DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
ISSN-1411-0520
1
LAP. UTAMA
RASIONALISASI TAMAN NASIONAL BUKIT 30 INTRODUKSI
TN BUKIT 30 KELAHIRAN DI TENGAH KEHANCURAN
VOLUME III - NO: 11/OKTOBER 2000
AKTUAL
SK TAMAN NASIONAL BUKIT 12 & TEKANAN TIADA HENTI
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
2
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab Rudi Syaf & Yuyu Arlan Editor Erdi Taufik & Purwo Susanto Pelaksana Tim WARSI & Tim WWF AlihBahasa: Moh. Nur Anam Artistik Aulia Erlangga Distribusi Aswandi Argusyandra M.S.
Dari Redaksi idang pembaca, rasionalisasi taman nasional merupakan sebuah ikhtiar, menuju ke arah pengelolaan kawasan konservasi di masa depan, dengan pengawasan yang lebih optimal. Bentuk taman yang berkelok-kelok, menjari dan memiliki keliling (perimeter) yang sangat panjang —sehingga tidak rasional, hanya menyulitkan pengamanan dan, malah, memberi peluang untuk dieksploitasi secara berlebihan.
S
Begitulah gambaran Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan sekitarnya: contoh bentuk kawasan konservasi yang kurang rasional dan tidak kompak, dan menjadi topik utama liputan edisi ini. Fakta menunjukkan, kondisi sekeliling taman yang berstatus penyangga dan dilindungi, justru mengalami kehancuran yang luar biasa, karena kesalahan pengelolaan dan sulitnya melakukan pengamanan. Mengenai rasionalisasi yang mengarah ke luar taman, bukan perkara sulit, kata Prof Dr Herman Haeruman, asal ada argumen dan justifikasi untuk itu. Masalahnya, jika mengarah di luar taman, kewenangan berada di tangan pemerintah daerah. Tinggal menunggu kearifan para pejabat terkait memanfaatkan peluang itu, sebelum kawasan hutan tropis dataran rendah yang memiliki ekosistem terkaya untuk keragaman hayati, jadibengkalai. Di luar “bencana” yang terjadi di Bukit Tigapuluh sidang pembaca, ada secercah dahaga di Bukit Duabelas. Cagar biosfer yang diusulkan Gubernur Jambi tahun 1984 lalu, ditetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nurmahmudi Ismail, melalui Keputusan No. 258/Kpts-II/2000, 23 Agustus lalu, atau sehari sebelum departemen ini “dipangkas” menjadi Kantor Menteri Muda. Perubahan status ini juga memperluas kawasan konservasi: dari 26.800 ha menjadi 60.500 ha.
Foto Cover: Riza Marlon Alam Sumatera & Pembangunan adalah Buletin Intern yang dikelola oleh WARSI (Warung Informasi Konservasi) & WWF (World Wide Fund for Nature), Indonesia Project, ID 0117. Taman Nasional Bukit Tigapuluh STT: 2566/SK/DITJEN PPG/ STT/1999, Pertama kali terbit: Oktober 1998. Terbit triwulan. Alamat redaksi : Jl. Teuku Umar No.24 RT.09/RW03 P.O.BOX 28/BKO 37312, Jambi Telp : (0746) 21508 Fax : (0746) 322178 E-mail :
[email protected] Website: http:\\www.warsi.or.id Jl. Raya Belilas Pematang Reba 29351 P.O.Box 34 Rengat 29300, Riau Telp : (0769) 341234 - 341123 Fax : (0769) 341132 E-mail :
[email protected]
Soal Taman Nasional Bukit Duabelas, kami menyambut positif. Betapapun, keduanya –cagar biosfer dan taman nasional— memiliki kepentingan yang sama dari sisi konservasi, yakni segera diselamatkan dari eksploitasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini. Dan, yang lebih menarik, rasio antara luas dan keliling tidak jauh berbeda, sehingga memudahkan dalam pengelolaan dan pengawasan. Sebelum terlambat, UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya, mengingatkan bahwa setiap kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional haram hukumnya. Tentu, pembaca, agar kita tidak kehilangan tongkat untuk kedua kali.
Salam Lestari
KONSEP 3
Bentuk Kawasan Konservasi alam banyak kasus, kepentingan ekonomi cenderung mengalahkan kepentingan pengelolaan ruang dan lingkungan hidup. Karena itu, alokasi pemanfaatan ruang dari sisi kepentingan ekonomi cenderung dilakukan semaksimal mungkin. Berbeda dengan kepentingan pelestarian alam, pengalokasiannya cenderung seminimal mungkin.
D
Melalui pendekatan ini pula, alokasi ruang bagi pelestarian alam cenderung berupa kawasan hutan dengankondisiterfragmentasi,yaknisisa-sisaruang yang tidak mungkin lagi dimanfaatkan untuk kegiataneksploitasi. Tidakheranjikaditemukanada batas kawasan konservasi –dalam hal ini taman nasional— yang berkelok-kelok dan memiliki keliling (perimeter) yang sangat panjang, sehingga bentuknya tidak beraturan dan tidak kompak. Padahal,darisisiaspekpengelolaan, bentuk kawasan seperti ini menjadi kendala dalam pengawasan. Sempitnya jarak antarsisi dari sebuah kawasan konservasi, hanya akan memperbesar peluang terjadinyafragmentasisehinggahabitatbisaterpecah atauterputusakibattekanandariluar. Fragmentasi kawasan juga berdampak buruk bagi upaya pelestarian alam, karena menyebabkan penurunankeragamanhayati. Jikainiterjadi,kawasan konservasimenjadisebuahmalapetaka. Sebab,tujuan dibentuknya sebuah taman nasional misalnya, antara lain, sebagai kantong keragaman hayati. Bentuk kawasan konservasi yang kompak dan beraturan bisa diamati dengan melihat keseragaman jarakantaratitik-titikdisepanjangperimeterketitik pusat kawasan. Bentuk lingkaran merupakan yang paling kompak. Semakin seragam jarak dari titiktitik di sepanjang perimeter ke titik pusat berarti semakin kompak dan beraturan bentuk yang dimiliki, sehingga mempermudah perencanaan, pengelolaan dan pengawasan sebuah kawasan konservasi. Manfaat lainnya adalah mengurangi resiko fragmentasi habitat.
Masalahnya, mengupayakan suatu bentuk kawasan konservasi yang kompak dan beraturan tidak akan mudah, selama kepentingan ekonomi menjadi prioritas. Padahal, perangkat peraturan mengenai penataan ruang di Indonesia sebenarnya cukup lengkap. Undang Undang No. 24 Tahun 1992 secara tegas menyebutkan, areal dengan kelerengan di atas 40persendari45derajat(18derajat),harusdilindungi dandibebaskandarisegalabentukpenggunaanlainnya. Faktanya,banyakarealhutandengantopografidiatas 40 persen, terutama di sekitar kawasan konservasi, telah terdegradasi berat akibat eksploitasi habishabisan. Pengusahaanlebihlanjutdiarealitu,dengan peraturan yang ada, tidak memungkinkan lagi. Jika terus dilakukan eksploitasi dengan standar yang diturunkan akan sangat merusak lingkungan hidup kita. Dengan topografi curam dan masuk ke dalam kriteria dilindungi, cukup beralasan untuk menjadikan wilayah itu masuk ke dalam kawasan konservasi. Setidaknya bisa membuat bentuk kawasan konservasi menjadi kompak, beraturan dan lebih menjamin kelestarian di masa datang. Kini, demi kelestarian alam di masa datang, pilihan untuk pengalokasian ruang hanya dua: untuk kepentingan ekonomi sesaat, atau sebuah dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang. (Agus Budi Utomo)
INTRODUKSI 4 Biodiversity Country Study (Kantor Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1992) yang menjadi bagian dari negosiasi pada KTT Bumi di Rio, serta Biodiversity Action Plan (Bappenas 1993).
DOK. YAYASAN WWF INDONESIA
HabitatasliBukitTigapuluh,yaituhutantropisdataranrendah, merupakan tipe ekosistem terkaya di dunia untuk keragaman hayati,tapisekaligusyangpalingterancam,karenadataranrendah umumnya landai dan direbutkan untuk perkebunan dan pertanian. Untunglah Bukit Tigapuluh, meskipun ketinggiannya tidak seberapa tetapi sangat curam sehingga tidak sesuai untuk perkebunan maupun kegiatan perhutanan. Sebenarnya, inilah satu-satunya hamparan hutan yang luas di dataran rendah Sumatera yang memiliki potensi realistis untuk dipertahankan berkat peraturan negara tentang perlindungan lahan yang tidak layakbagikegiatanbudidaya. Kepentingan negara ternyata sulid diwujudkan. Kepentingan sektoral dan pihak yang kuat mengalahkan kepentingan umum. Hutan Bukit Tigapuluh telah dinyatakan sebagai Hutan Produksi, dibagikan kepada beberapa perusahaan swasta berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dikembangkan tahun 80-an. Hanya 38.250 ha ditetapkan sebagai Hutan Lindung wilayah Riau, dan 33.000 ha wilayah Jambi. Sisanya dijadikan Hutan Produksi Terbatas sebagai pengakuan adanya lereng yang
Sejarah Taman Nasional Bukit Tigapuluh,
Kelahiran di Tengah Kehancuran etika Taman Nasional Bukit Tigapuluh dilahirkan hampir 5tahunlewat,peristiwainimerupakansuatukemenangan sekaligus kekalahan. Kemenangannya, HPH yang masih aktifuntukpertamakalidiIndonesiaterpaksamelepaskansebagian dari arealnya demi sebuah kawasan konservasi. Kekalahannya, pemegang HPH mampu mempertahankan area hutan yang seharusnya menjadi bagian dari taman, bahkan harus dilindungi sesuaiperaturan negarakarenamerupakan perbukitan yangsangat curam. Akibatnya, taman nasional lahir sebagai bayi yang cacat: jauh lebih kecil dari yang diusulkan dan berbentuk aneh berjari berteluk, yang membuatnya hampir mustahil dikelola dengan baik dan dipertahankan terhadap berbagai penyerobotan.
K
Sebelumnya, pada tahun 1982, Rencana Nasional Konservasi untuk Indonesia dibuat dengan dukungan Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah organisasi di bawah naungan PBB. Rencana ini mengusulkan 2 kawasan konservasi berdampingan dengan areal 320.000 ha untuk daerah Bukit Tigapuluh. Di sisi Riau ialah Cagar Alam Seberida luasnya 120.000,sedangkandisisiJambiMargasatwaBukitBesar luasnya 200.000 ha. Berdasarkan sistem skoring yang diterapkan secara nasional, kedua kawasan itu mendapat ranking prioritas utama. Visi konservasi untuk Bukit Tigapuluh ini kemudian juga menjadi bagian dari kebijaksanaan resmi pemerintah Indonesia. Hal ini terbukti oleh berbagai dokumen kunci, seperti Forestry Action Programme (Departemen Kehutanan 1991), Indonesian
curam. TGHK memang instrumen perencanaan yang rawan karena berdasarkan informasi kurang memadai. Peta topografi 1:100.000 dari zaman Belanda terlalu kasar untuk menggambarkan secara nyata distribusi kemiringan lereng yang harusdilindungi. Dasar perencanaan ruang mengalami perubahan cukup nyata dengan tersedianya analisa RePPProT (Regional Physical Planning Programme for Transmigration) tahun 1988. RePPProT memanfaatkan peta topografi baru skala 1:50.000 dan berbagai sumberpenginderaanjarakjauh.Hasilnya,bagiBukitTigapuluh, khususnya bagian Riau, hampir seluruh kawasan dinyatakan memenuhi kriteria lindung, dan rekomendasi aktual adalah pelaksanaanusulancagaralam(Siberida).SedangkanuntukBukit Tigapuluh bagian Jambi diidentifikasi sekitar 110.000 ha yang memenuhi kriteria untuk dijadikan hutan lindung. Sewaktu dikembangkan Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah PropinsiRiauyangselesaisebagaiPeraturanDaerahtahun1994, sudah tersedia berbagai sumber informasi canggih, termasuk RePPProT tadi. Perencanaan ruang ini, berdasarkan UU Tata Ruang No. 24/1992 dan Keppres No 32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya, sebenarnya sangat berpotensi menyelamatkan hutan di alam yang rawan. Tetapi akhirnya proses perencanaan ini cenderung mengakomodasikan kepentingan yangadadaripadamenerapkankriteriaperlindunganalamsecara tegasberdasarkaninformasiterbaikyangtersedia.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
5 Sebenarnya ada upaya Pemda Riau untuk mengembangkan Kawasan Lindung secara maksimal di Bukit Tigapuluh, tetapi gagasan ini mampu diminimalisir oleh PT. Pulau Sambu – pemegang HPH kala itu – dengan mendatangkan Sekretaris Militer dari lembaga kepresidenan untuk menghadapi pejabat yang mencoba memperjuangkan kepentingan daerah. Akibatnya, kawasan lindung yang akhirnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah,jauhlebihkecildariharapan. Lebih mengecewakan lagi, di wilayah Jambi tidak ada perbaikan pengalokasian lahan berdasarkan informasi yang tersedia untuk pembentukan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi. Sehingga yang ditetapkan sebagai kawasan lindung di Bukit Tigapuluh sama dengan hutan lindung versi TGHK, atau kurang sepertiga dari 110.000 ha lahan yang layak untuk dilindungi menurut RePPProT. Di waktu perencanaan tata ruang wilayah dikembangkan, pembentukan kawasan konservasi juga mulai dipikirkan lebih serius. Penelitian NORINDRA (Norwegian-Indonesian Rain Forest and Resource Management Project) tahun 1991-1992 melibatkan27penelitidariberbagaidisiplinilmudaninstitusi terkemuka di Indonesia serta 16 peneliti dan mahasiswa dari Norwegia, Denmark dan Inggeris. Hasil penelitian dijadikan masukan penting bagi instansi terkait di daerah dan pusat untuk membentukkan kawasan konservasi. Kemudian dimanfaatkan sebagai dasar pembentukan proyek WWF yang dibiayai WWF Norwegian dan NORAD (Norwegian Agency for Development Cooperation) dan dengan tujuan mendukung pelaksanaan kawasankonservasi.
Unit pengelolaan taman (UPT) baru diadakan Departemen Kehutanan awal tahun 1998. Sedangkan proyek pengelolaan WWF untuk Bukit Tigapuluh sudah aktifsejakterbentuknyataman.Tetapititikberatproyek WWF pada pengelolaan daerah penyangga lewat bentuk pembangunan yang mendukung konservasi dan pengendalian pemanfaatan lahan. Hal itu sangat dibutuhkan karena tekanan terhadap lahan dan sumberdaya desa semakin meningkat sehubungan dengan dibukanya Jalan Lintas Timur Sumatera yang melewati
DOK. YAYASAN WWF INDONESIA
Tahun 1995 Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) akhirnya menjadi kenyataan setelah hampir dapat digagalkan pemilik grup Pulau Sambu yang menguasai tiga HPH di Bukit Tigapuluh dan memiliki hubungan khusus dengan Cendana. Sebagai kompromi, luas taman menjadi kurang dan bentuknya sangat tidak rasional dari segi prinsip pengelolaan. Di wilayah Riau dicantumkan 38.250 ha hutan lindung serta 57.948 ha hutan produksi terbatas yang umumnya sudah ditebang satu rotasi. Di wilayah Jambi dicantumkan hanya 33.000 ha hutan lindungyangada,dansamasekalitidakambilarealdari hutan produksi terbatas yang sebenarnya memenuhi kriteria lindung. Total luas TNBT 127.698 ha. Bentuk paling rawan bagi TNBT terdapat di Jambi, di mana perbedaan hutan lindung dengan taman nasional dari segi status dan kebutuhan pengelolaan nampaknya tidak dipikirkan.
daerahini.Tekananterhadaplahan-lahanpertanianpadadataran di sekitar Bukit Tigapuluh pada gilirannya akan menjadi ancaman bagi taman apabila lahan yang layak sudah menjadi langka. Namun ternyata ada ancaman lebih akut yang timbul bukan di hilir tetapi di hulu sungai. Hutan di perbukitan yang tidak dicantumkan dalam taman tetapi dibiarkan sebagai hutan produksi memang diincar oleh berbagai pengusaha yang ingin buka lahan yang tidak layak ini dan, mungkin lebih penting baginya, semua kayu dimanfaatkan langsung dengan keuntungan yang sangat besar. Jadi sifat proyek WWF pun langsung diubah tahun 1997 dari proyek pengembangan desa menjadi proyek advokasi untuk mempertahankan hutan-hutan di hulu sungai. Hilang hutan ini, hancurlah ekosistem Bukit Tigapuluh dan masyarakat sekitar yang pertama kena dampaknya. Di tengah perubahan ini, proyek WWF mendapat kemitraan dari LSM WARSI (Warung Informasi Konservasi) yang ambil alihperanpengelolaandiwilayahJambilewatproyekyangdidanai oleh Norwegian Rainforest Foundation serta NORAD. Kedua proyek ini telah berusaha keras mengembangkan informasi yang akan membantu pemerintah menyelamatkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh lewat rasionalisasi batas dan pengaturan pemanfaatan lahan secara tepat di daerah penyangga. Salah satu contoh dari upaya ini adalah pembuatan peta topografi skala 1:10.000 dan model kemiringan lereng di atas areal sekitar 1000 km2 dengan kerjasama PENAS dan Universitas Indonesia guna membuktikan secara rinci ketidakcocokan lahan dengan apa yang sedang direncanakan. Hasilupayaini,danjugahasilbanyakpenelitianlainyangtelah didukung, dipresentasikan dalam seminar dan workshop bulan OktoberdiJakarta,denganpresentasikhususpadainstansiterkait didaerahdandipusat.Semogakaliinidiperolehperhatianyang serius sebelum bencana bagi ekosistem dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh sudah lengkap. (O.S.)
LAPORAN UTAMA
Rasionalisasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh,
Menunggu Langkah yang Bijak Bukit Tigapuluh merupakan kawasan konservasi dengan topografi curam di tengah kelandaian dataran rendah Sumatera. Kawasan ini memiliki tipe hutan tropis basah dataran rendah terkaya di dunia dari sisi keragaman hayati. Dengan topografi demikian, kawasan ini tentu layak dilindungi. Sejak awal memang sudah ada keinginan untuk menetapkan kawasan itu sebagai kawasan konservasi, tanpa menimbulkan konflik besar dan mengorbankan kepentingan lain. emangat ini kemudian mencapai puncaknya, ketika tahun 1995 Bukit Tigapuluh ditetapkan sebagai taman nasional. Namun, semangat itu cepat memudar, seiring dengan berjalannya waktu. Kawasan hutan produksi yang tersisa di sekeliling taman, secara bertahap dieksploitasi untuk aneka kepentingan di luar konservasi: perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI). Anehnya, upaya ini mendapat dukungan sejumlah pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui berbagaiintervensi.
RIZA MARLON
S
Salah satu contoh adalah keluarnya izin untuk perkebunan kepada dua perusahaan: PT Sumatera Makmur Lestari Maret 1996, dan disusulolehPTArvenaSepakat,yangberlokasidisisiutaracagar dan masuk dalam Propinsi Riau. Lokasi perkebunan ini, sebelum dikonversi,berstatuslindungkarenaberfungsisebagaipenyangga tamannasional. Sejak itu, kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh bagai tidak bertuan. Sebab hal yang sama juga terjadi di sisi selatan, yang masuk Propinsi Jambi. PT STUD, pengelola HPH PT Hatma Hutani, memperoleh izin pembangunan HTI dengan sistemtebangpilihtanamjalur—berartiterjadipenurunanstandar pengelolaan dampak lingkungan (lihat Box HTI TPTJ dan perkebunan di Penyangga TNBT). Padahal kawasan ini berstatus hutan produksi terbatas yang langsung berbatasan dengan taman. Dengan demikian, pengelolaan taman nasional bukan saja terhambat akibat eksploitasi di kawasan penyangga. Yang juga ikut mengganjal adalah berkaitan dengan bentuk taman yang kurangrasionalditinjaudariaspekpengelolaan:berkelok-kelok, menjaridanmemeilikikelilingyangtidakseimbangdenganluasnya. Akibatnya, pengawasan terhadap taman nasional menjadi tidak optimal. Sebab, pengelolaan salah satu kawasan konservasi ini akanefektifapabilarasioantarakelilingdanluascukupberimbang.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
Surat Keputusan mengenai luas T.N. Bukit Tigapuluh mencantumkan luas taman nasional yang jauh lebih kecil dari yang diusulkan dan berbentuk aneh berjari dan berteluk, yang membuatnya hampir mustahil dikelola dengan baik dan dipertahankan terhadap berbagai penyerobotan.
Keterangan: Daerah yang diarsir adalah daerah yang berpotensi sebagai daerah penyangga
adalah desa-desa interaksi adalah jalan desa adalah batas kabupaten
Masalahinitentutidakbisadilepaskandarisejarahterbentuknya salah satu taman nasional terpenting di Sumatera –dari semula 320.000 ha diusulkan dan hanya 127.698 ha yang terealisasi— yang sejak awal menimbulkan kontroversi. Usulan memasukkan semua kawasan yang berstatus dilindungi menjadi terpental, karena pemilik HPH –yang punya hubungan khusus dengan Keluarga Cendana waktu itu—tidak bersedia menyerahkan sebagian lahannya untuk kepentingan konservasi. Dengan memiliki bentuk yang kurang rasional dari segi pengawasan dan pengelolaan, sudah saatnya dilakukan rasionalisasi. Disiniperanperencanatataruangsangatdiharapkan, dengan mengidentifikasikan lahan yang perlu dilindungi dari aneka macam pemanfaatan. Ini sesuai dengan tuntutan UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan Keppres No.32 Tahun 1990. Misalnya berkaitan dengan kelerengan lahan, yang di atas 40 persen dari 45 derajat harus ditetapkan sebagai kawasan lindung. Prof. Dr Herman Haeruman, Deputi Ketua Bappenas bidang Regional dan Sumberdaya, menegaskan, tidak ada masalah dengan rasionalisasi taman nasional, baik yang bersifat ke dalam (pengurangan) maupun keluar (perluasan). Semuanya tergantung
adalah jalan lintas timur adalah batas TNBT
padakondisinyatadilapangan.Jikarasionalisasinyakeluar,berarti harus memperhitungan status kawasan: apakah berstatus dilindungi atau sudah menjadi wilayah permukiman. Bukit Tigapuluh sejak dibentuk merupakan taman nasional yang dikelilingi kawasan penyangga, sehingga statusnya dilindungi. “Jadi,rasionalisasidimungkinkan,karenatidakmenggangguhabitat lain,” jelas Herman yang juga Sekretaris Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Yang jadi masalah, isu rasionalisasi ini tidak mencuat secara nasional. “Sehingga kami tidak menindaklanjuti,” tambah Guru Besar IPB ini. Soal kawasan penyangga, yang berada di luar taman, kewenangannya bukan ditentukan oleh pusat tapi daerah, sehingga pemerintah daerah yang mengusulkan. Prosedurnya pun sangat gampang, jelas Herman, yakni mengajukan usulan besertapetadanjustifikasi. Pihak“Jakarta”tinggalmengevaluasi petadanjustifikasi,berkaitandengankelayakan. Jika memang demikian, masalahnya tergantung ke pihak pemerintah daerah, baik Riau maupun Jambi. Tinggal menunggu langkah bijak dari kedua Pemda ini, demi pelestarian dan penyelamatan kawasan konservasi. (PS/OS)
LAPORAN UTAMA 8
Taman Nasional Bukit Tigapuluh,
Sebagai Habitat Akhir Satwa Gajah di Sumatera
aman Nasional Bukit Tigapuluh ditetapkan pada tahun 1995 melalui perubahan fungsi hutan produksi terbatas (72.893 ha) dan hutan lindung (70.250 ha). Sejak ditetapkan, kawasan ini memiliki kelemahan ekologis yang cukup berat, yaitu hampir 50 % dari luas arealnya telah dieksploitasi pemegang HPH. Lalu di dalam kawasan taman juga terdapat tujuh pusat bermukim masyarakat tradisional dengan pola perladangan beringsut, yang mencapai lebih kurang 20.000 ha. Lalu, adanya jalan-jalan angkutan kayu eks HPH telah menyebabkan kawasan ini seolah-olah terfragmentasi menjadi beberapa bagian kecil. Bentuk taman nasional ini memanjang dan menjari, sehingga secara ekologis menjadi sempitdan sangat pekaterhadapgangguanyangdisebabkanolehaktifitasmasyarakat di dalam dan di luar kawasan.
T
Di sisi lain, keadaan perubahan vegetasi hutan di luar kawasan taman —menjadi areal hutan tanaman industri, perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat yang monokultur, perladangan dan pemukiman baru— telah menyebabkan habitat mamalia besar menjadi berkurang sehingga terjadi pengungsian satwa ke dalam taman. Selainitudibeberapalokasibanyakmamaliabesarseperti gajah sumatera, harimau sumatera dan tapir terjebak dalam sisasisavegetasihutan,yangpadaakhirnyakeberadaanmerekaselalu mengganggu pemukiman, perkebunan dan perladangan masyarakat. Dengan kondisi alam seperti itu, menjadikan kawasan ini sebagai habitat akhir dan daerah pengungsian bagi mamalia besar serta merupakan sumber plasmanutfah bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu keberadaannya perlu dilindungi dan diselamatkan dari ambang kehancuran.
RIZA MARLON
Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan luas areal 143.143 ha terletak di tengah-tengah hamparan dataran rendah di bagian timur Pulau Sumatera. Secara ekologis kawasan ini termasuk dalam tipe ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah atau populer disebut low land tropical rainforest. Selain itu taman nasional ini berada di antara Pegunungan Bukit Barisan di sebelah barat dan daerah rawa di sisi timur. Dengan posisi ekologis demikian, Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan hampir seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di Sumatera ada di sini.
Habitat Gajah Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berada pada hamparan dataranrendahmerupakanhabitatgajahyangsangatideal. Begitu pula dengan adanya bekas-bekas areal tebangan HPH yang vegetasinya berada dalam tahap regenerasi secara alami, telah menyediakan berbagai jenis pakan gajah yang memadai. Hal ini didukung pula oleh banyaknya alur sungai di dalam kawasan taman. Saat ini gajah sumatera dijumpai di sisi barat taman nasional dengan perkiraan populasi 5 kelompok: tersebar mulai dari Pemayungan, Semambu sampai Sungai Menggatal. Di sisi timur, satwa ini terjebak dalam wilayah pembangunan Keritang dan jalanlintastimursehinggamerekatidakdapatmenjelajahsesuai dengan home range alaminya, termasuk menuju ke kawasan taman nasional. Kondisi inilah yang menyebabkan kawanan gajah selalu mengganggu kawasan pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Untuk mengatasi masalah gangguan terhadap pemukiman dan lahanpertaniandiPropinsiRiaumakakeberadaantamannasional
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
9 merupakansalahsatusolusipilihansebagaidaerahpengungsian satwa gajah. Menyangkut upaya pengungsian dari areal pemukiman ke kawasan taman, perlu persyaratan teknis yang harus dipenuhi, di antaranya: 1) Membuat parit penghalang keluarnya gajah dari kawasan taman sehingga gajah yang diungsikan tidak mengganggu pemukiman yang tersebar di sekitar dan dalam kawasan taman; 2) Rasionalisasi bentuk dan perluasan kawasan taman yang memungkinkan satwa gajah bergerak leluasa di dalamnya; 3) Pada daerah-daerah permukiman tradisional di dalam kawasan taman perlu dibangun parit pengaman sehingga gajah tidak mengganggu kawasan itu; 4) Dalam jangka panjang perlu upaya resetlemen penduduk dari kawasan taman secara bertahap ke wilayah pembangunan di sekitarnya. Ancaman Terhadap Taman Nasional Meningkatnya permintaan kayu, yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitas, membuat aktifitas pemanfaatan kayusecarailegalmenjaditinggiditamannasional. Jikatidak segera dikendalikan,risikonya adalah menurunkan daya dukung kawasanterhadapsatwaliar,termasukgajahtadi. Bentuk kawasan taman nasional yang sempit menyebabkan dayadukunghabitatuntukmamaliabesarjugamenjaditerbatas. Sementara,disisilainkawasaninijugaberfungsisebagaidaerah pengungsian satwa. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya persaingan antarspesiesyang sangat tinggi dalam pemanfaatan ruang. Tingginya aktifitas pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan untuk kepentingan HPH, HTI, perkebunan dan perladangan di sekitar kawasan taman, menjadikan tekanan ekologisterhadapkawasaninimenjadisangatberat. Adanya pemukiman di sepanjang Sungai Gangsal dan aktivitas masyarakat tradisional yang melakukan perladangan dengan cara tebas bakar dan beringsut, dalam jangka panjang akan dapat menurunkan kualitas ekosistem dan bisa menyebabkan fragmentasi habitat dan menurunnya luasan hutan alam serta masuknya jenis-jenis eksotik di dalam kawasan taman. Selain itu masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan banyaknya industri pengolahan hasil hutan di sikitar kawasan telah menyebabkan permasalahan dalam pelestarian kawasan TNBT menjadi semakin kompleks.
Muko Rimau Itu Makin Terancam
R
afflesia hasselti termasuk bunga langka. Bunga padma ini juga disebut cendawan muko rimau, karena mirip rona muka harimau itu. Ia juga disebut rafflesia merah putih Suringar. Suringar diambil dari nama penemu pertama kali, tahun 1918 di Muara Labuh dan Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Kini cendawan itu bisa ditemukan di kawasan hutan yang berada di pinggiran Desa Semambu, Kecamatan Sumai, Kabupaten Muara Tebo. Lokasi Rafflesia hasseltii ini berada di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit 30. Sebelumnya ia berada di enklav wilayah HPH dan kini statusnya sudah menjadi areal penggunaan lain. Ada beberapa lokasi sebaran rafflesia di desa ini. Dari pelacakan yang dilakukan bulan Juli 1999, diketahui cendawan ini banyak ditemukan di sekitar sub daerah aliran sungai (DAS) Sako, berjarak sekitar 15 km dari pusat Desa Semambu. Di lokasi itu ditemukan belasan knop (individu) rafflesia yang belum mekar, dengan ukuran berkisar antara 3-10 cm. Karena langka, bunga ini mengundang perhatian sejumlah peneliti. Nina Herdiani, peneliti dari Fakultas Kehutanan IPB yang berkunjung Juni 1998, menyebutkan, Rafflesia hasseltii berpotensi sebagai bahan obat-obatan bagi penyembuhan penyakit kanker. Sayang, hasil penelitian itu belum ditindaklanjuti, sehingga potensi sebagai bahan obat kanker belum bisa dipastikan. Biasanya bunga ini akan mekar antara Agustus hingga Desember. Di waktu mekar, lebar kelopak bunganya berkisar antara 35 - 60 cm. Warna kelopak menjadi merah bata dan putih pucat. Tumbuhan inang dari bunga ini berupa liana dari genus Tetrastigma, sangat tergantung dengan pohon-pohon tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi bentuk dan struktur tajuk hutan alam yang berlapis-lapis akan menciptakan iklim yang ideal bagi kehidupan Rafflesia hasseltii. Sedikit saja ada perubahan seperti pohon tumbang akan mengubah secara drastis habitat mikronya. Karena itu cendawan ini perlui dilindungi dari aktivitas manusia yang merusak. Hanya saja, kawasan hutan di sekitar lokasi cendawan muko rimausemakin terancam. Bisa dari perladangan masyarakat, dan yang mengkhawatirkan datang dari PT Tebo Planta Karpusa, perusahaan yang akan mengkonversi areal hutan alam itu menjadi perkebunan kelapa sawit. Bila rencana itu terlaksana, kelangkaan Rafflesia hasseltii yang dikategorikan terancam punah benar-benar menjadi punah sama sekali (Diki Kurniawan).
Melihat keadaan dan permasalahan yang terjadi, maka upaya pecahannya perlu dilakukan melalui pendekatan ekologi dan pendekatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara ekologi daya dukung habitat kawasan taman nasional tergolong rendah, sebagai akibat dari bentuk yang kurang ideal. Karena itu perlu dilakukan rasionalisasi terhadap bentuk kawasan melalui perluasan kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Mengingat daya dukung hutan alam di sekitar kawasan ini sudah tidak mampu menyediakan sumber bahan baku yang lestaribagiindustriHPHdanpenggergajiankayu,perludikaji ulang izin yang diberikan pada HPH yang berada di sekeliling
ALFREDO/ WWF TNBT
Solusi Penyelamatan Bukit Tigapuluh
LAPORAN UTAMA 10
Dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu suatu upaya nyata pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan dan lahan melalui pembangunan hutan kemasyarakatan atau hutan adat, pengembangan perkebunan rakyat dan peningkatan kegitan pertanianrakyatsertapenyediaanjasalingkungan. Dalam rangka peningkatan pengolahan lahan perlu dilakukan penyuluhan secara intensif pada masyarakat di dalam kawasan taman, sehingga usaha pertanian yang dilakukan dapat mendukung konservasi alam. Selain itu, dalam jangka panjang, perlu diupayakan resetlemen pemukiman masyarakat dari dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh secara bertahap yang diikuti dengan Melaluirasionalisasibentuk,berupaperluasankawasanTamanNasional Bukit Tigapuluh, diikuti dengan penertiban terhadap kegiatan eksploitasi hutan dan lahan di sekitarnya, diharapkan fungsi taman nasional sebagai habitat akhir dan daerah pengungsian mamalia besar, termasuk gajah sumatera, dapat terpenuhi. (Waldemar H.S./ Kepala UPT Taman Nasional Bukit Tigapuluh)
Konflik Tiada Akhir
H
ampir empat tahun sudah, PT. Arvena Sepakat dan PT. Sumatera Makmur Lestari memulai usaha perkebunan yang berlokasi di sepanjang Sungai Cinaku, yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit 30, di Kabupaten Inderagiri Hulu. Namun selama ini pula masyarakat dari delapan desa, yang lahannya terkena areal perkebunan, menderita karena kehilangan sumber mata pencarian. Kedua perusahaan ini memiliki lahan dengan luas sekitar 13.600 ha. Sebagian besar areal itu berasal lahan garapan masyarakat, berupa kebun karet, kebun buah-buahan dan benuaron yang menjadi sumber ekonomi utama mereka. Sisanya berstatus hutan negara, yang merupakan cadangan perladangan masyarakat. Perusahaan ini mengawali aktifitasnya tahun 1997, tanpa mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). Tuntutan masyarakat sudah berkali-kali diajukan, baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui perantara pemerintah. Tapi selama ini pula hasilnya nihil. Padahal, sudah ada tim inventarisasi yang dibentuk Bupati Indragiri Hulu, Februari lalu. Intinya, mengajak masyarakat bermitra. Hasilnya? Sebagian masyarakat enggan bermitra dengan alasan belum ada kepastian lahan yang digunakan. Malah ada kekhawatiran, pola itu hanya akan membuat mereka akan kehilangan lahan lagi. Sebelum ada kerjasama, mereka menuntur, status lahan yang terkena areal perkebunan harus dikembalikan dulu, atau memberi ganti untung istilah yang digunakan agar penggantian lahan tidak ditentukan perusahaan secara sepihak. Masalahnya, terbukakah nurani pihak perusahaan dengan tuntutan ini. Atau, tetap seperti dulu, tidak mau peduli. Kalau pilihannya yang terakhir, konflik itu tetap tiada akhir. (Nur samsu)
RIZA MARLON
taman,sertarestrukturisasiataskeberadaanindustripenggergajiankayu secara umum.
Aktifitas Sawmill Daerah Penyangga
P
ertumbuhan sawmill yang cukup tinggi di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit 30 tentu tidak terlepas dari kebutuhan bahan baku kayu log yang semakin meningkat belakangan ini. Namun akibatnya mengancam keberadaan hutan alam yang berada di sekitar lokasi industri perkayuan itu. Industri pengolahan kayu (sawmill) non-HPH dengan kapasitas produksi terbatas, perizinannya diatur pemerintah (Deperindag tingkat kabupaten), berupa Surat Tanda Pendaftaran Industri Kecil. Sedang pemenuhan kayu log bagi sawmill diatur melalui Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBI). RPBI ini mendapat izin dari Dephutbun. Pada kapasitas sawmill di atas 6.000 m3 per tahun RPBI disyahkan Direktur Pemanfaatan dan Peredaran Hasil Hutan Dephutbun Jakarta. Sedang untuk kapasitas produksi di bawah 6.000 m3 per tahun cukup oleh Kepala Kanwil Dephutbun. Dari perkembangan sawmill di daerah penyangga taman nasional, sesuai pengamatan hingga Agustus lalu dapat disimpulkan: Jumlah sawmill di sekeliling daerah penyangga ada 67 unit, dan 21 unit di antaranya berada di sisi utara kawasan penyangga, yang menyebar di sejumlah desa sepanjang Sungai Cinaku, yakni Pangkalan Kasai, Beligan, Puntianai, Cinaku Kecil, Anak Talang, Talang Bersemi dan Talang Mulya Jumlah sawmill di wilayah Selatan daerah penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan sekitar area KPHP Pasir Mayang terdapat 2 unit, yakni di Desa Jati Belarik dan Pasir Mayang. Jumlah sawmill sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera terdapat 9 unit. Jenis kayu yang diolah sebagian besar jenis meranti, balam, keruing, bayur dan sapat. Kapasitas produksi per sawmill ditentukan jumlah mesin yang digunakan dan ketersedian bahan baku. Biasanya 1 mesin sawmill menghasilkan 5-15 m3 kayu olahan per hari. Pengaruh keberadaan sawmill terhadap tingkat ekonomi masyarakat sekitar dan daerah lain cukup besar. Terutama saat nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga kayu makin tinggi. Faktor inilah yang mendorong masyarakat sekitar untuk menebang kayu dan menjualnya. Akibatnya, hal ini memicu migran baru, terutama dari Sumatra Barat dan Jambi. Mereka bekerja berkelompok, umumnya dipimpin toke sebagai pemodal Pengambilan kayu ilegal ini sudah tidak terkendali lagi. Konon mereka, baik masyarakat maupun pengusaha dibeking oknum berseragam, yang tidak peduli lagi dengan peraturan yang ada. Beberapa titik pencurian ini sudah mengarah ke dalam kawasan taman, terutama di sepanjang Sungai Cinaku, Sungai Alim, Sungai Pejangki dan sungai-sungai sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera yang berhulu ke kawasan konservasi TNBT. (PS)
Pencurian Kayu di Sekitar TNBT encurian, apapun jenisnya, dalam operasional memiliki modus sendiri-sendiri. Termasuk pencurian kayu, sebagaimana yang terjadi, baik dalam Taman Nasional Bukit 30 maupun di kawasan penyangga yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk.
P
Dari pengamatan yang dilakukan, ada tiga pola pencurian kayu yang dilakukan di daerah penyangga TNBT: Pertama dilakukan oleh kelompok ataupun individu yang mengambil kayu dalam bentuk olahan, berupa (pecahan dan balok tim. Kayu olahan ini kebanyakan dijual pada sawmill, yang memang banyak tumbuh belakanganini. Daripengamatanterakhir, tercatat27kelompok masyarakat yang terlibat dana pengambilan secara ilegal. Kayu olahan ini, konon, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku yangmakinsulitdidapatkankarenatingginyapersaiangandiantara pengusahasawmillsendiri. Pola kedua, masyarakat mengatasnamakan kelompok tani. Kelompok yang dimaksud sebetulnya siluman. Menurut pengakuaan anggotanya, mereka justru dimodali agen PT. SWS (perusahaan di bawah PT. STUD Jambi). Setiap meter kubik kayu yang disetor, mendapat imbalan Rp 50.000 hingga Rp 60.000. Soal harga tergantung negoisasi perusahaan dengan masyarakat. Proses penarikan dan pengangkutan kayu dari kawasan penyangga dilakukan dengan menyewa kelompok lain dengan pembayaran berdasarkan hitungan kubikasi. Tujuannya untuk menghilangkan jejak.
Pengambilan kayu dalam kawasan taman nasional berlokasi di hulu Sungai Air Antan, Dusun Sanglap Desa Puntianai, hulu Sungai Alim dan hulu Sungai Ubo. Kelompok masyarakat dan beberapa perusahaan telah membuat jalan untuk memudahkan akses pengangkutan kayu, di antaranya jalan pipa gas, koridor HPH PT. SWS. Jalan perusahaan ini juga dijadikan sebagai akses transportasi pengangkutan kayu, baik oleh masyarakat maupun perusahaan HPH. Koridor di daerah penyangga yang mengarah ke dalam taman diidentifikasi sebanyak 28 titik masuk. Dari jumlah itu, yang sangat aktif digunakan hingga kini adalah koridor PT. SWS simpang Km. 00 di Desa Talang Lakat. Sementara di Desa Sungai Akar, ada 3 koridor yang baru dibuat. Nama koridor diambil dari nama kelompok yang menggunakan. Ada koridor kelompok Kancil, kelompok Samsul, dan kelompok Trisno. Sementara di Desa Keritang, jalan pipa gas menjadi koridor yang digunakan kelompok operasi, mengarah ke taman, antara lain koridor dekat rumah Ismail, jalan Pendowo Limo, jalan dekat rumah makan Bungo Paris. Dari Desa Batu Ampar, ada satu jalan yang langsung menuju camp SWS Km 86, yakni jalan PT. Gelap. Di Desa Selensen, ada satu jalan dibuat kelompok tani swadaya yang menanam kelapa sawit dengan dana jaring pengaman sosial, tembus ke koridor PT SWS. Dari koridor yang baru dibuat ini, semuanya tembus ke jalan koridor lama milik HPH PT. SWS. Darikoridorlamainidibuatjalantarikkayusekaligusdijadikan jalan bagi alat berat buldozer. Kalau operasinya sudah begitu canggih, nasib kawasan penyangga dan taman nasional sendiri, tinggal menunggu waktu. (PS)
Pola terakhir, masyarakat bekerjasama dengan pihak PT. SWS. Di sinikerjasamanyatidak lagisiluman. Padatingkatinihargajual ke perusahaan lebih mahal dibanding modus kedua. Harga satu kubik berfluktuasi, dalam rentang Rp 150.000 hingga Rp 250.000, serta juga ditentukan jenis dan ukuran kayu. Kayukayu ini dikirim ke pabrik plywood PT. STUD. Toke penampung menyiapkan angkutan, sedangkan alat berat disewa berdasarkan waktu pemakaian.
Pengambilan kayu di wilayah ini berlangsung di areal konsesi HPH PT. SWS, dengan beberapa titik mengarah ke dalam kawasan taman nasional. Yang paling menyolok operasionalnya adalah di hulu Sungai Akar. Sementara untuk wilayah sepanjang Sungai Cinaku, pengambilan kayu dilakukan di bekas konsesi HPH PT. Patriadi, HPH PT. Sama Permai, HPH PT. IFA, bahkan sudah ada yang berada di dalam TNBT.
DOK. YAYASAN WWF INDONESIA
Modus kedua dan ketiga ternyata, melibatkan tidak kurang dari 49 kelompok. Target dan sasaran pengambilan kayu lebih banyak memilih lokasi di sepanjang Jalan Lintas Timur Sumatera, agar pengangkutan kayu menuju pabrik lebih mudah. Anehnya, meski praktekilegal,tetapsajalolosdaripengawasan—termasukrazia gabungan yang dilakukan selama ini. Konon, sebelum razian dilakukan, mereka sudah dapat bocoran informasi, sehingga aktifitasbisadistopsementara.
11
LAPORAN UTAMA
DOK. YAYASAN WWF INDONESIA
12
Taman Nasional Bukit Tigapuluh,
Tempat Perlindungan Terakhir Bagi Orang Utan Sumatera abitat yang tersedia bagi orang utan di Kalimantan dan Sumatera sekarang berkurang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.Berdasarkan analisa fosil, orang utan semula tersebar secara lebih luas. Bahkan pada awal abad yang lalu, diperkirakan orang utan terdapat pada kawasan luas di Sumatera. Lalu, mengapa sebaran geografis orang utan mengalami penyusutan? Ada dua macam ancaman umum: Yang pertama, disebabkan adanya kepunahan langsung sebagai akibat dari perburuan untuk memanfaatkan daging, kulit, dan tulangnya —atau adanya alasan budaya. Yang kedua, disebabkan kerusakanhabitatsebagaiakibatadanyafragmentasi,isolasidan kerusakanhutanasli.
H
Ancaman yang kedua ini sekarang merupakan masalah besar. Degradasidankerusakanhabitathutanhujantropisyangterjadi secarabesar-besaransemakinmeluas sebagaiakibatdarikebakaran hutan pada tahun 1997 yang menyebabkan kerusakan habitat yang luas di Kalimantan dan sebagian di Sumatera. Perkiraan paling tepat tentang populasi yang dibuat sebelum terjadi kebakaran menunjukkan bahwa populasi orang utan Kalimantan berjumlah 15.000 dan untuk Sumatera kira-kira 10.000. Kedua populasiinidiperkirakanterancamkarenakerawanannyaterhadap
efek fragmentasi habitat dan resiko yang tinggi terhadap kepunahan lokal seperti yang kita ketahui bersama. Ekosistem Leuser yang berada di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh merupakan tujuan terahir bagi perlindungan orang utan liarSumateradanmemilikipopulasiorangutanterbesardidunia. Suatu evaluasi baru oleh seorang ahli orang utan Belanda yang terkenal, Carel van Schak, menguji konsekuensi dari adanya konversi hutan dan penebangan liar yang terjadi dewasa ini dan berkesimpulan bahwa populasi orang utan Leuser mengalami penurunan dari 10.000 pada awal 1993 menjadi 6500 pada tahun 1999. Suatu skenario tentang kasus terburuk menunjukkan bahwa kecenderungan penebangan liar pada saat sekarang dan masa akan datang memberi indikasi adanya penyusutan populasi Leuser dalamsatudekadeini.Jikaskenarioinibenar,populasi orang utan Sumatera yang masih tersisa mengalami situasi yang kritis dalam perlindungan habitat utama. Selain itu kelebihan populasi di kawasan yang dikelola secara baik di luar ekosistem Leuser akan semakin penting pada waktu akan datang. Sebagai efek sampingan dari eksploitasi hutan, semakin banyak orang utan muda mulai diperdagangkan secara ilegal.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
13 Untuk penegakan hukum diperlukan pusat reintroduksi baru di Sumatera dengan mempersiapkan pelepasan binatang ini ke belantarasetelahdiadakanpenyitaan.Setelahpusatreintroduksi orang utan Sumatera yang lama secara resmi ditutup, dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada tahun 1997, tidak adalagifasilitasalternatifyangbisadioperasionalkanhingga sekarang. Konsep pusat reintroduksi didasarkan pada pendapat bahwaorangutanyangdiperliharadapatdipersiapkandandilatih untuk hidup tidak tergantung di belantara. Selain itu International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mempersiapkan panduan khusus bagi reintoduksi orang utan
RIZA MARLON
Kemungkinannya, banyak orang utan ditangkap pada saat perambah hutan melakukan kegiatan penebangan. Oleh karenanya perdagangan orang utan merupakan sumber pendapatan tambahan bagi penebang kayu. Untuk menangkap anak orang utan yang mungil, induknya harus dibunuh dulu secarabrutal.Artinya,setiaporangutanyangdipasarkanpaling tidak harus dibunuh satu betina. Diperkirakan anak orang utan terbunuh karena jatuh dari pohon ketika terjadi pembunuhan terhadap induknya. Dengan demikian, jumlah orang utan yang mati melebihi jumlah yang diperdagangkan. Pada saat ini diperkirakan orang utan yang ditangkap dan diperdagangkan secara ilegal berkisar antara 200 – 400 ekor. Sebagai akibatmeningkatnyaeksploitasihutanyangberlangsung secara cepat dan penebangan liar, maka jumlah orang utan yang diperdagangkan secara ilegal mungkin akan sama atau bahkan lebih buruk di masa datang. Populasi yang tertangkap ini merupakan stok bagi program pembiakan baru. Binatang-binatang yang malang ini diperlakukan sebagai peliharaan dalam kondisi yang sangat tidak memadai, biasanya mereka kekurangan makan dan diabaikan oleh pemiliknya ketika sudah tua dantidakmenariklagi.
Tinjau Ulang Ijin Perusahaan
M
enegakkan hukum belakangan ini bagai menegakkan benang basah. Ini jika dikaitkan dengan penyelesaian secara hukum kasus perusakan hutan dan kawasan lindung. Kasus pembakaran hutan di areal PT. Ar vena Sepakat atau PT. Sumatera Makmur Lestari, di sisi utara Taman Nasional Bukit 30, misalnya. Tim dari Bappedal Wilayah I, Dinas Kehutanan dan Kanwil Kehutanan Riau, sewaktu melakukan peninjauan lapangan sudah jelas-jelas menuduh kedua perusahaan itu membakar hutan untuk diubah menjadi kebun kelapa sawit. Namun dalam berita acara, koordinat titik hotspot sebagaimana ditangkap satelit disimpangkan hingga tiga kilometer dari lokasi. Dan perusahaan terlepas dari jeratan hukum. Padahal, akibat kebakaran itu, menelan banyak korban, Sejumlah aparat tampaknya belum menanganinya. Kegiatan perusahaan HPH di sepanjang penyangga taman nasional di wilayah Riau dan Jambi, juga sudah tidak mampu mengamankan areal konsesinya. Malah, perusahaan itu terbukti bekerjasama dengan masyarakat untuk membabat hutan, dengan melanggar aturan main yang sudah ada. Padahal UU No. 28/1985 tentang Perlindungan Hutan, antara lain menegaskan, sanksi hukum bagi pemegang HPH yang tidak memenuhi kewajiban, baik disengaja maupun lalai, sanksinya jelas: penghentian pelayanan administrasi, penghentian penebangan untuk jangka waktu ter tentu, pengurangan target produksi, pengenaan denda, pencabutan izin HPH ser ta izin eksploitasi hutan lainnya. Juga Keputusan Menteri Kehutanan No. 227/Kpts-II/1998 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Ijin Pemanfaatan Kayu, yang mengatur tata cara pengambilan kayu. Faktanya, ditemukan lagi Ijin Pengelolaan Hasil Hutan (IPHH) yang dikeluarkan bupati dengan rekomendasi KCDK setempat. Ijin ini banyak beredar di Indragiri Hulu. Dengan ijin ini, pengambilan kayu dilakukan hingga masuk ke dalam Taman Nasional. Keputusan Menhutbun No.146/Kpts-II/2000 tentang evaluasi pelepasan kawasan hutan menyatakan, selama pelaksanaan evaluasi, izin prinsip untuk pelepasan kawasan hutan ditangguhkan. Artinya, permohonan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan budidaya perkebunan yang baru, tidak dibuka Keputusan ini sebetulnya bisa menyelamatkan hutan di sepanjang daerah penyangga Taman Nasional Bukit 30, baik di Riau maupun di Jambi, yang kini sedang diincar untuk dikonversi. Hanya saja penerapan hukum dan pelaksanaan keputusan itu perlu dipertanyakan. Apakah keputusan yang dikeluarkan hanya lembaran kertas belaka yang jadi bungkus nasi atau kacang goreng? Wallahualam. (Purwo Susanto)
LAPORAN UTAMA pada awal 90-an. Nilai utama program reintroduksi sebagaimana terteradalampanduanituberadapada fungsinya sebagai katalisator penegakan hukum, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan memberikan kesempatan bagi berkembangnya populasi baru orang utan pada tempat lain. Juga, untuk menyelamatkan populasi liar dari kepunahan yang disebabkan bencana alam atau penyakit menular. Selain itu menurut aspek genetika, gen binatang yang ditangkap akan hilang ketika mereka berkembang biak di kebun binatang atau di tempat koleksipribadi.
RIZA MARLON
14
Untuk mencegah adanya pemusnahan binatang berharga ini, suatu program reintroduksi yang bertujuan untuk menambah populasi liar merupakan suatu alat yang memadai. Pada tahun 1998 perkumpulan penyayang binatang di Jerman, FrankfurtZoologicalSociety,danYayasandiSwis,PanEcoFoundation menawarkan dukungan bagi program baru reintroduksi orang utan Sumatera sejak ditutupnya pusat reintroduksi lama di Bukit Lawang dan tidak ada lagi alternatif lain yang cocok. Dengan demikian survei untuk tempat pelepasan baru harus dimulai sejak dini. Sayangnya hutan basah dataran rendah yang merupakan habitat kesukaan orang utan jarang didapatkan di sebagian besar taman nasional di Sumatera maupun di luar kawasan yang dilindungi. Dalam studi kelayakan sejumlah ahli diwawancarai untuk mendapatkan rekomendasi mereka mengenai tempat-tempat reintroduksi lebih lanjut. Untuk membuktikan secaraobjektifrekomendasiinisuatumatrikkriteriadikembangkan untuk mendukung pengambilan keputusan tentang tempat
Mereka Datang, Datang dan Terus Datang
reintroduksi dengan menekankan pada aspek konservasi, juga keberlanjutan sumber daya kunci bagi orang utan. DariprosedurinitelahdiidentifikasikanbahwakawasanAngkola di Sumatera Utara dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan yang cocok untuk proyek reintroduksi. Kawasan Angkola diabaikan karena adanya laporan berkaitan dengan keadaan populasi orang utan baru-baru ini. Oleh karenanya,investigasidiBukitTigapuluhdilakukansecaraintensif untuk membuktikan apakah kawasan ini memenuhi kriteria proyek yang direncanakan. Yang menguatkan argumentasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dipilih adalah dataran rendahnya sehingga taman dan daerah sekelilingnya merupakan habitat
P
ara pendatang, biasa disebut migran, sudah lama dituding sebagai pembuat masalah. Tidak hanya di kota, di desa pun begitu. Tidak semua tudingan itu salah memang. Namun, kehadiran mereka sudah mengganggu ketenangan penduduk lokal karena perebutan lahan dan sumberdaya. Polanya pun seperti migrasi berantai: yang datang pertama membawa saudara, teman hingga tetangga, begitu seterusnya.
MARK EDWARDS
Tengok saja kaum pendatang di desa-desa sekitar Taman Nasional Bukit 30, dan yang berdekatan dengan Jalan Lintas Timur Sumatera di Propinsi Riau. Juga yang terjadi di sejumlah desa sepanjang jalan utama di wilayah Timur Sumatera. Dari hasil survei WWF ID 0117 Rengat tahun 1998, jumlah kaum migran di Desa Keritang sudah mencapai 600 kepala keluarga (KK). Padahal penduduk asli hanya 400 KK. Begitu juga desa lain sepanjang jalan lintas itu. Desa Batu Ampar kebagian 109 KK migran, dan Selensen 68 KK. Yang lebih drastis terjadi di Desa Lubuk Mandarsah, sisi selatan taman nasional yang masuk wilayah Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi. Menurut survei yang dilakukan tim Warsi, jumlah pendatang pada tahun 1999 sudah mencapai di atas 1000 KK, atau hampir enam kali lipat dibanding penduduk asli, yang hanya 175 KK. Kaum migran ini umumnya berasal dari Sumatera Utara, Rimbo Bujang dan Tanjung Jabung. Khusus untuk yang dua terakir,
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
15 potensial bagi orang utan. Disamping itu, ini adalah kawasan hutan hujan dataran rendah yang diresmikan sebagai taman nasional dan akan diperluas. Tetapi perlu juga dipertimbangkan bahwa kawasan ini dulunya merupakan bagian dari kawasan konsesi HPH (Hak Penguasaan Hutan) dan beberapa bagian mungkin kurang cocok untuk habitat orang utan. Data penginderaan jarak jauh menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah di sebelah selatan Taman yang sangat potensial bagi program reintroduksi orang utan karena daerah ini merupakan hutan primer dan sulitnya diakses. Daerah yang berbukit dan tidak adanya infrastruktur menyebabkan kawasan di perbatasan Riau Jambiiniterhindardariperambahanyangberartiselamaini. Untuk menilai dampak ekologis terhadap hutan ini, maka kami melakukan survei pada bulan Maret-April tahun ini. Dari sampel yang diambil pada 70 plot, semua pohon telah diidentifikasidan diukur untuk menentukan nilainya sebagai sumber makanan orang utan. Hasilnya cukup menggembirakan, karena kira-kira 40% dari pohon di sebelah selatan taman nasional merupakan sumber makanan potensial orang utan. Sebagai tambahan, survei primata yang telah dilakukan membuktikan bahwa tidak terdapat populasi orang utan liar mendiami kawasan itu. Dengan demikian kamiberkesimpulankawasaninimemenuhikriteriaekologisuntuk keberhasianreintroduksi.
untuk melakukan pengelolaan daerah penyangga yang berkelanjutan.Karenaitu,tamansebelahselatanperludiperluas dengan memasukkan sebagian konsesi dan Dalek untuk mendapatkan bentuk taman yang baik bagi pengelolaan. Perluasan taman akan memberikan makna penting dalam pengelolaanberkelanjutan.Proyek reintroduksiorang utan akan menjadi salah satu penerima manfaat dari adanya perluasan taman karena kawasan ini berbatasan langsung dengan tempat reintroduksi yang direncanakan dan akan mengurangi konflik nantinya antara binatang yang dilepas dengan kebutuhan penggunaan lahan oleh manusia. Tugas program reintroduksi ini rumit dan saling berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan manusia.Senidariprogramkonservasiterletakpadacarabagaimana memadukan antara kepentingan perlindungan alam dengan kepentingan masyarakat yang berada di taman dan sekitarnya. Oleh sebab itu, program kami dirancang sebagai suatu pendekatan dengan berbagai langkah.
mereka adalah transmigran dari generasi kedua yang membutuhkan lahan baru dengan melakukan ekspansi ke wilayah lain. Pada awalnya, penduduk asli menerima dengan terbuka, karena kehadiran mereka sangat membantu pembukaan dan pengolahan lahan yang masih kosong. Tenaga mereka juga dimanfaatkan oleh perusahaan HPH, perkebunan dan pemilik sawmill. Tapi, di sinilah persoalan itu berawal. Sambutan hangat itu dilihat sebagai peluang mengajak saudara, teman dan juga tetangga untuk bergabung. Hasilnya? Penduduk asli kehabisan lahan, dan sebagian sudah terdesak. Para pendatang memang ulet dalam bekerja sehingga penghasilan yang mereka peroleh dari tenaga upahan dipakai untuk membeli lahan. Lalu apa masalahnya? Karena terdesak di lahan sendiri, akhirnya penduduk asli makin ke pinggir, yang berbatasan dengan taman nasional. Karena bersebelahan dengan kawasan yang hutannya masih bagus, justru memberi lahan baru buat mereka. Pengawasan yang sangat lemah, juga menjadi lahan tambahan bagi kaum migran untuk ikut bersama-sama penduduk asli mengambil kayu. Sudah tentu soal ini segera ditangani. Ekspansi besar-besaran kaum migran dan lemahnya kontrol terhadap taman nasional beser ta penyangganya, hanya akan mempercepat kehancuran kawasan lindung, yang belakangan makin tinggi ancamannya. (Tarida Hernawati)
EIA MAGAZINE
Namun kami merasa kurang optimis ketika menilai masa depan tamandandaerahsekelilingnya.Daerahsekelilingtamansekarang ini sangat rawan terhadap perambahan yang jumlahnya tidak bisa diperkirakan dan kurang baik untuk perlindungan jangka panjang spesies payung seperti harimau Sumatera. Karena hutan produksi berdekatan dengan batas taman maka tidak mungkin
Langkah pertama dititik beratkan pada penyadaran masyarakat dan lobi untuk memaksimalkan dukungan bagi kegiatan reintroduksi. Terutamanya kesadaran dan dukungan masyarakat asli yang berada di dalam maupun sekitar taman akan memainkan peranan penting untuk mencapai keberhasilan. Selain tujuan utama reintroduksi orang utan, kami juga bekerjasama dengan pejabat pemerintah untuk mengadakan lokakarya dan pelatihan bagi unit monitoring dan jagawana dengan tujuan untuk memaksimalkan pelayanan terhadap taman secara efektif. Diharapkan program ini akan dapat menjembatani kebutuhan berbagai macam penelitian berkaitan dengan kekhasan kawasan itu. Kegiatan penelitian diharapkan akan meningkatkan kepedulian terhadap taman serta memberi dukungan kepada konservasi alam. Langkah berikutnya berupa unit pendidikan sebagai salah satu tujuan dari pengelolaan taman dengan menanamkan pemahaman tentang konservasi alam dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan. Hutan hujan tropis sekarang sedang terancam luasnya dan sudah saatnya untuk memulai suatu program konservasi untuk kepentingan orang utan dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. (Peter Pratje)
LAPORAN UTAMA 16
NORINDRA*
–
Proyek Penelitian Bersejarah di Bukit Tigapuluh ebelum Jalan Lintas Timur Sumatera dibuka pertengahan dekade 90-an, Pangkalan Kasai merupakan desa terpencil di tepian Sungai Cinaku,sekalipuntelahmenjadipusatadministratif Kecamatan Seberida di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada tahun 1991 terjadi sesuatu yang sangat luar bias di desa ini ketika Pangkalan Kasai dijadikan pangkalan proyek penelitian NORINDRA. Desa terpencil ini sempat menampung sekitar 100 peserta proyek, hampir separuh peneliti dari luar dan dalam negeri, dan sisanya staf pendukung yang sebagian besardirekrutdandilatihdidesa.Gedungkunodari zamankolonialdirehabmenjadifasilitaskantoryang ditambahlaboratorium, jugabengkeluntukmenservis belasan sepeda motor dan beberapa mobil 4x4. Rumah-rumah yang sesuai disewa dan direhab menjadi mess maupun tempat tinggal bagi keluarga peneliti.Generatorsertajaringanlistrikdanberbagai fasilitaslaindiadakan.Untuksementara,suasanadesa sangat diwarnai kehadiran NORINDRA.
MARK EDWARDS
S Transmigrasi dan Persoalan di Taman Nasional
P
royek pemerataan jumlah penduduk melalui transmigrasi pada awalnya adalah dalam rangka penyebaran penduduk dikaitkan dengan ketersediaan sumberdaya. Dalam kenyataan, seringkali yang diutamakan adalah sisi penyebaran, tanpa lagi mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya. Tengoklah yang terjadi di unit permukiman transmigrasi di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Bukit 30, yang mulai sekitar tahun 1980. Selama dua hingga tiga tahun pertama, tanaman padi berjalan sukses sesuai dengan tanah hutan yang baru dibuka. Ketika panen padi setelah itugagal, mereka terpaksa menanam singkong, yang bisa tumbuh pada tanah yang kurang subur. Namun tanaman ini justru memberikan persediaan makanan pada babi hutan yang populasinya cepat berkembang dalam beberapa tahun. Akibatnya, sebagian besar transmigran meninggalkan ladang dan mencari pekerjaan lain untuk menopang hidup mereka. Sudah menjadi pilihan bagi transmigran, jika panen gagal, mereka selama ini cenderung menjadi petani berpindah. Pilihan lahannya adalah yang ada di sekitar, yakni taman nasional. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan terjadi kerusakan hutan di sekitar, tapi juga konflik dengan penduduk lokal, karena lahannya berdampingan. Permukiman yang berdampingan ini tidak hanya memicu konflik sesama penghuni permukiman, tapi juga mengancam kawasan hutan taman nasional. Tekanan itu semakin bertambah dengan tidak adanya batas-batas yang jelas antara permukiman transmigrasi yang sudah menjadi desa dan desa yang dihuni masyarakat lokal. Tekanan itu menjadi lebih besar lagi dengan penempatan unit transmigrasi baru di Puntianai, Desa Alim dan Sipang, tahun 1996. Lokasinya berdekatan dengan taman nasional, dan lahan yang tersedia berada pada topografi yang tidak sesuai untuk kawasan budidaya. Persoalan lain yang muncul, pengembangan lahan usaha tani II belum jelas, banyaknya migran yang sudah lebih dulu masuk, serta fasilitas jalan sudah tersedia menuju taman nasional, sehingga memudahkan mereka mengakses kawasan hutan. (Nursamsu)
Selama proyek berjalan banyak kejadian yang menarik. Sopir truk yang mengantar perlengkapan dari Pekanbari benar-benar ketakutan dengan daerah Cinaku ini, yang terkenal sebagai tempat kediaman harimau jadi-jadian. Setelah menurunkan barang mereka segera bergegas pulang sebelum kemalaman. Mereka khawatir di jalan ada wanita yang minta tumpangan, dan karena kecantikannya yang luar biasa tidak mampu ditolak. Menurut keyakinan sang sopir, setelah wanita masuk kabin truk, sifat harimaunya barujelasdansopirpundigasakhabis.Tetapiharimau ternyata bisa juga membantu. Waktu dua peneliti NORINDRA hilang di hutan Bukit Tigapuluh, dukun harimau di Pangkalan Kasai diminta menghubungi dewanya. Kedua orang ditemukan dalam amal dan akhirnya keluar selamat. Adapun penelitiyangdidugakerasukan,mungkinkarenastres berlebihan selama di lapangan, dan walaupun orangnya kecil kurus mampu menghancurkan tempat tidur yang dibuat dari bloti dan papan tebal dengan meloncat-loncat. Kejadian lebih mengerikan adalah mobil hardtop masuk jurang dan korban terpaksa dilarikankerumahsakitdiLirikdanPekanbaruuntuk menyelamatkan jiwanya, sedangkan ada pulah korban – seorang dokter sekaligus biolog – dari Norwegia yangmenjahitlukanyasendiridiPangkalanKasai..
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
Bagaimanapun, penelitian NORINDRA yang multidisipliner terlaksana dengan baik. Yang dikaji mencakup sifat tanah dan hidrologi daerah Bukit Tigapuluh, serta vegetasi dan dan faunanya, kemudian juga cara memanfaatkan sumberdaya itu lewatpolatradisionalmasyarakatsetempat,polatransmigrasidan perkebunan, maupun pola kehutanan yang menyangkut penebangan selektif. Pemanfaatan sumberdaya juga dikaji dalam perspektif sistem ekonomi, ekosistem, serta konteks lembaga pemerintahan dan perencanaan. Secara baseline, kekayaan biologis daerah Bukit Tigapuluh dibuktikan. Didokumentasikan lewat koleksi dan deskripsi 660 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat lokal, di antaranya 246 tumbuhan yangmemilikinilaimedissertaspesiesyangsangatluarbiasadan langka,seperti“cendawanmukaharimau”atauRafflesiahasseltii. 198 spesies burung ditemukan, termasuk Pitta granatina yang diobservasikan untuk pertama kalinya di Sumatera selama 70 tahun, dan 17 spesies burung lainnya yang untuk pertama kalinya diketahui beranak di Sumatera. Selain itu juga didokumentasikan 59 spesies mamalia, 10 di antaranya terancam punahsecaraglobal.Diantara98spesiesikanyangdiidentifikasi, ada satu yang belum dikenal secara ilmiah dan diberi nama Gymnochanda limi.
AULIA ERLANGGA/ AS&P
Proyek NORINDRA juga mendokumentasikan ancaman terhadap ekosistem Bukit Tigapuluh yang berasal dari perencanaan dan pelaksanaan penebangan hutan dan pengembangan pertanian, terutama transmigrasi dan perkebunan, secara tidak berkesinambungan atau lestari. Hasil dari NORINDRA disampaikan secara cepat ke semua pihak yang berkepentingan dalam bentuk laporan awal tahun 1992 dengan 5 rekomendasi utama. Yang pertama dan utama adalah mengenai pelaksanaan kawasan konservasi di Bukit Tigapuluh dan yang lain mengenai cara untuk memperbaiki pemanfaatan lahan dan sumberdaya di daerah sekitar, demi pelestarian alam dan kesejahteran masyarakat. Penemuan penelitian lebih rinci disampaikan pada seminar nasional yang diselenggarakan di Jakarta oleh LIPI tahun 1993, kemudian pada seminar internasional yang diadakan di Norwegia tahun 1994 oleh UniversityofOslodenganpesertadariwilayahAsia,Eropa,dan Amerika. Sementara itu, bahan dari NORINDRA diolah dan disampaikan secara khusus kepada instansi pemerintah Indonesia di pusat dan di daerah dengan tujuan utama untuk melobi pembentukan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Keberhasilan upaya ini tentu merupakan output paling penting dari proyek NORINDRA. (O.S.) * Norwegian-Indonesian Rainforest and Resource Management Project.
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
HTI TPTJ dan Perkebunan di Penyangga TNBT
T
ebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur uji coba yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman industri (HTI). HTI menggunakan sistem tebang habis, sementara TPTJ menyisakan hutan alam di antara jalur-jalur tanam. Pembukaan tutupan hutan pada pola TPTJ terjadi pada jalur bersih selebar 3 m, yang berada di tengah jalur tanam selebar 10 m yang bebas dari naungan pohon (tajuk). Di antara jalur tanam disisakan hutan alam selebar 15 m yang ditebang dengan batas diameter 40 cm ke atas. Uji coba dilakukan di sisi tenggara penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang berbatasan langsung dengan taman, yakni di areal PT. Hatmahutani. Sebagian besar (65 persen) areal konsesi itu berstatus hutan produksi terbatas (HPT). Karena statusnya HPT, semestinya sistem TPTJ tidak layak diterapkan, karena berbatasan langsung dengan taman nasional. Sebab penerapan sistem TPTJ di areal HPT berarti penurunan standar pengendalian dampak lingkungan. Sistem awal yang diperbolehkan untuk diterapkan di areal HPT adalah tebang pilih dan tanam (TPTI), dengan batas diameter tebang 60 cm ke atas. Kriteria diameter ini lebih ketat dibanding di areal hutan produksi biasa yang diberikan batas 50 cm ke atas. Sementara itu dengan TPTJ di luar jalur tanam ditebang dengan batas diameter 40 cm ke atas, pada jalur tanam bisa lebih rendah lagi, dan pada jalur bersih dilakukan tebang habis. Jika sistem TPTJ diterapkan di areal itu, maka akan terjadi penurunan standar pengelolaan dampak lingkungan. Lalu, untuk apa diberikan status terbatas jika perlakuan yang diberikan tidak berbeda dengan yang berstatus biasa? Jika disebut sebagai sistem yang masih diuji-cobakan, semestinya dicari lokasi yang secara ekologis memungkinkan. Masalahnya, argumen yang dipakai adalah demi peningkatan produktifitas hutan dan nilai ekonomi, sehingga pola TPTJ yang digunakan di areal HPT. Dari sini, jelas, makin nyata adanya kecenderungan eksploitasi habis-habisan kawasan hutan alam di Indonesia. Makin lama standar pengelolaan dampak lingkungan diturunkan hingga memungkinkan eksploitasi berjalan. Pemakaian argumentasi itu berarti juga menunjukkan kegagalan dalam pengelolaan hutan alam di Indonesia. Lain di selatan/tenggara, yang berada di Propinsi Jambi, lain pula yang terjadi di utara, masuk Propinsi Riau. Upaya penyelamatan daerah yang memiliki kriteria lindung di penyangga taman nasional bagian utara adalah dengan melakukan advokasi tahun 1998, melalui studi topografi skala detail kerjasama Proyek WWF ID 0117 Rengat, Pusat Penelitian Geografi Terapan UI dan ITB di areal seluas 15.000 ha. Studi dengan digital photogrammetry pengukuran ketinggian dengan menggunakan stereo-pair foto udara (areial photo)ini menggunakan foto udara pankromatik hitam putih skala 1: 20.000. Hasilnya adalah peta garis kontur (ketinggian) skala 1:10.000 dengan interval kontur 10 meter, serta peta sebaran kemiringan lereng untuk skala yang sama. Melalui studi itu kemudian ditemukan, perkebunan kelapa sawit milik PT Arvena Sepakat dan PT Sumatera Makmur Lestari yang berlokasi di sisi utara taman, berada pada kemiringan lereng curam, yakni di atas 25 persen, dan sebagian malah di atas 40 persen. Padahal, kawasan itu masuk dalam kriteria kawasan lindung, sehingga secara hukum kedua perusahaan itu melanggar UU No.24/1992 dan Keppres 32/ 1990, serta SK Menhutbun 376/KPTS-II/1998. Jika rencana TPTJ direalisasikan dan izin kedua perusahaan perkebunan tidak ditinjau kembali, dampaknya akan menimpa kawasan di sekitar terutama taman nasional. Sebagai penyangga perluasan habitat dari flora maupun fauna di TNBT, areal di sekitarnya diharapkan masih berbentuk hutan alam yang utuh yang diusahakan secara lestari. (Agus Budi Utomo/Bobby Berlianto)
17
AKTUAL 18
Nasib Bukit 12,
M
Bunyi keputusan itu, antara lain, kawasan Taman Nasional (TN) Bukit 12 berasal dari perubahan fungsi sebagian hutan produksi terbatas Serengam Hulu seluas 20.700 ha dan sebagian hutan produksi tetap Serengam Hilir seluas 11.400 ha, penunjukan sebagian areal penggunaan lain seluas 1.200 ha, serta kawasan suakaalamdanpelestarianalam(cagarbiosfer)seluas27.200ha. Dengan demikian, luas TN Bukit 12 menjadi 60.500 ha. Penetapan Bukit 12 sebagai taman nasional merupakan sebuah perjuangan panjang. Perjuangan itu berawal dari surat usulan Gubernur No. 522 Tahun 1984 untuk menjadikan kawasan perbukitan itu menjadi cagar biosfer. Tujuannya, untuk mempertahankan kawasan hidup Orang Rimba, yang sebagian besarterkonsentrasidisana. Sayang, surat usulan itu tidak ditindak-lanjuti, karena pembentukan cagar biosfer belum dibahas lebih jauh, terutama melalui peraturan pelaksanaan (PP) dari UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Akibatnya, kawasan hidup Orang Rimba tidak terlindungi dari tekananeksploitasi. Kendatibegitu,kajianterhadapBukit12tidakberhentidilakukan. Hasilnya, antara lain, kawasan ini merupakan daerah tangkapan hutan dan hulu dari sejumlah anak Sungai Batanghari, sehingga mampu menjaga fungsi hidro-orologi (tata guna air) di bagian hilir. Juga menciptakan keseimbangan iklim mikro, melindungi mamalia besar seperti harimau, tapir yang sudah langka dari habitatnya. Bukit 12 juga kaya dengan keragaman hayati, termasuk tanaman obat, sumberdaya perikanan yang hidup di sepanjang sub-DAS yang berhulu ke Bukit 12. Yang juga penting, sumberdaya pencarian Orang Rimba, berupa hasil hutan nonkayu juga makin terjamin, karena berada dalam kawasan konservasi. Sampai Juni tahun lalu, tidak ada kebijakan baru yang berkaitan dengansuratusulangubernurtadi. BaruakhirJuli1999,setelah
RIZA MARLON
asa penantian itu berakhir jua. Bukit 12, yang sejak tahun 1984 diusulkan menjadi cagar biosfer, kini ditetapkansebagaitamannasional,melaluiKeputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 258/ Kpts-II/2000. Keputusan itu ditandatangani Nurmahmudi Ismail, 23 Agustus lalu, atau sehari sebelum departemen yang dipimpinnya di“diskon” menjadi Kantor Menteri Muda Kehutanan.
RIZA MARLON
SK Taman Nasional dan Tekanan Tiada Henti
Rentan terhadap kerusakan lingkungan: Orang Rimba di TN Bukit Duabelas
Menhutbun (waktu itu) Muslimin Nasution berkunjung ke Jambi, ada titik terang. Bahkan Muslimin ingin memperluas cagar, meski statusnya waktu itu masih berupa usulan. Baru, setelah pergantian menteri —dan nyaris ada pergantianlagi—statuskawasanitujelas:ditetapkansebagaitamannasional. Dengankeputusanitu,bukanberartimasalahmenjadiselesai. Justrutekanan dan ancaman yang dihadapi kian berat. Eksploitasi terhadap taman malah berlangsungtiadahenti. Kayu-kayuberbagaijenis–meranti,kempas,medang dan jenis lain yang harganya tinggi— menjadi sasaran penebangan ilegal, baik oleh pengusaha maupun masyarakat. Dari kalangan pengusaha, wilayah yang menjadi sasaran berada si sisi timur dan utara taman. Modusnya macam-macam. Ada yang melalui koperasi (Koperasi Ruan Putra Anak Dalam—KRAD), dengan mengatasnamakan masyarakat lokal, yakni Suku Anak Dalam (Orang Rimba, dengan dimodali pengusaha —yang menurut informasi— bernama Halim. Melalui koperasi ini Halim mendapat izin pemanfaatan kayu (IPK) dari Kanwil Dephutbun Jambi, tahun lalu. Lahan IPK dengan lokasi berdampingan dengan taman, sesuaiinvestigasilapangandanhasilpeta citra1998,tidakmemilikipotensi kayu yang layak untuk dimanfaatkan.
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
19 Termasuk yang dilakukan penduduk setempat dari beberapa desa: di antaranya Rantau Panjang, Rantau Limau Manis, dan Seling (Kecamatan Tabir, Kab. Merangin), berjarak sekitar 20 km dari taman, serta dari Pintas, Lubuk Bumbun dan Tambun Arang (KecamatanTeboIlir,Kab.MuaroTebo),sekitar15kmdaritaman. Mereka mengaku, taman nasional itu berada di wilayah hutan adat mereka, sehingga berhak memanfaatkan.
AULIA ERLANGGA/ AS&P
Modus lain, memodali masyarakat, khususnya Desa Sungai Ruan, Kecamatan Marosebu Ulu, Kab. Batanghari, baik dengan menyediakan gergaji mesin (chainsaw)maupunmodal. Hasileksploitasisecarailegalinidikumpulkandi log-pond, yang berlabuh di Sungai Batanghari yang melewati desa itu. Anehnya, log pond itu tidak pernah mampu disentuh aparat hukum, meskipun seringkalimelakukanraziapenebangankayuilegal. TekananjugaterjadidisisiBarat. Ada yang dilakukan peserta transmigrasi Tanah Garo, khususnya peserta transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) dari SPA Sungai Jernih, Kecamatan TeboIlir,berjaraksekitar15km daritamannasional. Merekaikut sebagai penjarah karena lahan pertanian yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Peserta transmigrasi ini tidak hanya membawa keluarga inti(suami-isteridananak),tapi jugasaudaradanfamili,sehingga lahan yang ada tidak cukup untuk kebutuhan mereka.
Dengan turunnya Surat Keputusan Taman Nasional Bukit Duabelas maka sumberdaya pencarian Orang Rimba, berupa hasil hutan nonkayu juga makin terjamin, karena berada dalam kawasan konservasi. Bayangkan bila orang Rimba dengan pola hidup yang sangat bergantung pada hutan, kehilangan rimbo-nya, maka yang terjadi adalah mereka makin tersingkir dari rumahnya sendiri dan yang pasti mereka tidak bisa bersaing dengan masyarakat lain yang sudah lebih maju peradabannya.
Soal kekurangan bahan baku, diakui Kepala Dinas Kehutanan Jambi. Tahun lalu industri pengolahan kayu di Jambi membutuhkan bahan baku 3,8 juta m3. Sementara pasokan yang terjamin hanya 1,1 juta m3. Kekurangan sebesar 2,7 juta m3iniditengaraiberasaldarikayu-kayuilegal. Eksploitasi secara berlebihan ini tentu menjadi ancaman serius bagi TN Bukit 12. Padahal fungsinya bukan untuk memasok kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu. Tinggal lagi kebijakan pengamanannya. Nasib taman itu kini tergantung pada para pengambil kebijakan. (Erdi Taufik)
DICKY KURNIAWAN/ WARSI
DOK. WRASI
Kegiatan eksploitasi ini belakangan berlangsung cukup marak, dan menggunakan chainsaw, sehingga mempercepat kerusakan hutan. Hasilnya ditampung pengusaha dan didistribusikan ke berbagailokasi:mulaisawmillhinggaekspor. Khusussawmill,di Jambi saat ini terdapat sekitar 75 unit (baik terdaftar maupun ilegal). Juga industri pengolahan kayu, sebanyak sembilan perusahaan. Satu di antaranya pabrik pulp PT Lonthar Papyrus –grup PT WKS— yang tahun lalu kekurangan bahan baku 1,2 jutam3.
WAWANCARA 20 sumberdaya genetik seperti plasma nutfah. Ada juga kawasan untuk pengembang-biakan keragaman hayati, terumbu karang, hutan tropis dataran rendah. Pertimbangan ini yang dipakai untuk mendelineasikan sebuah kawasan lindung secara makro. Setelahyangmakrojelas,barumasukpadadelineasidetail,yang mikro. Dalam kawasan lindung secara makro ada enklave-enklave kawasan budidaya, seperti perkampungan, yang sudah ada sebelumkawasanlindungditetapkan. Disinilahmunculmasalahmasalah delineasi detail. Setelah berbagai pihak setuju dengan delineasiitu,sewaktumasukkedetailadabeberapapertimbangan lokal, yang tidak sinkron lagi dengan yang makro. Akibatnya, perencanaan secara makro menjadi tidak sama dengan yang mikro. Halituterjadikarenapersepsididaerahdenganpusatberbeda?
DOK. PRIBADI
Pemahaman terhadap masalah keruangan belum lengkap sampai ke daerah. Ada anggapan, jika sudah menjadi kawasan lindung, pihak daerah tidak leluasa bergerak. Padahal maksud kebijakan itu bukan begitu. Mereka harus menyusun pola dan kriteria apa yang boleh dibangun di sebuah kawasan, dengan menyusun program pembiayaan dan pemeliharaan kawasan. Tidak bisa mengubah begitu saja. Misalnya kawasan HPH yang membabat kayu di luar konsesinya, lalu minta diubah menjadi kawasan budi daya. Ini tidak bisa. Jadi memang banyak sekali perbedaan persepsi, oleh karena insutrumen-instrumen pengaturnya belum lengkap. Ke depan, apa yang bisa menyelamatkan kawasan yang secara keruangan dilindungi?
Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman
PenyimpanganTata Ruang Karena Kolusi Pusat-Daerah ebijakan penataan ruang di daerah selama ini banyak yang menyimpang dari rencana semula, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan: mulai dari konversi hingga perambahan secara ilegal. Mengapa bisa terjadi? “Pemahaman terhadap masalah keruangan belum lengkap sampai ke daerah,” kata Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman Js, Deputi Ketua Bappenas bidang Regional dan Sumberdaya. Doktor lulusan School of Forestry, Duke University, Durham, NC. USA ini memang bukan orang asing untuk bidang ini. Guru Besar IPB ini juga Ketua Kelompok Kerja Tata Ruang Nasional Bappenas sertaSekretarisBadanKoordinasiTataRuangNasional,sejak1994. Bagaimana pikiran dan pandangan Prof Herman Haeruman soal kebijakan keruangan dan penyimpangan yang terjadi? Berikut petikannya:
K
Komentar Anda tentang penyimpangan itu? Kebijakan keruangan secara makro mengacu, antara lain, pada kawasan lindung. Kawasan lindung dibutuhkan sebuah kawasan produksi sehingga mendapat perlindungan dari segi ekosistem. Misalnya, kawasan resapan air atau kawasan budidaya berupa
Ada satu aspek yang disebut penyerasian antara tata guna hutan kesepakatan dan tata ruang. Dalam tata ruang, sebagian areal produksi masuk kawasan lindung. Ada yang namanya kawasan HPT, yang menurut tata ruang adalah kawasan lindung, karena pemanfaatannya tidak menggunakan teknik pengolahan biasa. Kawasan lindung tidak bisa dieksploitasi seenaknya, pertimbangan lingkungannya nomor satu dan produksinya nomor dua. Kalau polanya seperti itu, apakah izin HPH di masa datang masih ada? Dari segi hukum, usaha pemanfaatan hutan bisa macam-macam: HPH, koperasi, HTI, maupun community forest (hutan kemasyarakat, red.)dansebagainya. Tapiapakahusahaitucocok atau tidak dengan fungsi kawasan itu? Misalnya ada kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Maksudnya, di kawasan itu hutannya harus bagus, bukan gundul. Kalau tidak bisa menghasilkanhutanyangbagus,tidaksesuaidenganfungsilokasi ruang untuk hutan, seharusnya tidak bisa. Kalau pemanfaatan masih menggunakan pola, izin tidak gampang lagi diberikan? Iya,tidakbisa. Bagaimana caranya agar tidak ada lagi penyimpangan di masa datang? Pertama, sosialisasikan kebijakan tata ruang. Yang namanya rencanatataruangadalahtujuanakhirdarisebuahruang. Jadi, berpikir logis dulu. Kedua, pengawasan. Jika sebuah ruang berubahbentuk,akanterjadi impactekonomi. Karenaitu,setiap konversi harus mempertimbangkan hal itu. Ketiga, penegakan hukum. Setiap konversi yang menimbulkan kerusakan
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
21 lingkungan adalah tindakan kriminal. Tapi, soal penegakan hukum ini memerlukan sistem pembuktian material yang berat. Kerusakan lingkungan merupakan tindakan kriminal yang bersifat genocide, yaknimembunuhgenerasisaatinidanyangakandatang, karena mereka kehilangan sumberdaya, antara lain akibat kerusakanlingkunganitu. Soal penegakan hukum, siapa yang bertanggung-jawab? Masalahinimenjadi tanggungjawabpemerintahdidaerah. Tidak bisa lagi pihak yang harus menegakkan hukum, gampang mengubah peruntukkan kawasan yang sudah disepakati. Apa penyimpangan itu hanya orang daerah? Begini. Pusatsejakawalmerumuskansustainabalityuntuksebuah kawasan, sedang daerah bicara kebutuhan jangka pendek. Nah, disiniadakolusikarenaperbedaankepentingan. Kalaudidaerah ada maunya, karena kolusi, pusat pun mudah menyetujui, meski daerah tidak mempertimbangkan sustainable-nya. Jika pusat setuju, daerah senang. Sebab, pertumbuhan PAD dalam jangka pendek terpenuhi, meski tidak memikirkan lagi masa depan. Dengan alasan PAD, jangan-jangan setelah otonomi nanti diberlakukan, daerah makin mudah mengeksploitasi kawasan yang seharusnya dilindungi? Oh, tidak bisa! Kalau dengan otonomi dikatakan daerah punya kekuasaan mutlak untuk bikin segala macam, jangan coba-coba. Masih ada undang-undang di atas peraturan daerah. Kalau melanggar misalnya, peraturan yang dibuat di daerah akan cacat hukum. Jika sudah cacat hukum, pihak kejaksaan —yang bukan perangkat daerah— yang akan memproses. Kecuali kalau dilakukan di kawasan budidaya, bisa diatur melalui peraturan daerah. Kalau konversi tidak bisa karena harus menggunakan justifikasi. Bagaimana strategi yang diterapkan, agar kebijakan keruangan tidak mudah dilanggar? Sebetulnya, kalau sistem pemerintahan yang memihak rakyat dipraktekkan, akan selalu ada kontrol sosial. Dengan kekuasaan yangdimiliki,diatidakberanimelawansuararakyat. Suaramereka inilah yang harus diakomodasi, sehingga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tapi, harus dibedakan, mana suara masyarakat yang murni mana yang sudah dicampuri kepentingan pengusaha. Dengan otonomi, ada tuntutan melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Tapi, selama ini pemerintah sangat dominan. Apa nanti bisa dilaksanakan? Kenapa tidak. Pusat justru memberi ruang gerak yang bebas denganmekanismefasilitatordaripusat. Juga,pendekatan,community based development (pembangunan berbasiskan masyarakat, red). Pemerintah akan memproteksi mereka dari “hama gangguan” sehingga punya ruang gerak yang leluasa. Kalau ada intervensi yang berlebihan di daerah, pusat akan mem-back up. Masyarakat diberiakseskepengambilkebijakanyangpalingatas. Taman Nasional Bukit 30 di Propinsi Riau dan Jambi kini rawan acaman eksploitasi, yang sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Komentar Anda? Dalam desain taman nasional, sudah ada kawasan penyangga yang berfungsi sesuai peruntukkan. Tujuan penyangga ‘kan untuk membatasi agar jangan ada ekspansi ke dalam taman. Penyangga
bisa sekaligus menghambat ancaman itu. Masalahnya, penyangga itu justru tidak berfungsi. Bahkan ada yang kini dikonversi jadi HTI, tanpa dikelola sesuai fungsinya? Mestinya, kawasan penyangga ini di-manage. Setiap rencana pengelolaan kawasan penyangga harus sinkron antara kebutuhan masyarakat dan rencana pemerintah. Masyarakat juga bisa mengoreksi kalau ada rencana yang tidak sesuai. Misalnya pemerintah menyerahkan sebagian kawasan penyangga dikelola pengusaha,tapimelanggaranketentuan. Iabisadituntut,karena ada kekuatan hukum untuk menindaknya. Jadi, pemerintah daerah yang bertanggung-jawab mengelola bersama masyarakat? Bukan hanya itu, tapi juga harus menjelaskan secara transparan tentang fungsi penyangga. Masalahnya, seringkali pemerintah daerah tidak paham, sehingga kawasan penyangga dikonversi begitu saja tanpa mempertimbangkan peruntukkannya. Ini kelemahan koordinasi antara pusat dan daerah? Sebagian informasinya, seperti peta kawasan, ada di Departemen Kehutanan. Tapi, tidak sampai ke daerah. Mungkin mereka menganggap peta itu seperti harta karun dan tidak diberitahu. Sebaliknya, daerah juga tidak meminta, karena tidak paham. Bagaimana kalau kawasan penyangga itu sudah rusak? Yang bertanggung-jawab adalah dinas kehutanan, yang diserahi tugas mengelolanya. Masalahnya, bagaimana menilai kinerja instansi itu. ‘Kan tidak pernah ada kinerja seorang kepala dinas ditulis minus karena hutan yang dikelolanya rusak. Belum ada mekanismenya. Cobakalauadakriteriasepertiitu,setiapkepala dinas akan mudah dimintai pertanggung-jawaban, karena instansi ini yang bertanggung jawab. Taman nasional akan lebih efektif dikelola jika rasio antara keliling dan luas tidak jauh berbeda. Kenyataan di lapangan tidakbegitusehinggasulitdikontrol. Apamungkindirasionalisasi menuju bentuk yang ideal? Kalau dikaitkan dengan perluasan ke luar, yang masih berhutan danberstatuslindung,tidakmasalah. Kecualikalausudahmenjadi perkampungan. Jadi rasionalisasi bentuk Taman Nasional Bukit 30 juga bisa dilakukansegera? Tidak ada masalah. Justru isu rasionalisasi itu tidak muncul, sehingga pusat tidak bisa memutuskan. Menurut saya tidak sulit mengubah delineasi taman nasional, karena di sekitarnya adalah kawasan lindung dan produksi. Dengan dimasukkan ke dalam tamannasional,kawasanitu‘kanjugadilindungi. Jadi,masalahnya tergantung kepada usulan masing-masing daerah. Siapa yang mengusulkan? Pemerintah daerah. Kalau taman nasional itu berada di beberapa dua propinsi, semua gubernurnya yang mengusulkan. Perlu kesepakatan antargubernur? Independent aja. Tapi dua-duanya harus didorong untuk mengusulkanrasionalisasi Caranya? Ajukanusulandenganpetadanjustufikasi,nantidievaluasi. Gitu saja, nggaksulitkok.(ErdiTaufik)
SELINGAN 22
Upacara Kemantan, SaratKearifan pacara kemantan dilakukan dalam rangka penyembuhan penyakit yang dialami masyarakat Talang Mamak, suku asli yang tersebar di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Penyakit ini dikaitkan dikaitkan dengan pelanggaran aturan dan adat serta keserakahan manusia akan sumberdaya alam. Agar bisa hidup damai dan terlepas dari segala penyakit, mereka harus menyeimbangkan kosmos (antara dunia nyata dan gaib). Segala kejadian alam yang menimbulkan bahaya, bala dan penyakit merupakan akibat ketidakseimbangan kosmos.
U
Dalam konsep Orang Talang Mamak, alam dibagi dua: nyata dan gaib. Alam nyata ditempati mahluk seperti manusia, hewan dan tumbuhan. Sedang alam gaib ditempati mahluk halus seperti dewa, orang bunian, datuk, orang keramat, dan mahluk halus lainnya. Alamgaibhanyadapatdilihatdukunatauorangtertentu. Dalam mengkonsepsikan alam nyata dan gaib, Orang Talam Mamak menghubungkan antara gejala alam dan unsur-unsurnya. Kejadian alam dihubungkan dengan alam gaib: musibah banjir dan kekeringan terjadi karena dewa marah, gempa terjadi karena Dewa Nangui (babi berjenggot) —bumi dikonsepsikan berada di atas kepala nangui—bergerak akibat tertimpa kayu di hutan yang ditebang akibat manusia serakah. Nama dan istilah mahluk gaib dibedakan berdasarkan tipe alamnya.Dilaut,airatausungaidisebutmambangperi,setan.Di rimba atau hutan disebut bunian, datuk, orang keramat, hantu, setan, jin, batak biuto dan bandan kelasih. Di pergunungan ada dewa-dewan, jin.Dilangit adaberuang langit. Diangin adajin-
jin beribukala.Dan di paya-paya adalombu buriang, batak biuto dan bandan kelasih. Menurut dukun atau kemantan, bentuk mahluk gaib bisa menyerupai manusia, juga hewan. Bentuknya aneh dan elastis, dan bisa menyerupai hewan, sehingga mereka mengkonsepsikan hewan-hewan tertentu sebagai keramat. Asal-usul dan penyakit juga dikaitkan dengan perbuatan makhluk gaib,sepertipening-pening,letak,koleradanlebam.Penyebabnya karenamelanggaraturandanadatyangberlakusertatidakmenjaga keseimbangan alam. Penyakit yang disebabkan mahluk gaib bisa disembuhkan dengan menegakkan aturan dan adat, dengan memohon kepadanya melalui perantaraan kemantan.
Kemantan adalah dukun yang kedudukannya lebih tinggi dari dukun biasa. Ia akan mengobati penyakit yang tidak dapat disembuhkan dukun biasa. Puncak pengobatannya dilakukan melalui dukun kemantan yang disebut upacara kemantan. Dukun Kemantan tidak bisa berdiri sendiri: harus ada pembimbing, yakni penginang dan kubayu. Penginang harus wanita, yang melantunkan nyanyian panjang sebagai alat memanggil keramat betuah. Sedangkan kubayu harus pria karena akan menemani kemantan dan keramat betuah menari-nari. Penginang dan kubayu inilah yang mengetahui roh-roh datang, berkomunikasi dengan keramat betuah dan menyampaikan pesan kepada khalayak ramai.
Upacara kemantan bisa dilakukan karena beberapa hal: (1) Jika penyakit datang dan berkepanjangan, dan korbannya lebih dari 3 orang. (2) Harimau datang dan menyakiti seseorang yang dapat dilihat dengan bantuan “orang pintar”. (3) Jika seseorang mendapat tuah menjadi kemantan dari datuk atau niniknya. (4) Pangkal tahun, yakni awal tahun menanam padi dengan memohon kepada keramat betuah agar mereka dari penyakit dan mendapatkan hasil panen yang lumayan. Jika doa ini terkabul, selesai panen di ujung tahun padi, upacara kemantan dilaksanakan.
MANGARA SILALAHI/ WWF TNBT
Waktu upacaranya ditentukan berdasarkan mufakat tetua adat dan pemeliharanya. Biasanya dapat dilaksanakan jika seminggu menjelang kemantan tidak ada yang meninggal.. Ada dalam tiga tahapan dalam upacara ini: Malam nan kocik, dengan tujuan meninjau peralatan dan pakaian kemantan (dondonan) pasda tahap berikut.
Malam nan godang, proses penyembuhan dengan memberikan peralatan yang diminta berdasarkan malam nan kocik. Undo di lambai, acara makan dan minum karena selama dua hari dua malam kemantan lelah bekerja. Padatahapini,pelaksanaupacara membekali kemantan berupa keperluan sehari-hari:beras,gula,garam,minyakmakan dan tembakau, sebagai ucapan terima kasih. (MangaraSilalahi)
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
23 setelah beberapa waktu, hidup terlunta-lunta:mencari penghidupan dari hasil hutan nonkayu, atau membuka ladang yang ditanami karet. Berkat ketekunan dan kegigihan berusaha, nasibnya kemudian berubah.
DICKY KURNIAWAN/ WRASI
Becukai, yang semula bernama Sijelai, sekitar sembilan tahun laluterusirdarigenahnyadisisiselatanCagarBiosferBukit12 (sekarang menjadi taman nasional), wilayah sub daerah aliran Sungai Air Hitam, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun. Kepergian saudara sepupu Tumenggung Tarib ini adalah demi menjalani hukuman karena kawin sumbang: mengawini anak tiri (mencarak telur), yang menurut adat Orang Rimba merupakan pelanggaran adat yang berat. Karena itu sanksinya juga berat: bangun nyawo (dibunuh), atau membayar denda adat berupa 500 lembar kain panjang. Hukuman ini bagai pukulan berat dan sangat memalukan bagi Becukai. Ia tidak siap menghadapi hukum bangun nyawo. Tetapi membayar denda juga tidak mampu, karena harga kain panjang mencapai lima ratus ribu rupiah kala itu. Pilihannya kemudian lari dari kampung halaman. Tentu pilihan ini amat berat, tapi ia harus menerimanya.
Becukai,
PROFIL
Menangguk Emas di Rantau Orang ibuang secara adat tidak membuat lelaki itu hidup kere. Justru karena hukuman itu nasibnya berubah: tidak lagi hidup marginal di tengah-tengah “harta karun” yang melimpah –tapi dirampas karena kekuasaan tidak berpihak, sebagaimana kini masih dialami anggota kelompoknya yang lain. Begitulah kilas kehidupan Becukai (35 tahun), Orang Rimba yang kini hidup “sukses” kendati tinggal jauh dari kampung halaman. Ia kini menjalani perannya sebagai tauke, alias pedagang penampung, di dusun Semarantihan, Desa Suo-suo Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.
D
Cerita sukses seseorang memang biasa, karena banyak perantau negeri ini yang hidup lebih baik dibanding di kampung halaman. Tapi kisah ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan keberadaannya sebagai Orang Rimba yang tinggal di sisi selatan Taman Nasional Bukit 30. Bapak tujuh anak itu kini “menguasai” perdagangan getah jernang, hasil hutan nonkayu –suatu loncatan yang luar biasa bagi Orang Rimba, yang selamainiseringtertipuketikamelakukantransaksi.Kesuksesan ini, tentu tidak digapai begitu saja. Ia memulainya dari awal,
Selama dalam pelarian, bersama isteri dan tiga anak tirinya, ia hidup berpindah-pindah. Pertama kali berarayow (membangun tempat sementara) di Kuamang Kuning, sekitar 90 km dari Air Hitam. Ia tidak betah berlama-lama, karena hasil buruan tidak cukup, baik untuk dimakan maupun sebagian dijual untuk membeli kebutuhan lain. Ia pindah ke Desa Aburan Batang Tebo, kondisinya juga sama. Begitupun di Desa Sungai Alai, Kabupaten Muara Tebo, setali tiga uang. Akhirnya ia “terdampar” di Dusun Semarantihan, yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit 30. Dusun ini bagai menjadi harapan terakhir. Ia menganggapnya sebagai tanah harapan, karena ”bertetangga” dengan masyarakat Talang Mamak, suku asli yang dimukimkan di PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) Semarantihan. P:ola hidup mereka pun sama: berburu dan mencari hasil hutan nonkayu. Bahkan Becukai dan keluarga dianggap saudara: boleh memanfaatkan apa saja untuk menunjang kehidupannya. Keluarga ini juga dibantu, jika ada masalah dengan pihak lain. Di kawasan ini, hasil hutan non kayu masih banyak ditemukan, di antaranya rotan, damar, manau dan getah jernang. Juga binatang buruan: babi, labi-labi dan sejenisnya. Becukai mulai menapak hidupnya, karena merasa betah. Ia seperti menemukan gairah hidupnya kembali. Hari-harinya dijalani dengan bekerja tanpa henti: berburu dan mencari hasil hutan, atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Bahkan, di sela-sela mencari hasil hutan, ia membuka ladang yang ditanami karet –tapi tidak sampai panen karena gangguan kawanan gajah, yang memang sudah terdesak dari habitatnya di taman nasional. Tidak sampai setahun, ketekunan itu mulai menampakkan hasil. Simpanan, dalam bentuk emas, sudah ada dikocek. Mulailah ia berpikir melakukan sesuatu dengan simpananya. Pikiran bisnisnya mulai jalan, yakni membuka warung.. Maka
PROFIL 24 pondok kecilnya sekaligus menjadi warung, menyediakan kebutuhan pokok orang-orang di sekitarnya. Naluri bisnisnya benar. Warungnya, hari demi hari –berkat sikap hidup hemat— berkembang baik. Simpanan emas pun bertambah. Ia pun tidak puas hanya sekadar menyediakan kebutuhan pokok. Becukai lalu melirik peluang lain: tauke untuk getah jernang (Daemonorops spp) —untuk bahan baku zat pewarna kain batik dan obat luka. Pertimbangannya, ia mampu membeli komoditi itu dan menjualnya ke tauke yang lebih besar.
Kehadiran rumah bagai memberi hoki pada Becukai. Tidak sampai setahun ia mampu membeli sepeda motor. Meski bekas, kendaraan ini sangat membantu usahanya, karena bisa mencapai lokasi dengan cepat. Bahkan, dengan sepeda motor,
DICKY KURNIAWAN/ WRASI
Maka, peran tauke sebelumnya diambil alih, dengan mengumpulkan getah jernang dari kawan-kawannya dulu: Orang Talang Mamak dan beberapa Orang Rimba yang sudah merantau ke sisi selatan taman nasional. Tentu ia lebih dipercaya, karena kawan senasib. Ia juga dipercaya Khoiri, tauke tingkat kecamatan yang datang menjemput. Ahoi pula, nama tauke itu, yang memasok segala kebutuhan warung
dengan naiknya harga getah jernang. Dari pengumpul ia membeli Rp 260.000, dan dijual ke tauke Rp. 300.000. Dalam sebulan ia membeli 10 kg, dan pada waktu-waktu tertentu, saat sedang musim, bisa 30 hingga 50 Kg. Tentu isi koceknya juga bertambah. Ia lalu membangun rumah dengan kondisi permanen. Rumah yang sekaligus menjadi warung itu secara cepat dengan biaya Rp 13,5 juta. Warungnya cukup memadai, sehingga dilengkapi dengan kebutuhan lain —tidak melulu menyediakan beras, gula, teh, kopi, mi instan, sabun dan pasta gigi— juga ada minyak tanah dan solar, minuman botol, makanan kecil, rokok, hingga kertas, memenuhi rak yang terdapat di ruang depan rumahnya.
Becukai bersama keluarga: Orang Rimba yang kini hidup sukses kendati tinggal jauh dari kampung halaman. Ia kini menjalani perannya sebagai tauke, alias pedagang penampung, di dusun Semarantihan, Desa Suo-suo Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. perantau Orang Rimba itu. Dan, kerjasama dengan tauke ini berjalan baik, karena Becukai bisa mengambil barang-barang yang dibutuhkan dengan sistem bayar di belakang. Sejak itu, isi warungnya bertambah lengkap dan usaha taukenya berjalan lancar. Becukai memang tipe orang yang tidak pernah “puas”. Lokasi warung yang isinya sudah lengkap untuk ukuran desa, sudah perlu mencari tempat yang lebih strategis. Pilihannya, pindah lokasi ke pinggir jalan, berdekatan dengan kamp sebuah perusahaan kayu dan dilalui banyak orang –yang tidak jauh dari rumahnya. Pilihannya tepat. Warungnya makin diminati. Rata-rata omsetnya malah bisa mencapai dua sampai tiga juta rupiah perbulan. Bisnis taukenya juga tidak mau kalah, seiring
ia berniat menjual langsung getah jernang ke tauke di Muaro Tebo, sekitar 50 km dari warungnya. Dan niat ini terwujud setelah ia paham dengan seluk-beluk perdagangan komoditi ini. Pengalaman bertauke dengan Ahoi setidaknya jadi pelajaran berharga bagi Becukai untuk memulai usahanya. Sebab margin keuntungan lebih besar jika ia bisa menjual langsung. Apalagi sudah ada sepeda motor, ayah tujuh anak ini bisa transaksi langsung dengan tauke di Muara Bungo, sekitar 100 km dari Semarantihan. Ia juga menjadi orang kepercayaan Ahui —tauke yang lebih besar— karena ulet dalam berusaha dan tidak pernah bohong. Justru, kata Becukai, “Dulu akeh (saya, red.) sering ditipu kalau menimbang, kerno tidak bisa berhitung,” tuturnya tentang pengalamannya sebagai Orang Rimba. Dalam bertransaksi, masyarakat asli ini
A
L
A
M
S
U
M
A
T
E
R
A
&
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
25 untuk sekedar makon, lah lebih dari cukup,” paparnya. Memang, tidak ada yang berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Tidak terkecuali dengan Becukai, yang kini menangguk emas di rantau orang. (Diki Kurniawan)
sering ditipu Orang Terang –begitu mereka mengistilahkan penduduk desa, ketika menimbang getah jernang ke tauke. Meski sering ditipu, Becukai tidak mendendam. Ia memang tidak bisa baca tulis, ia tahu ukuran timbangan. Bisnisbagidiaadalahsebuahkejujuran,dandalamtransaksi harussalingpercaya,bukansalingcuriga. Bahkan,taukenya yang dulu dianggapnya menipu, sekarang memasok jernang padanya untuk dibawa ke Muaro Bungo. Ia pun sadar, tidak selamanya bisa menjalani usaha tanpa didukung kemampuan baca tulis. Maka, ia menyekolahkan anaknya, Meraco (10 tahun), di SD yang ada di desanya. Meraco pula yang menggantikan posisinya saat mengurus dagangan ke luar desa. Meski belum tamat, bocah ini sudah mampu menggantikan peran ayahnya di warung. Waktu terus berlalu, keberhasilan dalam berusaha sudah mulai tampak. Keuntungan bukan lagi dimanfaatkan untuk penunjang usaha. Becukai membeli sejumlah perabotan. Di rumah berukuran sekitar 10 x 8 m2 itu sudah ada satu set meja dan kursi tamu, beberapa lemari, satu buah kasur dan ranjang tempat tidurnya, dua buah televisi (satu sudah rusak) dilengkapi satu VCD player, tape deck dengan salon speakernya. Rumah ini juga dilengkapi mesin diesel untuk pembangkit listriknya. Sepeda motor pun sudah dua buah, (satu lagi dibeli beberapa waktu lalu dengan harga Rp 7 jutarupiah.)
Lelaki setengah baya itu tidak banyak berubah. Ia tidak lupa “kulit” atau keluarganya. Sewaktu didatangi Tumenggung Tarib, yang merupakan kakak sepupunya, Becukai menerima dengan ramah, meski keberadaannya di rantau orang karena terbuang secara adat. Begitu juga dengan tetangga-tetangganya, ia tetap melayani berbelanja walaupun dengan berutang. Kalau pun ada yang berubah, keluarga Becukai tidak lagi mengenal budaya melangun, tradisi pergi jauh-jauh dari genah jika ada salah seorang anggota keluarga yang meninggal dunia, sebagai tanda berduka. Padahalsaatwarungnyatengahlaris-laris,seorang anaknya meninggal dunia, terjatuh dari pohon. “Jiko akeh (saya) melangun, maka usaho yang dirintis bisa gagal. Padohal, warung akeh sedang beik,” akunya tentang memudarnya tradisi melangun pada keluarga Becukai. Dan yang tidak akan berubah adalah kebutuhan Becukai akan hutan. Sebab getah jernang hanya ada dalam hutan yangmasihalami.”Asalrimbaniomasihtejego,kalohasilnye
FOTO-FOTO: DICKY KURNIAWAN/ WRASI
Sebuah keberhasilan yang cukup menakjubkan dan fantastis menurut ukuran Orang Rimba, bahkan orang-orang desa sekitarnya, yang belum mengenal benda-benda elektronik yang cukup canggih. “Hebat nian Becukai bedagang., Dio biso kayo kerno pintar berdagang. Jarang jugo orang dusun biso seperti dio. Baru-baru ko aku dengar dio menyediokan uang sepuluh juta untuk menjemput jernang di muaro Jelapang,” tutur Marzuki, warga desa Suo-suo yang sering berbelanja ke sana, mengomentari usaha Becukai. Ia pun tidak pelit. Seringkali Marzuki di antar pulang setelah berbelanja di warung Becukai.
Becukai di rumah permanen miliknya & lingkungan orang Talang Mamak (atas), Becukai bersama pak Tarib kakak sepupunya yang juga merupakan penerima KEHATI Award tahun lalu (tengah), anak-anak Becukai & motor terbarunya.(bawah)
26
For um LSM Desak Pemda dan DPRD, For um LSM
Penyelamat TNBT segera mendesak Pemda serta DPRD Propinsi Riau dan Kabupaten Indragiru Hulu dan Indragiri Hilir untuk meningkatkan koordinasi dalam penyelamatan TNBT. Hal ini, menurut Adi Purwoko, selaku Koordinator Forum sudah sangat mendesak mengingat adanya oknum di Pemda yang mengeluarkan ijin HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan) dengan berkedok koperasi. Ratusan hektar hutan di bekas HPH sepanjang daerah penyangga TNBT kini sudah dibabat habis. Padahal daerah itu merupakan home range satwa besar dan jelajah luas, termasuk dalam rencana konservasi gajah yang selama ini mengganggu masyarakat. Forum mengancam bila Pemda juga tidak mau peduli, maka mereka akan melakukan gerakan legal action, melakukan gugatan kepada pejabat yang mengeluarkan ijin maupun perusahaan yang melakukan kegiatan pembabatan hutan. Kami akan membuka dompet gugatan secara nasional. Siapa saja yang bersimpati, akan kami ajak untuk mendukung dan membantu kata Adi di Pekanbaru, belum lama ini.
Masukan Untuk AS&P Sebagai salah seorang pembaca tetap majalah lingkungan AS&P, saya merasakan terbitan AS&P dalam beberapa edisi terakhir lebih padat, yang lebih menarik, manampilkan wawancara dengan pakar serta juga menampilkan masalah satwa-satwa dilindungi yang ada di pulau Sumatera. Saya berharap agar kondisi seperti itu dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk edisi-edisi selanjutnya sehingga dengan harapan dapat membuka mata masyarakat luas tentang keterancaman satwa satwa tersebut dan dampak yang akan timbul jika tidak segera ditangani. Tentu penanganan masalah satwa dilindungi tersebut tidak terlepas dari keterlibatan Instansi pemerintah terkait, harapan saya, pendistribusian majalah AS&P tidak terbatas pada kalangan LSM tetapi juga terhadap masyarakat luas dan yang terpenting pada lembaga pemerintah terkait mulai dari tingkat lokal sampai nasional yang berperan besar dalam membuat kebijakan dan menegakkan fungsi hukum (supremasi hukum). Walau untuk saat ini majalah AS&P lebih terfokus pada kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional Bukit Duabelas, saya berharap tidak tertutup kemungkinan juga untuk menerima tulisan tentang kawasan konservasi lainnya yang ada di Sumatera, dengan potensi dan konflik yang berbeda menuju tujuan yang sama, Lestari. Dan selamat atas terbentuknya Taman Nasional Bukit Duabelas. Salam, D. Salman, Pecinta Alam dan Peduli Lingkungan Sungai Penuh Kerinci
Koridor di TNBT Kembali Digunakan . Koridor (jalan
angkutan kayu) yang membelah TNBT dari Simarantihan (Jambi) menuju ke Simpang Menara (Riau) kembali digunakan. Koridor tersebut sebagaimana perintah Dirjen PKA, sebelumnya diputus di beberapa tempat, namun kemudian diperbaiki lagi dengan menggunakan alat berat perusahaan HPH. Kepala Unit Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Ir. Waldemar HS, Msi kepada tim Ekspedisi Media menegaskan, tidak ada perintah menggunakan kembali koridor tersebut. Kalau koridor telah dibuka dan kembali digunakan, jelas telah melanggar aturan tegas Waldemar. Pengamatan di lapangan, akhir Juni lalu, koridor dimaksud kini bisa dilalui kenderaan karena bagian yang diputus telah diperbaiki. Bahkan terlihat upaya peningkatan jalan yang selama ini sudah mulai rusak karena tidak pernah digunakan lagi. Dikhawatirkan, dengan dibukanya koridor akan kembali meningkatkan akses pencurian kayu dan satwa di dalam TNBT. Laporan dibukanya koridor telah disampaikan kepada Kakanwil Dephutbun Riau di Pekanbaru. Namun hingga berita ini dibuat, belum ada tanda-tanda untuk menutup kembali koridor tersebut.
Mendapatkan AS&P Saya pernah beberapa kali membaca AS&P milik teman yang bekerja pada sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Saya cukup interest dengan apa yang disajikan oleh AS&P. Apakah saya bisa mendapatkan AS&P secara berkala mengingat bahwa saya ingin memiliki buletin ini tanpa perlu mendapatkannya dari teman saya. Jika bisa, bagaimana prosedurnya? Dan apakah saya bisa mendapatkan AS&P dari edisi yang pertama? Karena saya baru mendapatkan edisi 8, 9 dan 10. Terima kasih atas perhatiannya dan semoga AS&P dapat terus exist memberitakan masalah lingkungan di Sumatera. Salam lestari, Bule Sanyoto Wisma Juma Tapian Jl. Besar Haranggaol Kec. Purba, Kab. Simalungun - Sumatera Utara Anda dapat mendapatkan AS&P secara berkala dengan mengirim surat permohonan kepada redaksi AS&P. Terma kasih atas perhatian anda pad AS&P. (red.)
PHOTONEWS 27
Translokasi Gajah Malang benar nasib gajah ini, karenahabitataslinyadirusak manusia, ia mengganggu masyarakatdesa. Lalu diambil tindakan untuk memindahkannya ke lokasi yang dianggap masih alami untuknya. Namun dalam perjalanannya ia tak mampu bertahan sehingga ia menemui ajalnya.
Lokasi: Desa Keritang (TNBT), Riau Foto-foto: Riza Marlon
28
Hampir Punah ! Pada tahun 1992 popu lasi harimau Sumatera (Panthera tigris
manusia yang 0 ekor. Dengan ulah berjumlah sekitar 50
sumatrae)
sudah merasa terancam
dengan keberadaan satwa ini, popula si harimau sumate ra terus
berkurang
g. Tahun 1995 opinsi Lampun Pr di a ny oh nt Co dengan tajam.
masih ada seki tar
200 ekor harima u
diperkirakan
sumatera yang tersebar di ka wasan
taman
1999, san Selatan. Tapi tahun ri Ba t ki Bu n da as mb Ka nasional: Way
populasinya diperk irakan tidak sampai lagi separuhnya (K ompas, 1 April 1999 ).