i
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian – 2
Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua
i
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Undang-undang Hak Cipta Pasal 2. 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling lambat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ii
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian – 2
Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua
Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak Harisetijono, Hendrison Ondi Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo
KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI 2013
iii
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA (Bagian–2) Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan Di Tanah Papua ISBN 978-979-1280-01-3 @ Tim Penulis Cetakan Pertama, November 2013
Gambar Sampul : Pulau Yop Meos, Sagu, Kelapa Hutan (Pandanus brossimos Merr. & Perry ), Buah Negri, Kelapa Hutan (Pandanus julianettii Mart.), Buah Markisa Muda, Terong Belanda, Kaum, Aibon (Bruguiera gymnorhiza)
Penerbit : Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jalan Inamberi - Susweni, Manokwari - Papua Barat www.balithutmanokwari.com www.forda-mof.org
iv
“Kami mendedikasikan buku ini untuk mereka yang bekerja dengan hati di Tanah Papua dan menaruh perhatian pada keanekaragaman tumbuhan dan lingkungan, para mentor kami dan seluruh masyarakat di Tanah Papua”
v
Buku ini dipersembahkan untuk saudara kami terkasih :
Luigi Agape Heipon
(In memorial) Atas dedikasinya pada Dunia Tumbuhan dan Lingkungan di Tanah Papua. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih atas semua yang dilakukan dan pengorbanan tanpa pamrih kepada mereka yang membutuhkan jasanya (Peneliti, Dosen, Mahasiswa dan Pelajar), serta kebaikannya yang pernah diberikan kepada kita
Semoga kehidupan abadi diberikan Tuhan Yesus Kristus kepadanya, dan memberikan kekuatan bagi keluarga yang telah ditinggalkan
≈Amin≈ vi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
xiii
UCAPAN TERIMAKASIH
xv
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI
xvii
I.
PENDAHULUAN
1
II.
KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA
6
III.
A. B.
A. Potensi Jenis Endemik B. Kondisi Saat Ini
6 11
C.
C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua
20
SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA A. B.
IV.
A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua
MARKISA (Passiflora lingularis dan Passiflora edulis) SERTA PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA A.4.1. Buah Markisa (Passiflora lingularis L.) B. A. Deskripsi Botani vii
21 21 22
25 26 26
B. C.
D.
B. Kondisi Sosio-Geografis
28
C. Ekologi Habitat Markisa
52
1. Faktor Fisiografis
1.
52
2. Suhu Udara dan Kelembaban
2.
54
3. Keadaan Tanah
3.
56
D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah
58
1.
1. Potensi Tegakan
58
2.
2. Potensi Buah
59
D.
E. Kandungan Gizi Markisa
60
E.
F. Etnobotani Markisa dalam Budaya Suku Dani
61
F.
G. Konservasi Tradisional
61
G.
H. Status Konservasi
62
H.
I.
62
Prospek Pengembangan
4.2. Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)
65
A.
A. Deskripsi Botani
65
B.
B. Ekologi Habitat Buah Negri
67
1.
1. Faktor Fisiografis
67
2.
2. Suhu udara dan Kelembaban
70
3.
3. Keadaan Tanah
71
C.
D.
C. Potensi Tegakan dan Buah
74
1.
1. Potensi Tegakan
74
2.
2. Potensi Buah
74
D. Kandungan Gizi Buah Negri viii
75
E.
V.
E. Etnobotani Buah Negri dalam Budaya Suku Dani
76
F.
F. Konservasi Tradisional
77
G.
G. Status Konservasi
78
H.
H. Prospek Pengembangan
78
TERONG BELANDA (Cyphomandra betaceae Sendt.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA A. A. Deskripsi Botani B. B. Kondisi Sosio-Geografis
82 83
C.
84
C. Ekologi Habitat Terong Belanda 1. Faktor1.Fisiografis 3. 1.
D. F. G.
87
2. Suhu 2.Udara dan Kelembaban
89
3. Keadaan Tanah
90
D. Potensi Tegakandan Buah a. b. Potensi Tegakan c. d. Potensi Buah
92
E. Kandungan Gizi Terong Belanda F. Etnobotani Terong Belanda dalam Budaya Suku Dani G. Konservasi Tradisional
94
H. H. Status Konservasi I.
84
92 93
95 96 96
I. Prospek Pengembangan
ix
97
VI
BUAH KELAPA HUTAN (Pandanus brosimus dan Pandanus julianettii) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU LANI DI KABUPATEN TOLIKARA
101
A.
A. Deskripsi Botani
101
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
108
C.
D.
F. G. I.
VII
C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan 1. 1. Faktor Fisiografis 2. 2. Suhu Udara dan Kelembaban
126
3.
132
3. Keadaan Tanah
E. Potensi Tegakandan Potensi Buah 1. 1. Potensi Tegakan 2. 2. Potensi Buah F.
Kandungan Gizi Kelapa Hutan
128 131 133 133 134 135
G. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku Lani H.H. Konservasi Tradisional
154
I. Status Konservasi J.J. Prospek Pengembangan
141
140 142
BUAH KAUM (Burckella obovata (Forst.) Pierre) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI KABUPATEN BIAK NUMFOR
146
A.
A. Deskripsi Botani
146
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
153
C.
C. Ekologi Habitat Kaum
168
x
D.
1.
1. Faktor Fisiografis
169
2.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
173
3.
3. Keadaan Tanah
175
D. Potensi Tegakandan Buah 1. 1. Potensi Tegakan 2. 2. Potensi Buah
177 177 178
E.
E.
E.
F. Etnobotani Buah Kaum dalam Budaya Suku Biak
182
G.
G.
184
F.
H. Status Konservasi
186
I.
I.
186
Kandungan Gizi Buah Kaum Konservasi Tradisional Prospek Pengembangan
VIII BUAH AIBON (Bruguiera gymnorhiza Lamk.) dan PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI KABUPATEN SUPIORI
180
189
A.
A. Deskripsi Botani
189
B.
B. Kondisi Sosio-Geografis
194
C.
D.
E.
C. Ekologi Habitat Aibon 1. 1. Faktor Fisiografis 2. 2. Suhu Udara dan Kelembaban
210
3.
3. Keadaan Tanah
214
D. Potensi Tegakandan Buah 1. 1. Potensi Tegakan 2. 2. Potensi Buah
217
E. Kandungan Gizi Aibon
211 213
217 218 219
xi
F.
F. Etnobotani Aibon dalam Budaya Suku Biak Numfor
223
G.
G. Konservasi Tradisional
224
H.
H. Status Konservasi
225
I.
I. Prospek Pengembangan PENUTUP PUSTAKA ACUAN Glosary Indeks Indeks Nama Ilmiah Indeks Nama Daerah dan Perdagangan
xii
225 226 228 233 250 260 263
SAMBUTAN KEPALA BADAN Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sangat tinggi. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya. Demikian
pula
dengan
pemanfaatannya
dalam
rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Buku ini merupakan bagian atau seri ke 2 yang merupakan lanjutan dari buku “Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian
1”.
Buku
ini
mengungkapkan
lebih
lanjut
keanekaragaman flora tanah Papua dan pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional dan prospek pengembangannya sebagai diversifikasi bahan pangan. Buku ini sangat menarik, karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Informasi yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto, sehingga jelas untuk dikenal. Penerbitan buku ini diharapkan dapat menjadi penyedia iptek dalam pengembangan penelitian keanekaragaman flora dan manfaatnya (etnobotani) di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua. Karena, pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan terinternalisasi dalam budaya setiap etnik
xiii
sepanjang dilakukan proses transformasi generasi berikutnya dengan baik. Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Harisetijono, Hendrison Ondi, Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil menyusun buku ini dan semoga karya ini dapat terus dilanjutkan. Semoga buku kedua ini akan bermanfaat dan merupakan perintis bagi karya-karya selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para peneliti lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan di Indonesia.
November 2013 Dr. Ir.Iman Santoso
xiv
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam proses penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa penelitian Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa (PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu Tahun 2011 dan Tahun 2012 yang merupakan hasil kerjasama Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang berkontribusi terhadap penerbitan buku ini, yakni Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Balai
Penelitian
Kehutanan
Manokwari
yang
bersedia
menerbitkan karya kami ini; Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir. Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala Balai) yang telah mendukung ide-ide kami; Ir. Harisetjono, M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini yang telah membantu sehingga buku ini dapat diterbitkan; Kepala Kampung Nabunage di Kabupaten Tolikara, Kepala Kampung Hom-Hom di Kabupaten Puncak Jaya, Kepala Kampung Anggaduber di Kabupaten Biak dan Kepala Kampung Biniki di Kabupaten Supiori yang telah mendukung hingga kegiatan penelitian ini dapat berlangsung; Laboratorum Tanah Fakultas Pertanian UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas
xv
Teknologi Pertanian UGM yang telah membantu dalam proses analisis tanah dan kandungan gizi. Akhirnya kami menyadari bahwa buku Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber
Bahan
Pangan di Tanah Papua, masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini memberikan manfaat dan
menambah
khasanah
ilmu
pengetahuan
tentang
keanekaragaman dan manfaat flora di Indonesia, khususnya di Tanah Papua.
Manokwari, November 2013 KL, EB, PAD, WFR, HS, HO, CDH, HYL
xvi
Sambutan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Buku Re-Diversivikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua ini merupakan bagian 2 atau lanjutan dari Buku Re-Diversivikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 1): Pemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Penghasil Buah Sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua. Sama halnya dengan buku pertama, buku kedua ini juga merupakan
hasil
sintesa
penelitian
insentif
Peningkatan
Kapasitas Peneliti dan Perekayasa Pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2011 dan 2012. Buku ini adalah merupakan karya para penulis yang ditulis berdasarkan hasil penelitian untuk memperkenalkan keanekaragaman flora dan pemanfaatannya (etnobotani), terutama jenis-jenis yang termuat dalam bagian kedua edisi buku ini. Di dalam buku ini penulis menguraikan secara singkat tentang status taksonomi, deskripsi jenis, ekologi habitat, potensi jenis, potensi buah, kandungan gizi, etnobotani, konservasi tradisional dan prospek pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial untuk bahan baku pangan alternatif beserta gambar (foto-foto) sehingga mudah untuk dikenal. Ketekunan para penulis dalam merangkum dan mewujudkan dalam suatu buku adalah prestasi luar biasa dan merupakan karya
monumental
yang
sangat
xvii
berharga
bagi
generasi
mendatang. Semoga buku ini merupakan awal yang baik untuk menghasilkan karya-karya luar biasa berikutnya. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada namun dengan tujuan yang mulia, saya sambut penerbitan buku Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua (Bagian 2): Pemanfaatan Tujuh Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Sebagai Bahan Pangan di Tanah Papua, semoga bermanfaat.
Manokwari, November 2013
Ir. Harisetjono, M.Sc. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
xviii
I. PENDAHULUAN
Hutan
dan
masyarakat
tradisional
di
Papua
memiliki
hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam bentuk-bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang mereka gunakan. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua faktor tersebut
telah
menghasilkan
pengetahuan
yang
lingkup
penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Perbedaan cara pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan hutan. Pengetahuan
lokal
pemanfaatan
jenis
tumbuhan
akan
terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik. Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang tergantung
pada
penyesuaian
kebutuhan
kelompok-kelompok
masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember, 1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik pada beberapa etnik di Papua.
1
Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73 tahun lalu. Menurut Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan sekitarnya, Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya), Kabery pada tahun yang sama di Jayapura dan sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen, Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya),
Kooijman
dan
Reynders
pada
tahun
1963
di
Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya). Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI),
penelitian
etnobotani
selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam, Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat membantu dalam menyediakan informasi awal bagi penelitian selanjutnya. Namun sejauh ini informasi yang dihimpun jarang ditindaklanjuti, sehingga pengetahuan lokal masyarakat mengenai sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum banyak
terungkap.
Penelitian tersebut
sesungguhnya
sangat
menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuhtumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap
2
rahasia
budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah menjadi
indikator
penting
perlunya
pengembangan
potensi
sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini. Sumbangan
yang
diberikan
berupa
peningkatan
ekonomi
masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mendapat
tempat
tersendiri
dalam
aktivitas
perlu
ekonomi
dan
perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi keberlanjutan produktivitas hutan, upaya semacam ini memiliki resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil. Menurut Barber et al (1997), pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa dampak
negatif
terhadap
keanekaragaman
hayati,
namun
permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat dan masih beroperasinya beberapa HPH. Kondisi ini perlu disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari pengetahuan lokal yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini masih ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan hutan.
3
Menurut Whittmore (1966) dalam Powell (1976), studi etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan khususnya yang berasal dari
biji dan buah-buah hutan kurang
mendapat perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi, padahal pada masa lalu sumber makanan tambahan (suplement food) yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki nilai penting dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea. Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat terbatas. Disisi lain, aplikasi kajian etnobotani, khususnya bahan pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat maupun daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa pada umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini tidak dimiliki oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki masyarakat etnik Dani di Wamena, Lani di Tolikara, Biak di Pulau Biak serta Biak di Pulau Supiori. Permasalahan yang muncul adalah apakah potensi jenis-jenis tumbuhan penghasil bahan pangan masih potensial di hutan
alam
Papua?
dan
apakah
masyarakat
lokal
masih
memanfaatkan tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai sumber bahan pangan alternatif? untuk menjawab masalah tersebut maka sangat diperlukan
penelitian
dalam
upaya
mengumpulkan
informasi
pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam. Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan
4
pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk mengantisipasi krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian eksploratif sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh lembagalembaga pemerintah maupun non pemerintah. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan informasi jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan makanan, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan peluang pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua. Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan selanjutnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan di Tanah Papua.
5
II. KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA
A.
Potensi Jenis Endemik
Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, kawasan ini masih tersimpan banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora), yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan flora malesiana (Petocz, 1987). Menurut Primak (1998), keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz (1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti,
belum
dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya. Demikian
pula
pemanfaatan
dalam
6
rangka
peningkatan
kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah : 1. Paijsman (1976), marga Angiospermae sebanyak 1.465 telah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan 9.000 jenis (spesies) 2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis (spesies) 3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui 20.000 jenis (spesies) 4. Jhons (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat tinggi 20.000-25.000 jenis (spesies) Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis (spesies) flora Tanah Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan Indonesia secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut (Steenis-Kruseman, Cyclopedia of Botanical Exploration in Malesia, Flora Malesiana I (1).1950) : 1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis (spesies) 2. Kalimantan (Borneo) : antara 10.000-15.000 jenis (spesies) namun berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis (spesies) tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu) 3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis (spesies) tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu)
7
4. Sulawesi (Celebes)
: diperkirakan 5.000
jenis
(spesies)
tumbuhan tinggi dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu. 5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900 berasal dari Maluku Utara 6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor, Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis (spesies) tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Data tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan penelitian taksonomi di Tanah Papua dan masing-masing daerah di Indonesia. Keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua dengan kisaran 20.000-25.000 jenis (spesies), merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi sampai melampaui 10.000 dalam tahun-tahun mendatang. Berdasarkan total perkiraan tersebut maka hanya sebagian saja yang sudah dikenal terutama dari status taksonominya dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data base keanekaragaman hayati di Tanah Papua menyebabkan laju
8
perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan seperti hampir dilupakan. Tabel 1. Kekayaan jenis (spesies) endemik flora di beberapa daerah di Indonesia
Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Sunda kecil Maluku Papua
Kekayaan Spesies Endemik 820 630 900 520 150 380 1030
Persentase Spesies Endemik (%) 11 5 33 7 3 6 55
Sumber : FAO/Mackinnon (1981) dalam Kusmana dan Hikmat 2005
Tabel 2 menunjukan jumlah koleksi herbarium selama kurun waktu Tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di Papua (New Guinea). Selama kurun waktu Tahun 1951-2008, jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di Papua. Hal ini menunjukan bahwa penelitian dan ekspedisi taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua masih sangat rendah sehingga perlu untuk ditingkatkan.
9
Tabel 2. Perbandingan jumlah koleksi herbarium di Papua dan beberapa daerah di Indonesia TAHUN 1817 - 1950
TAHUN 1951 - 2008
LUAS 2 (KM )
JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM
RATA-RATA NOMOR KOLEKSI 2 PER 100 KM
JUMLAH NOMOR KOLEKSI HERBARIUM
JUMLAH NOMOR KOLEKSI HIDUP
2.980.155
196.755
3,6
2.150 (Papua)
946 (Papua)
Maluku (Moluccas)
63.575
27.525
43
22.216
1.173
Sulawesi (Celebes)
182.870
32.350
18
15.420
1.834
Nusa Tenggara
98.625
24.546
25
4.365
3.638
Kalimantan (Borneo)
739.175
91.550
12
28.820 (Kalimantan)
2.739 (Kalimantan)
Jawa (Java)
132.474
247.522
25
4.363
3.638
Sumatera (Andalas)
479.513
87.900
18
26.966
3.357
PULAU
Papua (New Guinea)
Sumber : Kartawinata, 2010
10
Dalam buku bagian pertama telah disebutkan ada 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua, Kabupaten Sarmi yang terletak di bagian tengah pantai Utara, Kabupaten Jayapura yang terletak di bagian Timur pulau Papua dan Kabupaten Raja Ampat yang merupakan wilayah kepulauan di “kepala burung (Vogelkop)” pulau
Papua
memiliki
arti
yang
strategis
dalam
potensi
keanekaragaman hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah yang sangat luas dengan tipe ekosistem dari pantai sampai pegunungan tinggi. Selain ke 4 kabupaten tersebut, pada buku bagian kedua ini akan dibahas 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang belum banyak diteliti yaitu Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori. Ke 4 kabupaten tersebut juga memiliki etnik atau suku yang cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan yang cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya terdapat di Tanah
Papua
merupakan
saja)
jenis
dan
indigenous
tumbuhan
asli
(native Tanah
species) Papua
yang
dengan
penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku (Moluccas), Sulawesi (Celebes), Jawa (Java), Sumatera (Andalas) dan Kalimantan (Borneo).
11
B.
Kondisi Saat Ini 1
Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 , dan dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa dan bahasa tersebut, 5 di antaranya sudah tidak ada lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya hanya tertinggal 271 suku bahasa dari suku-suku tersebut. Saat ini telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 1. Rumah orang Korowai yang merupakan suku terasing di Kabupaten Mappi 1)
Data Summer Institute of Linguistik, tahun 2011
12
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 2.
Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alat berperang dan berburu
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 3. Perempuan Korowai di dusun sagu, mereka sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarganya
13
Bahasa asli yang berjumlah 271 tersebut dapat dikategorikan 2
ke dalam dua kategori phylum (golongan bahasa) yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan (phylum) bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat lainnya seperti di Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan Halmahera Utara. Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok adalah sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, kumbili, ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki bahan pangan pokok umbi-umbian. Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu
2)
Lihat Ajamiseba dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk (editor-Koentjaraningrat)
14
menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan sagu dan umbi-umbian.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
Gambar 4.
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.), salah satu jenis bahan pangan pokok etnik Papua
Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat sehingga mereka tidak melakukan kegiatan perladangan (berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan pangan alternatif saja.
15
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yang merupakan bahan pangan pokok etnik Papua
16
Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada daerah-daerah yang sulit di jangkau seperti daerah pegunungan tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari ekonomi lemah.
A A
B
C Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik Papua ; A. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)
17
Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada, masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut. Di
era
otonomi
saat
ini,
terutama
dengan
adanya
perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi sumberdaya
khususnya
flora
yang
ada
demi meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya. Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam tersebut. Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001, dari 21,9 juta ha hutan produksi 12 juta ha telah diberikan kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut bertumpang tindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi (Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang ditebang per tahunnya adalah 52.000 ha.
18
Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan 18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi 19 setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten baru, rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit, pemukiman, pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat.
Konsekuensi
yang harus dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk digali manfaatnya. Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara Indonesia, belum
banyak
penelitian mengenai
potensi lokal
masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru yang masih potensial. Informasi pengembangan
ini
diharapkan
jenis-jenis
menjadi
tumbuhan
bahan
hutan
acuan
penghasil
bagi buah
potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam rangka pemenuhan ketahanan pangan lokal, kebutuhan pangan masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan manfaat jenis tumbuhan tersebut.
19
C. Status Pemanfaatan Oleh Etnik Papua Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam tumbuhtumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, yang secara turun temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu warisan tersebut sangat perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
20
III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA A. Jenis Tumbuhan Penghasil Buah Potensial
Hasil
penelitian
etnobotani
yang
telah
dilakukan
oleh
beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941, Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963, Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukan bahwa terdapat 225 jenis tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan. 115 jenis tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magic, 39 jenis dimanfaatkan untuk
pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis
dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38 jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis dimanfaatkan sebagai obat malaria. Lekitoo et al (2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al (2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya dimanfaatkan oleh masyarakat Waropen sebagai bahan pangan.
21
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen herbarium diketahui bahwa tujuh jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papua yang dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Dani, Lani, Biak dan Supiori) adalah sebagai berikut :
B.
1.
Markisa (Passiflora lingularis L.)
2.
Buah Negri (Passiflora edulis Sims.)
3.
Terong Belanda (Cyphomandra betaceae Sendt.)
4.
Woromo (Pandanus brosimus Merril & Perry)
5.
Gawen (Pandanus julianettii Mart.)
6.
Kaum (Burckella obovata (Forst.) Pierre)
7.
Aibon (Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.)
Pemanfaatan Oleh Beberapa Etnik Papua Buah markisa (Passiflora lingularis L.), buah negri (Passiflora
edulis Sims.) dan terong belanda (Cyphomandra betacea Sendt.) dimanfaatkan daging buah dan bijinya oleh masyarakat Suku Dani di Wamena Kabupaten Jayawijaya sebagai sumber vitamin C, buah kelapa hutan yaitu woromo (Pandanus brosimus Merril & Perry) dan gawen (Pandanus julianettii Mart.) dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Lani di Kabupaten Tolikara sebagai sumber lemak atau seperti kelapa pantai (Cocos nucifera), buah kaum (Burckella obovata
(Forst.)
Pierre
dimanfaatkan
daging
buahnya
oleh
masyarakat Suku Biak di Pulau Biak Kabupaten Biak Numfor sebagai bahan pangan sumber lemak atau seperti buah alpukat (Persea americana), buah aibon (Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk.)
22
dimanfaatkan daging buahnya oleh masyarakat Suku Biak di Kabupaten Supiori seperti tepung sebagai sumber karbohidrat . Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan prospek pengembangan dari tujuh jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik akan diuraikan lebih lanjut pada halaman berikutnya dari buku ini.
23
Gambar 7. Markisa (Passiflora lingularis L.) 24
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
IV. MARKISA (Passiflora lingularis dan Passiflora edulis) SERTA PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA Markisa adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah Wamena dan Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan berupa buah segar. Markisa pada daerah Wamena dan Pegunungan Tengah umumnya terdiri atau terdapat 2 jenis yaitu jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan Tengah dengan sebutan ”markisa” atau dikenal dengan nama ilmiah Passiflora lingularis L. dan jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan Tengah dengan sebutan ”buah negri” atau dikenal dengan nama ilmiah Passiflora edulis Sims. Berdasarkan karakter morfologi daun dan rasa buah dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut : a. Liana parenial atau tumbuhan membelit, daun berbentuk bulat oval, tidak bercangap, daun tipis, permukaan daun halus, buah rasanya manis......................................................... Passiflora lingularis L. b. Liana parenial atau tumbuhan membelit, daun berbentuk bulat oval bercangap 3, daun agak tebal, permukaan daun kasar, buah rasanya asam........................................... Passiflora edulis Sims.
25
4.1. Buah Markisa (Passiflora lingularis L.) A. Deskripsi Botani Pasiflora lingularis L. (Pasifloraceae) Nama dagang Nama daerah
: markisa : markisa
Perawakan: Tumbuhan merambat, liana parenial, biasanya membelit pada pohon inang, panjangnya mencapai 12–15 m. Batang utama silindris, lurus, berlekuk dan kadang-kadang berpilin dan berbuncak untuk tumbuhan dewasa. Permukaan pepagan luar licin, bersisik dan mengelupas kecil-kecil atau kasar bagi tumbuhan yang sudah dewasa, berwarna hijau muda keputihan atau coklat muda. Takikan batang pepagan tebalnya 4–5 mm, tidak bergetah, pepagan dalam lunak sampai keras, berwarna kuning jingga atau kuning muda. Daun tunggal, kedudukan daun selang-seling, bentuk daun membundar telur, pangkal daun berbentuk jantung, simetris, ujung meruncing, tepi daun rata, gundul, seperti kulit, panjang daun 10–20 cm, lebar 7–15 cm, panjang tangkai daun 3,5–6 cm. Urat daun sekunder tenggelam pada permukaan atas. Stipula berbentuk segitiga, panjang 1,5–2,5 cm,
lebar
1–1,5
cm.
Perbungaan
berbentuk
tunggal
atau
berpasangan, biasanya terdapat pada ketiak daun atau batang pada cabang dan ranting.
Bunga beraturan, tunggal atau berpasangan
3–5 pada satu cabang, berkelamin 2, kelopak umumnya 5, mahkota 5, bakal buah menumpang, beruang 1, bakal biji banyak. Buah berbentuk oval seperti telur, panjang buah 5–7 cm dan lebar 3–5 cm,
26
tidak membuka. Biji banyak, berukuran kecil seperti biji tomat (Lycopersicum esculenta)
Daun
Stipula
Bakal bunga
Bunga
27
Bunga mekar
Buah muda
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 8. Karakter morfologi markisa (Passiflora lingularis L.)
B. Kondisi Sosio-Geografi Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Kabupaten Jayawijaya terletak pada garis meridian 137°12'-141°00' Bujur Timur dan 3°2'-5°12' Lintang Selatan yang memiliki daratan seluas 52.916 km², merupakan satu-satunya Kabupaten di Provinsi Irian Barat (pada saat itu) yang wilayahnya tidak bersentuhan dengan bibir pantai. Kabupaten Jayawijaya berada di hamparan Lembah Baliem, sebuah lembah aluvial yang terbentang pada areal ketinggian 1500-2000 m di atas permukaan laut.
28
1. Pengantar Kondisi
sosial
budaya
di
daerah
Pegunungan
Tengah
umumnya dan daerah Wamena khususnya di abad 21 ini jauh berbeda dari kondisi sosial budaya pada abad ke-20 yang lalu. Pada abad ke-20 lalu terutama ditahun-tahun awal daerah ini bersentuhan dengan pembangunan, baik dengan pemerintah Kolonial Belanda maupun dengan pemerintahan Republik Indonesia yakni sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, daerah Wamena merupakan salah satu daerah yang sangat terisolasi dan eksotik. Pandangan tentang Wamena yang terisolasi dan eksoktik ini digambarkan melalui lingkungan alam yang luar biasa sulit dijangkau karena cara satu-satunya untuk masuk ke wilayah ini adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Lokasi kota Wamena juga terletak di sebuah lembah besar yang disebut lembah Baliem dan dialiri oleh sebuah sungai besar yang juga diberi nama sungai Baliem.
Kota Wamena dikelilingi oleh tebing-tebing
tinggi dan curam yang dihiasi oleh kebun-kebun penduduk setempat. Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura, Balai Wamena Tahun 2008, melaporkan bahwa suhu udara rata-rata di wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun 2008 mencapai 19,3⁰C dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%. Dapat dipastikan bahwa di daerah Kabupaten Jayawijaya termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat dilihat dari nilai suhu minimum Kabupaten Jayawijaya mencapai 15⁰C sementara suhu maksimum hanya sekitar 26,2⁰C. Sedangkan curah hujan rata-rata yang terjadi yaitu sekitar 190,7 mm, dimana curah hujan tertinggi tahun 2008 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 324,4 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli yakni sebesar 71,8 mm.
29
Banyaknya hari hujan rata-rata di Kabupaten Jayawijaya yaitu 24 hari, namun pernah juga hampir mencapai sebulan, yaitu pada bulan Februari 2008 hingga 28 hari hujan.
Hujan kerap kali terjadi
di
wilayah ini karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan banyak perbukitan sehingga sulit dibedakan musim secara jelas. Salah satu keunikan dari suku Dani yang mendiami lembah Baliem ini adalah pakaian tradisionalnya yang terkenal dengan nama koteka yaitu sejenis labu panjang yang digunakan untuk menutup penis laki-laki. Selain itu, model rumah tradisional “honai” yang bentuknya bulat dan tertutup rapat. Meskipun hampir sebagain besar laki-laki Dani di lembah Baliem tidak lagi menggunakan koteka dan banyak rumah di lembah tersebut yang sudah tidak lagi berbentuk honai, namun hingga kini Ikon koteka dan honai
masih menjadi
simbol utama jika berbicara mengenai kebudayaan Wamena. Bahkan banyak orang luar yang kurang memahami Papua, lazimnya menganggap koteka dan honai merepresentasi kebudayaan Papua umumnya. Bukan itu saja, sejumlah keunikan budaya orang Dani di lembah besar Baliem ini juga bisa terlihat dari bagaimana mereka bercocok tanam. Kebun-kebun mereka dibangun di atas tebing-tebing gunung, atau di dataran dengan dipagari batu-batu besar dan kayukayu yang disusun rapi. Salah satu ritual penting dari suku ini adalah pesta babi merupakan suatu pesta yang penting dalam kehidupan sosial budaya orang Dani di lembah ini.
2. Lembah Baliem dan Orang Dani Lembah Baliem terletak kurang lebih 1.600 meter di atas permukaan laut. Kontak pertama orang Dani dengan orang asing
30
5
(orang Eropa) pada tahun 1909 ketika suatu expedisi bernama Zuid Nieuw Guinea Expeditie di bawah pimpinan Lorentz melalui pantai selatan (melalui daerah Asmat) mengunjungi penduduk mendiami daerah di sebelah Selatan
lembah Baliem.
yang
Kemudian
diikuti oleh dua ekspedisi susulan lainnya, juga dari daerah yang sama, yakni ekspedisi militer tahun 1911 dan ekspedisi lanjutan dari ekspedisi tahun 1909, yang dilakukan pada tahun 1912-1913. Kontak selanjutnya pada tahun 1954 para pekabar Injil dari CAMA (Christian and Missinaries Alliance) membuka pos pertama di Lembah Baliem. Sejak itu berdatanganlah para pekabar Injil dari aliran-aliran Gereja Protestan seperti RBMU (Regions Beyond Missionary Union), TEAM (The Evangelical Alliance Mission), pekabar-pekabar
dari
Gereja
Katholik
Roma
dan
kemudian
pemerintah (Belanda) masuk bertugas di daerah tersebut. Orang Dani diperkirakan menempati lembah Baliem kurang lebih 9000 tahun SM yang mana didasarkan pada penemuanpenemuan arkeologis di bagian Timur Pegunungan Tengah di Papua 6
New Guinea (lihat White, 1972:147, dikutip Heider, 1979:23) . Lebih jauh hipotesa Heider mengenai kehadiran orang Dani di lembah Baliem, bahwa sebelum orang Dani menjadi penduduk lembah tersebut mereka hidup sebagai peramu sagu dan dan pemburu di daerah berbukit-bukit dataran rendah. Ketika mereka mengenal tanaman-tanaman pangan seperti, keladi, ubi manis, dan pisang maka berpindahlah mereka ke daerah bertanah kering yang letaknya lebih tinggi (kurang lebih 1600 m diatas permukaan laut) dan 3) 4)
Mansoben, 137 :1995 Dalam Mansoben 1994 :139)
31
disanalah mereka melakukan aktivitas pertanian. Akhirnya mereka tiba di lembah Baliem yang hingga kini menjadi tempat hunian mereka (Heider, 1979:32). Mengenai bahasa yang digunakan orang Dani di lembah Baliem sesungguhnya mereka mengujar satu bahasa yang disebut bahasa Dani. Namun demikian, bahasa Dani ini dibagi lagi atas tiga sub keluarga bahasa yakni, sub keluarga Wano, sub keluarga Dani Pusat dan sub keluarga Nggalik-Dugawa. Adapun sub keluarga Dani Pusat terbagai lagi atas dua dialek, masing-masing dialek Dani Barat dan dialek Grand Valley Dani (Lembah Besar Dani). Dialek Dani Barat sering juga disebut bahasa Laany yang terdapat di Baliem Utara Lembah Swart, Yamo, Nogolo, Ilaga, Beoga, Dugindagu, Kemandaga dan Bokondini, di bagian atas Grand Valley, di sekitar hulu Sungai Hablifuri, Kimbim dan lembah-lembah Bele atau Ibele. Dialek Grand Valley Dani terdapat mulai dari daerah pegunungan Pyramid sampai ke sungai-sungai Samenage di daerah perbatasan Barat Laut dan agak sedikit ke bawah di sungai Wet di daerah batas Timur–Laut (Bromley, 1973:6). Adapun bahasa Dani dikategorikan ke dalam kategori Western Highland Phylum, salah satu dari empat phylum 7
bahasa-bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea . Nama Dani yang sekarang digunakan untuk menamakan penduduk di lembah Baliem sebenarnya bukan berasal dari penduduk asli lembah tersebut. Sebutan Dani sebenarnya diberikan oleh orang Moni, suatu golongan sub etnik dari orang Ekari (Kapauku), kepada orang-orang di lembah Baliem, yang artinya “orang asing”. Nama itu 5)
Adapun keempat phylum bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea adalah Central-South New Guinea Phylum, Western Highland Phylum, North Coast Phylum dan Bird’s Head Phylum.
32
pada mulanya berbunyi “Ndani” dan untuk pertama kalinya didengar dan digunakan oleh orang asing pada tahun 1926, ketika suatu ekspedisi bersama orang-orang Amerika dan Belanda mengunjungi daerah yang didiami oleh orang Moni (Heider, 1979). Adapun penduduk di lembah Baliem sendiri tidak mau menggunakan nama Dani, mereka menamakan dirinya sendiri nit (akuni) Palimeke, yang berarti “kami (orang) dari Baliem” (Camps, 1972:35). Heider mengatakan, “orang Dani selalu dikerumuni oleh babi dan ubi manis atau Dioscorea esculanta (1979:35)”. Ucapan ini secara implisit menunjukkan dua jenis mata pencaharian hidup pokok orang Dani, yaitu bercocok tanam (dengan ubi manis sebagai tanaman pokok) dan beternak babi.
3. Berkebun Dahulu sebelum derasnya pengaruh dari luar, Orang Dani di lembah Baliem mengerjakan kebun-kebunnya dengan alat sederhana seperti kayu tugal dan kapak batu. Kebun dikerjakan tidak hanya di bagian dataran di lembah tersebut, tetapi juga di lereng-lereng gunung yang tinggi dan curam. Menurut Mansoben, di lembah Baliem terdapat 3 jenis kebun. Pertama adalah kebun-kebun yang terdapat pada bagian yang rendah dan datar yang diusahakan secara permanen. Kedua, jenis kebun yang terdapat pada lereng-lereng gunung dan ketiga, kebun-kebun yang terdapat di pekarangan rumah, terletak di belakang suatu kompleks perumahan, uma. Tanah pekarangan ini biasanya ditanami dengan tanaman tembakau, pisang dan tebu. Adapun pada jenis kebun pertama dan kedua, biasanya setelah dibersihkan dari pepohonan dan belukar, kemudian dibakar lalu
33
ditanami dengan ubi manis sampai dua kali panen.
setelah itu
ditinggalkan dan mereka pindah untuk membuka lahan baru di lokasi yang lain. Setelah beberapa waktu lamanya tanah bekas kebun itu dibiarkan dalam masa bera (masa istirahat) hingga ditumbuhi pepohonan dan belukar yang menyebabkan pulihnya kesuburan, maka bekas kebun itu bisa diolah kembali. Selain upaya yang dilakukan
untuk
meningkatkan
kesuburan
tanah
sebagaimana
dilakukan di atas, orang Dani percaya kesuburan tanah dapat terjadi karena kekuatan magis. Di mana lazimnya di setiap uma terdapat satu atau dua orang yang memiliki rahasia kekuatan tersebut dapat menyuburkan tanah, mereka ini disebut aptugure, yang mana sebagai kepala adat kesuburan tanah. Cara menyuburkan tanah oleh seorang aptugure ialah dengan cara dia menggosok darah babi keliling kebun pada saat upacara penanaman dimulai. Sedangkan tanah yang dikerjakan sebagai kebun biasanya dikuasai oleh satu, dua atau lebih kelompok kekerabatan yang bergabung, namun demikian terkadang juga hanya oleh satu kelompok kerabat saja. Batas-batas hak ulayat masing-masing kelompok kekerabatan biasanya ditandai oleh unsur-unsur alam seperti sungai, gunung/bukit, atau jurang. Anggota-anggota tiap kelompok kekerabatan berhak memakai tiap bagian dari tanah yang belum atau tidak digunakan oleh anggota lain untuk dirinya sendiri, asalkan dia memberitahukan pemakaian bidang tanah tadi kepada kepala kelompok (kain). Jika si pemakai meninggalkannya, maka anggota lain dari kelompok yang sama dapat menggunakannya tanpa ada pembayaran ganti rugi. Namun demikian, kadang-kadang jika ada tanah yang kebetulan merupakan tanah yang dihargai oleh banyak
34
orang , seorang yang hendak bercocok tanam di lokasi tersebut, bisa memberikan seekor babi kepada si penggarap sebelumnya. Salah satu bentuk transaksi tanah secara tradisional di mana sebidang tanah dapat diserahkan oleh si penggarap kepada kerabat lain dengan cara menerima hasil panen ubi yang pertama dari kelompok kerabat yang menggarap tanah tersebut (Koentjaraningrat, 1970:1314;cf.Peters 1965). Pembagian kerja antara pria dan wanita yang berkaitan dengan proses becocok tanam lazimnya diawali dengan pekerjaan kaum lelaki kemudian disusul dengan pekerjaan kaum wanita. Kaum pria menebang pohon, memotong belukar dan membakar pohon-pohon dan belukar yang telah dipotong dan sudah kering. Pekerjaan pada tahap berikutnya adalah dikerjakan oleh kaum wanita dimana membersihkan sisa-sisa kayu dan dahan yang telah dibakar untuk dibawa pulang ke rumah, digunakan sebagai kayu api untuk memasak. Tahap berikutnya, kaum pria mencongkel dan membalik tanah dengan menggunakan tugal. Pekerjaaan selanjutnya yakni kaum wanita menggemburkan tanah dengan cara memecahmecahkan gumpalan-gumpalan tanah tersebut menjadi halus dengan menggunakan kayu tugal atau dengan menggunakan tangan. Pekerjaan yang cukup penting sebelum kebun ditanami adalah pembuatan pagar keliling kebun dengan tumpukan-tumpukan batu, selain itu membuat irigasi yang merupakan selokan-selokan kecil yang mengelilingi dan memotong kebun tersebut. Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum lelaki.
Setelah kebun siap ditanami. Kepala
kelompok (kain) kemudian membagi-bagikan lokasi kebun yang sudah siap ditanami itu kepada anggota-anggota wanita dari
35
keluarganya,
yakni
ibunya,
isteri-isterinya,
saudara-saudara
perempuannya dan anak-anak perempuannya. Lokasi yang telah dibagi oleh kain diolah dan diurus oleh para wanita yang sudah diserahkan
tanggung
jawab
tersebut.
Merekalah
yang
akan
menanam, menyiangi, menyiram hingga akhirnya menuai.
4. Beternak babi Salah satu aktivitas mata pencaharian orang Dani yang sangat penting adalah memelihara babi. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan secara pribadi memiliki sejumlah ternak babi. Meskipun babi-babi tersebut dimiliki secara personal oleh seorang laki-laki maupun seorang perempuan, akan tetapi pekerjaan memelihara babi hanya dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak. Babi adalah salah satu ternak yang sangat penting hingga dewasa ini dalam kehidupan orang Dani karena mempunyai banyak fungsi. Perlu diketahui bahwa setelah adanya kontak dengan dunia luar yang dibawa oleh pihak gereja dan pemerintah sebagai agen of development, ternyata ada sejumlah ternak yang dimasukkan ke wilayah lembah Baliem dan sekitarnya, seperti domba, sapi, kelinci, dll. Namun demikian, babi tetap memiliki nilai yang paling tinggi dalam kehidupan orang Dani. Hal ini karena secara tradisional babi selain dagingnya
merupakan
sumber
protein
utama,
juga
darahnya
digunakan dalam aktivitas magis. Tulang-tulang dan ekornya dibuat menjadi ornament, tulang rusuknya dibuat menjadi pisau untuk mengupas ubi, alat-alat kelaminnya diikat sebagai gelang tangan untuk menolak roh-roh jahat. Salah satu fungsi yang paling penting dari babi dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem dan sekitarnya adalah babi digunakan sebagai alat tukar menukar,
36
sebagai bride price (mas kawin) dan fungsi ekonomi perdagangan. Selain itu jika terjadi konflik antar kelompok, babi juga digunakan sebagai alat perdamaian. Demikianpun babi digunakan sebagai alat persatuan antar kelompok-kelompok kekerabatan yang berlainan atau antar konfederasi dalam upacara-upacara pesta babi yang besar.
5. Struktur Sosial Orang Dani mengenal dua kelompok utama dalam rangka pembentukan struktur sosial mereka, yakni kelompok-kelompok kekerabatan dan kelompok-kelompok teritorial atau wilayah. Namun demikian ada baiknya kita perlu meninjau ke belakang mite dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem. Menurut kisah mite tersebut orang Dani yang ada di lembah Baliem berasal dari sepasang suami isteri yang muncul dekat sebuah danau yang terletak di sekitar Kampung Maina, di lembah Selatan. Adapun anak-anak yang berasal dari pasangan suami isteri tersebut, dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok diberi nama wita dan waia. Atas pesan orang tua tersebut dimana tidak boleh terjadi perkawinan diantara anggota dalam kelompok yang sama. Perkawinan hanya boleh berlangsung diantara anggota kelompok yang berlainan, yakni antara anggota dari kelompok wita berpasangan dengan anggota dari kelompok waia. Makna cerita di atas sesungguhnya tercermin dari apa yang kini menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Dani, yakni adanya paroh masyarakat (moiety) dan adat eksogami klen dalam kehidupan orang Dani. Adat eksogami klen antara paroh masyarakat tersebut menurut Broekhuijse dalam Mansoben (1994:143), melaporkan bahwa pada orang Mulaik-Hisache di lembah Selatan, jika terjadi
37
hubungan seksual antara anggota dari paroh masyarakat yang sama diberi sanksi hukuman mati. Adapun amanat nenek moyang dalam mitos, dua paroh masyarakat
eksogam haruslah bersifat patrilineal. Artinya garis
keturunan dihitung berdasarkan garis keturunan ayah atau pihak lakilaki. Jadi struktur sosial orang Dani sesungguhnya terbentuk berdasarkan dua paroh masyarakat yang bersifat eksogami dan patrilineal. Dari kedua paroh (moiety) tersebut orang Dani masih terbagibagi lagi ke dalam kesatuan sosial yang lebih kecil yang disebut ukul. Masing-masing ukul diberi nama lagi misalnya, ukul Wilil, ukul Heinam, ukul Walilo, ukul Alua, dsb. Kelompok sosial ukul adalah kelompok kekerabatan eksogami patrilineal tidak fungsional yang berketurunan dari satu nenek moyang mitos. Menurut Broekhuijse dalam
Mansoben,
(1994:144,
footnote),
meskipun
anggota-
anggotanya berasal dari moyang mitos yang sama tetapi hal tersebut tidak mempunyai arti penting bagi para anggotanya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Contohnya, para anggota dari ukul Wilil yang tergolong dalam moiety atau paroh masyarakat wita, tinggal tersebar diseluruh lembah Baliem, membentuk kesatuan konfederasi yang berbeda-beda
dan
saling
berperang
melawan
sesamanya
(Broekhuijse, 1967:23). Menurut Heider dalam Mansoben (1995:145), kesatuan wilayah atau teritorial terbesar yang terdapat pada orang Dani di lembah Baliem adalah konfederasi (confederation). Kesatuan teritorial aliansi sebenarnya lebih besar dari konfederasi, namun menurut Heider (1979:62), tidak dapat dikategorikan sebagai kesatuan teritorial sebab
38
tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan kesatuan-kesatuan teritorial lainnya seperti konfederasi, wilayah bertetangga, gabungan kompleks dan kompleks. Orang Dani sendiri tidak mempunyai istilah khusus
untuk
menyebut
konfederasi,
namun
demikian
tiap
konfederasi dinamakan atau disebut menurut nama klen-klen besar dari mana orang-orang penting berasal. Misalnya, konfederasi Wilihiman-Walalua, berasal dari empat nama klen besar, yaitu klen Wilil, klen Himan, klen Walilo dan klen Alua. Meskipun
sifat
konfederasi
bertahan
lama,
namun
keanggotaannya tidak permanen. Anggota-anggota satu konfederasi dapat berpindah ke konfederasi lain untuk menetap dan bergabung dengan teman-temannya dan di tempat baru mereka mendapat tanah untuk membangun rumah dan untuk berkebun. Satu konfederasi dapat berpindah dari satu lokasi yang lama ke lokasi yang baru yang tidak ditempati oleh konfederasi yang lain. Perpindahan konfederasi tersebut terjadi karena apabila di lokasi yang semula (lokasi lama) terjadi bencana alam atau peperangan. Sebagai contoh, konfederasi Wilihiman-Walalua pada tahun 1966 meninggalkan wilayahnya untuk menempati tempat baru yang tak bertuan yang terletak jauh di sebelah Selatan lokasi lama yang ditinggalkan. Dapat disimpulkan bahwa sifat keanggotaan dan wilayah dari konfederasi adalah fleksibel (Heider 1979:62 dalam Mansoben 1995:145). Konfederasi bukanlah merupakan kesatuan sosial resmi yang menguasai tanah atau hak milik. Hanya sedikit saja peristiwa yang melibatkan seluruh konfederasi. Namun demikian, fungsi formal konfederasi ialah penggunaan nama konfederasi untuk menyatakan tempat tinggal atau untuk menyatakan dimana terjadinya peristiwa-
39
peristiwa tertentu yang penting. Satu konfederasi dapat disamakan dengan satu wilayah geografis yang memiliki batas-batas wilayah yang jelas dan mempunyai pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin pria berwibawa (big man). Menurut Heider (1979:62), besarnya konfederasi dapat diatur sehingga setiap orang dari konfederasi dapat saling mengenal satu dengan lain dan apabila terjadi konflik internal antar anggota, dapat diselesaikan secara damai. Diseluruh lembah Baliem terdapat lebih dari 50 konfederasi. Adapun konfederasi yang paling besar adalah konfederasi Wiliham-Walalua dengan jumlah anggota lebih dari 1.000 orang yang mendiami wilayah yang luasnya sekitar 16 km². Selain konfederasi-konfederasi besar terdapat juga konfederasi-konfederasi kecil yang hanya memiliki beberapa ratus anggota saja. Ada pula aliansi yang sebenarnya
lebih besar bila
dibandingkan dengan konfederasi, namun demikian sifat aliansi tersebut tidaklah permanen. Suatu aliansi meliputi suatu wilayah tertentu dan dipisahkan dari aliansi-aliansi lainnya oleh suatu daerah yang lebarnya berkisar antara 200–500 meter dan tidak didiami manusia. Adapun setiap aliansi terdiri dari beberapa konfederasi. Sebagaimana halnya konfederasi, aliansi juga tidak memiliki nama khusus dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem. Nama aliansi dinamakan hanya berdasarkan seorang yang paling berkuasa dan besar pengaruhnya di antara pemimpin-pemimpin lain di dalam aliansi tersebut. Jumlah anggota sebuah aliansi meliputi beberapa ribu orang. Di lembah Baliem terdapat sekitar satu lusin aliansi. Ada dua fungsi utama aliansi, yakni untuk alasan perang dan pesta babi. Adapun perang yang biasanya terjadi diantara orang Dani adalah perang antar aliansi bukan perang di dalam aliansi. Dalam hal
40
fungsi aliansi bagi penyelenggaraan pesta babi yang berlangsung sekali dalam 5 tahun dengan melibatkan semua anggota aliansi. Orang yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pesta babi ini adalah orang yang paling kuat berkuasa dan pengaruhnya besar diantara pemimpin-pemimpin lainnya. Pemimpin penyelenggaraan pesta babi inilah yang menjadi pemimpin perang aliansi. Menurut Heider (Mansoben, 1995:146), kesatuan wilayah lain yang dikenal di lembah Beliem adalah apa yang disebut Heider dengan istilah “wilayah bertetangga” (neighbourhood). Sama dengan konfederasi dan aliansi yang tidak memiliki isitilah khusus dalam bahasa orang Dani, wilayah bertetanggapun demikian. Walaupun disebut kesatuan wilayah, namun tidak mempunyai batas-batas wilayah yang jelas. Kesatuan wilayah ini hanya nampak dalam interaksi
antar-anggota
konfederasi
yang
berbeda-beda
tetapi
berdekatan letaknya. Orang-orang dari dua konfederasi yang berbeda tetapi berdekatan tempat tinggalnya dan sering membuat kebun bersama dan lebih banyak berinteraksi dibandingkan dengan sesama anggota konfederasi yang jauh tempat tinggalnya. Selain itu, kesatuan-kesatuan wilayah yang terkecil adalah gabungan kompleks (compound clusters) dan kompleks (compound). Suatu gabungan kompleks dibentuk oleh sejumlah kompleks, sedangkan satu kompleks merupakan satu kompleks perumahan. Orang Dani menyebut satu kompleks itu sebagai “uma” dan gabungan kompleks sebagai “o-ukul” (Broekhuijse, 1967:27-29). Kesatuan wilayah “uma” adalah kesatuan sosial dan politik yang lebih nyata dari pada kesatuan-kesatuan wilayah lain yang disebut lebih dahulu di atas.
41
“Uma” dapat dijelaskan sebagai berikut : merupakan sebidang tanah terbuka dan hampir berbentuk segi empat dengan agak mengecil pada ujung-ujungnya dan di atasnya dibangun rumahrumah. Di bagian yang mengecil pada salah satu ujung dibangun rumah laki-laki yang disebut honai. Berhadapan dengan honai pada ujung yang lain terdapat pintu masuk ke dalam kompleks, sedangkan di sisi kiri dan kanan dibangun rumah-rumah keluarga, dapur dan kandang babi. Adapun tujuan penempatan rumah laki-laki (honai) pada ujung kompleks adalah untuk mengawasi seluruh kompleks dari musuh yang masuk melalui pintu atau gerbang dari seluruh kompleks. Tiap “uma” didiami oleh satu keluarga luas virilokal (tempat tinggal berdasarkan garis keturunan laki-laki), terdiri dari dua orang bersaudara atau lebih, masing-masing dengan istri-istrinya, anakanaknya, saudara-saudara perempuan dan laki-laki yang belum kawin serta menantu-menantunya. Di antara satu bangunan dengan bangunan lainnya dibuat pagar yang menghubungkan. Di bagian luarnya dibuat pagar yang kuat (kokoh) kompleks
perumahan
(uma).
Pagar
yang mengitari seluruh yang
berlapis-lapis
ini
dimaksudkan untuk melindungi penghuni “uma” dari serangan musuh. Pekarangan yang terdapat diantara dua pagar berlapis itu ditanami dengan pisang, tembakau dan tebu.
6. Sistem religi Adapun sistem religi tradisional orang Dani adalah kepercayaan dan penghormatan pada roh nenek moyang. Upacara sentralnya adalah dalam aktivitas pesta babi. Makna dari upacara keagamaan ditujukan kepada konsep mengenai kesejahteraan hidup dan perang.
42
8
Konsep keagamaan yang penting adalah “atoa” . “Atoa” adalah kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal. Tidak
hanya
pada
keturunan
laki-laki
tetapi
juga
keturunan
perempuan dapat memperoleh “atoa” dari nenek moyang. Namun demikian si perempuan yang yang memperoleh “atoa” tidak bisa meneruskannya kepada keturunan selanjutnya, hanya sampai pada si perempuan tersebut. “Atoa” juga dapat digunakan oleh seseorang untuk menjaga kebunnya terhadap pelanggaran-pelanggaran dengan cara memasang satu tanda pantangan; dan siapa yang melanggar pantangan tersebut terkena “atoa”. Diyakini bahwa pelanggar yang terkena “atoa” akan mengalami berbagai bencana, seperti kakinya bengkak, digigit ular atau terkena kecelakaan lainnya. “Atoa juga dapat terkena si pemiliknya jika si pemiliknya melanggar satu ajaran adat nenek moyang. “Atoa” juga bisa digunakan untuk menyembuhkan orang sakit, menolak bahaya, menyuburkan tanah, memberikan motivasi hidup dan tenaga. Orang Dani
percaya
“atoa”
itu
terdapat
di
dalam
nafas
manusia.
Menghembuskan nafas sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit, menyadarkan kembali orang yang pingsan dan sebagainya. Nenek moyang orang Dani sendiri biasanya dilambangkan sebagai manusia konkrit yang masih mereka kenal, walaupun samarsamar, sekitar tiga atau paling tinggi empat generasi yang lalu yang diperhitungkan secara patrilineal. Lambang-lambang dari para nenek moyang tersebut adalah batu keramat berbentuk lonjong yang diasah indah dan mengkilat, yang mereka sebut sebagai “kaneke”. “Kaneke” ini biasanya disimpan didalam satu lemari kecil terbuat dari kayu dan 8
Lihat Mansoben 1995 : 148
43
ditutupi dengan daun yang disebut “khakhok”, di tempat di rumah lakilaki (honai) bersama dengan benda-benda keramat lainnya. Dewasa ini orang Dani sebagian besar telah memeluk agama Kristen Protestan dan juga Katholik yang masuk ke lembah ini sekitar tahun 1950-an. Selain itu, sekitar tahun 1980-an juga telah masuk agama Islam ke wilayah ini. Masuknya agama-agama tersebut ke lembah ini telah membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam ritual agama tradisional. Kini mereka tidak lagi melakukan ritual agamanya di honai
tempat dimana “kaneke” disimpan. Tetapi kini
sebagai besar orang Dani pergi beribadah ke rumah-rumah ibadah seperti gereja-gereja dan mesjid-mesjid yang dibangun di daerah tersebut. Dalam upacara pesta babi juga salah satu ritual utamanya adalah ibadah (berdoa) dalam versi agama Kristen dan atau Katholik.
7. Sistem Politik Kain Menurut Mansoben (1995:149), pemimpin-pemimpin orang Dani jika diurutkan berdasarkan tingkat-tingkat kesatuan sosial seperti,
uma,
konfederasi
dan
aliansi,
maka
struktur
kepemimpinannya akan terlihat sebagai berikut : Pada tingkat kesatuan kompleks
atau “uma” (compound) terdapat seorang
pemimpin yang disebut “kain”. Wewenang “kain” pada tingkat “uma” adalah hak atas tanah milik “uma”. Dialah yang membagi-bagikan tanah kepada saudara-saudaranya dan kepadanya juga pembayaran tanah diberikan. Dia jugalah yang memberikan ijin jika ada orang dari “uma” lain hendak membuka kebun di atas tanah yang dikuasainya (Peters, 1975:55). Kesatuan Politk gabungan kompleks atau “o-ukul” yang sama dengan desa (kampung) yang merupakan gabungan dari beberapa
44
“uma” juga terdapat seorang pemimpin yang disebut juga “kain”. Kedudukan sebagai “kain” pada tingkat “o-ukul” (desa/kampung) ditentukan oleh keberanian yang ditunjukkan seseorang yang melebihi keberanian yang ditunjukkan orang lainnya dari “o-ukul”-nya ketika perang. Kepemimpinan disini bersifat informal. Wewenang seorang “kain” pada tingkat “o-ukul” adalah mengatur masalahmasalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan agama warganya. Ada lagi kesatuan politik
yang disebut “ap logalek” yang
berada di atas o-ukul. Pada kesatuan “ap logalek” ini terdapat dua pemimpin, yang masing-masing berasal dari dua cabang klen yang merupakan inti dan biasanya juga merupakan cabang klen yang dominan di dalam “ap logalek”. Sebagaimana pada tingkat kesatuan o-ukul, di sinipun syarat untuk menjadi “kain” atau pemimpin adalah memiliki sifat keberanian yang melebihi keberanian dari kebanyakan orang laki-laki di dalam “ap logalek” sendiri. Kesatuan politik yang lebih besar dari “ap logalek” adalah “konfederasi”. Seorang pemimpin konfederasi adalah pemimpin yang mempunyai kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar dari pemimpin-pemimpin lainnya yang terdapat pada tingkat “ap logalek”. Peranan utama dari seorang pemimpin (“kain”) pada tingkat konfederasi
adalah
pemimpin
perang
dan
mensponsori
penyelenggaraan pesta babi. Sedangkan kesatuan politik terbesar pada orang Dani adalah “aliansi”. Sebuah “aliansi” adalah merupakan gabungan dari konfederasi-konfederasi dan fungsi utamanya adalah perang melawan aliansi lainnya. Seorang yang diangkat menjadi pemimpin aliansi adalah seorang dari para pemimpin konfederasi
45
yang mempunyai kelebihan dan mampu menghimpun konfederasi lainnya. Seorang pemimpin aliansi juga disebut “kain”. 9
Heider dalam studinya melaporkan bahwa informan-informan berulang kali menyatakan kepadanya bahwa syarat-syarat seorang “kain” adalah pertama-tama pernah membunuh seorang musuh di medan perang. Syarat inilah yang dinyatakan sebagai syarat utama, sedangkan syarat lainnya seperti mempunyai banyak isteri dan banyak babi adalah syarat kedua (Heider, 1979:70). Walaupun Heider sendiri
meragukan
Broekhuijse
10
pernyataan
(1967:76),
tersebut,
terlihat
bahwa
namun
dari
pernyataan
laporan tersebut
beralasan, karena “21 orang kain” atau pemimpin dari “ap logalek” yang berbeda-beda, rata-rata pernah membunuh 41 orang musuh. Keberanian dalam hal perang ditunjukkan dengan cara membunuh musuh,dan sifat berani tersebut menjadi idealisme dari setiap pemuda Dani, karena sifat inilah yang mampu mempertahankan kelompoknya dari serangan musuh. Keberanian inilah yang membuat seorang pemuda dapat meningkatkan harga diri atau prestise dalam kelompoknya menjadi “kain”. Modal keberanian inilah yang membuat seorang pemuda dapat memiliki banyak isteri. Dengan memiliki banyak isteri, maka seorang laki-laki dapat memiliki banyak babi. Jika babi banyak
maka akan diakui oleh orang lain, terutama dalam
rangka penyelenggaraan pesta babi yang merupakan ritual penting dalam kehidupan orang Dani. Syarat-syarat lain yang dituntut dari seorang “kain” adalah syarat suka memberi (bermurah hati) dan pandai mengatur pesta
9)
Mansoben 1995 : 150 Ibid Mansoben
10)
46
babi. Kepandaian mengatur pesta babi ini berimplikasi pada kesanggupan menyatukan semua kelompok yang terlibat di dalam pesat babi tersebut. Jadi fungsi terselubung dari pesta babi ini adalah guna memperkokoh solidaritas kelompok, terutama pada kelompok konfederasi dan aliansi yang berfungsi dalam rangka ekonomi (perdagangan) dan pertahanan keamanan. Dengan demikian orang yang mampu memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas mendapat tempat terhormat yakni sebagai “kain” (pemimpin) dalam masyarakat Dani yang egaliter.
8. Perubahan kebudayaan Dari sejumlah unsur dalam kehidupan orang Dani di lembah Baliem yang dijelaskan di atas, boleh dikatakan sudah banyak yang kini mengalami perubahan sebagai bagian dari pembukaan isolasi melalui proses pembangunan yang masuk ke wilayah ini. Proses pembangunan yang masuk ke wilayah ini mulai dari penanaman nilainilai baru dalam hal keagamaan dengan masuknya tiga agama besar yakni Kristen, Katholik dan Islam hingga masuknya pendidikan sebagai peradaban baru yang mengikis habis pola pendidikan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di honai-honai adat. Perubahan semakin meningkat ketika adanya pemekaran wilayah administrasi pemerintahan baru, baik di tingkat kabupaten, distrik (kecamatan) maupun kampung-kampung (desa-desa). Berbagai aksesibilitas seperti, jalan, jembatan, dan lapangan-lapangan terbang gencar dibuka sebagai konsekuensi dari pembangunan dalam rangka pemekaran. Lapangan terbang di Wamena (lembah Baliem) kini terlihat begitu ramai karena berbagai macam jenis pesawat berbadan kecil dan lebar hampir setiap saat mendarat di lembah yang dulunya
47
begitu sunyi dari sentuhan modernitas. Pesawat-pesawat hercules dan kargo lainnya setiap hari mengangkut berbagai komoditas ke wilayah ini, mulai dari sembilan bahan pokok, sandang, alat-alat kesehatan, bahan bangunan seperti semen, paku, seng, dll, hingga berbagai alat transport seperti sepeda, sepeda motor, beca, mobil, truk hingga berbagai alat berat seperti, buldoser, dll hadir di wilayah ini. Sarana komunikasi-informasi utama di wilayah ini adalah selain, berbagai media cetak (koran/majalah,dll), juga televisi berbagai chanel, serta handphone dan internetpun telah tersedia. Selain itu juga telah tersedia mall dan supermarket (pusat perbelanjaan) seperti kota-kota lain di Indonesia, meskipun mall/supermaket tersebut tidak semegah mall-mall lainnya di kota-kota besar di Indonesia dan ketersediaan barang-barang dagangan tidak selengkap seperi kotakota besar tersebut. Sejumlah hotel dan penginapan telah hadir di wilayah ini sejak beberapa dekade lalu, demikianpun rumah makan, restoran, dan sebagainya telah membentuk daerah ini mejadi sebuah “kota baru” yang tidak dibayangkan sebelumnya. Banyak migran dari luar lembah Baliem yakni suku-suku tetangga orang Baliem datang ke tempat ini selain untuk melanjutkan pendidikan tetapi juga untuk mengadu nasib (mencari pekerjaan) di wilayah “kota baru” ini. Tak kalah pula, migran dari daerah Indonesia lainnya, seperti suku Bugis, Makasar, Buton, Jawa, Sumatera dan lain-lain datang ke wilayah ini untuk berbisnis atau mencari pekerjaan lainnya. Jadi bisa dikatakan bahwa Wamena (lembah Baliem) yang beberapa dekade lalu dianggap sebuah daerah yang eksoktif dan terisolasi dalam konteks Indonesia dan dunia umumnya, namun di abad kedua puluh satu ini, daerah ini benar-benar telah berubah
48
menjadi sebuah daerah yang berkembang pesat. Di Kota Wamena sekarang ini sudah sangat jarang kita melihat orang yang berjalan dengan memakai koteka (pakaian tradisional lelaki), atau di dalam kota sudah tidak terlihat rumah-rumah honai. Kedua hal tersebut merupakani simbol dari kehidupan orang Dani di lembah ini. Perang suku yang beberapa dekade lalu masih gencar dilakukan antar aliansi, konfederasi, dll, kini nyaris tak terlihat, bahkan aliansi dan konfederasi itupun kini sudah terlupakan oleh generasi baru, karena perang bukan lagi sebuah aktivitas utama. Orang sekarang sibuk mengurus daerah-daerah pemekaran baru. “Kainkain” (para pemimpin) dalam perang tradisional yang melakukan ritual pesta babi tiap lima tahun sekali, sekarang sibuk mencari uang membangun relasi untuk mengokohkan kedudukannya sebagai “kain modern” (pemimpin modern) yakni sebagai gubernur, bupati, kepalakepala dinas, kepala-kepala bagian, kepala-kepala distrik, kepalakepala kampung, pemimpin partai, pemimpin agama, dll. Kesibukan membangun konfederasi dan aliansi tidak hanya terjadi di sekitar lembah Baliem antara sesama kelompok di lembah tersebut, tetapi dibangun hingga ke Jayapura pusat ibokota Provinsi Papua dan Jakarta Ibukota negara Indonesia. Konfederasi dan aliansi menjadi begitu luas dan kompleks karena melibatkan berbagai kelompok suku, kelompok paguyuban, kelompok agama, kelompok kepentingan, seperti partai politik, para anggota legislatif dan eksekutif serta para pengusaha. Demikian Wamena di lembah Baliem dan orang Dani hari ini tidaklah sebuah wilayah dan suku bangsa yang terisolasi lagi. Daerah ini dan kebudayaannya sudah banyak yang berubah sebagai akibat
49
dari pertemuan dengan budaya dunia lainnya, dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, dan dari teknologi komunikasi-informasi yang sedang menguasai dunia. Itulah Wamena di era Globalisasi ini.
50
Kampung Hom-Hom
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 9. Lokasi penelitian di Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia Kabupaten Jayawijaya
51
C. Ekologi Habitat Markisa Markisa di Wamena umumnya ditanam pada areal kebun dan pekarangan rumah. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis ini juga tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong dan hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
1. Faktor Fisiografis Faktor fisiografis yaitu ketinggian tempat dan kelerengan (topografi) pada habitat markisa disajikan pada Tabel 3. Ketinggian tempat habitat markisa di kawasan hutan Kampung Hom-Hom Kabupaten Jayawijaya adalah 1.560–1.780 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya
maka
markisa
digolongkan kedalam
jenis
tumbuhan dataran tinggi. Tabel 3.
Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat markisa di Kampung Hom-Hom
Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.560 1.580 1.720 1.750 1.780
0–3 0–5 5 – 10 10 – 15 15 – 20
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Markisa pada areal pekarangan dan kebun masyarakat di Kampung Hom-Hom tumbuh baik pada kelerangan 0–20%. Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif sangat datar, bergelombang ringan dan sedang. Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas
52
pertumbuhan markisa. Dari hasil pengamatan kualitas pertumbuhan markisa pada habitat datar umumnya sangat baik dan banyak terdapat anakan yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur. Menurut Heyne (1987), di Jawa Barat markisa tumbuh pada ketinggian 1.300 sampai 1.700 m dpl. Selain pengamatan habitat markisa pada Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia, pengamatan juga dilakukan pada habitat markisa di daerah sekitar Wamena. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat markisa di sekitar Wamena Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.630 m dpl 1.650 m dpl 1.730 m dpl 1.900 m dpl 2.100 m dpl
05 – 15 10 – 15 15 – 20 20 – 25 25 – 30
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Markisa di daerah Kabupaten Jayawijaya (Wamena) ternyata dapat tumbuh pada ketinggian sampai 2.100 m dpl dengan kelerengan sampai 30%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai bergelombang berat.
2. Suhu dan Kelembaban Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata. Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan
53
menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis. Tabel 5. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat markisa Habitat
Suhu (Cº)
Kelembaban (%)
Naungan (%)
1
25
78
70
Bischovia javanica
2
25
78
75
Calliandra calothyrsus
3
24
80
60
Dodonea viscosa
4
23
80
65
Grevillea papuana
5
22
84
50
Bischovia javanica
Pohon Inang
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Antara vegetasi, tanah dan iklim terdapat hubungan erat yang sifatnya timbal balik dan bersifat dinamik. Tumbuhan jauh lebih subur pada daerah lembab dari pada daerah kering. Karena lebih banyak bahan organik yang didepositkan pada tanah lembab dan kenaikan humus tampak lebih nyata jika suhu lebih rendah. Perbedaan suhu berhubungan erat dengan adanya perbedaan pelapukan dan perubahan dalam produk pelapukan (Ardhana, 2012). Markisa tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan sedang sampai berat (50–75%) dengan suhu optimum berkisar antara 22–25ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 78– 84%. Adanya kisaran demikian disebabkan karena markisa di Kampung Hom-Hom dan daerah Wamena Kabupaten Jayawijaya ditanam oleh masyarakat
54
pada areal pekarangan dan kebun serta tumbuh liar pada habitat yang terbuka seperti areal kosong dan bekas kebun serta hutan sekunder. Iklim berpengaruh tidak hanya kepada vegetasi tetapi juga kepada tanah. Suhu dan air adalah parameter penting dalam pembentukan formasi tanah. Sebaliknya vegetasi dan tanah hanya berpengaruh kecil terhadap iklim, biasanya berhubungan dengan lapisan udara dekat permukaan saja atau iklim mikro. Markisa merupakan jenis liana “semi toleran” yang umumnya melilit atau merayap pada pohon inang. Adanya pohon inang mengakibatkan jenis ini akan selalu ternaungi sehingga akan berpengaruh terhadap iklim mikro sekitarnya terutama suhu dan kelembaban. Jenis ini juga merupakan tipe tumbuhan C3 yang tidak terlalu membutuhkan cahaya matahari untuk proses pembungaan dan pembuahan.
55
Grevillea papuana
Calliandra calothyrsus
Dodonea viscosa
Bischovia javanica
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
Gambar 10. Jenis-jenis pohon inang sebagai tempat melilit markisa (Passiflora lingularis)
3. Keadaan Tanah Lima faktor utama yang mengatur karakteristik akhir dari tanah (Brady, 1974) adalah : iklim, organisme, bahan induk, topografi dan waktu. Sesuai dengan keseimbangan relatif diantara faktor-faktor tersebut, tanah hampir tidak terbatas macamnya. Markisa umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai
56
dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu dan berbatu tetapi markisa yang tumbuh liar kadang-kadang tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen. Habitat markisa dengan kedalaman solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung bukit. Sedangkan habitat markisa dengan kedalaman solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada kaki bukit dan lembah. Hasil analisis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 6. Tabel 6.
Kesuburan tanah pada habitat markisa di Kampung HomHom
Parameter Uji N tot N tsd P tsd K tsd Ca tsd Fe tsd Mg tsd Mn tsd Cu tsd Na tsd Zn tsd pH (H2O) C/N ratio Bahan Organik
Nilai Kandungan 0,31 181,19 14,14 0,54 38,89 5,96 2,85 127,66 6,85 1,23 9,10 7,10 7,62 4,03
Satuan % Ppm Ppm Me/100 gr Me/100 gr Ppm Me/100 gr Ppm Ppm Me/100 gr Ppm pH %
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
57
Di daerah-daerah yang beriklim lebih kering seperti di Indonesia bagian Timur, pencucian tidak berjalan intensif sehingga tanahnya kurang masam dan lebih tinggi kadar basa-basanya (Hardjowigeno, 1987) Tanah pada habitat buah markisa bersifat netral (pH 7,10), N total sangat rendah, N tersedia rendah sampai sedang, P tersedia rendah, Mg tersedia tinggi, bahan organik tinggi, C/N ratio sangat rendah dan K tersedia sedang.
D. Potensi Tegakan dan Buah 1. Potensi Tegakan Pengamatan terhadap potensi tegakan markisa tidak dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan eksotik (non indigenous) sehingga secara alami jenis ini tidak terdapat pada kawasan hutan di Wamena. Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya markisa namun tidak semua masyarakat Wamena menanam markisa pada areal pekarangan dan kebun mereka. Sejalan dengan perkembangan
daerah
dan
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi, masyarakat Wamena asli tidak lagi menanam markisa di kebun-kebun mereka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor pembatas antara lain ketersediaan lahan yang terbatas karena telah digunakan untuk kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah maupun
oleh
penduduk
pendatang
(non
Wamena),
banyak
masyarakat asli Wamena telah menjadi PNS sehingga waktu untuk berkebun menjadi terbatas, adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras sehingga masyarakat asli Wamena merasa tidak wajib
58
lagi untuk menanam markisa serta hasil kebun lainnya dan masyarakat belum merasa manfaat ekonomi secara langsung akibat belum adanya pemasaran markisa yang dianggap menguntungkan.
2. Potensi Buah Markisa yang telah mencapai masa berbuah, biasanya berbuah sepanjang setahun. Hasil pengamatan terhadap
markisa yang
berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dapat diduga bahwa potensi buah markisa per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi buah markisa tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 1–2 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, namun karakter buah markisa yang umumnya berdiameter 4–6 cm menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
Gambar 11.
Buah markisa yang dijual di pasar Wamena dengan harga per tumpukan Rp. 5.000,-
59
E. Kandungan Gizi Markisa Kandungan gizi buah markisa secara lengkap disajikan pada Tabel 7. Perbandingan kandungan gizi buah markisa dengan beberapa jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 7. Kandungan Gizi Markisa Hasil Analisis Macam Analisa Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Protein Total Serat Kasar Vitamin C Sumber :
Tabel 8.
Ul2
79,88 1,33 3,28 2,76 4,52 29,08
79,64 1,46 3,39 2,70 4,56 30,55
Rata-Rata 79,76 1,40 3,34 2,73 4,54 29,82
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2011
Perbandingan kandungan gizi markisa dengan beberapa jenis buah-buahan
Buah Alpukat Durian Sirsak Langsat Pepaya Rambutan Salak Markisa Sumber :
Ul1
Protein (gr)
Lemak (gr)
Vit C (mg)
Air (gr)
0,9 2,5 1,0 0,9 0,5 2,0 0,9 2,73
6,5 3,0 0,3 0,2 0 0,1 0 3,34
13 5,3 20 3,0 78 58 2 29,82
84,4 65 81,7 81 86,7 80,5 78 64,48
Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 Commodity System, IPB dalam Suhadi et al, 2006
60
dan
The Indonesian
Kandungan protein dan vitamin C pada buah markisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
F. Etnobotani Markisa Dalam Budaya Suku Dani Buah markisa adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat asli Wamena dan masyarakat pendatang yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama para misionaris membawa dan menanam jenis markisa tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Wamena pertama kali mengkonsumsi jenis buah markisa tersebut.
Namun
secara budaya buah markisa ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya beberapa suku di Pegunungan Tengah. Perkembangan ini sangat terkait dengan penyebaran atau masuknya injil di daerah tersebut.
G. Konservasi Tradisional Masyarakat Suku Dani di Wamena dan suku-suku lainnya (Yali, Lani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah markisa (Passiflora lingularis) dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka meskipun secara alami jenis tersebut bukan merupakan jenis asli (Indigenous) Pegunungan Tengah (Tanah Papua). Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi tradsional dengan cara menanam markisa dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah pohon induknya, merawat
61
anakan dan pohon markisa yang terdapat di areal pekarangan dan kebun serta yang tumbuh liar di alam. Kegiatan pembibitan dan penanaman markisa dapat dilakukan dengan biji (benih) dan dengan stek (potongan batang). Secara umum masyarakat lebih memilih sistem pembibitan dengan benih terutama untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk. Hal ini di sebabkan karena pembibitan dengan stek (potongan batang) oleh masyarakat dianggap merusak pohon induk (ada kemungkinan pohon tersebut mati) dan akan menurunkan produksi buah markisa dari pohon tersebut. H. Status Konservasi Walaupun masyarakat Wamena menyatakan bahwa markisa adalah tumbuhan asli Wamena namun jenis tersebut sebenarnya bukan merupakan tumbuhan asli (native species) di Wamena (Tanah Papua) dan Indonesia. Jenis tumbuhan ini merupakan jenis eksotik yang dibawa oleh para misionaris pada saat mereka datang untuk penyebaran agama Kristen di Wamena. Jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
I. Prospek Pengembangan Markisa sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem dataran tinggi seperti di PegununganTengah, Ambaidiru (Yapen) dan Pegunungan Arfak (Manokwari). Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk perkebunan sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
62
Gambar 12. Peta penyebaran markisa (Passiflora lingularis) di Tanah Papua 63
64 (Passiflora edulis Sims.) Gambar 13. Buah Negri Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
4.2. Buah Negri (Passiflora edulis Sims.) Buah negri adalah sebutan masyarakat Suku Dani atau masyarakat di Pegunungan Tengah (Suku Lani, Nduga, Yali dan lainlain) untuk buah markisa lokal (indeginous) pada daerah tersebut.
A. Deskripsi Botani Passiflora edulis Sims (Pasifloraceae) Nama dagang Nama daerah
: markisa : buah negri (Wamena)
Perawakan: Tumbuhan merambat, liana parenial, biasanya membelit pada pohon inang, panjangnya mencapai 10–15 m. Batang utama silindris, lurus, berlekuk dan kadang-kadang berpilin dan berbuncak untuk tumbuhan dewasa. Permukaan pepagan luar licin, bersisik dan mengelupas kecil-kecil atau kasar bagi tumbuhan yang sudah dewasa, berwarna hijau muda keputihan atau coklat muda. Takikan batang pepagan tebalnya 4–5 mm, tidak bergetah, pepagan dalam lunak sampai keras, berwarna kuning jingga atau kuning muda. Daun tunggal, kedudukan daun selang-seling, bentuk daun membundar telur, bercangap tiga, pangkal daun berbentuk jantung, simetris, ujung meruncing, tepi daun rata atau bergerigi, gundul, seperti kulit, panjang daun 10–15 cm, lebar 7–12 cm, panjang tangkai daun 3,5–6 cm. Urat daun sekunder tenggelam pada permukaan atas. Stipula ada, berukuran kecil. Perbungaan berbentuk tunggal, biasanya terdapat pada ketiak daun atau batang pada cabang dan ranting. Bunga beraturan, berbau harum, tunggal atau berpasangan 2–4 pada satu tangkai, berkelamin 2, kelopak 5, mahkota 5, benangsari kebanyakan
65
5, bakal buah menumpang, beruang 1, tangkai putik 3, bakal biji banyak. Buah buni, berbentuk bulat oval seperti telur, panjang 3–5 dan lebar 2–4 cm. Biji banyak, berbentuk seperti biji tomat.
Buah muda
Daun
Buah masak
Buah tua Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 14. Karakter morfologi buah negri (Passiflora edulis)
66
B. Ekologi Habitat Buah Negri Faktor ekologi atau lingkungan alami yaitu ruang yang selalu memperlihatkan perbedaan atau perubahan baik dalam penyebaran masyarakat tumbuhan secara vertikal maupun horizontal dan bila dikaitkan dengan waktu maka akan bervariasi baik secara harian, bulanan, tahunan dan musiman. Secara horizontal perbedaan yang nyata dari gradien suhu, cahaya dan kelembaban akan berpengaruh terhadap penyebaran vegetasi. Sedangkan penyebaran tumbuhan secara vertikal sangat dipengaruhi oleh topografi dan ketinggian di atas permukaan laut. Buah negri di Wamena umumnya ditanam atau tumbuh pada areal kebun dan pekarangan rumah. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis ini juga tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong dan hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
1. Faktor Fisiografis Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti klimatis
karena
menentukan
arah
dari
mana
angin
bertiup,
kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007). Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dan kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh
67
iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-sifat tanah antara lain tebal solum, kandungan bahan organik, kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007). Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim. Suhu atau temperatur udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah (Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah Papua, keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Tabel 9. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat buah negri di Kampung Hom-Hom Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.600 1.600 1.760 1.700 1.770
0–5 0–5 5 – 10 10 – 15 10 – 15
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Buah negri pada areal pekarangan dan kebun masyarakat di Kampung Hom-Hom tumbuh baik pada kelerangan 0–15%. Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif sangat datar sampai bergelombang ringan. Kondisi habitat demikian secara alami
68
sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan Passiflora edulis. Kualitas pertumbuhan Passiflora edulis pada habitat datar umumnya sangat baik dan banyak terdapat anakan yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur. Ketinggian tempat habitat buah negri di Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia Kabupaten Jayawijaya adalah 1.600–1.770 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka buah negeri digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran tinggi. Menurut Heyne (1987), di Jawa Barat buah negri tumbuh pada ketinggian 1.300 sampai 1.700 m dpl. Selain pengamatan habitat buah negri pada Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia, pengamatan juga dilakukan pada habitat buah negri di daerah sekitar Wamena. Tabel 10. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat buah negri di sekitar Wamena Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.600 1.650 1.760 1.900 2.100
0–5 0–5 5 – 10 10 – 15 20 – 25
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Buah negri di daerah Kabupaten Jayawijaya (Wamena) ternyata dapat tumbuh pada ketinggian sampai 2.100 m dpl dengan kelerengan sampai 25%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai bergelombang berat.
69
2. Suhu Udara dan Kelembaban Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata. Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis. Suhu dan
kelembaban
serta
pengamatan
penutupan
tajuk
(persen
naungan) pada habitat buah negri disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat buah negri Suhu Kelembaban Naungan Pohon Inang Habitat (Cº) (%) (%) Dacrydium beccarii 75 1 22 81 Bischovia javanica 75 2 22 78 Cupressus sp. 80 3 21 84 Grevillea papuana 65 4 21 84 Podocarpus imbricatus 60 5 21 86 Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap vegetasi.
Suhu
berperan langsung terhadap tumbuhan dengan mengontrol laju proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan berperan tidak langsung dengan mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air. Buah negri tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan sedang sampai tinggi (60–80%) dengan suhu optimum berkisar antara 21–22ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 78–86%.
70
Adanya kisaran demikian disebabkan karena buah negri di Kampung Hom-Hom dan daerah Wamena Kabupaten Jayawijaya ditanam oleh masyarakat pada areal pekarangan dan kebun serta tumbuh liar pada habitat yang terbuka seperti areal kosong dan bekas kebun serta hutan sekunder. Buah negri merupakan jenis liana “semi toleran” yang umumnya melilit atau merayap pada pohon inang. Adanya pohon inang mengakibatkan jenis ini akan selalu ternaungi sehingga akan berpengaruh terhadap iklim mikro sekitarnya terutama suhu dan kelembaban. Jenis ini juga merupakan tipe tumbuhan C3 yang tidak terlalu membutuhkan cahaya matahari untuk proses pembungaan dan pembuahan.
3. Keadaan Tanah Curah hujan dan suhu
yang tinggi di daerah tropika
menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Akibatnya banyak tanah di Indonesia mengalami pelapukan lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Buah negri umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu dan berbatu tetapi buah negri yang tumbuh liar kadang-kadang tumbuh pada daerah tergenang
di pinggir sungai
atau kali dan pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen.
71
Grevillea papuana
Dracydium beccarii
Cupressus sp.
Podocarpus imbricatus
Bischovia javanica Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 15. Jenis-jenis pohon inang tempat melilit buah negri
72
Habitat buah negri dengan kedalaman solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung bukit. Sedangkan habitat buah negri dengan kedalaman solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada kaki bukit dan lembah. Hasil analisis sampel tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 12. Tabel 12.
Kesuburan tanah pada habitat buah negri di Kampung Hom-Hom Parameter Nilai Satuan Uji Kandungan N tot 0,54 % N tsd 252,57 Ppm P tsd 33,75 Ppm K tsd 0,88 Me/100 gr Ca tsd 27,20 Me/100 gr Fe tsd 80,42 Ppm Mg tsd 2,10 Me/100 gr Mn tsd 711,70 Ppm Cu tsd 23,51 Ppm Na tsd 1,00 Me/100 gr Zn tsd 7,95 Ppm pH (H2O) 6,98 pH C/N ratio 7,74 Bahan Organik 4,23 %
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tanah tropis sangat rentang terhadap erosi tergantung kepada tipe tanah, kemiringan lahan, panjang kemiringan, vegetasi penutup tanah dan sifat serta intensitas curah hujan. Tanah pada habitat buah buah negri bersifat netral (pH 6,98), N total tinggi, N tersedia rendah sampai sedang, P tersedia tinggi, Mg tersedia tinggi, bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia tinggi.
73
D. Potensi Tegakan dan Buah 1. Potensi Tegakan Pengamatan terhadap potensi tegakan buah negri tidak dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan eksotik (non indigenous) sehingga secara alami jenis ini tidak terdapat pada kawasan hutan terutama hutan primer di Wamena. Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya buah negri namun tidak semua masyarakat Wamena menanam buah negri pada areal pekarangan dan kebun mereka. Sejalan dengan perkembangan
daerah
dan
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi, masyarakat Wamena asli tidak lagi menanam buah negri di kebun-kebun mereka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor pembatas antara lain ketersediaan lahan yang terbatas karena telah digunakan untuk kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah maupun
oleh
penduduk
pendatang
(non
Wamena),
banyak
masyarakat asli Wamena telah menjadi PNS sehingga waktu untuk berkebun menjadi terbatas, rasa buah negri yang asam sehingga kurang disukai untuk ditanam, adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras sehingga masyarakat asli Wamena merasa tidak wajib lagi untuk menanam buah negri serta hasil kebun lainnya dan masyarakat belum merasa manfaat ekonomi secara langsung akibat belum adanya pemasaran buah negri yang dianggap menguntungkan.
2. Potensi Buah Buah negri
yang telah mencapai masa berbuah, biasanya
berbuah sepanjang setahun. Hasil pengamatan terhadap buah negri yang berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat,
74
dapat diduga bahwa potensi buah negri per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi buah negri tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 1–2 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, namun karakter
buah
negri
yang
umumnya
berdiameter
4–5
cm
menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 16. Buah negri yang dijual di pasar Wamena dengan harga per tumpukan Rp. 5.000,-
E. Kandungan Gizi Buah Negri (Passiflora edulis) Kandungan gizi buah negri secara lengkap disajikan pada Tabel 13. Perbandingan kandungan gizi buah negri dengan beberapa jenis buah yang sudah dikenal dan sering dikonsumsi oleh masyarakat seperti alpukat, durian, sirsak, langsat, pepaya, rambutan dan salak dapat dilihat pada Tabel 14.
75
Tabel 13. Kandungan gizi buah negri Hasil Analisis Macam Analisa Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Protein Total Serat Kasar Vitamin C Sumber :
Ul1
Ul2
89,60 0,80 0,09 2,19 3,53 48,34
89,51 0,80 0,08 2,21 3,41 49,35
Rata-Rata 89,56 0,80 0,08 2,20 3,47 48,85
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2011
Tabel 14. Perbandingan kandungan gizi buah negri dengan beberapa jenis buah-buahan
Protein (gr) 0,9 2,5 1,0 0,9 0,5 2,0 0,9 2,20
Buah Alpukat Durian Sirsak Langsat Pepaya Rambutan Salak Markisa
Lemak (gr) 6,5 3,0 0,3 0,2 0 0,1 0 0,08
Vit C (mg) 13 5,3 20 3,0 78 58 2 48,85
Air (gr) 84,4 65 81,7 81 86,7 80,5 78 89,56
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhardi et al, 2006
Secara umum kandungan protein dan vitamin C pada buah negri lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
F. Etnobotani Buah Negri Dalam Budaya Suku Dani Buah
negri
adalah
jenis
buah
yang
dikomsumsi
oleh
masyarakat asli Wamena dan masyarakat pendatang yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah
76
tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama para misionaris membawa dan menanam jenis buah negri tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Wamena pertama kali mengkonsumsi jenis buah negri tersebut. Namun secara budaya buah negri ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya beberapa suku di Pegunungan Tengah. Perkembangan ini sangat terkait dengan penyebaran atau masuknya injil di daerah tersebut.
G. Konservasi Tradisional Buah negri merupakan jenis asli (Indigenous) Papua yang penyebarannya selain terdapat Pegunungan Tengah juga terdapat di Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari. Masyarakat Suku Dani di Wamena dan suku-suku lainnya (Yali, Lani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah negri dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka. Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi tradisional dengan cara menanam buah negri dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah pohon induknya, merawat anakan dan pohon buah negri yang terdapat di areal pekarangan dan kebun serta yang tumbuh liar di alam. Kegiatan pembibitan dan penanaman buah negri dapat dilakukan dengan biji (benih) dan dengan stek (potongan batang). Secara umum masyarakat lebih memilih sistem pembibitan dengan benih terutama untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk. Hal ini disebabkan karena pembibitan dengan
77
stek (potongan batang) oleh masyarakat dianggap merusak pohon induk dan akan menurunkan produksi buah negri dari pohon tersebut.
H. Status Konservasi Buah negri adalah salah satu jenis indigenous atau tumbuhan asli (native species) di Tanah Papua dan Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara. Jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
I. Prospek Pengembangan Buah negri sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem dataran tinggi. Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk perkebunan sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
78
Gambar 17. Peta penyebaran buah negri (Passiflora edulis) di Tanah Papua
79
80 Gambar 18. Terong belanda (C. betacea Sendt. var. merah) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 13.Terong Hutan (C.betacea var. merah)
81 Gambar 19. Terong belanda (C. betacea Sendt. var. kuning) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
V. TERONG BELANDA (Cyphomandra betacea Sendt.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU DANI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA
Terong belanda atau terong hutan atau tomat hutan adalah sebutan masyarakat Suku Dani atau masyarakat di Pegunungan Tengah untuk (Suku Lani, Nduga, Yali dan lain-lain) untuk tanaman yang tumbuh pada dataran tinggi (≥ 750 m dpl.) yang tanamannya mirip terong tetapi buahnya sangat mirip tomat. Terong belanda pada daerah Wamena dan Pegunungan Tengah terdiri atau terdapat 2 varietas yang dibedakan berdasarkan warna buah yaitu jenis yang sering disebut oleh masyarakat Wamena dan Pegunungan Tengah dengan sebutan ”terong belanda buah kuning” dan ”terong belanda buah merah”, kedua jenis varietas tersebut
hanya
Cyphomandra
memiliki
betacea
satu
Sendt.
nama
ilmiah
Berdasarkan
atau karakter
latin
yaitu
morfologi
tumbuhan dan warna buah dari kedua jenis varietas tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut : a. Perdu, pohon kecil atau semak, buah umumnya jika tua/masak berwarna hijau kekuningan, kuning atau orange .......................... ................................ Cyphomandra betacea Sendt. var. kuning b. Perdu, pohon kecil atau semak, buah umumnya jika tua/masak berwarna hijau kemerahan, hijau merah maron atau merah .................................Cyphomandra betacea Sendt. var. merah
82
A. Deskripsi Botani Cyphomandra betacea (Cav.) Sendtner (Solanaceae) Nama dagang Nama daerah Sinonim
: terong hutan, tomat hutan, terong belanda : terong hutan : Solanum betaceum Cav.
Perawakan: Semak, perdu atau pohon berukuran kecil, tumbuh tunggal, tinggi mencapai 4,5–6,5 m. Batang umumnya tegak dan berbentuk silindris, sering tidak lurus, dengan diameter 7-10 cm, permukaan batang halus dan licin (kadang-kadang sedikit kasar karena kulit yang mengelupas atau lumut yang menutupi permukaan kulit), berwarna hijau pada saat masih muda dan menjadi coklat muda keabu-abuan jika sudah tua. Daun tunggal, berukuran 10-22 cm x 7-18 cm, permukaan atas daun berwarna hijau atau hijau tua, licin atau berbulu halus, permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Umumnya berbulu halus, sisi atau tepi daun agak bergelombang, permukaan daun bergelombang atau rata, jumlah daun 8-15 helai, bentuk daun membulat oval dengan pangkal menjantung dan ujung membulat. Perbungaan pada ketiak daun, tunggal atau berpasangan. Bunga beraturan, berkelamin 2, kadang-kadang berkelamin 1, kebanyakan berbilangan 5 dengan kelopak dan mahkota yang berdaun lekat, benangsari 5, kepalasari beruang 2, bakal buah menumpang, beruang 2. Buah buni, bulat lonjong atau oval, berbentuk seperti telur, panjang 3-5 cm, diameter 2-4 cm, permukaan buah gundul (halus) dan licin, berwarna hijau saat muda dan hijau kekuningan atau hijau orange saat tua. Biji banyak, berbentuk
83
lonjong, berwarna hitam, berukuran sangat kecil seperti biji tomat atau terong, tertutup oleh daging buah.
B. Kondisi Sosio-Geografis Sama halnya dengan buah markisa dan buah negri, studi pemanfaatan buah terong belanda atau terong hutan juga dilakukan di Kabupaten
Jayawijaya
sebagaimana
dijelaskan
pada
Bab
IV
terdahulu, Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten di Pegunungan Tengah pulau Papua mempunyai iklim tropika basah dengan zona ekologi pegunungan tinggi (highlands) dan didiami oleh etnis Dani yang mempunyai sistem kepemimpinan “Big Man” atau Pria
Berwibawa,
sistem
kekerabatan
Omaha
dengan
sistem
pewarisan Patrilineal (Mansoben, 1995)
C. Ekologi Habitat Terong Belanda
Terong belanda di Wamena umumnya ditanam pada areal kebun dan pekarangan rumah. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis ini juga tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong dan hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
84
Daun
Bakal bunga
Buah muda
Buah masak
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 20.
Karakter morfologi terong belanda (C. betacea var. kuning
85
Buah muda
Daun
Buah muda
Buah masak
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 21. Karakter morfologi terong belanda (C. betacea var. merah
86
1. Faktor Fisiografis Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti klimatis
karena
menentukan
arah
dari
mana
angin
bertiup,
kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan
tertentu
(Leksono,
2007).
Hasil
pengukuran
faktor
fisiografis yaitu ketinggian tempat dan kelerengan (topografi) pada habitat terong belanda, disajikan pada Tabel 15. Tabel 15.
Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat terong belanda di Kampung Hom-Hom
Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.560 1.600 1.670 1.700 1.750
0–5 0–5 5 – 10 10 – 15 15 – 20
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Terong belanda pada areal pekarangan dan kebun masyarakat di Kampung Hom-Hom tumbuh baik pada kelerangan 0–20%. Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif sangat datar sampai habitat
demikian
bergelombang ringan dan sedang.
secara
alami
sangat
berdampak
Kondisi terhadap
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan terong belanda. Dari hasil pengamatan kualitas pertumbuhan terong belanda pada habitat
87
lembah atau datar umumnya sangat baik dan banyak terdapat anakan yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur. Ketinggian tempat habitat terong Belanda pada Kampung HomHom Distrik Hubikia Kabupaten Jayawijaya adalah 1.560–1.750 m dpl.
Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka terong belanda
digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran tinggi. Menurut Heyne (1987), di Jawa Barat terong belanda tumbuh pada ketinggian 1.000 m dpl sampai 1.500 m dpl, sedangkan di Jawa Timur tumbuh pada ketinggian 450 m dpl. dan menghasilkan buah yang sangat bagus. Selain pengamatan habitat terong belanda pada Kampung Hom-Hom Distrik Hubikia, pengamatan juga dilakukan pada habitat terong belanda di daerah sekitar Wamena. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 16 berikut. Tabel 16. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat terong belanda di Sekitar Wamena
Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.600 1.770 1.800 1.960 2.200
0–7 0–5 5 – 10 20 – 25 30 – 35
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Terong belanda di daerah Kabupaten Jayawijaya (Wamena) ternyata dapat tumbuh pada ketinggian sampai 2.200 m dpl dengan kelerengan sampai 35%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan, sedang sampai bergelombang berat.
88
2. Suhu Udara dan Kelembaban Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata. Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional akan menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat atau beriklim tropis. Ardhana (2012), menyatakan bahwa relatif mudah untuk mengukur suhu dalam suatu lingkungan tetapi sulit untuk menentukan suhu yang bagaimana yang berperan nyata bagi pertumbuhan vegetasi, Hasil
apakah suhu minimum, maksimum atau suhu rata-rata.
pengukuran
suhu
dan
kelembaban
serta
pengamatan
penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat terong belanda disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat terong belanda Suhu Kelembaban Naungan Habitat (Cº) (%) (%) 0 1 24 78 35 2 23 75 60 3 22 80 85 4 22 84 50 5 21 86 Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Suhu udara dan naungan dapat mempengaruhi iklim mikro tanaman (Ardhana, 2012). Terong belanda
tumbuh pada daerah-
daerah dengan naungan rendah, sedang sampai tinggi (0–85%)
89
dengan suhu optimum berkisar antara 21–24ºC dan kelembaban optimum
berkisar
antara
75–86%.
Adanya
kisaran
demikian
disebabkan karena terong belanda di Kampung Hom-Hom dan daerah Wamena Kabupaten Jayawijaya ditanam oleh masyarakat pada areal pekarangan dan kebun serta tumbuh liar pada habitat yang terbuka seperti areal kosong dan bekas kebun serta hutan sekunder. Terong belanda merupakan jenis tumbuhan “toleran” yang secara alami dapat tumbuh dan menyebar dengan mudah. Terong belanda merupakan tipe tumbuhan C4 yang sangat membutuhkan cahaya matahari untuk proses pembungaan dan pembuahan. Terong belanda yang tumbuh pada habitat dengan naungan yang berat sudah tentu akan memiliki produksi atau jumlah buah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan terong belanda yang tumbuh pada daerah dengan naungan rendah sampai sedang atau tanpa naungan.
3. Keadaan Tanah Terong belanda di Kampung Hom-Hom dan daerah Wamena sekitarnya umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu dan berbatu tetapi buah negri yang tumbuh liar kadangkadang tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen. Habitat terong belanda memiliki kedalaman solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung
90
bukit. Sedangkan habitat terong belanda dengan kedalaman solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada kaki bukit dan lembah. Daerah Wamena yang merupakan lembah, tanahnya merupakan tanah endapan yang berasal dari bukit-bukit dan gunung-gunung disekitar kawasan tersebut sehingga lapisan olah tanah (top soil) di daerah ini dapat mencapai lebih dari 50 cm. Hasil analisis sampel tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Kesuburan tanah pada habitat terong belanda di Kampung Hom-Hom Parameter Uji N tot N tsd P tsd K tsd Ca tsd Fe tsd Mg tsd Mn tsd Cu tsd Na tsd Zn tsd pH (H2O) C/N ratio Bahan Organik
Nilai Kandungan 0,43 215,88 23,95 0,72 33,04 46,19 2,52 445,68 17,18 1,12 8,54 6,95 7,39 4,16
Satuan % Ppm Ppm Me/100 gr Me/100 gr Ppm Me/100 gr Ppm Ppm Me/100 gr Ppm pH %
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tanah pada habitat buah terong belanda bersifat Netral (pH 6,95), N total sedang, N tersedia rendah sampai sedang, P tersedia sedang, Mg tersedia rendah, bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia tinggi.
91
C. Potensi Tegakan dan Buah 1. Potensi Tegakan Pengamatan terhadap potensi tegakan terong belanda tidak dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan eksotik (non indigenous) sehingga secara alami jenis ini tidak terdapat pada kawasan hutan di Wamena. Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya terong belanda namun tidak semua masyarakat Wamena menanam terong belanda pada areal pekarangan dan kebun mereka. Sejalan dengan perkembangan daerah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat Wamena asli tidak lagi menanam terong belanda di kebun-kebun mereka, hal ini disebabkan karena beberapa faktor pembatas antara lain ketersediaan lahan yang terbatas karena telah digunakan untuk kegiatan pembangunan baik oleh pemerintah maupun
oleh
penduduk
pendatang
(non
Wamena),
banyak
masyarakat asli Wamena telah menjadi PNS sehingga waktu untuk berkebun menjadi terbatas, rasa buah terong belanda yang agak asam sehingga kurang disukai untuk ditanam karena dianggap tidak memberikan hasil atau dampak yang nyata bagi masyarakat, adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras sehingga masyarakat asli Wamena merasa tidak wajib lagi untuk menanam terong belanda serta hasil kebun lainnya dan masyarakat belum merasa manfaat ekonomi secara langsung akibat belum adanya pemasaran buah terong belanda yang dianggap menguntungkan.
92
2. Potensi Buah Terong belanda yang telah mencapai masa berbuah, biasanya berbuah sepanjang tahun dengan jumlah buah yang sangat banyak, dapat mencapai ratusan buah. Hasil pengamatan terhadap terong belanda yang berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dapat diduga bahwa potensi buah terong belanda per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi buah terong belanda tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 2–3 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya banyak dan karakter buah terong belanda yang umumnya berdiameter 2–3 cm menyebabkan jenis buah ini meskipun berukuran kecil namun unggul dari segi kuantitas.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 22. Buah terong belanda yang dijual di pasar Wamena dengan harga per tumpukan Rp. 5.000,-
93
D. Kandungan Gizi Terong Belanda Kandungan gizi buah terong belanda disajikan pada Tabel 19. Perbandingan kandungan gizi buah buah terong belanda dengan beberapa jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 19. Kandungan gizi buah terong belanda Macam Analisa Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Protein Total Serat Kasar Vitamin C Sumber :
Hasil Analisis Ul1
Ul2
86,09 1,28 2,02 1,57 4,12 21,75
86,14 1,31 2,00 1,64 4,40 21,91
Rata-Rata 86,11 1,29 2.01 1,61 4,26 21,83
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2011
Tabel 20.
Perbandingan kandungan gizi buah terong belanda dengan beberapa jenis buah-buahan Protein Lemak Vit C Air Buah (gr) (gr) (mg) (gr) Alpukat 0,9 6,5 13 84,4 Durian 2,5 3,0 5,3 65 Sirsak 1,0 0,3 20 81,7 Langsat 0,9 0,2 3,0 81 Pepaya 0,5 0 78 86,7 Rambutan 2,0 0,1 58 80,5 Salak 0,9 0 2 78 Markisa 2,73 3,34 29,82 64,48 Terong Belanda 1,61 2,01 21,83 86,11
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhadi et al, 2006
94
Secara umum kandungan protein pada buah terong belanda lebih rendah jika dibandingkan dengan buah rambutan, durian dan markisa,
kandungan lemak terong belanda juga lebih rendah jika
dibandingkan dengan buah alpukat, durian dan markisa dan kandungan vitamin C terong belanda juga lebih rendah jika dibandingkan dengan buah pepaya, rambutan dan markisa namun lebih tinggi dari jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
E. EtnobotaniTerong Belanda Dalam Budaya Suku Dani Buah terong belanda adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat asli Wamena dan masyarakat pendatang yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama para misionaris membawa dan menanam jenis terong belanda tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Wamena pertama kali mengkonsumsi jenis buah terong belanda tersebut. Namun berdasarkan sejarah misi pekabaran injil di Pegunungan Tengah, kemungkinan orang Wamena (Suku Dani) pertama kali mengenal jenis buah terong belanda pada awal tahun 1960-an (Richarson, 1993). Namun secara budaya buah terong belanda ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya beberapa suku di Pegunungan Tengah. Perkembangan ini sangat terkait dengan penyebaran atau masuknya injil di daerah tersebut.
95
F. Konservasi Tradisional Masyarakat Suku Dani di Wamena dan suku-suku lainnya (Yali, Lani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah terong belanda dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka meskipun secara alami jenis tersebut bukan merupakan jenis asli (Indigenous) Pegunungan Tengah (Tanah Papua). Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi tradisional dengan cara menanam buah terong belanda dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah pohon induknya, menanam, merawat anakan dan pohon terong belanda yang terdapat di areal pekarangan dan kebun serta yang tumbuh liar di alam. Kegiatan pembibitan dan penanaman terong belanda dapat dilakukan dengan biji (benih) dan dengan stek (potongan batang). Secara umum masyarakat lebih memilih sistem pembibitan dengan benih terutama untuk semai, baik yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk. Hal ini disebabkan karena pembibitan dengan stek (potongan batang) oleh masyarakat dianggap merusak pohon induk (ada kemungkinan pohon tersebut mati) dan akan menurunkan produksi buah terong belanda tersebut. G. Status Konservasi Walaupun masyarakat Wamena menyatakan bahwa terong belanda adalah tumbuhan asli Wamena namun jenis tersebut sebenarnya bukan merupakan tumbuhan asli (native species) di Wamena (Tanah Papua) dan Indonesia. Jenis tumbuhan ini merupakan jenis eksotik yang dibawa oleh para misionaris pada saat
96
mereka datang untuk penyebaran agama kristen di Wamena. Jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
H. Prospek Pengembangan Terong belanda sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem dataran tinggi seperti di Pegunungan Tengah, Ambaidiru (Yapen) dan Pegunungan Arfak
(Manokwari). Pengembangan atau penanaman
jenis ini dalam bentuk perkebunan sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
97
Gambar 23. Peta penyebaran terong belanda (Cyphomandra betacea) di Tanah Papua
98
99 Gambar 24. Kelapa Hutan (Pandanus brossimos Merr. & Perry ) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
100 (Pandanus julianettii Mart.) Gambar 25. Kelapa Hutan Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
VI. BUAH KELAPA HUTAN (Pandanus brossimos dan Pandanus julianettii) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU LANI DI KABUPATEN TOLIKARA
A. Deskripsi Botani Di Tanah Papua penyebutan tumbuhan hutan dengan sebutan ”kelapa hutan” sering membingungkan orang awam dan para peneliti maupun akademisi, terutama bagi para peneliti dan akademisi yang kurang memahami masalah taksonomi atau bukan taksomist. Sebutan kelapa hutan di Tanah Papua umumnya bagi tumbuhan hutan yang pemanfaatan buahnya oleh masyarakat tradisional mirip atau sama dengan pemanfaatan buah kelapa pantai (Cocos nucifera). Berdasarkan hasil penelitian, minimal ada 3 jenis atau spesies tumbuhan hutan yang dikenal atau sering disebutkan oleh masyarakat tradisional di Tanah Papua sebagai kelapa hutan. Dua jenis atau spesies berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang hidup di daerah pegunungan tengah (Wamena, Habema, Tolikara, Mulia dan lain-lain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah Pandanus brosimus dan Pandanus julianettii. Sedangkan satu jenis atau spesies lainnya berasal dari masyarakat tradisional (suku-suku) yang hidup di daerah dataran rendah pantai Utara Tanah Papua (Bonggo, Betaf, Tor Atas, Tor Bawah, Sarmi, Mamberamo, Waropen, Yapen dan lainlain), yang sering disebut sebagai kelapa hutan adalah palem lontar irian (Borasus heyneana). Ketiga jenis tumbuhan tersebut adalah jenis endemik Tanah Papua dan tidak terdapat di daerah lain baik di Indonesia maupun di negara lain (kecuali Papua New Guinea).
101
Kelapa hutan adalah jenis tumbuhan penghasil buah di daerah Tolikara dan Pegunungan Tengah yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan berupa buah segar maupun buah yang diawetkan untuk dimakan. Kelapa hutan pada daerah Tolikara dan Pegunungan Tengah menurut masyarakat terdiri dari 6 jenis untuk wilayah Tolikara dan 12 jenis untuk wilayah pegunungan tengah. Namun yang menurut masyarakat jenis sebenarnya adalah varietas saja, sedangkan secara umum kelapa hutan terdiri dari atau terdapat 2 jenis yaitu jenis yang sering disebut oleh masyarakat Tolikara dengan sebutan ”Woromo” atau dikenal dengan nama ilmiah Pandanus brossimos dan ”Gawen” atau dikenal dengan nama ilmiah Pandanus julianettii. Kedua jenis ini secara umum dikenal oleh masyarakat pegunungan tengah dengan sebutan ”Tuke”. Berdasarkan karakter morfologi batang, daun dan rasa buah dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut : a.
Pandan tegak, batang umumnya berwarna terang atau coklat muda keabu-abuan dengan bercak putih, susunan daun umumnya tegak, kulit buah keras, rasanya sangat enak seperti kelapa atau rasanya manis .................... Pandanus brossimos
b.
Pandan tegak, batang umumnya berwarna coklat muda atau crem keabu-abuan, susunan daun umumnya menjuntai, kulit buah lunak, rasanya kurang enak, agak hambar dengan rasa yang sangat mirip kelapa ....................... Pandanus julianettii Kedua jenis kelapa hutan ini masing-masing memiliki variasi
pada ukuran buah, bentuk buah, warna buah dan habitus sehingga oleh masyarakat Tolikara dan masyarakat Pegunungan Tengah
102
variasi tersebut dianggap memiliki jenis yang banyak yaitu 12 jenis. Hal ini sama dengan buah merah (Pandanus conoideus) yang oleh masyarakat sering disebut memiliki banyak jenis tetapi sebenarnya hanya variasi saja. Secara lengkap deskripsi dari kedua kelapa hutan adalah sebagai berikut :
Pandanus brossimos Merrill & Perry (Pandanaceae) Nama dagang Nama daerah
: kelapa hutan : woromo (Tolikara), tuke (Pegunungan Tengah)
Perawakan: Tumbuhan tidak berkayu, parennial, umumnya tidak berumpun, tinggi total dapat mencapai 20 m. Batang tumbuh tegak, berdiameter 14–25 cm, pangkal batang umumnya terdapat akar tunjang. Daun berbentuk pita, pedang atau garis berukuran
50–135
cm x 5–12 cm, bagian tepi dan kadang-kadang pada bagian punggung ibu tulang daun berduri kecil-kecil yang tajam. Daun tersebar atau spiral, biasanya mengumpul pada ujung batang dan cabang. Bunga biasanya terdapat pada ujung batang/cabang atau di ketiak daun, dengan daun pelindung yang besar, 5-7 daun pelindung yang
ukurannya
bervariasi,
seringkali
berwarna
hijau
putih
kekuningan. Buah besar berukuran 20-35 cm x 15-22 cm, berbentuk bulat oval atau lonjong yang umumnya simetris, bagian tengah dalam buah umumnya kosong sehingga berbentuk lubang, buah tersusun dari anak buah yang jumlahnya sangat banyak, berukuran 3-4 cm x 1-1,5 cm dengan sisi yang bersegi. Biji tunggal, berukuran 2,5 x 0,5 cm, berwarna putih.
103
Pandanus julianettii Mart. (Pandanaceae) Nama dagang Nama daerah
: kelapa hutan : gawen (Tolikara), tuke (Pegunungan Tengah)
Perawakan: Tumbuhan tidak berkayu, parennial, umumnya tidak berumpun, tinggi total dapat mencapai 20 m. Batang tumbuh tegak, berdiameter 14–25 cm, pangkal batang umumnya terdapat akar tunjang. Daun berbentuk pita, pedang atau garis berukuran 50–135 cm x 5–12 cm, agak tebal dan tidak kaku bagian tepi dan kadangkadang pada bagian punggung ibu tulang daun berduri kecil-kecil yang tajam. Daun tersebar atau spiral, biasanya mengumpul pada ujung batang dan cabang, umumnya menjuntai. Bunga biasanya terdapat pada ujung batang/cabang atau di ketiak daun, dengan daun pelindung yang besar, 5-7 daun pelindung yang ukurannya bervariasi, seringkali berwarna hijau putih kekuningan. Buah besar berukuran 20-35 cm x 15-22 cm, berbentuk bulat oval atau lonjong yang umumnya simetris, bagian tengah dalam buah umumnya kosong sehingga berbentuk lubang, buah tersusun dari anak buah yang jumlahnya sangat banyak, berukuran 3-4 cm x 1-1,5 cm dengan sisi yang bersegi. Biji tunggal, berukuran 3 x 0,5 cm, berwarna putih.
104
Batang
Daun
Buah
Belahan buah
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 26. Karakter morfologi kelapa hutan (P. brossimos )
105
Batang
Daun
Buah
Biji
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 27. Karakter morfologi kelapa hutan (P. julianettii )
106
Kampung Nabunage
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 28. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Tolikara 107
B.
Kondisi Sosio-Geografis Tolikara merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran
Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua yang terletak pada hamparan pegunungan tengah yang mempunyai luas
5.234 km². Sebagian
besar wilayah di Kabupaten Tolikara berada di lereng gunung, dan hanya sedikit saja yang berupa dataran. Secara geografis, Kabupaten Tolikara berada pada posisi 139°00"-139°15"BT dan 3°- 4°00” LS. Wilayah Kabupaten Tolikara mempunyai topografi yang bervariasi antara 1.400 meter sampai dengan 3.300 meter diatas permukaan laut (dpl), dimana sebagian besar wilayahnya terdiri dari pengunungan (dataran tinggi) yang dilalui beberapa aliran sungai dan anak sungai yang berasal dari bukit dan gunung yang ada disekitarnya. Iklim di Kabupaten Tolikara adalah iklim tropis basah, karena dipengaruhi letak wilayah yang berada pada ketinggian (dataran tinggi), sehingga rata- rata temperatur udara bervariasi antara 12oC sampai dengan 20oC. Tingkat kelembaban diwilayah ini diatas 86%. Sedangkan angin yang bertiup sepanjang tahun adalah angin Barat Daya dengan kecepatan rata- rata 16 knot dan terendah 2.9 knot. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Raya di sebelah utara, Kabupaten Mamberamo Tengah di sebelah timur, Kabupaten Jayawijaya dan Lanny Jaya di sebelah selatan dan Kabupaten Puncak Jaya di sebelah barat.
108
1. Pengantar Suku Lani di Kabupaten Tolikara secara hirarki berasal dari Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya. Sebutan “La” pada Kata “Lani” mempunyai arti “pergi”, sehingga kata “Lani” pada sebutan Suku Lani dapat diartikan sebagai Suku Dani yang pergi atau keluar dari lembah Baliem. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kesamaan pada fam (marga) atau klen (clan) yang ada pada kedua daerah tersebut. Sama halnya dengan daerah Wamena, kondisi sosial budaya di daerah
Pegunungan
Tengah
umumnya
dan
daerah
Tolikara
khususnya di abad 21 ini jauh berbeda dari kondisi sosial budaya pada abad ke-20 yang lalu. Pada abad ke-20 lalu terutama ditahuntahun awal daerah ini bersentuhan dengan pembangunan, baik dengan pemerintah Kolonial Belanda maupun dengan pemerintahan Republik Indonesia yakni sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, daerah Tolikara merupakan salah satu daerah yang sangat terisolasi dan eksotik. Pandangan tentang Tolikara yang terisolasi dan eksotik ini digambarkan melalui lingkungan alam yang luar biasa sulit dijangkau karena cara satu-satunya untuk masuk ke wilayah ini adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Kota Tolikara dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi dan curam dimana pusat kotanya berada pada bagian tengah yang datar sehingga berbentuk seperti belanga yang dihiasi oleh kebun-kebun penduduk setempat. Hujan kerap kali terjadi di wilayah ini karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan banyak perbukitan sehingga sulit dibedakan musim secara jelas. Salah satu keunikan dari suku Lani yang mendiami Kabupaten Tolikara adalah pakaian tradisionalnya yang terkenal dengan nama
109
koteka yaitu sejenis labu panjang yang digunakan untuk menutup penis laki-laki. Selain itu, model rumah tradisional “honai” yang bentuknya bulat dan tertutup rapat. Meskipun hampir sebagain besar laki-laki Lani di Tolikara tidak lagi menggunakan koteka dan banyak rumah di daerah tersebut sudah tidak lagi berbentuk honai, namun hingga kini ikon koteka dan honai masih menjadi simbol utama jika berbicara mengenai kebudayaan mereka. Bahkan banyak orang luar yang kurang memahami Papua, lazimnya menganggap koteka dan honai merepresentasi kebudayaan Papua umumnya. Keunikan budaya orang Lani di Tolikara juga bisa terlihat dari bagaimana mereka bercocok tanam. Kebun-kebun mereka dibangun di atas tebing-tebing gunung, atau di dataran dengan dipagari batubatu besar dan kayu-kayu yang disusun rapi.
Salah satu ritual
penting dari suku ini adalah pesta babi merupakan suatu pesta yang penting dalam kehidupan sosial budaya orang Lani di Tolikara.
2. Orang Lani Sejarah perkembangan Suku Lani tidak terlepas dari sejarah perkembangan Suku Dani di Lembah Baliem Wamena. Pada tahun 1954 para pekabar Injil dari CAMA (Christian and Missinaries Alliance) membuka pos pertama di Lembah Baliem. Sejak itu berdatanganlah para pekabar Injil dari aliran-aliran Gereja Protestan seperti RBMU (Regions Beyond Missionary Union), TEAM (The Evangelical Alliance Mission), pekabar-pekabar dari Gereja Katholik Roma dan kemudian pemerintah (Belanda) masuk bertugas di daerah tersebut. Orang Dani diperkirakan menempati Lembah Baliem kurang lebih 9000 tahun SM yang mana didasarkan pada penemuanpenemuan arkeologis di bagian Timur Pegunungan Tengah di Papua
110
New Guinea (lihat White 1972:147, dikutip Heider 1979:23)
17
. Lebih
Jauh hipotesa Heider mengenai kehadiran orang Dani di Lembah Baliem, bahwa sebelum orang Dani menjadi penduduk lembah tersebut mereka hidup sebagai peramu sagu dan pemburu di daerah berbukit-bukit dataran rendah. Ketika mereka mengenal tanamantanaman pangan seperti, keladi, ubi manis, dan pisang maka berpindahlah mereka ke daerah bertanah kering yang letaknya lebih tinggi (kurang lebih 1600 m diatas permukaan laut) dan disanalah mereka melakukan aktivitas pertanian. Akhirnya mereka tiba di Lembah Baliem yang hingga kini menjadi tempat hunian mereka (Heider, 1979:32). Mengenai bahasa yang digunakan orang Lani di Tolikara sesungguhnya mereka mengujar satu bahasa yang disebut bahasa Dani. Namun demikian, bahasa Dani ini dibagi lagi atas tiga sub keluarga bahasa yakni, sub keluarga Wano, sub keluarga Dani Pusat dan sub keluarga Nggalik-Dugawa. Adapun sub keluarga Dani Pusat terbagi lagi atas dua dialek, masing-masing dialek Dani Barat dan dialek Grand Valley Dani (Lembah Besar Dani). Dialek Dani Barat sering juga disebut bahasa Laany yang terdapat di Baliem Utara Lembah Swart, Yamo, Nogolo, Illaga, Beoga, Dugindagu, Kemandaga dan Bokondini, di bagian atas Grand Valley, di sekitar hulu Sungai Hablifuri, Kimbim dan lembah-lembah Bele atau Ibele. Dialek Grand Valley Dani terdapat mulai di daerah pegunungan Pyramid sampai ke sungai-sungai Samenage didaerah perbatasan Barat Laut dan agak sedikit ke bawah di sungai Wet didaerah batas Timur–Laut (Bromley
9)
Dalam Mansoben 1994 :139)
111
1973:6). Adapun bahasa Dani dikategorikan ke dalam kategori Western Highland Phylum, salah satu dari empat phylum bahasa18
bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea . Heider mengatakan, “orang Dani selalu dikerumuni oleh babi dan ubi manis atau Dioscorea esculanta” (1979:35). Ucapan ini secara implisit menunjukkan dua jenis mata pencaharian hidup pokok orang Dani, yaitu bercocok tanam (dengan ubi manis sebagai tanaman pokok) dan beternak babi.
3. Berkebun Dahulu sebelum derasnya pengaruh dari luar, Orang Lani di Tolikara mengerjakan kebun-kebunnya dengan alat sederhana seperti kayu tugal dan kapak batu. Kebun dikerjakan tidak hanya di bagian dataran di lembah tersebut, tetapi juga di lereng-lereng gunung yang tinggi dan curam. Menurut Mansoben, di Tolikara terdapat 3 jenis kebun. Pertama adalah kebun-kebun yang terdapat pada bagian yang rendah dan datar yang diusahakan secara permanen. Kedua, jenis kebun yang terdapat pada lereng-lereng gunung dan ketiga, kebunkebun yang terdapat di pekarangan rumah, terletak dibelakang suatu kompleks perumahan, uma. Tanah pekarangan ini biasanya ditanami dengan tanaman tembakau, pisang dan tebu. Adapun pada jenis kebun pertama dan kedua, biasanya setelah dibersihkan dari pepohonan dan belukar, kemudian dibakar lalu ditanami dengan ubi manis untuk dua kali panen. Setelah itu ditinggalkan dan pindah untuk membuka lahan baru di lokasi yang
18)
Adapun keempat phylum bahasa non-Austronesia di Papua dan Papua New Guinea adalah Central-South New Guinea Phylum, Western Highland Phylum, North Coast Phylum dan Bird’s Head Phylum.
112
lain. Setelah beberapa waktu lamanya tanah bekas kebun itu dibiarkan dalam masa bera (masa istirahat) hingga ditumbuhi pepohonan dan belukar yang menyebabkan pulihnya kesuburan, maka bekas kebun itu bisa diolah kembali. Selain upaya kesuburan tanah sebagaimana dilakukan di atas, orang dani percaya kesuburan tanah dapat terjadi kekuatan magis. Di mana lazimnya di setiap uma terdapat satu atau dua orang yang memiliki rahasia kekuatan dapat menyuburkan tanah, mereka ini disebut aptugure, yang mana sebagai kepala adat kesuburan tanah. Cara menyuburkan tanah oleh seorang aptugure ialah dengan ia menggosok darah babi keliling kebun pada saat upacara penanaman dimulai. Sedangkan tanah yang dikerjakan sebagai kebun biasanya dikuasai oleh satu, dua atau lebih kelompok kekerabatan yang bergabung, namun demikian terkadang juga hanya oleh satu kelompok kerabat saja. Batas-batas hak ulayat masing-masing kelompok kekerabatan biasanya ditandai oleh unsur-unsur alam seperti sungai, gunung/bukit, atau jurang. Anggota-anggota tiap kelompok kekerabatan berhak memakai tiap bagian dari tanah yang belum atau tidak digunakan oleh anggota lain untuk dirinya sendiri, asal ia memberitahukan pemakaian bidang tanah tadi kepada kepala kelompok (kain). Jika si pemakai meninggalkannya, maka anggota lain dari kelompok yang sama dapat menggunakannya tanpa ada pembayaran ganti rugi. Namun demikian, kadang-kadang jika ada tanah yang kebetulan merupakan tanah yang dihargai oleh banyak orang , seorang yang hendak bercocok tanam di lokasi tersebut, bisa memberikan seekor babi kepada si penggarap sebelumnya. Salah satu bentuk transaksi tanah secara tradisional dimana sebidang tanah
113
dapat diserahkan oleh si penggarap kepada kerabat lain dengan cara menerima hasil panen ubi yang pertama dari kelompok kerabat yang hendak menggarap tanah tersebut (Koentjaraningrat, 1970:1314;cf.Peters, 1965). Pembagian kerja antara pria dan wanita yang berkaitan dengan proses becocok tanam lazimnya diawali dengan pekerjaan kaum lelaki kemudian disusul dengan pekerjaan kaum wanita. Kaum pria menebang pohon, memotong belukar dan membakar pohon-pohon dan belukar yang telah dipotong dan sudah kering. Pekerjaan pada tahap berikutnya adalah dikerjakan oleh kaum wanita di mana membersihkan sisa-sisa kayu dan dahan yang telah dibakar untuk dibawa pulang ke rumah digunakan sebagai kayu api untuk memasak. Tahap berikutnya, kaum pria mencongkel dan membalik tanah dengan menggunakan tugal. Pekerjaaan selanjutnya yakni kaum
wanita
memecah-mecahkan
gumpalan-gumpalan
tanah
tersebut menjadi halus dengan menggunakan kayu tugal atau dengan menggunakan tangan. Pekerjaan yang cukup penting sebelum kebun ditanami adalah pembuatan pagar keliling kebun dengan tumpukan-tumpukan batu, selain itu membuat irigasi yang merupakan selokan-selokan kecil yang mengelilingi dan memotong-motong kebun itu. Pekerjaan ini dilakukan oleh kaum lelaki. Setelah kebun siap ditanami, kepala kelompok (kain) kemudian membagi-membagi lokasi kebun yang sudah siap ditanami itu kepada anggota-anggota wanita dari keluarganya,
yakni
ibunya,
istri-istrinya,
saudara-saudara
perempuannya dan anak-anak perempuannya. Lokasi yang telah dibagi oleh kain diolah dan diurus oleh para wanita yang sudah
114
diserahkan tanggungjawab tersebut. Merekalah yang akan menanam, menyiangi, menyiram hingga akhirnya menuai.
4. Beternak babi Salah satu aktivitas mata pencaharian orang Lani yang sangat penting adalah memelihara babi. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan secara pribadi memiliki sejumlah ternak babi. Meskipun babi tersebut dimiliki secara personal oleh seorang laki-laki maupun seorang perempuan, akan tetapi pekerjaan memelihara babi hanya dilakukan oleh kaum wanita dan anak-anak. Babi adalah salah satu ternak yang sangat penting hingga dewasa ini dalam kehidupan orang Lani karena mempunyai banyak fungsi. Perlu diketahui bahwa setelah adanya kontak dengan dunia luar yang dibawa oleh pihak gereja dan pemerintah sebagai agen of development, ternyata ada sejumlah ternak yang dimasukkan ke wilayah lembah Baliem dan sekitarnya, seperti domba, sapi, kelinci, dll. Namun demikian, babi tetap memiliki nilai yang paling tinggi dalam kehidupan orang Lani. Hal ini karena secara tradisional ternak babi selain dagingnya merupakan sumber protein utama, juga darahnya digunakan dalam aktivitas magic. Tulang-tulang dan ekornya dibuat menjadi ornament, tulang rusuknya dibuat menjadi pisau untuk mengupas ubi, alat-alat kelaminnya diikat sebagai gelang tangan untuk menolak roh-roh jahat. Salah satu fungsi yang paling penting dari babi dalam kehidupan orang Lani di Kabupaten Tolikara dan sekitarnya adalah babi digunakan sebagai alat tukar menukar, sebagai bride price (mas kawin) dan fungsi ekonomi perdagangan. Selain itu jika terjadi konflik antar kelompok, babi juga digunakan sebagai alat perdamaian. Demikianpun babi digunakan sebagai alat
115
persatuan antar kelompok-kelompok kekerabatan yang berlainan atau antar konfederasi dalam upacara-upacara pesta babi yang besar.
5. Struktur Sosial Orang Lani mengenal dua kelompok utama dalam rangka pembentukan struktur sosial mereka, yakni kelompok-kelompok kekerabatan dan kelompok-kelompok teritorial atau wilayah. Namun demikian ada baiknya kita perlu meninjau ke belakang mite dalam kehidupan orang Lani di Tolikara. Menurut kisah mite tersebut orang Lani sama halnya orang Dani yang ada di Lembah Baliem berasal dari sepasang suami isteri yang muncul dekat sebuah danau yang terletak di sekitar Kampung Maina, di lembah Selatan. Adapun anakanak yang berasal dari pasangan suami isteri tersebut, dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok diberi nama wita dan waia. Atas pesan orang tua tersebut di mana tidak boleh terjadi perkawinan diantara anggota dalam kelompok yang sama. Perkawinan hanya boleh berlangsung diantara anggota kelompok yang berlainan, yakni antara anggota dari kelompok wita berpasangan dengan anggota dari kelompok waia. Menurut Heider dalam Mansoben (1995:145), kesatuan wilayah atau teritorial terbesar yang terdapat pada orang Lani di Tolikara adalah
konfederasi
(confederation).
Kesatuan
teritorial
aliansi
sebenarnya lebih besar dari konfederasi, namun menurut Heider (1979:62), tidak dapat dikategorikan sebagai kesatuan teritorial sebab tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan kesatuan-kesatuan teritorial lainnya seperti konfederasi, wilayah bertetangga, gabungan kompleks dan kompleks. Orang Lani sendiri tidak mempunyai istilah khusus
untuk
menyebut
konfederasi,
116
namun
demikian
tiap
konfederasi dinamakan atau disebut menurut nama klen-klen besar dari mana orang-orang penting berasal. Meskipun
sifat
konfederasi
bertahan
lama,
namun
keanggotaannya tidak permanen. Anggota-anggota satu konfederasi dapat berpindah ke konfederasi lain untuk menetap dan bergabung dengan teman-temannya dan di tempat baru mereka mendapat tanah untuk membangun rumah dan untuk berkebun. Satu konfederasi dapat berpindah dari satu lokasi yang lama ke lokasi yang baru yang tidak ditempati oleh konfederasi yang lain. Perpindahan konfederasi tersebut terjadi karena apabila di lokasi yang semula (lokasi lama) terjadi bencana alam atau peperangan. Konfederasi bukanlah merupakan kesatuan sosial resmi yang menguasai tanah atau hak milik. Hanya sedikit saja pristiwa yang melibatkan seluruh konfederasi. Namun demikian, fungsi formal konfederasi ialah penggunaan nama konfederasi untuk menyatakan tempat tinggal atau untuk menyatakan di mana terjadinya peristiwaperistiwa tertentu yang penting. Satu konfederasi dapat disamakan dengan satu wilayah geografis yang memiliki batas-batas wilayah yang jelas dan mempunyai pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin pria berwibawa (big man).
Menurut Heider (1979:62), besarnya
konfederasi dapat diatur sehingga setiap orang dari konfederasi dapat saling mengenal satu dengan lain dan apabila terjadi konflik internal antar anggota, dapat diselesaikan secara damai. Selain
konfederasi-konfederasi
besar
terdapat
juga
konfederasi-konfederasi kecil yang hanya memiliki beberapa ratus anggota saja. Ada pula aliansi yang sebenarnya
lebih besar bila
dibandingkan dengan konfederasi, namun demikian sifat aliansi
117
tersebut tidaklah permanen. Suatu aliansi meliputi suatu wilayah tertentu dan dipisahkan dari aliansi-aliansi lainnya oleh suatu daerah yang lebarnya berkisar antara 200–500 meter dan tidak didiami manusia. Adapun setiap aliansi terdiri dari beberapa konfederasi. Sebagaimana halnya konfederasi, aliansi juga tidak memiliki nama khusus dalam kehidupan orang Lani di Tolikara. Nama aliansi dinamakan hanya berdasarkan seorang yang paling berkuasa dan besar pengaruhnya di antara pemimpin-pemimpin lain di dalam aliansi tersebut. Jumlah anggota sebuah aliansi meliputi beberapa ribu orang. Ada dua fungsi utama aliansi, yakni untuk alasan perang dan pesta babi. Adapun perang yang biasanya terjadi di antara orang Lani adalah perang antar aliansi bukan perang di dalam aliansi. Dalam hal fungsi aliansi bagi penyelenggaraan pesta babi yang berlangsung sekali dalam 5 tahun dengan melibatkan semua anggota aliansi. Orang yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pesta babi ini adalah orang yang paling kuat berkuasa dan pengaruhnya besar di antara pemimpin-pemimpin lainnya. Pemimpin penyelenggaraan pesta babi inilah juga yang menjadi pemimpin perang aliansi. Menurut Heider (Mansoben 1995:146), kesatuan wilayah lain yang dikenal di Tolikara adalah apa yang disebut Heider dengan istilah
“wilayah
bertetangga”
(neighbourhood).
Sama
dengan
konfederasi dan aliansi yang tidak memiliki isitilah khusus dalam bahasa orang Dani,
wilayah bertetanggapun demikian. Walaupun
disebut kesatuan wilayah, namun tidak mempunyai batas-batas wilayah yang jelas. Kesatuan wilayah ini hanya nampak dalam interaksi
antar-anggota
konfederasi
118
yang
berbeda-beda
tetapi
berdekatan letaknya. Orang-orang dari dua konfederasi yang berbeda tetapi berdekatan tempat tinggalnya dan sering membuat kebun bersama dan lebih banyak berinteraksi dibandingkan dengan sesama anggota konfederasi yang jauh tempat tinggalnya. Selain itu, kesatuan-kesatuan wilayah yang terkecil adalah gabungan kompleks (compound clusters) dan kompleks (compound). Suatu gabungan kompleks dibentuk oleh sejumlah kompleks, sedangkan satu kompleks merupakan satu kompleks perumahan. satu kompleks itu sebagai “uma” dan
Orang Lani menyebut
gabungan kompleks sebagai “o-ukul” (Broekhuijse 1967:27-29). Kesatuan wilayah “uma” adalah kesatuan sosial dan politik yang lebih nyata dari pada kesatuan-kesatuan wilayah lain yang disebut lebih dahulu di atas.
6. Sistem religi Adapun sistem religi tradisional orang Lani sama dengan orang Dani yaitu kepercayaan dan penghormatan pada roh nenek moyang. Upacara sentralnya adalah dalam aktivitas pesta babi. Makna dari upacara
keagamaan
ditujukan
kepada
konsep
mengenai
kesejahteraan hidup dan perang. Konsep keagamaan yang penting 19
adalah “atoa” . “Atoa” adalah kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal. Tidak hanya pada keturunan lakilaki tetapi juga keturunan perempuan dapat memperoleh “atoa” dari nenek
moyang.
Namun
demikian
si
perempuan
yang
yang
memperoleh “atoa” tidak bisa meneruskannya kepada keturunan selanjutnya, hanya sampai pada si perempuan tersebut. “Atoa” juga dapat digunakan oleh seseorang untuk menjaga kebunnya terhadap 19)
Lihat Mansoben 1995 : 148
119
pelanggaran-pelanggaran
dengan
cara
memasang
satu
tanda
pantangan; dan siapa yang melanggar pantangan tersebut terkena “atoa”. Diyakini bahwa pelanggar yang terkena “atoa” akan mengalami berbagai bencana, seperti kakinya bengkak, digigit ular atau terkena kecelakaan lainnya. “Atoa juga dapat terkena si pemiliknya jika si pemiliknya melanggar satu ajaran adat nenek moyang. “Atoa” juga bisa digunakan untuk menyembuhkan orang sakit, menolak bahaya, menyuburkan tanah, memberikan motivasi hidup dan tenaga. Orang Lani memercayai “atoa” itu terdapat di dalam nafas manusia. Menghembuskan nafas sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit, menyadarkan kembali orang yang pingsan dan sebagainya. Dewasa ini orang Lani sebagian besar telah memeluk agama Kristen Protestan dan juga Katholik yang masuk sekitar tahun 1950an. Selain itu, sekitar tahun 1980-an juga telah masuk agama Islam ke wilayah ini. Masuknya agama-agama dunia tersebut ke lembah ini telah membuat sebuah perubahan yang signifikan dalam ritual agama tradisional. Kini mereka tidak lagi melakukan ritual agamanya di honai tempat di mana “kaneke” disimpan. Tetapi kini sebagai besar orang Lani pergi beribadah ke rumah-rumah ibadah seperti gereja-gereja dan mesjid-mesjid yang dibangun di daerah tersebut. Dalam upacara pesta babi juga salah satu ritual utamanya adalah ibadah (berdoa) dalam versi agama Kristen dan atau Katholik.
7. Sistem Politik Kain Menurut Mansoben (1995:149), pemimpin-pemimpin orang Lani jika diurutkan berdasarkan tingkat-tingkat kesatuan sosial seperti, uma, konfederasi dan aliansi, maka struktur kepemimpinannya akan
120
terlihat sebagai berikut : pada tingkat kesatuan kompleks atau “uma” (compound)
terdapat
seorang
pemimpin
yang
disebut
kain.
Wewenang “kain” pada tingkat “uma” adalah hak atas tanah milik “uma”. Dialah yang membagi-bagikan tanah kepada saudarasaudaranya dan kepadanya juga pembayaran tanah diberikan. Dia jugalah yang memberikan ijin jika ada orang dari “uma” lain hendak membuka kebun di atas tanah yang dikuasainya (Peters, 1975:55). Kesatuan politik gabungan kompleks atau “o-ukul” yang sama dengan desa (kampung) yang merupakan gabungan dari beberapa “uma” juga terdapat seorang pemimpin yang disebut juga “kain”. Kedudukan sebagai “kain” pada tingkat “o-ukul” (desa/kampung) ditentukan oleh keberanian yang ditunjukkan seseorang yang melebihi keberanian yang ditunjukkan orang lainnya dari “o-ukul”-nya ketika perang. Kepemimpinan di sini bersifat informal. Wewenang seorang “kain”
pada tingkat “o-ukul”
adalah mengatur masalah-
masalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan agama warganya. Ada lagi kesatuan politik yang disebut “ap logalek” yang berada di atas o-ukul. Pada kesatuan “ap logalek” ini terdapat dua pemimpin, yang masing-masing berasal dari dua cabang klen yang merupakan inti
dan biasanya juga merupakan cabang klen yang dominan di
dalam “ap logalek”. Sebagaimana pada tingkat kesatuan o-ukul, disinipun syarat untuk menjadi “kain” atau pemimpin adalah memiliki sifat keberanian yang melebihi keberanian dari kebanyakan orang laki-laki di dalam “ap logalek” sendiri. Kesatuan politik yang lebih besar dari “ap logalek” adalah “konfederasi”. Seorang pemimpin konfederasi adalah pemimpin yang
121
mempunyai kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar dari pemimpin-pemimpin lainnya yang terdapat pada tingkat “ap logalek”. Peranan utama dari seorang pemimpin (“kain”) pada tingkat konfederasi
adalah
pemimpin
perang
dan
mensponsori
penyelenggaraan pesta babi. Sedangkan kesatuan politik terbesar pada orang Dani adalah “aliansi”. Sebuah “aliansi” adalah merupakan gabungan dari konfederasi-konfederasi dan fungsi utamanya adalah perang melawan aliansi lainnya. Seorang yang diangkat menjadi pemimpin aliansi seorang dari para pemimpin konfederasi yang mempunyai kelebihan dan mampu menghimpun konfederasi lainnya. Seorang pemimpin aliansi juga disebut “kain”. Heider
20
dalam studinya melaporkan bahwa informan-informan
berulang kali menyatakan kepadanya bahwa syarat-syarat seorang “kain” adalah pertama-tama pernah membunuh seorang musuh di medan perang. Syarat inilah yang dinyatakan sebagai syarat utama, sedangkan syarat lainnya seperti mempunyai banyak isteri dan banyak babi adalah syarat kedua (Heider, 1979:70). Walaupun Heider sendiri
meragukan
Broekhuijse
21
pernyataan
(1967:76),
tersebut,
terlihat
bahwa
namun
dari
pernyataan
laporan tersebut
beralasan, karena “21 orang kain” atau pemimpin dari “ap logalek” yang berbeda-beda, rata-rata pernah membunuh 41 orang musuh. Keberanian dalam hal perang ditunjukkan dengan cara membunuh musuh. Sifat berani tersebut menjadi idealisme dari setiap pemuda Lani, karena sifat inilah yang mampu mempertahankan kelompoknya dari serangan musuh. Keberanian inilah yang membuat seorang
20)
Mansoben 1995 : 150 Ibid Mansoben
21)
122
pemuda dapat meningkatkan harga diri atau prestisenya dalam kelompoknya menjadi “kain”. Dan modal keberanian inilah yang membuat seorang pemuda dapat memiliki banyak isteri. Dengan memiliki banyak isteri, maka si laki-laki ini dapat memiliki banyak babi. Jika babi banyak maka akan diakui oleh orang lain, terutama dalam rangka penyelenggaraan pesta babi yang merupakan ritual penting dalam kehidupan orang Lani. Syarat-syarat lain yang dituntut dari seorang “kain” adalah syarat suka memberi (bermurah hati) dan pandai mengatur pesta babi. Kepandaian mengatur pesta babi ini berimplikasi pada kesanggupan menyatukan semua kelompok yang terlibat di dalam pesat babi tersebut. Jadi fungsi terselubung dari pesta babi ini adalah guna memperkokoh solidaritas kelompok, terutama pada kelompok konfederasi dan aliansi yang berfungsi dalam rangka ekonomi (perdagangan) dan pertahanan keamanan. Dengan demikian orang yang mampu memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas mendapat tempat terhormat yakni sebagai “kain” (pemimpin).
8. Perubahan kebudayaan Dari sejumlah unsur dalam kehidupan orang Lani di Tolikara yang dijelaskan di atas, boleh dikatakan sudah banyak yang kini mengalami perubahan sebagai bagian dari pembukaan isolasi melalui proses
pembangunan
yang
masuk
ke
wilayah
ini.
Proses
pembangunan yang masuk ke wilayah ini mulai dari penanaman nilainilai baru dalam hal keagamaan dengan masuknya tiga agama besar yakni Kristen, Katholik dan Islam hingga masuknya pendidikan sebagai peradaban baru yang mengikis habis pola pendidikan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di honai-honai adat.
123
Perubahan semakin menjadi-jadi lagi ketika adanya pemekaran wilayah administrasi pemerintahan baru, baik di tingkat kabupaten, distrik
(kecamatan)
maupun
kampung-kampung
(desa-desa).
Berbagai aksesibilitas seperti, jalan, jembatan, dan lapanganlapangan
terbang
gencar
dibuka
sebagai
konsekuensi
dari
pembangunan dalam rangka pemekaran. Sarana komunikasi-informasi utama di wilayah ini adalah selain, berbagai media cetak (koran/majalah,dll), juga televisi berbagai chanel, serta handphone dan internetpun telah tersedia. Selain itu juga telah tersedia mall dan supermarket (pusat perbelanjaan) seperti kota-kota lain di Indonesia, meskipun mall/supermaket tersebut tidak semegah mall-mall lainnya di kota-kota besar di Indonesia dan ketersediaan barang-barang dagangan tidak selengkap seperi kotakota besar tersebut. Sejumlah hotel dan penginapan telah hadir di wilayah ini sejak beberapa dekade lalu, demikianpun rumah makan, restoran, dan sebagainya telah membentuk daerah ini mejadi sebuah “kota baru” yang tidak dibayangkan sebelumnya. Banyak migran dari luar Tolikara yakni suku-suku tetangga yang datang ke tempat ini selain untuk melanjutkan pendidikan tetapi juga untuk mengadu nasib (mencari pekerjaan) di wilayah “kota baru” ini. Tak kalah pula, migran dari daerah Indonesia lainnya, seperti Suku Bugis, Makasar, Buton, Jawa, Sumatera, Maluku, dll yang ke wilayah ini untuk berbisnis atau mencari pekerjaan lainnya. Jadi bisa dikatakan bahwa Tolikara yang beberapa dekade lalu dianggap sebuah daerah yang eksotik dan terisolasi dalam konteks Indonesia dan dunia umumnya, namun di abad kedua puluh satu ini, Tolikara benar-benar telah berubah menjadi sebuah daerah yang
124
berkembang pesat. Di Kota Tolikara sekarang ini sudah jarang kita melihat orang yang berjalan dengan
memakai koteka (pakaian
tradisional lelaki), atau di dalam kota sudah tidak terlihat rumah-rumah honai. Kedua hal tersebut merupakani simbol dari kehidupan orang Lani di Tolikara. Perang suku yang beberapa dekade lalu masih gencar dilakukan antar aliansi, konfederasi, dll, kini nyaris tak terlihat, bahkan aliansi dan konfederasi itupun kini sudah terlupakan oleh generasi baru, karena perang bukan lagi sebuah aktivitas utama. Orang sekarang sibuk mengurus daerah-daerah pemekaran baru. “Kainkain” (para pemimpin)
dalam perang tradisional yang melakukan
ritual pesta babi tiap lima tahun sekali, sekarang sibuk mencari uang membangun relasi untuk mengokohkan kedudukannya sebagai “kain modern” (pemimpin modern) yakni sebagai gubernur, bupati, kepalakepala dinas, kepala-kepala bagian, kepala-kepala distrik, kepalakepala kampung, pemimpin partai, pemimpin agama, dll. Kesibukan membangun konfederasi dan aliansi tidak hanya terjadi di sekitar Tolikara antara sesama kelompok di daerah tersebut, tetapi dibangun hingga ke Jayapura pusat
ibukota Provinsi Papua dan Jakarta
Ibukota negara Indonesia. Konfederasi dan aliansi menjadi begitu luas dan kompleks karena melibatkan berbagai kelompok suku, kelompok paguyuban, kelompok agama, kelompok kepentingan, seperti partai politik, para anggota legislatif dan eksekutif serta para pengusaha. Demikian Tolikara dan orang Lani hari ini tidaklah sebuah wilayah dan suku bangsa yang terisolasi lagi.
Daerah ini dan
kebudayaannya sudah banyak yang berubah sebagai akibat dari pertemuan dengan budaya dunia lainnya, dengan orang-orang dari
125
berbagai belahan dunia, dan
dari teknologi komunikasi-informasi
yang sedang menguasai dunia. Itulah Tolikara di era Globalisasi ini.
C. Ekologi dan Habitat Kelapa Hutan Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap jenis kelapa hutan, baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun di luar habitatnya di alam (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan karang) serta kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut. Selanjutnya Marsono (1972) menyebutkan bahwa kehadiran suatu jenis dalam suatu tempat atau areal ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ; habitat,karena habitat akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat, waktu, dengan berjalannya waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada disekitarnya.
126
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 29. Habitat kelapa hutan di Distrik Nabunage Kabupaten Tolikara
Kelapa hutan di Kabupaten Tolikara umumnya di tanam pada areal kebun dan kawasan hutan yang merupakan milik bersama marga atau klen. Kadang-kadang suatu kawasan hutan atau kebun di daerah Tolikara dapat dimiliki bersama oleh beberapa marga atau clan. Selain ditanam oleh masyarakat, jenis ini juga tumbuh liar di areal bekas-bekas kebun, tanah-tanah kosong dan hutan sekunder atau di pinggiran kawasan hutan.
127
1. Faktor Fisiografis Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti klimatis karena menentukan arah dari mana angin bertiup, kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007). Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dan kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-sifat tanah antara lain tebal solum, kandungan bahan organik, kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007). Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim. Suhu atau temperatur udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah (Arifin, 1994). Setiap kenaikan 100 m dpl di daerah tropik suhu turun kira-kira 0,6°C sampai pada ketinggian 1,5 km (Lockwood, 1974 dalam Monteith, 1977). Semakin tinggi letak suatu tempat di
128
Tanah Papua, keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian tempat pada habitat kelapa hutan di Kabupaten Tolikara) adalah 1.670–1.860 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka kelapa hutan digolongkan kedalam jenis tumbuhan non kayu (bukan pohon) dataran tinggi. Tabel 21. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kelapa hutan di Kampung Nabunage Kabupaten Tolikara
Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.670 1.700 1.740 1.800 1.860
30 35 40 45 50
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) pada areal kebun masyarakat di Kampung Nabunage
tumbuh baik pada kelerangan
0–50 %. Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif datar, bergelombang ringan, sedang sampai
berat. Dengan
luas areal yang relatif datar dan bergelombang ringan, cenderung lebih kecil dari gelombang sedang dan berat. Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan
kelapa
hutan.
Dari
hasil
pengamatan
kualitas
pertumbuhan kelapa hutan pada habitat datar dan lembah-lembah yang curam umumnya
sangat
baik dan banyak terdapat anakan
yang tumbuh secara alami yang berasal dari gugur.
129
buah masak yang
Selain pengamatan habitat kelapa hutan pada Kampung Nabunage Distrik Nabunage, pengamatan juga dilakukan pada habitat kelapa hutan di daerah sekitar Distrik Nabunage Kabupaten Tolikara. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 22 berikut. Tabel 22. Ketinggian tempat dan kelerengan hutan di sekitar Distrik Nabunage
pada habitat kelapa
Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
1.970 m dpl 2.050 m dpl 2.100 m dpl 2.200 m dpl 2.280 m dpl
05 – 40 10 –45 15 –50 20 – 55 25 – 60
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) di daerah Distrik Nabunage
Kabupaten
Tolikara
ternyata
dapat
tumbuh
pada
ketinggian sampai 2.280 m dpl dengan kelerengan sampai 60%. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini mampu beradaptasi dengan iklim pegunungan yang dingin dengan kelerengan yang bervariasi dari datar, bergelombang ringan sampai bergelombang berat.
2. Suhu Udara dan Kelembaban Suhu dan kelembaban serta pengamatan penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat
kelapa hutan (P. brossimos dan
P. julianettii) disajikan pada Tabel 23.
130
Tabel 23. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat kelapa hutan Habitat
Suhu (Cº)
1 2 3 4 5
21 21 21 20 22
Kelembaban (%) 82 80 80 85 90
Naungan (%) 50 65 40 75 30
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011
Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan ringan, sedang sampai tinggi (30–75%) dengan suhu optimum berkisar antara 20–21ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 80–90 %. Adanya kisaran demikian disebabkan karena kelapa hutan di Kampung Nabunage dan daerah lainnya di Distrik Nabunage Kabupaten Tolikara ditanam oleh masyarakat pada areal kebun serta hutan alam baik primer maupun sekunder yang terdapat pada punggung-punggung bukit atau gunung dan puncak bukit atau gunung. Kelapa hutan merupakan jenis tumbuhan monokotil “semi toleran” yang tumbuh tegak dan umumnya sangat peka terhadap iklim mikro tertentu, terutama suhu dan kelembaban. Untuk dapat menghasilkan buah yang baik dan kontinu sepanjang tahun, tumbuhan ini harus hidup pada iklim mikro yang sesuai jika tidak maka proses berbuahnya akan lambat dan buahnya tidak akan kontinu sepanjang tahun. Jenis ini juga merupakan tipe tumbuhan C3 yang tidak terlalu membutuhkan cahaya matahari untuk proses pembungaan dan pembuahan.
131
3. Keadaan Tanah Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berliat dan tanah berlempung serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu tetapi kelapa hutan yang tumbuh liar kadang-kadang dapat tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai atau kali dan pada habitat rawa (tergenang), baik rawa temporer maupun rawa permanen. Habitat
kelapa hutan dengan
kedalaman solum yang tipis
(<10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada punggung-punggung bukit. Sedangkan habitat kelapa hutan dengan kedalaman solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada kaki bukit dan lembah. Hasil analisis sampel tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 24.
132
Tabel 24. Kesuburan tanah pada habitat kelapa hutan di Kampung Nabunage Parameter Nilai Satuan Uji Kandungan N tot 0,41 % N tsd 284,30 Ppm P tsd 24,11 Ppm K tsd 0,47 Me/100 gr Ca tsd 24,30 Me/100 gr Fe tsd 40,48 Ppm Mg tsd 1,58 Me/100 gr Mn tsd 309,03 Ppm Cu tsd 19,75 Ppm Na tsd 0,82 Me/100 gr Zn tsd 8,16 Ppm pH (H2O) 4,84 pH C/N ratio 7,44 Bahan Organik 4,25 % Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tanah pada habitat buah kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) bersifat asam (pH 4,84), N total sedang, N tersedia rendah sampai sedang, P tersedia sedang, Mg tersedia sedang, bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia sedang.
D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan Pengamatan
terhadap
potensi
tegakan
kelapa
hutan
(P. brossimos dan P. julianettii) tidak dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan endemik (indigenous) yang telah ditanam oleh masyarakat Tolikara secara turun temurun sehingga secara alami jenis ini dianggap oleh masyarakat sebagai jenis yang ditanam (meskipun tumbuh secara alami) dan secara
133
umum jenis tersebut sudah dimiliki oleh marga tertentu atau beberapa marga karena secara adat pembagian tanah sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka. Meskipun masyarakat telah lama melakukan kegiatan budidaya kelapa hutan namun tidak semua masyarakat Tolikara menanam kelapa hutan pada areal pekarangan dan kebun mereka. Hal ini disebabkan karena jenis kelapa hutan ini kalau di tanam pada areal pemukiman, hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun telah memasuki zaman modern, masyarakat di Kabupaten Tolikara dan Pegunungan Tengah pada umumnya masih tetap menanam dan menjaga tanaman kelapa hutan di kebun-kebun mereka. Adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras tidak menurunkan semangat mereka dalam menanam dan menjaga kelapa hutan di kebun mereka. Hal ini disebabkan karena secara budaya buah kelapa hutan sangat berpengaruh dalam adat istiadat penduduk setempat, terutama dalam acara-acara adat sehingga masyarakat telah merasakan
manfaat ekonomi secara langsung dari kelapa
hutan tersebut.
2. Potensi Buah Kelapa hutan
(P. brossimos dan P. julianettii) yang telah
mencapai masa berbuah, biasanya berbuah berdasarkan musimnya sepanjang tahun. Menurut informasi dari masyarakat Lani, kelapa hutan dapat berbuah 2 sampai 3 kali dalam setahun.
134
Dokumentasi : Ezrom Batorinding
Gambar 30. Buah kelapa hutan (P. brossimos) yang dijual di pasar dengan harga per tumpukan Rp. 50.000 – Rp. 100.000,Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara masyarakat terhadap
dengan
kelapa hutan yang berbuah, dapat diduga
bahwa potensi buah kelapa hutan per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum
potensi buah kelapa hutan
tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 1–3 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, sekitar 2–4 buah per pohon, namun karakter buah kelapa hutan yang merupakan buah majemuk dengan diameter 15-22 cm menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan Analisis kandungan gizi buah kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) secara lengkap disajikan pada Tabel 25 dan 26. Perbandingan kandungan gizi buah buah kelapa hutan dengan
135
beberapa jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat pada Tabel 27.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 31. Teknik pemanenan kelapa hutan Tabel 25. Kandungan gizi kelapa hutan (P. brossimos) Hasil Analisis Macam Analisa Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Protein Total Serat Kasar Vitamin C Sumber :
Ul1
Ul2
12,92 3,28 48,16 12,69 21,98 109,51
12,73 3,34 48,03 12,69 21,81 107,34
Rata-Rata 12,83 3,31 48,09 12,69 21,89 108,43
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2011
136
Tabel 26. Kandungan gizi buah kelapa hutan (P. julianettii) Hasil Analisis Macam Analisa
Rata-Rata Ul1
Ul2
Kadar Air
9,00
11,00
10,00
Kadar Abu
3,45
3,38
3,42
Kadar Lemak
35,76
38,85
37,31
Protein Total
11,90
14,10
12,50
Serat Kasar
24,39
23,18
23,79
Vitamin C
103,45
101,62
102,54
Sumber :
Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2011
Tabel
27. Perbandingan kandungan gizi buah kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) dengan beberapa jenis buah-buahan Protein
Lemak
Vit C
Air
(gr)
(gr)
(mg)
(gr)
Alpukat
0,9
6,5
13
84,4
Durian
2,5
3,0
5,3
65
Sirsak
1,0
0,3
20
81,7
Langsat
0,9
0,2
3,0
81
Pepaya
0,5
0
78
86,7
Rambutan
2,0
0,1
58
80,5
Salak
0,9
0
2
78
Markisa
2,73
3,34
29,82
64,48
P. brossimos
12,69
48,09
108,43
12,83
P. julianettii
12,50
37,31
102,54
10,00
Buah
Sumber :
Data Primer hasil penelitian KNRT Tahun 2011 dan The Indonesian Commodity System dalam Suhardi et al, 2006
137
Secara umum kandungan protein, lemak dan vitamin C pada buah kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2011
Gambar 32. Honai tempat penyimpanan kelapa hutan
F. Etnobotani Kelapa Hutan Dalam Budaya Suku Dani Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat asli Tolikara dan masyarakat Pegunungan Tengah pada umumnya juga masyarakat pendatang
yang
telah
lama
berdomisili
di
daerah
tersebut.
Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama nenek moyang mereka mengenal kelapa hutan tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan
138
atau kapan orang Wamena pertama kali mengkonsumsi jenis buah kelapa hutan tersebut. Namun secara budaya buah kelapa hutan ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya suku-suku di Pegunungan Tengah. Buah kelapa hutan merupakan sajian yang paling istimewa dalam suatu upacara adat bagi masyarakat Kabupaten Tolikara dan masyarakat di pegunungan tengah lainnya. Kehadiran buah kelapa hutan dalam suatu upacara adat merupakan gengsi tersendiri bagi penyelenggara pesta adat tersebut. Selain kelapa hutan buah merah (Pandanus conoideus) dan daging babi (Sus crova) juga merupakan makanan istimewa yang harus ada dalam suatu upacara adat bagi masyarakat di Kabupaten Tolikara dan masyarakat pegunungan tengah. Jika diperhatikan lebih saksama, hal ini sangat berkaitan dengan sistem kepemimpinan tradisional di daerah Kabupaten Tolikara
dan
kepemimpinan
pegunungan tradisional
tengah
yang
pada
umumnya
umumnya. berlaku
di
Sistem daerah
pegunungan tengah dikenal dengan sebutan “Big Man” atau “Pria Berwibawa”, dimana posisi sebagai pemimpin dapat ditempati oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan yang dalam hal ini orang yang mempunyai kekayaan. Umumnya upacara adat di daerah ini dilakukan oleh “Big Man” atau orang yang ingin dirinya diangkat menjadi “Big Man”.
Seorang “Big Man” akan
lebih diakui atau
disanjung jika dalam upacara adat, makanan yang disajikan salah satunya adalah kelapa hutan. Sehingga mau tidak mau dalam suatu upacara adat kelapa hutan harus ada. Upacara adat yang sering dilakukan adalah upacara adat sebelum dan sesudah perang,
139
upacara pernikahan, upacara sebelum dan sesudah panen, upacara peresmian dan lain-lain. Jika kelapa hutan tidak ada atau simpanan kelapa hutan pada penduduk setempat sudah habis, maka kelapa hutan tersebut akan dibeli pada daerah lain di Pegunungan Tengah. Sejauh apapun daerah tersebut tetapi kalau persediaan kelapa hutannya ada maka daerah tersebut akan didatangi untuk selanjutnya dilakukan proses tawar menawar.
G. Konservasi Tradisional Masyarakat Suku Lani di Tolikara dan suku-suku lainnya (Yali, Dani, Nduga dan lain-lain) telah lama memanfaatkan buah kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka. Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi tradsional dengan cara menanam kelapa hutan dengan bibit yang berasal dari buah yang sudah tua atau mengambil anakan di bawah pohon induknya, merawat anakan tersebut dan menanam anakan kelapa hutan tersebut di areal kebun mereka. Kegiatan pembibitan dan penanaman kelapa hutan dapat dilakukan dengan biji (benih). Secara umum masyarakat lebih mengenal sistem pembibitan dengan benih terutama untuk semai yang sengaja ditanam atau yang tumbuh di bawah pohon induk, masyarakat belum mengenal model pembibitan lainnya. Hal ini di sebabkan karena pembibitan dengan biji (benih) atau anakan yang terdapat di bawah pohon induk dianggap lebih baik dan sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Teknik pembibitan kelapa hutan dengan biji (benih) yang dilakukan oleh masyarakat umumnya sama yaitu menabur benih pada daerah berlumpur atau daerah yang basah
140
kemudian setelah satu bulan dicek, benih yang telah tumbuh dapat dipisahkan ke dalam wadah berbentuk koker yang terbuat dari daundaunan. Anakan kelapa hutan tersebut kemudian dibawah ke kebun, setelah berumur tiga bulan atau setinggi 50 cm dan dianggap sudah bisa ditanam, anakan kelapa hutan tersebut kemudian ditanam pada lokasi yang telah ditentukan.
H. Status Konservasi Kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) merupakan jenis tumbuhan pandan indegenous atau tumbuhan asli (native species) yang bersifat endemik karena penyebarannya sangat terbatas di Pulau Papua khususnya di daerah pegunungan tengah, baik wilayah teritorial Republik Indonesia (RI) maupun wilayah teritorial Papua New Guinea (PNG). Kedua jenis kelapa hutan tersebut telah dinyatakan sebagai jenis tumbuhan langka oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak Tahun 2000. Secara ekologi kedua jenis kelapa hutan ini merupakan jenis yang tumbuh pada hutan pegunungan khususnya hutan pegunungan tengah di Pulau Papua dengan topografi landai, bergelombang, punggung bukit dan puncak bukit. Penyebaran jenis ini secara alami pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Meskipun secara tradisional masyarakat Suku Lani di Tolikara dan suku-suku lainnya (Yali, Dani, Nduga dan lain-lain) telah melakukan konservasi tradisional namun sangat perlu untuk dibangun kebun koleksi sebagai sumber benih untuk menjamin keberlanjutan produksi benih untuk keperluan pembibitan jenis tersebut. Hal ini untuk mencegah terjadinya kepunahan mengingat bahwa kedua jenis kelapa hutan tersebut membutuhkan habitat yang spesifik untuk dapat
141
tumbuh secara baik. Selain pembuatan kebun koleksi, perlu juga untuk dilakukan kegiatan penghijauan dan reboisasi mengingat bahwa kedua jenis tersebut telah dinyatakan sebagai tumbuhan langka.
I. Prospek Pengembangan Kelapa hutan sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua khususnya di daerah Pegunungan Tengah. Mengingat bahwa jenis kelapa hutan tersebut merupakan jenis tumbuhan yang buahnya sangat diperlukan oleh masyarakat Lani maupun masyarakat lainnya di pegunungan tengah dalam perayaan upacara adat, maka pengembangan jenis tersebut baik sebagai kebun koleksi, kebun benih dan kebun masyarakat akan mendapat dukungan yang baik dari masyarakat.
142
Gambar 33. Peta penyebaran kelapa hutan (P. brossimos dan P. julianettii) di Tanah Papua
143
144 Gambar 34. Kaum (B. obovata var. lonjong) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
145 Gambar 35. Kaum (B. obovata var. bulat) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
VII. BUAH KAUM (Burckella obovata (Forst.) Pierre) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI KABUPATEN BIAK NUMFOR A. Deskripsi Botani Kaum adalah salah satu jenis buah yang dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional di Kabupaten Biak Numfor sebagai makanan cadangan. Secara umum terdapat 2 variasi buah kaum yaitu ; buah bulat dan buah lonjong. Baik buah bulat maupun buah lonjong yang sudah matang, memiliki daging buah yang sama dengan buah alpukat (Persea americana) namun rasanya lebih manis Burckella obovata (Forst.) Pierre baik variasi buah bulat maupun buah lonjong sering disebut dalam bahasa Biak dengan sebutan “kaum”. Berdasarkan karekter morfologi batang dan daun dari kedua variasi tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut : a.
Batang silindris, umumnya
berlekuk
dan
agak
terpuntir,
permukaan kulit batang kasar, bersisik dan berlekah, daun berukuran 15-25 x 10-15 cm, buah umumnya berbentuk bulat agak panjang atau lonjong........... B. obovata var. buah lonjong b.
Batang silindris, umumnya tidak
berlekuk
dan
terpuntir,
permukaan kulit batang kasar, bersisik dan berlekah, daun berukuran 15-20 x 8-12 cm, buah umumnya berbentuk bulat sampai oval ...................................... B. obovata var. buah bulat
146
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 36. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Biak Numfor
147
Burckella obovata (Forster f.) Pierre var. buah lonjong (Sapotaceae) Nama dagang : nyatoh, sawo sabrang Nama daerah : kaum (Biak), takun (Kurudu) Sinonim : Burckella cocco (Scheffer) Pierre, B. cocco var. bawun H.J.Lam. Perawakan: Pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya mencapai 15–25 cm. Batang utama silindris, lurus, kadang berlekuk, berpilin dan sedikit berbuncak. Bebas cabang mencapai 7 m dengan diameter setinggi dada mencapai 100 cm, berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 150 cm. Pepagan luar kasar, berlekah dan bersisik, berwarna coklat muda keabu-abuan, coklat
atau coklat
kuning keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 8–10 mm. Bergetah putih yang mengalir lambat. Pepagan dalam berserat, berwarna kuning jingga. Daun tunggal, kedudukan daun tersebar atau spiral, bentuk daun menjorong atau memanjang, pangkal membaji, ujung meruncing, tepi rata atau bergelombang, panjang daun 8–16 cm, lebar 5–7 cm, panjang tangkai daun 20–35 mm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, sangat jelas, berwarna keputihan. Urat daun sekunder menyirip, 10–14 pasang. Perbungaan berbentuk berkas biasanya terdapat pada ketiak daun atau ujung ranting. Bunga berwarna putih, berkelamin satu, berumah 1 atau 2.
Buah membulat telur atau
lonjong, berdaging tebal, berpasangan atau tidak, berwarna hijau atau hijau muda pada waktu muda dan hijau keputihan atau hijau kekuningan pada waktu masak, bergaris tengah 4–7 cm. Biji 3-5, berbentuk lonjong agak pipih dengan kedua ujungnya meruncing.
148
Batang pada daerah tanpa naungan
Batang pada daerah dengan naungan
Daun muda
Daun tua
149
Buah muda
Buah tua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 37. Karakter morfologi kaum (Burckella obovata (Forster f.) Pierre) var. buah lonjong )
Burckella obovata (Forster f.) Pierre var. buah bulat (Sapotaceae)
Nama dagang : nyatoh Nama daerah : kaum (Biak), takun (Kurudu) Perawakan: Pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya mencapai 15–25 cm. Batang utama silindris, lurus, kadang berlekuk, berpilin dan sedikit berbuncak. Bebas cabang mencapai 7 m dengan diameter setinggi dada mencapai 100 cm, berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 150 cm. Pepagan luar kasar, berlekah dan bersisik, berwarna coklat muda keabu-abuan, coklat
atau coklat
kuning keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 8–10 mm. Bergetah putih yang mengalir lambat. Pepagan dalam berserat, berwarna kuning jingga. Daun tunggal, kedudukan daun tersebar atau spiral, bentuk daun menjorong atau
150
memanjang, pangkal membaji, ujung meruncing, tepi rata atau bergelombang, panjang daun 8–16 cm, lebar 5–7 cm, panjang tangkai daun 20–35 mm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, sangat jelas, berwarna keputihan. Urat daun sekunder menyirip, 10–14 pasang. Perbungaan berbentuk berkas biasanya terdapat pada ketiak daun atau ujung ranting. Bunga berwarna putih, berkelamin satu, berumah 1 atau 2.
Buah membulat telur atau
lonjong, berdaging tebal, berpasangan atau tidak, berwarna hijau atau hijau muda pada waktu muda dan hijau keputihan atau hijau kekuningan pada waktu masak, bergaris tengah 4–7 cm. Biji 3-5, berbentuk seperti lonjong agak pipih dengan kedua ujungnya meruncing.
Batang muda
Batang tua
151
Daun muda
Daun tua
Buah muda
Buah tua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 38. Karakter Morfologi Kaum (Burckella obovata (Forster f.) Pierre var. buah bulat )
152
C.
Kondisi Sosio-Geografis
1. Gambaran Umum Daerah dan Penduduk Biak Daerah Pulau Biak, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya di zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten Eilanden. Adapun pulau-pulau tersebut terletak di sebelah Utara Geelvink Bay atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Teluk Cenderawasih. Mengenai wilayah administrasi Kabupaten Biak Numfor sekarang ini meliputi dua pulau besar, yakni Pulau Biak dan Pulau Numfor. Sejak tahun 2004 Pulau Supiori yang dahulu merupakan bagian dari daerah Kabupaten Biak Numfor telah dimekarkan menjadi Kabupaten Supiori. Selain kedua Pulau utama tersebut di atas yang merupakan dua pulau besar, daerah Kabupaten Biak Numfor juga memiliki gugusan pulau-pulau kecil, yakni kepulauan Padaido yang terletak di sebelah timur pulau Biak. Adapun luas Pulau Biak diperkirakan 1.832 km persegi dan 27
pulau Numfor sekitar 324 km persegi . Nama Schouten Eilanden yang merupakan nama dari Pulau Biak, Numfor, dan Supiori sebenarnya berasal dari nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke-17. Sebutan lain yang sering muncul dalam laporan-laporan tua mengenai penduduk dan daerah kepulauan ini adalah Numfor dan Wiak. Fonen “W” pada kata Wiak sebenarnya berasal dari fonem “V” yang kemudian berubah menjadi fonen “B” sehingga muncullah kata Biak 14)
Luas Pulau di atas diambil dari laporan Lavalin International Inc. untuk Bank Dunia (1987 : Lampiran 17), dalam Mansoben.
153
seperti yang digunakan sekarang. Kata Biak secara resmi digunakan untuk menyebut daerah dan penduduk daerah ini yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak pada tahun 1947 (De Bruinj 1965:87 dalam Mansoben). Lembaga tersebut merupakan pengembangan lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mengatur kehidupan komunitas sebuah kampung (mnu). Lebih jauh mengenai sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontak dengan dunia luar, sesungguhnya tidak banyak diketahui karena tidak tersedia laporan tertulis mengani hal tersebut. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan mengenai asal-usul orang Biak adalah melalui mite (mitos). Menurut mite (mitos), diketahui bahwa moyang orang Biak berasal dari daerah yang terletak di sebelah Timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah ini dengan menggunakan perahu. Namun demikian, ada sejumlah versi mengenai cerita kedatangan moyang pertama di Pulau Biak. Salah satu versi mite (mitos) bahwa moyang pertama orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut mereka terdampar di atas sebuah bukit yang kemudian oleh kedua pasangan suami isteri tersebut memberikan nama
bukit itu
Sarwombo. Bukit tersebut terletak di bagain timur laut Pulau Biak (disebelah selatan Kampung Korem sekarang). Dari bukit itu moyang tersebut dengan anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan di tempat tersebutlah mereka berkembang biak memenuhi seluruh daerah Biak-Numfor dan Supiori serta pulau-pulau lainnya.
154
2.
Lokasi, Jumlah Penduduk dan Keret Penelitian
(klen)
di daerah
Lokasi penelitian “pohon kaum” lebih difokuskan di Kampung
28
Anggaduber Distrik Oridek Kabupaten Biak Numfor. Adapun batasan adminstrasi Kampung Anggaduber adalah sebagai berikut : Sebelah barat dengan Kampung Anggopi Sebelah timur dengan kampung Animi (Munsaure). Sebelah selatan kampung Sauri Sebelah utara kepulauan Padaido. Kampung Anggaduber adalah kampung yang dimekarkan dari desa Tanjung Barari di daerah Mnuwar daerah di sebelah timur dari kampung Anggaduber sekarang. Menurut Thomas Mambieuw kepala desa di Kampung Anggaduber, bahwa tidak ada catatan resmi yang dia dimilikinya mengenai kapan kampung ini dimekarkan, namun demikian kampung Anggaduber dimekarkan pada tahun 1990-an. Adapun Arti nama Anggaduber berasal dari dua kata yakni kata “an” yang artinya makanan dan gaduber yang artinya berlimpahlimpah bagai air salobar yang berlimpah-limpah mengalir dari batu. Jadi Anggaduber adalah daerah yang pada waktu dahulu kaya akan sumber makanan terutama keladi, sagu dan pinang. Sebagai contoh dahulu kala ketika mereka masih mengenal sistem barter yang dalam bahasa Biak dikenal dengan istilah fyarobek (tukar menukar), orang dari Pulau Pai di sebelah utara datang dengan perahu menukar ikan 28)
Istilah kampung sama artinya dengan desa. Penyebutan kampung ini digunakan sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 tahun 2001 yang mana sebutan desa diganti dengan sebutan yang telah lazim digunakan oleh orang Asli Papua sebelum masuknya sistem pemerintahan desa sesuai UU nomor 5 tahun 1979.
155
dengan hasil kebun seperti, sagu, keladi dan pinang dengan orangorang di wilayah Anggaduber. Adapun jumlah penduduk di desa ini menurut catatan sekretaris desa Yoseph Mambiew adalah sebagai berikut : Tabel 28. Jumlah kepala keluarga dan jumlah jiwa di Kampung Anggaduber No.
Unit
Jumlah
1.
Kepala Keluarga
103 kk
2.
Laki-laki
258 orang
3.
Perempuan
208 orang
Jumlah jiwa
466 orang
Sumber : Sekretaris Desa Anggaduber
Adapun keret-keret (klen-klen) utama
yang kini terdapat di
kampung Anggaduber adalah : 1. Munsaure. 2. Mambieuw 3. Rawar 4. Inas 5. Awek 6. Pai 7. Rumansara 8. Andoba 9. Rumere Menurut cerita dari Bapak Yoseph Mambieuw sebagai seorang tokoh adat tetapi juga selaku sekretaris Kampung Anggaduber, bahwa dahulu kala sang pemilik kampung Anggaduber adalah Samboi. Samboi dahulu adalah penguasa yang disegani sebagai seorang
156
mambri (panglima perang) di wilayah Anggaduber dan sekitar. Samboi berasal dari keret (klen) Munsaure. Jadi pemilik kampung Anggaduber dan juga Kampung Animi (Munsaure) di sebelah Timur yang berbatasan dengan Kampung Anggaduber adalah miliki keret (klen) Munsaure. Penduduk dari keret-keret lain yang kini hidup bersama di Kampung Anggaduber, diawali dengan datangnya dua orang dari Kampung Saba yang terletak di sebelah barat yakni, Dimara Mambieuw dan Kabayon Inas. Mereka ini datang ke tempat yang sekarang menjadi Kampung Anggaduber. Kemudian turunlah Samboi dan keluarga keretnya Munsaure dari gunung
29
di sebelah selatan,
bergabung dengan kedua orang tersebut dan mereka membentuk komunitas kampung (mnu). Sejumlah keret lainnya seperti tersebut di atas, datang kemudian melalui hubungan-hubungan kekeluargaan dan hubungan perkawinan.
3. Sistem kekerabatan Orang Biak memperhitungkan sistem kekerabatannya melalui garis keturunan ayah (patrilineal). Sedangkan tipe kekerabatan yang dianut menurut menurut klasifikasi Murdock Iroquois. Dalam sistem ini ego
30
(1949), adalah sistem
menggunakan satu istilah yang sama
untuk menyebut kelas kerabat tertentu. Misalnya istilah naek, digunakan ego untuk istilah saudara-saudara kandungnya dengan 29)
Gunung tersebut jaraknya hanya sekitar 500 meter dari tempat yang kini menjadi Kampung Munsaure. 30)
Ego adalah istilah dalam ilmu antropologi, khususnya istilah kekerabatan untuk menyebutkan “saya” sebagai pusat untuk menyebut kerabat yang lain dalam hubungan kekerabatan.
157
saudara-saudara sepupu parallel (anak-anak dari saudara laki-laki ayah dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anakanak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara lakilaki ibu) pada generasi ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut
dengan
istilah
ibu,
sna.
Sebaliknya
semua
saudara
perempuan ayah disebut bibi, mebin, dan semua saudara laki-laki ibu disebut paman, me. Orang Biak juga mengenal adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu, baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara sepupu silang. Hal larangan dimaksud merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan dimaksud sebagai bentuk perkawinan incest (tabu).
4. Organisasi Sosial Menurut Kamma dalam bukunya “KORERI : Messianic Movements in The Biak Numfor Culture Area”, bahwa orang Biak mengenal istilah kekerabatan yang mereka sebut dengan istilah keret (klen). Keret berasal dari bagian “tengah perahu besar” milik orangorang Biak yang disebut vice versa. Bagian tengah perahu ini merupakan tempat duduk para tua-tua keret yang disebut “eribo”. Orang Biak juga mengenal sebutan untuk keret kecil dengan sebutan “keret kasun”. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang disebut sim. Wujud nyata dari kesatuan sosial dimaksud di waktu lampau adalah dalam bentuk rumah besar yang disebut rumah keret. Rumah tersebut merupakan suatu bangunan berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran kira-kira 30-40 meter panjangnya
158
dengan lebarnya sekitar 15 meter. Adapun rumah keret itu dibangun di atas tiang-tiang dan dibagi-bagi ke dalam sejumlah kamar atau sim. Sim tersebut terletak di sisi kiri dan kanan yang mana di tengahtengahnya dipisahkan dengan ruangan kosong panjang dari depan hingga belakang. Fungsi utama ruang tengah yang kosong itu adalah tempat untuk menaruh perahu milik keret, serta sebagai tempat untuk menerima tamu dan tempat untuk musyawarah anggota keret. Adapun orang Biak pada waktu dahulu menyimpan perahu keret di dalam rumah setelah kembali dari suatu pelayaran, agar supaya badan perahu itu tidak cepat rusak karena air hujan
dan
panas
matahari. Selain itu maksud dari perahu diletakkan di dalam rumah agar perahu itu menjadi kering dan ringan sehingga jika hendak menggunakannya, perahu tersebut akan melaju dengan cepat. Perahu keret juga merupakan salah satu harta milik yang sangat penting sehingga patut disimpan dan dijaga dengan baik di dalam rumah. Nilai pentingnya itu terutama didasarkan atas fungsinya, sebagai
alat
transport
yang
digunakan
untuk
kepentingan
perdagangan, alat bayar mas kawin. Akibatnya perahu memegang peranan penting, di mana keret-keret tertentu yang memiliki perahu lebih besar dan lebih baik dari keret-keret lainnya lebih terpandang dan terhormat. Artinya perahu yang lebih besar dan lebih baik mengangkat status sosial keretnya. Prinsip kampung bagi orang Biak secara tradisional adalah bahwa di mana terdapat satu rumah keret atau lebih, tempat itu disebut mnu (kampung). Dahulu tiap mnu (kampung) hanya didiami oleh anggota-anggota masyarakat yang berasal dari satu keret saja. Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, misalnya dalam hal hubungan perkawinan dan perdagangan atau karena adanya
159
bahaya perang yang sering terjadi, sehingga keret-keret dari mnu yang berlainan tempat bergabung dan menetap pada pemukiman dari keret-keret tertentu. Hal inilah yang menyebabkan jumlah keret dalam satu tempat (mnu) bertambah menjadi lebih dari satu. Dalam hal pemilihan jodoh, keret
mengacu pada sistem
perkawinan yang bersifat eksogami keret. Maksudnya, seorang lakilaki dari keret Munsaure wajib mengambil pasangan atau jodohnya dari keret lain, misalnya, dari keret Rumansara, Awek, Mambieuw, demikianpun seorang perempuan, tidak boleh dijodohkan dengan lakilaki dari keret yang sama. Sedangkan prinsip keturunan orang Biak adalah bersifat
patrilineal (garis keturunan ayah/laki-laki).
Dalam
konteks ini maka semua keret (klen) yang berada di wilayah Anggaduber khususnya, misalnya seorang perempuan Munsaure kawin dengan seorang laki-laki Mambieuw, maka anak-anaknya akan mendapat sebutan Keret Mambieuw dari ayahnya. Secara tradisional setelah menikah sang istri akan mengikuti suaminya di tempat tinggalnya
yang
dalam
istilah
antropologi
adalah
patrilokal.
Demikianpun dalam hal hak waris seorang perempuan tidak mempunyai hak waris karena si wanita akan kawin keluar keretnya dan mendapatkan keret dari suaminya. Hal ini menyebabkan adanya budaya patriarchy di mana laki-laki berhak mewarisi apa yang dimiliki oleh orang tuanya. Adapun mas kawin (ararem) pada waktu dahulu terdiri dari sejumlah alat bayar antara lain gelang tangan (samfar), perahu, kapak batu, kapak besi,kulit penyu (waumisbef), budak dan alat-alat yang berguna dalam rumah tangga seperti piring, dsb. Sejumlah alat bayar mas kawin yang muncul kemudian adalah gelang perak (sarak) dan kain katun (kruben). Dewasa ini alat bayar mas kawin dalam
160
kehidupan
orang
Biak
sudah
mengalami
perubahan
dengan
masuknya uang sebagai alat bayar. Meskipuan sejumlah alat bayar tradisional masih sering digunakan, namun uang kini menjadi salah satu alat bayar mas kawin yang bernilai tinggi. Menurut Mansoben (1995:283), besar mas kawin ditentukan oleh tiga faktor: pertama, kedudukan atau posisi orang tua dalam masyarakat (orang dengan kedudukan yang baik dan terhormat akan menerima atau memberikan jumlah mas kawin yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang berkedudukan kurang penting); kedua, berdasarkan besarnya mas kawin yang pernah dibayar oleh pihak ayah kepada pihak ibu, jika anak gadis yang akan dinikahkan itu adalah anak gadis tertua dalam keluarga (kriteria ini tidak berlaku pada anak-anak gadis lainnya dalam keluarga yang sama); ketiga, ditentukan berdasarakan kecantikan si gadis dan sifat-sifat baik yang melekat pada dirinya seperti, sopan santun dan kerajinannya.
5. Sistem Politik Tradisional Orang Biak Menurut Johz Robert Mansoben dalam disertasinya berjudul Sistem
Politik Tradisional di Irian Jaya, membagi sistem politik di
Papua (dahulu, Irian Jaya) menjadi 4 sistem politik tradisional, yakni : sistem politik big man (Pria berwibawa), sistem politik kepala klen (Ondoafi), sistem politik kerajaan dan sistem politik campuran (mix). Orang Biak tergolong dalam sistem politik campuran (mix), di mana seseorang memperoleh kedudukan sebagai seorang pemimpin dapat melalui achievement status (status yang dicapai) dan juga bisa melalui ascribement status (status yang diwariskan). Adapun sejumlah status yang dicapai (achievement status), misalnya sebutan pemimpin
161
seperti, mambri (panglima perang), manibob (teman dagang), dan konor (utusan Tuhan). Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, mambri (panglima perang) sesungguhnya adalah mereka yang memiliki keberhasilan dalam berperang dimasa lampau, baik dalam hal menyerang kampung-kampung musuh, maupun dalam hal mempertahankan daerahnya dari serangan yang dilancarkan musuh. Orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai mambri adalah mereka yang berani dan kejam. Selain itu, mereka juga memiliki pengetahuan mengenai strategi
perang
serta
kemampuan
untuk
menyatukan
dan
membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak masa remaja para pemimpin perang itu diberikan sejenis daun yang disebut ui mambri, yang dipercayai dapat memberikan tenaga dan keberanian 31
besar kepada orang yang memakannya . Adapun manibob (teman dagang) adalah mereka yang berperan menjadi penghubung dagang dengan daerah-daerah lain baik di kalangan sesama orang Biak maupun dengan pulau-pulau dan daerah daerah lain seperti Pulau Yapen, Waropen, Wandamen, dll ketika daerahnya berada dalam krisis ekonomi (krisis pangan). Dalam kasus ini bagaimana kepiawaian seseorang sehingga dia bisa
31)
Ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut kepercayaan orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu, seperti dapat memberikan keberanian kepada orang yang memakannya, selain itu daun-daun tersebut juga mengadung kekuatan yang dapat menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu bertempur. Jenisjenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja, tidak diketahui secara umum. Daun tersebut diberi makan kepada anak-anak yang menurut penilaian orang-orang tua (mantan mambri) memiliki bakat untuk menjadi mambri dikemudian hari.
162
menghubungkan kampungnya yang mengalami krisis pangan dengan daerah-daerah lainnya yang bisa memberikan sumber pangan dikala krisis tiba. Adapun konor atau mon (utusan Tuhan/Manseren Manggundi) adalah pemimpin yang mendasari kepemimpinannya dari religi. Mereka ini mengakui diri sebagai utusan dari tokoh mite (mitos) Mananarmakeri atau Manseren Manggundi yang diutus untuk datang lebih dahulu menyiapkan masyarakat guna menyambut kedatangan Manseren Manggundi. Manseren Manggundi adalah tokoh mite (mitos) dalam masyarakat Biak
yang menurut kepercayaan telah
meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil, dendam serta pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai dan norma-norma adat. Tokoh ini diyakini suatu waktu akan kembali untuk mendirikan kerajaan abadi (koreri) (Kamma, 1972). Kepemimpinan seorang konor/mon bersifat pergerakan, dan karena pergerakan tersebut guna mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat abadi, serta sekalian juga untuk mendatangkan kekayaan material bagi pengikutnya, maka secara umum bentuk kepemimpinan itu dikenal dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan 32
kargoisme . Adapun kehadiran seorang konor/mon diawali dengan suatu pengalaman luar biasa dari sang konor/mon tersebut, misalnya sembuh dari sakit secara ajaib tanpa pengobatan, mengalami pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan Manseren Manggundi. Pengalaman ajaib yang luar biasa tersebut 32)
Gerakan-gerakan seperti ini banyak terjadi di daerah kebudayaan Melanesia. Di antaranya yang paling terkenal adalah gerakan Koreri di daerah Biak-Numfor yang diteliti oleh Kamma.
163
kemudian
disusul
menyembuhkan
dengan
kemampuan
orang-orang
sakit,
sang
konor
menyebabkan
bisa
masyarakat
menjadi yakin, orang yang bersangkutan benar-benar adalah utusan Manseren Manggundi. Kenyataan ini membuat sang konor dengan mudah dapat mempengaruhi masyarakat dengan dalil melaksanakan pesan dari Manseren Manggundi. Beberapa konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat dengan menggunakan mite Manseren Manggundi sebagai alat pengabsahan
kekuasaannya
adalah
Steven
Dawan,
Stefanus
Simopiaref dan Korinus Birmor. Para Konor di atas muncul sebagai pemimpin gerakan Koreri sesudah Angganitha, pendiri gerakan tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh di Biak, para konor lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan dieksekusi di Manokwari. Sedangkan, mansren mnu (tuan tanah) adalah sebutan untuk pemimpin yang diwariskan (ascribement status) secara turun temurun di wilayah yang telah menjadi hak ulayatnya. Pemimpin ini diwariskan karena hanya diwariskan kepada keret (klen) pemilik tanah/pendiri kampung itu saja, terutama kepada anak laki-laki tertua (sulung) dari mansren mnu yang lalu. Sistem kepemimpinan tradisional di daerah Biak Numfor dan sekitarnya dewasa ini sudah banyak mengalami perubahan dengan hadirnya
pemerintahan
desa
(kampung),
pemerintahan
(kecamatan) dan pemerintahan di tingkat kabupaten.
distrik
Peranan
kepemimpinan tradisional hampir-hampir sudah tidak terlihat lagi di kampung-kampung orang Biak. Boleh dikatakan dewasa ini mambri, manibob dan konor adalah bagian dari sejarah masa lalu orang Biak. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa mansren mnu (tuan
164
tanah) meskipun juga telah terkikis dengan hadirnya kepala kampung, namun disetiap kampung orang masih mengenal keret (klen) pendiri kampung. Masyarakat di kampung-kampung Biak umumnya memiliki kesadaran mengenai asa usul sejarah kampung, yakni siapa pemilik tanah (tuan tanah) dan siapa-siapa (keret-keret apa) yang datang kemudian. Meskipun Kamma, membagi lapisan sosial dalam kehidupan orang Biak ke dalam
tiga lapisan, yakni lapisan pertama, keret
pemilik kampung, lapisan kedua, adalah pendatang yang datang bergabung dengan pemilik kampung serta lapisan ketiga, adalah budak yang dibawa ke kampung (Kamma, 1954:13). Namun demikian, khusus pada lapisan ketiga, yakni kaum budak, dewasa ini sudah tidak terlihat lagi. Ada kemungkinan mereka sudah teradopsi ke dalam keret-keret pendiri kampung ataupun keret-keret pendatang di kampung tersebut.
6. Bahasa Daerah pulau Biak, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya yang di zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten Eilanden yang terletak di sebelah utara Geelvink Bay (Teluk Cenderawasih) menggunakan
satu bahasa yakni bahasa Biak.
Meskipun demikian dalam bahasa Biak terdapat sekitar sepuluh 33
dialek . Dialek yang cukup banyak ini tidak menjadi penghalang orang Biak untuk dapat saling mengerti bahasa (berkomunikasi) di kalangan orang Biak baik di Pulau Biak, Supiori, Numfor, Padaido, 33)
Adapun kesepuluh dialek tersebut adalah, dialek Samber, Wadibu, Sorido, Manwor, Sowek, Sopen, Wombonda atau Sawias, Umbor, Numfor, dan Mokmer (Steinhauer, 1985:464,483)
165
dan pulau-pulau lainnya. Ini tentunya berbeda dengan Pulau Yapen (Serui) yang menurut Summer Institute of Linguistik (SIL) tahun 2012, di sana terdapat sekitar 13 bahasa daerah. Bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang termasuk daam keluarga Austronesia Mansoben
Bahasa
(Muller 1876-1888; Wurm & Hattori 1982 dalam 1995:271)
dan
termasuk
dalam
subgroup
South
Halmahera-West New Guinea (blust 1978 dalam Mansoben 1995).
Bahasa Biak adalah bahasa yang paling luas wilayah persebarannya di seluruh Papua, hal ini bisa terlihat dari persebarannya mulai dari seluruh Pulau Biak, Supiori, Numfor, dan sejumlah tempat di wilayah Yapen, terus ke wilayah Barat yakni Manokwari, Wandamen, hingga ke daerah Kepulauan Raja Ampat. Jumlah penutur bahasa Biak di kepulauan Biak-Numfor menurut perkiraan Mansoben tahun 1995 sekitar 70.000. ini artinya bahasa Biak merupakan salah satu dari bahasa-bahasa di Papua yang jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang. 7. Mata pencaharian Orang Biak yang hidup di daerah perkampungan pada umumnya hidup dari bercocok tanam dan menagkap ikan. Bercocok tanam di ladang dilakukan oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut. Demikian pula menangkap ikan dilakukan juga oleh sebagian besar masyarakat yang hidup di kampung-kampung Biak, akan tetapi aktivitas menangkap ikan terutama ditekuni oleh masyarakat yang hidup didaerah Kepulauan Padaido di Biak Timur 34
dan di Desa Rayori (Sowek), Supiori Selatan . 34)
Lihat Mansoben, 1995 : 276
166
Pada
umumnya
penduduk
yang
melakukan
aktivitas
berladang sebagai mata pencaharian utama juga melakukan aktivitas menangkap ikan sebagai mata pencaharian tambahan. Pekerjaan serabutan seperti ini dilakukan oleh masyarakat di kampung-kampung Biak tetapi juga umumnya di kampung-kampung Papua karena pada umumnya dalam masyarakat belum ada spesialisasi kerja atau belum adanya pembagian kerja yang tegas. Hasil yang mereka peroleh juga lebih banyak untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup seharihari, atau dikenal dalam ilmu antropologi sebagai ekonomi subsisten. Model ekonomi seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat sederhana. Erich Wolf dalam bukunya Petani suatu Tinjauan Antropologi, menyatakan bahwa tipe masyarakat aktifitas bercocok-tanam (pertanian) memenuh
kebutuhan hidup
yang melakukan
dan hanya sekedar untuk
sehari-hari
bukan untuk mengejar
35
keuntungan, disebut dengan istilah peasant . Mata pencaharian lain yang juga cukup penting di masa lampau adalah perdagangan. Barang yang diperdagangkan ketika itu adalah hasil laut, piring, budak, dan alat-alat kerja yang terbuat dari besi seperti, parang dan tombak. Perlu diketahui, kepandaian besi sudah dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang Maluku jauh sebelum orang Eropa pertama datang di daerah ini pada awal abad ke-16 sehingga peralatan kerja tersebut merupakan produksi masyarakat. (Kamma & Kooijman, 1974).
35)
Lawan dari peasant adalah farmer, yakni petani yang menggunakan hasil pertaniannya untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya (maksimalisasi).
167
Adapun sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lalu adalah dengan pola tukar menukar yang dalam bahasa Biak disebut dengan istilah Fyarobek. Dalam pertukaran tradisional berupa barter (fyarobek) seperti ini orang Biak telah menciptakan institusi yang disebut, manibob atau sistem rekanan dagang diberbagai daerah baik di Teluk Cenderawasih maupun di daerah pesisir kepala Burung sampai ke Kepulauan Raja Ampat. Lebih jauh dalam kehidupan orang Biak, baik yang hidup di Kabupaten Biak-Numfor maupun di Kabupaten Supiori secara tradisional mengenal sebutan “mob” yakni tempat-tempat atau lokasilokasi berdasarkan jenis-jenis tumbuhan penting yang berkaitan dengan kehidupan mereka, seperti, sagu), mob beren/rofum
mob baryam (tempat/dusun
(tempat/dusun pinang), mob japan
(tempat/kebun keladi), mob srai (tempat/kebun kelapa), mob kuker (tempat gayang), mob kawir (tempat buah merah), mob wur (tempat sukun) dan lain-lain. Sedangkan tempat untuk mencari binatang seperti, babi (randip/korai), kus-kus (rambab), tikus tanah (karausop), ayam hutan (manggiryoi) dan lain-lain itu disebut sup (hutan).
C. Ekologi Habitat Kaum Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap jenis kaum, baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun di luar habitatnya di alam (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan karang) serta kesuburan tanah.
168
Kaum atau pohon buah kaum di Kabupaten Biak Numfor umumnya ditanam atau tumbuh secara alami. Kaum yang ditanam, biasanya ditanam di pekarangan rumah atau di pinggiran pantai (pantai) yang merupakan hak milik klen atau hak milik perorangan. Umumnya kaum ditanam pada areal tersebut sebagai tanda bahwa lokasi tersebut merupakan hak milik klen atau
perorangan.
Sedangkan kaum yang tumbuh secara alami, biasanya tumbuh pada daerah atau lokasi yang jauh dari pekarangan rumah, misalnya pada kawasan hutan pantai dan areal hutan lainnya termasuk areal kuburan (lokasi pemakaman) yang bukan merupakan pemukiman masyarakat.
1. Faktor Fisiografis Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan, terutama karena pengaruhnya terhadap iklim. Topografi mempunyai arti klimatis karena menentukan arah dari mana angin bertiup, kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007). Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dan kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang berlereng curam
169
kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-sifat tanah antara lain tebal solum, kandungan bahan organik, kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007).
Kemiringan lereng sangat mempengaruhi
gerakan air dan tanah, sehingga erosi atau pengikisan terjadi paling besar pada puncak bukit dari pada kaki bukit . Pengikisan yang hebat pada perbukitan di daerah tropika
menimbulkan alur pada tebing
bukitnya. Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor iklim. Suhu atau temperatur udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah (Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah Papua, keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian tempat pada habitat kaum di Kabupaten Biak Numfor adalah 5–10 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka kaum digolongkan kedalam jenis tumbuhan berkayu dataran rendah atau hutan pantai. Hasil pengamatan dan pengukuran faktor fisiografis yaitu ketinggian tempat dan kelerengan (topografi) pada habitat kaum disajikan pada Tabel 29 dan 30.
170
Tabel 29. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kaum (Burckella obovata var. buah lonjong) di berbagai tempat di Kabupaten Biak Numfor Ketinggian tempat
Topografi/kelerengan
(m) dpl
(%)
1.
5
0
2.
5
2
3.
3
5
4.
8
8
5.
10
10
6.
10
12
Habitat
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Kaum (Burkella obovata var. buah lonjong dan bulat) pada Kampung Anggaduber, Kampung Korem dan Kampung Ambroben di Kabupaten Biak Numfor tumbuh baik pada kelerangan
0–15 %.
Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif datar dan bergelombang ringan. Lokasi tersebut umumnya terdapat pada pinggiran pantai (batas pasang tertinggi) dan pesisir pantai yang merupakan areal pemukiman masyarakat dan hutan pantai. Kondisi habitat
demikian
secara
alami
sangat
berdampak
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan pohon kaum.
171
terhadap
Tabel 30.
Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kaum (Burckella obovata var. buah bulat) di berbagai tempat di Kabupaten Biak Numfor
Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5. 5.
5 4 5 7 10 10
3 2 5 5 10 15
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Kualitas pertumbuhan pohon kaum pada daerah pemukiman masyarakat yang relatif datar dengan kondisi lantai hutan atau bawah tegakan yang bersih, umumnya sangat baik namun memiliki jumlah anakan yang sedikit yaitu berkisar antara 1-5 anakan per pohon. Hal ini sangat berbeda dengan buah kaum yang tumbuh pada habitat hutan pantai dan areal lainnya yang bukan merupakan pemukiman penduduk yang relatif datar dengan kondisi lantainya masih ditumbuhi rumput dan beberapa jenis semak serta anakan dan pancang dari beberapa jenis pohon, umumnya sangat baik pertumbuhannya dan memiliki anakan yang lebih banyak yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur yaitu 15-50 anakan per pohon. Ketinggian
tempat
habitat
pohon
kaum
di
Kampung
Anggaduber Biak Timur, Kampung Korem Biak Utara dan Kampung Ambroben Biak Selatan adalah
3–10 m dpl.
Sesuai ketinggian
tempat tumbuhnya maka pohon kaum (Burkella obovata var. lonjong dan bulat) digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran rendah khususnya untuk tipe ekosistem hutan pantai. Hal ini disebabkan
172
karena berdasarkan hasil pengamatan pohon kaum (Burkella obovata var. lonjong dan bulat) penyebarannya di Biak Timur, Biak Barat dan Biak Selatan hanya ditemukan sampai batas 100 m dari garis pantai
2. Suhu Udara dan Kelembaban Iklim pada daerah tropika ditandai dengan suhu yang tinggi dan rata. Suhu yang terendah terjadi pada musim hujan dan suhu tertinggi terjadi pada musim panas. Suhu dan kelembaban serta pengamatan penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat pohon kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat) disajikan pada Tabel 31 dan 32. Tabel 31.
Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat pohon kaum (Burckella obovata var. lonjong) di berbagai tempat di Kabupaten Biak Numfor Suhu Kelembaban Naungan Habitat (Cº) (%) (%) 70 1 29 78 65 2 30 82 80 3 28 80 4 5
29 30
87 85
72 68
6
31
70
40
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Tabel 32. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat pohon kaum (Burckella obovata var. bulat) di berbagai tempat di Kabupaten Biak Numfor Habitat
Suhu (Cº)
Kelembaban (%)
1
29
78
Naungan (%) 70
2
29
80
70
173
3 4 5 6
30 29 30 31
78 85 83 60
65 72 68 30
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Pohon kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat) tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan ringan, sedang sampai tinggi (30–80 %) dengan suhu optimum berkisar antara 28–31ºC dan kelembaban optimum berkisar antara
60–87 %. Adanya kisaran
demikian disebabkan karena pohon kaum di Kampung Anggaduber Biak Timur, Kampung Korem Biak Utara dan Kampung Ambroben Biak Selatan tumbuh secara alami pada areal hutan pantai baik pada hutan primer maupun sekunder dan ditanam oleh masyarakat pada areal pemukiman di pesisir pantai sehingga kelembaban udara dan suhu masih sangat dipengaruhi oleh angin laut. Pohon kaum merupakan jenis tumbuhan dikotil “semi toleran” yang tumbuh tegak dan umumnya sangat peka terhadap iklim mikro tertentu, terutama suhu, kelembaban dan kondisi tanah. Untuk dapat bertahan hidup dan menghasilkan buah yang baik dan kontinu sepanjang tahun, tumbuhan ini harus hidup pada suhu, kelembaban dan kondisi tanah serta iklim mikro yang sesuai jika tidak maka proses berbuahnya akan lambat dan buahnya tidak akan kontinu sepanjang tahun bahkan jenis tersebut akan mati pada tingkat pertumbuhan tertentu sebelum mencapai tingkat pertumbuhan pohon.
174
3. Keadaan Tanah Menurut John E. Weaver dan Frederic E. Clements (1938), bahwa faktor
tanah
sangat
mempengaruhi
pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan selain perbedaan latitude, altitude maupun perbedaan geografis yang lain. Pohon kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat ) umumnya tumbuh pada habitat tanah berpasir dengan keadaan solum yang tipis (<10 cm atau ± 10 cm), sedang ( ± 20 cm) sampai dalam (≥30 cm), dengan variasi habitat tanah pasir berkapur dan tanah pasir berkarang serta kondisi habitat yang tidak berbatu atau sedikit berbatu. Habitat demikian umumnya terdapat pada daerah pesisir pantai dan hutan pantai dengan radius 100 m dari garis pantai atau pasang tertinggi. Habitat pohon kaum dengan kedalaman solum yang tipis (<10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada garis pantai atau pasang tertinggi, sedangkan habitat pohon kaum dengan kedalaman solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada hutan pantai baik primer maupun sekunder atau pesisir pantai yang merupakan areal pemukiman masyarakat. Hasil analisis sampel tanah habitat buah kaum secara lengkap disajikan pada Tabel 33. Faktor iklim dan topografi akan mempengaruhi perkembangan tanah dan tumbuhan yang menempati habitat dan relung di suatu tempat atau daerah tertentu. Suatu faktor atau beberapa faktor dikatakan penting apabila mempengaruhi perkembangan tumbuhan karena terdapat dalam batas minimum, maksimum atau optimum (Ardhana, 2012).
175
Tabel 33. Kesuburan tanah pada habitat kaum di Kampung Anggaduber Distrik Oridek Biak Timur Parameter Uji N P K Mg pH C Ca Na C/N ratio Bahan Organik
Nilai Kandungan 0,09 20,36 0,12 0,13 5,25 0,48 1,05 0,54 8,26 1,05
Satuan % Ppm % % % %
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Tanah Fakultas Pertanian UGM Tahun 2012
Tanah pada habitat buah kaum (B. obovata) bersifat agak asam (pH 5,25), N tersedia rendah, P tersedia sedang, Mg tersedia sangat rendah, bahan organik tinggi, C/N ratio rendah dan K tersedia rendah. Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada habitat buah kaum di Kampung Anggaduber tergolong jenis tanah marginal dengan tingkat kesuburan sangat rendah. Hal ini disebabkan karena tanah pada habitat buah kaum umumnya merupakan tanah pasir atau pasir dengan lapisan topsoil yang sangat tipis.
176
D. Potensi Tegakan dan Potensi Buah 1. Potensi Tegakan Pengamatan terhadap potensi tegakan pohon kaum (Burkella obovata var. lonjong dan bulat) pada hutan alam tidak dilakukan, hal ini disebabkan karena jenis ini merupakan jenis tumbuhan endemik (indigenous) yang tumbuh secara alami dan telah ditanam oleh masyarakat tradisional Biak. Faktor lainnya adalah jenis pohon kaum (Burkella obovata var. lonjong dan bulat), berdasarkan hasil pengamatan hanya dijumpai pada radius 100 m dari garis pantai atau pasang tertinggi sehingga pengumpulan data potensi tegakannya dilakukan
per
kampung
dan
lokasi
pengamatan
diperluas,
pengamatan tidak hanya dilakukan di Kampung Anggaduber Biak Timur saja tetapi juga dilakukan di kampung-kampung lainnya di Biak Utara dan Biak Selatan. Meskipun masyarakat telah lama memanfaatkan buah kaum sebagai pangan alternatif di Kabupaten Biak Numfor namun tidak semua masyarakat Biak menanam pekarangan
dan
kebun
mereka.
pohon kaum
Hal
ini
pada areal
disebabkan
karena
masyarakat masih sangat tergantung pada buah-buahan hutan lainnya yang juga merupakan bahan makanan lainnya yang berasal dari hutan seperti buah matoa, langsat dan kandike. Disamping sagu (Metroxylon sago) dan
hasil kebun lainnya seperti ketela pohon
/kasbi (Manihot esculenta), ubi jalar/batatas (Ipomoea batatas), talas/keladi (Xanthosoma sagittifolium) dan uwi/bete (Colocasia esculenta). Adanya ketergantungan masyarakat terhadap beras, sagu dan hasil
kebun
lainnya membuat masyarakat tidak melakukan
kegiatan penanaman jenis pohon kaum tersebut. Hal lainnya yang
177
cukup mempengaruhi animo masyarakat untuk tidak melakukan penanaman buah kaum adalah masyarakat menganggap bahwa buah kaum hanya dikonsumsi atau dimakan oleh masyarakan atau orang Biak saja, sedangkan suku-suku lainnya di Tanah Papua tidak mengkonsumsi buah tersebut sehingga mereka merasa bahwa buah ini kurang terkenal dan belum ada prospeknya baik pemanfaatannya maupun pemasarannya sehingga mereka merasa tidak perlu untuk menanam pohon kaum tersebut.
2. Potensi Buah Pohon kaum (Burkella obovata) yang telah mencapai masa berbuah, biasanya berbuah berdasarkan musimnya sepanjang setahun.
Menurut informasi dari masyarakat, pohon kaum dapat
berbuah 3 sampai 4 kali dalam setahun atau musim berbuahnya sama dengan buah alpukat (Persea americana). Secara umum pohon kaum mulai berbuah pada umur 6-8 tahun. Hasil pengamatan terhadap pohon kaum yang berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dapat diduga bahwa potensi buah kaum per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi buah kaum tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 20–30 ember per pohon untuk sekali panen, hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya banyak, sekitar 2–12 buah per tangkai dengan jumlah tangkai per pohon 75-150 tangkai, karakter buah kaum yang umumnya berdiameter 5-6,5 cm untuk varietas buah buat dan 5-8 cm untuk varietas buah lonjong menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
178
Dokumentasi : David Krisifu, 2011
Gambar 39. Pemanfaatan Buah Kaum Sebagai Bahan Minuman (Jus buah kaum) ) Buah kaum juga sering dijual sebagai
komoditas alternatif
untuk mendapatkan uang, di mana 1 tumpuk buah kaum sebanyak 3 buah dijual dengan harga Rp 1000
36
di pasar Inpres di Kota Biak. Pa
Awek seorang warga Anggaduber menceriterakan bahwa beberapa waktu lalu isterinya menyaksikan beberapa pembeli di pasar Inpres Biak Kota berebutan untuk membeli buah kaum. Menurut Pa Awek ada kemungkinan buah kaum ini bisa dibuat menjadi makanan atau minuman khusus sehingga orang mulai sadar dan membelinya.
36)
Informasi dari Bapak Ananias Krar di daerah Warsa Biak Utara (wawancara tanggal 24 April 2012)
179
E. Kandungan Gizi Buah Kaum Analisis kandungan gizi buah kaum (B. obovata var. bulat dan lonjong)
secara
lengkap
disajikan
pada
Tabel
Perbandingan kandungan gizi buah buah kaum
34
dan
35.
dengan beberapa
jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 34. Kandungan gizi buah kaum (B. obovata) varietas buah bulat Hasil Analisis Macam Analisa Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Protein Total Serat Kasar Karbohidrat by diff Vitamin C (mg/100g) Kalori (kal)
Ul1
Ul2
Rata-Rata
87,0844 0,6210 0,6411 1,0035 2,1531 6,8410 13,4434 34,9769
87,0428 0,6479 0,6602 0,9721 1,9480 6,7695 13,4571 34,7759
87,0636 0,6345 0,6507 0,9878 2,0506 6,8053 13,4503 34,8768
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2012
180
Tabel 35.
Kandungan gizi buah kaum (B. obovata) varietas buah lonjong Hasil Analisis
Macam Analisa Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Protein Total Serat Kasar Karbohidrat by diff Vitamin C (mg/100g) Kalori (kal)
Rata-Rata
Ul1
Ul2
87,3274 0,6988 0,6689 1,0322 5,9514 6,1661 14,2429 32,7547
87,1735 0,6965 0,6693 1,6553 5,8898 6,3440 14,5522 33,5398
87,2505 9,6977 0,6691 1,3438 5,9206 6,2551 14,3976 33,1473
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2012
Tabel 36. Perbandingan kandungan gizi buah dengan beberapa jenis buah-buahan Buah Alpukat Durian Sirsak Langsat Pepaya Rambutan Salak Markisa Kaum bulat Kaum lonjong Sumber :
kaum (B. obovata)
Protein (gr)
Lemak (gr)
Vit C (mg)
Air (gr)
0,9 2,5 1,0 0,9 0,5 2,0 0,9 2,73 0,99 1,34
6,5 3,0 0,3 0,2 0 0,1 0 3,34 0,65 0,67
13 5,3 20 3,0 78 58 2 29,82 13,45 14,40
84,4 65 81,7 81 86,7 80,5 78 64,48 87,06 87,25
Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012 dan The Indonesian Commodity System, IPB Tahun 2006
181
Secara umum kandungan protein dan lemak pada buah kaum bulat dan lonjong cukup rendah namun vitamin C dan kadar air pada buah kaum bulat dan lonjong terdapat dalam jumlah sedang dan sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum.
F. Etnobotani Buah Kaum Dalam Budaya Suku Biak Buah kaum (Burckella obovata var. lonjong dan bulat) adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat asli Biak Numfor dan masyarakat pendatang yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama nenek moyang mereka mengenal buah kaum tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Biak pertama kali mengkonsumsi jenis buah kaum tersebut. Namun secara budaya buah kaum ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya etnis Biak Numfor. Buah kaum pada Perang Dunia Ke II merupakan sajian yang paling istimewa bagi masyarakat Biak Numfor, hal ini dikarenakan pada saat Perang Dunia ke II tersebut, terjadi kelaparan besar yang melanda seluruh wilayah Biak Numfor pada saat itu. Masyarakat pada saat itu memanfaatkan buah kaum sebagai pangan alternatif dalam mempertahankan kehidupan mereka. Bahkan berdasarkan informasi dari
masyarakat
(wawancara),
ternyata
Tentara
Jepang
juga
memanfaatkan buah kaum tersebut sebagai pangan alternatif untuk mempertahankan
kehidupan
mereka.
182
Akibatnya
sering
terjadi
bentrokan antara masyarakat lokal Biak Numfor dan Tentara Jepang akibat perebutan buah kaum tersebut. Pohon kaum dikenal oleh masyarakat Biak dalam kehidupan mereka sebagai salah satu pohon yang kurang begitu mendapat perhatian dan perlakuan khusus seperti misalnya, pohon kelapa (srai), pohon sagu (baryam), pohon buah nona hutan (kandik), pohon sukun (wur), pohon cempedak (naknak) atau pohon-pohonan lainnya yang dianggap
penting.
Menurut
cerita
masyarakat
di
Kampung
Anggaduber, pohon kaum di kampung tersebut hanya dua pohon. Beberapa waktu lalu terdapat tiga pohon, namun karena alasan membangun rumah satu pohon ditebang. Pohon kaum
bagi masyarakat Biak, lazimnya yang diambil
adalah buahnya, sebagai makanan selingan (tambahan buah). Karena rasa buahnya yang hampir sama dengan buah alpokat tetapi rasanya yang lebih manis, biasanya masyarakat di tempat di mana buah kaum ini berada mengambil buah ini jika sudah matang. Hal bagaimana mengetahui bahwa buah ini sudah matang dapat diketahui dengan hadirnya burung kelelawar pada malam hari untuk memakan buahnya. Maka masyarakat akan memanjat pohon kaum tersebut untuk kemudian mengambil buahnya. Buahnya yang sudah tua tetapi belum matang biasanya masih bergetah. Untuk itu buah kaum yang masih bergetah ini kemudian dicelupkan ke dalam air laut. Pencelupan buah kaum ke dalam air laut tersebut selain untuk membersihkan getahnya, juga agar lebih mempercepat proses matangnya buah ini. Setelah dicelupkan, buah ini kemudian bisa dikuburkan ke dalam abu dapur, ataupun ke dalam pasir, atau digantung di tiang-tiang rumah, atau dimasukkan ke dalam beras.
183
Buah kaum yang jatuh di atas tanah umumnya sudah masak (matang) sehingga bisa langsung dikonsumsi. Di dearah Anggaduber, buah kaum
yang sudah masak,
kulitnya dikupas dan langsung dimakan tanpa melalui banyak proses. Namun demikian, menurut informasi
37
di wilayah Kepulauan Padaido
buah kaum sering dimakan bersama dengan ikan bakar. Buah kaum yang sudah tua biasanya dibakar dan dimakan bersama ikan bakar. Meskipun buah kaum hanya merupakan makanan alternatif, akan tetapi di waktu dulu terutama di wilayah-wilayah kepulauan yang sering mengalami krisis pangan dan terisolasi oleh alam karena besarnya gelombang, sering memanfaatkan buah kaum sebagai makanan utama di waktu krisis pangan.
G. Konservasi Tradisional Masyarakat
Biak Numfor
telah lama memanfaatkan buah
kaum (B.obovata) dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka. Saat ini masyarakat belum melakukan konservasi tradsional dengan cara menanam kaum. Biasanya hanya orang-orang tua yang membawa anakan kaum dari bawah pohon induknya, merawat anakan tersebut dan menanam anakan kaum tersebut di areal kebun mereka atau di tanah milik mereka sebagai tanda kepemilikan bagi anak cucunya apabila orang tua tersebut telah meninggal. Menurut informasi, populasi pohon kaum dahulu kala cukup banyak di daerah sekitar pinggiran pantai, namun demikian seiring
37)
informasi diperoleh dari Bapak Yoseph Mambieuw Sekretaris Desa Anggaduber.
184
dengan proses pembangunan dan kebutuhan akan lahan untuk pembangunan, maka banyak dari pohon kaum yang sudah ditebang. Sayangnya, masyarakat Biak secara umum belum mempunyai kebiasaan untuk membudidayakan pohon ini, karena ada anggapan, pohon kaum tidak bernilai ekonomis, seperti pohon kelapa, pohon sukun, pohon matoa, pohon mangga,
dsb. Pohon kaum yang
dijumpai di wilayah Biak dan sekitarnya umumnya adalah pohonpohon yang tumbuh sendiri. John Wompere seorang pengusaha kebun bibit rakyat (KBR) di wilayah Warsa Biak Utara, memberikan secercah harapan di wilayah Biak Numfor terhadap ketidak-pedulian orang Biak umumnya dalam rangka budidaya pohon, dan sejumlah pohon lainnya, termasuk pohon gaharu, pohon gayang (kuker), bintanggur (manes), pohon buah nona (kandik), dsb. Ia menyiapkan ratusan bibit pohon kaum di tempat pembibitannya yang terletak dipinggir jalan. Hal lain yang perlu diakui dari perjuangan John Wompere di mana sejak tahun 2003 lalu dia sudah menanam lebih dari 300 pohon gaharu yang kini sudah bertumbuh besar. John Wompere menjadi simbol pengharapan bagi masa depan orang Biak dalam perjuangan membudidayakan sejumlah tanaman indigenous di pulau Biak, Numfor, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya. Kiranya semangat dan daya juang John Wompere dapat merasuki
sejumlah orang Biak lainnya dalam memperjuangkan
tanaman-tanaman indigenous yang secara perlahan mulai langka dan terlupakan oleh penduduk asli di daerah Schouten Eilanden. H. Status Konservasi
185
Kaum adalah salah satu jenis pohon indigenous atau tumbuhan asli (native species) di Papua dan Indonesia. Di Indonesia penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan
Sulawesi. Secara
ekologis jenis kaum merupakan jenis yang penyebarannya terdapat
hanya
pada hutan pantai. Penyebaran jenis ini secara alami
adalah pada radius 100 m dari tepi pantai. Meskipun secara global kaum belum dinyatakan sebagai spesies
terancam
punah,
namun
untuk
mencegah
terjadinya
kepunahan secara ekologis di Pulai Biak, sekarang mungkin sudah saatnya untuk melakukan kegiatan penanaman dalam rangka penghijauan dan/atau reboisasi pada kawasan hutan pantai Pulau Biak. Mengingat bahwa jenis ini keberadaannya di alam Pulau Biak sudah sangat terbatas sekali dan Pulau Biak sebagai ekosistem kepulauan sangat rentan terhadap kepunahan spesies, terutama kepunahan secara ekologis.
I. Prospek Pengembangan Kaum sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua khususnya di daerah yang memiliki tipe ekosistem pantai atau pesisir pantai baik di Pulau Papua dan pulau-pulau sekitarnya. Mengingat bahwa jenis kaum tersebut merupakan jenis tumbuhan yang buahnya dikonsumsi seperti alpukat sehingga kedepan jenis tersebut sangat berpotensi sebagai bahan pangan alternatif. Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk perkebunan atau kebun koleksi sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
186
Gambar 40.
Peta penyebaran kaum (Burckella obovata) var. bulat dan lonjong di Tanah Papua
187
188 Gambar 41. Aibon (Bruguiera gymnorhiza) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
VIII. BUAH AIBON (Bruguiera gymnorhiza Lamk.) dan PEMANFAATANNYA OLEH SUKU BIAK DI KABUPATEN SUPIORI A. Deskripsi Botani Secara umum di Tanah Papua dikenal 6 jenis Bruguiera yaitu 4 jenis yang menyebar merata di seluruh Tanah Papua dan 2 jenis yang hanya terdapat di daerah Selatan Tanah Papua. 4 jenis yang menyebar merata di seluruh Tanah Papua yaitu ; Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera sexangula, Bruguiera cylindrical dan Bruguiera parviflora. Sedangkan 2 jenis yang hanya terdapat di daerah Selatan Papua yaitu ; Bruguiera exaristata dan Bruguiera hainesii. Jenis Bruguiera gymnorhiza dan Bruguiera sexangula memiliki kemiripan sehingga dalam bahasa Biak sering dikenal dengan sebutan “aibon”. Namun jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat Biak di Kabupaten Supiori adalah Bruguiera gymnorhiza. Berdasarkan karekter morfologi buah dari kedua jenis tersebut, dapat dibedakan berdasarkan kunci identifikasi sebagai berikut : a. Buah berbentuk bulat lonjong panjang 10-25 cm, berwarna hijau tua dengan kelopak umumnya berwarna merah atau kemerahan .................................................................. Bruguiera gymnorhiza b. Buah berbentuk bulat lonjong panjang 10-15 cm, berwarna hijau muda dengan kelopak umumnya tidak demikian..................... .................................................................. Bruguiera sexangula Selain buahnya yang dapat diolah menjadi tepung untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan, kayunya juga dikenal sebagai jenis komersil, sering digunakan untuk pembuatan balok dan papan
189
untuk konstruksi bangunan, pembuatan chips, kayu bakar, breaket arang, tiang penyangga atau pagar, juga dimanfaatkan sebagai tiang rumah dalam pembuatan rumah tradisional dan tiang belo (tiang penahan bagi perahu).
Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk. (Rhizophoraceae) Nama dagang : perepat darat Nama daerah : aibon (Biak), parai (Wandamen)
Perawakan: Pohon berukuran kecil sampai sedang, tingginya mencapai 25–30 m. Batang utama silindris, lurus sedikit berbuncak kadang-kadang berpilin dan berlekuk. Bebas cabang mencapai 15 m dengan diameter setinggi dada mencapai 60 cm, merupakan jenis tumbuhan berkayu pada hutan mangrove yang memiliki akar lutut dan berbanir kecil yang berasal dari bentukan seperti akar tunjang. Pepagan luar kasar, berwarna abu-abu gelap, umumnya berlekah dan mengelupas lembaran kecil. Takikan batang pepagan tebalnya 10–12 mm, tidak bergetah. Pepagan dalam keras dan berserat, berwarna merah jingga. Daun tunggal, tebal dan kaku, kedudukan daun
berhadapan
bersilangan,
bentuk
daun
menjorong
atau
memanjang (elips), pangkal membaji, ujung meruncing, tepi rata, panjang daun 8–15 cm, lebar 5–10 cm, panjang tangkai daun 10–15 mm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, kadangkadang tidak jelas. Urat daun sekunder menyirip, 10–15 pasang. Perbungaan berbentuk lebar tunggal atau berpasangan biasanya terdapat pada ketiak daun. Bunga berkelamin satu, berumah 1 atau 2, mahkota putih hingga coklat, kelopak 10-14 helai berwarna merah,
190
panjang 3-5 cm, ujung tiap mahkota berbentuk runcing, masingmasing terdiri dari 3 benang sari.
Buah silindris, berdaging tebal,
berpasangan atau tidak, permukaan buah halus atau licin, berwarna hijau atau hijau kekuningan
pada waktu muda dan ungu dengan
bercak coklat pada waktu masak, bergaris tengah 1,5–2 cm, panjang 10–25 cm. Biji vivipar, kelopak menyatu saat buah jatuh.
B
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
A A
C
Gambar 41. Bruguiera gymnorhiza – A. perawakan batang; B. daun; C. buah
191
A A
B Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 42. Perbedaan Karakter Morfologi – A. Bruguiera gymnorhiza dengan kelopkan berwarna merah; B. Bruguiera sexangula dengan kelopak berwarna hijau muda
192
Kampung Biniki
Keterangan :
= Lokasi Penelitian
Gambar 43. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Supiori 193
C. Kondisi Sosio-Geografi 1. Gambaran Umum Daerah dan Penduduk Supiori Topogragafi Pulau Supiori berbentuk barisan gunung yang disebut Pegunungan Supiori dengan puncaknya Wombonda sebagai puncak tertinggi yang mencapai 1.034 meter di atas permukaan laut (Van Bemmelen, 1953:266)
49
Sejak Tahun 2004 Pulau Supiori yang dahulu merupakan bagian dari daerah Kabupaten Biak Numfor telah dimekarkan menjadi Kabupaten Supiori. Daerah Pulau Supiori bersama dengan Pulau Biak-Numfor dan pulau-pulau kecil lainnya di zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten Eilanden. Adapun pulaupulau tersebut terletak di sebelah utara Geelvink Bay atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Teluk Cenderawasih. Nama Schouten Eilanden yang merupakan nama dari PulauPulau Biak-Numfor, dan Supiori sebenarnya berasal dari nama orang Eropa Pertama berkebangsaan Belanda yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke-17. Penduduk Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori adalah
berasal dari
etnis yang sama yakni etnis Biak.
Secara
historis orang Biak yang berada di Kabupaten Supiori, dan BiakNumfor memiliki sejarah yang sama pula. Penduduk yang mendiami kedua kabupaten ini juga memiliki bahasa yang sama, yakni bahasa Biak. Sejumlah unsur kebudayaan lainnya, seperti organisasi sosial, sistem politik, sistem kekerabatan dan perkawinan, sistem mata pencaharian hidup, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem
25)
Lihat Mansoben 1995 : 266
194
kepercayaan dan lain-lain, mempunyai kemiripan. Dalam hal sistem kekerabatan misalnya di daerah penelitian di Ramardori, sejumlah keret (klen) dari daerah Kabupaten Biak-Numfor, seperti, keret (klen) Wanma berasal dari Sopen di Biak Barat, demikianpun keret-keret seperti, Bukorpoiper, Amsyamsum, Ayer, dan Mirino berasal dari Samber di Biak Selatan. Selain keret Rumere terdapat di Kampung Ramardori,
juga terdapat di wilayah Biak yakni di Pulau Pai di
Kepulauan Padaido Biak Timur dan di Kampung Anggaduber Distrik Oridek, Biak Timur Kabupaten Biak-Numfor. Lebih jauh mengenai sejarah orang Biak di Kabupaten BiakNumfor dan Kabupaten Supiori, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontak dengan dunia luar, sesungguhnya tidak banyak diketahui
karena
tidak
tersedia
laporan tertulis mengani hal
tersebut. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan mengenai asal-usul orang Biak adalah melalui mite (mitos). Menurut mite (mitos), diketahui bahwa moyang orang Biak (di Kabupaten BiakNumfor dan Kabupaten Supiori) berasal dari daerah yang terletak di sebelah Timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah ini dengan menggunakan perahu. sejumlah versi mengenai
Namun demikian, ada
cerita kedatangan moyang pertama di
Pulau Biak. Salah satu versi mite (mitos) bahwa moyang pertama orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut mereka terdampar di atas sebuah bukit yang kemudian oleh kedua pasangan suami isteri tersebut
memberikan nama bukit itu Sarwombo. Bukit tersebut
terletak di bagain Timur Laut Pulau Biak (disebelah selatan Kampung Korem sekarang). Dari bukit itu moyang tersebut dengan anakanaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan di tempat tersebutlah
195
mereka berkembang
biak memenuhi seluruh daerah Biak-Numfor
dan Supiori serta pulau-pulau lainnya.
2.
Lokasi, jumlah penduduk dan keret (klen) di daerah Penelitian Lokasi penelitian “pohon Aibon” lebih difokuskan di Kampung
Biniki (Ramardori)
Distrik Supiori
50
Selatan, Kabupaten Supiori.
Adapun batasan administrasi Kampung Biniki (Ramardori) adalah sebagai berikut : Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Maryadori Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Wombonda Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Supiori Sebelah Barat berbatasan dengan Kepulauan Aruri Luas Kampung Biniki (Ramardori)
diperkirakan
200 hektar
2
atau 2 km . Untuk menjangkau daerah ini bisa melalui jalan darat dengan kendaraan
bermotor, baik roda dua maupun roda empat,
tetapi juga bisa melalui laut menggunakan perahu motor. Jalan laut merupakan
jalur utama
sejak dahulu kala sebelum adanya jalan
darat di wilayah Kampung Biniki (Ramardori). Kabupaten Supiori terdiri dari 5 distrik, yakni : 1. Distrik Supiori Selatan 2. Distrik Supiori Utara 3. Distrik Supiori Timur
50)
Istilah kampung sama artinya dengan desa. Penyebutan kampung ini digunakan sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 tahun 2001 yang mana sebutan desa diganti dengan sebutan yang telah lazim digunakan oleh orang Asli Papua sebelum masuknya sistem pemerintahan desa sesuai UU nomor 5 tahun 1979.
196
4. Distrik Supiori Barat 5. Distrik Kepulauan Aruri Sedangkan jumlah kampung di Kabupaten Supiori adalah 38 kampung.
Kampung Biniki adalah hasil
pemekaran dari dua
kampung yakni, Kampung Maryadori dan Kampung Ramardori pada tahun 1996. Nama Biniki berasal dari nama Tanjung Biniki, yang 51
artinya kita hidup di sini banyak rezeki/berkat . Jumlah penduduk di Kampung Biniki menurut catatan kepala kampung Bapak Efradus Awendu adalah sebagai berikut : Tabel 37. Jumlah kepala Ramardori NO 1. 2. 3.
keluarga dan jumlah jiwa di Kampung
UNIT Kepala Keluarga Laki-laki Perempuan Jumlah jiwa
JUMLAH 92 kk 250 orang 241 orang 491 orang
Sumber : Kepala Desa Biniki (Ramardori)
Adapun keret-keret (klen-klen) utama
yang kini terdapat di
kampung Ramardori, adalah : 1. WOMBONDA -
AWENDU
-
KMURAWAK
-
SAREWO
-
RUMERE
2. SOPEN dari BIAK BARAT -
51)
WANMA
Wawancara dengan Mantan kepala Kampung, Bapak Maikel
Wanma.
197
3. SAMBER dari BIAK SELATAN -
BUKORPIOPER
-
AMSAMSYUM
-
AYER
-
MIRINO
Menurut cerita dari Bapak Maikel Wanma bahwa nama Wombonda adalah suku besar di Ramardori. Sebutan Wombonda berasal dari nama orang yang punya tempat mulai dari sebelah Timur di Mioswar sampai daerah Kunef di sebelah Selatan. Wombonda
adalah seorang mambri
(panglima perang) yang
disegani di wilayah tersebut. Di daerah Wombonda pada waktu dahulu kala terdapat mambri Rumbekwan, mambri Awendu, dan mambri Sarewo.
Konflik yang berkepanjangan antara daerah
Wombonda dan Korido menyebabkan hadirnya mambri Wanma dari Sopen di Biak Barat. Mambri Wanma datang sebagai mediator untuk mendamaikan kedua wilayah yang sedang konflik. Hadirnya
keret-keret Bukorpioper,
Amsyamsum, Ayer
di
Wombonda khususnya di daerah Ramardori, mereka datang dari Waroi, keret-keret tersebut
memiliki
hubungan keluarga dengan
Keret Rumere di Maryadori. Keret-keret tersebut di atas juga menanam kelapa di Pulau Rani dan ketika Perang Dunia Kedua usai, mereka datang dan tinggal di daerah Ramardori.
3. Sistem kekerabatan Orang Biak memperhitungkan sistem kekerabatannya melalui garis keturunan ayah (patrilineal). Sedangkan tipe kekerabatan yang dianut menurut menurut klasifikasi Murdock (1949), adalah sistem
198
Iroquois. Dalam sistem ini ego untuk
52
menggunakan satu istilah yang sama
menyebut kelas kerabat tertentu. misalnya istilah naek,
digunakan ego untuk istilah saudara-saudara kandungnya dengan saudara-saudara sepupu parallel (anak-anak dari saudara laki-laki ayah dan anak-anak dari saudara perempuan ibu), yang berbeda dari istilah napirem untuk menyebut semua saudara sepupu silang (anakanak dari saudara perempuan ayah dan anak-anak dari saudara lakilaki ibu) pada generasi ego. Kecuali itu semua saudara laki-laki ayah disebut dengan istilah ayah, kma, dan semua saudara perempuan ibu disebut
dengan
istilah
ibu,
sna.
Sebaliknya
semua
saudara
perempuan ayah disebut bibi, mebin, dan semua saudara laki-laki ibu disebut paman, me. Orang Biak juga mengenal adanya larangan perkawinan antara saudara-saudara sepupu, baik saudara-saudara sepupu sejajar maupun saudara sepupu silang. Hal larangan dimaksud merupakan ketentuan adat yang menetapkan perkawinan dimaksud sebagai bentuk perkawinan incest (tabu).
4. Organisasi Sosial Menurut Kamma dalam bukunya “KORERI : Messianic Movements in The Biak Numfor Culture Area”, bahwa orang Biak mengenal istilah kekerabatan yang mereka sebut dengan istilah keret (klen). Keret berasal dari bagian “tengah perahu besar” milik orangorang Biak yang disebut vice versa. Bagian tengah perahu ini merupakan tempat duduk para tua-tua keret yang disebut “eribo”. 52)
Ego adalah istilah dalam ilmu antropologi, khususnya istilah kekerabatan untuk menyebutkan “saya” sebagai pusat untuk menyebut kerabat yang lain dalam hubungan kekerabatan.
199
Orang Biak juga mengenal sebutan untuk keret kecil dengan sebutan “keret kasun”. Suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih yang disebut
sim. Wujud nyata dari kesatuan sosial dimaksud diwaktu
lampau adalah dalam bentuk rumah besar yang disebut rumah keret. Rumah tersebut merupakan suatu bangunan berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran kira-kira 30-40 meter panjangnya dengan lebarnya sekitar 15 meter. Adapun rumah keret itu dibangun di atas tiang-tiang dan dibagi-bagi ke dalam sejumlah kamar atau sim. Sim tersebut terletak di sisi kiri dan kanan yang mana di tengahtengahnya dipisahkan dengan ruangan kosong panjang dari depan hingga belakang. Fungsi utama ruang tengah yang kosong itu adalah tempat untuk menaruh perahu milik keret, serta sebagai tempat untuk menerima tamu dan tempat untuk musyawarah anggota keret. Adapun orang Biak pada waktu dahulu menyimpan perahu keret di dalam rumah setelah kembali dari suatu pelayaran, agar supaya badan perahu itu tidak cepat rusak karena air hujan
dan
panas
matahari. Selain itu maksud dari perahu diletakkan di dalam rumah agar perahu itu menjadi kering dan ringan sehingga jika hendak menggunakannya, perahu tersebut akan melaju dengan cepat. Perahu keret juga merupakan salah satu harta milik yang sangat penting sehingga patut disimpan dan dijaga dengan baik di dalam rumah. Nilai pentingnya itu terutama didasarkan atas fungsinya, sebagai
alat
transport
yang
digunakan
untuk
kepentingan
perdagangan, alat bayar mas kawin. Akibatnya perahu memegang peranan penting, di mana keret-keret tertentu yang memiliki perahu lebih besar dan lebih baik dari keret-keret lainnya lebih terpandang dan terhormat. Artinya perahu yang lebih besar dan lebih baik mengangkat status sosial keretnya.
200
Prinsip kampung bagi orang Biak secara tradisional adalah bahwa di mana terdapat satu rumah keret atau lebih, tempat itu disebut mnu (kampung). Dahulu tiap mnu (kampung) hanya didiami oleh anggota-anggota masyarakat yang berasal dari satu keret saja. Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, misalnya dalam hal hubungan perkawinan
dan perdagangan atau karena adanya
bahaya perang yang sering terjadi, sehingga keret-keret dari mnu yang berlainan tempat bergabung dan menetap pada pemukiman dari keret-keret tertentu. Hal inilah yang menyebabkan jumlah keret dalam satu tempat (mnu) bertambah menjadi lebih dari satu. Dalam hal pemilihan jodoh, keret mengacu pada sistem perkawinan yang bersifat eksogami keret. Maksudnya, seorang lakilaki dari keret Awendu wajib mengambil pasangan atau jodohnya dari keret lain, misalnya, dari keret
Rumere, Wanma,
Amsyamsum,
demikianpun seorang perempuan, tidak boleh dijodohkan dengan lakilaki dari keret yang sama. Sedangkan prinsip keturunan orang Biak adalah bersifat
patrilineal (garis keturunan ayah/laki-laki).
Dalam
konteks ini maka semua keret (klen) yang berada di wilayah Beniki (Ramardori) khususnya, misalnya seorang perempuan Awendu kawin dengan
seorang
laki-laki
Wanma,
maka
anak-anaknya
akan
mendapat sebutan Keret Wanma dari ayahnya. Secara tradisional setelah menikah sang istri akan mengikuti suaminya di tempat tinggalnya
yang
dalam
istilah
antropologi
adalah
patrilokal.
Demikianpun dalam hal hak waris, seorang perempuan tidak mempunyai hak waris karena si wanita akan kawin keluar keretnya dan mendapatkan keret dari suaminya. Hal ini menyebabkan adanya budaya patriarchy di mana laki-laki berhak mewarisi apa yang dimiliki oleh orang tuanya.
201
Adapun mas kawin (ararem) pada waktu dahulu terdiri dari sejumlah alat bayar antara lain gelang tangan (samfar), perahu, kapak batu, kapak besi, kulit penyuh (waumisbef), budak dan alatalat yang berguna dalam rumah tangga seperti piring, dsb. Sejumlah alat bayar mas kawin yang muncul kemudian adalah gelang perak (sarak) dan kain katun (kruben). Dewasa ini alat bayar mas kawin dalam kehidupan orang Biak sudah mengalami perubahan dengan masuknya uang sebagai alat bayar. Meskipuan sejumlah alat bayar tradisional masih sering digunakan, namun uang kini menjadi salah satu alat bayar mas kawin yang bernilai tinggi. Menurut Mansoben (1995:283), besar mas kawin ditentukan oleh tiga faktor: pertama, kedudukan atau posisi orang tua dalam masyarakat (orang dengan kedudukan yang baik dan terhormat akan menerima atau memberikan jumlah mas kawin yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang berkedudukan kurang penting); kedua, berdasarkan besarnya mas kawin yang pernah dibayar oleh pihak ayah kepada pihak ibu, jika anak gadis yang akan dinikahkan itu adalah anak gadis tertua dalam keluarga (kriteria ini tidak berlaku pada anak-anak gadis lainnya dalam
keluarga
yang
sama);
ketiga,
ditentukan
berdasarkan
kecantikan si gadis dan sifat-sifat baik yang melekat pada dirinya seperti, sopan santun dan kerajinannya.
4. Sistem Politik Tradisional Orang Biak Menurut Johz Robert Mansoben dalam disertasinya berjudul Sistem
Politik Tradisional di Irian Jaya, membagi sistem politik di
Papua (dahulu, Irian Jaya) menjadi 4 sistem politik tradional, yakni : sistem politik big man (Pria berwibawa), sistem politik kepala klen (Ondoafi), sistem politik kerajaan dan sistem politik campuran (mix).
202
Orang Biak tergolong dalam sistem politik campuran (mix), di mana seseorang memperoleh kedudukan sebagai seorang pemimpin dapat melalui achievement status (status yang dicapai) dan juga bisa melalui ascribement status (status yang diwariskan).
Adapun
sejumlah status yang dicapai (achievement status), misalnya sebutan pemimpin seperti, mambri (panglima perang), manibob (teman dagang) , dan konor (utusan Tuhan). Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, mambri (panglima perang) sesungguhnya adalah mereka yang memiliki keberhasilan dalam berperang dimasa lampau, baik dalam hal
menyerang
kampung-kampung musuh, maupun dalam hal mempertahankan daerahnya dari serangan yang dilancarkan musuh. Orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai mambri adalah mereka yang berani dan kejam. Selain itu, mereka juga memiliki pengetahuan mengenai strategi
perang
serta
kemampuan
untuk
menyatukan
dan
membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya. Sejak masa remaja para pemimpin perang itu diberikan sejenis daun yang disebut ui mambri, yang dipercayai dapat memberikan tenaga dan keberanian 53
besar kepada orang yang memakannya . Adapun manibob (teman dagang) adalah mereka yang berperan menjadi penghubung dagang dengan daerah-daerah lain baik di kalangan sesama orang Biak maupun dengan pulau-pulau
53) Ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut kepercayaan orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu, seperti dapat memberikan keberanian kepada orang yang memakannya, selain itu daun-daun tersebut juga mengadung kekuatan yang dapat menyembuhkan luka-luka berat yang diderita pada waktu bertempur. Jenis-jenis tanaman yang tergolong dalam ui mambri ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja, tidak diketahui secara umum. Daun tersebut diberi makan kepada anak-anak yang menurut penilaian orang-orang tua (mantan mambri) memiliki bakat untuk menjadi mambri dikemudian hari.
203
dan daerah daerah lain seperti Pulau Yapen, Waropen, Wandamen, dll ketika daerahnya berada dalam krisis ekonomi (krisis pangan). Dalam kasus ini bagaimana kepiawaian seseorang sehingga dia bisa menghubungkan kampungnya yang mengalami krisis pangan dengan daerah-daerah lainnya yang bisa memberikan sumber pangan dikala krisis tiba. Adapun konor atau mon (utusan Tuhan/Manseren Manggundi) adalah
pemimpin yang mendasari kepemimpinannya dari religi.
Mereka
ini mengakui diri
sebagai utusan dari tokoh mite (mitos)
Mananarmakeri atau Manseren Manggundi yang diutus untuk datang lebih dahulu menyiapkan masyarakat guna menyambut kedatangan Manseren Manggundi. Manseren Manggundi adalah tokoh mite (mitos) dalam masyarakat Biak
yang menurut kepercayaan telah
meninggalkan mereka karena sifat-sifat tidak adil, dendam serta pertumpahan darah dan penyelewengan terhadap nilai-nilai dan norma-norma adat. Tokoh ini diyakini suatu waktu akan kembali untuk mendirikan kerajaan abadi (koreri) (Kamma, 1972). Kepemimpinan seorang konor/mon bersifat pergerakan, dan karena pergerakan tersebut guna mendirikan kerajaan adil dan makmur yang bersifat abadi, serta sekalian juga untuk mendatangkan kekayaan material bagi pengiktunya, maka secara umum bentuk kepemimpinan itu dikenal dengan nama gerakan mesianik atau ratu adil dan gerakan 54
kargoisme . Adapun kehadiran seorang konor/mon diawali dengan suatu pengalaman luar biasa dari sang konor/mon tersebut, 54)
misalnya
Gerakan-gerakan seperti ini banyak terjadi daerah kebudayaan Melanesia. Diantaranya yang paling terkenal adalah gerakan Koreri di daerah Biak-Numfor yang diteliti oleh Kamma.
204
sembuh dari sakit secara ajaib tanpa pengobatan,
mengalami
pengalaman peristiwa ajaib tertentu, atau bermimpi bertemu dengan Manseren Manggundi. Pengalaman ajaib yang luar biasa tersebut kemudian
disusul
menyembuhkan
dengan
kemampuan
sang
konor
bisa
orang-orang sakit, menyebabkan masyarakat
menjadi yakin, orang yang bersangkutan benar-benar adalah utusan Manseren Manggundi. Kenyataan ini membuat sang konor dengan mudah dapat mempengaruhi masyarakat dengan dalil melaksanakan pesan dari Manseren Manggundi. Beberapa konor yang muncul sebagai pemimpin masyarakat dengan menggunakan mite pengabsahan
Manseren Manggundi
kekuasaannya
adalah
Steven
sebagai alat
Dawan,
Stefanus
Simopiaref dan Korinus Birmor. Para Konor di atas muncul sebagai pemimpin
gerakan Koreri
sesudah Angganitha, pendiri gerakan
tersebut. Kecuali Korinus Birmor yang dibunuh di Biak, para konor lainnya ditahan oleh orang Jepang kemudian dibawa dan dieksekusi di Manokwari. Sedangkan, mansren mnu (tuan tanah) adalah sebutan untuk pemimpin yang diwariskan (ascribement status) secara turun temurun di wilayah yang telah menjadi hak ulayatnya. Pemimpin ini diwariskan karena hanya diwariskan kepada keret (klen) pemilik tanah/pendiri kampung itu saja, terutama kepada anak laki-laki tertua (sulung) dari mansren mnu yang lalu. Sistem kepemimpinan tradisional di daerah Biak Numfor dan sekitarnya dewasa ini sudah banyak mengalami perubahan dengan hadirnya
pemerintahan
desa
(kampung),
pemerintahan
(kecamatan) dan pemerintahan di tingkat kabupaten.
distrik
Peranan
kepemimpinan tradisional hampir-hampir sudah tidak terlihat lagi di
205
kampung-kampung orang Biak. Boleh dikatakan dewasa ini mambri, manibob dan konor adalah bagian dari sejarah masa lalu orang Biak. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa mansren mnu (tuan tanah) meskipun juga telah terkikis dengan hadirnya kepala kampung, namun disetiap kampung orang masih mengenal keret (klen) pendiri kampung. Masyarakat di kampung-kampung Biak umumnya memiliki kesadaran mengenai asa usul sejarah kampung, yakni siapa pemilik tanah (tuan tanah) dan siapa-siapa (keret-keret apa)
yang datang
kemudian. Meskipun Kamma, membagi lapisan sosial dalam kehidupan orang Biak ke dalam
tiga lapisan, yakni lapisan pertama, keret
pemilik kampung, lapisan kedua, adalah pendatang yang datang bergabung dengan pemilik kampung serta lapisan ketiga, adalah budak yang dibawa ke kampung (Kamma, 1954:13). Namun demikian, khusus pada lapisan ketiga, yakni kaum budak, dewasa ini sudah tidak terlihat lagi. Ada kemungkinan mereka sudah teradopsi ke dalam keret-keret pendiri kampung ataupun keret-keret pendatang di kampung tersebut.
5. Bahasa Daerah pulau Biak, Supiori dan pulau-pulau kecil lainnya yang di zaman pemerintahan Belanda dikenal dengan sebutan Schouten Eilanden
yang terletak di sebelah utara Geelvink Bay (Teluk
Cenderawasih) menggunakan
satu bahasa yakni bahasa Biak.
Meskipun demikian dalam bahasa Biak
206
terdapat sekitar sepuluh
55
dialek . Dialek yang cukup banyak ini tidak menjadi penghalang orang Biak untuk dapat saling mengerti bahasa (berkomunikasi) di kalangan orang Biak baik di Pulau Biak, Supiori, Numfor, Padaido, dan pulau-pulau lainnya.
Ini tentunya berbeda dengan Pulau Yapen
(Serui) yang menurut Summer Institute of Linguistik (SIL) tahun 2012, di sana terdapat sekitar 13 bahasa daerah. Bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang termasuk daam keluarga Bahasa Austronesia (Muller, 1876-1888; Wurm & Hattori, 1982 dalam Mansoben, 1995:271) dan termasuk dalam subgroup South Halmahera-West New Guinea (Blust, 1978 dalam Mansoben, 1995). Bahasa Biak adalah bahasa yang paling luas wilayah persebarannya
di
seluruh
Papua,
hal
ini
bisa
terlihat
dari
persebarannya mulai dari seluruh Pulau Biak, Supiori, Numfor, dan sejumlah tempat di wilayah
Yapen, terus ke wilayah Barat
yakni
Manokwari, Wandamen, hingga ke daerah Kepulauan Raja Ampat.
6. Mata pencaharian Orang Biak di Kabupaten Supiori yang hidup di daerah perkampungan pada umumnya hidup dari bercocok tanam dan menangkap ikan. Bercocok tanam di ladang dilakukan oleh sebagian besar penduduk di wilayah tersebut. Demikian pula menangkap ikan dilakukan juga oleh sebagian besar masyarakat yang hidup di kampung-kampung Supiori, akan tetapi aktivitas menangkap ikan
55)
Adapun kesepuluh dialek tersebut adalah, dialek Samber, Wadibu, Sorido, Manwor, Sowek, Sopen, Wombonda atau Sawias, Umbor, Numfor, dan Mokmer (Steinhauer 1985:464,483)
207
terutama ditekuni oleh masyarakat yang hidup di Kampung Rayori 56
(Sowek), Supiori Selatan . Pada umumnya penduduk yang melakukan aktivitas berladang sebagai
mata
pencaharian
utama
juga
melakukan
aktivitas
menangkap ikan sebagai mata pencaharian tambahan. Pekerjaan serabutan seperti ini dilakukan oleh masyarakat di kampung-kampung Supiori, karena pada umumnya dalam masyarakat belum ada spesialisasi kerja atau belum adanya pembagian kerja yang tegas. Hasil yang mereka peroleh juga lebih banyak untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, atau dikenal dalam ilmu antropologi sebagai ekonomi subsisten. Model ekonomi seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat
sederhana. Erich Wolf dalam
bukunya Petani Suatu Tinjauan Antropologi, menyatakan bahwa tipe masyarakat yang melakukan aktifitas bercocok-tanam (pertanian) dan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bukan 57
untuk mengejar keuntungan, disebut dengan istilah peasant . Mata pencaharian lain yang juga cukup penting di masa lampau adalah perdagangan. Barang yang diperdagangkan ketika itu adalah hasil laut, piring, budak, dan alat-alat kerja yang terbuat dari besi seperti, parang dan tombak. Perlu diketahui, kepandaian besi sudah dikenal orang Biak melalui penduduk Maluku jauh sebelum orang Maluku jauh sebelum orang Eropa pertama datang di daerah ini pada
56)
Lihat Mansoben, 1995:276 57)
Lawan dari peasant adalah farmer, yakni petani yang menggunakan hasil pertaniannya untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya (maksimalisasi).
208
awal abad ke-16 sehingga peralatan kerja tersebut merupakan produksi masyarakat. (Kamma & Kooijman, 1974). Adapun sistem perdagangan yang dilakukan pada waktu lalu adalah dengan pola tukar menukar yang dalam bahasa Biak disebut dengan istilah Fyarobek. Dalam pertukaran tradisional berupa barter (fyarobek) seperti ini orang Biak telah menciptakan institusi yang disebut, manibob atau sistem rekanan dagang diberbagai daerah baik di Teluk Cenderawasih maupun di daerah pesisir kepala Burung sampai ke Kepulauan Raja Ampat. Lebih jauh dalam kehidupan orang Biak, baik yang hidup di Kabupaten Biak-Numfor maupun di Kabupaten Supiori secara tradisional mengenal sebutan “mob” yakni tempat-tempat atau lokasilokasi berdasarkan jenis-jenis tumbuhan penting yang berkaitan dengan kehidupan mereka, seperti, sagu), mob beren/rofum
mob baryam (tempat/dusun
(tempat/dusun pinang), mob japan
(tempat/kebun keladi), mob srai (tempat/kebun kelapa), mob kuker (tempat gayang), mob kawir (tempat buah merah), mob wur (tempat sukun) dan lain-lain.
Sedangkan tempat untuk mencari binatang
seperti, babi (randip/korai), kus-kus (rambab), tikus tanah (karausop), ayam hutan (manggiryoi) dan lain-lain itu disebut sup (hutan).
C. Ekologi Habitat Aibon Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
209
Secara umum pada daerah Indo Pacific, pola pengelompok an hutan mangrove memperlihatkan kesamaan, yaitu jenis Avicennia spp. terdapat
pada bagian paling luar, kemudian berturut-turut ke
arah darat adalah Rhizophora spp., Bruguiera spp. dan akhirnya adalah Ceriops spp. Namun demikian terdapat banyak variasi komposisi jenis, kerapatan, sebaran dan dominasi baik pada setiap kelompok maupun antar antar kelompok komunitas pada setiap zonasi mangrove. Nybakken (1988), menyatakan bahwa tidak ada bentuk pengelompokkan komunitas ataupun zonasi mangrove yang berlaku secara universal. Selalu ada perbedaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekhasan pengelompokkan terutama keanekaragaman jenis hanya berlaku setempat, tidak dapat diterapkan pada tempat lain. Komposisi, kerapatan, frekuensi dan dominasi jenis mangrove serta pola pengelompokkannnya banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti tekstur tanah, salinitas dan fisiografi dimana satu dengan yang lain sering berinteraksi membentuk lingkungan vegetasi mangrove. Tipe hutan mangrove di Kampung Biniki menurut Lugo dan Snedaker (1974), merupakan tipe hutan tepi sungai (riverin forest) dengan ciri perkembangan tegakan mangrove di kiri-kanan sungai, sehingga pengaruh sungai sangat besar terhadap pengelompokkan komunitas vegetasi mangrove. Pengaruh sungai tersebut berupa suplai bahan organik dan anorganik sehingga turut mempengaruhi sebaran jenis dan variasi jenis vegetasi mangrove, terutama terhadap keragaman jenis vegetasi mangrove serta zonasi vegetasi di hutan mangrove tersebut.
210
Aibon atau pohon buah aibon di Kabupaten Supiori umumnya tumbuh secara alami pada hutan mangrove baik hutan mangrove primer maupun sekunder.
2. Faktor Fisiografis
Topografi
pantai
merupakan
faktor
penting
yang
mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar pula hutan mangrove yang akan tumbuh. Faktor fisiografis yaitu ketinggian tempat dan kelerengan (topografi) pada habitat aibon di Kampung Biniki disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat aibon di Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan Habitat
Ketinggian tempat (m) dpl
Topografi/kelerengan (%)
1. 2. 3. 4. 5.
2 3 5 0 5
0 0 2 0 2
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Aibon pada Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan, tumbuh baik pada kelerangan 0–2%. Kisaran kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif datar. Lokasi tersebut umumnya terdapat pada pinggiran pantai (batas pasang tertinggi) dan hutan mangrove. Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan pohon Aibon. Dari hasil pengamatan
kualitas
pertumbuhan
211
pohon
aibon
pada
hutan
mangrove, umumnya sangat baik dan memiliki jumlah anakan yang banyak yang tumbuh secara alami yang berasal dari buah masak yang gugur yaitu 50-300 anakan per pohon. Ketinggian tempat habitat pohon aibon di Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan adalah 0–5 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka pohon aibon digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran rendah khususnya untuk tipe ekosistem hutan mangrove yang sangat dipengaruhi oleh faktor edafis.
2. Suhu Udara dan Kelembaban Menurut Hutching dan Saenger (1987) dalam Kusmana (2002), kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mangrove yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20 °C, Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa tumbuh baik pada suhu 26-28 °C, Bruguiera spp. tumbuh baik pada suhu 27 °C, dan Xylocarpus spp. tumbuh baik pada kisaran suhu antara
26-28 °C. Suhu dan kelembaban serta pengamatan
penutupan tajuk (persen naungan) pada habitat disajikan pada Tabel 39.
212
pohon aibon
Tabel 39. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat pohon aibon di Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan Habitat
Suhu (Cº)
Kelembaban (%)
1
28
92
Naungan (%) 80
2
29
83
75
3
28
80
82
4
29
87
72
5
31
85
65
6
30
60
45
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012
Pohon aibon tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan ringan, sedang sampai tinggi (45–82%) dengan suhu optimum berkisar antara 28–31ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 60–92%. Adanya kisaran demikian disebabkan karena pohon aibon di Kampung Biniki tumbuh secara alami pada hutan mangrove primer maupun sekunder, sehingga kelembaban udara dan suhu masih sangat dipengaruhi oleh angin laut.
3. Keadaan Tanah Tanah hutan mangrove di Kampung Biniki dibentuk oleh akomodasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi daerah hulu sungai. Mangrove di kawasan ini umumnya tumbuh pada tanah berlumpur, namun dapat juga tumbuh pada tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah berkarang. Hutan mangrove tersebut berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, delta, dan lain-lain serta faktor lingkungan yang mendukung. Faktor lingkungan yang paling berperan
213
dalam pertumbuhan mangove adalah tipe tanah, salinitas, draenase, dan arus. Pohon aibon umumnya tumbuh pada habitat tanah, tanah tergenang, tanah berlumpur, tanah pasir dan pasir, dengan keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang ( ± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), dengan variasi habitat tanah, tanah berpasir, tanah berlumpur dangkal, sedang dan dalam. Habitat demikian umumnya terdapat pada daerah pesisir pantai, hutan pantai dan hutan mangrove. Habitat pohon aibon dengan kedalaman solum yang tipis (<10 cm atau ± 10 cm), biasanya terdapat pada garis pantai atau pasang tertinggi, sedangkan habitat pohon aibon dengan kedalaman solum sedang (± 20 cm) sampai dalam (≥ 30 cm), biasanya terdapat pada hutan mangrove baik primer maupun sekunder
atau tepian
sungai atau muara-muara sungai yang merupakan daerah dengan arus sungai yang rendah. Hasil analisis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 40.
214
Tabel 40.
Kesuburan tanah pada habitat aibon di Kampung Biniki Distrik Supiori Selatan
Parameter
Nilai
Uji
Kandungan
Lempung
Satuan
57,75
%
Debu
36
%
Pasir
48,5
%
DHL
4,21
mS
Salinitas tanah
16
ppt
Salinitas air
23
ppt
N
0,10
%
P
18,42
Ppm
K
0,10
%
Mg
0,12
%
pH
5,62
%
C
0,44
-
Ca
1,02
-
Na
0,48
-
C/N ratio
7,62
-
Bahan Organik
9,58
%
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Tanah Fakultas Pertanian UGM Tahun 2012
Tanah pada habitat aibon bersifat agak masam (pH 5,62), N tersedia rendah, P tersedia sedang, Mg tersedia sangat rendah, bahan organik tinggi, C/N ratio
rendah dan K tersedia rendah.
Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada habitat aibon di Kampung Biniki tergolong jenis tanah marginal dengan tingkat kesuburan sangat rendah.
215
Persentase pasir cenderung semakin menurun ke arah darat, sedangkan persentase lempung dan debu cenderung semakin meningkat ke arah darat. Tekstur tanah erat hubungannya dengan aerasi, drainase dan aktifitas mikroorganisme tanah. Tekstur tanah yang mempunyai kandungan pasir tinggi relatif mempunyai aerasi dan drainase yang baik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah yang bersifat aerob. Nilai pH tanah dan air akan
berbeda disebabkan tingkat
kerapatan vegetasi yang tumbuh, jika kerapatan vegetasi rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Menurut Arief (2007), nilai pH tanah di bawah tegakan mangrove berkisar 4.6-6.5. Menurut Poedjirahajoe (1995) bahwa perakaran mangrove mempengaruhi peningkatan
ketebalan
lumpur,
BO,
Nitrogen
(total),
Phospat
(tersedia), Kalium (tersedia) dan suhu. Menurut Arksonkoe (1993), tumbuhan mangrove akan tumbuh dengan baik di daerah estuaria dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppt (part per thousand). Pada areal penelitian, nilai salinitas tanah 16 ppt, nilai ini cukup rendah akibat adanya pengaruh air sungai yang sering menggenangi areal penelitian, sedangkan nilai salinitas air berkisar antara 23 ppt, menunjukkan penggenangan air laut yang cukup lama.
216
nilai yang tinggi karena
D. Potensi Tegakan dan Buah 1. Potensi Tegakan Menurut Ditjen Intag Dephut (1996) Luas hutan mangrove di Papua 1.350.600 ha yang tersebar pada seluruh pantai pesisir Pulau Papua atau sekitar 38,23% dari hutan mangrove Indonesia dengan luas
3.533.000 ha.
Yulianti (2004)
dalam
Sarungallo (2009)
melaporkan bahwa potensi hutan mangrove di Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori seluas ±120 ha. Meskipun masyarakat di Supiori telah lama memanfaatkan buah aibon sebagai pangan alternatif di Kabupaten Supiori namun masyarakat belum melakukan kegiatan budidaya menanam pohon aibon. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih sangat tergantung pada buah-buahan hutan lainnya yang juga merupakan bahan makanan lainnya yang berasal dari hutan seperti buah matoa, langsat dan kaum. Disamping sagu (Metroxylon sago) dan hasil kebun lainnya seperti ketela pohon /kasbi (Manihot esculenta), ubi jalar/batatas sagittifolium)
(Ipomoea dan
batatas),
uwi/bete
talas/keladi
(Colocasia
(Xanthosoma
esculenta).
Adanya
ketergantungan masyarakat terhadap beras, sagu dan hasil kebun lainnya membuat masyarakat tidak melakukan kegiatan penanaman jenis pohon aibon tersebut. Hal lainnya yang cukup mempengaruhi animo masyarakat untuk tidak melakukan penanaman buah aibon adalah
masyarakat
menganggap
bahwa
buah
aibon
hanya
dikonsumsi atau dimakan oleh masyarakan atau orang Biak di Supiori saja, sehingga mereka merasa bahwa buah ini kurang terkenal dan belum ada prospeknya baik pemanfaatannya maupun pemasarannya
217
sehingga mereka merasa tidak perlu untuk menanam pohon aibon tersebut. Namun berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa buah aibon selain dikonsumsi oleh masyarakat atau orang Biak di Kabupaten Supiori, buah aibon juga ternyata dikonsumsi oleh masyarakat di Pulau Rumberpon Kabupaten Teluk Wondama.
2. Potensi Buah Pohon aibon yang telah mencapai masa berbuah, biasanya berbuah berdasarkan musimnya sepanjang setahun.
Pohon aibon
dapat berbuah 3 sampai 4 kali dalam setahun, dengan jangka waktu berbunga sampai waktu panen selama 3-4 bulan, sehingga buah ini selalu tersedia sepanjang tahun. Secara umum pohon aibon mulai berbuah secara alami pada umur 2,5-4 tahun. Yulianti (2004) dalam Sarungallo (2009) menyatakan bahwa potensi buah aibon di Supiori Selatan sebesar 6.228,8 kg/ha. Walaupun demikian pemanfaatan buah aibon sebagai bahan pangan oleh masyarakat di Kabupaten Supiori belum populer, karena kurangnya informasi mengenai pemanfaatan maupun proses pengolahannya. Hasil pengamatan terhadap pohon aibon yang berbuah dan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa pohon aibon telah berbuah pada tingkat pancang dan potensi buah aibon per pohon sangat bervariasi menurut umur. Namun secara umum potensi buah kaum tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan menghasilkan 10–20 ember per pohon untuk sekali panen (5-10 karung), hal ini disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, sekitar 1–2 buah per tangkai dengan jumlah tangkai per pohon 40-100 tangkai, karakter
218
buah aibon yang umumnya berdiameter 1-2 cm dengan panjang 10-25 cm menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
E. Kandungan Gizi Aibon Kandungan gizi aibon secara lengkap disajikan pada Tabel 41. Perbandingan kandungan gizi aibon dengan beberapa jenis makanan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 41. Kandungan gizi aibon
Macam Analisa
Hasil Analisis
Rata-Rata
Ul1
Ul2
Kadar Air (%)
73,7865
74,2153
74,00
Kadar Abu (%)
0,3672
0,3554
0,36
Kadar Lemak (%)
1.3284
1,2146
1,27
Protein Total (%)
1,0035
1,6721
1,34
Serat Kasar (%)
0,7438
0,7562
0,75
Karbohidrat per 100 gr
88,6436
90,5582
89,60
Kalori (kal/100 gr)
374,4362
370,5824
372,51
Sumber : Data primer hasil analisis Lab. Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2012
Tabel 42. Perbandingan kandungan gizi aibon dengan beberapa jenis bahan makanan Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalori
(%)
(%)
(%)
(gr)
Beras
8,9
2,00
78,9
360
Jagung
9,4
4,20
63,6
307
Sagu basah
0,45
0,63
56,22
232,31
Buah
219
Sagu kering
0,46
0,73
84,89
348,25
Aibon
1,34
1,27
89,60
372,51
Sumber :
Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2012 dan The Indonesian Commodity System, IPB Tahun 2006
Secara umum kandungan karbohidrat dan kalori pada aibon lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis bahan makanan lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara umum. Kadar
amilosa
pati
aibon
paling
tinggi
(32,35%)
jika
dibandingkan dengan tapioka (14,0%) dan maizena (27,0%). Hal ini menunjukkan
bahwa
pati
aibon
cenderung
kurang
lengket
dibandingkan tapioka dan maizena, karena sifat kelengketannya lebih ditentukan oleh kandungan amilopektin. Untuk itu pati aibon tidak cocok diaplikasikan pada industri yang membutuhkan pati dengan kadar amilopektin tinggi terutama untuk industri perekat, sebaliknya lebih cocok diaplikasikan pada industri yang membutuhkan pati dengan kadar amilosa tinggi seperti industri kertas dan tekstil (Sivak & Preiss, 1998 dalam Sarungallo, 2009).
220
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 44. Buah Aibon yang telah diolah dan dikeringkan
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 45. Tepung hasil olahan buah aibon
221
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 46. Pemanfaatan tepung aibon sebagai sinole atau nasi aibon
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Gambar 47. Pemanfaatan tepung aibon sebagai kue cake
222
F. Etnobotani Aibon Dalam Budaya Suku Biak Numfor Buah aibon adalah jenis buah yang dikomsumsi (dimakan) oleh masyarakat Biak di Kabupaten Supiori dan masyarakat pendatang yang telah lama berdomisili di daerah tersebut. Masyarakat telah memanfaatkan buah tersebut secara turun temurun sejak zaman dahulu (pada saat pertama nenek moyang mereka mengenal buah aibon tersebut) hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang dapat dengan baik dan tepat menjelaskan sejak kapan atau kapan orang Supiori pertama kali mengkonsumsi jenis buah aibon tersebut. Namun secara budaya buah aibon memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya
etnis Biak di
Kabupaten Supiori. Buah aibon pada Perang Dunia Ke II merupakan sajian yang paling istimewa bagi masyarakat Biak Numfor, hal ini dikarenakan pada saat Perang Dunia ke II tersebut, terjadi kelaparan besar yang melanda seluruh wilayah Biak Numfor pada saat itu. Masyarakat pada saat itu memanfaatkan buah aibon sebagai pangan alternatif dalam mempertahankan kehidupan mereka. Bahkan berdasarkan informasi dari
masyarakat
(wawancara),
ternyata
Tentara
Jepang
juga
memanfaatkan buah aibon tersebut sebagai pangan alternatif untuk mempertahankan
kehidupan
mereka.
Akibatnya
sering
terjadi
bentrokan antara masyarakat lokal Biak di Kabupaten Supiori dan Tentara Jepang akibat perebutan buah aibon tersebut. Proses pengolahan buah aibon ini di mana setelah buah yang jatuh dipungut, kemudian dimasak dengan kulit, lalu kulitnya dikupas yang umumnya menggunakan kulit kerang yang dalam bahasa Biak
223
58
disebut isei . Tahap berikutnya buah yang sudah dikuliti direndam selama kira-kira 12 jam, kemudian direbus lagi dan dijemur sampai kering. Bahan kering tersebut kemudian ditumbuk atau diperas hingga hancur dan siap dikonsumsi. Buah aibon ini bisa diolah menjadi bubur atau nasi (sinole) bahkan dewasa ini masyarakat sudah dapat mengolah buah ini menjadi cake (kue). Untuk membuat cake (kue), tepung dari buah aibon ini dicampur dengan tepung kanji ataupun tepung sagu. Alasan tepung aibon dicampur dengan tepung kanji atau tepung sagu adalah untuk melekatkan tepung aibon yang berserat banyak. Selanjutnya proses pembuatan cake (kue) sama dengan membuat cake (kue) yang lazim pada pembuatan cake dengan menggunakan tepung.
G. Konservasi Tradisional Pohon aibon adalah bagian dari jenis pohon komunitas mangrove yang tumbuh secara alamiah di pinggiran pantai berawa dan berair payau. Tanaman ini memiliki buah yang panjangnya sekitar 15-25 cm, dan berdiameter 1,5-2 cm. Kampung
Ramardori
Supiori
Orang Biak yang hidup di
Selatan,
Kabupaten
Supiori
memanfaatkan buah aibon sebagai salah satu makanan alternatif, terutama ketika wilayah ini berada dalam situasi krisis pangan. Bukan hanya ketika perang dunia kedua saja buah aibon ini penting, buah ini juga dimakan ketika kebun yang diusahakan belum menghasilkan (belum dipanen). Masyarakat
Biak
di
Kabupaten
Supiori
telah
lama
memanfaatkan buah aibon dalam kehidupan budaya dan keseharian 58)
Menurut Bapak Maikel Wanma bahwa Kulit kerang jenis ini dia ambil di daerah Numfor dan Pulau Yapen.
224
mereka. Saat ini masyarakat belum secara sadar melakukan konservasi tradisional terhadap jenis tersebut. Sehingga proses regenerasi aibon pada kawasan hutan mangrove di daerah tersebut masih secara alami. Namun dengan adanya kegiatan Kebun Benih Rakyat (KBR) dari BP DAS Mamberamo melalui instansi teknis Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Supiori yang bertujuan untuk mempercepat rehabilitasi lingkungan serta memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat, maka masyarakat telah melakukan kegiatan rehabilitasi lahan berupa penanaman hutan mangrove dengan jenis aibon. H. Status Konservasi Aibon adalah salah satu jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh pada hutan mangrove. Jenis tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan asli (native species) di Tanah Papua dan Indonesia. Jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai jenis yang terancam punah.
I. Prospek Pengembangan Aibon sangat potensial untuk dikembangkan di Tanah Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe mangrove. Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk perkebunan atau kebun koleksi sangat mudah karena jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
225
Gambar 48. Peta penyebaran aibon (Bruguiera gymnorhiza) di Tanah Papua 226
PENUTUP Papua dengan keanekaragaman jenis suku 271 suku dan zona-zona vegetasi terlengkap di dunia memiliki banyak jenis vegetasi yang secara budaya buahnya telah lama dimanfaatkan oleh suku-suku tersebut sebagai bahan pangan tradisional. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi terhadap faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim. Setiap suku umumnya memiliki pemanfaatan yang berbeda-beda untuk tumbuh-tumbuhan hutan tersebut berdasarkan zona vegetasi dan kehadiran vegetasi tersebut pada lokasi tempat mereka lama bermukim. Berdasarkan analisis kandungan zat gizi untuk berbagai jenis pangan tidak ada satu jenis panganpun yang mengandung zat gizi yang lengkap, yang mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan oleh manusia. Satu makanan mungkin kaya akan zat gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal seseorang untuk dapat hidup sehat paling tidak memerlukan 40 zat gizi yang harus diperoleh dari makanan. Untuk hidup sehat, orang perlu makan makanan yang beragam (diversified), termasuk pangan pokok yang tidak harus nasi. Secara
teknis, pangan
pokok
lokal
tersebut dapat
dikembangkan menjadi produk pangan unggulan. Dengan rekayasa teknologi proses pangan dapat dilakukan perbaikan mutu produk pangan yang meliputi nilai gizi, organoleptik, 227
keamanan, kegunaan, keawetan, kepraktisan. Dengan kemajuan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, maka produk olahan pangan ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern dengan kriteria praktis, menyehatkan dan terjangkau. Pemanfaatan buah-buahan dan biji-bijian hutan sebagai bahan pangan oleh setiap etnik di Papua sangat berbeda satu dengan yang lainnya, baik spesies, bagian yang dimanfaatkan maupun cara memanfaatkan buah-buahan dan biji-bijian hutan tersebut. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan latar belakang sosiokultur dan ekosistem lingkungan masing-masing daerah. Keanekaragaman buah-buhan dan biji-bijian hutan tersebut perlu untuk di data dalam bentuk suatu data base dan kemudian diberikan ranking untuk prioritas pengembangannya. Hal ini dimaksudkan untuk tujuan program ketahanan pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan gizi dan vitamin nabati di Tanah Papua secara khusus dan Indonesia secara umum Sangat diperlukan adanya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah baik provinsi maupun kabupaten di Tanah Papua dalam hal pengembangan jenis-jenis buah-buahan hutan sebagai bahan pangan melalui program pengembangan yang tepat. Kegiatan pengembangan yang berhasil, sudah tentu akan meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
lokal
di
sekitar
kawasan hutan dan meningkatkan ketahanan pangan secara nasional. 228
PUSTAKA ACUAN
Angraeni, D. & Y. Watopa. 2005. Kajian Singkat Konservasi dan Ekonomi (RACE): Suatu Usaha untuk Memadukan Kepentingan Konservasi dan Pembangunan Ekonomi di Tanah Papua (Laporan Akhir). Conservation International. Jayapura. Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Arief, A. 2007. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Arksonkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok, Thailand. Boelaars, Jan. 1992. Manusia Irian (Dahulu-Sekarang-Masa Depan). PT Gramedia. Jakarta. Barber, C.V., Suraya & Agus, P. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. (Penerjemah M.Malik) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Broekhuijse, J.Th. 1967. De Wiligiman-Dani : Een CultureelAntropologische Studie over Religie en Oorlogvoering in de Baliem Vallei : Utrecht :Gianotten (Dalam Mansoben (1995) Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya) Camps, J.A.E. 1972. (2) : 83-93
Book Review of the Dugum Dani. IBIJD
Ember, C.R. & M. Ember. 1980. Konsep Kebudayaan. Dalam T. O. Ihromi (Editor). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia. Jakarta. 229
Ewusie, J. Y. Ekologi Tropika. 1990. ITB. Bandung. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah (Edisi Baru). Akademika Pressindo. Jakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta: Litbang. Departemen Kehutanan. Heider, K. 1970. The Dugum Dani : A Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. Chicago : Aldane. (Dalam Mansoben (1995), Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya). Heider, K. 1979. Grand Valley Dan : Peaceful Warriors. New York: Holt Rinehart & Winston. Jebb, M. 1991. A Field Guide to Pandanus in New Guinea, The Bismarck Archipelago and The Solomon Island. Christensen Research Institute. Madang, Papua New Guinea John, R. 1997. Common Forest Trees of Irian Jaya Papua – Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris. Kamma, F.C. 1972. KORERI, Mesianic Movements In The Biak-Numfor Culture Area, The Hague-Martinus Nijhoff. Kartawinata, K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora dan Ekosistem di Indonesia. Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture X, 23 Agustus 2010, Jakarta. (Tidak diterbitkan) Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
dan
Kusmana, C. 2002. Ekologi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. 230
Kusmana, C dan Agus Hikmat. 2005. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Tidak dipublikasikan. Lekitoo, Hanro Y. 1997. The People of Saba –Warwe (SAWA) in Biak Irian Jaya. Dalam buku Antropologi Terapan di Irian Jaya I (Michael C. Howard and Naffi Sanggenafa, editors). Lekitoo, K., O. P. M.Matani., H. Remetwa & C. D. Heatubun. 2008. Buah-buah yang Dapat di Makan di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja - Papua Barat. Balai Penelitian Kehutanan. Manokwari Leksono A. S., 2007. Ekologi. Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif. Bayumedia Publishing. Malang
Lugo, A.E., & S.C. Snedaker. 1974. The Ecology of Mangroves. Annual revieuw of ecology & systematic, vol. 5 : 39-64. Mansoben J. R.. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI-RUL, Jakarta. Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Muller, F. 1876-88. Grundrisse der Sprachwissenschaft (4 vol). Vienna : Holder.
Murdock, G.P. 1949. Social Structure, New York : MacMillan Nugroho, A. & Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Tangerang.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta.
231
Peters, H.L. 1975. Some Observations on the social and Religious Life of a Dani Group. IBIJD 4 (2) Petocz, R. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. PT. Gramedia. Jakarta.
Poedjirahajoe, E. 1995. Peranan Akar Bakau Sebagai Penyangga Kehidupan Biota Laut di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Pemalang. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Powell, H.A. 1960. Competitive Leadership in Trobriand Political Organization. GRAI. 90 : 131-132. Prattise, J.I. Powell, J. M. 1976. Ethnobotany. In K. Paijmans (Editor). New Guinea Vegetation: 106-170. The Australian National University Press. Canberra. Pouwer, J. 1966. Toward a Configurational Approach to Society and Culture in New Guinea. JPS. 75 : 267-286. Primack, R. B. 1998. Biologi Konservasi. Obor Indonesia. Jakarta.
Penerbit Yayasan
Rivai, M. A. 2004. Kamus Biologi. Balai Pustaka. Jakarta
Sarungallo, Z. L.., Budi Santoso dan Eduard Frasisco Tethool. 2010. Sifat Fisikokimia dan Fungsional Pati Buah Aibon (Brugueira gymnorhiza L.). Jurnal Natur Indonesia 12(2), April 2010: 156-162 Sirami E.V., K. Lekitoo dan A. O Wanma. 2009. Inventarisasi Hutan Pada Distrik Koweda Kabupaten Waropen. (Tidak diterbitkan). 232
Steenis-kruseman M.J van & C.G.G.J van Steenis,, 1950. Malaysian Plant Collectors nd Collections, being a Cyclopedia of Botanical Exploration in Malaysia and a Guide to the Concerned Literature up to the year 1950. Hal. i-clii & 1-639 dalam CGGJ van Steenis (Ed.), Flora Malesiana, I, 19. Noordhoff-Kolff NV, Djakarta Suhardi, S. Sabarnurdin, S. A. Sudjoko, Dwidjono H.D, Minarningsih dan A. Widodo. 2006. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Kanisius. Yogyakarta.
233
Tentang Penulis Krisma Lekitoo – Lahir pada tanggal 31 Juli 1976 di Kampung Miei Kabupaten Teluk Wondama. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Univ. Cenderawasih Manokwari tahun 1998 dan melanjutkan Pasca Sarjana dengan gelar Master of Science (M.Sc.) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2011 dan merupakan lulusan terbaik program master bidang kehutanan. Mendapat penghargaan dari Menteri Kehutanan sebagai peneliti muda terbaik pada bidang kehutanan di Indonesia tahun 2013. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan jabatan fungsional Peneliti Muda. Pernah mengikuti Diklat Pengenalan Jenis Pohon Hutan Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan di Bogor tahun 2003. Aktif mengikuti pertemuan ilmiah, termasuk pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia. Publikasi yang dihasilkan didominasi pada bidang taksonomi dan konservasi sebagai minat utama. Buku yang pernah ditulis adalah Keanekaragaman Flora Taman Wisata Alam Gunung Meja – Papua Barat (Jenis-jenis pohon-Bagian-1), Jenis Buah-buahan Hutan Yang Dapat Dimakan Pada Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari dan Re-Diversifikasi Pangan di Tanah Papua Bagian I serta pernah menjadi editor pada buku “Keanekaragaman Jenis Flora Taman Nasional Wasur Bagian I” Ezrom Batorinding – Lahir pada tanggal 12 November 1975 di Soroako, Luwu. Staf peneliti Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Lulusan S1 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari (2000), dan
234
melanjutkan Pasca Sarjana minat konservasi dengan gelar Master of Science (M.Sc.) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2011. Permenas Alexzander Dimomonmau – Lahir pada tanggal 03 Maret 1974 di Sarmi. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih (FapertaUncen) tahun 2000. Pernah bekerja sebagai Manajer Operasional pada IPK CV. Irman Jaya Martabe di Kecamatan Sarmi Kabupaten Jayapura tahun 2000 - 2001. Sejak tahun 2001 sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Lingkup Badan Litbang Kehutanan, dan ditempatkan pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, bekerja sebagai peneliti Bidang Konservasi Sumber Daya Hutan, aktif dalam kegiatan seminar dan melakukan penelitian terkait bidang kepakaran, yaitu Konservasi Satwa Liar dan Keanekaragaman Hayati. Kandidat Master of Science (MSc.) pada Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Wilson F. Rumbiak – Lahir pada tanggal 3 Oktober 1974 di Biak. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih (Faperta-Uncen) tahun 2000. Sejak tahun 2000 bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Bidang kepakaran penelitian adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) khususnya masoia, aktif dalam kegiatan seminar dan melakukan penelitian terkait bidang kepakaran. Kandidat Master of Science (MSc.) pada Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
235
Ir. Harisetijono.MSc – Lahir pada tanggal 29 Maret 1961 di Tulungagung. Pekerjaan : Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Riwayat Pekerjaan: Peneliti Agroforesry pada BPK Kupang 1986 – 1998, Kepala Seksi Perencanaan dan Program BPK Kupang 1998 – 2004, Kepala Sub Bagian Data dan Informasi Sekretariat Badan Litbang Kehutanan 2004 – 2009. Kepala Sub Bagian Perpustakaan, Desiminasi dan Publikasi Sekbadan Litbang kehutanan 2009 - 2012. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari 2012 - Juli 2014.
Hendrison Ondi – Lahir pada tanggal 1 September 1973 di Sentani. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih (Faperta-Uncen) tahun 2000 dan melanjutkan Pasca Sarjana minat Manajemen Agribisnis dengan gelar Magister Manajemen Agribisnis (MMA) pada Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang tahun 2009. Sejak tahun 2001 bekerja sebagai staff Dinas Kehutanan Kabupaten Biak Numfor, kemudian dimutasikan ke Kabupaten Supiori tahun 2004. Jabatan sekarang sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Supiori Provinsi Papua.
Charlie Danny Heatubun – Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Univ. Papua Manokwari. Lulus S1 Jurusan Kehutanan Faperta Univ. Cenderawasih Manokwari (1997), S2 (2006) dan S3 (2009) dan merupakan lulusan terbaik program doktor pada bidang Taksonomi Tumbuhan. Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.
236
Sejak tahun 2013 diangkat menjadi Guru Besar (Profesor) Bidang Taksonomi Hutan. Pernah mengikuti beberapa kursus dan pelatihan Sistematika Tumbuhan dan Manajemen Herbarium di dalam dan luar negeri termasuk visiting fellow ke beberapa herbarium dan kebun raya di Negara ASEAN, China, Australia dan Eropa. Aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah termasuk pertemuan rutin Flora Malesiana. Publikasi yang dihasilkan beberapa diantaranya dimuat dalam Peer Review jurnal nasional dan internasional. Telah menemukan dan memberi nama beberapa taksa baru tumbuhan, terutama pada suku palem-paleman (Arecaceae). Tergabung dalam beberapa organisasi profesi dalam dan luar negeri diantaranya Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan sebagai anggota aktif IUCN Species Survival Commite – Palm Specialist Group.
Hanro Yonathan Lekitoo – Lahir pada tanggal 07 Januari 1969 di Kampung Miei Kabupaten Teluk Wondama. Lulusan Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura tahun 1993 dan melanjutkan Pasca Sarjana dengan gelar Master of Humaniora (M. Hum.) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2003. Sejak 1996 mengajar di Jurusan Antropologi FISIP UNCEN. Pernah bekerja di World Vision International Indonesia – Jayapura tahun 1995. Saat ini penulis aktif sebagai pengajar, dan peneliti di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura. Kandidat Doktor (S3) pada Bidang Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
237
238