Mengingat awak pesawat tersebut tidak berhasil memanggil Dr.Tarmizi, Alharhum beranjak dari tempat duduknya dan langsung menghampiri Dr.
Tarmizi, untuk selanjutnya menyampaikan rasa sakit yang dideritanya. Dr. Tarmizi kemudian melakukan pertolongan pertama dengan menyarankan agar almarhum diberikan susu, air garam, dan diatab. Beberapa jam kemudian almarhum kembali kesakitan, diberi minum tapi dimuntahkan, oleh Dr. Tarmizi diberikan suntikan dan tenang kembali. Pada 7 September 2004, sekitar pukul 0405 UTC (waktu lokal dan diperkirakan diatas wilayah teritorial negara Rumania) atau sekitar 3 jam sebelum mendarat, Munir diketahui meninggal dunia. Masalah hasil otopsi ini menimbulkan reaksi sangat keras dari pihak keluarga terhadap Pemerintah. Pasalnya, pihak keluarga mengetahui informasi bahwa Munir diracun dari pemberitaan media massa di Belanda pada 11 Nopember 2004, bukan dari pihak Pemerintah Indonesia. Kemudian diketahui, bahwa Pemerintahan Belanda melalui Kedutaan besar Belanda di Jakarta menyerahkan secara resmi salinan dokumen otopsi kepada kementerian Luar negeri RI, melalui Dirjen Amerika dan Eropa Barat. pemerintah Belanda menyatakan bahwa : (1). Keputusan apapun selanjutnya adalah tanggungjawab Pemerintah Indonesia, (2). Hasil otopsi ini membutuhkan investigasi judicial oleh pihak Indonesia, (3). Pihak Belanda bersedia-siap (stands ready) untuk menyediakan bantuan hukum (legal assistance), didasarkan sebuah permintaan resmi (official request for legal assistance). (4). Pihak Belanda mengharapkan Pemerintah Indonesia untuk memberitahukan pada keluarga Munir sesegera mungkin mengenai temuan-temuan laporan tersebut. Namun, masalah ini berlanjut dengan tidak diperbolehkannya keluarga memperoleh salinan otopsi. Atas masalah ini, Suciwati mencoba memintanya secara langsung kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Politik Hukum dan Keamanan, serta Kepala POLRI. Namun jawaban yang diberikan dinilai birokratis olehnya. Malam hari, melalui surat terbukanya KontraS mendesak Pemerintah segera memberikan salinan hasil otopsi kepada keluarga Munir. Untuk selanjutnya mengungkap pembunuhan terhadap Munir. Keesokan harinya, 12 Nopember 2004, Suciwati bersama sejumlah perwakilan organisasi non pemerintah mendatangi Mabes POLRI guna meminta salinan hasil otopsi kematian Munir. Saat pertemuan berlangsung, Kabareskrim Suyitno Landung membacakan dan kemudian memperlihatkan satu berkas fotocopy dokumen berisi surat pengantar Duta Besar Belanda menyerahkan salinan laporan definitif ahli forensik Belanda dan salinan hasil analisa toksikologi Munir mengenai sebabsebab kematian Munir. Pokok temuan pentingnya menyimpulkan, di dalam tubuh Munir terdapat kandungan arsen sebanyak 650 mg / liter di lambung, 3,1 mg/liter di darah (heartblood),
Laporan Khusus KASUS MUNIR dan 4,8 di urine. Kendati begitu, Suyitno menambahkan, belum diketahui bagaimana maupun kapan racun masuk ke tubuh Munir. Sebagai tindak lanjut, Polri membentuk tiga tim, yakni Tim yang akan bertugas menemui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Tim yang bertugas ke Belanda guna memperoleh salinan otentik dari hasil otopsi, dan Tim yang bertugas menjalankan pemeriksaan saksi dan tindakan hukum lainnya. Khusus untuk tim yang kedua, akan melibatkan ahli forensik Belanda dan akan mendalami otopsi dengan ahli forensik di Belanda. Dengan alasan itu, Tim POLRI akan berangkat segera ke Belanda. Suciwati meminta agar perwakilan keluarga juga dilibatkan dalam tim delegasi. Sementara itu, sebagai bentuk cermin sikapnya, SBY menyampaikan 5 (lima) poin penting berkaitan dengan kasus Munir: 1) Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan investigasi; 2) Presiden telah mengintruksikan Polri untuk melaksanakan penyelidikan secara objektif, terbuka dan secara jujur; 3) Deplu ditugaskan untuk berkomunikasi melakukan negosiasi dengan pihak Belanda terhadap perbedaan pemahaman hukum; 4) Jaksa agung diminta berkomunikasi dengan otoritas penegak hukum yang ada di Belanda agar investigasi yang dilakukan benar-benar dapat diwujudkan dengan baik; 5) Proses ini dilakukan dengan tranparan, akuntabel dan menjelaskan kepada rakyat agar bisa mengungkapkan kebenaran. Memburu dokumen otentik Keberangkatan Tim Delegasi POLRI ke Belanda pada pertengahan November 2005 menuai kritik. Karena minimya persiapan, maka dokumen otentik berkaitan dengan kasus meninggalnya Munir tidak dapat diserahkan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI tanpa permintaan resmi (official request) tentang bantuan kerjasama hukum. Setelah terjadi negosiasi antara Dirjen Kementerian Luar Negeri RI --yang datang menyusul TIM Delegasi—dengan pihak Kementerian Kehakiman Belanda, sebagian dokumen (otopsi) diserahkan melalui Kedutaan Besar RI untuk selanjutnya diserahkan kepada TIM Delegasi POLRI. Namun, perjalanan delegasi Indonesia ke Belanda, setidaknya memperoleh hasil minimal. Tim NFI menegaskan, kematian Munir memang disebabkan racun arsenik yang bekerja sangat cepat (rapid) dalam hitungan jam. Tim ahli forensik Indonesia yang juga ikut serta menyatakan hasil laporan otopsi NFI telah memenuhi standar forensik Indonesia dan bisa dijadikan alat bukti hukum, sehingga tidak ada alasan bagi Polisi untuk melakukan otopsi ulang di Indonesia. Sekembalinya Tim Delegasi POLRI dari Belanda, pihak keluarga mendesak Jaksa Agung RI dan Menteri Hukum dan HAM RI untuk mengupayakan diperolehnya barang bukti tersebut. Pihak keluarga telah menemui Jaksa Agung RI
Abdul Rahman Saleh dan Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awaluddin. Pihak keluarga mendesak Menteri Hukum dan HAM meminta sisa-sisa dokumen yang masih ditangan Pemerintah belanda terkait meninggalnya Munir, termasuk menghadirkan ahli forensik dari NFI ke Indonesia guna memastikan waktu masuknya zat arsen ke tubuh Munir. Serta mendesak Pemerintah Indonesia agar mengupayakan diperolehnya BAP (rekaman proses verbal) kepolisian Belanda yang belum diserahkan ke pihak Indonesia yaitu BAP pemeriksaan penumpang dan awak Garuda pada saat pesawat telah sampai di Bandara Schiphol. Berbagai Teror Ketika proses investigasi kepolisian atas kasus pembunuhan politik terhadap alm. Munir masih berjalan isteri alm. Munir, Suciwati, Sabtu (20/11) siang, menerima kiriman paket. Paket itu berisi bangkai potongan kepala, cakar, jeroan, dan kotoran ayam. Sabtu, 20 November 2004, Pukul 11.30 WIB, Seorang petugas pos giro (seragam) berhelm hitam dan jaket hitam menggunakan motor pos datang ke rumahnya di Bekasi, menanyakan rumah Munir. Lalu petugas menyatakan ada kiriman dan meminta keluarga Munir untuk menandatangani tanda terima paket. Suciwaati langsung membuka paket dan melihat ada bungkusan di dalam stereoform. Salah satu anggota keluarga menaruh bungkusan tersebut ke halaman rumah. Ia sempat melihat isi plastik dalam stereoform berupa kepala ayam. Pukul 14.10 WIB, Staf KontraS membuka isi paket. Paket berbentuk kardus coklat dan dibungkus kertas semen warna coklat. Panjang 22 cm, lebar 20 dan tinggi 8 cm. Di dalam kardus coklat, ada stereoform (pembungkus makanan) warna putih, panjang 19 cm, lebar 18 cm dan tinggi 7 cm. Dalam stereoform terdapat bungkusan plastik transparan panjang 13 cm dan lebar 7 cm. Isi Paket : Kepala Ayam, ceker 2 buah dan kotoran ayam semuanya telah membusuk. Dalam stereoform terdapat tulisan : AWAS !!!!! JANGAN LIBATKAN TNI DALAM KEMATIAN MUNIR MAU MENYUSUL SEPERTI INI?! Kepada : Yth. Ny.SUCIWATI, dengan alamat lengkap. Dari : Pengirim: ZULRIZAL UMAR. Jl. Semeru X No.45. Bogor Pukul 15.00 WIB paket tersebut sudah diserahkan kepada aparat Polda Metro Jaya. Pukul 15.30 tim forensic datang dan mendokumentasikannya. Seluruh barang bukti diambil
Laporan Khusus KASUS MUNIR polisi. Sebelumnya, pada tanggal 9 September 2004, keluarga Alm. Munir di Batu, Malang, Jawa Timur, juga menerima teror dalam bentuk surat tanpa ada nama pengirim. Surat ini juga diserahkan ke pihak polisi sebagai barang bukti. Pembentukan Tim Independen Desakan kepada Presiden SBY untuk membentuk Tim Investigasi Kepresidenan terus berlanjut. Awalnya tidak terlalu jelas respon SBY, walaupun SBY memberi sinyal positif kepada Suciwati. Sempat terjadi ketegangan antara pihak Kepresidenan disatu sisi dengan pihak keluarga almarhum Munir di sisi lain. Ketegangan berawal dari pernyataan juru bicara kepresidenan yang mengatakan bahwa usulan membentuk Tim tersebut dinilai belum perlu oleh Presiden. Presiden menilai proses investigasi kepolisian telah berjalan sebagaimana mestinya dan belum menemui halangan berarti. Namun hal ini memicu reaksi yang kian keras. Suciwati didukung sejumlah organisasi hak asasi manusia, menyatakan kecewa atas sikap Presiden. Sementara itu, rapat paripurna DPR meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Investigasi untuk mengusut kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir. Rapat paripurna DPR juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga Munir. Selain itu, rapat paripurna menyetujui pembentukan tim gabungan yang terdiri dari anggota Komisi I dan III untuk membantu pengungkapan kematian Munir. Tim gabungan ini akan mencari fakta agar bisa diketahui segera duduk persoalan yang sebenarnya dari aspek hukum sehingga polemik dalam masyarakat tidak berlarut-larut. Hasil kerja tim nantinya akan disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada polisi sebagai aparat penegak hukum. Baru pada pertengahan Nopember terlihat adanya respon positif. Pemerintah mengundang pihak keluarga almarhum dan sejumlah perwakilan organisasi non pemerintah untuk bertemu guna membahas tindak lanjut mengenai rencana pembentukan tim investigasi kepresiden dan memutuskan tugas, wewenang, kewajiban serta susunan keanggotaan tim. Dua hari paska pertemuan diatas, muncul persoalan. Keputusan Presiden yang ditandatangani pada 23 Nopember 2004 oleh Presiden SBY, ternyata tidak sepenuhnya sama seperti yang disepakati dalam pertemuan di Mabes Polri 21 Desember 2004. Persoalan tersebut adalah mengenai tugas dan wewenang tim serta komposisi anggota. Dalam Kepres No. 111 tahun 2004 disebutkan bahwa Tim Pencari Fakta memiliki tugas dan wewenang, yaitu : (1). Membantu Polri melakukan Penyelidikan, (2). Melakukan hal-hal lain yang dianggap perlu, (3). Memperoleh bantuan dari instansi Pemerintah Pusat dan Daerah. Sementara tiga nama penting yang diusulkan dan disepakati dalam pertemuan Mabes Polri
21 Desember 2004 tidak tercantum dalam Keputusan Presiden. Nama-nama tersebut adalah KH. Syafii Maarif, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Todung Mulya Lubis. Pihak keluarga dan kalangan organisasi non pemerintah mempertanyakan perbedaan ini sebagai masalah serius, sekaligus meminta Presiden memberi penjelasan resmi atas hal itu. Lebih jauh, anggota Tim yang diusulkan dari unsur non pemerintah menyatakan sulit menjadi bagian dari Tim yang dibentuk Presiden apabila tidak ada penjelasan dari Kepresidenan. Peristiwa bencana alam berupa gempa bumi dan gelombang Tsunami di Aceh dan Sumatera bagian Utara pada 26 Desember 2004 membuat perhatian publik terhadap kasus Munir terpecah seketika. Maka kita tunggu saja sejauh mana komitmen presiden untuk menyelesaikan kasus ini.
Ketika Ia Pergi Kepergian Munir yang begitu tiba-tiba, telah meninggalkan kesedihan yang begitu dalam. Begitu banyak yang belum ia selesaikan dan begitu banyak kata yang tak sempat kita ucapkan. Kata tentang arti kehadirannya serta perjuangannya dalam membela hak asasi manusia. dan, pilihannya untuk terus berjuang menegakkan kebenaran dibuktikan hingga akhir hayatnya. Kepergiannya meninggalkan cerita panjang bagaimana arti pilihannya-itu bagi kita semua yang ditinggalkan. Bagi kita yang mengerti dan mengetahui apa arti perjuangannya itu. Dan, duka itu begitu menyayat, ketika akhirnya kita tahu, Munir dibunuh bahkan sengaja dibunuh dalam pesawat yang akan membawanya terbang kenegeri Belanda guna menuntut ilmu demi memperkaya pengetahuannya dan demi untuk terus membela orang-orang kecil dan mereka yang tertindas. Demi sebuah pilihan, membela si kecil, Munir “wajib” dilenyapkan. Dan kita bukan hanya menangis untuk Munir. Kita menangis untuk negeri ini. Untuk keadilan dan kebenaran yang kembali mati ditangan orang-orang yang bebas mematikan nyawa atau jiwa siapapun yang dikehendakinya. Kita menangis untuk kebenaran. Kita menangis untuk keadilan. Sementara itu, hingga kini kematian Cak Munir seakan sangat sulit untuk diselidiki. Hingga kini titik terang itu seakan masih tak terjangkau. Seakan hukum memang telah mati. Mati selamanya ditangan orang-orang yang tak beradab. Dan, dari hasil pengumpulan data yang ada, inilah kronologis perjalanan Munir dimulai ketika ia berangkat menuju kebandara ditemani isteri dan teman-temannya. Tak seorangpun menyangka, terlebih, Suciwati, sang isteri bahwa inilah pertemuannya yang terakhir dengan sang suami. Kronologi untuk fact sheet:
Laporan Khusus KASUS MUNIR Sekitar pk. 18.00 Munir dan Suciwati berangkat dari rumah Bekasi menuju bandara dengan mobil B 1823 WK yang dikemudikan Murdian. Pk. 18.20 Poengky, Aal, Irma, Upie, Ratna dan Giarto berangkat dari kantor Imparsial dengan mobil milik Upie. Sekitar pk. 19.20 Munir sampai di airport. Sekitar pk. 19.25 Suci mengirim sms pada Poengky menanyakan posisi Poengky dan memberitahukan kalau mereka sudah sampai bandara. Poengky menjawab bahwa dia sudah sampai tempat parkir bandara dan akan segera menuju terminal 2E. Sekitar pk. 19.30 Poengky dan Giarto bertemu Munir dan Suci di counter Dunkin Donuts. Munir dan Suci memesan minuman susu coklat. Munir minum coklat. Munir menerima uang fiskal dan menandatangani tanda terima dan buku-buku cek dari Poengky. Sekitar Pk. 19.35 Aal, Irma, Upie dan Ratna bergabung setelah dari toilet. Selanjutnya ngobrol dan foto-foto. Sekitar pk. 20.00 Munir check-in. Sekitar pk. 20.15 Munir keluar dari bandara dan bergabung di hall tunggu 2E. Ngobrol dan berfoto-foto. Sekitar pk. 20.30 Poengky, Aal, Upie, Irma, Ratna dan Giarto pamit. Selanjutnya berfoto-foto dengan Munir hingga pk. 20.45. Pk. 20.45 menunggu Suciwati di luar bandara. Pk. 21.00 Munir mengantar Suciwati keluar, dan kemudian dia masuk bandara. Pk. 21.05 ke tempat parkir dan pulang dengan mobil Upie. Sekitar pk. 21.20 Aal, Poengky, Ratna dan Upie bergantian menilpon Munir dengan hp Poengky. Diperoleh kabar bahwa Munir sehat dan lolos dari cekal dan sedang menunggu di ruang tunggu gate. Dari keterangan crew Garuda diperoleh keterangan: Pesawat GA 974 terbang dari Jakarta menuju Singapura pk. 22.30. Munir duduk di kursi bisnis 3K setelah mendapat boarding pass atas nama Polly Carpus (awak Garuda yang sedang off-duty, tapi bertugas mengawasi kinerja crew Garuda dari Jkt ke Singapura). Munir dan Polly bertemu pada saat akan boarding. Munir makan malam mie goreng dan beef, makan slices buah-buahan (melon, pepaya, semangka, anggur) dan minum orange juice buavita 2 gelas. Semua makanan dan minuman dihabiskan. Pesawat mendarat di Singapura pk. 00.40 dan transit di Singapura selama 1 jam.
Pada saat mendarat, Munir mengirim sms pada Suciwati mengatakan sedang bengong dan perutnya sakit, mungkin maagnya kambuh. Sekitar 10 menit sebelum memasuki pesawat, Munir disapa oleh dr. Tarmizi Hakim.. Pesawat berangkat lagi pk. 01.40. Munir duduk di kelas ekonomi 40G sesuai dengan boarding passnya semula karena boarding pass Polly Carpus hanya sampai Singapura. Pada saat pramugari menghidangkan makan malam, Munir menolak makan dan mengatakan perutnya sakit. Munir minta obat maag kepada pramugari, tapi setelah ditanyakan pada kawan-kawan pramugari ternyata tidak membawa persediaan obat maag. Munir lalu minta dibuatkan teh hangat. Sekitar 2 jam setelah take off, Munir mendatangi pantry dan mengatakan kepada petugas pesawat kalau dia sakit. Ia minta tolong dipanggilkan dokter Tarmizi. Munir memberikan kartu nama dokter Tarmizi dan memberitahu kalau si dokter adalah penumpang kelas bisnis. Munir bolak-balik ke toilet. Muntah dan buang air besar hingga lemas. Munir mengeluh pada dokter bahwa kemungkinan dia keracunan makanan. Oleh dokter dijawab kalau keracunan makanan berarti semua juga keracunan. Munir lalu dipindahkan duduknya dari kelas ekonomi ke kelas bisnis 4 D-E. Dokter menyatakan bahwa Munir menderita muntaber dan mengobati Munir dengan diatabs dan meminta pramugari membuatkan minuman oralit. Minuman yang diminta dokter untuk diminumkan pada Munir adalah teh, susu dan air garam, tetapi semuanya dimuntahkan oleh Munir. Dokter lalu minta persediaan obat di kabin. Oleh purser diambilkan doctor’s kit yang disimpan di kabin dan hanya boleh dibuka oleh dokter. Dokter menanyakan apakah ada persediaan infus karena Munir butuh infus. Ternyata Garuda tidak mempunyai infus. Dokter lalu menyuntikkan obat penenang dan obat sakit maag pada Munir. Melihat kondisi Munir masih kesakitan, dokter lalu menyuntikkan obat lagi. Setelah disuntik, kondisi Munir menjadi lebih tenang. Munir dibiarkan beristirahat, dipasangkan selimut di bawah kursi dan diberikan bantal. Munir mencoba istirahat dengan sesekali dikunjungi dokter, purser dan pramugara. Selama sakit, Munir sudah bolak-balik ke toilet sekitar lebih dari 6 kali. Dokter Tarmizi mendiagnosa Munir terkena muntaber. Kemudian ia hanya meminta agar Pilot mengontak rumah sakit di Schiphol untuk mendatangkan dokter beserta ambulans. Sekitar 2 jam sebelum mendarat, seorang purser mencoba membangunkan Munir untuk menawarinya sarapan pagi ternyata menemukan Munir dalam keadaan sudah meninggal. Purser tersebut meminta dokter Tarmizi untuk memeriksa kondisi Munir dan ternyata setelah diperiksa dokter, Munir dinyatakan sudah meninggal. Jenazah Munir kemudian dibaringkan ke kursi 4 J-K dan disholati.
Laporan Khusus KASUS MUNIR Pilot melaporkan kepada Garuda pusat dan Garuda Schiphol bahwa di pesawat ada penumpang yang meninggal bernama Munir. Pihak Garuda Schiphol lalu melaporkan pada otoritas bandara Schiphol. Setelah pesawat mendarat, polisi bandara lalu melarang semua penumpang turun sampai polisi selesai melakukan pemeriksaan. Polisi menanyai pilot in command yang didampingi semua crew pesawat, para penumpang yang duduk di dekat Munir, dan memeriksa tempat-tempat yang diduduki Munir. Hal itu dilakukan polisi selama lebih kurang 40 menit. Polisi menginterogasi dokter Tarmizi di kantor polisi Schiphol. Polisi juga menahan doctor’s kit sebagai barang bukti dan mengambil semua tas dan barang bawaan Munir. Kejadian di kantor Imparsial Berita meninggalnya Munir sangat simpang siur. Volunteer Imparsial, Erwin, sekitar pk. 12.00 menerima tilpon dari orang yang mengaku dari Garuda yang memberitahukan bahwa Munir meninggal. Tetapi anehnya yang bersangkutan malah bertanya-tanya kepada Erwin tentang apa kerja Imparsial, Munir pergi ke mana? Munir pergi naik apa? Kursi Munir nomor berapa? Tilpon tersebut dianggap Erwin sebagai upaya intelejen untuk mengorek keberadaan Munir, sehingga ketika orang tersebut mengatakan Munir telah meninggal, dibalas oleh Erwin bahwa Munir baru saja menilpon 15 menit yang lalu. Orang tersebut kemudian meletakkan telpon. Erwin lalu memberitahukan pada Poengky dan Iwan yang juga menduga bahwa ini adalah manuver intelejen untuk mengacau. Tilpon kedua yang memberitahukan bahwa Munir telah meninggal diterima volunteer Imparsial Anto yang menerima tilpon sekitar pk. 12.45. Penilpon mengatakan dari Garuda. Anto lalu memberitahukan pada Iwan, dan Iwan memberitahukan pada Poengky. Poengky lalu minta ditilponkan pihak Garuda, tetapi tidak tersambung karena selalu sibuk. Sementara banyak tilpon berdering yang menanyakan apakah betul Munir sudah meninggal. Poengky menilpon Garuda Schiphol, tetapi pihak Garuda Schiphol mengatakan akan menilpon balik sambil menanyakan nomor tilpon Poengky. Karena menunggu terlalu lama, Poengky lalu berinisiatif menilpon Sri Rusminingtyas yang ditugasi Poengky menjemput Munir di Schiphol. Tilpon tersambung pk. 13.00. Sri mengatakan bahwa posisinya ada di Schiphol dan melihat pesawat Munir telah mendarat dan dia melihat penumpang turun satu persatu. Poengky minta Sri mencari informasi karena rumor di Indonesia menyatakan Munir telah meninggal. Sri langsung mencari pramugari Garuda dan menanyakan kebenaran berita bahwa Munir sudah meninggal. Pramugari membenarkan bahwa Munir sudah meninggal dan menyarankan Sri untuk menanyakan secara jelas pada counter Garuda Schiphol. Karena tidak tahu di mana lokasi counter Garuda, Sri lalu menghubungi informasi. Dari sana justru kedatangan Sri ditunggu-tunggu karena otoritas bandara memang menunggu penjemput Munir. Setelah memeriksa paspor dan Sri berhasil menunjukkan bahwa dia memang penjemput Munir (Sri menunjukkan sms Munir kepada petugas dan menunjukkan foto pernikahannya yang dihadiri Munir sekeluarga yang sedianya akan dihadiahkan Sri pada Munir). Pihak kepolisian bandara lalu menginterogasi Sri dan Sri meminta agar jenazah Munir tidak boleh diakses KBRI. Polisi setuju dan menutup akses Munir pada siapa saja. Sri dan Leo Fontijne, suaminya, diijinkan polisi melihat dan mengidentifikasi jenazah Munir.
Setelah mendapat kepastian bahwa Munir benar-benar meninggal, Poengky mengabarkan pada Suciwati. Poengky meminta Bhatara dan Ullie untuk ke kantor Garuda pusat dan meminta kepastian berita meninggalnya Munir pada Garuda. Pk. 15.00 pihak Garuda melalui humasnya Pujobroto menilpon Poengky dan menyatakan secara resmi bahwa Munir meninggal. Pihak Garuda lalu memberitahukan akan menginformasikan berita ini pada istri Munir dan minta ijin pergi bersama Poengky, tetapi berhubung Poengky sudah berangkat terlebih dulu maka Poengky mempersilahkan pihak Garuda untuk pergi ke rumah Munir sendiri. Yang dilakukan setelah Munir meninggal: Pihak keluarga diberi kesempatan mengambil jenazah Munir di Belanda. Sri berpesan bahwa polisi Schiphol akan menginterogasi istri, keluarga dan kawan-kawan yang ikut mengantar ke airport. Oleh karena itu yang berangkat ke Belanda adalah Suciwati, Rasyid (kakak Munir), Poengky (kawan yang mengantar ke airport) dan Usman serta Ucok selaku kawan sekantor Munir. Sesampainya di Belanda setelah diperbolehkan melihat jenazah Munir yang disimpan di mortuarium Schiphol, polisi langsung menginterogasi Suci, Poengky dan Ucok. Interogasi berlangsung masing-masing antara 3 hingga 4 jam. Setelah proses interogasi selesai, Polisi menyatakan akan mengirim hasil otopsi pada Suciwati selaku istri. Proses otopsi normal biasanya 6 minggu, tapi dalam kasus Munir diusahakan 2 minggu. Poengky menyarankan agar hasil otopsi dikirim lewat Kedutaan Besar Belanda untuk mencegah manipulasi pihak pemerintah Indonesia jika dikirim lewat pos. Suci kemudian meminta kepada polisi agar hasil otopsi dikirim melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Jenazah Munir sudah selesai diotopsi pada hari Jumat, sehingga Jumat sore pihak keluarga dapat membawanya pulang. Suciwati memberi kuasa tertulis pada Sri dan Leo Fontijne untuk mengurus keperluan Suci yang berhubungan dengan kasus Munir di Belanda. Sekitar 19 September, Suciwati bertemu dokter Tarmizi di Jakarta dengan didampingi dr. Salim (kakak Munir) dan dr. Jamal (adik Munir). Dari pertemuan dengan dokter Tarmizi diperoleh keterangan Munir meninggal karena dehidrasi akibat muntaber. Dokter sudah berupaya menolong, tapi dalam kabin Garuda kurang lengkap alat-alat kesehatannya, misalnya tidak ada infus. Akhir September pihak polisi Schiphol memberitahukan pada Suci bahwa hasil otopsi Munir masih belum selesai dan minta waktu perpanjangan hingga 6 minggu lagi karena mereka akan melakukan re-examinasi dengan cara melakukan pembiakan bakteri untuk lebih akurat. Pembiakan bakteri tersebut butuh waktu lama. Akhir September pihak Mortuarium Schiphol mengirimkan pakaian Munir, jam tangan dan sepatunya kepada keluarga melalui Sri dan Leo Fontijne. Mereka kemudian mengirimkan pada Suci. Isi paket diterima agak terbuka, ada indikasi sengaja disobek dan diperiksa isinya, tapi semua isinya lengkap.
Laporan Khusus KASUS MUNIR
Akhir September Imparsial menilpon pihak Garuda untuk minta ada pertemuan dengan Garuda. Garuda menyanggupi tapi harus mengatur jadwal para direkturnya supaya bisa bertemu Imparsial dan Suci. Pertengahan Oktober barulah pertemuan dengan pihak Garuda bisa dilaksanakan. Pertemuan berlangsung 3 kali hingga awal November. Akhir Oktober Imparsial menghubungi Kedubes Belanda menanyakan hasil, yang dijawab bahwa hasil otopsi belum selesai dan kalau sudah selesai akan diserahkan pada authority dan pihak authority akan menyerahkan pada keluarga. Pihak authority yang dimaksud ternyata Deplu RI. Imparsial menanyakan pada polisi Schiphol tentang hasil otopsi dan dijawab bahwa hasil otopsi belum selesai dan kasusnya dilimpahkan pada Minister van Justitie. Imparsial diberi nomor Minister van Justitie untuk berhubungan langsung. Sri dan Leo Fontijne ditilpon Minister van Justitie dan diberitahukan bahwa kasus Munir sudah dilimpahkan pada mereka dan masuk dalam kategori high priority. Pihak Kedubes Belanda mengirim hasil otopsi Munir pada Deplu RI tanggal 11 November jam 10.30. Pihak Deplu tidak memberitahukan pada keluarga, tetapi malah mengoordinasikannya dengan Menko Polhukam dan menyerahkan hasil otopsi pada Polri. Imparsial melakukan jumpa pers meminta pemerintah Indonesia menghormati hak Suci dan segera menyerahkan hasil otopsi pada Suci. Pihak Deplu malah membocorkan hasil otopsi bahwa Munir meninggal karena racun arsenik pada wartawan Belanda Dirk Vlasblom yang kemudian memberitakan pada harian NRC. Merasa tidak mendapat tanggapan pemerintah, Suci kemudian menilpon Deplu dan diperoleh jawaban dari Deplu bahwa hasil otopsi harus dikoordinasikan dengan Menko Polhukam dan Polri. Tapi pihak Deplu lewat Arizal (direktur Eropa) menyatakan pada Suci bahwa Munir meninggal karena di tubuhnya ditemukan arsenik. Suci menilpon Menko Polhukam Widodo AS yang dijawab bahwa Presiden SBY memerintahkan agar hasil otopsi segera diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan segera diberitahukan pada keluarga. Sedangkan Kapolri Dai Bachtiar ketika ditilpon Suci mempersilahkan Suci untuk mendapat penjelasan hasil otopsi besok pagi. Tgl. 12 November Suci didampingi beberapa kawan Imparsial, KontraS dan lain-lain ke Mapolri dan diberitahukan hasil otopsi Munir tetapi tidak boleh mengopy atau membawa pulang hasil tersebut dengan alasan terkait masalah pidana sehingga dijadikan barang bukti kriminal. Polisi lalu berinisiatif membentuk team investigasi. Langkah pertama adalah menugaskan beberapa polisi, dokter forensik dan dokter toxic untuk pergi ke Belanda mengambil hasil otopsi yang asli karena mereka hanya menerima hasil fotocopy dari Pemerintah Belanda. Polisi juga berencana melakukan re-otopsi dengan membongkar makam Munir. Ide polisi membongkar makam Munir ini ditentang keras oleh pihak keluarga.
Salinan Dokumen Otopsi Yang Diterima Keluarga Alm. Munir
Setelah pihak keluarga alm.Munir menerima salinan dokumen otopsi dari pihak POLRI, perlu kami sampaikan hal-hal berikut:
Proses otopsi berlangsung sejak 7 Desember 2004. kesimpulan atas pemeriksaan awal adalah Munir meninggal secara wajar tidak dapat dipastikan 100 persen dengan jelas, walaupun tidak ada diperoleh bukti-bukti kelainan. Pemeriksaan kedokteran ini kemudian dilanjutkan oleh Netherland Forensic Institute. Pada 8 September 2004 ahli pathologi tidak menemukan sebab spesifik yang menunjukkan ketidakwajaran. Sehingga periksaan Toksikologi dan mikrobiologis dilanjutkan. Akibat kekerasan luar atau dalam, tidak terlihat pada hasil operasi kecil (section) ini. Berdasarkan laporan dari verbalisant, berkemungkinan Munir mengalami hal yang tidak enak selama di dalam pesawat terbang selama dalam perjalanannya ke negeri Belanda, (adanya muntah-muntah dan diare) dan kemudian meninggal. Pada waktu pemeriksaan section (operasi kecil) isi lambung usus banyak mengandung air. Tidak ada tanda-tanda peradangan yang mencolok dalam saluran lambung dan usus. Juga tidak ada kelainan pada hati, jantung, otak, cairan otak dan jaringan-jaringan otak serta pembuluh paru-paru yang dapat dijadikan sebab yang berarti untuk kematian.
Pada 1 Oktober 2004, hasil pemeriksaan lanjutan menunjukkan: Di dalam Munir ditemukan zat-zat berupa arsenic, paracetamol, metoclopramide, diazepam, dan mefenamic acid. Tidak terlihat adanya alcohol dalam urin dan darah. Juga tidak ditemukan petunjuk-petunjuk reaksi karena alergi sewaktu akan emninggal. Konsentrasi arsenic dalam darah cukup tinggi. Di dalam lambung terdapat dosis arsenic yang cukup fatal. Meninggalnya Tn.Munir dapat dijelaskan karena keracunan arsenic Tidak dapat ditentukan kapan dosis arsenic yang fatal itu diminum ataupun diberikan Bentuk chemis dimana arsenic itu di minum atau diberikan bukanlah merupakan suatu bukti yang menentukan Akan di adakan pemeriksaan lanjutan mengenai zat-zat yang ada di dalam lambung secara organis chemis. Juga akan diadakan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai konsentarsi arsenic tersebut. Bersama ini akan diadakan laporan pelengkap. Laporan ditandatangani Lusthof, ahli toksilogi NFI Pada tanggal 13 Oktober 2004, pemeriksaan lanjutan yang teliti mengenai zat-zat yang ada di dalam lambung secara organis-chemis yang menyimpulkan bahwa Munir meninggal karena keracunan arsenic. Dari hasil pemeriksaan Toksikologi terdapat konsetrasi yang sangat tinggi dari arsenic di dalam darah, urin serta lambung. Darah ; 3.1 mg/liter. Urin; 4,8 mg/liter. Lambung ; 460 mg/liter. Pada 28 Oktober 2004, Menteri Luar Negeri Belanda menginformasikan kepada Menteri Luar Negeri RI tentang kesimpulan hasil otopsi yang menyatakan bahwa Munir meninggal karena diracun arsenik.
Laporan Khusus KASUS MUNIR
Pada tanggal 4 November 2004, berkas laporan forensic diserahkan oleh E.Vissre, Publik Prosecutor Amsterdam kepada Menteri Kehakiman Belanda Meninggalnya Munir dapat ditegaskan karena ekracunan arsenic. Tidak dapat ditentukan kapan dosis yang fatal itu diminum ataupun diberikan bukanlah merupakan suatu bukti yang menentukan. Tidak diperoleh petunjuk-petunjuk reaksi karena alergi sewaktu akan meninggal. Catatan : Arsenikum itu baru dapat bekerja setelah dua jam sampai dengan satu hari Pada 11 November 2004, pemerintahan Belanda melalui Kedutaan besar Belanda di Jakarta menyerahkan secara resmi salinan dokumen otopsi kepada kementerian Luar negeri RI, melalui Dirjen Amerika dan Eropa Barat, A.Effendi. pemerintah Belanda menyatakan; - Keputusan apapun selanjutnya adalah tanggungjawab Pemerintah Indonesia - Hasil otopsi ini membutuhkan investigasi judicial oleh pihak Indonesia - Pihak Belanda bersedia-siap (stands ready) untuk menyediakan bantuan hukum (legal assistance), didasarkan sebuah permintaan resmi (official request for legal assistance) - Pihak Belanda mengharapkan Pemerintah Indonesia untuk memberitahukan pada keluarga Munir sesegera mungkin mengenai temuau-temuan laporan tersebut. Selain hal diatas, perlu disampaikan pula bahwa keluarga alm. Munir bersama dengan kuasa hukum, Imparsial dan KontraS telah bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM RI pada tanggal 9 Desember 2004 Keluarga alm. Munir secara resmi meminta Menteri Hukum dan HAM RI meminta Netherland Forensic Institute (NFI) mengestimasi waktu (tempus) masuknya zat arsen ke dalam tubuh almarhum Munir dan menghadirkan para ahli forensic dari NFI yang terlibat dalam proses otopsi, sebagai saksi ahli (expert witness) di penagdilan RI. Selain itu, keluarga Munir juga mendesak Menteri Hukum dan HAM RI agar seluruh dokumen yang masih berada di tangan pemerintahan Belanda, segera diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin berjanji akan menyampaikan kepada Presiden secara langsung dan mengambil inisiatif bersama Jaksa Agung untuk mengupayakan diperolehnya dokumen pemeriksaan (BAP) oleh kepolisian Belanda serta meminta dihadirkannya saksi ahli dari Netherland Forensic Institute Surat Terbuka Mendesak Pemerintah Segera Mengusut Tuntas Kematian Alm. Munir KontraS menyesalkan lambannya Pemerintah menyerahkan hasil otopsi almarhum kepada pihak kelaurga. Sesuai hukum yang berlaku, pihak keluarga berhak memperoleh hasil resmi otopsi. Pada hari ini, Kamis, 11 November 2004, Kami telah mengubungi Kementerian Luar Negeri, segera memperoleh kabar bahwa hasil otopsi telah diserahkan Pemerintah Belanda kepada pemerintah RI. Dalam hal ini kami menghubungi, Dirjen Perlindungan WNI a/n Bp.fery Adam, Dirjen Eropa Barat a/n. Ibu Retno dan Bp. Arizal, bahkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri a/n. Marty Natalegawa. Namun informasi yang diberikan minim, bahkan terkesan kurang responsive dan koorperatif
Dalam telekomunikasi tersebut, pihak Kementerian Luar Negeri menjelaskan bahwa otopsi akan diberikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan serta Kepala Kepolisian RI. Segera setelah memperoleh informasi tersebut, kami juga menhubungi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Akan tetapi, hasil otopsi belum bisa segera diperoleh. Pihak keluarga merupakan pihak pertama yang seharusnya mengetahui dan mengambil keputusan untuk selanjutnya dijelaskan kepada pihak publik atau tidak. Penyerahan hasil otopsi ini amat diperlukan sebagai kejelasan perkembangan otopsi atas kematian alm. Munir bagi keluarganya. Oleh karena itu, melalui surat terbuka ini, kami mendesak Pemerintah agar segera menyerahkan hasil otopsi tersebut kepada pihak keluarga alm.Munir. Pernyatan Pers Perkembangan Terakhir Hasil Otopsi Munir Menyangkut perkembangan terakhir hasil otopsi terhadap jenazah aktivis hak asasi manusia Munir, maka dengan ini kami menyampaikan beberapa perkembangan dan sejumlah tuntutan sebagai berikut: Kami menyesalkan bahwa informasi terakhir mengenai otopsi Munir tidak diperoleh langsung oleh pihak keluarga namun diperoleh dari pers Internasional yang memperoleh informasi hasil otopsi tersebut dari dirjen Amerika dan Eropa Barat Deplu RI Drs.Arizal Effendi. Didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan hasil otentik terhadap dokumen hasil otopsi Munir, maka pada hari ini, pihak keluarga yang diwakili oleh Suciwati, berinisiatif untuk menemui pihak POLRI yang diwakili oleh Kabareskim Drs. Suyitno Landung. Akan tetapi dokumen yang dimaksud masih di tahan pihak POLRI dengan alasan kepentingan penyidik. Namun demikian, beberapa hal yang menyangkut hasil otopsi telah disampaikan oleh POLRI dengan perincian sebagai berikut : Pertama, berdasarkan dokumen yang diperlihatkan pihak kepolisian kepada keluarga, diketahui hasil analisis tekikologi yang menemukan adanya kandungan arsenic di atas tingkat kewajaran dan mematikan. Kedua, Pihak POLRI juga menyatakan bahwa mereka tengah berupaya untuk secara sepihak melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tingkat lanjut. Kami mendukung pengusutan tuntas atas indikasi awal mengenai kematian Munir, namun demikian halnya dengan mempertimbangkan perkembangan terakhir, kami juga menuntut hal-hal sebagai berikut: 1. Pemerintah harus segera menyerahkan hasil otopsi lengkap kepada pihak yang paling berhak, yaitu keluarga Munir. Tata krama dipolmatik internasional TIDAK BOLEH menghilangkan hal tersebut.
Laporan Khusus KASUS MUNIR 2. Dilakukan suatu investigasi menyeluruh dan terpecaya dengan emlibatkan pihak-pihak masyarakat sipil serta KOMNAS HAM. 3. Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan terhadap Tim investigasi tersebut serta memberikan akses informasi untuk kepentingan pengusutan Jakarta, 12 November 2004 Tertanda; Suciwati (isteri), T.Mulya Lubis, Rachland Nashidik, Usman Hamid
Suciwati Menerima Teror Ketika proses investigasi kepolisian atas kasus pembunuhan politik terhadap alm. Munir masih berjalan isteri alm. Munir, Suciwati, Sabtu (20/11) siang, menerima kiriman paket. Paket itu berisi bangkai potongan kepala, cakar, jeroan, dan kotoran ayam. Kronologis Penerimaan Paket Ancaman Kepada Suciwati Sabtu, 20 November 2004 Pukul 11.30 WIB Seorang petugas pos giro (seragam) berhelm hitam dan jaket hitam menggunakan otor pos warna orange datang ke rumah di jalan. Cendana XII No.12 Bekasi, menanyakan rumah Munir. Lalu petugas menyatakan ada kiriman dan meminta Mulyono (keluarga Munir) untuk menandatangani tanda terima paket. Mul memberikan paket kepada Mbak Suci. Mak Suci langsung membuka paket dan emlihat ada bungkusan di dalam stereoform. Mbak Rena (salah satu anggota keluarga) diminta oleh Mbak Suci untuk menaruh bungkusan tersebut ke halaman rumah. Rena sempat melihat isi plastik dalam stereoform berupa kepala ayam. Pukul 14.10 WIB Staf KontraS membuka isi paket. Indentifikasi Paket: Paket berbentuk kardus coklat dan dibungkus kertas semen warna coklat. Panjang 22 cm, lebar 20 dan tinggi 8 cm. Di dalam kardus coklat, ada stereoform (pembungkus makanan) warna putih, panjang 19 cm, lebar 18 cm dan tinggi 7 cm. Dalam stereoform terdapat bungkusan plastik transparan Panjang 13 cm dan lebar 7 cm. Isi : Kepala Ayam, ceker 2 buah dan kotoran ayam semuanya telah membusuk. Dalam stereoform terdapat tulisan : AWAS !!!!! JANGAN LIBATKAN TNI DALAM KEMATIAN MUNIR MAU MENYUSUL SEPERTI INI?! Dari : Pengirim: ZULRIZAL UMAR. Jl. Semeru X No.45. Bogor
Ditujukan: Kepada, Yth.Ny.SUCIWATI. Jl.CENDANA XII No.12. JAKA SAMPURNA BEKASI SELATAN Pukul 15.00 WIB paket tersebut sudah diserahkan pada polisi. Atas nama Tri dan Bambang dari Polda Metro Jaya. Pukul 15.30 tim forensic datang dan emndokumentasikannya. Seluruh barang bukti diambil polisi. Catatan. Pada tanggal 9 September, keluarga Alm. Munir di Batu, Malang, Jawa Timur, juga menerima terror dalam bentuk surat tanpa ada nama pengirim. Surat ini juga diserahkan ke pihak polisi sebagai barang bukti.
Siaran Pres Forum Solidaritas Pembela HAM Indonesia
Pemerintah Harus Merespon Tawaran Kerjasama Otoroitas Belanda Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehakiman dan HAM, harus segera mengajak kerjasama otoritas Belanda dalam semua tahap penyelidikan kasus Pembunuhan Pejuang HAM Munir terutama berkaitan dengan proses lanjut setelah hasil otopsi diakui dan dapat diterima hasilnya oleh TIM dari kepolisian yang datang ke Belnda beberapa waktu lalu. Kerjasama ini penting untuk membantu pemerintahan Indonesia menjelaskan sebab musabab kematian Munir, terutama setelah pihak NFI dan otoritas politik Belanda melalui Duta Besarnya berkomitmen bersedia untuk membantu Indonesia mengungkapkan kasus pembunuhan Munir. Begitu pula Pemerintahan SBY harus segera merealisasikan terbentuknya TIM independent yang telah diusulkan oleh Imparsial dan KontraS.
Laporan Khusus KASUS MUNIR Pentingnya pengungkapan secepat mungkin kasus pembunuhan Pejuang HAM Munir erat kaitannya dengan bukti komitmen Pemerintahan SBY untuk menunjukkan kepada masyarakat luas, baik nasional maupun internasional tentang pelaksanaan Hak Asasi Manusia, khususnya yang berkaitan dengan proteksi terhadap pejuang HAM sesuai dengan deklarasi PBB pada tahun 1998 tentang Human Rights Defenders Protection. Karena dalam banyak catatan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, kasus yang melanggar deklarasi tersebut juga terjadi, misalnya saja kasus penyerangan kantor KontraS dan PBHI oleh PPM, dan berbagai kasus di Aceh dan Papua serta berbagai kasus lain seperti lingkungan, pendidikan dan buruh. Apalagi Indonesia mulai tanggal 17 Januari mendatang telah secara resmi menjadi Ketua Komisi HAM PBB untuk masa sidang ke 61, jika kasus pembunuhan Munir tidak terselesaikan dan masalah perlindungan pejuang HAM tidak ada progress yang jelas, maka Pemerintah Indonesia hanya mempermalukan dirinya sendiri dalam forum internasional. Sekedar mengingat terutama untuk kasus pembunuhan Munir, bahwa kasus tersebut telah menjadi perhatian secara serius di tingkat Internasional. Beberapa hari yang lalu Solidaritas Pejuang HAM di level Asia memberikan sikapnya untuk meminta pemerintahan Indonesia segera menuntaskan kasus tersebut, belum lagi komunitas Eropa yang sejak awal telah mengawal kematian yang tidak wajar ini. Penyelesaian kasus ini secara cepat dan mendapatkan ‘dalang’dibalik pembunuhan ini akan penting artinya bagi proses transisi demokrasi di Indonesia. Hal ini, karena dalam sejarah dinamika politik di Indonesia pembunuhan orang menjadi bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan. Kita masih ingat pembunuhan Petrus pertengahan 80-an, pembunuhan Marsinah Medio awal 90-an, dan lain-lainnya. Jika kasus pembunuhan pejuang Hak Asasi Manusia, Munir, dapat terungkap maka satu point penting dalam proses transisi demokrasi telah kita dapatkan, yaitu kemampuan membongkar jaringan kerja untuk mencapai kepentingan politik yang menggunakan kekerasan. Sehingga, dalam agenda Transisi menuju demokrasi monitoring kelompok yang memiliki potensi melakukan pembunuhan, penculikan dan lain-lain secara misterius dan tertutup semua jaringan intelijen menjadi satu agenda penting. Disamping berbagai persoalan diatas, Satu fakta baru yang amat kami sesalkan terungkap kemarin, hari Selasa dalam rapat kerja Pemerintah Belanda dengan parlemennya mengenai penanganan pemerintah Belanda dalam kasus terbunuhnya Munir, adalah kenyataan bahwa Menlu Indonesia H.Wirayuda dan Presiden SBY pada tanggal 28 Oktober 2004. Banyak langkah-langkah investigasi awal yang bisa dilakukan mulai saat itu tanpa menunggu kebocoran melalui media Belanda nrc 11 November 2004. Berangkat dari berbagai soal diatas, Forum Solidaritas Pembela HAM Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Menyayangkan keterlambatan respon dari pemerintah terutama Hasan Wirayuda yang sebenarnya telah mengetahui bahwa Munir meninggal akibat racun Arsenikum pada tanggal 28 Oktober ketika menteri Luar Negeri Belanda Ben BOT bertemu di Jakarta. Seharusnya informasi tersebut segera ditindaklanjuti, sehingga kasus ini cepat diungkap dan mempermudah koordinasi antar instansi yang terkait. 2. Meminta kepada Pemerintahan SBY terutama Menteri Kehakiman dan HAM untuk segera merespon komitmen NFI dan Pemerintahan Belanda untuk kerja sama dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir. 3. Segera merealisasikan TIM Independen yang telah diusulkan oleh Imparsial dan KontraS 4. Meminta kepada Pemerintah untuk segera menandatangani Deklarasi Perlindungan terhadap Pejuang HAM tahun 1998 sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja HAM, terutama setelah pengalaman pembunuhan Munir dan pejuang HAM yang lain.
Tim Pencari Fakta Munir Terbentuk Setelah memakan perdebatan yang memakan waktu, Tim Pencari Fakta Kasus meninggalnya Munir terbentuk dengan ditandatanganinya Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang pembentukkan tim itu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (29 Desember). Pembentukan team ini sebelumnya juga diawali oleh pertemuan Suciwati, Keluarga Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto. Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik dan pengacara Todung Mulya Lubis (24 Desember). Pertemuan ini untuk mendesak presiden agar segera membentuk tim investigasi independen. Keputusan Presiden (Keppres) itu menetapkan Brigadir Jenderal (Pol) Marsoedi Hanafi, yang sekarang merupakan penjabat Kepala Biro Perencanaan dan Adminitrasi Kepolisian Negara RI (Polri), sebagai Ketua merangkap Anggota. Sementara Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), ditetapkan sebagai Wakil Ketua merangkap anggota. Sebanyak 12 orang ditetapkan sebagai dalam tim tersebut. Mereka adalah pengamat dan praktisi hukum Bambang Widjojanto, Hendardi, Usman Hamid, Munarman, Smita Notosusanto, I Putu Kusa, Kumala Tjandrakirana, Nazarudin Bunas, Retno LP Marsudi, Arief H Oegroseno, Rachland Nashidik, dan Mun’im Indris. Marsoedi Hanafi mengatakan masa kerja tim ini ditetapkan tiga bulan, dan dapat diperpanjang tiga bulan berikutnya.
Laporan Khusus PERINGATAN HARI HAM Peringatan Hari HAM 2004 Setiap tahun, 10 Desember selalu diperingati sebagai tonggak sejarah Hari Hak Asasi Manusia Internasional, oleh berbagai kalangan masyarakat dunia, terutama gerakan korban dan para pembela hak asasi. Pelanggaran HAM digunakan sebagai alat kontrol politik dari kekuasaan yang korup. Model kekuasaan ini kemudian berakibat pada hilangnya hak-hak dan kebebasan rakyat yang fundamental; hak hidup, hak bebas dari siksaan, hak berpendapat, berkumpul dan berorganisasi, hak atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan tempat tinggal, serta hak dan kebebasan lainnya. KontraS yang tergabung dalam Komite Sepuluh Desember yang terdiri dari LSM (WALHI, DEMOS, CETRO, dll), Keluarga Korban (Trisakti, Semanggi, Tanjung Priok, IKOHI, dll) dan Gerakan Mahasiswa (LMND, LS-ADI, PMII, dll) memperingati Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2004 dengan mengadakan berbagai bentuk rangkaian kegiatan yang diawali dengan siaran pers bersama pada tanggal 7 Desember 2004. Pada siaran pers ini, Komite Sepuluh Desember mengemukakan tujuan diadakannya peringatan HAM yakni: a. Mengingatkan kembali kepada publik bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih terus terjadi dan tidak pernah diselesaikan secara tuntas, telah menimbulkan ketidakadilan yang terus berlangsung dan secara khusus menambah penderitaan korban dan keluarganya. b. Penguatan gerakan masyarakat sipil bagi pemajuan dan perlindungan HAM, dengan meningkatkan kontrol atas kekuasaan negara. c. Menyerukan solidaritas untuk semua korban pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Kemudian pada tanggal 8 Desember diadakan Panggung Rakyat untuk Munir bertempat di halaman YLBHI Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Acara terdiri dari, pemutaran film: Pelanggaran HAM dan Perjalanan Hidup Munir, orasi oleh Munarman (Direktur YLBHI), Suciwati (Istri Al. Munir), Rachland Nashidik (Direktur Executive Imparsial), dll. Juga diadakan Peresmian patung Munir oleh Suciwati serta hiburan yang dibawakan oleh Iwan Fals. Sedangkan pada tanggal 10 Desember 2004, aksi unjuk rasa dilakukan di Bundaran HI sampai dengan Istana Presiden, yang berisikan orasi-orasi kemanusiaan oleh korban pelanggaran HAM, tokoh-tokoh dan lain-lain. Terkait dengan momentum hari HAM sedunia, peringatan ini juga mengeluarkan beberapa pernyataan sikap untuk menuntut Pemerintahan SBY-Kalla membuktikan komitmennya atas penegakan HAM, melalui: 1. Pengusutan dan penyelesaian secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM a. Kasus-kasus pelanggaran berat HAM & masal yang tak terselesaikan sejak Rezim Soeharto sampai saat ini: Peristiwa 65, Tanjung Priok, kasus Marsinah, kasus 27 juli 1996, kasus Talangsari Lampung, Kasus Badega Jawa Barat, Kasus Trisakti, Kasus Semanggi I & II, Kerusuhan Mei 1998, DOM di Aceh & Papua, peristiwa kekerasan UMI Makasar, kerusuhan Poso & Ambon, dll.
b. Peristiwa pelanggaran hak-hak rakyat di bidang ekonomi sosial & budaya: Penggusuran (terhadap PKL, perumahan rakyat dan fasilitas pendidikan), PHK massal, pelecehan terhadap TKI, kebijakan upah murah, buruh kontrak, peristiwa Bulukumba, peristiwa Larantuka, peristiwa Manggarai, peristiwa Subang, peristiwa Indorayon & Teluk Buyat, sampai yang paling terakhir peristiwa Bojong. c. Hapuskan Impunity dengan mengadili SELURUH pelanggar HAM: Berbagai macam peristiwa kekerasan, pelanggaran HAM & perebutan hak-hak rakyat (korupsi, kolusi, nepotisme) yang melibatkan para pejabat negara, birokrasi, parlemen, peradilan, polisi & tentara mulai rejim Soeharto sampai sekarang tidak pernah kunjung jelas peradilannya 2. Cabut & Amandemen Produk hukum & perundangan yang tidak berpihak pada rakyat. Laksanakan UU yang pro rakyat!! a. Cabut UU KKR (pulihkan hak-hak korban, bentuk komisi kebenaran sejarah), Cabut UU Terorisme, Tolak RUU Intelejen, Cabut pasal-pasal karet/hartzai artikelen di KUHP b. Cabut UU Ketenagakerjaan, UU PPHI, UU PPTKILN, UU Sisdiknas, UU Privatisasi air, UU Tambang c. Amandemen UU TNI Dalam beberapa hal ada kemajuan dalam UU setelah banyak tekanan & protes dari kekuatan pro demokrasi disebabkan UU ini yang mempunyai tendensi kembalinya militerisme, juga dominasi tentara dalam kehidupan berbangsa & bernegara, meskipun begitu ada beberapa hal dalam UU yang belum ada kemajuannya bahkan mengalami kemunduran, maka perlu diamandemen d. Laksanakan UU Pembaharuan Agraria (UU no 5 tahun 1960). UU ini sebetulnya sudah mempunyai semangat kerakyatan & pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) yang adil, bahkan mampu menyelesaikan persoalan SDA (konflik tanah, air yang diprivatisasi, dll). 3. Perlindungan Hak-Hak Politik Rakyat; Perlindungan terhadap pembela HAM! Perlindungan terhadap perempuan, anak-anak & TKI/TKW! Tolak kriminalisasi perjuangan rakyat! Pemerintahan SBY-Kalla sebagai representasi dari Negara harus segera menandatangani Deklarasi Perlindungan terhadap Pembela HAM tahun 1998, sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja HAM, karena selama ini terdapat beberapa kasus-kasus seperti: a.Kriminalisasi para aktivis pejuang HAM, yang dipenjarakan lewat pasal-pasal karet Hartzai Artikellen: Mahendra (LMND, dipenjara di LP Wirogunan DIY), Penangkapan & pemenjaraan aktivis dengan tuduhan menghina kepala negara (Ignas K. Mau, dll), pedagang kota bumi Tangerang, ribuan tapol/napol korban darurat militer di Aceh, 19 warga bojong, dan Pejuang HAM lainnya. b.Kasus-kasus penculikan & penghilangan paksa: Widji Tukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus Anugerah, dll (1996), Zulfikar & Muklis (paska dicabutnya DOM di Aceh (2003), Aristoteles dari Papua & banyak lagi yang tak terlaporkan. c.Pembunuhan politik yang dialami oleh para aktivis HAM: pembunuhan Cak Munir, Sadam Husein/Chuzaini (PRD) yang tidak mendapatkan pengobatan hingga
No
Jabatan
Jakarta Bandung Sul-Sel
NAD L
P
1 Mahasiswa
11
2 Aktivis LSM
4
L
P
L
P
3
L
P
Irian Jaya
NTT L
P
L
86
100
1
3 Guru/Dosen
5 1
4 Aktivis Pendidikan
Total
P
2
3
1
1
5 Wartawan
2
6 Aktivis Serikat Petani
35
5
0 40
7 Masyarakat Sipil
6
6
8 PNS
1
1
9 Pegawai Swasta
1
1
10 Aktivis Gerakan Total
3
4
26
7
1 2
1
1
8 88
35
5
2
165
Laporan Khusus PERINGATAN HARI HAM meninggal di dalam penjara, pembunuhan terhadap Theys Uluway dari Papua & Jafar Siddik dari Aceh. d. Pelanggaran terhadap hak perempuan dan anak kerap sekali terjadi di rumah tangga dan di kehidupan sosial, juga persoalan TKI/TKW Hal ini sebagai implikasi dari pemberlakuan UU No 1/1974 tentang erkawinan. Kemudian persoalan eksploitasi terhadap anak-anak dibawah umur dalam proses industri (pekerja anak) dan sebagai pekerja seks. Perdagangan manusia berkedok pemberian kerja atau pengiriman TKI-TKW. 4. Pembebasan Tapol/Napol tanpa syarat serta rehabilitasi nama baik tapol/napol Para tapol & napol sejatinya adalah para pejuang kemanusiaan terlepas mempunyai tendensi politik tertentu akan tetapi karena penguasa & pemilik mempunyai kepentingan mempertahankan kekuasaan & modal maka para tapol & napol adalah korban. 5. Cabut darurat sipil di Aceh, kembali ke perundingan & hentikan operasi militer dan lakukan dialog nasional seluas-luasnya bagi rakyat Papua. 6. Ratifikasi konvenan internasional hak-hak ekonomi dan budaya, ratifikasi konvenan internasional hak-hak sipil dan politik, serta ratifikasi konvenan-konvenan internasional lainnya
Jumlah korban Peristiwa
No
1
Penangkapan & penahanan sewenang-wenang mahasiswa 14 IAIN di Aceh pada bulan februari
2
Penangkapan & penahanan sewenang-wenang Aktivis 1 AMAN di Aceh pd bulan Maret
3
Bulan Juli, 1 guru dan 1 aktivis pendidikan dijadikan tersangka karena dianggap melakukan 2 sekolah illegal di Jakarta
4
Penangkapan & penahanan sewenang-wenang 1 Aktivis 1 Flora Fauna di Aceh
5
Penganiayaan 2 wartawan di 2 Irian Jaya
Polisi
TNI
Pemda DKI
Pamong Praja
Dinas Kehutanan
6
Penangkapan & penahanan sewenang-wenang serta penganiayaan terhadap 1 Aktivis 1 SAP di Bandung
7
Penganiayaan 82 mahasiswa dan penghilangan 4 mahasiswa dan penganiayaan 2 dosen UMI di Sulawesi Selatan pd bulan 88 Mei
8
Penangkapan sewenangwenang, penganiayaan & pembunuhan di luar prosedur hukum terhadap 40 aktivis serikat petani manggarai di NTT 40 pada bulan Maret
9
Penangkapan & penahanan sewenang-wenang 2 Aktivis Pemraka dan 8 warga sipil di kantor Pemraka di Aceh pd 10 bulan Agustus
10
Penangkapan & penahanan sewenang-wenang 6 Aktivis Perempuan Merdeka di Aceh 6 pada bulan Agustus
Rempah-rempah Munir Seratus Hari Munir Bila iman adalah engkau maka benarlah kata kiai. Iman menjaga kemanusiaan dan nurani. Tapi mengapa kau dijemput terlalu pagi Mungkinkah pohon yang kau rawat selama ini bersemi? (puisi, A. Mustofa Bisri/dibacakan memperingati seratus hari Munir di Jakarta). “Kita harus terus mengingatkan aparat penegak hukum dan pemerintah agar mereka tidak bersantai-santai karena mengira bahwa kita lupa. Jika kita lupa maka kasus ini makin tidak ditangani,” tegas Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, ketika menghadirkan dan memberikan orasi kemanusiaannya pada saat peringatan seratus hari meninggalnya Munir di Wisma Antara, Jakarta. Hidayat lebih lanjut mengingatkan bahwa masih banyak kasus-kasus HAM yang perlu diingatkan lagi agar pemerintah sadar ada tanggungjawab untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Termasuk kasus meninggalnya Munir. Menurutnya, penuntasan kasus kematian Munir sebenarnya lebih mudah jika dibandingkan pengungkapan kasus-kasus terorisme lainnya di Indonesia. Ia menegaskan kembali bahwa hal ini tidak terlalu sulit, karena rentang peristiwanya jelas. Orang-orang yang bersamanya jelas. “Jika teroris bom saja bisa dikejar sampai keujung Kalimantan, kenapa hal ini sulit dilakukan pada kasus Munir. Dengan tidak terkuaknya kasus kematian Munir, saya khawatir akan munculnya terror atas demokrasi dan demokratisasi serta pelanggaran HAM lainnya di Indonesia,” tegas Hidayat Nur. Peringatan seratus hari meninggalnya Munir ini diawali dengan diskusi yang dipandu oleh Smita Notosusanto (Cetro), yang menampilkan Rachlan Nasidik (Imparsial), Zumrotin K.Soesilo (Komnas HAM), Lukman Hakim Saefuddin (DPR). Diskusi ini membahas tentang pentingnya segera dikeluarkannya UU untuk pelindungan para aktivis HAM. Pada acara ini Suciwati, isteri almarhum Munir memberikan pigura yang bertulisan tulisan “Mengapa dia Dibungkam” kepada Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Peringatan seratus hari Munir di tempat terpisah diselenggarakan bertepatan dengan peluncuran buku berjudul “Munir sebuah Kitab Melawan lupa” di Jakarta yang dieditori oleh Jaleswari Pramodhawardani dan Andri Widjajanto. Acara peluncuran Munir juga dihadiri ratusan undangan dari berbagai kalangan, juga diisi dengan nyanyian dari Oppie Andaresta dan Iwan fals serta Butet Kartaradjasa. Juga Mustofa Bisri yang membacarkan puisinya berjudul Munir.
Healing Wounds, Mending Scars Mulai 6 – 10 Desember 2004, sekitar 40 orang keluarga korban kasus penghilangan paksa dan pendamping dari India, Indonesia, Pakistan, Philipines, Srilanka dan Thailand berkumpul dalam Konfrensi dan Program Rehabilitasi Psikologis bagi Korban Kekerasan. Dalam acara yang bertema Healing Wounds, Mending Scars para keluarga korban bertemu untuk saling berbagi pengalaman, saling menguatkan dan membangun solidaritas bersama dari antar negara. Acara ini merupakan salah satu program Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) yang dilaksanakan di Bogor melalui kerjasama Kontras dan Ikohi. Selain itu, dalam rangkaian acaranya, para keluarga korban penghilangan paksa juga menyatakan duka yang mendalam terhadap terbunuhnya Munir, salah seorang pembela HAM yang berasal dari Indonesia dan gigih berjuang untuk mendampingi korban penghilangan paksa, serta Aasia Jeelani dari India, seorang pendamping korban dari yang meninggal akibat ledakan ranjau di Kashmir. Dalam acara tersebut, keluarga korban difasilitari oleh psikolog dari Philipina dan FEDEFAM, organisasi yang konsern dengan isu penghilangan paksa dan Amerika Latin. Melalui metode partisipatif, para keluarga korban saling mengungkapkan perasaan dan berbagi pengalaman lewat relaksasi dan seni. Bersama menangis, tertawa dan bergembira. Pada 8 Desember 2004, delegasi juga mengadakan audiensi dengan Komnas HAM. Sekretaris Jenderal AFAD, Aileen D Bacalso mendesak Komnas HAM Indonesia untuk membentuk tim penyelidik untuk kasus penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia. Selain itu, delegasi juga meminta Komnas HAM untuk mendukung adanya Konvensi Anti Penghilangan Secara Paksa yang saat ini sedang diolah oleh PBB. Zoemrotin Soesilo, Wakil Ketua Komnas HAM menyatakan bahwa hambatan atas terbentuknya tim penyelidik dikarenakan adanya mekanisme internal yang panjang. Sementara Komnas HAM secara tegas mendukung adanya Konvensi Anti Penghilangan Secara Paksa. Dalam rangka memperingati Hari HAM 10 Desember 2004, para peserta juga berpartisipasi dengan kelompok korban dan masyarakat sipil di Jakarta, melakukan aksi di Istana Negara, mendesak negara bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Kasus Orang Hilang terjadi di 63 Negara Isu orang hilang telah menjadi isu internasional. Bentuk pelanggaran berat HAM seperti ini telah banyak dilakukan oleh pemerintah yang represif. Berdasarkan laporan UNWGEID (United Nation Working Group on Enforced or Involuntary Disappearence). Pelanggaran HAM seperti ini hampir terjadi di 63 negara di dunia. Di Asia, kasus orang hilang masih terjadi, bahkan jumlahnya lebih besar dibandingkan negaranegara lain. Contohnya Srilangka, data yang dicatat oleh Amnesty Internasional sebanyak 60.000 kasus orang hilang. Di Kamboja diperkirakan 3 juta kasus orang hilang. Di India, antara 19911993 banyak ditemukan mayat yang tidak dapat dikenali akibat penculikan. Di Philipina, walaupun sudah ada sedikit perbaikan dalam iklim demokrasi, tetapi masih tercatat 1640 kasus orang hilang yang tidak terpecahkan. Di negara yang mempunyai organisasi yang konsern terhadap kasus orang hilang berusaha untuk menjalin kerjasama regional dengan organisasi dari negara lain. Karena hal itu dirasakan perlu untuk berjuang melawan impunity. Pentingnya berbagi pengalaman dengan negara-negara lain yang telah sukses lebih dahulu menangani kasus orang hilang ke tingkat Internasional contohnya FEDEFAM (Latin American Federasion of Associations of Relatives Disappeared Detaines), yang telah memiliki akreditasi untuk memberikan laopran ke UNWEIGD. Sekilas AFAD The Asian Federasion of Against Involuntary Disappearance (AFAD), didirikan bulan November 1998, merupakan salah satu organisasi regional yang konsern khususnya dengan kasus orang hilang dan pelanggaran HAM pada umumnya. Keanggotaan AFAD sendiri terdiri dari beberapa organisasi diantaranya FIND (The Families of Victims of Parents and Family Members of Disappeared) dari Philipina. APDP (Association of Parents of Disappeared Persons) dari Khasmir. Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) dari Indonesia. Dengan kerjasama regional dan internasional tersebut diharapkan dapat menciptakan kesamaan gerak dalam perjuangan/advokasi kasus Orang Hilang ke pemerintah masing-masing di tingkat nasional maupun internasional. Salah satu kegiatann AFAD adalah melakukan kampanye ke kedutaan dari masing-masing perwakilan negara. Dalam periode 2003 – 2006, terpilih Presiden AFAD, Munir, SH dari Indonesia dan Aileen D Bacalso dari Filipina.
Rempa-rempah AKSI
Rangkaian Aksi Hari HAM 2004 Setiap tahun, 10 Desember selalu diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional, oleh berbagai kalangan masyarakat dunia, terutama gerakan korban dan para pembela hak asasi. Tidak terkecuali di Indonesia. Di Jakarta Dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2004 diadakan berbagai bentuk rangkaian kegiatan. Diantara, Panggung Rakyat untuk Munir bertempat di YLBHI Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Acara terdiri dari, pemutaran film: “Pelanggaran HAM dan Perjalanan Hidup Munir”, Orasi Anti Kekerasan oleh Munarman, Suciwati, Rachland Nashidik. Juga diadakan Peresmian patung Munir, oleh Suciwati serta hiburan yang dibawakan oleh Iwan Fals. Serta unjuk
Rasa yang dilakukan di Bundaran HI sampai dengan Istana Presiden, selama unjuk rasa diisi pula orasi-orasi kemanusiaan oleh korban pelanggaran HAM, tokoh-tokoh dan lain-lain. Terkait dengan momentum hari HAM sedunia, peringatan ini juga mengeluarkan beberapa sikap/komitmen untuk menuntut Pemerintahan SBY-Kalla membuktikan komitmennya atas penegakan HAM, diantaranya: Segera membentuk tim investigasi independen untuk kasus Munir Memberikan dan menandatangani Deklarasi Perlindungan terhadap Pejuang HAM tahun 1998, sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja HAM, dikarenakan masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum selesai dituntaskan. Pengusutan dan penyelesaian secara tuntas kasus pelanggaran HAM Cabut/ revisi UU dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat Melakukan Amandemen UU TNI Cabut UU KKR, pulihkan hak-hak korban, bentuk komisi kebenaran sejarah Pembebasan Tapol/napol tanpa syarat serta rehabilitasi nama baik tapol/napol Hapuskan impunity dengan mengadili seluruh pelanggar HAM Cabut darurat sipil di Aceh dan kembali ke perundingan Hentikan operasi militer dan lakukan dialog nasional seluas-luasnya bagi rakyat Papua Perlindungan terhadap perempuan dan TKI-TKW dan anak-anak Ratifikasi konvenan internasional hak-hak ekonomi dan budaya, ratifikasi konvenan internasional hak-hak sipil dan politik, serta ratifikasi konvenan-konvenan internasional lainnya
Solidaritas Rakyat Untuk Korban Pelanggar HAM Pada 7 September 2004, berbagai organisasi LSM, Gerakan Mahasiswa dan Komunitas Korban Pelanggaran HAM dan lain-lainnya kehilangan seorang tokoh pejuang HAM yang sejati, Munir. Kegigihannya dan kesuksesannya dalam memperjuangkan dan menyelesaikan berbagai macam kasus pelanggaran HAM sangat layak untuk mendapatkan penghormatan dari seluruh elemen. Namun Munir meninggal secara tragis, Beliau meninggal dengan tidak wajar. Beliau diracun. Kematiannya yang mendadak dan tragis merupakan kehilangan yang besar dan teka teki bagi komunitas korban pelanggaran HAM, kalangan LSM bahkan masyarakat Indonesia dan Masyarakat Internasional. Pada masa lalu, praktek-praktek pembunuhan, kriminalisasi aktivis, dan penghilangan orangorang yang kritis dalam hubungannya dengan segi politis dan hak-hak warga negara terjadi baik secara terbuka maupun tertutup. Namun sekarang di era demokrasi yang semakin terbuka dalam kehidupan bangsa Indonesia, ternyata pembunuhan yang bermotif politis masih terjadi, salah satunya yang terjadi pada Munir. Kasus pembunuhan terhadap Munir ini merupakan peristiwa nasional yang mendapatkan sorotan dari seluruh lapisan masyarakat nasional maupun internasional. Hal ini tentunya harus mendorong kita untuk meminta pemerintah dan jajaran penegak hukum untuk bekerja menuntaskan kasus ini. Dengan adanya dorongan penuntasan kasus ini, diharapkan kasuskasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di Indonesia juga akan segara terselesaikan. Harapan akan adanya penuntasan kasus ini harus didorong dengan berbagai bentuk. Adapun bentuk-bentuk untuk mendorong agar kasus ini diselesaikan, direalisasikan dalam beberapa kegiatan yang dibuat. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan adalah aksi massa, menuntut direalisasikannya pembentukan tim investigasi independen, di bawah presiden untuk mengusut kasus Munir. Aksi ini diselenggarakan di Bundaran HI dilanjutkan ke kantor Menkopolkam dan Istana Negara, pada awal Desember lalu. Aksi ini diikuti oleh sekitar 300 orang yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat.
Rempa-rempah MEI Ziarah ke Makam Korban Semanggi I Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, terjadi di depan Universitas Trisakti yang merengut 4 korban jiwa mahasiswa. Namun tragedi sejenis ini terjadi lagi di Semanggi pada 13 November 1998 dan 24 September 1999. Dua peristiwa ini telah merengut 8 korban jiwa mahasiswa, ditambah dengan korban jiwa lainnya dari masyarakat umum. Lima tahun lebih sudah berlalu. Peristiwa berdarah Semanggi I tidak bisa dilupakan begitu saja. Keluarga korban Semanggi I dan keluarga korban Pelanggan HAM yang lainnya masih menderita akibat hilangnya anak-anak mereka, sang buah hati. Entah sudah berapa instansi ditemui keluarga korban untuk mendesak pertanggungjawaban hukum atas kasus ini. Sementara keadilan dan penegakan hukum yang selama ini diperjuangkan belum menampakkan titik terang yang berarti. Selama ini, proses hukum terhadap peristiwa-peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tersebut selalu terbentur hambatan teknis, hukum bahkan politis. Mulai dari adanya rekomendasi paripurna DPR yang menyatakan tidak adanya pelanggaran berat HAM dalam peristiwa ini, lemahnya perhatian Presiden, alasan teknis formil-yuridis Jaksa Agung atas kelengkapan pemeriksaan tingkat penyelidikan serta ketidakmauan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan Komnas HAM pada 2002 lalu. Walhasil, hingga kini sudah 3 kali berkas tersebut bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Bahkan tampak ada kebuntuan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus ini. Komnas HAM sempat mengirimkan surat kepada DPR, meminta DPR untuk meninjau ulang hasil rekomendasi DPR mengenai kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Surat tersebut sempat direspon secara positif dengan janji Komisi Hukum DPR. akan melakukan tinjauan ulang. Namun, hingga berakhirnya masa jabatan DPR tahun 2004, janji tersebut tidak pernah terwujud. Akhir Oktober 2004, berangkat dari harapan akan terbentuknya pemerintahan baru dan juga Jaksa Agung yang baru, keluarga korban kembali mendesak penyidikan dan penuntutan atas kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, secara konsisten dan profesional. Namun tampaknya tidak ada penjelasan baru atas kebuntuan hukum. Kejaksaan Agung masih menggunakan alasan yang jauh dari logika hukum yang berpijak pada prinsip keadilan. Kejaksaan Agung kembali mengembalikan permasalahan pada hal – hal yang bersifat teknis yuridis. Akan tetapi kebuntuan hukum dan politik dari pemerintah yang masih berlanjut sampai saat ini tidak menyurutkan keluarga korban dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat “mengingatkan” peristiwa pelanggaran HAM. Awal November lalu (KontraS) mengadakan ziarah ke makam korban Semanggi I di Taman Pemakaman Umum Joglo (makam Wawan, mahasiswa Atmajaya) dan Taman Pemakaman Umum Tanah Kursi (makam Sigit, mahasiswa Atmajaya). Kegiatan ini dihadiri oleh keluarga korban dan mahasiswa Atamajaya, mahasiswa YAI, serta para alumni . Setelah acara ziarah ini selesai, perjalanan dilanjutkan dengan melakukan aksi ke KeJaksaan Agung. Aksi ditujukan untuk kembali meminta dan mendesak diselesaikannya kasus TSS ini.
Tragedi Nasional untuk Aceh Gempa terdahsyat sejak 40 tahun terakhir mengguncang kawasan Aceh pada akhir Desember di ujung tahun 2004. Beberapa menit setelah itu, terjadi gelombang Tsunami yang tinggi airnya mencapai 6-9 meter meter. Sedikitnya 15 ribu orang tewas di kawasan Asia Tenggara dan Selatan akibat tsunami yang dipicu gempa tersebut. Di Aceh sendiri jumlah korban tewas diperkirakan sekitar 20 ribu (angka ini akan terus melonjak) Di Sumatera (Nias), Depkes melaporkan sekitar 15 orang tewas. Badan Geofisika dan Meteorologi AS,mencatat gempa di Aceh tersebut berkekuatan 8,9 skala Richter (SR). Tsunami setinggi lima meter melanda sebagian besar wilayah barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tercatat, selain Banda Aceh, Tsunami terjadi di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Selatan, Bireun, Aceh Besar, dan Singkil serta beberapa kota/kabupaten lain. Dipastikan akibat gempa dan tsunami dahsyat ini, dibeberapa daerah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam rata dengan tanah. Presiden Yudhoyono menetapkan musibah ini sebagai bencana nasional. Sementara itu Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, status darurat sipil sudah tidak ada lagi. Akibat gempa dan gelombang Tsunami, pemerintahan di Aceh umpuh total. Status Aceh kini justru lebih tinggi dari dibandingkan dengan darurat sipil karena kendali pemerintahan langsung dipegang oleh pusat. Pemerintah melalui beberapa petingginya menyatakan sebagai darurat kemanusiaan. Tetapi hal ini tidak pernah dinyatakan secara tertulis. Pemerintah memutuskan untuk membuka pintu bagi orang asing untuk masuk Aceh. izin khusus masuk Aceh diberikan kepada mereka yang memiliki kualifikasi pekerja sosial, seperti dokter, insinyur, operator, dan teknisi. Kepada mereka, pemerintah akan memberlakukan visa on arrival. Sementara Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. justru menyatakan status darurat sipil yang bertumpu pada lima operasi terpadu tetap diberlakukan. Hanya, saat ini hal itu lebih difokuskan kepada penanggulangan bencana gempa dan badai Tsunami. Akan tetapi, pemerintah tetap mewaspadai kemungkinan ancaman gangguan dari Gerakan Aceh Merdeka. Sehari setelah bencana nasional ini, Kontras mengadakan pengumpulan bantuan logistik bagi para korban yang selamat dari musibah besar ini. KontraS juga mengirimkan tim yang langsung menuju Aceh. Bantuan juga berdatangan dari seluruh lapisan masyarakat di Indonesia yang berduka cita atas musibah terbesar yang merenggut ribuan orang tewas ini. Syukurlah. Akan tetapi perspektif bahwa di Aceh juga masih banyak korban akibat konflik/kekerasan juga harus terus diingat.
Rempa-rempah SUARA KORBAN JANGAN SALAHKAN KAMI Oleh Abdullah Bawi* Detak jantung kian menderu Alunan nafas tersendat-sendat Namun penantian itu tak juga kunjung tiba Begitu mahalnya harga sebuah keadilan Tiada hari tanpa korupsi, perkosaan, pelecehan dan pembunuhan Adakah keadilan tanpa darah dan air mata? Para penjarah, penyamun dan perampok negeri ini berkeliaran dimana-mana Melantunkan lagu stabilitas politik, keamanan dan masa depan Sambil menari-nari diatas mayat para korban Pelanggaran HAM dan ketidakadilan Isak tangis dan erangan pencari keadilan dibungkam Dengan senjata tak kenal ampun Jangan salahkan kami jika gendering perang membahana keseluruh negeri Jangan salahkan kami jika rumput dan ilalang kering Kami nyalakan membakar hati mereka yang teraniaya dan tertinda Banjarbaru, 28 Oktober 2004 * Anggota Yayasan Kesejahteraan 65 Kalsel/Kalteng Jl. Jurusan Pelaihari Km 20.800 RT 6 RW III Lds. Ulin Barat Banjarbaru 70722
Puisi Karya. Amir Hamzah KALAU…........ KALAU ……….. pena sejarah nusantara kita telah melukis dan tintanya tlah lama kering “mengkristal” diusap semilir sepoi bayu melintas dipersada kawasan lengang jalan pegangsaan timur lima puluh enam, di jantung kota, ibukota indonesia. kumandang suaranya tlah menyentuh gendang telinga yang tlah lama budek dalam sunyi lembah hunian suku asmat, suku dani, mentawai, badui dalam, banten selatan, lhokseumawe, lembah anai, danau maninjau, samosir, toba, mandailing, tarutung bahkan memperangah john kennedy di atas singgasana gedung putih. putra sang fajar dengan lantang membaca tulisan tangannya sendiri: proklamasi, kami bangsa indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan indonesia; hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkatsingkatnya. jakarta, 17 agustus 1945 atas nama bangsa indonesia sukarno – hatta seluruh putra bangsa berteriak latah; merdeka, merdeka, merdeka, air mata, merdeka darah, merdeka nyawa di alam barzakh, merdeka haru, merdeka, haiya, merdeka yaa, si acong-amoy teriak merdeka. si butet dan ucok, si buyung dan si upik, si nyai dan si ujang, si one dan lasiwe hanyut terbawa arus gemuruh suara merdeka. generasi 45 pejuang kemerdekaan itu, generasi 66 mempertahankan kemerdekaan itu, generasi orde baru mengkhianatinya, generasi reformasi bingung menetralisirnya dalam sejuta tanda tanya: kalau merdeka? merdeka kalau? merdeka?….. kalau marsinah berubah status bersama asam sulfat, kalau petani karawang hanya menjadi kuli cangkul di tanahnya sendiri, kalau nurlaila jadi tukang sapu di rumahnya sendiri, kalau mang ujang jadi tukang kebon di kebunnya sendiri, kalau semua kita menjadi tamu di rumah kita sendiri, kalau ibu-ibu muda yang hamil tua mati muda di ruang gawat darurat rscm, kalau rianto gantung diri dengan tangannya sendiri lantaran tak mampu bayar sekolah negri tinggi, kalau maling-maling ayam mati dibakar dikandang tanpa ayam, kalau akbar telah divonis tanpa eksekusi, kalau luka-luka bom bali belum sempat sembuh, telah menyerahkan tongkat estafetnya jadi bom mariot, lagi-lagi estafet di kawasan elit kuningan, kalau cucu dan cicit cut nyak dien masih sembunyi ketakutan menapak jalan thamrin ibukota indonesianya??? sudahkah? pantaskah? sudah pantaskah? pantas sudahkah? relevankah? kita ikut-ikutan latah berteriak merdeka? Graha Wisata Kuningan Jakarta 17 September 2004