BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sebuah ikatan antara laki- laki dan perempuan
sebagai suami dan istri dalam membentuk rumah tangga yang harmonis dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU Nomor 1 Tahun 1974
pasal 1). Tujuan dari perkawinan salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunan, melalui proses kelahiran. Peningkatan jumlah kelahiran (fertilitas)
disebabkan meningkatnya jumlah perkawinan akibat tuntutan dari setiap pasangan untuk memiliki anak.
Jumlah kelahiran tidak akan menjadi masalah selama memiliki jumlah
anak yang dimiliki tidak melebih jumlah yang ditentukan dalam program
Keluarga Berencana (KB) yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Akan tetapi, jumlah anak yang dilahirkan dapat menjadi masalah ketika suatu
pasangan bercerai dan menikah lagi dengan orang lain. Perkawinan yang
dilakukan setelah perceraian pasti akan memberikan dampak, terutama berkaitan dengan keinginan pasangan untuk memperoleh anak lagi.
Perceraian terjadi karena suatu pasangan tidak ingin melanjutkan
hubungan pekawinannya. Seorang wanita yang bercerai untuk kemudian
melakukan perkawinan kembali dengan orang lain maka wanita tersebut akan
mendapat tuntutan untuk memiliki anak dari pasangan barunya. Peluang setiap wanita melahirkan anak lebih dari jumlah yang ditentukan pemerintah akan
semakin besar. Dalam sudut pandang demografi, kasus perceraian dapat meningkatkan fertilitas (Syarief, 2011).
Tren perceraian secara nasional di Indonesia terus meningkat.
Berdasarkan data Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama pada tahun 2010, dari 2 juta orang yang melakukan perkawinan setiap tahun se-Indonesia, ada
285.184 perkara berakhir dengan perceraian per tahun. Kejadian perceraian dapat dipicu oleh berbagai macam faktor, seperti usia kawin pertama, alasan ekonomi, alasan psikologis, pendidikan dan lain sebagainya.
1
Rata-rata usia kawin pertama seseorang dapat mencerminkan keadaan
sosial ekonomi seseorang. Seseorang yang memilih untuk melakukan perkawinan di usia muda disebabkan karena tuntutan ekonomi keluarga.
Seorang wanita yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah
ke bawah cenderung tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dan memilih untuk bekerja atau menikah (BPS, 2013).
Kecamatan Saptosari merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Gunungkidul yang memiliki angka cerai kawin cukup tinggi. Kondisi sumberdaya alam dan topografis di Kecamatan Saptosari, Kabupaten
Gunungkidul yang kurang mendukung, menyebabkan seseorang lebih memilih bekerja di tempat lain dengan merantau ke luar kota. Budaya merantau ini
banyak dilakukan oleh penduduk usia produktif dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Besarnya arus migrasi keluar juga
sering dikaitkan dengan permasalahan rumah tangga yang berujung pada rusaknya hubungan perkawinan. Pemicu kerusakan rumah tangga tersebut
seperti suami yang menikah lagi di perantauan maupun suami yang tidak pulang ke daerah asal. Tingginya kasus cerai kawin di Kecamatan Saptosari,
Kabupaten Gunungkidul ini pasti akan memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakatnya, salah satunya adalah kelahiran.
Penelitian dalam kasus ini didasari dengan asumsi bahwa kejadian
perceraian akan memicu terjadinya perkawinan selanjutnya. Perceraian yang
terjadi lebih dari satu kali pada seorang wanita akan menyebabkan perkawinan kedua, ketiga, dan seterusnya yang pada akhirnya akan meningkatkan kelahiran. Fenomena cerai kawin di suatu lingkup masyarakat mungkin hanya
disadari sebagai suatu yang lazim dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan
rumah tangga tanpa melihat dampak nyata dari fenomena tersebut. Atas dasar itulah peneliti mengambil judul “Studi Dinamika Cerai Kawin Terhadap Kelahiran Anak di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul”.
2
1.2. Rumusan Masalah Dinamika
cerai
kawin
merupakan
segala
proses
perubahan
karakteristik perceraian dan perkawinan kembali di suatu wilayah. Giolito
(2010) mengatakan bahwa dinamika dalam perkawinan dipengaruhi oleh
struktur populasi dan rata-rata usia kawin pertama bagi wanita di sutau wilayah. Pengaruh dari dinamika dalam perkawinan tersebut dapat berupa meningkatnya jumlah kelahiran dan berimbas pada meningkatnya populasi penduduk (Giolito, 2010).
Seperti halnya dinamika cerai kawin di Kecamatan Saptosari,
Kabupaten Gunungkidul. Dinamika cerai kawin yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor ini tentunya akan memberikan pengaruh pada tingkat
kelahiran anak. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang dapat dikaji di daerah penelitian adalah :
1. Bagaimana dinamika kasus cerai kawin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?
2. Bagaimana pengaruh cerai kawin terhadap fertilitas di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas
adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari dinamika kasus cerai kawin di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.
2. Mengetahui pengaruh cerai kawin terhadap fertilitas di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.
3
1.4. Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh melalui penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai karya penelitian ilmiah dalam memenuhi persyaratan akademik
dalam menyelesaikan program Sarjana S-1 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap penelitian-penelitian mengenai fertilitas maupun penelitian yang akan datang sebagai referensi guna meningkatkan pengetahuan dan pemikiran
mengenai pengaruh dinamika cerai kawin terhadap fertilitas bagi masyarakat luas. 1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Perceraian dan Perkawinan
Perkawinan merupakan faktor yang penting dalam menentukan
pola fertilitas di suatu wilayah (Uddin dan Hosain, 2013). Hal mendasar yang menjadi tolok ukur dari hubungan antara perkawinan dan
kelahiran adalah usia kawin pertama. Seorang wanita yang menikah pada usia muda memiliki waktu yang lebih banyak untuk memiliki
anak. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan fertilitas di suatu wilayah (Uddin dan Hosain, 2013).
Nag dan Singhal (2013) menyatakan bahwa usia kawin pertama
bagi seorang wanita sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi cenderung akan menunda usia kawin
pertamanya, sehingga dapat menekan tingkat kelahiran suatu wilayah. Dalam hal ini pendidikan memiliki pengaruh langsung dan signifikan
terhadap perkawinan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelahiran dan struktur penduduk (Giolito, 2010).
Usia kawin pertama, baik bagi wanita maupun laki-laki, selain
berpengaruh
terhadap
fertilitas
juga
dapat
berpengaruh
pada
ketidakstabilan dalam rumah tangga. Semakin muda usia seseorang 4
ketika menikah yang pertama kali, maka peluang untuk terjadi keretakan dalam rumah tangga akan semakin besar (Uddin dan Hosain,
2013). Ketidakstabilan dalam rumah tangga pada akhirnya dapat memicu terjadinya perceraian.
Perceraian dapat diartikan sebagai putusnya ikatan perkawinan
antara suami dan istri. Perceraian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu cerai hidup dan cerai mati. Cerai hidup terjadi karena pasangan
suami istri memilih untuk mengakhiri pernikahan dengan berbagai
macam alasan sedangkan cerai mati karena salah satu pasangan baik suami atau istri meninggal dunia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian menurut Amato dan
Previti (2003) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu gender atau jenis
kelamin, status sosial-ekonomi dan gaya hidup. Menurut Amato dan Previti (2003), perempuan merupakan pihak yang lebih banyak
menuntut perceraian daripada laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan
lebih banyak menggunakan perasaan dalam menjalani hubungan pernikahan. Faktor kenyamanan dalam menjalani hubungan pernikahan menjadi faktor yang sangat berpengaruh jika ditinjau dari segi gender. Karakter sosial-ekonomi, terutama bagi
wanita, memiliki
hubungan yang positif dengan peluang meningkatnya permasalahan
dalam rumah tangga (Uddin dan Hosain, 2013). Wanita yang memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi akan semakin sulit untuk membagi waktu dengan keluarga. Hal ini yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas hubungan dan komunikasi dalam rumah tangga.
Lebih jelas Amato dan Previti (2003) memaparkan beberapa
faktor yang menyebabkan terjadi perceraian antara lain adalah
ketidaksetiaan yang diikuti oleh ketidakcocokan, penggunaan obatobatan dan alkohol, perpisahan, masalah pribadi, jarangnya terjadi komunikasi antara suami dan istri serta kekerasan dalam rumah tangga.
Perkawinan kembali (remarriage) pada mayoritas survey
penelitian menyatakan bahwa kemungkinan perceraian sedikit lebih 5
besar dalam remarriage dibandingkan pernikahan pertama (Booth &
Edwards, 1992). Ini artinya bahwa setengah anak-anak dari orangtua
yang bercerai dan menikah kembali akan mengalami perceraian
orangtuanya untuk kedua kalinya. Meskipun resiko perceraian pada
pasangan menikah lagi lebih tinggi, namun banyak dari mereka yang pada akhirnya membangun hubungan perkawinan yang positif dan kuat terhadap diri mereka dan lingkungan sekitarnya. 1.5.2. Fertilitas
Fertilitas adalah faktor yang menyebabkan paling mendasar dalam
pertumbuhan penduduk. Faktor- faktor yang mempengaruhi fertilitas dibagi menjadi dua yaitu faktor demografi dan faktor non demografi. Faktor demografi antara lain adalah struktur umum, status perkawinan,
umur kawin pertama, paritas, distruksi perkawinan dan proposi yang kawin. Faktor non demografi antara lain kondisi ekonomi, pendidikan, perbaikan status wanita, urbanisasi dan industrialisasi. (Mantra, 1985).
Fertilitas merupakan salah satu faktor penyebab pertumbuhan
penduduk yang paling mendasar. Tingkat pertumbuhan yang tinggi
secara langsung menggambarkan semakin bertambahnya jumlah pertumbuhan penduduk. (Maryamah, 1986; Putri, 2000 ).
Davis dan Blake (1974) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas, mereka menyebutnya dengan “variabel antara”
(intermediate variables). Menurut Davis dan Blake (1974) ada 11
variabel antara yang mempengaruhi fertilitas, seperti sosial, ekonomi dan budaya yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse variables):
A. Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin: - Umur mulai hubungan kelamin
6
-Selibat
permanen:
proporsi
mengadakan hubungan kelamin
wanita
yang
tidak
pernah
- Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubungan kelamin:
a.Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
b.Bila kehidupan suami istri berakhir karena suami meninggal dunia
B. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin - Abstinensi sukarela
- Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
- Frekuensi hubungan seksual
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):
- Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
- Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi: a. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia b. Menggunakan cara-cara lain
- Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)
3. Faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)
- Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
- Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja
Freedman (1983) dalam teorinya juga membuat sebuah bagan
tentang faktor faktor penyebab fertilitas yang menghubungkan antara norma sosial dengan variabel antara yang dikemukakan oleh Davis dan
Blake (1974). Dengan bagan yang sedikit lebih rumit ini Freedman mencoba menjelaskan tentang bagaimana sistem norma keluarga dapat 7
mempengaruhi fertilitas. Menurut Freedman (1983), norma sosial merupakan faktor yang sangat dominan.
Gambar 1.1. Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas oleh Ronald Freedman
Skema diatas menunjukkan bahwa yang mempengaruhi variabel
antara ada beberapa faktor antara lain tingkat kematian dan kondisi sosial ekonomi.
Tingkat
kematian
pada
sebuah
rumah
tangga
sangat
mempengaruhi keputusan dalam memiliki keturunan, hal ini dikarenakan
kematian merupakan bagian dari penyusun norma ukuran keluarga. Struktur sosial ekonomi juga merupakan faktor yang mempengaruhi
variabel antara. Struktur sosial dan ekonomi memilki hubungan timbal balik dengan norma besar keluarga yang berpengaruh dengan norma
variabel antara, dengan kata lain fertilitas sendiri lebih di dominasi oleh
norma yang mendapat pengaruh dari lingkungan. Freedman (1983) juga mengatakan bahwa permasalahan umum yang timbul dalam masyarakat
akan membawa suatu dampak sosial. Penyelesaian suatu permasalahan cenderung dilakukan dengan cara normatif meliputi serangkaian aturan
bertingkah laku pada situasi tertentu. Pelanggaran terhadap norma sosial akan mendapat hukuman, dan sebaliknya.
8
1.5.3. Nilai Anak dalam Keluarga
Keinginan setiap keluarga dalam memiliki anak merupakan hal
yang wajar dari setiap pernikahan. Setiap orang memiliki pandangan
yang berbeda dalam memiliki anak seperti faktor pendidikan, pekerjaan,
kesehatan, kebudayaan. Di daerah pedesaan nilai anak masih cukup tinggi, mereka yang memiliki anak beranggapan bahwa anak merupakan sumber penghasilan dan jaminan di hari tua (Siregar, 2003).
Di negara berkembang terutama daerah pedesaan beban hidup
terasa lebih berat jika anak bersekolah, kecenderungan anak tidak sekolah dan banyak diantara mereka memilih untuk bekerja membantu
orangtua. Penelitian pada penduduk sekitar Yogyakarta menunjukkan
bahwa jumlah ideal memiliki anak adalah empat sampai lima orang. (Singarimbun, 1974). Persepsi semacam ini tidak akan banyak berubah pada
wanita
yang
telah
menikah
lebih
dari
sekali.
9
1.6. Penelitian Terdahulu
Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu Terkait Tema
Tahun Penelitian Paul Amato dan People’s Reasons for 2003 Denise Praviti Divorcing: Gender, Social Class, the Life Course and Adjustment Nama Peneliti
Judul Penelitian
Adam Isen dan Women’s Education and Betsey Family Behavior: Trends in Stevenson Marriage, Divorce and Fertility
Anu Nag dan Impact of Education and Praveen Singhal Age at Marriage on Fertility among Uttar Pradesh Migrants of
2012
2013
Hasil Penelitian
Alasan terjadi perceraian sebagian besar adalah karena ketidaksetiaan yang diikuti oleh ketidakcocokan, penggunaan obat-obatan dan alkohol, perpisahan, masalah pribadi, jarangnya terjadi komunikasi antara suami dan istri serta kekerasan dalam rumah tangga - Secara gender, perceraian lebih diinginkan 70 persen oleh wanita daripada laki-laki - Laki-laki dan perempuan yang diberikan pendidikan yang tinggi memiliki usia perkawinan yang panjang dan hanya sedikit yang berakhir dengan perceraian. Sebaliknya laki-laki dan perempuan dengan tingkat pendidikan rendah lebih rentan terjadi perceraian dalam perkawinan mereka - Saat ini, perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung menunda usia kawin pertama - Saat ini, tren dalam perkawinan mengalami pergeseran dari semula menikah, memiliki anak, bercerai dan menikah kembali menjadi terlebih dahulu memiliki anak, menikah, bercerai dan menjadi single parent atau tinggal bersama pasangan tanpa ikatan perkawinan sebelumnya akhirnya menikah kembali - Wanita memiliki kecenderungan untuk menikah di usia yang lebih muda daripada laki-laki - Usia kawin pertama memiliki hubungan negatif (berbanding
10
Ludhiana, Punjab, India
M. Seikh Giash Factors Affecting Marital Uddin dan Md. Instability and Mozaffar Hosain Its Impact on Fertility in Bangladesh
2013
terbalik) dengan fertilitas - Pendidikan pada wanita memiliki hubungan negatif dengan tingkat fertilitas. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, kelahiran anak semakin terbatas - Perkawinan pada usia remaja lebih rentan untuk terjadi perpisahan daripada perkawinan pada usia dewasa - Status sosial-ekonomi seorang wanita memiliki hubungan positif dengan ketidakstabilan rumah tangga. Semakin tinggi status sosial-ekonomi seorang wanita, kerentanan rumah tangga terhadap terjadinya permasalahan semakin besar - Usia kawin pertama dan status perkawinan seorang wanita memiliki pengaruh tidak langsung terhadap fertilitas
11
1.7. Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor
keluarga. Dari sebuah keluarga akan tercipta individu- individu baru yang
akan membuat laju pertumbuhan penduduk. Di Indonesia sendiri sedang ramai dibicarakan tentang penekanan laju pertumbuhan penduduk melalui
program Keluarga Berencana (KB) yang mana program tersebut diharapkan mampu berjalan sesuian dengan yang diharapkan.
Perceraian dalam sebuah keluarga tanpa disadari dapat merubah pola
pertumbuhan penduduk di Indonesia. Perceraian terjadi karena beberapa faktor. Dari perceraian secara sekilas akan mengurangi atau menghambat laju
pertumbuhan penduduk karena pasangan yang telah bercerai tidak memiliki
hak untuk menghasilkan keturunan, hal tersebut benar. Namun ketika pasangan yang telah bercerai tersebut melakukan perkawinan lagi dengan
orang lain dan memilki anak maka hal tersebut perlu dikaji dan diteliti. Dinamika cerai kawin dalam suatu wilayah meliputi usia kawin pertama,
alasan terjadi perceraian, lama bercerai, usia ketika menikah lagi dan alasan menikah lagi, pasti akan memberikan pengaruh terhadap fertilitas.
Variabel-variabel yang termasuk dalam dinamika cerai kawin dan
nilai anak dalam keluarga menjadi faktor-faktor yang penting bagi seorang
wanita apakah akan memiliki anak lagi atau tidak pada perkawinan selanjutnya. Usia pada seorang wanita sangat berpengaruh terhadap peluang untuk memiki anak, ketika seorang wanita yang bercerai dan menikah lagi
pada usia yang tidak produktif maka tidak akan mempengaruhi tingkat fertilitas didaerah tersebut namun berbeda jika sebaliknya pernikahan yang
kedua tersebut terjadi pada usia produktif memiliki keturunan lagi. Jumlah anak juga merupakan faktor dari seorang wanita dalam memutuskan ingin
memiliki anak lagi atau tidak dari suami barunya, ketika dipernikahan
sebelumnya telah memiliki anak yang cukup maka kemungkinan untuk memiliki anak lagi akan kecil, sebaliknya jika anak yang diinginkan masih kurang maka peluang memilki anak dari suami baru akan besar.
12
Melihat dari berbagai macam variabel tersebut maka wanita yang telah
menikah lagi dapat memutuskan tentang keinginan untuk memiliki keturunan, sehingga fenomena cerai kawin ini dapat berpengaruh terhadap fertilitas di suatu daerah.
Wanita bercerai
Menikah lagi
-Faktor ekonomi - Faktor sosial - Faktor psikologi
Tingka fertilitas
Punya anak
Tidak menikah lagi
Tidak ada fertilitas
Tidak memiliki anak
: Bukan Termasuk dalam Pembahasan
Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
13
1.8. Batasan Istilah
Cerai kawin adalah proses dimana seorang wanita yang telah bercerai melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki yang berbeda.
Dinamika cerai kawin merupakan segala proses perubahan dalam perceraian dan perkawinan di suatu wilayah, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Jumlah anak adalah total anak yang dilahirkan selama perkawinan.
Perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan atau ikatan suami istri di dalam rumah tangga dengan tidak melanjutkan hubungan keduanya dan disahkan oleh pemerintah.
Perkawinan adalah ikatan antara laki- laki dan perempuan sebagai suami dan istri yang sah dalam membentuk rumah tangga.
Usia kawin pertama adalah usia seorang wanita pada saat melakukan perkawinan yang pertama kali.
Usia menikah lagi adalah usia seorang wanita pada saat melakukan perkawinan setelah terjadi perceraian.
14