Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Rasio Biofilter dan Sawah untuk Meningkatkan Kualitas Air Buangan di Lahan Sulfat Masam The Ratio of a Biofilter And Paddy Field To Improve Water Quality Discharge In Acid Sulfate Land Ani Susilawati dan Achmadi Jumberi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru Kalimantan Selatan Email :
[email protected] HP. 081349404884
ABSTRACT Water management in tidal land acid sulfate can increase the productivity of land and crops. The reaction of oxidation-reduction (redox) pyrite is the main cause of problems in acid sulphate soils. Poisons leaching into the drainage channel that is not a good impact on the environment. Water quality can be improved with the water flowing past the biofilter "Purun Tikus" (Eleocharis dulcis) that can absorb or neutralize poison element. This study aims to obtain an effective ratio between the rice fields with biofilter to improve the quality of waste water in acid sulfate soil. The experiment was conducted at the experimental Belandean, Barito Kuala, South Kalimantan on MK 2009. The treatment arranged in a randomized block design with three replications. The treatment includes the ratio between the plot of the biofilter with paddy fields, namely; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, and (4) 40%. with paddy plot size of 10 m x 10 m. The results showed that mice with a biofilter purun area ratio of 10% can improve the quality of drainage water is indicated by a decrease in the concentration of Fe 2+, Fe-total, and SO42-. Keywords: biofilter, waste water quality, acid sulfate soils ABSTRAK Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Reaksi reduksi-oksidasi (redoks) pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air tersebut melewati biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) yang dapat menyerap atau menetralisir unsur meracun. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rasio yang efektif antara sawah dengan biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat masam. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan
25
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
tiga ulangan. Perlakuan tersebut meliputi rasio antara petakan biofilter dengan petak sawah yaitu; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, dan (4) 40%. dengan ukuran petakan sawah 10 m x 10 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biofilter purun tikus dengan rasio luas 10 % dapat memperbaiki kualitas air drainase ditunjukkan oleh penurunan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- . Kata Kunci : Biofilter, Kualitas Air Buangan, Tanah Sulfat Masam
PENDAHULUAN Pengembangan pertanian di tanah sulfat masam sering menghadapai beberapa permasalahan seperti ; rendahnya pH tanah dan posfat tersedia, tingginya kandungan Fe (Purnomo et al., 2005) keracunan Al, dan H2S serta kahat hara N, P, K, Si. Salah satu kunci keberhasilan pertanian di tanah sulfat masam adalah pengelolaan air (Fahmi et al., 2006). Pengelolaan/penataan air di lahan pasang surut sulfat masam dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman. Pengaturan air sistem satu arah dapat mengurangi akumulasi unsur-unsur yang meracun (Anwar et al., 1994; Sarwani, 2002). Pencucian unsur meracun ke saluran drainase memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan, berkurangnya ikan dan biota air lainnya. Kualitas air di lahan sulfat masam yang rendah diindikasikan oleh pH < 3,5 dan unsur-unsur yang bersifat meracun yang umumnya didominasi oleh Fe, Al dan SO4. Salah satu pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi dampak air buangan adalah dengan menyaring atau menyerap unsur meracun yang ada dalam air buangan tersebut. Gulma purun tikus dapat digunakan sebagai biofilter untuk meningkatkan kualitas air. Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tanaman air yang banyak ditemui pada tanah sulfat masam, merupakan gulma yang sangat cepat berkembang dan mempunyai adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan. Tanaman purun tikus ini bersifat spesifik lahan sulfat masam, karena sifatnya yang tahan terhadap kemasaman tinggi (pH 2,5-3,5), oleh sebab itu tumbuhan ini dapat dijadikan vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam (Noor, 2004). Hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa gulma purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat digunakan sebagai biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan pada musim kemarau, karena mampu meningkatkan pH 0.14 – 0.25 unit dan menurunkan konsentrasi Fe sebanyak 6-27 ppm dan SO4 30-75 ppm. Kualitas air dapat diperbaiki dengan mengalirkan air melewati media biofilter berupa tanaman purun tikus yang dapat menyerap atau menetralisir unsur Fe dan SO4. (Balittra, 2003). Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi rasio yang efektif antara sawah dengan biofilter untuk meningkatkan kualitas air buangan di lahan sulfat masam. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Belandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK 2009. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut meliputi rasio antara
26
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
petakan biofilter dengan petak sawah yaitu; (1) 10%, (2) 20%, (3) 30%, dan (4) 40%. dengan ukuran petakan sawah 10 m x 10 m. Sistem irigasi pada petak percobaan ditata dengan sistem aliran air satu arah dengan menggunakan pintu otomatis. Air dari saluran tersier masuk melalui pintu ke saluran masuk, kemudian dialirkan ke petakan sawah. Dari petakan sawah air keluar ke saluran biofilter melalui paralon yang dipasang pada kedua sudut galangan. Gerakan air horizontal antar petakan dihindari dengan memasang plastik (tegak lurus) ditengah galangan dengan kedalaman 60 cm. Bibit padi varietas Silugonggo yang berumur 15 hari setelah semai ditanam pada petakan, masing-masing 3 bibit/rumpun dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pertanaman dipupuk dengan dosis 100-200-100 kg/ha N-P2O5-K2O yang bersumber dari urea, SP36, dan KCl. Pemeliharaan (penyiangan gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman) dilakukan secara intensif sesuai dengan kondisi pertanaman di lapangan. Parameter yang diamati meliputi; (1) Analisis air (pH, Fe, SO4, Ca, Mg, K) dilakukan secara periodik setiap satu minggu sekali pada saluran tersier, saluran air masuk, petakan sawah dan saluran bio filter. (2) Data curah hujan dan tinggi air pada saluran tersier selama penelitian. HASIL Purun tikus sebagai biofilter diletakkan setelah lahan sawah. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas air drainase yang berasal dari sawah melewati purun tikus kemudian dikeluarkan ke saluran drainase. Pengamatan kualitas air dilakukan pada bulan Juli-September. Data curah hujan menunjukan bahwa pada saat pengamatan dilakukan (Juli – September) curah hujan berada dibawah normal < 100 mm (Gambar 1), sehingga ketinggian air pada saluran primer hanya dipengaruhi oleh arus pasang dan surutnya air. Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa yang mempengaruhi ketinggian air pada saluran tersier dan saluran air masuk ke petakan sawah adalah air dari saluran primer.
Dekade III
250
Dekade II
C u r ah h u jan (m m )
300
200
Dekade I
150 100 50 0
Bulan
Gambar 1. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Mandastana (Batola), Kalimantan Selatan. Tahun 2009.
27
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Fe (me/L)
8 B1
7
B2
B3
B4
6 m e/L
5 4 3 2 1 0 I
II
III
IV
Pengamatan
V
VI
VII
Gambar 2. Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap konsentrasi Fe pada air drainase Tabel 1. Pasang air harian tertinggi pada saluran tersier, KP. Belandean (Batola), MK 2009. Tinggi Air (cm) Pada Pengamtan Pengamatan I II III IV V VI VII Saluran primer 140 138 135 120 140 143 137 SO4 (me/L) 6
B1
B2
B3
B4
5
m e/L
4
3
2
1
0 I
Gambar 3.
II
III
IV Pengamatan
V
VI
VII
Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap konsentrasi SO4 pada air drainase
28
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
K (me/L) 6 5
B1
B2
B3
B4
m e/L
4 3 2 1 0 I
II
III
IV V Pengamatan
VI
VII
Gambar 4. Dinamika konsentrasi K pada air drainase selama masa pertanaman padi Ca (me/L)
16
B1 B3
14
B2 B4
12 10
/L 8 e m 6 4 2 0 I
II
III
IV
V
VI
VII
Pengamatan
Gambar 5. Dinamika konsentrasi Ca pada air drainase selama masa pertanaman padi
29
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Mg (me/L) 20 18 16 14
B1 B3
B2 B4
m e /L
12 10 8 6 4 2 0 I
II
IIIPengamatan IV
V
VI
VII
Gambar 6. Dinamika konsentrasi Mg pada air drainase selama masa pertanaman padi
PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar rasio luas purun tikus dengan lahan sawah, konsentrasi Fe pada air drainase akan semakin kecil (Gambar 2). Namun demikian pada minggu II dan seterusnya rasio luas 10 % ( B1) dianggap cukup baik dalam menekan konsentrasi Fe pada air drainase. Konsentrasi Fe mengalami peningkatan pada minggu III dan IV disebabkan karena adanya perubahan pola pasang surut air (Tabel 1). Pada minggu III dan IV terjadi pasang kecil, akibatnya lahan tidak terluapi oleh air pasang sehingga terjadi oksidasi. Oksidasi pada tanah sulfat masam dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi Fe. Minggu V hingga VII memasuki musim kemarau, lahan mengering dan air payau hingga asin (789 µ mhos) masuk, akibatnya konsentrasi Fe pada air drainase sangat kecil (tak terukur). Pengaruh rasio luas purun tikus dengan lahan sawah terhadap konsentrasi SO4 pada air drainase menunjukkan bahwa rasio luas 10 % (B1) cukup baik dalam menekan konsentrasi SO4 (Gambar 3). Pengaruh rasio luas purun tikus dengan sawah terhadap konsentrasi basa-basa seperti K, Ca, dan Mg memperlihatkan bahwa konsentrasi basa-basa menurun dari minggu I hingga II (Gambar 4, 5, 6). Ini disebabkan karena pengambilan unsurunsur tersebut oleh tanaman purun tikus untuk pertumbuhannya. Memasuki minggu III dan IV konsentrasi basa-basa mengalami peningkatan karena masuknya air payau yang mengandung basa-basa. Selanjutnya dari minggu IV hingga VII konsentrasi basa-basa meningkat tajam, ini disebabkan karena masuknya air laut akibat musim kemarau. Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat berharga untuk penelitian selanjutnya karena pada pertanaman padi menjelang musim kemarau jumlah pupuk KCl dan kapur sebaiknya dikurangi bahkan tidak diberikan. Sedangkan pupuk SP-36 jumlahnya ditambah, karena adanya pengikatan fosfat oleh Ca dan Mg.
30
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN Biofilter purun tikus (Eleocharis dulcis) dengan rasio luas 10 % dapat memperbaiki kualitas air drainase ditunjukkan oleh penurunan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- . DAFTAR PUSTAKA Anwar K, M Sarwani dan R Itjin. 1994. Pengembangan Pengelolaan Air Di Lahan Pasang Surut Pengalaman Dari Kalimantan Selatan Dan Tengah, Dalam M Sarwani. M Noor dan MY Maamun. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Pasang Surut : Pengalaman dari Kalimantan Selatan dan Tengah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru. Balittra. 2003. Laporan Hasil Penelitian TA. 2002/2003. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Fahmi A, A Susilawati dan A Jumberi. 2006. Dinamika Unsur Besi, Sulfat dan Fospor serta Hasil Padi Akibat Pengolahan Tanah, saluran Kemalir dan Pupuk Organik di Lahan Sulfat Masam. Jurnal Tanah Tropika. Vol. 12 No. I. Noor M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Purnomo E, A Mursyid, M Syarwani, A Jumberi, Y Hashidoko, T Hasegawa, S Honma and M Osaki. 2005. Phosphorus Solubilizing Microorganisms In The Rhyzosphere Of Local Rice Varities Grown Without Fertilizer On Acid Sulphate Soils. Soil Sci. Plant Nutr. 51 (5). 2005. Sarwani M. 2002. Penegelolaan Air Di Lahan Pasang Surut. Dalam Ar-Riza, M. Sarwani dan T. Alihamsyah (eds). Monograf pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru.
31
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Peningkatan Produksi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Lebak dengan Pemberian Jenis Pupuk Increased Production of Rice (Oryza sativa L.) by Giving Types of Fertilizer on Lowland Swamp Area Neni Marlina1), Fitri Yetty Zairani1), Nuni Gofar2), Ahmad Yani3) 1)
Staf Pengajar FP UNPAL Email:
[email protected] 2) Staf Pengajar FP UNSRI 3) Alumni FP UNPAL *) Penulis untuk korespondensi: 082306516545 email:
[email protected] ABSTRACT The research objective was deterimne the proper types of fertilizer to increase rice yield at lowland swamp area. This research was conducted in the green house at Jalan Darmapala of the month January 2014 to May 2014. The design used in this research was completely randomized design with five treatments and five replications for each treatment. Treatments are inorganic fertilizers (based on the recommended dose), rice straw compost (3 tons ha-1), composted cow manure (3 tons ha-1), biofertilizer to 300 kg ha-1, biofertilizer to 300 kg ha-1 + 75% inorganic fertilizers). The results showed that the biofertilizer treatment with dose of 300 kg ha-1 + 75% inorganic fertilizers had increased of productive tillers numbers, filled grains number per panicle, decreased empty grains percentage, increased 100 grains weight and dry milled grain weight of 40.32 g pot-1. Keywords: Type of Fertilizers, lowland swamp area, Production of Rice ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk yang tepat dalam meningkatkan produksi tanaman padi di tanah lebak. Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Plastik di Jalan Darmapala dari bulan Januari 2014 sampai Mei 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yang diulang lima kali. Perlakuannya adalah pupuk anorganik (berdasarkan dosis anjuran), kompos jerami padi (3 ton ha-1) , kompos kotoran sapi (3 ton ha-1) , pupuk organik hayati 300 kg ha-1, pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik dapat meningkatkan anakan produktif, jumlah gabah isi per malai, menurunkan persentase gabah hampa, meningkatkan berat 100 butir dan berat gabah kering giling sebesar 40,32 g pot-1. Kata Kunci: Jenis Pupuk, Tanah Lebak, Produksi Tanaman Padi
32
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Lahan rawa lebak merupakan lahan suboptimal yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama untuk tanaman padi. Lahan rawa lebak yang ada di Sumatera Selatan seluas 650.000 ha dan telah dikembangkan untuk pertanian seluas 190.000 ha (Thamrin, 2010). Namun produksi padi di lahan rawa lebak tergolong rendah yaitu 3,7 ton ha-1 (BPS, 2010). Rendahnya produktivitas lahan rawa lebak diakibatkan karena kendala fisik berupa genangan air, kendala kimia sepertinya tingginya kemasaman tanah, keberadaan kation Al dan Fe yang mengikat fosfor dan miskin unsur hara. Menurut Alihamsyah dan Ar-Riza (2004), tingkat kesuburan tanah di lahan rawa lebak dapat dikatakan kurang sampai sedang, sehingga untuk meningkatkan produktivitasnya perlu dilakukan pemupukan. Pupuk yang dapat diberikan dapat berupa pupuk anorganik dan pupuk organik serta pupuk organik hayati atau pemupukan berimbang (pupuk organik + pupuk anorganik). Pemberian pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk organik hayati atau pupuk yang berimbang merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi di lahan rawa lebak, hal ini dikarenakan semua jenis pupuk tersebut dapat menyumbangkan unsur hara N,P,K bagi tanaman padi agar dapat berproduksi baik. Ketiga unsur hara tersebut mempunyai peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur hara tersebut dapat berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Selain itu penggunaan pupuk organik merupakan pilihan dalam mendukung produktivitas padi rawa lebak karena pupuk organik dapat membantu dalam meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan dalam jangka panjang pemberian pupuk organik dapat meningkatkan pH tanah, hara NPK, KTK tanah dan hasil tanaman dan dapat menurunkan kadar Al dan Fe. Beberapa hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk anorganik NPK 700 ppm dapat meningkatkan hasil gabah padi dibandingkan kontrol (0 ppm) yaitu dari 19,94 g menjadi 33,13 g gabah pot-1 (Londong, 2009). Kompos jerami padi 2,5 ton ha-1 dapat meningkatkan hasil gabah kering giling sebesar 47,90 g rumpun-1 (Rosiana et al., 2013). Pupuk organik hayati 300 - 400 kg ha-1 + pupuk anorganik 75% dari dosis anjuran dapat meningkatkan hasil gabah sebesar 93,67 g pot-1 (Marlina et al., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pupuk yang tepat dalam meningkatkan produksi tanaman padi di tanah lebak. BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Plastik di Jalan Darmapala dari bulan Januari 2014 sampai Mei 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan yang diulang lima kali. Perlakuannya adalah pupuk anorganik (berdasarkan dosis anjuran), kompos jerami padi (3 ton ha-1) , kompos kotoran sapi (3 ton ha-1) , pupuk organik hayati 300 kg ha-1, pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik).
33
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengisian tanah ke dalam pot yaitu tanah di timbang sebanyak 10 kg kemudian imasukkan ke dalam pot. Pembuatan pupuk organik hayati yaitu kompos jerami padi sebanyak 100 kg yang telah dicacah halus dicampur dengan bakteri Azotobacter 100 ml, Azospirillum 100 ml, bakteri pemacu tumbuh 100 ml, dan bakteri pelarut fospat 100 ml. Bakteri tersebut disentrifuse untuk diambil panen biomassanya. Setelah disentrifuse biomassa bakteri tersebut disemprotkan secara zig-zag di atas kompos yang telah dihamparkan, kemudian diaduk-aduk dan dibiarkan selama satu jam. Kemudian pupuk organik hayati tersebut telah siap digunakan. Pemupukan yaitu dilakukan satu hari sebelum dilakukan penanaman, dengan banyak pupuk yang diberikan sesuai dengan perlakuan . Penanaman yaitu dilakukan sebanyak lima benih untuk setiap pot dengan kedalaman dua cm, setelah satu minggu dipilih dua tanaman yaitu yang menunjukkan pertumbuhan yang seragam. Pemeliharaan meliputi penyiraman benih yang di tanam dalam pot yang dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari, sesuai dengan keadaan kelembaban tanah. Apabila terlihat gulma langsung dilakukan pembersihan dengan cara mencabutnya langsung dengan tangan. Pemanenan dilakukan setelah lebi dari 75 % bulir masak pada setiap rumpun yang dicirikan dengan daun bendera yang menguning. Bagian tanaman yang dipanen adalah bulir padi. HASIL Karakteristik Tanah Awal. Berdasarkan kriteria penelitian menurut PPT (1983) dan Balai Penelitian Tanah (2005) menunjukkan bahwa tanah yang digunakan pada penelitian ini tergolong masam (pH H2O=5,50) dengan kapasitas tukar kation tergolong sedang (17,52 cmol(+) kg-1), kandungan C-organik 12,7 g kg-1 tergolong rendah, C/N ratio 9,77 tergolong rendah, kandungan N-total dan P tersedia tergolong rendah (1,30 g kg-1 dan 4,50 mg kg-1 ), basa tertukar seperti Ca-dd 10,58 cmol(+) kg-1 tergolong sedang, Mg-dd 3,45 cmol(+) kg-1 tergolong tinggi, K-dd 0,77 cmol(+) kg-1 tergolong tinggi, Na-dd 0,68 cmol(+) kg-1 tergolong sedang, dengan Kejenuhan Basa 84,47 % tergolong tinggi, Al-dd 0,2 cmol(+) kg-1, H-dd 0,19 cmol(+) kg-11, Kejenuhan Al 1,14 % tergolong sangat rendah, Fe 174,38 mg kg-1, Cu 5,02 mg kg-1, Zn 8,80 mg kg-1, Mn 228,56 mg kg-1 tergolong sangat tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisis kimia tanah awal sebelum tanam No. Jenis Analisa Hasil analisis Penilaian* 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
pH H2O (1:1) pH KCl (1:1) C/N ratio C-organik (g kg-1 ) N-total (g kg-1) P Bray I (µg g-1) P CHCl 25 %` Ca-dd (mcmol(+) kg-1) Mg-dd (mcmol(+) kg-1)
5,50 4,80 9,77 12,7 1,3 4,50 43,90 10,58 3,45
Masam Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi 34
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
No.
Jenis Analisa
Hasil analisis
Penilaian*
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17 18. 19. 20.
K-dd (mcmol(+) kg-1) Na-dd (mcmol(+) kg-1) KTK (mcmol(+) kg-1) KB (%) Al-dd (mcmol(+) kg-1) Kejenuhan Al H-dd (mcmol(+) kg-1) Fe (µg g-1) Cu (µg g-1) Zn (µg g-1) Mn (µg g-1)
0,77 0,68 17,52 84,47 0,20 1,14 0,19 174,38 5,02 8,80 228,56
Tinggi Sedang Sedang Sangat tinggi Sangat rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB (2012) *Pusat Penelitian Tanah (1983) dan Balai Penelitian Tanah (2005)
PEMBAHASAN Secara umum dapat disimpulkan bahwa tanah yang digunakan sebagai media tumbuh dalam penelitian ini termasuk kategori dengan kesuburan tanah rendah dengan pH H2O tergolong masam dengan kandungan C-organik, N-total dan P tersedia rendah serta tingginya kandungan logam didalam tanah (Fe, Mn, Cu dan Zn), oleh karena itu tanah pada penelitian ini perlu diberi berbagai jenis pupuk baik pupuk anorganik maupun pupuk organik dan pupuk organik hayati yang mengandung bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., Pseudomonas pseudomallei, Bacillus firmus agar kandungan unsur hara N, P dan K meningkat sehingga tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Produksi Tanaman Padi. Hasil analisis keragaman diketahui bahwa perlakuan jenis pupuk berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap jumlah anakan produktif, persentase gabah hampa dan berat gabah kering giling, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah gabah per malai dan berat 100 butir. Ringkasan hasik analisis ragam terhadap peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis keragaman jenis pupuk terhadap peubah yang diamati Peubah yang diamati F hitung Jumlah anakan produktif (malai) Nyata Jumlah gabah per malai (malai) Tidak nyata Persentase gabah hampa (%) Sangat nyata Berat 100 butir (g) Tidak nyata Berat gabah kering giling (g) Sangat nyata Berdasarkan Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa jenis pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik dari dosis anjuran berkontribusi nyata sampai sangat nyata meningkatkan jumlah anakan produktif (19,40 malai), jumlah gabah per malai (134,41 malai), menurunkan persentase gabah hampa (23,92 %),
35
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
meningkatkan berat 100 butir (1,92 g) dan berat gabah kering giling (40,32 g). Hal ini disebabkan perlakuan pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik yang diberikan pada tanaman padi ini merupakan jenis pupuk yang cukup dan berimbang sehingga tanaman padi dapat memanfaatkan unsur hara dari pupuk anorganik yang lebih dulu tersedia dan disusul oleh sumbangan unsur hara dari pupuk organik hayati yang mengandung bakteri Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. yang dapat menambat N2 dari udara, bakteri Pseudomonas pseudomallei yang dapat memacu pertumbuhan tanaman dan bakteri Bacillus firmus yang dapat melariutkan fosfat dan kalium, sehingga kedua pupuk diatas saling mendukung satu sama lain dalam menyumbangkan unsur hara N, P dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik. Sumbangan unsur hara N, P dan K oleh bakteri yang terdapat dalam pupuk organik hayati dan pupuk anorganik ini pada tanaman padi bersama-sama ikut terlibat dalam proses reaksi fotosintesis sehingga hasil fotosintat berupa senyawa organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengisi gabah dengan penuh dan berat GKG tertinggi dapat dicapai. Hal ini dapat dibuktikan persentase peningkatan berat GKG yang diperoleh dari pupuk organik hayati 300 kg ha-1 + 75 % pupuk anorganik yaitu sebesar 21,45 %, 238,29 %, 283,54 % dan 197,07 % bila dibandingkan dengan pupuk anorganik, kompos jerami padi, kompos kotoran sapi dan pupuk organik hayati 300 kg ha-1. Tabel 3. Pengaruh perlakuan jenis pupuk terhadap peubah yang diamati Perlakuan Jumlah anakan Jumlah gabah Persentase gabah produktif (malai) per malai (malai) hampa (%) Pupuk anorganik 17,60 bc 125,07 24,26 a AB
Kompos jerami padi
12,40
a
A
124,74
68,10 b
A
Kompos kotoran sapi Pupuk organik hayati Pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik BNT 0,05= 0,01=
13,40 ab
A
16,00
abc
B
128,94
55,70 b
132,32
b
B
47,26
AB
19,40 c
AB
134,41
23,92 a
B
4,22 5,76
A
tn
22,86 31,86
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.
36
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Pengaruh perlakuan jenis pupuk terhadap peubah yang diamati Perlakuan Berat 100 butir (g) Berat GKG (g) Persentase peningkatan (%) Pupuk anorganik 1,90 23,20 bc 21,45 AB
Kompos jerami padi
1,76
16,92 a
238,29
A
Kompos kotoran sapi Pupuk organik hayati Pupuk organik hayati + 75 % pupuk anorganik BNT 0,05= 0,01=
1,70
14,22 a
283,54
A
1,80
20,46 ab
197,07
1,92
40,32 c
-
AB
B
tn
Isi ya
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata
Tanaman padi lebih banyak memerlukan nitrogen (N) dalam jumlah banyak pada awal pertumbuhan sampai pembungaan untuk memaksimalkan jumlah malai produktif serta pada tahap pengisian biji. Banyaknya jumlah gabah yang terisi memberikan kontribusi penting dalam menurunkan rata-rata jumlah gabah yang hampa. Distribusi asimilat yang lebih banyak diarahkan ke fase generatif seperti pengisian biji yang menyebabkan lebih banyak jumlah gabah berisi dibandingkan dengan gabah hampa, menyebabkan rasio jumlah bagian yang bernilai ekonomis terhadap biomassa tanaman menjadi meningkat (Yoshida, 1981; Doberman and Fairhust, 2000). Pupuk organik hayati yang diberian merupakan kompos jerami padi yang diperkaya oleh bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp., Pseudomonas pseudomallei dan Bacillus firmus. Bakteri Azospirillum sp., Azotobacter sp. sangat membantu dalam mekanisme penambatan N2 dari udara. Mekanisme penambatan N2 yaitu konversi N2 dari udara menjadi amonia oleh enzim nitrogenase. Enzim ini mengandung dua molekul protein yaitu protein besi dan satu mol protein Mo. Reaksi ini berlangsung ketika mol N2 terikat pada kompleks enzim nitrogenase. Protein Fe mula-mula direduksi oleh elektron yang diberikan oleh ferredoksin. Kemudian protein Fe reduksi mengikat ATP dan mereduksi protein Mo-Fe, yang memberikan elektron kepada N2 sehingga menghasilkan NH=NH. Pada daur berikutnya protein ini (masing-masing membutuhkan elektron yang disumbangan oleh ferredoksin), NH=NH direduksi menjadi H2N-NH2 dan selanjutnya direduksi menjadi NH3 (Saika dan Jain, 2007; Danapriatna, 2010). Bakteri pelarut fosfat seperti Bacillus firmus dapat melarutkan fosfor yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan fosfor dalam tanah. Ketersediaan fosfor dalam tanah dibutuhkan tanaman pada fase generatif (saat pengisian dan pemasakan biji). Bakteri Pseudomonas pseudomallei merupakan bakteri yang berperan dalam menghasilk an hormon tumbuh yang sangat mempengaruhi interaksi antar
37
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mikroba tanah dan tanaman. Keberadaan hormon disekitar perakaran tanaman akan myang tinggi embantu pembelahan dan pembesaran sel sehingga akar tanaman menjadi lebih aktif dalam proses metabolisme termasuk dalam hal penyerapan air dan hara. Penyerapan hara yang meningkat berpengaruh terhadap pembentukan jumlah anakan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perolehan biomasaa. Bakteri ini berkemampuan memproduksi IAA (Goenarto, 2000), produksi IAA sebesar 6-10 mg kg-1 (Gofar et al., 2012), produksi IAA sebanyak 5,13 – 14,58 mg kg-1 (Dungpaeng et al., 2012). Perlakuan kompos jerami padi dan kompos kotoran sapi memberikan produksi yang rendah pada produksi tanaman padi, hal ini disebabkan kompos jerami padi dan kompos kotoram sapi belum terlapuk sempurna dan bersifat slow release sehingga sumbangan unsur hara yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak ada sumbangan unsur hara dari pupuk anorganik, sehingga produksi yang dicapai rendah. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat bahwa jenis pupuk organik hayati 300 kg ha-1 dengan 75 % pupuk anorganik dapat meningkatkan berat gabah kering sebesar 21,45 %, 238,29 %, 283,54 % dan 197,07 % bila dibandingkan dengan pupuk anorganik, kompos jerami padi, kompos kotoran sapi dan pupuk organik hayati 300 kg ha-1 dengan berat GKG 40,32 g. DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. dan Ar-Riza. 2004. Potensi dan Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak untuk Pertanian. Makalah Utama Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Pemda Kabupaten Hulu Sungai, Dinas Pertanian Propinsi Kalimantan Selatan, Kandangan Balai Penelitian Tanah. 2008. Pupuk organik untuk tingkatkan produksi pertanian. Balittanah. Bogor.
[email protected] BPS. 2010. Sumsel dalam Angka 2009. BPS, Palembang Danapriatna, N. 2010. Biokimia Pembentukan Nitrogen oleh Bakteri Non Simbiotik. J. Agribisnis dan Pengembangan Wilayah 1(2):1-10 Doberman, A and Fairhust T. 2000. Rice Nutrient Disorders and Nutrient Management. Potash and Phosphate Institute of Canada and International Rice Research Institute. Oxford Geographic Printers Pte Ltd. Canada, Philippines. 192p. Dungpaeng, A, P. Phetcharat, S. Chanthapho, N. Boonkantong and N. Okuda. 2012. The Study and Development of Endophytic Bacteria for Enhancing Organic Rice Growth. Procedia Engineering 32(2012):172-176 Goenarto, L. 2000. Mikroba Rhizosfer Potensi dan Manfaatnya. Jurnal Litbang Pertanian 19(2): 40-48 Gofar, N., H. Widjajanti dan N.L.P. Sriratmini. 2012. Uji Kemampuan Isolat Bakteri Endofitik Penghasil IAA dalam Memacu Pertumbuhan Tanaman Padi pada Tanah Asal Rawa Lebak. Prosiding InSINAs. 0423:293-297
38
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Londong, P. 2009. Hubungan Pupuk NPK dengan Pertumbuhan dan Hasil Padi Mira 1 pada Lahan Pasang Surut. J. Agroscientise 16(2): 112-115 Marlina, N., N. Gofar, A.H.P.K. Subakti, A. Rahim. 2014. Improvement of Rice Growth dan Productivity Through Balance Application of Inorganic Fertilizer dan Biofertilizer ini Inceptisol Soil of Lowland Swamp Area. J. Of Agricultural Science Agrivita 36(1):48-56 Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of Reference Type. As. P3TT Bogor Rosiana, F., T. Turmuktini, Y. Yuwariah, M. Arifin dan T. Simarmata. 2013. Aplikasi Kombinasi Kompos Jerami, Kompos Azolla dan Pupuk Hayati untuk Meningkatkan Jumlah Populasi Bakteri Penambat Nitrogen dan Produktivitas Tanaman Padi Berbasis IPAT-BO. J. Agrovigor 6(1): 1622 Saika, S.P. and V. Jain. 2007. Biological nitrogen fixation with non-legumes : An achievable target or dogma ?. Current Sci. 92 (3) : 317 – 322. Yoshida, S. 1981. Fundamental of rice crop science. IRRI, Philippines.
39
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kajian Kesuburan Tanah Lahan Rawa di Provinsi Bengkulu Study of Soil Fertility Land Swamp in Bengkulu Province Wahyu Wibawa, Nurmegawati, Dedi Suganti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu, telp (0736) 23030 E-mail :
[email protected] ABSTRACT Wetlands is a potential land resources that can support the sustainability of rice self-sufficiency , especially uncertainties associated with climate (climate change ) . One of the factors that determine the success of lowland farming is soil fertility . This study aims to assess the fertility of the soil wetlands in the province of Bengkulu . The results showed that ( 1 ) In the swampy wetlands including acidic pH , organic C content is very high - level decomposition rate of organic matter yet further , the availability of P is classified, K -dd classified as very low , relatively low cation exchange capacity , toxicity of iron ( Fe ) is very high with a base saturation ( KB ) is classified, ( 2 ) In tidal wetlands including acidic acid levels , C - organic content with a very high degree of decomposition of organic materials classified as being : the availability of P is classified, the exchange capacity cation is high , very high Fe content ; base saturation is high , ( 3 ) Judging from the cation exchange capacity ( CEC ) and base saturation ( KB ) , the level of soil fertility in lowland swamp land is relatively lower than the tidal marsh. Keywords: soil fertility, swampy marsh, tidal marsh ABSTRAK Lahan rawa merupakan potensi sumberdaya lahan yang dapat mendukung kelestarian swasembada beras, apalagi dikaitkan dengan ketidakpastian iklim (climate change). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani lebak adalah kesuburan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesuburan tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pada lahan rawa lebak pH-nya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat laju dekomposisi bahan organik belum lanjut, ketersedian P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah, kapasitas tukar kation tergolong rendah, keracunan besi (Fe) sangat tinggi dengan kejenuhan basa (KB) tergolong sedang, (2) Pada lahan rawa pasang surut tingkat keasamannya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi bahan organik tergolong sedang: ketersedian P tergolong sedang, kapasitas tukar kation termasuk tinggi, kandungan Fe sangat tinggi; kejenuhan basa termasuk tinggi, (3) Dilihat dari kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) maka tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak relatif lebih rendah daripada rawa pasang surut. Kata kunci: kesuburan tanah, rawa lebak, rawa pasang surut 40
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Lahan rawa merupakan potensi sumberdaya lahan yang dapat mendukung kelestarian swasembada beras, apalagi dikaitkan dengan ketidakpastian iklim (climate change). Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan sistem perairan (Subagyo, 1997). Berdasarkan sifat-sifat dan karakteristik tanah yang berpengaruh langsung terhadap pertanian, seperti kedalaman pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut dan ketebalan gambut maka lahan rawa terbagi dalam 5 tipologi, yaitu (1)lahan alluvial bersulfida, (2) lahan alluvial bersulfat, (3) lahan gambut, (4) lahan salin, dan (5) lahan lebak (Suriadikarta dan Sutriadi (2007). Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas (12.411 ha) yang terdiri dari rawa lebak mencapai 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 802 ha, yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah (BPS Provinsi Bengkulu, 2010). Disamping rawa lebak, di Provinsi Bengkulu juga terdapat rawa pasang surut air asin. Menurut Subagyo (2006) wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Lahan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan khususnya untuk tanaman padi dan diharapkan mampu menjadi penyumbang produksi beras yang cukup signifikan. Namun budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena mempunyai masalah dalam hal kesuburannya. Tanah pada lahan rawa bersifat masam, miskin unsur hara, dan mengandung besi (Fe) yang tinggi. Keracunan besi dan ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan permasalahan utama yang menyebabkan produktivitas padi rendah (1-2 t/ha) atau bahkan tidak menghasilkan. Menurut Waluyo dan Djamhari (2011) melaporkan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani lebak salah satunya kesuburan tanah. Kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian status hara tanah mutlak diperlukan. Menurut Nyakpa et al., (1988) salah satu cara untuk menilai status hara dalam menilai kesuburan hara yaitu dengan analisis tanah, yang mempunyai konsep bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara tersebut kurang atau jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kesuburan tanah lahan rawa di Provinsi Bengkulu. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut, untuk rawa lebak dilakukan di Desa Dusun baru kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah sedangkan rawa pasang surut dilakukan di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode purposive random sampling, pada kedalaman 0 – 20 cm. Sampel tanah tidak utuh atau contoh tanah terganggu diambil secara komposit dengan pemboran yang digunakan untuk penetapan pH tanah, kandungan C-organik, KTK serta unsur hara makro yaitu N,P,K, Mg. Sampel tanah yang diperoleh selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah BPTP Bengkulu
41
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
untuk analisis kimia tanah sebagai berikut : penetapan pH tanah metode pH metri, penetapan C-Organik metode spektrofotometri, penetapan N metode kjeldahl, penetapan P metode spektrofotometri, penetapan kation K metode flamephotometer , kation Mg dengan metode titrasi dan KTK metode destilasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak dan pasang surut. HASIL Tabel 1. Status hara rawa lebak No Sifat Kimia dan Fisika 1 Kadar Air (%) 2 Tekstur 3 pH (H2O) 4 pH (KCl) 5 C-organik (%) 6 N-total (%) 7 C/N 8 P tersedia 9 K-dd (me/100g) 10 Ca-dd (me/100g) 11 Mg-dd (me/100g) 12 Na-dd (me/100g) 13 KTK (me/100g) 14 Al (me/100g) 15 Fe (%) KB (%)
Nilai 4 lempung 4,78 4,18 6,91 0,32 21,59 8,04 0,02 0,20 4,95 0,10 11,07 0,09 0,85 47,61
Keterangan * Masam Sangat tinggi Sedang Tinggi Sedang Sangat rendah Rendah Sangat tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Sangat tinggi Sedang
Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu Sumber : * Balai Penelitian Tanah (2009)
Tabel 2. Status hara rawa pasang surut No Sifat Kimia dan Fisika Nilai 1 Kadar air (%) 12 2 Tekstur Lempung liat berdebu 3 pH (H2O) 4,88 4 pH (KCl) 3,96 5 C-organik (%) 7,32 6 N-total (%) 0,35 7 C/N 20,91 8 P-Bray.I (ppm) 8,04 9 K-dd (me/100g) 0,04 10 Ca-dd (me/100g) 1,88 11 Mg-dd (me/100g) 15,43 12 Na-dd (me/100g) 0,52 13 KTK (me/100g) 25,97 14 Al (me/100g) 0,10 15 Fe (%) 2,20 KB (%) 68,81
Keterangan * Masam Sangat tinggi Sedang Sedang Sedang Sangat rendah Sangat rendah Sangat tinggi Sedang Tinggi Sangat rendah Sangat tinggi Tinggi
Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu Sumber : * Balai Penelitian Tanah (2009)
42
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Pedoman umum kebutuhan kapur mencapai pH 5,5. No
pH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
4,0 4,1 4,2 4,3 4,4 4,5 4,6 4,7 4,8 4,9 5
Kebutuhan kapur (Ton/Ha) 6,38 5,99 5,59 5,32 4,92 4,52 4,12 3,86 3,46 3,06 2,39
No
pH
Kebutuhan kapur (Ton/Ha)
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 -
5,1 5,2 5,3 5,4 5,5 5,6 5,7 5,8 5,9 6,0 -
2,0 1,73 1,33 0,93 0,53 0,27 0,00 0,00 0,00 0,00. -
Sumber: pH TSK, Dept, Tanah, Faperta IPB Bogor,1985 di dalam Iqro5
PEMBAHASAN
Rawa lebak. Secara umum kelas tekstur tanah pada rawa lebak termasuk lempung; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, Kdd tergolong sangat rendah; kandungan Ca tergolong sangat rendah; Mg-dd tergolong tinggi; Na-dd tergolong rendah; Al3+ tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong rendah; kandungan Fe tergolong tinggi sedangkan kejenuhan basa tergolong sedang (Tabel 1). Kemasaman (pH) tanah merupakan penciri utama lahan rawa. Kemasaman tanah juga mengambarkan kondisi reaksi tanah, kandungan kation-kation masam. Tingkat kemasaman tanah di lahan rawa dipengaruhi oleh lingkungan pembentuk pirit, sebaran bahan organik dan perbedaan tingkat oksidasi. pH pada lokasi pengkajian termasuk masam yaitu 4,78. Untuk meningkat kan pH yang ideal yang dibutuhkan tanaman agar unsur hara dapat di serap secara baik dibutuhkan pH masam Ph 5,5. Di bawah menunjukkan besarnya pemberian kapur pada tiap-tiap tanah masam (pH). Tabel di atas menunjukkan kebutuhan kapur dalam meningkatkan dari masam ke optimum basa, meningkatkan pH berarti akan mengurangi Al (Aluminium) yang beracun bagi tanaman, serta meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman,terutama unsur P (phospor) sehingga sesuai dengan pertumbuhan tanaman yang optimal. Selanjutnya dikatakan oleh Widodo (2000) dalam bahwa kapur yang ideal adalah mempunyai sifat kejenuhan basa tinggi, dapat meningkatkan pH tanah serta memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, sehingga juga berfungsi sebagai dan mempunyai kemampuan memperbaiki struktur tanah rawa. Kandungan C-orgnik yang tergolong sangat tinggi dan kandungan N tergolong sedang. Tingkat kematangan bahan organik ditunjukkan oleh nisbah C/N yang tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukannya
43
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
belum lanjut dengan bahan organik masih kasar. Kandungan fosfor ekstrak Bray I tergolong sedang, ini menunjukkan P tersedia untuk tanaman tergolong sedang. Rachim (1995) dalam Hartatik dan Idris (2008) melaporkan bahwa lamanya pengusahan dapat meningkatkan P terekstrak dengan Bray I, peningkatan ini berkaitan dengan dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, sehingga unsur P menjadi terlepas. Basa-basa dapat dipertukarkan ditentukan dengan melepaskan basa-basa tersebut dari koloid tanah, K-dd tergolong sangat rendah, Ca-dd tergolong rendah, Mg-dd tergolong sangat tinggi sedangkan Na-dd tergolong sedang. Kapasitas tukar kation tanah didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menyerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam milliekivalen per 100 gram. Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap . Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. KTK pada lokasi penelitian tergolong rendah, ini menunjukkan bahwa tanahnya belum mampu menyerap dan menyediakan unsur hara, karena unsur-unsur hara tersebut mudah hilang tercuci oleh air. Kandungan Fe tergolong sangat tinggi yang berpengaruh pada tingkat keasaman tanah. Kandungan basa-basa tergolong rendah akan mempengaruhi serapan Fe. Menurut Tan (2007) tingginya kadar Fe salah satu penyebab terjadinya keasaman tanah. Basa-basa tukar (Ca, Mg, Na, K) yang berfungsi untuk menetralisir keasaman tanah ketersediaannya pada tanah yang digunakan sangat rendah akibatnya Fe dan Mn akan mudah terserap oleh tanaman dan pada kosentrasi tertentu berpotensi terjadi keracunan. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Besi yang berlebihan dapat membentuk lapisan oksida ferri pada permukaan akar, sehingga akan memperlambat penyerapan hara lainnya oleh tanaman. Pengelolaan lahan ini dalam jangka panjang kalau tidak dikelola dengan baik akan selalu berpotensi menjadi lahan yang masam dan miskin terhadap unsur hara tertentu Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah me kation basa dengan me kapasitas tukar kation. Kejenuhan basa pada lokasi penelitian tergolong sedang dan termasuk tidak subur. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan pemupukan dan pemberian kapur (dolomit) yang cukup, sehingga pertumbuhan tanaman normal. Wakhid ( 2011) melaporkan bahwa nilai kejenuhan basah tanah > 80%, 50-80% dan < 50% untuk tanah gambut berturut-turut termasuk kategori sangat subur, sedang dan tidak subur. Nilai KB menentukan kemasaman tanah dan ketersediam unsur hara, khususnya kalium, kalsium dan magnesium. Pasang surut. Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah pengkajian rawa pasang surut termasuk lempung liat berdebu; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah; kandungan Ca tergolong rendah; Mg-dd tergolong sangat tinggi; Na-dd tergolong sedang; Al3+ tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong tinggi; Fe tergolong tinggi dengan kejenuhan basa tergolong tinggi (Tabel 2). Dilihat dari analisis tanah maka terlihat bahwa lahan penelitian tersebut memiliki beberapa kendala dalam kesuburannya seperti miskin unsur hara (unsur K sangat rendah), pH tanah termasuk masam, kandungan Fe sangat tinggi serta
44
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kandungan Na yang termasuk sedang.Kandungan C-organik yang sangat tinggi dengan nisbah C/N yang sedang menunjukkan bahwa laju dekomposisi bahan organik belum lanjut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perombakan bahan organik diantaranya suhu, curah hujan, aerasi tanah akan sangat menentukan jumlah bahan organik dalam tanah. Vangnai dan Chantadisai (1984) dalam Mawardi dan Kertonegoro (2011) menyatakan bahwa laju perombakan pada kondisi tergenang sepuluh kali lebih rendah dibanding tidak tergenang. Subowo et al,. (2013) menambahkan bahwa pada kondisi tergenang laju dekomposisi bahan organik untuk melepas hara yang terkandung di dalamnya berlangsung lambat. Kandungan Fe yang sangat tinggi yang mencapai 0.22 % (22.000 ppm) merupakan kendala untuk lahan rawa. Jika digunakan varietas padi sawah maka pertumbuhan tanaman akan terganggu serta hasil yang rendah, sehingga diperlukan varietas yang toleran. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm. Khairullah et al., (2011) menambahkan bahwa konsentrasi Fe2+ sebesar 300-400 ppm saja akan meracuni tanaman padi dan mengakibatkan meracuni tanaman padi dan meningkatkan ketersedian hara tanaman rendah. Keracunan besi akan menghambat pertumbuhan tanaman dan kematian pada tanaman padi, menunjukkan gejala bronzing dan akan menurunkan hasil hingga 75 % pada varietas peka dan 30 % pada varietas toleran keracunan besi (Khairullah et al., 2011). Suprihatno et al. (2010) menambahkan bahwa keracunan besi menyebabkan produktivitas padi dilahan rawa relatif rendah (1-2 t/ha) atau bahkan tidak menghasilkan. Ada beberapa cara untuk mengatasi keracunan besi, diantaranya adalah penanaman varietas yang toleran dan pemupukan untuk meningkatkan keseimbangan unsur hara.Khairullah et al., (2011) menyatakan bahwa perlakuan tata air intermitten (digenangi dan dikeringkan berselang 1 minggu) dan waktu tanam 14 sampai 21 hari setelah aplikasi tata air merupakan kombinasi yang terbaik untuk mengendalikan keracunan besi.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Pada lahan rawa lebak pH-nya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat laju dekomposisi bahan organik belum lanjut, ketersedian P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah, kapasitas tukar kation tergolong rendah, keracunan besi (Fe) sangat tinggi dengan kejenuhan basa (KB) tergolong sedang Pada lahan rawa pasang surut tingkat keasamannya termasuk masam, kandungan C-organik sangat tinggi dengan tingkat dekomposisi bahan organik tergolong sedang: ketersedian P tergolong sedang, kapasitas tukar kation termasuk tinggi, kandungan Fe sangat tinggi; kejenuhan basa termasuk tinggi Dilihat dari kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) maka tingkat kesuburan tanah pada lahan rawa lebak relatif lebih rendah daripada rawa pasang surut.
45
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hendri Suyanto yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Bengkulu dalam Angka. Hartatik. W. Idris,K. 2008. Kelarutan fosfat alam dan SP-36 dalam gambut yang diberikan bahan amelioran tanah mineral. Jurnal Tanah dan Iklim 27: 45-56 Khairullah,I.L.Indrawati,A.Hairani,A.susilowati.2011. Pengaruh waktu tanam dan tata air untuk mengendalikan keracunan besi pada tanaman padi di lahan rawa pasang surut sulfat masam potensi tipe b. Jurnal Tanah dan Iklim. Edisi khusus rawa: 13-24. Mawardi dan B.D.Kertonegoro. 2011. Deskripsi beberapa unsur hara pada lapisan olah di tanah sulfat masam balandean dengan durasi penggunaan lahan yang berbeda. Jurnal Tanah dan Iklim edisi khusus rawa.79:87 Nyakpa, M.Y. A.M.Lubis, M.A. Pulung, A.G.Amrah, A.Munawar, G.B.Hong, N.Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung Subagyo H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. Prosiding simposium Nasional dan Konggres PERAGI. Jakarta 25- 27 Juni 1996. Subagyo H. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa dalam Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki, Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Suriadikarta,D.A dan Sutriadi,M.T.2007. Analisis potensi lahan rawa untuk pengembangan agribisnis. Jurnal Sumberdaya Lahan vol 1.No. 3 Agustus 2007. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Tan, K. H. 2007. Tanah-tanah daerah bermusim dan tropis basah dari Indonesia. Pembentukan sifat-sifat dan pengolahan. Dept of Crops and Soil Science. University of Georgia, Athens, GA, USA. Wakhid, N. 2011. Teknologi pemberian bahan amelioran di lahan gambut. Prosiding seminar nasional sumberdaya lahan pertanian Banjarbaru, 13-14 Juli 2011. Hal 165-180 Waluyo dan Djamhari,S.2011. Sifat kimia tanah dan kesesuaian lahan pada masing-masing tipologi lahan rawa lebak untuk budidaya tanaman padi, kasus di Desa Tanjung Elai, Ogan Komering Ilir. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 13(3): 204-209. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice Research Institut. Philipinnes;269p.
46
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Di Kabupaten Bengkulu Tengah, Indonesia Zoning Maps of Agricultural Commodities in Central Bengkulu District, Indonesia Hamdan dan Irma Calista Siagian BPTP Bengkulu Jalan Irian Km. 6.5 Bengkulu 38119 e-mail :
[email protected]
ABSTRACT Bengkulu Province has limited natural resources, so it is necessary efforts optimal land use. Problems faced in agricultural development with regard to the utilization of land resources which have not been mapped based comparative and competitive advantages. Preparation of zoning maps of agricultural commodities is done in Central Bengkulu District with several stages of the methodology are inventory of land resources and land resource evaluation. Preparation of zoning maps of agricultural commodities by agro-ecological zone scale 1: 50,000 is intended as an effort to provide information about the potential biophysical (soil, climate, vegetation), socio-economic, and land suitability superior agricultural commodities. Inventory of land resources is done with several phases of activities, namely: the preparation of base maps, land units of analysis and field verification of land resources while evaluation is done by the analysis of soil samples and preparation of the database. Based on the interpretation of the results and observations in the field, the study area were grouped into 6 groups, namely alluvial landform, marin, marin fluvio, tectonic, volcanic and various shapes. Land characteristics used in assessing land cover annual average temperature, precipitation, humidity, drainage, texture, coarse material, the effective depth, maturity and thickness of peat, CEC, KB, pH, organic C, total N, P2O5 , K2O, salinity, alkalinity, sulfidic depth, slope, surface rock, rock outcrop, the danger of landslides, erosion and inundation of high and long. Central Bengkulu District area of 74649.90 ha (71.40%) consisted of crop development zone wetlands and dry land, the development zone of crops and food crops and agroforestry systems development zone of annual crops / plantation. Keywords: agro-ecological zones, zoning commodity, applied technology ABSTRAK Provinsi Bengkulu memiliki potensi sumberdaya alam yang terbatas, sehingga sangat diperlukan upaya pemanfaatan lahan secara optimal. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan yang belum dipetakan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian ini dilakukan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan beberapa tahapan metodologi
47
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yaitu inventarisasi sumberdaya lahan dan evaluasi sumberdaya lahan. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi mengenai potensi biofisik (tanah, iklim, vegetasi), sosial ekonomi, dan kesesuaian lahan berbagai komoditas pertanian unggulan. Inventarisasi sumberdaya lahan dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan, yaitu: penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan sedangkan evaluasi sumberdaya lahan dilakukan dengan analisis contoh tanah dan penyusunan database. Berdasarkan hasil interpretasi dan pengamatan di lapangan, daerah penelitian dikelompokkan ke dalam 6 grup landform yaitu aluvial, marin, fluvio marin, tektonik, volkanik dan aneka bentuk. Karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan meliputi temperatur rata-rata tahunan, curah hujan, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C-Organik, N-Total, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan. Kabupaten Bengkulu Tengah seluas 74.649,90 ha (71,40%) terdiri dari zona pengembangan tanaman pangan lahan basah dan lahan kering, zona pengembangan tanaman tahunan dan tanaman pangan dengan sistem wana tani dan zona pengembangan tanaman tahunan/perkebunan. Kata Kunci: zona agroekologi, pewilayahn komoditas, teknologi aplikatif PENDAHULUAN
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat dan persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Permasalahan utama yang dihadapi berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan untuk sector pertanian, yaitu belum dipetakannya tingkat kesesuaian lahan yang menunjukkan keunggulan komparatif. Pengembangan komoditas pertanian unggulan harus didukung oleh daya dukung agroekologi, artinya bahwa komoditas tersebut untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi harus didukung oleh kondisi biofisiknya (tanah dan iklim), teknologi, dan sosial budaya petani. Selain itu komoditas pertanian tersebut harus mempunyai permintaan yang tinggi baik di pasar dalam maupun di luar daerah tersebut yang merupakan keunggulan kompetitif. Provinsi Bengkulu memiliki potensi sumberdaya alam yang terbatas, sehingga sangat diperlukan upaya pemanfaatan lahan secara optimal. Dari luas wilayah provinsi 1.978.870 ha, hanya 1.000.913 ha (51,58%) yang dapat digolongkan sebagai kawasan budidaya. Selebihnya merupakan kawasan hutan dengan topografi bergelombang hingga berbukit/bergunung. Oleh sebab itu dalam pengembangan usaha pertanian, kebijakan yang diperlukan adalah mewujudkan optimalisasi penggunaan lahan, melakukan usaha intensifikasi teknologi pertanian dan penggunaan komoditas unggulan/spesifik lokasi pada lahan-lahan yang telah dimanfaatkan. Data dan informasi sumberdaya lahan yang dikemas dalam produk AEZ merupakan data dasar yang penting dalam perencanaan pengembangan sistem 48
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
usaha pertanian spesifik lokasi. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1:50.000 Kabupaten Bengkulu Tengah berdasarkan AEZ dilakukan dengan identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahannya melalui pendekatan analisis terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses geomorfologi, litologi/bahan induk, dan hidrologi sebagai parameter dalam analisis terrain (Van Zuidam, 1986). Unsur-unsur terrain seperti lereng dan tingkat torehan mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga delineasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan. Secara hirarki, terrain dapat dibedakan berdasarkan skala peta (1:250.000-1:10.000) kedalam empat kategori yaitu: terrain province, terrain system, terrain unit, dan terrain component. Kategori terrain unit yang setara dengan land catena dapat digunakan untuk mendelineasi satuan lahan pada skala 1:50.000 (Kips et al., 1981; Van Zuidam, 1986; Meijerink,1988). Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki luas wilayah 112.394 ha yang terdiri dari 10 kecamatan, 112 desa definitif dan 1 kelurahan yang secara geografis berbatasan; Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Seluma, sebelah Timur dengan Kabupaten Kepahiang, dan sebelah Barat dengan Kota Bengkulu. Sebagai kabupaten baru, tentunya memerlukan data dukung yang memadai dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada khusunya sumberdaya pertanian. Tujuan dari kegiatan ini untuk mengidentifikasi, mengkarakterisasi sumberdaya lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dan menyusun peta kesesuaian lahan dan peta pewilayahan komoditas berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 serta memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam pengembangan komoditas pertanian unggulan dengan melakukan evaluasi kesesuaian lahan sehingga dapat meningkatkan keunggulan komparatifnya dan melakukan analisis ekonomi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Dengan meningkatnya keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut, diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk baik secara regional, nasional dan bahkan internasional. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian mencakup seluruh batas administrative Kabupaten Bengkulu Tengah, di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Seluma, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kepahiang. Penyusunan Peta Pewilayahan komoditas Kabupaten Bengkulu Tengah Skala 1:50.000 dilakukan dengan dua tahapan metodologi: 1. Inventarisasi Sumberdaya Lahan meliputi: penyusunan peta dasar, analisis satuan lahan dan verifikasi lapangan (pengamatan tanah, pengambilan contoh tanah, penyusunan satuan evaluasi lahan), 2. Penyusunan Peta Satuan Lahan, terdiri dari pendetilan peta satuan lahan skala 1:250.000 dilakukan dengan overlay peta kontur, peta lereng interval 12.5 dari Digital Elevation Model (DEM) dengan bantuan program SAGA serta interpretasi citra landsat 7 ETM+. Pengelompokkan landform mengacu pada Klasifikasi Landform LREP II (Marsoedi et.al, 1997). Pengambilan contoh tanah
49
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Contoh tanah diambil dari profil tanah atau minipit. Contoh tanah profil diambil di seluruh lapisan/horison tanah kemudian dianalisis di laboratorium untuk mendukung klasifikasi tanah, sedangkan contoh minipit diambil sampai kedalaman + 60 cm (mengikuti horisonisasi, dapat terdiri dari 2-3 contoh) untuk mendukung sifat kesuburan tanah yang mewakili satu jenis tanah di dalam satuan lahan. Apabila satuan lahan mempunyai penyebaran yang luas, pengambilan contoh tanah dilakukan pada beberapa lokasi pengematan dan distribusinya merata dan mewakili seluruh satuan lahan. Data hasil analisis tanah digunakan untuk reklasifikasi tanah, evaluasi tingkat kesuburan, dan evaluasi lahan.
50
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 HASIL Peta Satuan Lahan Kabupaten Bengkulu Tengah
Tabel 1. Legenda satuan lahan Kabupaten Bengkulu Tengah
51
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Simbol Af.1121n Af.1122f
Litologi
Relief (% lereng)
Elevasi (m dpl)
Karakteristik dan Klasifikasi Tanah
Endapan liat
Agak datar (1-3)
0-400
Endapan liat
Datar (0-1)
0-400
Af.12-n
Endapan liat
Agak datar (1-3)
0-400
Mf.32-f Mf.32-n Mf.32-u Mfq.111 -n Mfq.112 -n
Endapan liat Endapan liat Endapan liat
Datar (0-1) Agak datar (1-3) Berombak (3-8)
0-400 0-400 0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH sangat masam; KTK 61,09 ( Tropaquepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH masam; KTK 61,09 ( Tropaquepts) Sangat dalam; tekstur lempung liat berdebu; drainase sangat terhambat; pH masam; KTK 61,09 ( Tropaquepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 32,77 (Hapludults) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 32,77 (Hapludults) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 24,25 (Hapludults)
Endapan liat, pasir
Agak datar (1-3)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat; drainase cepat; pH masam; KTK 24,25 (Tropopsamments)
Endapan liat, pasir
Agak datar (1-3)
0-400
Dalam; tekstur liat berdebu; drainase baik; pH masam; KTK 59,18 (Hapludults)
Bu.03-f
Endapan liat, gambut
Datar (0-1)
Va.32-h
Tuff andesit
Berbukit (25-40)
Tuff andesit
Berbukit kecil (15-25)
Va.33-c
7001.200 0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase terhambat; pH masam; KTK 11,82 (Hydraquents) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 36,26 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 36,26 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts)
0-400
Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts)
0-400
Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts)
0-400
Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts)
0-400 400-700 0-400
Va.33-m
Tuff andesit
Bergunung (>40)
Vab.31-n
Tuff andesit, basal
Vab.31-r
Tuff andesit, basal
Vab.31-u
Tuff andesit, basal
Vab.32-c
Tuff andesit, basal
Vab.32-h
Tuff andesit, basal
Agak datar (1-3) Bergelombang (815) Berombak (3-8) Berbukit kecil (15-25) Berbukit (25-40)
400-700
Vab.33-h
Tuff andesit
Berbukit (25-40)
400-700
Bergunung (>40)
7001.200
Sangat dalam; liat; drainase sedang; pH masam; KTK 32,76 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 29,74 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 29,74 (Dystropepts)
Agak datar (1-3)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat; drainase baik; pH masam; KTK 16,74 (Haplohumults)
Berombak (3-8)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 33,25
Vab.33m Tq.101-n Tq.102-u
Tuff andesit Endapan batuan felsik kasar Endapan batuan felsik
L u a s Ha % 1.599,02
1,53
654,14
0,63
1.845,30 2.647,57 7.394,78 6.037,37
1,77 2,53 7,07 5,77
1.193,14
1,14
1.182,23
1,13
1.383,32
1,32
3.233,72
3,09
2.559,12
2,45
3.523,69 351,74
3,37 0,34
1.766,91 57,34
1,69 0,05
2.242,92 1.472,15
2,15 1,41
915,62
0,88
11.630,56
11,12
2.176,06 3.895,37
2,08 3,73
52
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tq.111-n Tq.112-u
kasar Endapan batuan felsik kasar Batu pasir Batu pasir
Berbukit kecil (15-25) Agak datar (1-3) Berombak (3-8)
Tq.113-r
Batu pasir
Berbukit (25-40)
0-400
Batu pasir
Berbukit kecil (15-25)
0-400
Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts)
Batu pasir
Berbukit (25-40)
7001200
Batu pasir
Berbukit kecil (15-25)
0-400
Batu pasir
Bergunung (>40)
Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts)
Tq.103-r
Tq.121-c Tq.121-h Tq.122-c Tq.122m X.1 X.2 X.3 X.5
Bukit Terjal Pemukiman Tubuh air Areal Tambang
0-400 0-400 0-400
400-700
(Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 33,25 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat; drainase sedang; pH masam; KTK 22,37 (Dystropepts) Sangat dalam; tekstur liat berdebu; drainase sedang; pH masam; KTK 62,01 (Dystropepts)
3.138,36 98,15 7.730,57
3,00 0,09 7,39
11.724,69
1,21
8.056,03
7,71
10.544,32
10,09
780,51
0,75
2.528,29 1.132,68 851,43 32,30
2,42 1,08 0,81 0,03
169,98
0,16
104.549,3 6
100,00
Jumlah
Sumber:Dataprimer(diolah)2013
53
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Dari kegiatan pemetaan satuan lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan skala 1:50.000 dihasilkan 28 satuan peta tanah dan setiap satuan peta lahan/tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya lahan mempunyai karakteristik-karakteristik yag dapat dirinci dan diuraikan sebagai karakteristik lahan, baik berupa karakteristik tanah maupun fisikk lingkungannya. Karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi dapat bersifat tunggal maupun bersifat lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lain. Karenanya dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Dari karakteristik lahan pada tabel 1 diketahui bahwa drainase pada 28 satuan peta tanah cenderung sedang hingga terhambat. Pada kondisi drainase sedang, air meresap ke dalam massa tanah agak lambat. Air tanah bebas berada di dalam tanah cukup dalam. Tanah basah terjadi hanya dalam wajtu yang singkat selama masa pertumbuhan, tetapi cukup panjang bagio pertumbuhan berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan yaitu tanah berwarna homogen, tanpa bercak atau karatan besi dan mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampau ≥ 50 cm. Sedangkan pada kondisi drainase lambat, air meresap ke dalam tanah secara sangat lambat, sehingga tanah menjadi basah pada lapisan teratas secara periodik selama masa pertumbuhan tanaman, atau selalu basah pada masa yang panjang. Air bebas biasanya berada di permukaan tanah dalam waktu yang cukup lama. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat ditemui di lapangan yaitu tanah berwarna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besi dan mangan sedikit pada lapisan sampai permukaan. 1. Rincian Relief Kabupaten Bengkulu Tengah Berdasarkan bentukan relief, Kabupaten Bengkulu Tengah mempunyai ketinggian dari 0-1.225m dpl. Lahan umumnya mempunyai relief dari datar sampai bergunung. Rincian relief lahan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rincian relief Kabupaten Bengkulu Tengah Lereng Beda Tinggi Simbol Relief (%) (m) F Datar <1 <5 n Agak Datar 1-3 <5 u Berombak 3-8 5-10 r Bergelombang 8-15 10-50 c Berbukit Kecil 15-25 10-50 h Berbukit 25-40 50-300 m Bergunung >40 >300 X1 Lereng terjal X2 Pemukiman X3 Badan air/sungai X5 Areal tambang Jumlah Sumber: Data primer (diolah) 2013
Luas Ha 4.685,03 15.462,34 17.720,65 16.633,47 13.638,58 12.932,08 20.916,25 1.132,68 1.226,00 32,30 169,98 104.549,36
% 4,48 14,79 16,95 15,91 13,05 12,37 20,01 1,08 1,17 0,03 0,16 100,00
PEMBAHASAN Penilaian kualitas/karakteristik lahan terhadap persyaratan tumbuh tanaman yang dinilai dipisahkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) persyaratan tumbuh tanaman (crop requirements) yang merupakan karakteristik zone agroekologi; (2) persyaratan pengelolaan [management pengelolaan (management requirements)] yang 54
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
merupakan grup manajemen atau grup perbaikan lahan; (3) persyaratan pengawetan (conservation requirements) yang merupakan grup konservasi dan lingkungan. Khusus bagi peruntukan pengembangan peternakan terdapat satu kriteria lainnya, yakni (4) persyaratan faktor kenyamanan (freshness) bagi kehidupan ternak. Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan adalah temperatur rata-rata tahunan, curah hujan (tahunan atau pada masa pertumbuhan), kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C organik, total N, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan. Evaluasi lahan. Penilaian kualitas/karakteristik lahan terhadap persyaratan tumbuh tanaman yang dinilai dipisahkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) persyaratan tumbuh tanaman (crop requirements) yang merupakan karakteristik zone agroekologi; (2) persyaratan pengelolaan [management pengelolaan (management requirements)] yang merupakan grup manajemen atau grup perbaikan lahan; (3) persyaratan pengawetan (conservation requirements) yang merupakan grup konservasi dan lingkungan. Khusus bagi peruntukan pengembangan peternakan terdapat satu kriteria lainnya, yakni (4) persyaratan faktor kenyamanan (freshness) bagi kehidupan ternak. Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. karakteristik lahan yang digunakan dalam menilai lahan adalah temperatur rata-rata tahunan, curah hujan (tahunan atau pada masa pertumbuhan), kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman efektif, kematangan dan ketebalan gambut, KTK, KB, pH, C organik, total N, P2O5, K2O, salinitas, alkalinitas, kedalaman sulfidik, lereng, batuan di permukaan, singkapan batuan, bahaya longsor, bahaya erosi serta tinggi dan lama genangan. Dalam penilaian kesesuaian lahan perlu ditentukan komoditas apa yang akan dinilai disesuaikan dengan tujuan penelitian. Penentuan komoditas tersebut mempertimbangkan kondisi biofisik dan kimia lahan, iklim dan sosial ekonomi pada suatu sistem usahatani (Tabel 3). Kondisi biofisik tersebut dipakai sebagai dasar penentuan kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan. Komoditas yang dinilai adalah usahatani tanaman pangan, hortikultura, tanaman tahunan. Tanaman pangan terdiri dari: padi sawah, padi gogo, ubi jalar, dan jagung. Tanaman tahunan/perkebunan dan hortikultura terdiri dari: kelapa sawit, karet, jeruk kalamansi, durian, pisang, nenas, buah naga dan sayuran.
55
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3 Kondisi biofisik dan kimia lahan, iklim Kabupaten Bengkulu Tengah No Tanah
Temperatur rerata (°C)
Ketinggian
Curah
Bulan
Kelembaban
Hujan
Kering
(%)
Drainase
Tekstur
Kedalaman tanah
KTK liat
Kejenuhan basa
pH
C-organik
N-
(cm)
(cmol)
(%)
H2O
(%)
Total
P2O5
K2O
Lereng
Bahaya
(%)
erosi
Soil Taxonomy
1
26,93
38
3134
2
83,51
1
11
100
61,09
53,11
5,42
1,25
0,18
72,07
81,87
3
1
Tropaquept
2
26,93
12
3134
2
83,51
1
11
100
61,09
53,11
5,42
1,25
0,18
72,07
81,87
1
1
Tropaquept
3
26,93
88
3134
2
83,51
1
9
100
61,09
53,11
5,42
1,25
0,18
72,07
81,87
3
1
Tropaquept
4
26,93
38
3134
2
83,51
2
11
100
32,77
23
4,27
2,25
0,24
17,62
16,48
1
1
Hapludult
5
26,93
50
3134
2
83,51
2
11
100
32,77
23
4,27
2,25
0,24
17,62
16,48
3
1
Hapludult
6
26,93
38
3134
2
83,51
2
11
100
24,25
15,75
4,75
2,47
0,2
12,78
8,47
8
2
Hapludult
7
26,93
12
3134
2
83,51
7
11
100
24,25
15,75
4,75
2,47
0,2
12,78
8,47
3
1
Psamment
8
26,93
12
3134
2
83,51
5
11
75
59,18
15,71
4,5
0,04
0,64
153,63
19,85
3
1
Hapludult
9
26,93
12
3134
2
83,51
2
12
100
11,82
15,3
4,92
2,9
0,06
13,14
8,81
1
1
Hydraquent
10
26,93
450
3134
2
83,51
5
11
100
36,26
11,21
4,97
2,19
0,33
27,21
21,38
40
3
Dystropept
11
26,93
462
3134
2
83,51
4
11
100
36,26
11,21
4,97
2,19
0,33
27,21
21,38
25
3
Dystropept
12
26,93
1200
3134
2
83,51
4
11
100
62,01
55,14
5,08
0,29
0,11
191,41
156,43
100
4
Dystropept
13
26,93
50
3134
2
83,51
4
12
100
32,76
9,67
4,9
2,7
0,14
14,61
6,66
3
1
Dystropept
14
26,93
325
3134
2
83,51
4
12
100
32,76
9,67
4,9
2,7
0,14
14,61
6,66
15
3
Dystropept
15
26,93
62
3134
2
83,51
4
12
100
32,76
9,67
4,9
2,7
0,14
14,61
6,66
8
2
Dystropept
16
26,93
325
3134
2
83,51
4
12
100
32,76
9,67
4,9
2,7
0,14
14,61
6,66
25
4
Dystropept
17
26,93
300
3134
2
83,51
4
12
100
32,76
9,67
4,9
2,7
0,14
14,61
6,66
40
4
Dystropept
18
26,93
538
3134
2
83,51
5
11
100
29,74
14,32
4,72
1,85
0,23
31,17
10,92
40
4
Dystropept
19
26,93
950
3134
2
83,51
5
11
100
29,74
14,32
4,72
1,85
0,23
31,17
10,92
100
1
Dystropept
20
26,93
62
3134
2
83,51
5
12
100
16,74
20,68
4,73
2,86
0,15
13,31
12,19
3
1
Haplohumult
21
26,93
75
3134
2
83,51
4
11
100
33,25
15,51
4,52
2,15
0,24
83,47
91,08
8
2
Dystropept
22
26,93
225
3134
2
83,51
4
11
100
33,25
15,51
4,52
2,15
0,24
83,47
91,08
15
2
Dystropept
23
26,93
75
3134
2
83,51
1
11
100
22,37
38,86
5,55
3,63
0,19
136,02
89,67
3
1
Dystropept
24
26,93
75
3134
2
83,51
4
12
100
22,37
38,86
5,55
3,63
0,19
136,02
89,67
8
2
Dystropept
25
26,93
225
3134
2
83,51
4
11
100
62,01
55,14
5,08
0,29
0,11
191,41
156,43
15
2
Dystropept
26
26,93
325
3134
2
83,51
4
12
100
22,37
38,86
5,55
3,63
0,19
136,02
89,67
25
3
Dystropept
27
26,93
975
3134
2
83,51
4
11
100
62,01
55,14
5,08
0,29
0,11
191,41
156,43
40
4
Dystropept
28
26,93
175
3134
2
83,51
4
11
100
62,01
55,14
5,08
0,29
0,11
191,41
156,43
25
3
Dystropept
29
26,93
638
3134
2
83,51
4
11
100
62,01
55,14
5,08
0,29
0,11
191,41
156,43
100
4
Dystropept
Sumber: Data primer (diolah) 2013
56
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pewilayahan Komoditas Pertanian Pewilayahan komoditas pertanian merupakan kegiatan yang menghasilkan arahan penggunaan lahan untuk pertanian dengan mempertimbangkan daya dukung lahan (kesesuaian lahan), penggunaan lahan saat ini (existing landuse), kondisi sosial ekonomi (kompetitif dan komperatif), tabel prioritas tanaman unggulan daerah, dan peta status kawasan hutan. Perhitungan luas wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu tahun 2010, sebesar 104.549 ha. Sistem budidaya pertanian di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah budidaya lahan basah dan budidaya lahan kering, mencakup areal seluas seluas 76.942 ha (73,59%) termasuk dalam zona IV, III, dan II, sedangkan sisanya seluas 27.607 ha (26,41%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian dikarenakan kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan. Komoditas pertanian yang disarankan berupa komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan/perkebunan, kehutanan dan hortikultura. Pembudidayaan komoditas dapat secara tumpangsari atau monokultur. Pengembangan sistem budidaya pertanian dirinci menjadi: Pertanian bebasis tanaman pangan, pertanian berbasis tanaman perkebunan dan kehutanan. Legenda pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah
Zona
Sistem Pertanian/Alternatif Komoditas Pertanian
Luas Ha
Pertanian lahan basah, tanaman pangan IV/Wfs Padi sawah, umbi-umbian, sayuran 3.940 Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan, tanaman pangan IV/Dfsei Kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian 31.598 III/Dfsei Kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian 15.879 Pertanian lahan kering, tanaman pangan, tanaman hortikultura IV/Dfuf Ubi jalar, pisang 1.193 Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan II/Dei Karet, kelapa sawit, kopi robusta, durian 8.932 Pertanian lahan kering, tanaman kehutanan II/Dej Durian, sengon, kayu bawang 10.823 I/Dej Durian, sengon, kayu bawang 2.063 Status kawasan HL Hutan lindung 27.607 Lain-lain X.1 Bukit terjal 1.133 X.2 Pemukiman 851 X.3 Badan air/danau 360 X.5 Areal tambang 170 Jumlah 104.549
% 3,77 30,22 15,19 1,14 8,54 10,35 1,97 26,41 1,08 0,81 0,34 0,16 100,00
Sumber: Data Primer (diolah) 2013
Pertanian lahan basah adalah budidaya pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan yang secara alami mempunyai drainase sangat terhambat. Tanaman pangan yang dapat dibudidayakan adalah padi sawah. Lahan ini dapat juga dimanfaatkan untuk budidaya palawija dan sayuran terutama pada musim kemarau apabila dilakukan pengelolaan air. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan membuat saluran drainase dan atau guludan sebagai media tumbuh
57
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
palawija dan sayuran. Berdasarkan kondisi drainasenya, lahan basah yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan lahan adalah subzona IV/Wfs yaitu lahan basah yang mempunyai kondisi drainase sangat terhambat dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan padi sawah, umbi-umbian, dan sayuran dengan luas areal 3.940 ha (3,77%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah media perakatan (rc) yang dipengaruhi oleh kondisi drainase yang sangat terhambat dan tekstur tanah. Pertanian lahan kering adalah budidaya pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan yang mempunyai drainase tanah baik. Pertanian lahan kering secara zonasinya termasuk dalam zona IV, III, dan II. Komoditas pertanian yang disarankan berupa komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan/perkebunan, dan hortikultura. Pembudidayaan komoditas dapat secara tumpangsari atau monokultur. Berdasarkan pola pengembangannya pertanian lahan kering di Kabupaten Bengkulu Tengah dapat dibedakan menjadi 2 pola, yaitu pertanian lahan kering berbasis tanaman pangan (tanaman pangan dan hortikultura, dan perkebunan; tanaman pangan dan tanaman perkebunan) dan pertanian lahan kering berbasis tanaman perkebunan (wanatani dan monokultur). Sistem pertanian lahan kering, tanaman pangan dan perkebunan seluas 31.598 ha (30,22%), termasuk dalam zona IV dengan kelerengan <8% dan menurunkan subzona IV Dfsei dan zona III dengan kelerengan 8-15% menurunkan subzona III/Dfsei seluas 15.879 ha (15,19%). Komoditas yang dianjurkan adalah kelapa sawit, karet, padi gogo, jagung, umbi-umbian seluas 31.598 ha (30,22%) dan 15.879 ha (15,19%). Lahan yang saat ini berupa lahan sawah termasuk kelas cukup sesuai untuk padi dan sesuai marjinal untuk tanaman semusim atau tanaman lainnya, dengan faktor pembatas utama retensi hara (nutrient retention, nr), yang dicirikan oleh pH tanah masam (pH 4,7-5,1), kandungan C organik dan kapasitas tukar kation rendah. Oleh karena itu, untuk usahatani tanaman semusim diperlukan masukan unsur hara dengan pemupukan yang berimbang baik dengan pupuk organik maupun an-organik. Pertanian lahan kering, tanaman pangan, tanaman hortikultura (IV/Dfuf) komoditas ubi jalar, pisang seluas 1.193 ha (1,14%). Pertanian lahan kering, tanaman tahunan/perkebunan (II/Dei) dengan komoditas anjuran karet, kelapa sawit, kopi robusta, durian seluas 8.932 ha (8,54%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah bahaya erosi (eh) dan ketersediaan air (wa) disebabkan kelerengan lahan yang berada pada 25-40%. Pemanfaatan lahan harus mempertimbangkan konsep konservasi dengan pembuatan teras dan pengolahan tanah minimum. Pertanian lahan kering, tanaman kehutanan (II/Dej dan I/Dej ) komoditas anjuran durian, sengon, kayu bawang seluas 10.823 ha (10,35%) dan 2.063 ha (1,97%). Faktor pembatas pemanfaatan lahan adalah bahaya erosi (eh) karena kelerangan lahan 25-40% dan diatas 40%.
58
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 4 Peta pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah
59
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN 1. Dari kegiatan pemetaan satuan lahan di Kabupaten Bengkulu Tengah dengan skala 1:50.000 dihasilkan 28 satuan peta tanah 2. Sistem budidaya pertanian di Kabupaten Bengkulu Tengah adalah budidaya lahan basah dan budidaya lahan kering, mencakup areal seluas seluas 76.942 ha (73,59%) termasuk dalam zona IV, III, dan II, sedangkan sisanya seluas 27.607 ha (26,41%) tidak dapat dikembangkan untuk pertanian dikarenakan kondisi biofisik lahan tidak memungkinkan. DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2002. Petunjuk Teknis Penyusunan Pewilayahan Komditas Pertanian Berdasakan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1:50.000 (Model 1). Balai Penelitian Tanah. 2002. Penyusunan Peta Satuan Evaluasi Lahan Untuk Pewilayahan Komoditas Pertanian Skala 1:50.000 Melalui Analisis Terrain (Model 2). Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani, dan N. Suharta. 2000. Kriteria kesesuaian lahan versi 3.0. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. FAO. 1977. Guidelines for soil profile description. FAO Soil Bulletin 73. Rome. Goosen, D. 1967. Aerial photo interpretation in soil survey. FAO Soil Bulletin No.6. Rome. Hartomi, H. D. dan H. Suhardjo. 2001. Kebijakan Pewilayahan Komoditas. Makalah Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Puslitbangtanak, Bogor. FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome. Kassam, A.H., H.T. van Velthuizen, G.W. Fischer and M.M. Shah. 1991. Agroecological land resources assessment for agricultural development planning. A case study of Kenya. Resource data base and land productivity. Technical Annex 1. Land Resources. Land and Water Development Division, FAO, Rome. Kips, A.. Djaenudin, and Nata Suharta. 1981. The land unit approach to land resources surveys for land use planning with particular reference to the Sekampung watershed, Lampung Province, Sumatra., Indonesia. AGOF/INS/78/006. Technical Note No. 11. Centre for Soil Research, Bogor. Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof dan ER. Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi landform LT 5 Versi 3.0. Proyek LREP II, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Muljadi, D., and F.J. Dent. 1979. Evaluation of Indonesian soil and land resources. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. No. 1-2: 21-23. Mulyani, A. 2001. proposal Penelitian Pembinaan Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1 : 50.000. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
60
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Soil Survey Staff, 1998. Keys to Soil Taxonomy. United States Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Service. Eighth Edition, 1998. Van Zuidam, R. 1986. Air photo-interpretation for terrain analysis and geomorphologic mapping. Smits Publ. The Hague, The Netherlands.
61
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Faktor Predominan Anasir Iklim Terhadap Kondisi Rizozfer Perakaran Tanaman Jeruk Predominant Factors of Climate Element at Rhizozfer Citrus Plant Oka Ardiana Banaty1*), B. Al Fanshuri1, O. Endarto1, Joni Karman2 1 Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika,Tlekung 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan *) Telp. (0341) 592683 Fax. (0341) 593047 Email:
[email protected] ABSTRACT Climate is one of barrier factors in agricultural production, and one of climate elements which are very influential to agricultural production is rainfall. Rainfall may directly or indirectly affect the condition of plant rhizozfer, and lead to the impact in water availability and nutrients in the soil. The objective of this research was to determine the predominant factors of climate to rhizozfer condition of citrus plant. Research was conducted in Dau Sub district of Malang Regency, East Java, and Sambas Regency, West Kalimantan on January to December 2012. Observation was for soil water content, soil physical characteristics, and soil chemicals. Data collection of climate was taken from the nearest climatology station. Plants used as observation unit were selected in Systematically Purposive Sampling among 5-10% of total citrus plant population of 0,5-1 ha citrus area. Citrus varieties for this research comprised of Batu 55, Manis Pacitan, Mandarin Terigas and Tangerine Pontianak. The result indicated that rainfall fluctuation in 2012 affected the pattern difference of water availability in citrus rhizozfer. Water availability in the soil may take effect on plant fenology and finally affect the production of citrus plants. Keywords: rainfall, rhizozfer, citrus plant ABSTRAK Iklim merupakan salah satu faktor pembatas produksi pertanian. Salah satu anasir iklim yang sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian adalah curah hujan. Curah hujan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi rizosfer perakaran tanaman, sehingga berdampak terhadap ketersediaan air dan unsur hara dalam tanah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor predominan iklim terhadap kondisi rizozfer tanaman jeruk. Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Dau kabupaten Malang, Jawa Timur dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada bulan Januari – Desember 2012. Pengamatan dilakukan terhadap kadar lengas tanah, sifat fisik tanah, kimia tanah dan pengambilan data iklim dari stasiun klimatologi terdekat. Tanaman yang digunakan sebagai unit pengamatan dipilih secara Purposive Sistematik Sampling antara 5-10% total populasi tanaman dari luasan tanaman 0,5-1 ha tanaman jeruk. Varietas jeruk yang digunakan dalam penelitian adalah keprok Batu 55, Manis Pacitan, Keprok Terigas dan Siam Pontianak. Hasil penelitian diketahui bahwa
62
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
fluktuasi curah hujan pada tahun 2012 berpengaruh terhadap perbedaan pola ketersediaan air pada rizozfer tanaman jeruk. Ketersediaan air atau kadar lengas tanah ini akan berpengaruh terhadap fenologi tanaman yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi tanaman jeruk. Kata Kunci: curah hujan, rhizozfer, tanaman jeruk PENDAHULUAN Iklim adalah unsur utama yang berpengaruh dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan, (c) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (d) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Anonim, 2009). Perkembangan profil tanah sangat dipengaruhi oleh iklim, terutama curah hujan dan temperatur. Kedua faktor ini menentukan reaksi-reaksi kimia dan sifat fisis di dalam tanah. Faktor iklim mempengaruhi jumlah bahan organik di dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika temperatur rata-rata tahunan meningkat, sedangkan kelembaban tanah dan lain-lain tetap konstan maka jumlah bahan organik di dalam tanah akan menurun. Sebaliknya, peningkatan supplay air dengan temperatur tetap konstan menunjukkan peningkatan kandungan bahan organik di dalam tanah. Curah hujan yang tinggi terutama di daerah tropis dapat mencuci kation-kation dari lapisan permukaan tanah (top soil) ke lapisan tanah yang lebih dalam maka nilai tukar kation (KTK) juga akan meningkat (Hakim et al., 1986). Selain sifat tanah, faktor tumbuhan dan iklim sangat mempengaruhi jumlah air yang dapat diabsorsikan tumbuhan dari tanah. Faktor tumbuhan antara lain bentuk perakaran, daya tahan terhadap kekeringan, tingkat dan stadia pertumbuhan. Selama periode tertentu, akar sering memanjang begitu cepat sehingga kontak baru dengan partikel tanah selalu tercipta, walaupun suplai air cepat menurun dan tanpa bantuan air kapiler. Perpanjangan akar yang begitu cepat dapat memenuhi kebutuhan air bagi tumbuhan yang tumbuh pada keadaan optimum (Hakim, et al., 1986). Tanaman akan kecukupan air sesuai yang diperlukan tergantung pada ketersediaan air di mintakat perakaran/rhizozfer dan permeabilitas tanah. Ketersediaan air total pada tanah adalah kandungan lengas pada kapasitas lapangan (KL) dikurangi kandungan lengas pada titik layu (TL) dikalikan tebal perakaran tanaman (Sutanto, 1995). Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui faktor predominan iklim terhadap kondisi rizozfer tanaman jeruk yang kedepannya dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan panen akibat adanya perubahan iklim. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari s/d November 2012, di lokasi sentra pertanaman jeruk di Malang, Jawa Timur dan Sambas, Kalimantan Barat.
63
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kebun yang dipilih merupakan kebun jeruk milik petani berumur 5-7 tahun. Sebagai tanaman contoh dipilih dengan kondisi tanaman dan ukuran tajuk hampir sama. Tanaman yang akan digunakan sebagai unit pengamatan dipilih secara Purposive Sistematik Sampling sekitar 5-10% dari total populasi tanaman dari luasan tanaman 0,5-1 ha tanaman jeruk. Pengamatan terhadap kesuburan tanah dilakukan dengan mengambil sampel tanah di 4 titik didaerah rhizozfer dengan kedalaman antara 0-20 dan 20-40 kemudian dikomposit tiap sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium tanah terakreditasi untuk dianalisa kandungan hara N, P, K, C- Organik, KPK tanah dan sifat fisika tanahnya. Pengukuran kadar lengas dilakukan setiap dua minggu sekali pada masing-masing daerah perakaran tanaman jeruk yang terpilih sebagai sampel pengamatan. HASIL Tabel 1. Karakteristik sifat kimia dan Fisika tanah awal di Selokerto, Jatim dan Sambas, Kalbar Sifat Kimia Tanah Parameter Selokerto, Jatim Sambas, Kalbar K.Batu 55 Manis Pacitan K.Trigas Siam Ponti pH H2O 5.40 6.10 4.80 4.60 pH KCL 3.90 3.50 4.40 3.40 C- Organik (%) 0.88 0.69 1.63 1.38 N- Total (%) 0.14 0.10 0.17 0.16 C/N 6 7 10 9 P Bray 1 (mg/kg) 51.89 6.88 7.64 4.61 K-dapat ditukar 0.82 0.02 0.07 0.01 Na (%) 0.46 0.40 0.37 0.36 Ca (%) 6.50 9.02 2.95 3.08 Mg (%) 0.33 1.45 2.64 1.23 KTK (%) 31.07 26.67 19.8 17.66 jml Basa (%0 8.11 10.89 6.04 4.68 Kejenuhan Basa (%) 26 41 30 27 Pasir (%) 17 31 1 1 Debu (%) 55 52 44 53 Liat (%) 28 17 55 46 Lempung Lempung Liat Liat Tekstur (%) berdebu berdebu berdebu Berdebu Tabel 2. Kadar air tanah dan air tersedia di Selokerto, Jatim dan Sambas, Kalbar Parameter Sifat Fisika Tanah Pengamatan Selokerto, Jatim Sambas, Kalbar K.Batu 55 Manis Pacitan K.Trigas Siam Ponti pF 0 (%) 55,00 47,00 57,00 49,00 pF 2 (%) 40,00 38,00 46,00 39,00 pF 2,54 (%) 38,00 37,00 42,00 37,00 pF 4,2 (%) 20,00 21,00 20,00 20,00 Air tersedia 18,00 16,00 22,00 17,00
64
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 1. Curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten sambas, Kalbar dan Malang, Jatim pada tahun 2002-2012
Gambar 2. Jumlah hari hujan tahunan di Kabupaten sambas, Kalbar dan Malang, Jatim pada tahun 2002-2012
Gambar 3. Pola ketersediaan air pada rizozfer perakaran tanaman jeruk tahun 2012
65
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 4. Curah Hujan, jumlah hujan, temperatur dan evaporasi rata-rata bulanan tahun 2012 pada dua lokasi penelitian
66
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Dari hasil analisa tekstur tanah (Tabel 1) di atas diketahui bahwa tekstur tanah di kedua lokasi penelitian berbeda. Tanah di lokasi Selokerto, Jawa Timur memiliki tekstur lempung berdebu dengan dominasi debu, sedangkan tekstur tanah di lokasi Sambas, Kalbar memiliki tekstur liat berdebu dengan dominasi liat. Jenis tanah dengan tekstur yang berbeda ini akan mempunyai kapasitas menahan dan menyediakan air untuk tanaman yang berbeda. Tanah di Selokerto, Jawa Timur memiliki kandungan kimia tanah (pH, P, K, Mg, KTK dan Kejenuhan basa) yang berbeda di daerah rhizozfer tanaman jeruk. Kandungan kimia tanah di daerah perakaran jeruk keprok Batu 55 cenderung lebih tinggi dibandingkan di daerah perakaran jeruk Manis Pacitan. Hal tersebut disebabkan penggunaan pupuk untuk tanaman jeruk keprok Batu 55 lebih banyak dibanding manis pacitan sehingga residu pupuk yang tertinggal di tanah lebih besar pada lokasi keprok batu 55. Penggunaan pupuk yang berlebih dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan pH tanah semakin masam, seperti terlihat pada pH keprok batu 55 yang lebih rendah dibanding manis pacitan. Sedangkan di Sambas, Kalimantan Barat, budidaya tanaman jeruk keprok Terigas dan Siam Pontianak tidak berbeda jauh sehingga sifat kimia dan fisika tanah tidak ada perbedaan yang signifikan. Karakteristik Iklim yang Dominan. Berdasarkan data klimatologi yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) stasiun Meteorologi Karang Ploso, Malang, Jawa Timur dan stasiun Meteorologi Supadio, Kalimantan Barat pada 10 tahun terakhir (2002-2011) menunjukkan bahwa di dua lokasi tersebut mempunyai pola iklim yang berbeda, terutama untuk parameter curah hujan. Curah hujan di Sambas, Kalimatan Barat rata-rata lebih tinggi tiap tahunnya dibandingkan curah hujan di Malang, Jawa Timur. Curah hujan di kabupaten Sambas, rata-rata antara 300-400 mm/tahun sedangkan di Malang rata-rata sekitar 100 mm/tahun. Namun pada tahun 2010 terlihat bahwa terjadi peningkatan curah hujan yang cukup tinggi di Malang hingga dua kali lipatnya yaitu 250 mm/tahun. Peningkatan curah hujan dipengaruhi oleh jumlah hari hujan yang terjadi pada suatu daerah tersebut. Dari Gambar 2 terlihat bahwa jumlah hari hujan di Sambas juga lebih tinggi dibandingkan di Malang. Namun pada tahun 2010 juga terlihat adanya perubahan intensitas atau jumlah hujan di wilayah Malang, Jawa Timur menjadi lebih tinggi dibandingkan di wilayah Sambas, Kalimantan Barat. Apabila kita lihat kembali data produksi buah jeruk pada tahun tersebut mengalami kegagalan panen, hal tersebut terjadi salah satunya karena adanya dampak perubahan iklim terutama untuk anasir curah hujan. Hubungan Ketersediaan Air pada rhizozfer Tanaman Jeruk dengan Anasir Perubahan Iklim yang Dominan. Salah satu cekaman yang sering dialami tanaman adalah defisit air. Defisit air untuk jangka waktu yang pendek ataupun lama pada umumnya menjadi penyebab utama menurunnya produksi pertanian karena akan mempengaruhi fisiologi tanaman tersebut. Manajemen air untuk pertanian dan penggunaan air oleh tanaman selayaknya dioptimalkan. Hal ini memerlukan pemahaman bagaimana defisit air mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman serta mekanisme yang terjadi di balik itu. Menurunnya ketersediaan air tanaman akibat pengeringan tanah menyebabkan menurunnya
67
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penyerapan air oleh akar tanaman, dan pada gilirannya akan menurunkan kandungan air tanaman, potensial air tanaman (status air daun), tekanan turgor dan konduktivitas stomata, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan tanaman menjadi stress (Kramer, 1988). Beberapa anasir iklim yang diduga sebagai faktor predominan yang berpengaruh terhadap kondisi rhizozfer tanaman jeruk antara lain: curah hujan, jumlah hujan, evaporasi dan temperatur rata-rata. Namun faktor iklim yang berpengaruh secara langsung terhadap kondisi rizozfer pada tanaman jeruk adalah curah hujan dan jumlah hujan karena kondisi air dalam tanah akan mempengaruhi fenologi pembungaan dan pembuahan sehingga kedepannya akan berpengaruh terhadap jumlah produksi buah tersebut. Dari gambar 4 diatas terlihat bahwa di Malang, Jawa Timur pada bulan July hingga September 2012 curah hujan dan jumlah hujan sudah sangat sedikit atau hampir tidak ada, namun di daerah Sambas justru masih terdapat hujan yang cukup tinggi diatas 200 mm/bulan. Sedangkan untuk anasir suhu udara rata-rata tiap bulannya di Sambas lebih tinggi (26,1 -28,1 0C) namun evaporasinya terlihat lebih rendah pada bulan Juli – November. Perbedaan pola anasir-anasir iklim tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi ketersediaan air dalam tanah dan fenologi pembungaan pada tanaman jeruk. Selisih antara pF 2,54 dengan pF 4,2 dapat digunakan untuk menentukan kadar air tersedia bagi tanaman. Perbedaan nilai pF 2,54 dengan pF 4,2 pada kedua lokasi tersebut diatas adalah (16-18 % volume) untuk lokasi Selokerto, Jawa Timur dan (17-22 % volume) untuk daerah Sambas, Kalbar. Nilai ini merupakan kriteria nilai pori air tersedia yang sedang (Table 2). Dari gambar 3 terlihat pola ketersediaan air berbeda pada daerah rhizozfer dari keempat varietas jeruk yang diamati. Kadar air aktual tanah di daerah rhizozfer yang ditunjukkan dengan kadar lengas tanah pada jeruk varietas keprok Trigas dan Siam Pontianak untuk wilayah Kalimantan Barat menunjukkan kadar lengas tanah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lengas di daerah rizozfer pada tanaman jeruk varietas keprok Batu 55 dan manis Pacitan untuk wilayah Malang, Jawa Timur. Hal ini dikarenakan di wilayah Kalimantan Barat hujan lebih sering terjadi karena pengaruh iklim di garis khatulistiwa menyebabkan pola hujan menjadi tidak menentu. Selain itu, kondisi lengas tanah juga karena dipengaruhi oleh pasang surut sehingga tanaman jeruk lebih sering terendam air (kondisi jenuh air). Sedangkan untuk wilayah Malang, Jawa Timur hujan baru turun pada akhir bulan Oktober sehingga pola ketersediaan air meningkat mulai bulan Oktober. Kondisi lengas tanah pada daerah rizozfer tanaman jeruk keprok batu 55 cenderung lebih rendah daripada di daerah rizozfer tanaman jeruk Manis Pacitan. Hal ini menjelaskan bahwa varietas tanaman jeruk juga berpengaruh terhadap kondisi kelengasan tanah disekitarnya. Jeruk keprok Batu 55 cenderung menyerap air yang lebih banyak dibandingkan dengan jeruk Manis Pacitan pada bulan Juli. Tanah-tanah dengan kandungan air yang sama belum tentu memiliki kemampuan menyediakan air untuk tanaman dalam jumlah yang sama. Hal ini karena penyerapan air oleh tanaman lebih dipengaruhi oleh potensial air tanah daripada kandungan air tanah (Ali et al., 1999). Baik potensial maupun kandungan air pada suatu profil tanah tidak akan seragam sehingga diduga hal ini akan mempengaruhi adaptasi tanaman terhadap kekeringan. Dari hasil
68
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pengamatan terhadap kondisi rhizozfer pada tanaman jeruk, terutama untuk kadar lengas tanah/ketersediaan air dalam tanah dan pengaruhnya terhadap fisiologi tanaman dapat digunakan sebagai acuan dalam pengaturan managemen kebun dan menyusun teknologi antisipasi/mitigasi dalam menghadapi isu perubahan iklim khususnya parameter curah hujan untuk meminimalkan resiko kegagalan panen.
KESIMPULAN 1. Faktor predominan iklim yang mempengaruhi kondisi tanaman jeruk adalah curah hujan dan jumlah hujan, karena pola anasir tersebut berbanding lurus dengan pola ketersediaan air di daerah rizozfer perakarannya. 2. Pola ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi juga oleh varietas tanaman jeruk yang dibudidayakan. 3. Kondisi rhizozfer pada daerah perakaran tanaman jeruk terutama kadar lengas tanah dapat digunakan sebagai acuan dalam pengaturan managemen pengairan untuk meminimalkan resiko kegagalan panen buah jeruk pada tahun berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Pedoman Sekolah Lapang Iklim TA 2009. Direktorat Jenderal Pengelolaan Tanah dan Air. Departemen Pertanian. Jakarta. Boer,R.,2009. Strategi Menghadapi Perubahan Iklim Untuk Sektor Tanaman Pangan. Pusat Kajian Risiko dan Pemanfaatan Iklim di Asia Tenggara dan Pasifik. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hakim,N.,Yusuf, N., Lubis, A.M., Nugroho,S.G. dan Bailey,H.H. 1986. DasarDasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Jakarta. Sutanto, R.,1998. Dasar-Dasar ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wright, S.F. and A. Uphadhyaya. 1998. Survey of soils for aggregate stability and glomalin,a glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil 198: 97−107.
69
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
LAMPIRAN Tabel 1. Data Iklim tahun 2012 di kedua lokasi penelitian Parameter Curah Hujan (mm) Hari hujan (hari) Evaporasi (mm) Temperatur (C)
Lokasi
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Sambas
504.2
273.5
232.0
123.7
79.5
Malang
286.9
422.0
211.0
66.3
Sambas
19.0
22.0
18.0
Malang
29.0
22.0
Sambas
111.6
Malang
87.2
Sambas Malang
Jun
Jul
Agu
48.9
218.8
112.8
24.2
16.0
0.0
14.0
7.0
9.0
21.0
14.0
10.0
6.0
92.8
108.5
111.0
127.1
99.1
98.2
133.0
126.8
26.2
26.1
26.5
27.3
23.5
23.5
23.8
23.8
Sep
Okt
Nop
20.9
237.7
245.0
4.0
0.0
107.0
149.0
17.0
13.0
5.0
21.0
22.0
0.0
1.0
0.0
10.0
16.0
123.0
89.9
111.6
114.0
108.5
96.0
121.7
167.8
157.2
134.7
178.7
144.4
28.1
27.6
27.1
27.4
27.8
27.1
26.8
23.7
22.7
21.4
21.7
23.0
24.6
24.7
Sumber data BMKG, stasiun klimatologi Supadio, Kalbar dan stasiun klimatologi Karangploso, Jawa Timur
70
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Peran Mulsa Organik pada Lahan Tadah Hujan Khususnya dalam Menekan Serangan Hama Pertanian Role of Organic Mulch in sub optimal lands in Suppressing Agricultural Pests Wiratno1) dan Rohimatun2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan1), Jl. Kol H. Barlian Km. 6, Palembang Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik2), Jl. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
ABSTRACT A new paradigm for agricultural development today is directed among others to sustaianability improves the quality of human life. Paradigm relies on the natural balance through the utilization of organic waste. Refers to this paradigm as well as considers potential as well as the abundance of organic solid wastes, the utilization of organic waste as mulch material should be encouraged to farmers. The role of the organic mulch in suboptimal lands is essential ingredient of which can improve soil quality especially in safe guarding the stability of temperature and soil moisture, improve the physical and biological properties of soil, suppress weed growth after weeding, prevent environmental degradation, as a source of additional nutrients for plants and food sources for soil microorganisms that increase the population of microorganisms that live in the soil. Besides, the decomposition process of organic matter present in the mulch sometimes contains certain chemicals that are able to suppress populations of plant pests that live in the soil. Thus in general organic mulch is able to improve soil fertility and crop production. Keywords: organic material, mulch, suboptimal land.
ABSTRAK Paradigma baru dalam pembangunan pertanian dewasa ini diarahkan antara lain untuk meningkatkan kualitas hidup manusia yang berkelanjutan. Paradigma tersebut bertumpu pada keseimbangan alam melalui pemanfaatan limbah organik. Mengacu pada paradigma tersebut serta menimbang potensi serta melimpahnya limbah padat organik, maka pemanfaatan limbah organik sebagai bahan mulsa perlu dianjurkan kepada para petani. Peran mulsa bahan organik khususnya di lahan tadah hujan sangat penting diantaranya dapat memperbaiki kualitas tanah yaitu dengan menjaga kestabilan suhu dan kelembaban tanah, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, menekan pertumbuhan gulma setelah penyiangan, mencegah terjadinya degradasi lingkungan, sebagai salah satu sumber unsur hara tambahan bagi tanaman dan sumber makanan bagi
71
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mikroorganisme tanah sehingga meningkatkan populasi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Disamping itu proses dekomposisi bahan organik yang ada dalam mulsa kadangkala mengandung bahan kimia tertentu yang ternyata mampu menekan populasi organisme pengganggu tanaman yang hidup di dalam tanah. Dengan demikian secara umum peran mulsa organik pada lahan sawah tadah hujan mampu membantu meningkatkan kesuburan tanah sehingga diharapkan produksi tanaman meningkat. Kata kunci: Bahan organik, mulsa, sawah tadah hujan.
PENDAHULUAN Intensifikasi pertanian dengan menggunakan berbagai jenis pupuk dan pestisida kimia menimbulkan berbagai dampak diantaranya perusakan sumber daya alam dan degradasi fungsi lingkungan. Keadaan ini mengakibatkan menurunnya daya dukung lahan. Sejalan dengan hal tersebut perhatian masyarakat mulai bergeser kepada konsep pertanian berwawasan lingkungan yang lebih dikenal sebagai usahatani pertanian organik, pertanian alami, atau pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah (Sudirja, 2008). Konsep tersebut tersebut di atas sebelumnya telah diutarakan oleh Reijntjes, et al. (1992) yang menyatakan bahwa pembangunan pertanian selayaknya dilaksanakan dengan input rendah dan berkelanjutan (Low External Input and Sustainability Agriculture/LEISA). Petani diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada tetapi layak secara ekonomi dan mantap secara ekologis serta sesuai dengan budaya dan kondisi sosial setempat. Apabila dikaji lebih lanjut konsep LEISA selaras dengan konsep yang telah dikembangkan oleh para ahli perlindungan tanaman di Indonesia yaitu konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Salah satu unsur penting di dalam konsep PHT adalah melakukan manipulasi habitat agar terjadi peningkatan keanekaragaman hayati (Subiyakto dan Indrayani, 2008) salah satunya dengan menggunakan mulsa organik. Saat ini kajian-kajian dan informasi tentang pemanfaatan mulsa organik dalam mengendalikan hama masih kurang popular di tingkat petani. Tulisan ini mengangkat arti penting pemanfaatan mulsa organik dalam budidaya tanaman khususnya di lahan sawah tadah hujan yaitu selain mampu memperbaiki kondisi tanah sekaligus mampu menekan serangan hama di pertanaman.
KONDISI UMUM LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Sawah tadah hujan adalah usaha pertanian yang memanfaatkan hujan sepenuhnya sebagai sumber air untuk mengairi lahan. Sawah ini hanya menghasilkan di musim hujan sedangkan di musim kering dibiarkan tidak diolah karena air sulit didapat atau bahkan tidak ada sama sekali. Pertanaman yang dibudidayakan pada lahan sawah tadah hujan umumnya hanya dipanen setahun sekali. Intensitas penggunaan tenaga kerja di sawah tadah hujan lebih tinggi karena petani harus menyulam lebih sering dibandingkan sawah
72
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
beririgasi, akibat suplai air yang tidak stabil. Selain itu, tingkat produktivitas sawah tadah hujan secara umum rendah dikarenakan kondisi tanah yang terdegradasi, tingginya evaporasi, kekeringan, banjir, dan minimnya manajemen air. Namun usaha pertanian di lahan sawah tadah hujan memiliki potensi untuk lebih produktif apabila air hujan dapat dikelola dengan baik dan kelembaban tanah dapat dipertahankan lebih efektif. Salah satu cara efektif untuk mempertahankan kelembaban tanah di lahan sawah tadah hujan sehingga tingkat kematian tanaman dapat ditekan adalah dengan pemberian mulsa. Mulsa terdiri dari bahan organik sisa tanaman seperti jerami padi dan batang jagung serta hasil pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna. PERAN MULSA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Mulsa sisa tanaman dapat memperbaiki kesuburan, struktur, dan cadangan air tanah sehingga sangat baik untuk diberikan di lahan tadah hujan yang rentan akan kekeringan dan rendah kadar bahan organiknya. Mulsa juga menghalangi pertumbuhan gulma, dan menyangga (buffer) suhu tanah agar tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Selain itu, sisa tanaman dapat menarik binatang tanah seperti cacing, karena kelembaban tanah yang tinggi dan tersedianya bahan organik sebagai makanan cacing. Adanya cacing dan bahan organik akan membantu memperbaiki struktur dan daya dukung tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik (Sugito, et al., 1995). Proses dekomposisi bahan organik yang ada dalam mulsa kadangkala mengandung bahan kimia tertentu yang ternyata mampu menekan populasi organisme pengganggu tanaman yang hidup di dalam tanah (Akhtar dan Malik 2000; Nahar et al., 2006; Wang et al., 2004) seperti nematoda parasit tanaman (Mian dan Rodriguez-Kabana, 1982). Penekanan populasi nematoda parasit diduga berkaitan erat dengan ketersediaan sumber makanan bagi berbagai mikroorganisme di dalam tanah sehingga terjadi peningkatan populasi sampai ke titik keseimbangan alamiahnya. Hasil dekomposisi bahan organik merupakan media tumbuh bagi berbagai jenis bakteri dan jamur tanah. Dengan meningkatnya populasi bakteri dan jamur, maka populasi nematoda pemakan bakteri dari famili Rhabditidae, Cephalobidae dan nematoda pemakan jamur juga akan meningkat (Forge et al., 2003) sehingga populasi nematoda predator dari famili Mononchidae meningkat (Yeates et al., 1999) mempengaruhi populasi nematoda parasit tanaman melalui kompetisi, antagonisme, atau karena terciptanya kondisi kurang menguntungkan bagi kehidupan nematoda parasit tersebut. Selain itu proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan senyawa nitrat dan ammoniak nitrogen yang beracun bagi berbagai organisme pengganggu tanaman termasuk nematoda parasit tanaman (Mian dan Rodriguez-Kabana, 1982). Hasil penelitian Brown dan Tworkoski (2004) menunjukkan bahwa pemberian mulsa kompos pupuk kandang secara nyata mempengaruhi kelimpahan artropoda, yang ditunjukkan dengan lebih banyaknya predator dan sedikitnya herbivora dibanding kontrol pada kurun waktu 1999-2000 di perkebunan apel (Tabel 1 dan 2). Pemberian mulsa juga mempengaruhi dinamika kepadatan
73
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
populasi mikroartropoda tanah (perombak, predator, dan semut) di plot jagung. Kepadatan rata-rata mikroartropoda perombak dan pemakan tumbuhan di plot percobaan menurun dalam urutan sebagai berikut: jerami Oryza sativa (padi) > pangkasan Gliricidia sepium > pangkasan Leucaena leucocephala > brangkasan daun dan batang Zea mays (jagung) > pangkasan Acioa barteri > kontrol 2 (90 kg pupuk N/ha/tahun) > bera > kontrol 3 (135 kg pupuk N/ha/tahun) > kontrol 1 (45 kg pupuk N/ha/tahun) > gundul bera (bare fallow) (Badejo, et al.,1995).
74
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Rata-rata nilai logaritma (±S.E.) grup serangga yang terperangkap pada tahun 1999 1Juli 11 Agustus 24 September Grup serangga Kontrol Kompos Kontrol Kompos Kontrol Kompos Predators 0.76 ± 0.20 0.96 ± 0.20 0.47 ± 0.14 1.00 ± 0.14a 0.63 ± 0.07 0.91 ± 0.07a Carabids 0.11 ± 0.07 0.27 ± 0.07 0.10 ± 0.04 0.00 ± 0.06 0.17 ± 0.10 0.29 ± 0.10 Staphylinids 0.16 ± 0.28 0.61 ± 0.28a 0.04 ± 0.12 0.61 ± 0.12a 0.25 ± 0.16 0.27 ± 0.16 Araneae 0.54 ± 0.09 0.41 ± 0.09 0.25 ± 0.12 0.43 ± 0.12 0.27 ± 0.08 0.58 ± 0.08a Ants 1.67 ± 0.24 1.56 ± 0.24 1.11 ± 0.19 1.14 ± 0.19 1.16 ± 0.18 1.13 ± 0.18 Detritivores 1.62 ± 0.19 1.19 ± 0.19 1.45 ± 0.28 2.49 ± 0.28a 1.71 ± 0.14 2.67 ± 0.14a Herbivores 1.92 ± 0.17 1.76 ± 0.17 1.72 ± 0.24 1.84 ± 0.24 1.63 ± 0.12 1.47 ± 0.12 Aphids 0.83 ± 0.17 0.25 ± 0.17a 1.27 ± 0.44 1.40 ± 0.44 1.04 ± 0.15 0.65 ± 0.15 Sumber: Brown dan Tworkoski (2004)
Tabel 2. Rata-rata nilai logaritma (±S.E.) serangga yang terperangkap pada tahun 2000 26 June 21 Agustus Gruip serangga Control Compost Control Compost All predators 1.49 ± 0.08 1.68 ± 0.08 1.18 ± 0.08 1.40 ± 0.08 Carabids 0.47 ± 0.13 0.76 ± 0.13 0.67 ± 0.07 0.73 ± 0.07 Staphylinids 0.53 ± 0.26 0.87 ± 0.26 0.60 ± 0.14 0.85 ± 0.14 Araneae 0.66 ± 0.10 0.79 ± 0.10 0.16 ± 0.09 0.50 ± 0.09a Ants 1.21 ± 0.13 1.31 ± 0.13 0.38 ± 0.12 0.74 ± 0.12 Detritivores 1.30 ± 0.12 1.51 ± 0.12 0.87 ± 0.12 1.19 ± 0.12a All herbivores 1.02 ± 0.19 0.49 ± 0.19a 0.80 ± 0.10 0.77 ± 0.10 Aphids 1.83 ± 0.16 1.26 ± 0.16a 0.21 ± 0.11 0.31 ± 0.11 Sumber: Brown dan Tworkoski (2004)
75
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PERAN MULSA YANG MENGANDUNG BAHAN AKTIF PESTISIDA Efektifitas mulsa dalam menekan populasi organisme pengganggu tanaman di dalam tanah akan semakin meningkat apabila bahan penyusun organik material mengandung bahan kimia tertentu (Rodriguez-Kabana et al., 1987) atau dicampur dengan bahan yang mengandung zat kimia tertentu yang beracun untuk organisme pengganggu tanaman (Tombe, 1993). Sebagai contoh, pemulsaan tanaman vanili yang dicampur dengan material tanaman cengkeh terbukti mampu menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang vanili yang disebabkan oleh serangan jamur Fusarium oxysporum (Tombe, 1993) dan penyakit busuk akar tanaman jambu mete di Bali (Tombe, 2003) yang diduga disebabkan oleh Rigidophorus microporus (R. lignosus) (Arya dan Temaja, l996), atau F. solani dan F. oxysporum (Tombe et al., l997). Cengkeh sangat berperan dalam menekan perkembangan serangan penyakit karena diketahui bahwa cengkeh ternyata juga bersifat fungisidal (anti jamur) (Serrano et al., 2005). Mulsa limbah nilam ternyata juga dapat menekan tingkat serangan hama di pertanaman. Wiratno et al. (1991) menyatakan bahwa pemanfaatan mulsa limbah nilam pada pertanaman lada ternyata mampu menekan tingkat serangan penggerek batang lada, Lophobaris piperis, sehingga menekan 5% kehilangan hasil. Diduga bahwa menurunnya tingkat serangan hama disebabkan oleh bau yang dihasilkan oleh limbah mampu mengusir hama yang ada dan yang akan datang ke pertanaman. Sifat repelensi nilam disebabkan oleh sesquiterpen yang dikandung dalam tanaman nilam (Ketaren, 1985). Hasil survey di Desa Kemutug Lor, Purwokerto, diperoleh bahwa limbah hasil penyulingan nilam telah dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai mulsa dan pengusir lalat di tempat pembuangan sampah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa limbah tanaman atsiri mampu meningkatkan performa tanaman dan mempengaruhi imago Dolescorea polibete untuk tidak meletakkan telur dan kelompok telur yang ditunjukkan dengan tingginya index repelensi (Tabel 3). Hasil evaluasi beberapa bahan tanaman sebagai mulsa organik dalam menekan hama Heteroligus sp.di Delta State, Nigeria menyebutkan bahwa tanaman Cymbopogon citrates L. dan Ocimum viridae L. Menunjukkan aktivitas penolakan atau antifeedant dibanding yang lain. Petak dengan perlakuan ini secara nyata menghasilkan umbi lebih banyak dan mengurangi kerusakan akibat kumbang tetapi tidak ada yang menyebabkan mortalitas kumbang (Okiemute, 2011). Tabel 3. Rata-rata jumlah kelompok telur dan telur D. Polibete pada tanaman handeuleum pada perlakuan pemanfaatan limbah tanaman atsiri sampai dengan hari ke-10 Perlakuan Rataan kelompok Rataan telur Indeks repelensi telur Kontrol 5,3 48,7 68,1 Serai dapur 0,3 3,9 42,9 Nilam 3,4 45,1 58,9 Cengkeh 1,8 17,3 61,6 Serai wangi 1,4 9,6 53,6 Akar wangi 1,2 11,5 Sumber: Wiratno, et al. (2010)
76
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN Paradigma budidaya berkelanjutan mengajak petani kembali memanfaatkan mulsa limbah bahan organik. Pemanfaatan mulsa organik pada ekosistem pertanian dan khususnya pada lahan-lahan suboptimal seperti pada lahan sawah tadah hujan menghasikan berbagai manfaat diantaranya memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah serta menyeimbangkan populasi mikroorganisme tanah sehingga tanah kembali menjadi subur dan mampu menopang pertumbuhan tanaman secara maksimal. Pemanfaatan mulsa organik diharapkan mampu menunjang keberhasilan program pengembangan pertanian organik yang saat ini sedang digalakkan pemerintah serta telah menjadi tuntutan utama pasar dunia khususnya dalam rangka menghadapi perdagangan bebas.
DAFTAR PUSTAKA Akhtar M and A. Malik . 2000. Roles of organic soil amendments and soil organisms in the biological control of plant-parasitic nematodes: a review. Bioresource Technology 74(1):35-47Anon. 1987. Budidaya Nilam. Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian. Balai Informasi Pertanian Propinsi Sumatera Barat. 36 hal. Arya, N. dan G.R.M. Temaja, 1996. Penelitian Pengendalian Biologi Penyakit Jamur Akar pada Tanaman Jambu Mete. Prosiding Pengendalian Penyakit Utama Tanaman Industri Secara Terpadu. Bogor, 13-14 Maret. hal. 224235. Badejo, M. A.,G. Tian, dan L. Brussaard. 1995. Effect of Various Mulches on Soil Microarthropods Under A Maize Crop. Biol Fertil Soil 20 (4): 294-298. http://www.springerlink.com/content/u826l73101523506. Diakses tanggal 26 Mei 2011. Brown, M. W dan T. Tworkoski. 2004. Pest Management Benefits of Compost Mulch in Apple Orchads. Agriculture, Ecosystem, and Environment 103 (3): 465-472. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167880903004146.Mei . Diakses tanggal 25 Mei 2011. Djazuli, M. 2002. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan nilam. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Jakarta, 2-3 Juli 2002. hlm. 323-332. Forge, T.A., E. Hogue, G. Neilsen, D. Neilsen. 2003. Effects of organic mulches on soil microfauna in the root zone of apple: implications for nutrient fluxes and functional diversity of the soil food web Applied Soil Ecology 22(1):39-54. Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa Jakarta. hlm. 6 Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. 427 hlm. Mian, I.H. and R. Rodriguez-Kabana. 1982. Soil amendments with oil cakes and chicken litter for control of Meloidogyne arenaria. Nematropica 12(2):205-220.
77
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Moko, H. , H. Muhammad dan S. Ningrum. 1998. Budidaya, Monograf Nilam No. V. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 56 –64. Nahar, M.S., P.S. Grewal, S.A. Miller, D. Stinner, B.R. Stinner, M.D. Kleinhenz, D. Wszelaki, D. Doohan. 2006. Differential effects of raw and composted manure on nematode community, and its indicative value for soil microbial, physical and chemical properties. Applied Soil Ecology 34(23):140-151. Okiemute, T.F. 2011. Evaluation of Some Plants Materials as Organic Mulch for the Control of Yam Tuber Beetles (Heteroligus sp.) in Delta State, Nigeria. Agricultural Journal 6(4): 166-171. Http://docsdrive.com/pdf/medwelljournals/aj/2011/166-171.pdf. Diakses dari internet tanggal 25 Mei 2011. Purwowidodo, 1982. Teknologi Mulsa. Dewa Ruci Press. Jakarta. Reijntjes, C., H. Bartus, dan Water-Bayer, A. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanin berkelanjutan untuk Input Luar Rendah. Diterjemahkan oleh Y. sukoco. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Rodriguez-Kabana, R, G. Morgan-Jones and I. Chet. 1987. Biological control of plant nematodes: soil amendments and microbial antagonists. Plant Soil 10:237-247. Serrano, M, D. Martinez-Romero, S. Castillo, F. Guillen and D. Valero. 2005. The use of natural antifungal compounds improves the beneficial effect of MAP in sweet cherry storage. Innovative Food Science & Emerging Technologies 6:115-123. Subiyakto dan Indrayani, I G., A. A. 2008. Pengendalian Hama Kapas Menggunakan Mulsa Jerami Padi. Perspektif, Review Penelitian Tanaman Industri 7 (2): 55-64. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Sudirja, R. 2008. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik. Disampaikan pada Acara Penyuluhan Pertanian KKNM UNPAD, Desa Sawit, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta 7 Agustus 2008. http://pustaka.unpad.ac.id. Diakses tanggal 23 Mei 2011. Sugito, Y., Y. Nurani, dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 84 hal. Tasma, I. M. dan P. Wahid. 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil nilam. Pemberitaan Littri 15 (1-2): 34 – 41. Tombe, M, Agus N, dan Sukamto, 1993. Penelitian penggunaan daun cengkeh dalam pengendalian penyakit busuk batang panili. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor 1-2 Des. 1993. hlm.28-35. Tombe, M., E. Taufiq, Supriadi dan D. Sitepu, 1997. Penyakit Busuk Akar Fusarium pada Bibit Jambu Mete. Prosiding Forum Konsultasi IlmiahTanaman Rempah dan Obat. Bogor, 13 - 14 Maret 1997. hlm. 183190. Tombe, M, D. Wahyuno., I G. N. R. Purnayasa. 2003. Pengendalian penyakit akar putih pada tanaman jambu mente. Laporan Hasil Penelitian PHTBUN.
78
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Wang KH, McSorley R, Marshall AJ, Gallaher RN. 2004. Nematode community changes associated with decomposition of Crotalaria juncea amendment in litterbags. Applied Soil Ecology 27(1):31-45. Wiratno, E. A. Wikardi dan M. Iskandar, 1991. Prospek Pemanfaatan Limbah Tanaman Atsiri Sebagai Repelen Serangga. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X, tanggal 24-26 September 1991. Bogor.p 10. Wiratno, Suriati, S. dan E. Sugandi. 2010. Pemanfaatan Limbah Aromatik sebagai Repelen Hama (30%) dan Pupuk Organik (2% Kadar N). Dalam Supriadi, M. Rizal, M. Yusron, O. Rostiana, dan Sujianto (Eds.). Laporan Teknis Penelitian 2009. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Hal 147-155. Yeates GW, Wardle DA, Watson RN. 1999. Responses of soil nematode populations, community structure, diversity and temporal variability to agricultural intensification over a seven-year period. Soil Biology and Biochemistry 31(12):1721-1733.
79
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Identifikasi dan Karakterisasi Sumberdaya Lahan pada Tanaman Pangan di Lahan Sub-optimal Muaro Jambi Land Resouces Identification and Characterization of Sub-Optimal Swamp Areas for Cereals Farming Systems In Muaro Jambi
Lutfi Izhar1), Salwati, dan D. Novalinda1 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda. Paal V Kota Baru. Jambi. 36128. Hp. 08127389986 Email:
[email protected] ABSTRACT Identification and characterization of swamp for farming systems have been done in Seponjen village, sub-district Kumpeh, regency of Muaro Jambi, Jambi Province in the areas of 10 ha. Research aimed to identify swamp potency to lessen failure risk and increase cereals crop production. Categorization used physiographic approach and land-use, thickness of peat, soil color, deepness of water, soil pH, water pH in incoming irrigate channel, water pH in drainage channel, maximum tide level, minimum tide level, water irrigation system, soil type, soil chemical feature, high stage and pond period, pyrite deepness and swamp type. Research shown Seponjen village is located in 5-10 m above sea level, soil topography level vary from flatter until hilly areas. 80% soil type was predominated by Ultisol. Land used was predominated estate crop plantation. Soil type in Seponjen is generally categorized as peat type. Peat type of each deepness was varying from: fabric, hemic, sapric, fibric to hemic, and hemic to sapric. In some deepness was met a soil mineral type and peat soil (clay) that caused by floods in which carry out erosion and form mineral geology interspersed by peat layers. Soil pH in 0 - 20 cm deepness was roughly 4 - 5, and water pH in irrigation channel was 5 - 5,5. Water surface was generally in the deepness of 80 - 120 cm from soil surface. Soil color of each deepness was vary from 10 YR 2/1 - 10 YR 5/1, 5 Y 6/3 and 7,5Y 4/3. Swamp type in Seponjen was inclusively categorize as of into middle swamp type, Pyrite was not found except in one assessment location. Pyrite placed in 80 - 100 cm and 100 - 120 cm from soil surface, with rate of pyrite < 2%, and Fe+2 of equal to 100 mg/liter. Hence location of the study was free from the poisonous affect of pyrite for crop grown. Keywords: Identify, Characterization, Sub-Optimal, Muaro Jambi ABSTRAK Identifikasi dan karakterisasi rawa untuk sistem pertanian telah dilakukan pada lahan 10 ha di Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi potensi rawa,
80
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mengurangi risiko kegagalan dan meningkatkan produksi tanaman sereal. Perlakuan menggunakan pendekatan fisiografi dan penggunaan lahan, ketebalan gambut, warna tanah, kedalaman air, pH tanah, pH air dalam saluran mengairi masuk, pH air di saluran drainase, tingkat pasang maksimum, tingkat pasang minimal, sistem irigasi air, jenis tanah , fitur kimia tanah, tahap tinggi dan periode kolam, kedalaman pirit dan jenis rawa. Penelitian menunjukkan Desa Seponjen terletak di 5-10 m di atas permukaan laut, tingkat topografi tanah bervariasi dari datar sampai daerah perbukitan. 80% jenis tanah yang didominasi oleh Ultisol. Jenis tanah di Seponjen umumnya dikategorikan sebagai gambut. Jenis gambut setiap kedalaman yang bervariasi dari: kain, Hemic, saprik, fibric untuk Hemic, dan Hemic untuk saprik. Dalam beberapa kedalaman bertemu jenis mineral tanah dan lahan gambut (tanah liat) yang disebabkan oleh banjir yang melaksanakan geologi erosi dan bentuk mineral diselingi oleh lapisan gambut. PH tanah di 0-20 cm kedalaman kira-kira 4 - 5, dan pH air di saluran irigasi adalah 5 - 5,5. Permukaan air umumnya di kedalaman 80-120 cm dari permukaan tanah. Warna tanah masing-masing kedalaman itu bervariasi dari 10 YR 2/1 - 10 YR 5/1, 5 Y 6/3 dan 4/3 7,5Y. Jenis rawa di Seponjen itu inklusif dikategorikan ke dalam jenis dari rawa tengah, Pirit tidak ditemukan kecuali dalam satu lokasi penilaian. Pirit ditempatkan dalam 80-100 cm dan 100-120 cm dari permukaan tanah, dengan tingkat pirit <2%, dan Fe + 2 sebesar 100 mg / liter. Oleh karena itu lokasi penelitian ini bebas dari racun pirit untuk tumbuh tanaman. Kata kunci: Identifikasi, karakterisasi, Sub-Optimal, Muaro Jambi PENDAHULUAN Program pembangunan pertanian dirumuskan dalam dua program utama yaitu; (1) Program pengembangan agribisnis, dan (2) Program peningkatan ketahanan Pangan. Untuk melaksanakan kedua program tersebut, diperlukan data dan informasi pengembangan suatu komoditas di wilayah tertentu. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan identifikasi dan karakterisasi wilayah (Manwan et al,.1992; Nasoetion dan J. Winoto, 1995; Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995; Alihamsyah, et al,. 2001 ). Salah satu aplikasi dari kedua program tersebut adalah pemanfaatan lahan rawa lebak seluas 13,4 juta hektar yang merupakan salah satu alternatif pengembangan dan berpotensi besar untuk dijadikan areal produksi tanaman pangan dimasa yang akan datang. Hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat sesuai identifikasi dan karakteristik serta melalui penerapan teknologi yang benar, maka lahan rawa lebak dapat dijadikan areal pertanian produktif (Manwan et al., 1993 dan Ismail et al., 1993). Diperkirakan lebih dari 9 juta hektar berpotensi lahan lebak untuk dijadikan areal produksi pertanian dan sampai saat ini sekitar 2,3 juta hektar telah dibuka/direklamasi oleh pemerintah untuk berbagai penggunaan. Beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa lokasi lahan rawa Kalimantan dan Sumatera (Nugroho, K., et al., 1992). Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa
81
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
dan berbagai Proyek Penelitian telah melakukan kegiatan penelitian secara intensif sejak pertengahan tahun 1980-an (Adimihardja, et al., 1998; dan Ananto, et al., 2000). Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk mendukung pengembangan usahatani tanaman pangan di lahan rawa guna menunjang peningkatan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani (Direktorat Rawa. 1984; dan Suprihanyo, et al., 2000). Namun karena lahan rawa tergolong marjinal dan tidak stabil (rapuh) terutama dengan adanya berbagai zat beracun, dinamika kondisi tanah dan fluktuasi air serta rendah dan beragamnya kesuburan alami tanahnya, maka pengembangannya untuk tanaman pangan pada suatu kawasan luas perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memilih teknologi dan pola penerapannya yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Kekeliruan dalam mereklamasi dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya serta sulit untuk memulihkan seperti kondisi semula. Hasil dari berbagai penelitian identifikasi dan karakterisasi lahan, pengelolaan tanah dan air serta budidaya tanaman pangan di lahan rawa yang sudah dilakukan, hendaknya digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan tanaman pangan berkelanjutan pada lahan rawa tersebut (Widjaya A. 1995). BAHAN DAN METODE Identifikasi dan karakterisasi lahan rawa lebak dilakukan dari bulan Februari sampai April 2006. Identifikasi dan karakterisasi dilaksanakan di lahan petani (on-farm research ) rawa lebak Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : Data iklim pengamatan selama 5 (lima) tahun (periode 1999 – 2003) diambil dari stasiun Sungai Duren Kabupaten Muaro Jambi, peta administrasi Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, dan laporan/tulisan sekunder dari berbagai institusi. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : Geografi Position System (GPS), bor tanah tipe Belgia, cangkul, sekop, buku “Munsell Soil Color Chart”, pH Truogh, kompas, “abney level”, meteran, pisau tanah, kantong plastik, label, form isian data lapang dan manual pengisian. Pengumpulan data dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan yaitu data sumber daya lahan dan air, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan yaitu data iklim selama 5 (periode tahun 1999 – 2003) dari stasiun Sungai Duren Kabupaten Muaro Jambi. Kegiatan yang dilakukan untuk mengamati sumberdaya lahan dan air, yang menyangkut faktor fisik lingkungan antara lain : fisiografi dan penggunaan lahan, tinggi dan periode genangan, jenis tanah dan tipe lebak, tata air dan lahan serta vegetasi yang dominan pada lahan rawa lebak wilayah kajian. Identifikasi dan karakterisasi dilakukan melalui kegiatan Base Line Survey yang meliputi karakterisasi biofisik lahan. Karakterisasi lahan dilakukan dengan metode survey lapangan, pengambilan contoh dengan jalan mengebor tanah dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium. Data yang dikumpulkan antara lain: fisiografi dan penggunaan lahan, ketebalan gambut, warna tanah, kedalaman air, pH tanah, pH air saluran masuk,
82
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pH air saluran draenase, pasang besar, pasang kecil, sistem tata air, jenis tanah, kimia tanah, tinggi dan periode genangan, kedalaman pirit dan kadar pirit serta tipe lebak. Analisis data iklim (curah hujan, suhu, radiasi matahari, kelembaban dan angin) dilakukan dengan mentabulasi data selama 5 tahun, selanjutnya diolah dengan menggunakan software Minitab 11. Analisis data hasil survei dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat komputer. Data yang didapat diolah dengan cara diklasifikasi, ditabulasi sesuai jenis data dan keperluan tampilan.
HASIL Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Bulanan Periode tahun 2008 – 2012 Lokasi Pengkajian (Stasiun Sungai Duren ). Bulan
Tahun
2008 2009 2010 Januari 318.2 120.7 230.0 Februari 172.4 299.3 191.8 Maret 326.5 314.8 325.2 April 168.1 190.6 192.5 Mei 258.7 84.4 92.2 Juni 104.9 336.9 138.5 Juli 101.3 127.1 Agustus 76.80 68.8 314.6 September 62.80 116.9 57.1 Oktober 425.3 286.1 332.5 November 268.0 170.5 462.4 Desember 176.9 269.5 366.6 Total 2462.9 2385.6 2703 Sumber : Stasiun Klimatologi Sei Duren, 2012
Rata-rata 2011 256.2 19.2 286.4 257.4 185.3 108.0 287.4 81.1 169.7 94.4 243.4 276.1 2264.6
2012 319.9 355.3 171.7 368.3 174.9 25.7 201.9 257.7 339.9 231.9 122.1 200.0 2769.3
249.0 207.6 284.9 235.4 159.8 142.8 143.5 159.8 149.3 274.0 253.3 257.3
Tabel 2. Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin dan Rata-rata Penyinaran Matahari Periode tahun 2005 – 2012 di Lokasi Pengkajian. (Stasiun Sungai Duren) Kecepatan Suhu Kelembaban Penyinaran Bulan Angin (0C) (%) Matahari (%) (km/jam) Januari 25.9 87.9 1.4 34.4 Februari 26.2 86.7 1.6 41.3 Maret 26.5 86.3 1.5 45.1 April 26.8 86.7 1.2 53.2 Mei 27.9 86.4 1.0 61.2 Juni 26.8 85.1 1.1 59.7 Juli 26.5 85.9 1.2 54.7 Agustus 26.5 85.0 1.4 58.6 September 26.5 85.3 1.3 49.4
83
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Bulan
Suhu (0C)
Oktober 26.5 Nofember 26.3 Desember 26.3 Sumber : Analisis data sekunder
Kelembaban (%) 86.0 86.7 87.3
Kecepatan Angin (km/jam) 1.0 1.0 1.2
Penyinaran Matahari (%) 44.3 44.8 40.0
Tabel 3. Hasil Evaluasi Karakteristik Lahan Lokasi Pengkajian Desa Seponjen No. Parameter Nilai Keragaan Keterangan 1. Lapisan Pirit 80 – 120 cm Dalam Pengeboran (sedikit sekali ditemui) Tanah 2. Kadar Pirit < 2% Dalam Pengukuran (sedikit sekali ditemui) Lapangan 3. Kedalaman Air 80 – 120 cm Dalam Pengeboran Tanah 4. pH Tanah 4–5 Sangat Masam Pengukuran Lapangan 5. pH air Saluran Draenase 5 – 5,5 Sangat Masam Pengukuran Lapangan 6. PH Air Saluran Masuk 4.5 – 5.5 Masam Pengukuran Lapangan 7. Sistem Tata air Telah ada tata Pengamatan air dan saluran Lapangan air 8. Jenis Tanah Typic Pengamatan Haplosapris, Lapangan typic endoaquapt, typic haplohemist Sumber : Analisis data primer 2012 Tabel 6. Hasil analisis tanah areal pengkajian Desa Seponjen Jenis analisis
Nilai
pH H2O C-Organik (%) N-total (%) P-potensial ( ppm) K-Potensial (ppm) KTK (me/100 g Basa-basa tukar (me/100 g) Na-dd
3,80 – 4,28 11,07 -30,38 0,44 – 1,34 35,27 – 193-57 3,54 – 8,74 56,47 – 88,20
K-dd
0,100 – 2,100
Ca-dd
2,060-3,080
0,090 - 3,220
Kriteria Sangat masam Sangat tinggi Sedang – sangat tinggi Sangat rendah – rendah Sangat rendah Sangat tinggi Sangat rendah – sangat tinggi Sangat rendah – sangat tinggi Rendah
84
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Jenis analisis
Nilai
Mg-dd 0,070 – 2, 200 Al-dd (me/100 g) 3,95 – 9,15 H-dd (me/100 g) 1,33 – 2,61 Sumber: Analisis Laboratorium 2012
Kriteria Sangat rendah – sedang
PEMBAHASAN Desa Seponjen secara administrasi masuk ke dalam Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Jarak desa ini dari ibukota kecamatan sekitar 2 – 6 km, dan jarak dari kabupaten 105 km. Desa Seponjen memiliki luas wilayah seluas 8.000 ha, yang terdiri dari lahan kering seluas 7.500 ha dan lahan basah seluas 500 ha , dengan jumlah penduduk 1.704 jiwa. Dari luasan tersebut penggunaan lahannya dikelompokkan menjadi enam tipe penggunaan lahan yaitu : 1) perkebunan seluas 1.254 ha; 2) tegalan seluas 556 ha; 3) lahan rawa lebak atau sawah lebak/payau seluas 150 ha; 4) pemukiman/pekarangan seluas 91 ha; 5) hutan/belukar seluas 5.599 ha; dan 6) perairan umum seluas 350 ha. Pada tahun 2006 areal tanam intensifikasi padi sawah sudah mencapai 90 ha dengan peningkatan produksi padi dari 1,5 t/ha pada tahun 2005 menjadi 2 – 3 t/ha pada tahun 2006. Areal tanam jagung sudah mencapai 400 ha dengan peningkatan produksi dari 4 t/ha tahun 2005 menjadi 5 t/ha tahun 2006. Desa Seponjen ini terletak pada ketinggian 5 – 10 m dari permukaan laut, dengan bentuk topografi datar sampai berbukit. Jenis tanah di desa Seponjen 80% didominasi oleh tanah Ultisol yaitu seluas 7.120 Ha, sisanya jenis tanah Aluvial yaitu seluas 880 Ha (Jumbriono, 2006). Tetapi setelah disurvei, sekitar 400 ha lahan yang diperuntukan untuk tanaman jagung merupakan lahan gambut. Keadaan iklim di suatu tempat ditentukan oleh faktor curah hujan, suhu udara, radiasi matahari, angin dan kelembaban. Desa Seponjen berdasarkan analisis data iklim harian periode 1999 – 2003 dari stasiun Sungai Duren (Tabel 1) memiliki curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 2000 – 2200 mm/tahun. Di mana musim hujan terjadi pada bulan Oktober April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei - September. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yaitu sebesar 142,8 mm dan tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 284,9 mm, besar curah hujan tertinggi mencapai dua kali lipat dari curah hujan terendah. Setelah mencapai nilai maksimum pada bulan Maret curah hujan akan mengalami penurunan dan akan kembali naik pada bulan Oktober. Tipe iklim utama menurut klasifikasi iklim Oldeman, yang didasarkan pada bulan basah berturut-turut, lokasi pengkajian termasuk ke dalam tipe iklim D. Di mana jumlah bulan basah berturut-turut 3-4 bulan basah (curah hujan 200 mm). Sedangkan subdivisinya berdasarkan bulan kering berturut- turut termasuk ke dalam subdivisi 1, dengan 1 – 2 bulan kering (curah hujan < 200 mm) berturut-turut. Sehingga lokasi pengkajian klasifikasi iklimnya termasuk tipe iklim D1. Tipe iklim D1 ini dapat dijabarkan sebagai daerah yang dapat diusahakan tanaman padi umur pendek satu kali dan biasanya produksi bisa tinggi karena
85
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kerapatan fluks radiasi tinggi, waktu tanam tanaman palawija juga cukup. Klasifikasi berdasarkan Oldeman ini tergolong klasifikasi yang baru di Indonesia dan dapat digunakan untuk keperluan praktis. Klasifikasi ini cukup berguna khususnya dalam klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan, yang pembagiannya bisa hanya didasarkan pada peluang curah hujan (Widjaya A., 1995). Berdasarkan analisis data iklim harian dari Stasiun Sungai Duren periode 2005 – 2012 yang disajikan pada Tabel 2, suhu udara rata-rata di desa Seponjen berkisar antara 25,9 - 27,9 oC, kelembaban udara rata- rata berkisar antara 85,1 – 87,9%, kecepatan angin berkisar antara 1,0 – 1,6 km/jam, dan penyinaran matahari berkisar antara 34,4 – 61,2%. Keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa lebak sangat tergantung pada pengendalian tata air, iklim (banjir dan kekeringan). Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan bahwa lahan rawa lebak desa Seponjen sudah dilengkapi dengan saluran tata air, yaitu saluran primer, sekunder (SK) terdiri dari SK 1 sampai SK 5 dan tersier. Saluran primer dan sekunder sudah tertata dan berfungsi dengan baik, tapi belum dilengkapi oleh kondisi pintu air yang baik sehingga aliran air yang masuk (inflow) dan keluar (outflow) belum terkendali. Hal ini mengakibatkan lokasi pengkajian tergenang air pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Lahan rawa lokasi pengkajian ini termasuk ke dalam rawa lebak tipe tengahan, lahan tergenangi selama 4 bulan, di mana pada musim hujan lahan mengalami genangan karena tingginya curah hujan yang biasanya berlangsung dari bulan Oktober – April, sedangkan musim kemarau lahan mengalami kekeringan, biasanya berlangsung dari bulan Mei – September. Dari hasil survei yang dilakukan pada lokasi saluran sekunder 2 (SK 2) didapatkan bahwa lahan rawa lebak desa Seponjen pada musim hujan sekali setahun lahan banjir karena luapan sungai Batanghari, biasanya terjadi pada bulan Desember – Januari dengan tinggi genangan air 0,5 – 2 meter, dan pada musim kemarau lahan tidak terluapi. Lahan rawa lebak lokasi pengkajian desa Seponjen berada pada wilayah topografi datar, dengan kelerengan 0 – 3%, fisiografi pada daerah belakang tanggul sungai, vegetasi didominasi oleh tanaman jagung. Kesuburan tanah lokasi pengkajian diamati dengan melakukan survei biofisik, Survei dilaksanakan untuk mengevaluasi karakteristik lahan (Tabel 3). Evaluasi dilaksanakan dengan melakukan pemboran tanah masing-masing pada kedalaman : 0 – 20 cm, 20 – 40 cm, 40 – 60 cm, 60 – 80 cm, 80 – 100 cm, dan 100 – 120 cm. Hasil pengukuran di lapangan didapatkan pH tanah pada kedalaman 0 – 20 cm adalah 4 - 5, dan pH saluran air 5 – 5,5. Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan bahwa lahan rawa lebak desa Seponjen termasuk ke dalam jenis tanah bergambut. Jenis gambut pada masing-masing kedalaman bervariasi dari fibrik, hemik, saprik, fibrik ke hemik, dan hemik ke saprik. Pada beberapa kedalaman juga dijumpai tanah gambut dan tanah mineral (tanah berliat). Hal ini disebabkan karena pada saat terjadi banjir membawa tanah-tanah hanyutan sehingga terbentuk suatu lapisan tanah mineral yang diselang-selingi lapisan gambut. Air pada umumnya baru dijumpai pada kedalaman 80 – 120 cm dari permukaan tanah. Warna tanah pada masing-masing kedalaman bervariasi dari 10 YR 2/1 – 10 YR 5/1, 5 Y 6/3 dan 7,5Y 4/3.
86
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Lahan rawa lebak desa Seponjen yang termasuk ke dalam lebak tipe tengahan ini, pirit
ditemukan kecuali pada lokasi pengamatan kelompok 6. Pirit dijumpai pada kedalaman 80 – 100 cm dan 100 – 120 cm dari permukaan tanah, dengan kadar pirit < 2%, dan Fe+2 sebesar 100 mg/liter, sehingga lokasi pengkajian dapat dikatakan aman dari keracunan pirit. Pada waktu survei biofisik ini juga dilakukan pengambilan sampel tanah secara komposit untuk analisis sifat fisika dan kimia tanah lokasi pengkajian. Kesuburan tanah pada lokasi kegiatan dapat dilihat dari hasil analisis (Tabel 4). Bila dilihat dari data kesuburan tanah di atas menunjukkan bahwa lahan yang dianalisis adalah lahan gambut. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah gambut yang terbentuk dari bahan organik atau sisa-sisa pepohonan, yang dapat berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik 12-18 % atau bahan tidak jenuh air dengan kandungan carbon organik sebanyak 20 % dan yang dicirikan kandungan bahan organik tanah lebih dari 30 % . Bahan organik = 1,724 x % C-organik tidak
Hasil analisis tanah menunjukkan lebih dari 80 % mempunyai bahan organik diatas 30 %. Sebagian besar lahan ini termasuk kedalam tipe lahan bergambut sedang dengan kedalaman gambut 100-200 cm dan sebagian lagi gambut yang diselingi tanah mineral dengan ketebalan gambut 20-50 cm lapisan atas, diselingi dengan tanah mineral dengan tekstur liat. Sehingga lahan dengan kriteria ini bila dimusim panas, masih mengandung air pada lapisan liatnya. Tanah gambut ini mempunyai daya memegang air yang sangat tinggi, tetapi kebanyakan air tertahan pada pori kasar atau dalam pori-pori yang sangat halus sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Kesuburan tanah sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, kandungan basa-basa tukar rendah walaupun kapasitas tukar kation tinggi, Tingginya KTK ini tidak disebabkan karena tinggi kation dapat tukar tetapi karena adanya gugusan karboksil dan phenolik, dimana KTK ini akan semakin tinggi bila dekomposisi semakin lanjut. Kemasaman tanah sangat tinggi, hal ini akan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman apabila tidak diberi ameliorasi tanah. PROSPEK UNTUK PRODUKSI TANAMAN PANGAN Berdasarkan tipe lebak didaerah tersebut yaitu lebak tengahan, dapat ditanami dengan 2 musim tanam, padi gogo rancah-bera-padi gogo rancah atau padi rancah gogo-palawija atau padi rancah gogo-hortikultura. Tapi kenyataan dilokasi ini baru ditanami 1 x dalam setahun. Lebak dengan jenis lahan gambut ini tidak boleh ditata sebagai surjan. Lahan gambut ini mempunyai kesuburan yang rendah, untuk itu perlu diberikan ameliorasi kedalam tanah, agar produktivitas tanah dapat dipertahankan. Ameliorasi ini bisa berupa kapur, bahan organik (pupuk kandang atau sisa panen) dan pupuk anorganik (Subagyo dan Adhi W. 1998). Pengambangan sistim usahatani dapat dilakukan dengan kemungkinan peningkatan produksi 2 kali lipat dibanding yang biasa dilakukan petani pada musim yang sama, apabila menerapkan beberapa komponen teknologi terutama pemupukan, jadwal tanam, jarak pertananaman serta teknologi panen (Widjaya, et al., 1992).
87
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perbaikan rutin harus dilakukan pada saluran drinase dan tata air. Sementara ini disekitar lokasi pengkajian, saluran air dalam kondisi kurang baik dengan banyaknya vegetasi liar disekitar saluran serta pendangkalan air di tempat tertentu. Hal ini bisa membahayakan pertanaman khususnya tanaman pangan apabila terjadi banjir yang luas dan cukup lama. Respon petani dalam hal teknologi ini cukup baik, tetapi karena kendala seperti kekurangan modal, keterampilan dan teknologi yang minim, serta kelembagaan yang kurang sehingga petani masih belum sepenuhnya menerapkan semua komponen teknologi dan kosep pertanian berkelanjutan. Kesadaran petani akan penerapan konsep inovasi teknologi akan menambah biaya produksi baik itu saprodi, maupun efisiensi tenaga kerjanya maka keinginan untuk menerapkan konsep tersebut semakin kuat. Sementara ini, petani dalam mengusahakan pertaniannya lebih banyak menggunakan tenaga kerja keluarga, yang tidak mereka hitung tenaga yang telah dipergunakan. KESIMPULAN 1. Tipe lahan usaha tani di Desa Seponjen termasuk lebak tengahan, dengan jenis tanah gambut, dan campuran tanah mineral dan gambut, dengan kesuburan rata-rata rendah, pH tanah sekitar 4. Tipe iklim adalah D1 dengan 3-4 bulan basah (curah hujan 200 mm) berturut- turut dan 1 – 2 bulan kering (curah hujan < 200 mm). 2. Peningkatan produksi dan effisiensi usahatani tanaman pangan masih berpeluang baik melalui peningkatan indeks pertanaman menjadi 2 kali/tahun, penerapan beberapa komponen inovasi teknologi pertanian tanaman pangan seperti perbaikan pemupukan, pengunaan benih unggul, pengaturan waktu tanam dan jarak tanam serta teknologi panen. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A., K. Sudarman dan D. A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut : keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasang surut. Dalam M. Sabran dkk. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru. Ananto, E.E., Hermanto, K. Ketut, Soentoro, I.W. Suastika, I.G.M Subiksa, dan T. Alihamsyah. 2000. Laporan Utama : Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Alihamsyah, T., E. E. Ananto, H. Supriadi, I. G. Ismail dan DE. Sianturi. 2000. Dwi Windu Penelitian Lahan Rawa : Mendukung Pertanian Masa Depan. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu – ISDP. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Alihamsyah, T., D. Nazemi, Mukhlis, I. Khairullah, H.D. Noor, M. Sarwani, H. Sutikto, Y. Rina, F.N. Saleh dan S. Abdussamad. 2001. Empat Puluh Tahun Balittra : Perkembangan dan Program Penelitian Ke Depan. Balai
88
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Badan Litbang Pertanian. Banjarbaru. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995. Luas Penggunaan Lahan Rawa Pasang Surut, Lebak, Polder Dan Rawa Lainnya Di Tujuh Propinsi. Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Rawa. 1984. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan Umum Dalam Rangka Pengembangan Daerah Rawa. Diskusi Pola Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan di Lahan Pasang Surut/Lebak. Tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1984 di Palembang. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T.Herawati, R. Thahir, dan DE, Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa : Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Manwan, I., I.G. Ismail, T. Alihamsyah, dan S. partohardjono. 1992. Teknologi pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut : potensi, relevansi dan faktor penentu. Dalam prosiding “Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Nasoetion, L.I. dan J. Winoto. 1995. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan, Cipayung, Bogor, 31 Oktober – 2 November 1995. Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahidin, Abdulrachman, H. Suharjo, dan IPG Widjaja Adhi. 1992. Peta Areal Potensial Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, Rawa Dan Pantai. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Subagyo H. dan IPG Widjaja Adhi. 1998. Peluang Dan Kendala Penggunaan Lahan Rawa Untuk Pengembangan Pertanian Di Indonesia, Kasus : Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agronomi, Bogor, 10 Februari 1998. Puslittanak. Suprihatno, B., T. Alihamsyah dan E. E. Ananto. 2000. Teknologi pemanfaatan lahan pasang surut dan lebak untuk pertanian tanaman pangan. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor, 2000. Widjaya Adhi, I. G. P., K. Nugroho, D.S. Ardi, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya Lahan Pasang Surut, Rawa, dan Pantai : Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam prosiding “Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Widjaya Adhi, I, G. P. 1995. Pengelolaan Tanah Dan Air Dalam Pengembangan Sumberdaya Lahan Rawa Untuk Usahatani Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
89
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Rekomendasi Pemupukan Tanaman Jagung untuk Kabupaten Bengkulu Selatan Recommended Fertilization of Maize For South Bengkulu Nurmegawati, Yahumri, dan Yong Farmanta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu e-mail:
[email protected] ABSTRACT Fertilization is a component technology that affect the increased production of corn production. Fertilizer recommendation for maize crops in particular is still very limited. This study aims to get a corn crop fertilizer recommendations for South Bengkulu. This study was conducted in South Bengkulu, which includes two main activities namely soil sampling and measuring the level of soil fertility and fertilizer recommendations using a test device to dry land. The results showed Rokomendasi fertilizer for corn crops and Seginim Lime Water District is 300 kg / ha urea (+ organic matter) or 350 kg / ha urea (Without organic matter), 250 kg / ha of SP-36, 75 kg / ha KCl, 750 kg / ha of lime and 2,000 t / ha of organic matter. Corn crop fertilizer recommendations for the District of Ulu Manna, Pino, Manna, and Flowers Mas is 300 kg / ha urea (+ organic matter) or 350 kg / ha urea (Without organic matter), 250 kg / ha of SP-36, 100 kg / KCl ha, 500 kg / ha of lime and 2,000 t / ha of organic matter. Keywords: Maize, nutrient status, fertilizer recommendation ABSTRAK Pemupukan merupakan komponen teknologi produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi jagung. Rekomendasi pemupukan khususnya tanaman jagung masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan mendapatkan rekomendasi pemupukan tanaman jagung untuk Kabupaten Bengkulu Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Selatan, yang meliputi 2 kegiatan utama yaitu pengambilan sampel tanah dan mengukur tingkat kesuburan tanah dan rekomendasi pupuk dengan menggunakan perangkat uji tanah kering. Hasil penelitian menunjukkan Rokomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Air Nipis dan Seginim adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 75 kg/ha KCl, 750 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl, 500 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Kata kunci : Jagung, status hara, rekomendasi pemupukan
90
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Jagung merupakan salah satu dari lima komoditas prioritas yang diprogramkan oleh Kementerian Pertanian. Produksi jagung dalam negeri belum mencukupi kebutuhan, sehingga setiap tahun masih dilakukan impor. Produktivitas jagung nasional baru mencapai 48,44 Ku/ha (BPS, 2014). Peluang untuk peningkatan produksi jagung cukup besar karena sekitar 94,1 juta ha lahan Indonesia diantaranya merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian dan ditambah dengan adanya penerapan teknologi. Pemupukan merupakan komponen teknologi produksi yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi jagung. Data menunjukkan bahwa tanaman jagung yang kekurangan nitrogen hasilnya turun sampai 30 %. Fosfor berperan dalam pembentukan bunga, buah, biji, dan perkembangan akar yang pada gilirannya meningkatkan kualitas tanaman. Kekurangan fosfor mempengaruhi aspek metabolisme dan pertumbuhan tanaman, khususnya pembentukan tongkol dan biji tidak normal. Demikian juga kalium mengakibatkan hasilnya turun sampai 10% (Taufik dan Thamrin, 2009). Pemupukan merupakan faktor penentu keberhasilan budidaya jagung manis pada lahan kering. Lahan kering di daerah tropis seperti Indonesia umumnya memiliki kesuburan tanah atau kandungan unsur hara tanah yang rendah (Suratmini, 2009). Produktivitas jagung di Kabupaten Bengkulu selatan masih rendah, hal ini akibat dari masih rendahnya penerapan teknologi yang adopsi salah satunya mengenai pemupukan. Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah sampai sedang, petani masih menggunakan pupuk N yang berlebihan sebaliknya pupuk P dan K diberikan dengan dosis terbatas, sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Rekomendasi pemupukan yang dipakai masih bersifat umum, sementara kondisi lahan berbeda sesuai dengan karakteristik tanahnya. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk tidak efisiensi sehingga pendapatan petani tidak optimal. Rekomendasi pemupukan adalah suatu rancangan yang meliputi jenis dan takaran pupuk untuk tanaman pada areal tertentu. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008) banyak manfaat dan dampak penerapan pemupukan spesifik lokasi antara lain : (1) pemberian pupuk yang tepat takaran, tepat waktu dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi dan pendapatan petani meningkat, (2) pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga dan produksi padi lestari atau berkelanjutan, (3) mengurangi biaya pembelian pupuk. Mengingat rekomendasi pemupukan khususnya tanaman jagung masih sangat terbatas maka penelitian terhadap aspek tersebut perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan rekomendasi pemupukan tanaman jagung untuk Kabupaten Bengkulu Selatan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Selatan pada 6 kecamatan yaitu Kecamatan Air Nipis, Seginim, Ulu Manna, Pino, dan Bunga Mas, yang meliputi 2 kegiatan utama yaitu pengambilan sampel dan mengukur tingkat kesuburan tanah dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK).
91
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Cara pengambilan contoh tanah komposit meliputi : (1) Contoh tanah komposit diambil sebelum tanam atau menjelang pengolahan tanah, sekali dalam empat tahun. (2) Tentukan cara pengambilan contoh tanah tunggal dengan salah satu dari empat cara, yaitu secara diagonal, zig-zag, sistematik atau acak, (3) Rumput-rumput, batu-batuan atau krikil, sisa-sisa tanaman atau vahan organik segar/serasah yang dipermukaan tanah disisihkan, (4) Pada saat pengambilan contoh, sebaiknya tanah dalam kondisi tidak terlalu basah, (5) Contoh tanah individu diambil dengan bor tanah, cangkul, atau sekop pada kedalaman 0-20 cm, (6) Contoh tanah individu yang diambil dengan cangkul atau sekop usahakan sama banyak, (7) Secara garis besar urutan pengukuran kadar hara dengan PUTK adalah sebagai berikut: (a) Contoh tanah sebanyak ½ sendok stainless dimasukkan ke dalam tabung reaksi, atau tanah diambil sebanyak 0,5 ml sesuai dengan batas yang tertera pada tabung (b) tambahkan pengekstrak dan diaduk hingga tanah dan larutan menyatu dan homogen dengan pengaduk kaca. Lakukan penambahan pengekstrak sesuai dengan urutannya., (c) Diamkan sekitar + 10 menit hingga timbul warna. Warna yang muncul pada larutan jernih dibaca atau dipadankan dengan bagan warna yang disediakan, (d) status hara P dan K tanah terbagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. C-organik dibuat 2 kelas yaitu < 3 % tergolong rendah dan > 3 % tergolong sedang sampai tinggi. (e) Rekomendasi pemupukan P, K C-organik dan kebutuhan kapur ditentukan sesuai dengan bacaan status hara hasil pengujian. HASIL Tabel 1. Status hara tanah lahan kering Kabupaten Bengkulu Selatan No Kecamatan 1 2 3 4 5 6
Air Nipis Seginim Ulu Manna Pino Manna Bunga Mas
P R R R R R R
Status Hara K pH S AM S AM R AM R AM R AM R AM
C-org R R R R R R
Keterangan : S : sedang, R : rendah, AM : Agak masam
Tabel 2. Rekomendasi pupuk tunggal untuk tanaman jagung Rekomendasi (kg/ha) Kecamatan Air Nipis Seginim Ulu Manna Pino Manna Bunga Mas
+ BO 300 300 300 300 300 300
Urea Tanpa BO 350 350 350 350 350 350
SP-36 250 250 250 250 250 250
KCl
Kapur
75 75 100 100 100 100
750 750 500 500 500 500
Bahan Organik 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000
92
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN Status Hara Tanah. Dari hasil analisis tanah dengan PUTK maka diperoleh status hara tanah di Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu Kecamatan Air Nipis, Seginim, Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan analisa tanah dengan PUTK maka status hara P, K, pH dan C-organik pada 6 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu masingmasing berturut-turut tergolong rendah, sedang, agak masam dan rendah. Status P tersedia pada daerah penelitian termasuk rendah, hal ini diduga sebagai akibat dari fiksasi P salah satunya unsur Al. P merupakan kunci kehidupan karena langsung berperan dalam proses kehidupan tanaman. Umumnya P sukar tercuci oleh air hujan. Masalah yang sering timbul di lapangan adalah adanya fiksasi P sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman, sehingga ketersedian P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah. Menurut Nursyamsi Dan Setyorini (2009) faktor yang mempengaruhi ketersediaan P tanah yaitu jumlah dan jenis mineral tanah, pH tanah, pengaruh kation, pengaruh anion, tingkat kejenuhan P, bahan organik, waktu dan suhu, penggenangan. Santun, et al (2011) menambahkan bahwa pada tanah yang telah terdegradasi sedang sampai berat memiliki kandungan P tersedia rendah sampai sangat rendah akibat terbawah erosi dan aliran permukaan. Status K pada daerah penelitian termasuk sedang dan rendah dengan kandungan K-dd > 0,25 me/100 g. Unsur hara kalium di dalam tanah selain mudah tercuci, tingkat ketersediaanya sangat dipengaruhi oleh pH dan kejenuhan basa. Pada pH rendah dan kejenuhan basa rendah kalium mudah hilang tercuci, pada pH netral dan kejenuhan basa tinggi kalium diikat oleh Ca. Kapasitas tukar kation yang makin besar meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan K, dengan demikian larutan tanah lambat melepaskan K dan menurunkan potensi pencucian. Penyebab kekurangan unsur Kalium antara lain unsur Kalium yang terdapat di dalam tanah rendah, kemasaman tanah tinggi dengan kemampuan tukar kation rendah, aplikasi pemupukan unsur Kalium kurang atau tidak seimbang. pH tanah pada daerah penelitian termasuk agak masam, Kemasaman tanah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bahan induk tanah, reaksi oksidasi terhadap mineral tertentu, bahan organik dan pencucian basa-basa. Tingkat keasaman tanah saat penting karena mempengaruhi proses-proses yang lain . Menurut (TAN,1998) sejumlah proses tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah. Banyak reaksi kimia dan biokimia tanah hanya dapat berlangsung pada reaksi tanah spesifik. Pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh reaksi asam-basa dalam tanah, baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsungnya terhadap tanaman adalah melalui pengaruhnya terhadap kelarutan dan ketersedian hara tanaman. Secara langsung, ion H+ dilaporkan mempunyai pengaruh meracun terhadap tanaman jika terdapat dalam konsentrasi tinggi. Kandungan bahan organik dalam bentuk karbon organik tergolong rendah. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah
93
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yang umum terjadi. Dengan banyaknya bahan organik maka warna tanah menjadi coklat hingga hitam, biasanya warna tanah yang hitam tanahnya subur. Tinggi rendahnya bahan organik juga mempengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah, meningkatnya kegiatan organisme tanah akan mempercepat dekomposisi bahan organik menjadi humus. Menurut HAKIM, et al . (1986) Bahan organik adalah bahan perekat tanah yang tiara taranya, sekitar setengah dari KTK beasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman dan sumber energi sebagian besar organisme tanah. Rekomendasi Pemupukan. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk 6 kecamatan diKabupaten Bengkulu Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Rokomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Air Nipis dan Seginim adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 75 kg/ha KCl, 750 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl, 500 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. KESIMPULAN 1.
2.
Rokomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Air Nipis dan Seginim adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 75 kg/ha KCl, 750 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik. Rekomendasi pupuk tanaman jagung untuk Kecamatan Ulu Manna, Pino, Manna, dan Bunga Mas adalah 300 kg/ha Urea (+ bahan organik) atau 350 kg/ha Urea (Tanpa bahan organik), 250 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl, 500 kg/ha kapur dan 2.000 t/ha bahan organik.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Hendri Suyanto yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian di lapangan. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2014 (www.bps.go.id) diakses tanggal 6 September 2014) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Modul pemupukan padi sawah spesifik lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Hakim, N. M.Y.Nyakpa, A.M.Lubis, S.G.Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Universitas lampung. Lampung. Nursyamsi,D. D,Setyorini. 2009. Ketersedian P tanah-tanah netral dan alkalin. Jurnal Tanah dan Iklim 30 : 25-36 Santun,R.P.Sitorus,B.Susanto, Haridjaja,O.2011. Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradasi dan Iklim. 34: 66-83 Setyorini, D. Nurjana. Widowati, L.R, Kasno, A. 2009. Petunjuk penggunaan perangkat uji tanah kering (PUTK). Balai Penelitian Tanah. Bogor.
94
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Suratmini, P. 2009. Kombinasi pemupukan urea dan pupuk organik pada jagung manis di lahan kering. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan. 28 (2) : 83-88. Tan, K.H, 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Taufik,M. M,Thamrin. 2009. Analisis input-output pemupukan beberapa varietas jagung di lahan kering. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman pangan 28 (2) : 78-82.
95
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengaruh Cara Aplikasi dan Dosis Kompos Terhadap Sifat Fisik Tanah Pada Pertanaman Tebu Effect Of The Way Of Application And Dose Of Compost On Physical Soil Characteristics Of Sugarcane Cultivation Rahadian Mawardi1*), Yuana Juwita2 dan Puspita Damaiyani 3 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan 3 Fakultas Pertanian Univ. Lampung *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62721781776/+62721705273 email:
[email protected] ABSTRACT Sugar consumption in Indonesia is very high, meanwhile the national sugar production is not adequate to meet the demand. An attempt to overcome this problem is to increase the domestic production which is done at sugar plantation PT Gunung Madu Plantations. The problem is the destruction of soil structure, erosion and declining soil organic matter to overcome these problems, it is important to improve soil structure and increase soil water availability. The aim of the research was to examine the technique of compost application and dose of compost and its interaction to water availability, volume density and total pore at planting sugar cane in PT GMP Central Lampung. This study was carried out from April to July 2007, the treatment consisted of the way of compost application, and compost dose. Treatment plots were arranged in a strip plot design, consisted of two treatments and three replicates. The data were analized with Contrast Orthogonal test. The results indicated that the way to apply compost did not affect the phisical characteristics of soil. Administration of compost with the higher dose could withstand higher water compared with no provision of compost. Interaction between the way the application of compost and compost dose was highly significant to the density of the soil content and total pore space. Kaandungan din had a tendency to increase soil organic matter. Keywords: Sugarcane, compost, physical soil characteristics ABSTRAK Konsumsi gula di Indonesia sangat tinggi sedangkan produksi gula nasional sampai saat ini belum dapat memenuhi konsumsi. Upaya untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan meningkatkan produksi dalam negeri seperti dilakukan oleh perkebunan gula PT Gunung Madu Plantations. Permasalahan yang dihadapi adalah rusaknya struktur tanah, terjadinya erosi, dan menurunnya bahan organik tanah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu upaya perbaikan struktur tanah dan peningkatan ketersediaan air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksinya terhadap sifat fisik tanah yaitu air tersedia, kerapatan isi dan ruang pori total pada pertanaman tebu di Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April – Juli
96
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
2007, perlakuan terdiri dari cara aplikasi kompos dan dosis kompos. Perlakuan disusun dalam rancangan petak berjalur (strip plot design) terdiri dari dua perlakuan dan tiga ulangan kemudian data dianlisis dengan uji Ortogonal Kontras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara aplikasi kompos tidak mempengaruhi sifat fisik tanah. Pemberian kompos dengan dosis yang semakin besar dapat menahan air lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian kompos. Interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan isi tanah dan ruang pori total. Kandungan bahan organik tanah mengalami kecenderungan meningkat. Kata Kunci: Tebu, kompos, sifat fisik tanah PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara terbesar pengimpor gula di dunia setelah Rusia. Pada tahun 2006 impor nasional mencapai 1,6 juta ton (Wartaekonomi, 2007). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi impor gula nasional adalah dengan cara peningkatan produksi perkebunan gula sepeti dilakukan oleh Perkebunan Gula (PG), yaitu PT Gunung Madu Plantations (GMP) berlokasi di Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah. Produksi tebu di lokasi perkebunan ini mengalami kecenderungan penurunan. Pada tahun 1985 produksi mencapai kira-kira 90 TCH (ton cane/ha) dan terus menurun hingga tahun 2005 produksi mencapai sekitar 70 TCH. Walaupun produksi gulanya mengalami peningkatan, tetap sulit untuk ditingkatkan lagi (levelling off), yaitu masih di bawah 8 TSH (ton sugar/ha) (Widyatmoko, 2007). Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah dan iklim di lokasi ini kurang mendukung untuk produksi tinggi. Tanahnya merupakan tanah Ultisol yang didominasi fraksi pasir, merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan mempunyai curah hujan tinggi yaitu mencapai 2500-2700 mm/tahun sehingga dapat memicu terjadinya degradasi lahan (Herman, 2007). Degradasi lahan juga dapat dipicu oleh cara budidaya dengan menggunakan alat-alat berat yang sangat intensif selama 30 tahun. Menurut Widyatmoko (2007), masalah sifat tanah yang terjadi di lokasi ini antara lain terjadinya erosi, kemampatan tanah (soil compaction) terutama di sub soil, tanaman makin rentan terhadap kemarau (kekeringan), waterlogged area, dan degradasi sumberdaya air (tendon air). Pemadatan tanah di lapisan bawah (sub soil) dapat mengakibatkan penetrasi akar menjadi terhambat sehingga air maupun unsur hara sulit dimanfaatkan oleh tanaman secara maksimal. Salah satu upaya peningkatan produksi tebu adalah pembenahan media tanam untuk tumbuh dengan baik, yaitu tanahnya. Tanah merupakan sumber unsur hara bagi tanaman dan juga agar tanaman berdiri dengan kokoh. Perbaikan dapat dilakukan dimulai dari sifat fisik tanahnya. Menurut Utomo (1994), sifat fisik tanah dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan masukan dari luar yaitu aplikasi bahan organik. Bahan organik yang tersedia di perkebunan cukup melimpah, baik berupa serasah tanaman tebu maupun limbah dari proses penggilingan. Volume limbah padat yang dihasilkan berupa bagas sebanyak 3600 ton/hari/musim, blotong sebanyak 480 ton/hari/musim, dan abu (ash) sebanyak 600 ton/hari/musim. Untuk
97
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
blotong dan abu (ash) dapat diaplikasikan langsung ke lahan, tetapi untuk bagas tidak dapat langsung diaplikasikan dikarenakan C/N rationya mencapai 90. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik tanah dengan cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksinya terhadap air tersedia, kerapatan isi dan ruang pori total pada pertanaman tebu di Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan PT Gunung Madu Plantations (GMP) Terbanggi Besar Gunung Batin Udik Terusan Nunyai Lampung Tengah di blok 85 BU 10 A pada bulan April – Juli 2007. Rancangan yang digunakan dalam penelitan ini adalah rancangan petak berjalur (strip plot design) terdiri dari petak utama adalah aplikasi bahan organik (kompos) yang ditanam di dalam kairan (tempat menanam tebu) (B1) dan aplikasi bahan organik dengan cara disebar(B2), sebagai anak petak yaitu dosis kompos, terdiri dari tanpa kompos (kontrol) (K0), kompos dengan dosis 50 (K1), 100 (K2), dan 150 (K3) ton/ha. Bahan baku kompos berasal dari limbah padat yang dihasilkan dalam proses pengolahan tebu menjadi gula. Lahan yang digunakan terdiri dari 2 aplikasi kompos. Setiap lahan dibagi menjadi 3 petak sebagai ulangan dan setiap ulangan dibagi lagi menjadi 4 untuk dosis kompos. Antara 2 aplikasi kompos dan ulangan diberi jarak 250 cm, sedangkan untuk setiap perlakuan diberi jarak 50 cm. Petak berukuran 32 x 17 m. Lahan diolah secara mekanis, tahap satu lahan dibajak dengan menggunakan traktor dengan implement jenis piringan tipe Baldan Harrow, tahap kedua lahan dibajak kembali dengan traktor dengan menggunakan implement Mould Board Plough (bajak singgkal). Setelah olah tanah kedua selesai kompos diaplikasikan secara disebar sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Tahap ketiga lahan dibajak kembali dengan traktor berimplement Mould Board Plough. Tahap selanjutnya adalah pembuatan kairan dengan menggunakan ridger mata dua dengan jaraknya 150 cm (tanaman tebu ditanam untuk satu baris). Setelah kairan terbentuk maka kompos diaplikasikan di kairan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Setelah semua olah tanah selesai tebu ditanam dengan menggunakan varietas RGM 97-10240 pada kedalaman kurang lebih 30 cm. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada saat tanaman tebu berumur 4 bulan. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboraturium PT Gunung Madu Plantations (GMP). Parameter yang diamati adalah air tersedia dengan menggunakan metode tekanan angin (pressure). Contoh tanah dijenuhi dengan air terlebih dahulu, kemudian dimasukkan contoh tanah ke dalam alat piring tekan (pressure plate apparatus). Penekanan dilakukan selama 48 jam untuk contoh tanah agregat. Untuk mengukur kadar air kapasitas lapang pF 2,5 menggunakan manometer. Jika menggunakan contoh tanah utuh pengukuran dilakukan dari pF yang lebih rendah, sehingga tanah yang telah ditimbang dapat dilanjutkan pengukurannya dengan pF yang lebih tinggi. Pada pF tekanan tinggi (pF 4,2/kadar air titik layu permanent) menggunakan contoh tanah terganggu. Contoh tanah kurang lebih 15 g yang lolos ayakan 2 mm dimasukan ke selang karet (t = 2 cm), kemudian ditetesi dengan air, dimasukan ke dalam ketel, diatur tekanan dan dibiarkan selama 48 jam. Setelah
98
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
selesai ditimbang beratnya, kemudian dioven dan dihitung kadar lengasnya, yaitu menggunakan metode Afandi5 sebagai berikut : pFn W pF xBI
%W pFn
(Wa Wb) x100% Wb
Dalam hal ini : θpFn %WpFn BI Wa Wb
= kadar lengas volumetrik pada pF ke n (%) = kadar lengas gravimetrik pada pF ke n (%) = berat isi = berat contoh tanah basah = berat contoh tanah kering
Penetapan kerapatan isi tanah dilakukan dengan menggunakan metode Clod (Afandi, 2005) dengan perhitungan sebagai berikut : Prinsip : bobot benda yang ditimbng dalam air sama dengan volume benda tersebut. - Mp = Mw/ (1+w) - Volume tanah + parafin = Volume tanah + Volume parafin - Berat parafin = Berat tanah + parafin – Berat tanah = Mc – Mw - Berat jenis parafin sekitar 0,9 g/cm3 - Volume tanah = Volume tanah + lilin – Volume lilin Dimana Volume tanah+parafin adalah berat tanah + parafin di dalam air Mp Kerapatan Isi Tanah = Vtanah Keterangan : Mp : massa padatan tanah w : kadar lengas tanah Ruang Pori Total dihitung dengan rumus :
Kerapa tan Isi 100% RPT % = 1 Kerapa tan JenisTanah Keterangan : RPT = Ruang Pori Total (%) Kerapatan Isi (g/cm3) Kerapatan Jenis Tanah (2,65 g/cm3) Data air tersedia, kerapatan isi, dan ruang pori total tanah kemudian diuji lanjut menggunakan Ortogonal Kontras. Data dukung pada penelitian ini adalah kandungan bahan organik.
99
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
HASIL Berdasarkan analisis ragam tentang cara aplikasi dan dosis kompos terhadap air tersedia (Tabel 1) diketahui bahwa perlakuan cara aplikasi kompos tidak berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Dosis kompos berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Tabel 1. Analisis ragam cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksi antara kedua faktor terhadap air tersedia SK Db JK KT Fhit F table 5% 1% Petak utam: Ulangan 2 7,802737 3,901369 PU (A) 1 1,527465 1,527465 0,026143 tn 18,51 98,49 galat (a) 2 116,8554 58,42772 Anak Petak AP (B) 3 169,8921 56,63071 5,929031 * 4,76 9,78 galat (b) 6 57,30856 9,551427 AxB 3 0,65826 0,21942 0,012904 tn 4,76 9,78 galat © 6 102,021 17,00347 Galat 14 307,57 21,969 4,67 9,07 ..addtv 1 1,113 1,113 0,047233 tn ..sisa 13 306,45 23,573 Total 23 456,065 19,82893 KK a=60,13 KK b=24,31 KK c=32,44 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada taraf 5% Tabel 2. Ringkasan hasil uji orthogonal kontras pengaruh dari kombinasi perlakuan dari aplikasi kompos terhadap air tersdia % kontras F HIT SELISIH BEDA A.E. VS B.C.D.F.G.H. 7.391096* -18.0209 0.57738 A.B.C.D vs E.F.G.H. 0.069528tn -1.51367 0.961081 Keterangan : A = B1K0; B = B1K1; C = B1K2; D = B1K3; E = B2K0; F = B2K1; G = B2K2; H = B2K3; tn = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada taraf 5.
Tabel 3. Data air tersedia, kerapatan isi, ruang pori total, dan bahan organik tanah Cara Dosis Air Kerapatan Ruang Pori % Bahan Aplikasi Kompos Tersedia Isi Tanah Total (%) Organik 3 (ton/ha) (%v/v) (g/cm ) Dikairan 0 8,21 1,65 37,69 1,90 50
14,67
1,64
37,96
1,98
100
13,39
1,77
33,31
2,09
100
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Cara Aplikasi
Dosis Kompos (ton/ha) 150
Air Tersedia (%v/v) 13,57
Kerapatan Isi Tanah (g/cm3) 1,71
Ruang Pori Total (%)
% Bahan Organik
35,59
2,31
0
8,21
1,75
34,06
1,90
50
15,54
1,93
27,12
1,91
100
13,82
1,71
35,34
2,31
150
14,29
1,61
39,19
2,05
Disebar
Tabel 4. Analisis ragam cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksi antara kedua faktor terhadap kerapatan isi tanah SK Db JK KT Fhit F table 5% 1% Petak utama: Ulangan 2 0,001369 0,000684 98,4 PU (A) 1 0,020709 0,020709 0,917502 tn 18,51 9 galat (a) 2 0,045143 0,022571 Anak Petak AP (B) 3 0,054698 0,018233 1,537085 tn 4,76 9,78 galat (b) 6 0,071171 0,011862 AxB 3 0,135026 0,045009 12,74144 ** 4,76 9,78 galat © 6 0,021 0,003532 Galat 14 0,1149 0,00821 ..addtv 1 0,00836 0,00836 1,01971 tn 4,67 9,07 ..sisa 13 0,1066 0,0082 Total 23 KK a=8,73 KK b=6,33 KK 0,349 0,015187 c=3,45 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; ** = berbeda nyata pada taraf 1% Tabel 5. Ringkasan hasil uji orthogonal kontras pengaruh dari kombinasi perlakuan dari aplikasi kompos terhadap kerapatan isi tanah
kontras A.E. vs B.C.D.F.G.H. A.B.C.D vs E.F.G.H. D.H VS A.B.C.E.F.G D.H vs B.C.F.G.
F HIT 7.391096tn 0.069528tn 3.801378tn 5.358883*
SELISIH
% BEDA
-18.0209 -1.51367 -0.24983 -0.24983
0.57738 0.961081 0.952206 0.940548
101
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 6. Analisis ragam cara aplikasi kompos, dosis kompos dan interaksi antara kedua faktor terhadap ruang pori total SK Db JK KT Fhit F tabel 5% 1% Petak utam: Ulangan 2 1,94919375 0,974597 PU (A) 1 29,43735 29,43735 0,915706 tn 18,51 98,49 galat (a) 2 64,2943562 32,14718 Anak Petak AP (B) 3 77,9487583 25,98292 1,538102 tn 4,76 9,78 galat (b) 6 101,357073 16,89285 AxB 3 192,276292 64,0921 12,71527 ** 4,76 9,78 galat © 6 30,243 5,040563 Galat 14 163,7869 11,6991 ..addtv 1 11,927228 11,9272 1,02103 tn 4,67 9,07 ..sisa 13 151,8597 11,6815 Total 23 KK a=16,18 KK b=11,73 KK 497,506 21,63071 c=6,41 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; ** = berbeda nyata pada taraf 1% Tabel 7. Ringkasan hasil uji orthogonal kontras pengaruh dari kombinasi perlakuan dari aplikasi kompos terhadap ruang pori total. KONTRAS A.E. vs B.C.D.F.G.H. A.B.C.D vs E.F.G.H. D.H VS A.B.C.E.F.G D.H vs B.C.F.G.
F HIT tn
0.488261 2.516214tn 3.800513tn 5.358274*
SELISIH
% BEDA
3.38 6.645 9.43 9.43
1.032421 1.065291 1.091785 1.118415
PEMBAHASAN Air tersedia. Hasil uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa dosis kompos berpengaruh nyata terhadap air tersedia. Aplikasi dosis kompos meningkatkan air tersedia dibandingkan dengan tanpa kompos (kontrol). Pengaruh pemberian kompos sampai dengan 150 ton/ha meningkatkan kandungan bahan organik (Tabel 3), namun perbedaan perlakuan tidak terlalu besar (0,58), karena belum maksimalnya peranan bahan organik di dalam tanah. Hal ini dapat diatasi dengan waktu pengamatan yang lebih lama. Perbedaan perlakuan yang tidak terlalu besar juga dikarenakan adanya proses evaporasi, karena naungan yang terbentuk masih sedikit akibat umur tanaman yang masih pendek. Korelasi antara air tersedia tanah dan bahan organik memiliki nilai kecil (r2 = 0,39), berarti bahwa bahan organik belum berperan maksimal dalam meningkatan kemampuan tanah untuk menahan air. Bahan organik dapat meningkatkan jumlah air tersedia tanah. Menurut Stevanson dalam Nugroho (1991), bahan humus dapat memegang air 20 kali lebih besar dari bobot bahan, sehingga meningkatnya jumlah air tersedia disebabkan oleh meningkatnya kadar koloidal organik yang terdapat di dalam tanah. Hal ini
102
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
juga dikarenakan sifat bahan aktif dari bahan organik bahwa kompos dari sisa-sisa proses pengolahan tanaman tebu memiliki bahan aktif yang bersifat hidrofilik, yaitu dapat menyerap air. Selain itu, hal ini dikarenakan oleh tekstur tanah yang didominasi pasir. Menurut McRae dan Mchuys dalam Nugroho (1991), meningkatnya air tersedia akibat pemberian bahan organik pada tanah-tanah yang didominasi pasir dikarenakan adanya air tersedia intrinsik yang relatif rendah. Menurut Hudson (1994), meningkatnya bahan organik antara 0,5-3,0% dapat meningkatkan air tersedia mencapai dua kali lipat. Air tersedia berpengaruh karena adanya bahan organik, sebagaimana diketahui pada tanah yang kandungan liatnya rendah maka bahan organik yang lebih berperan dalam memperbaiki beberapa sifat fisik tanah, seperti agregasi dan ketersediaan air di dalam tanah. Akan tetapi karena bahan organik yang tersedia masih sedikit (Tabel 3) maka pengaruhnya masih belum signifikan terhadap ketersediaan air untuk dimanfaatkan oleh tanaman. Kerapatan isi tanah. Analisis ragam cara aplikasi dan dosis kompos terhadap kerapatan isi tanah (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan cara aplikasi dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan isi tanah, tetapi interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan isi tanah. Pada perlakuan aplikasi kompos, nilai kerapatan isi berkisar 1,64 -1,77 g/cm3 pada aplikasi kompos di dalam kairan, dan nilai kerapatan isi berkisar 1,611,93 g/cm3 pada aplikasi kompos dengan cara disebar (Tabel 3). Keefektifan fungsi bahan organik yang diberikan lebih tinggi pada aplikasi kompos di dalam kairan sehingga merangsang granulasi tanah akibatnya partikel-partikel tanah menjadi tidak berdekatan satu dengan yang lainnya yang mengakibatkan kerapatan isi pada aplikasi kompos di dalam kairan menjadi lebih rendah. Selain itu pada aplikasi kompos dalam kairan lebih sering dilakukan penggemburan dibandingkan dengan aplikasi kompos secara disebar. Riadi (2002), melaporkan bahwa lapisan tanah yang sering digemburkan pada saat pemeliharaan memiliki nilai kerapatan isi yang rendah dibandingkan dengan lapisan tanah yang tidak mengalami penggemburan, sehingga pemadatan tanah pada aplikasi kompos secara disebar menjadi lebih tinggi. Uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa cara aplikasi dan dosis kompos yang paling besar (150 ton/ha) memberi pengaruh nyata terhadap kerapatan isi tanah. Namun perbedaan perlakuan maupun kombinasi perlakuan tidak terlalu besar (0,94). Hal ini disebabkan karena adanya perubahan tekstur yang terjadi di lahan perkebunan PT Gunung Madu Plantations terutama pada kedalaman 0-20 cm. Perubahan tekstur yang terjadi dapat menyebabkan cepat terurainya bahan organik yang diberikan ke dalam tanah, sehingga partikel tanah menjadi mudah pecah apabila terdapat gangguan-gangguan mekanis diatasnya dan menyebabkan kerusakan struktur tanah terutama pemadatan tanah. Kerapatan isi tanah memiliki korelasi negatif terhadap bahan organik tanah (r2 = -0,19), dimana terjadi penurunan kerapatan isi tanah akibat peningkatan dosis bahan organik. Nilai kerapatan isi relatif besar yaitu rata-rata di atas 1,55-1,65 g/cm3 (Tabel 3), yang artinya bahwa dalam kondisi kering tanah berpasir memiliki volume yang diisi ruang pori lebih rendah. Tanah berpasir memiliki ruang pori total terdiri dari pori-pori besar yang sangat efisien dalam lalu
103
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
lintas air maupun udara (Hakim, dkk., 1986). Dengan kondisi ruang pori besar yang dominan, maka tanah tersebut memiliki daya menahan air rendah. Ruang pori total. Analisis ragam cara aplikasi dan dosis kompos terhadap ruang pori total (Tabel 6) menunujukkan bahwa perlakuan cara aplikasi dan dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap ruang pori total. Dosis kompos tidak berpengaruh nyata terhadap ruang pori total, dan pada interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap ruang pori total. Nilai ruang pori total tanah disajikan pada Tabel 2. Ruang pori total penting artinya dalam penilaian kepadatan tanah atau kesarangan tanah, karena semakin tinggi nilai ruang pori total maka kepadatan tanah semakin menurun. Nilai ruang pori total pada aplikasi kompos di dalam kairan berkisar antara 33,3137,96% dan pada aplikasi kompos dengan cara disebar nilai ruang pori total berkisar antara 27,12-39,19%. Nilai ruang pori total berbanding terbalik terhadap kerapatan isi tanah, dimana kombinasi aplikasi kompos di dalam kairan dosis yang paling besar (150 ton/ha) berpengaruh sangat nyata terhadap ruang pori total tanah. Kerusakan struktur menyebabkan tanah menjadi peka terhadap pemadatan. Hal ini menyebabkan berat volume tanah menjadi meningkat, kekuatan tanah meningkat, sebaliknya ruang pori yang diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman berkurang, dan kemampuan tanah menyimpan air menjadi berkurang (Negara, 2007). Menurut Hillel (1980), secara agronomi tanah disebut padat apabila porositas totalnya, terutama porositas terisi udara, sangat rendah sehingga menghalangi aerasi dan menghambat penetrasi akar dan drainase. Uji ortogonal kontras menunjukkan bahwa cara aplikasi dan dosis kompos yang paling besar (150 ton/ha) memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap ruang pori total. Namun perbedaan perlakuan maupun kombinasi perlakuan tidak terlalu besar (1,12). Korelasi antara ruang pori total tanah dan bahan organik sendiri memiliki nilai kecil (r2 = 0,18). Lintasan peralatan budidaya pada waktu pengolahan tanah, pemeliharaan tanah, pemeliharan tanaman, pemanenan, dan pengangkutan dapat memadatkan tanah sampai kedalaman tertentu (Riadi, 2002). Menurut Afandi.,dkk (1996), pori-pori yang dihasilkan dari tanah bajakan umumnya jauh lebih besar dibandingkan akar tanaman. Pemadatan alami dan kompaksi oleh traktor menyusun ulang pori-pori baru sehingga memberikan ruang pori yang lebih rendah. Dekomposisi bahan organik dipercepat oleh pori-pori yang baru. Kandungan bahan organik di dalam tanah mengalami kecenderungan meningkat dengan peningkatan dosis kompos baik pada aplikasi disebar maupun di kairan (Tabel 2). Peningkatan kandungan bahan organik masih kecil yang diakibatkan pada saat penelitian ini dilakukan waktunya perlu diamati lebih lama. KESIMPULAN Cara aplikasi kompos berpengaruh terhadap sifat fisik tanah. Perlakuan dosis kompos memberikan pengaruh terhadap air tersedia tanah. Interaksi antara cara aplikasi kompos dan dosis kompos berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan isi tanah dan ruang pori total. Kandungan bahan organik tanah mengalami kecendrungan meningkat.
104
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Koko Widyatmoko (Manajer Departemen R&D PT Gunung Madu Plantations) yang telah memberi kesempatan dan membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, dan kepada Bapak Suwarto staf laboratorium tanah Universitas Lampung atas bantuannya. DAFTAR PUSTAKA Industri Gula: mulai terasa manis. 2007. ( www.wartaekonomi.com diakses tanggal 7 Agustus 2007). Widyatomoko. K. 2007. Kajian Edafologis Kondisi Tanah Gunung Madu Plantations Pasca 30 Tahun Budidaya Intensif Tanaman Tebu. Seminar Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Herman. 2007. Pengelolaan Tebu Lahan Kering Dan Permasalahan Yang Dihadapi (Pengalaman PT Gunung Madu Plantations). Disampaikan sebagai materi seminar Workshop Master Plan Reserch Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung dalam rangka Pelaksanaan Program Hibah Kompetisi A-2 Bandar lampung 19-20 Juni 2007. Lampung. Utomo, W. H. 1994. Pengelolaan Sifat Fisik Tanah Syarat Mutlak untuk Sistem Pertanian Berkelanjutan. Majalah Gula Indonesia. XIX (1):9-13. Afandi. 2005. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Nugroho, S. G. 1991. Pengaruh Cara Penempatan dan Dosis Kompos Terhadap Bobot Isi, Porositas, Air Tersedia, dan Permeabilitas Tanah. Buletin Ilmiah Universitas Lampung. 2(8):81-90. Hudson, B.D. 1994. Soil organic matter and available water capacity. (http://www.jswconline.org/content/49/2/189.short, diakses 24 Februari 2013). Riadi, A. A. 2002. Pemadatan Tanah Akibat Operasi Mesin Pada Budidaya Tebu Lahan Kering di PT. PG. Rajawali II Unit PG. Subang, Jawa Barat. Skirpsi. Hakim, N. dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Negara, L.P. 2007. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Air Tersedia Pada Berbagai Kedalaman Tanah Pada Pertanaman Jagung (Zea mays, L.) di tanah inceptisol metro kibang lampung timur. Skripsi, Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Hillel, D. 1980. Fundamental of Soil Physic. Academic Press. New York Afandi, Indarto, Sugiatno, dan M. Utomo. 1996. Keragaan Tanaman Tebu Keprasan I dan Kompaksi Tanah Akibat Penerapan Beberapa Cara Pengolahan Tanah Pada Saat Penyiapan Lahan. Laporan Penelitian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.
105
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Potensi Mikoriza Dalam Penyerapan Hara P pada Rizosfer Zone di Lahan Suboptimal Mycorrhizal Potential in Absorption Nutrient Phosphate at Rhizospheres Zone in Suboptimal Land Kurniawan Subatra1*) dan Dedeh Hadiyanti1,2 1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya 2 BPTP Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +6285377866427 email:
[email protected]
ABSTRACT Mycorrhizae are associations between plant roots with fungi in the root zone (rhizosphere zone) on the plant. The presence of the high solubility of aluminum in an Ultisol key constraints often limit plant growth in the soil. Exploiting symbiosis with VMA (Vesicular-Arbuscular Miccorhizal) can be used as an alternative to overcome the problems in plants experiencing stress Al. External hyphae of VMA were grown expansively to the subsoil layers can help root function in nutrient and water absorption ability of plant adaptation to stress of Al can be improved by AMF inoculation. VMA symbiosis and plant proven to increase nutrient uptake, especially P and resistance to drought and reduce the accumulation of Al element is at issue in the Ultisol. With the VMA symbiosis, the plant is expected to grow better on Ultisol. Keywords: mycorrhizae, nutrient phosphate, suboptimal land ABSTRAK Mikoriza merupakan asosiasi antara akar tanaman dengan fungi di daerah perakaran (rizosfer zone) pada tanaman. Adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Ultisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut. Pemanfaatan simbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi masalah pada tanaman yang mengalami cekaman Al. Aktivitas hifa eksternal dari FMA yang tumbuh ekspansif sampai ke lapisan subsoil dapat membantu fungsi akar dalam penyerapan hara dan air. Kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dapat ditingkatkan dengan inokulasi FMA. Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama P dan ketahanan terhadap kekeringan serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol. Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol. Kata kunci: hara fosfor, lahan suboptimal, mikoriza,
106
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PENDAHULUAN Lahan kering yang tersebar luas di luar Pulau Jawa mencapai 132.88 juta hektar cukup potensial dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Namun, 33.58% dari luas lahan tersebut atau seluas 44.62 juta ha merupakan jenis tanah Ultisol yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Maluku (Hidayat dan Mulyani, 2002). Adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Ultisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut (Marschner, 1995). Pada tanah Ultisol dengan pH kurang dari 5.0, oksida-oksida aluminium akan memfiksasi ion-ion fosfat (P) sehingga menurunkan ketersediaan hara P (Baligar et al., 1997). Selain itu, kelarutan Al pada pH kurang dari 4.5 banyak didominasi bentuk Al3+ yang dapat menghambat pertumbuhan akar sehingga menurunkan kemampuan akar dalam menyerap hara mineral dan air (Samuel et al., 1997). Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur hara Phosphates (Syib’li, 2008). Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun tanaman sama-sama memperoleh keuntungan dari asosiasi ini. infeksi ini antara lain berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Dilain pihak, cendawan pun dapat memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari tanaman inang (Anas, 1997). Cendawan Mikoriza Arbuskular merupakan tipe asosiasi mikoriza yang tersebar sangat luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer. Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana cendawan mengkolonisasi apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon dari hasil fotosintesis dari tanaman (Delvian, 2006). CMA termasuk fungi divisi Zygomicetes, famili Endogonaceae yang terdiri dari Glomus, Entrophospora, Acaulospora, Archaeospora, Paraglomus, Gigaspora dan Scutellospora. Hifa memasuki sel kortek akar, sedangkan hifa yang lain menpenetrasi tanah, membentuk chlamydospores (Morton, 2003). Marin (2006) mengemukakan bahwa lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan CMA serta terdapat pada sebagian besar ekosistem alam dan pertanian serta memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan, kesehatan dan produktivitas tanaman. KARAKTERISTIK FUNGI MIKORIZA Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan akar tumbuhan. Jamur memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dari tumbuhan. Sebaliknya, jamur menyalurkan air dan hara tanah untuk tumbuhan. Mikoriza merupakan jamur yang hidup secara bersimbiosis dengan sistem perakaran tanaman tingkat tinggi. Walau
107
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
ada juga yang bersimbiosis dengan rizoid (akar semu) jamur. Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur ini memberikan manfaat yang sangat baik bagi tanah dan tanaman inang yang merupakan tempat jamur tersebut tumbuh dan berkembang biak. Jamur mikoriza berperan untuk meningkatkan ketahanan hidup bibit terhadap penyakit dan meningkatkan pertumbuhan (Hesti L dan Tata, 2009) Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp. Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkam ke dalam tiga tipe yaitu Ektomikoriza, Ektendomikoriza, dan Endomikoriza. Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi membesar, bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagi alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel jaringan korteks membentuk struktur seperrti pada jaringan Hartiq. Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang mikoriza tipe ini sangat terbatas. Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antar lain akar yang kena infeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut Vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules (arbuskul) (Brundrett, 2004). Hampir sebagian besar jenis tumbuhan berasosiasi dengan jamur tipe AM (Arbuskul Mikoriza), mulai dari paku-pakuan, jenis rumput-rumputan, padi, hingga pohon rambutan, mangga, karet, kelapa sawit, dll. Sedangkan beberapa keluarga (family) pohon tingkat tinggi yang biasa dijumpai pada tahap suksesi akhir bersimbiosa dengan jamur EM (Ekto Mikoriza), misalnya jenis-jenis meranti, kruing, kamper (jenis-jenis Dipterocarapaceae), pasang, mempening (jenis-jenis Fagaceae), pinus, beberapa jenis Myrtaceae (jambu-jambuan) dan beberapa jenis legum. Suatu simbiosis terjadi apabila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal diantara sel-sel korteks dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangnnya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensissi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1998). Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza. Gramineae dan Leguminosa umumnya bermikoriza. Jagung merupakan contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskular adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum.
108
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003). Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya (Pattimahu, 2004). FUNGI MIKORIZA DALAM BIDANG PERTANIAN Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas, 1997). Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan adanya simbiosis ini adalah 1) miselium fungi meningkatkan area permukaan akuisisi hara tanah oleh tanaman, sehingga meningkatkan penyerapan P, 2) meningkatkan toleransi terhadap kontaminasi logam, kekeringan, serta patogen akar,3) memberikan akses bagi tanaman untuk dapat memanfaatkan hara yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Gentili & Jumpponen, 2006). Selanjutnya Sagin Junior dan Da Silva (2006) mengungkapkan bahwa adanya mikoriza berpengaruh terhadap: 1) adanya peningkatan absorpsi hara, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai akar lebih cepat,2) meningkatkan toleransi terhadap erosi, pemadatan, keasaman, salinitas, 3) melindungi dari herbisida, serta 4) memperbaiki agregasi partikel tanah. Cumming dan Ning (2003) mengemukakan bahwa simbiosis CMA berperan penting dalam resistansi tanaman terhadap Al. Pengaruh ini terutama terlihat pada peningkatan serapan hara yang diperlukan tanaman (P, Cu, dan Zn). Selain itu, CMA mereduksi akumulasi elemen lain seperti Al, Fe, dan Mn yang menjadi masalah pada tanah masam. Penelitian oleh Lee dan George (2001) menunjukkan bahwa hara P, Zn, dan Cu diserap dan ditransportasikan ke tanaman inang oleh hifa CMA dan sebaliknya unsur-unsur Cd dan Ni tidak ditransportasikan oleh hifa ke tanaman inang. Hal ini menunjukan bahwa kolonisasi CMA dapat melindungi tanaman dari pengaruh toksik unsur Cd dan Ni tersebut. Pada kedelei, infeksi CMA menstimulasi penyerapan Zn. Dengan adanya CMA, konsentrasi Zn pada daun lebih tinggi. Konsentrasi Cu lebih tinggi pada tanaman dengan CMA dibandingkan dengan tanaman tanpa CMA pada tahap awal pertumbuhan, tetapi menurun pada saat berbunga dan setelah itu meningkat lagi (Raman dan Mahadevan, 2006). Hal ini sejalan dengan Pacovsky et al. (1986)
109
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
yang mengemukakan bahwa adanya penurunan penyerapan Mn dan Fe sedangkan P, Zn dan Cu meningkat. Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah fosfor yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Pengaruh yang mencolok dari mikoriza sering terjadi pada tanah yang kekurangan fosfor. Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza. Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 g, sedangkan ditambahkan TSP pada takaran setara dengan 400 kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup meningkatkan hasil hampir 5 g, penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata meningkatkan hasil.
PERANAN MIKORIZA PADA PERBAIKAN LAHAN KERING MASAM Biasanya lahan kering seperti Ultisol dan Latosol didominasi padang alang-alang yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau besar lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara dan bahan organik, kejenuhan Al tinggi. Disamping itu padang alang-alang juga memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan kalau diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal sebagai tanaman yang sangat toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim. Diketahui bahwa alang-alang berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza arbuscular seperti Glomus sp., Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun ,1997). Kendala pokok pembudidayaan lahan kering ialah keterbatasan air, baik itu curah hujan maupun air aliran permukaan. Notohadinagoro (1997) mengatakan bahwa tingkat kekeringan pada lahan kering sampai batas tertentu dipengaruhi oleh daya tanah menyimpan air. Tingkat kekeringan berkurang atau lamanya waktu tanpa kekurangan air (water stress) bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air besar. Sebaliknya tingkat kekeringan meningkat, atau lamanya waktu dengan kekurangan air bertambah panjang apabila tanah mempunyai daya simpan air kecil. Lama waktu tanpa atau dengan sedikit kekurangan air menentukan masa musim pertumbuhan tanaman, berarti lama waktu pertanaman dapat dibudidayakan secara tadah hujan. Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Killham, 1994). Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga disebabkan karena hifa cendawan juga mengeluarkan enzim phosphatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman.
110
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Inokulasi mikoriza yang mempunyai hifa akan membantu proses penyerapan air yang terikat cukup kuat pada pori mikro tanah. Sehingga panjang musim tanam tanaman pada lahan kering diharapkan dapat terjadi sepanjang tahun. Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan, yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan mineral dari tanah. Cendawan MVA mempunyai hubungan mutualistik dengan tanaman inang, dengan jalan memobilisasi fosfor dan hara mineral lain dalam tanah, kemudian menukarkan hara ini dengan karbon inang dalam bentuk fotosintat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air (Tabel 1) Tabel 1. Potensial air, net fotosintesis dan kadar hara pada tanaman H. almeriense yang dinokulasi dengan T. claveryi dibawah kondisi normal dan stres air. Tanaman Perlakuan Potensial Net Kadar hara tanaman (%) air (Mpa) Fotosi N P K Na * ntesis Cukup Air Kontrol - 1,22 c 8,51 b 1,03 a 0,13 a 0,67 a 0,07 a T. claveryi - 1, 04 d 13,1 c 1,09 a 0,14 a 0,83 b 0,04 a Stres Air Kontrol - 1,94 a 4,79 a 0,99 a 0,15 a 0,71 a 0,05 a T. claveryi - 1,44 b 9,01 b 1,32 b 0,18 b 0,92 b 0,06 a Sumber : Morte et al, 2000
Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi cendawan mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi tanaman/tumbuhan. Dengan demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi FMA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah Podsolik dan Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara meningkat dari 0,18 mgP/tan menjadi 2,15 mg P/tan., sedangkan hasil kedelai meningkat dari 0,02 g biji/tan. menjadi 5,13 g biji /tan. Pada tanah Latosol serapan hara meningkat dari 0,13 mg P/tan. menjadi 2,66 mg P/tan, dan hasil kedelai meningkat dari 2,84 g biji/tan menjadi 5,98 g biji/tan. Penelitian pemupukan tanaman padi menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa serapan hara total maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman yang diinokulasikan dengan FMA (Ali et al,1997). Tanaman yang tercekam Al akan mengalami kerusakan ujung akar sehingga pemanjangan akar terhambat, akar terlihat pendek dan gemuk (Watanabe & Okada, 2005; Bakhtiar et al., 2007). Kerusakan akar karena cekaman Al menyebabkan tanaman mengalami kekahatan hara dan cekaman kekeringan (Marschner, 1995) sehingga pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah Ultisol. Cabai yang ditanam pada tanah Ultisol dengan
111
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
kejenuhan Al 60.85% dapat mengalami penurunan hasil hingga 53.61% (Purnomo et al., 2007). Pemanfaatan simbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat dijadikan alternatif untuk cekaman Al. Adanya hifa eksternal dari FMA yang tumbuh ekspansif sampai ke lapisan subsoil dapat membantu fungsi akar dalam penyerapan hara dan air (Cruz et al., 2004). Kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dapat ditingkatkan dengan inokulasi FMA. Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama P (Widiastuti et al., 2003) dan ketahanan terhadap kekeringan (Hanum, 2004) serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol (Cumming dan Ning, 2003). Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol.
KESIMPULAN Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama fosfor dan ketahanan terhadap kekeringan, peningkatan penyerapan unsur hara P serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol. Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada Bapak Dr. Ir. Adipati Napoleon, MP, dan Rekan-rekan BPTP Sumatera Selatan yang telah memberikan dukungannya berupa saran dan kritikan dalam penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Anas, I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Ali, G.M., E.F. Husin, N. Hakim dan Kusli, 1997. Pemberian mikoriza vesikular asbuskular untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat tanaman padi gogo pada tanah Ultisols dengan perunut 32P. p. 597-605 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995. Azcon, R. and F. El-Atrash, 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and phosphorus fertilization on growth, nodulation an N2 fixation (15N) in Medicago sativa at four salinity level. Biol. Fertil. Soils 24 : 81-86. Bakhtiar, B.S. Purwoko, Trikoesoemaningtyas, M.A. Chozin, I. Dewi, M. Amir. 2007. Penapisan galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera untuk toleransi terhadap cekaman aluminium. Bul Agron. 35(1):8-14. Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol. Rev. 79:473–495.
112
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Cruz, C., J.J. Green, C.A. Watson, F. Wilson, M.A. Martin-Lucao. 2004. Functional aspects of root architecture and mycorrhizal inoculation with respect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza 14: 177-184. Cumming, J.R., J. Ning. 2003. Arbuscular mycorrhizal fungi enhanced aluminum resistance of broomsedge (Andropogon virginicus, L.). J. Exp Bot. 54: 1447-1459. Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd Ed. Academic Press. San Diego. 565 p. Killham, K, 1994. Soil ecology. Cambridge University Press. Kim, K.Y., D. Jordan, and McDonald, 1998. Effect of phosphate-solubilizing bacteria and vesicular-arbuscular mycorrhizae on tomato growth and soil microbial activity. Biol. Fertil. Soils 26 : 79-87. Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for tropical agriculture. Ress. Bull Manjunath, A., D. J. Bagrayad. 1984. Effect of funicides on mycorrhizal colonization and growht of anion. Plant and Soil 78: 147-150. Notohadinagoro, Tejoyuwono. 1997. Bercari manat Pengelolaan Berkelanjutan Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Makalah Seminar Nasional dan Peatihan Pengelolaan Lahan Kering FOKUSHIMITI di Jember. Universitas Jember. Jember. Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Purnomo, D.W., B.S. Purwoko, S. Yahya, S. Sujiprihati, I. Mansur. 2007. Evaluasi pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum L.) untuk toleransi terhadap aluminium. Bul. Agron. 35(3): 183190. Rahmawaty. 2003. Restorasi lahan bekas tambang berdasarkan kaidah ekologi. http ://www.library.usu.ae.id.download/tp/htm-rahmawaty s.pdf. 24 Januari 2006. Singh, S., and K.K. Kapoor, 1999. Inoculation with phosphate-solubilizing microorganisms and a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus improves dry matter yield and nutrient uptake by wheat grown in a sandy soil. Biol. Fertil. Soils 28 : 139-144. Watanabe, T., K. Okada. 2005. Interactive effects of Al, Ca and other cations on root elongation of rice cultivars under low pH. Ann. Bot. 95:379-385. Widada, J, dan S. Kabirun, 1997. Peranan mikoriza vesikular arbuscular dalam pengelolaan tanah mineral masam. p. 589-595 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995. Widodo, A. Romeida, dan Marlin. 2006. Unsur hara tanaman. Bahan Ajar Nutrisi Tanaman. Jurusan Budidaya Pertanan Universitas Bengkulu, Bengkulu. Widiastuti, H, E. Guhardja, N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S.E. Smith. 2003. Arsitektur akar bibit kelapa sawit yang diinokulasi beberapa cendawan mikoriza arbuskula. Menara Perkebunan 71(1): 28-43.
113
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Aspek Budidaya Lahan dalam Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Ketahanan Pangan Nasional (Studi Kasus: Danda Besar, Kab. Barito Kuala) Aspects of Aquaculture Development Land Agricultural Land in Tidal Swamp National Food Security Support (Case Study: Large Danda, Kab. Barito Kuala) Supriyo, A1 dan NP. Sri Ratmini2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah 2 Balai Pengkajian teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel Korespondensi:
[email protected] ABSTRACT Great Danda unit is tidal marsh area that has been reclaimed since 1969 with 2,200 hectares of reclaimed network developed for food crops, especially rice plants. Generally in the form of paddy land use. Land productivity in the reclamation area of the still low Danda with rice yield levels between 1.5 to 2.25 t / ha. Field survey research conducted in July - Agutus 2011. The method using the "participatory rural appraisal" (PRA) with village officials interviewed, extension workers, farmers, community leaders, institutional support. Besides using secondary data obtained from the "desk study". Then the data were analyzed by using analysis "Weakness Opportunity stregth and Threart" (SWOT), to establish development scenarios tidal wetlands. The results showed that the aspect of land cultivation in the development of tidal wetlands consist of the problem (a) land management (land arrangement paddy systems ranging from upstream to downstream areas, low soil fertility as sour pH <4, the land of immature) (b) setting water system (macro and micro as tertiary channel conditions unfavorable, yet made worm channels and channel quarter), (c) the participation of farmers (labor and limited skills), and (d) external support (KUD not function as a provider of production and marketing, extension number of the extension services is limited to only 1 PPLs serve 659 farmers and covering an area of 1,546 ha). Keywords: farming, food security, and tidal swamps ABSTRAK Unit Danda Besar merupakan areal rawa pasang surut yang telah direklamasi sejak Tahun 1969 dengan jaringan reklamasi seluas 2.200 hektar yang dikembangkan untuk pertanian pangan khususnya tanaman padi. Penggunaan lahan umumnya berupa persawahan. Produktivitas lahan di daerah reklamasi Danda Besar masih rendah dengan tingkat hasil padi antara 1,5 sampai 2,25 t/ha. Penelitian survai lapangan dilaksanakan pada bulan Juli – Agutus 2011. Metode penelitian menggunakan metode “partisipatory rural appraisal” (PRA) dengan mewawancari aparat desa, tenaga penyuluh, kelompok tani, tokoh masyarakat, kelembagaan penunjang. Disamping menggunakan data sekunder yang diperoleh dari ”desk study ”. Kemudian data di analisis dengan
114
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menggunakan analisis “Stregth Weakness Opportunity dan Threart” (SWOT), untuk menetapkan skenario pengembangan lahan rawa pasang surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek budidaya lahan dalam pengembangan lahan rawa pasang surut terdiri atas masalah (a) pengelolaan lahan (penataan lahan sistem sawah mulai daerah dari hulu sampai hilir, kesuburan tanah rendah seperti pH masam < 4, tanah belum matang) (b) pengaturan tata air (makro dan mikro seperti kondisi saluran tertier kurang baik, belum dibuat saluran cacing dan saluran kuarter), (c) partisipasi petani (tenaga kerja dan ketrampilan terbatas), serta (d) dukungan eksternal (KUD belum berfungsi sebagai penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil, lembaga penyuluhan jumlah penyuluh terbatas hanya 1 tenaga PPL melayani 659 petani dan mengcover lahan seluas 1.546 ha). Katakunci: budidaya, ketahanan pangan, dan rawa pasang surut PENDAHULUAN Luas lahan rawa di Indonesia ± 33.316.770 Ha, dari 9 juta Ha diantaranya potensial untuk dikembangkan menjadi lahan budidaya pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan pertambakan. Selebihnya diperuntukkan untuk konservasi air, tumbuhan dan hewan rawa akan memiliki peran penting dan strategis bagi pengembangan pertanian yang sekaligus mampu mendukung ketahanan pangan nasional terutama bila dikaitkan dengan perkembangan penduduk dan berkurangnya lahan subur untuk berbagai penggunaan non pertanian. Setelah selama 25 tahun pengembangan lahan rawa pasang surut, 89.036 hektar lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan telah direklamasi untuk lahan pertanian dengan padi sebagai komoditas utama (Dinas Kimpraswil Kalsel, 2006). Produksi padi yang berasal dari sawah pasang surut mencapai 38% dari total produksi padi di Kalimantan Selatan (Diperta Kalsel, 2006). Di Kalimantan Selatan terdapat lahan rawa pasang surut seluas 172.117 Ha tersebar di Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin dan Tanah Laut, sampai saat ini sudah dimanfaatkan seluas 150.335 Ha ( 81 % ). Jaringan reklamasi rawa Danda Besar merupakan salah satu jaringan reklamasi rawa pasang surut di wilayah Kabupaten Barito Kuala yang kondisi hidrologisnya dipengaruhi oleh fluktuasi pasang surut Sungai Barito yang dimulai sejak Tahun 1969 melalui program transmigrasi. Jaringan ini memiliki lahan potensial kurang lebih seluas 2.200 ha dan dikembangkan untuk lahan pertanian. Secara umum produktivitas lahan di daerah reklamasi Danda Besar masih rendah. Musim tanam pertama untuk padi rata-rata hanya menghasilkan 2,0 ton per ha. Rendahnya produksi padi umumnya disebabkan oleh masalah kondisi fisik lahan yang meliputi status air dan kesuburan tanah. Mengingat akan besarnya potensi daerah rawa dan sementara ini masih amat kecil yang telah dikelola dan dikembangkan sehingga terbuka luas peluang untuk pemanfaatan lebih lanjut. Karena daerah rawa mempunyai keadaan hidro-topografi yang relatif bervariasi secara fisik, maka diperlukan pengembangan informasi dan berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan studi aspek budidaya lahan pasang surut di Danda Besar sebagai suatu pendekatan dari pengelolaan lahan yang berbasis tanaman padi.
115
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
BAHAN DAN METODE Kajian dilaksanakan di Unit Danda Besar, Desa Dandajaya , Kecamatan . Rantau Badauh, Kabupaten. Barito Kuala, Kalimantan Selatan tahun 2008. Metode penelitian menggunakan metode partisipatory rapid appraisal (PRA) dengan mewawancari aparat desa, tenaga penyuluh, kelompok tani, tokoh masyarakat, kelembagaan penunjang (koperasi unit desa, kelembagaan penyuluhan, pengamat air dsb). Disamping menggunakan data sekunder yang diperoleh dari ”desk study ”. Kemudian data di analisis dengan menggunakan analisis Stregth Weakness Opportunity dan Threart (SWOT)”, untuk menetapkan skenario pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut. Kondisi aspek sosial, proses dan hasil budidaya yang dinamis dengan kondisi lahan begitu terbatas merupakan permasalahan utama yang harus dihadapi oleh Masyarakat dibantu unsur-unsur terkait lainnya agar tujuan kemantapan pangan dapat dicapai dengan baik. Kemudian dirumuskan kuadran SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) yang merupakan potensi dan persoalan melalui aspek internal dan eksternal diharapkan strategi pengembangannya dapat meningkatkan pembudidayaan di daerah rawa dengan mengatasi persoalan dan meningkatkan progress sebagai langkah antisipatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Studi Gambaran lokasi studi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut : a. Unit Rawa : Danda Besar b. Letak Geografis : 03° 06′16′′ - 03° 09′ 01′′ LS dan 114° 35′ 58′′ - 114° 39′ c. Secara wilayah : Desa Dandajaya , Kecamatan . Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan Untuk lebih jelasnya lokasi studi disajikan pada Gambar 1. Sementara itu pada Gambar 2. dapat dilihat skema jaringan tata air Unit Danda Besar yang mempunyai saluran primer, saluran sekunder dan 54 (lima puluh empat) saluran Tersier yang terbagi atas 27 buah saluran Tersier Kiri dan 27 buah saluran Tersier Kanan serta sebuah kolam pasang yang sudah tidak berfungsi
Gambar 1. Lokasi Penelitian
116
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Gambar 2. Jaringan tata air unit Danda Besar
Gambar 3. Peta topografi Unit Danda Besar, Kab. Barito Kuala (Triadi, B, 2006) Berdasarkan analisis peta hidrotopografi, daerah Danda Besar terdiri atas tiga kelas hidrotopografi yaitu areal kelas B dan C relatif sama yaitu 820,78 ha dan 815,17 ha sedangkan kelas A hanya seluas 800,20 ha (Tabel 1 dan Gambar 3). Kondisi aktual di lapangan sebagian besar masih digunakan untuk pertanian tanaman pangan khususnya padi, sebagian kecil yang digunakan untuk tanaman tahunan terutama pada bagian pekarangan.
117
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Luas dan Penyebaran lahan kelas hidrotopografi Kelas No. lokasi penyebaran Hidrotopografi 1. A di bagian dalam dan luar Tka serta di bagian tengah Tki 2. B di bagian tengah Tka sebelah timur & di bagian luar Tki 3. C di bagian dalam dan luar Tka Seb. timur serta bagian dalam Tki Total Sumber : Analisis Peta Hidro-topografi
Luas (Ha) 800,20
(%) 32,85
820,78
33,69
815,17
33,46
2436,15
100,00
Penggunaan lahan di desa Danda Jaya sebagian besar berupa lahan sawah yang terdiri atas sawah pasang surut seluas 900 ha dan sawah tadah hujan (tidak terpengaruh luapan air pasang) seluas 450 ha, sedangkan areal pemukiman seluas 165 ha dan sisanya berupa fasilitas umum sehingga total luas lahan di Desa Danda Jaya sekitar 1546,8 ha (Tabel 2). Tabel 2. Penggunaan lahan di Desa Danda Jaya, Kec. Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan 2008 No Penggunaan lahan Areal (ha) 1. Sawah pasang surut 900,0 2. Sawah tadah hujan 450,0 3. Pemukiman umum 165,5 4. Perkantoran 5,0 5. Sekolahan 10,0 6. Pertokoan 2,0 7. Pasar 1,0 8. Tempat ibadah 5,5 9. Makam 3,0 10. Jalan 4,8 Total 1546,8 Sumber : Monografi Desa Danda Jaya, 2008 Berdasarkan sumber matapencaharian penduduk di Desa Danda Jaya sesuai dengan kondisi lapangan bermacam-macam namun yang dominan adalah petani, peternak, jasa. Mata pencaharian yang dominan adalah petani (pemilik) sebesar 650 KK, 75 KK petani penggarap dan 50 KK buruh petani (Tabel 3) menunjukkan bahwa mayoritas sumber mata pencaharian utama penduduk adalah petani terutama petani tanaman pangan (padi), adapun adanya petani penggarap diduga karena adanya pecahan keluarga akibat pemukiman transmigrasi daerah Danda Jaya telah berjalan lebih kurang 26 tahun. Sedangkan untuk profesi penjual jasa yang dominan adalah jasa pertukangan terutama tukang kayu 75 jiwa dan tukang batu 50 jiwa, untuk jasa angkutan yang tadinya berupa angkuta sungai, dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi dan adanya jalan darat jasa angkutan darat berupa sepeda motor telah meningkat yaitu 125 buah dan mobil sebanyak 10 buah (Tabel 3).
118
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Sumber Mata pencaharian penduduk di Desa Danda Jaya, Kec. Rantau Badauh, Kab. Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan 2008 No Jenis Mata pencaharian Jumlah 1. Petani (pemilik) 650 Petani (penggarap) 75 Buruh tani 50 2. Peternak sapi 10 Peternak kambing 16 Peternak ayam 300 3. PNS - Guru 58 - Bidan 1 - Mantri kesehatan 1 - Pamong 5 4. Jasa Keterampilan - Tukang kayu 50 - Tukang Batu 25 - Penjahit 4 - Tukang cukur 1 5 Jasa angkutan - Klotok 2 - Spd motor 125 - Mobil 10 6 Lembaga keuangan desa - Bank desa 1 - Bank Perkreditan Rakyat 1 Sumber : Monografi Desa Danda Jaya, 2008 Penduduk di Desa Danda Jaya berdasarkan pendidikan yang dominan adalah tamat SD yaitu 1213 jiwa (47 %) dari total penduduk desa, sedangkan yang berpendidikan SLA sebesar 220 jiwa (8,5%) dari total penduduk, sedangkan yang tamat D1-D3 hanya 12 jiwa (0,4%) (Tabel 4). Hal ini berimplikasi pada tingkat implementasi teknologi pertanian di lapang, karena tingkat pendidikan mempengaruhi adopsi teknologi. Namun berdasarkan jumlah tenaga kerja penduduk desa Danda Jaya yang usia produktif sebesar 1.704 jiwa setara 66 % dari total penduduk desa 2.587 jiwa, sedangkan yang berpendidikan SLA sebesar 220 jiwa (8,5 %) dari total penduduk (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja di daerah Danda Jaya masih cukup potensial karena mata pencaharian utama adalah dibidang pertanian., sedangkan usia non produktif hanya 153 jiwa (6 %) (Tabel 4). Tabel 4. Penduduk di Desa Danda Jaya, Kec. Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala, berdasarkan tingkat pendidikan dan usia kerja Tahun 2008 No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) 1. Buta aksara 26,0 2. Tak Tamat SD 674,0 3. Tamat SD 1213,0 4. Tamat SLP 419,0 5. Tamat SLA 220,0 5. Tamat D1 – D3 12,0 6. Tamat S1 8,0
119
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tingkat usia penduduk 1. Balita 2. Usia sekolah 3. Usia produktif 4. Usia non produktif 5. Jumlah KK 6 Jumlah penduduk Sumber : Monografi Desa Danda Jaya, 2008
36,0 694,0 1.704,0 153,0 659,0 2.587,0
Hasil pengamatan dan sumber data primer/sekunder lainnya didapatkan data yang mendukung potensi budidaya, yaitu sebagai berikut : a. Penguasaan lahan setiap kepala keluarga (KK): 2,25 Ha dengan rincian lahan pekarangan : 0,25 Ha, lahan usaha I dan LU II masing-masing 1,0 ha b. Budidaya Tanaman : Pola tanam padi lokal satu kali setahun, sebagian kecil yang menerapkan padi unggul tidak ditanam secara kontinyu karena : 1) Hama tikus pada periode menjelang padi berbunga 2) Kondisi tata air yang tidak mendukung, 3) Permodalan dan tenaga kerja terbatas, 4) Penggunaan sarana produksi yang tinggi dan perlu pengelolaan intensif, 5) Pemanfaatan air saluran tertier kurang maksimal karena aliran air tak lancar, 6) Harga hasil panen fluktuatif dan 7) Penerimaan usahatani padi unggul relatif rendah. Berdasarkan karekteristik, kekuatan, kendala, peluang dan tantangan pada aspek budidaya lahan rawa, alternatif penyelesaian masalah disajikan pada Tabel 5.
120
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 5. Alternatif penyelesaian masalah (skenerio) pada aspek budidaya dalam pengembangan lahan rawa Kriteria/ Karakteristik Kekuatan (strength) Kelemahan (weakness) Peluang (opportunities) Aspek Pengembang Tanah Berdasarkan Secara biofisik, aliran air Hasil padi dari segi hasil an Budidaya Mengandung kesesuaian lahan, pada saluran tersier tidak pendapatan masih Lahan Rawa keasaman/pH areal jaringan lancar. menguntungkan untuk petani <4 reklamasi rawa Adanya serangan Dapat dilakukan mixed pasang surut Pada Lokasi Hama/penyakit pada farming (tanaman selain padi, tersebut ditanami tinjauan, tanaman padi seperti jagung, kacang, dll padi lokal Kondisi yang panennya berumur Penerapan inovasi teknologi (tanaman hidrotofografi pendek) rendah: adaftif),rendah termasuk Tipe a. Penggunaan padi varietas Dukungan pemerintah dalam penggunaan input, B lokal memberikan kredit pendapatan tinggi Lahan relatif b. Operasional tata air Dukungan dari instansi Pengelolaan tipe datar / rawa, mikro belum sesuai petanian dalam penyuluhan luapan B dengan berdrainase yang diharapkan pertanian sistem lambat. c. Penggunaan pupuk Inovasi teknologi: surjan,(meningkat dibawah rekomendasi Penggunaaan varietas padi kan difersifikasi unggul adaptif, pemupukan Dukungan eksternal: tanaman dan 1. KUD : sebagai penyedia berimbang,perbaikan mengurangi resiko sarana produksi (pupuk /penerapan tata air mikro dan serangan OPT. dan pestisida) tak tepat penerapan PHT Berdasarkan jumlah dan waktu serta Dukungan eksternal: KUD ketersediaan air belum menampung (penyediaan pupuk dan ada peluang untuk pemasaran hasil pestisida tepat waktu, jumlah meningkatkan 2. Penyuluhan kurang serta peningkatan informasi intensitas tanam intensif teknologi dalam bentuk cetak dari pola tanam 1 3. Pengamat air terbatas atau media elektronik
Tantangan (threats)
Ada penggunaan pengapuran secara massal pada tahap awal transmigrasi Pembuatan saluran drainase dengan pengaturan sistem tata air mikro Penggunaan varietas tahan asam Pemberdayaan kelompok tani untuk bekerjasama lebih sinergis Permodalan
121
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Kriteria/ Aspek
Karakteristik
Kekuatan (strength)
kali setahun menjadi 2 kali dalam setahun. Pemilikan lahan cukup luas 2 Ha per KK
Kelemahan (weakness)
Peluang (opportunities)
Tantangan (threats)
jumlahnya Introduksi mekanisasi (alat pra panen dan pasca panen) Terbatasnya informasi teknologi budaya lahan dengan sistem usaha pelayanan rawa jasa (upja) dalam budidaya pertanian pangan (padi) Keterampilan petani terbatas Penerapan teknologi dengan meningkatkan faktor efisiensi Penggunaan bibit lokal input bagi usaha tani dilahan (umur panjang 8-9 bln rawa. Tenaga kerja terbatas Pendapatan Usaha Tani (rendah) kebijaksanaan, ekonomi kota, sosial kebudayaan penduduk, lingkungan kota, dan dijadikan sebagai salah satu modal dan kemampuan daerah dalam mengembangkan
Kekuatan merupakan fakto-faktor positif dari aspek transportasi internal dan sebagainya yang dapat ruangnya. Kelemahan adalah faktor-faktor negatif yang menjadi kelemahan atau kendala dalam mengembangkannya. Faktor-faktor tersebut dapat berbentuk ketidakmampuan dalam berbagai bidang pembangunan dan ketidaksediaan sumber dayanya secara alami. Peluang (opportunities), yang merupakan kesempatan atau harapan perkembangan dari luar untuk mengembangkannya atau dari faktor eksternal Tantangan (threats) yang merupakan hambatan luar yang dapat memperlambat atau menyaingi perkembangannya
122
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Skenario Aspek Budidaya dalam Pengembangan Lahan Rawa Faktor-faktor terkait dalam aspek budidaya untuk pengembangan lahan rawa adalah a) pengelolaan lahan b) pengelolaan air, c) dukungan eksternal (lembaga KUD, penyuluhan, pengamat air) dan d) Partisipasi petani. a. Pengelolaan lahan Pengelolaan lahan tipe luapan B dengan sistem surjan bertahap dan sistem surjan pada lahan tipe luapan C (untuk meningkatkan difersifikasi tanaman dan mengurangi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Introduksi alat mesin pertanian (alsintan) pra panen dan pasca panen sesuai dengan karakteristik lahan pasang surut dengan sistem usaha pelayanan jasa (UPJA) untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja dalam usahatani mengingat kepemilikan lahan rerata 2 ha tiap keluarga. b. Pengelolaan air Pengelolaan air di petak tersier (tata air mikro). Ini merupakan pengelolaan air di lahan usaha tani yang menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman menjadi tanggung jawab petani dan dikelola secara kelompok yang dikerjakan secara gotong royong. Pada lahan tipe luapan B perlu diterapkan pengaturan air sisten satu arah (one way flow systems), sedangkan pada lahan luapan C pengaturan airnya dengan sistem tabat dengan memasang pintu ”stoplog” pada saluran tersier dengan memanfaatkan air hujan atau koservasi air di bagian hulu (hutan sekunder). c. Dukungan eksternal Peningkatan peran KUD dalam penyediaan sarana produksi (pupuk dan pestisida) dalam jumlah dan waktu yang tepat serta pemasaran hasil. Perlu dukungan instansi terkait baik pemerintah, swasta dalam pengembangan Community Development dalam penyedia modal usahatani Perlu dukungan penyuluhan khususnya teknologi budidaya lahan rawa (pengelolaan, pemupukan berimbang) dan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan penambahan tenaga penyuluh pertanian dan pengamat air. Penyediaan informasi berupa inovasi teknologi budidaya lahan rawa dalam bentuk media cetak ataupun melalui media elektronik. d. Partisipasi petani Peningkatan keterampilan dan kekompakan kelompok tani merupakan syarat mutlak dalam pengelolaan lahan dan air dalam skala hamparan serta kesadaran tingkat kelompok tani dalam pemupukan modal kelompok dan pengelolaan aset kelompok. KESIMPULAN 1. Daerah Danda Besar mempunyai kelas hidro-topografi B dan C memiliki luasan hampir berimbang, yaitu berturut-turut 821 ha dan 815 ha atau 34 % dan 33 % dan kelas A seluas 800 ha sehingga luas total sebesar 2436 ha. 2. Faktor– faktor yang perlu dipertimbangkan dalam budidaya lahan pertanian meliputi kedalaman air tanah, gerakan, kuantitas dan kualitas air agar selalu dimonitoring termasuk adanya lapisan pirit (tanah sulfat masam), ketebalan lapisan gambut, intrusi air payau dan efek lingkungan setempat.
123
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
3. Aspek budidaya dalam pengembangan lahan rawa di kawasan Danda Besar adalah a) pengelolaan lahan, b. pengeloalaan air, c. Dukungan eksternal (keberfungsian lembaga KUD, pemasaran, kecukupan jumlah penyuluh pertanian dan tenaga pengamat air) dan d. Partisipasi petani. DAFTAR PUSTAKA Saidy A.R & A.Yusuf,2008. Implikasi Perubahan Iklim Global: Estimasi kehilangan produksi pertanian di propinsi Kalimantan Selatan karena Kenaikan Muka Air Laut. Makalah Seminar Nasional Rawa. Teknik Pengembangan Sumberdaya Rawa. Fak Teknik Sipil UNLAM – HATHI Komda Kal-Sel. 13 p. Statistics Board of South Kalimantan Province, 2006. Kalimantan Selatan in Figure 2006 Statistcs Board of South Kalimantan Provincie Banjarmasin. Supriyo, A dan A. Jumberi 2007. Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan pasang surut. Dalam kearifan lokal pertanian di lahan rawa. Mukhlis dkk (Eds). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Halaman : 45 – 62. Triadi, B. 2008. Kesesuaian lahan rawa pasang surut Danda Besar, Kalimantan Selatan. Makalah Seminar Nasional Rawa. Teknik Pengembangan Sumberdaya Rawa. Banjarmasin. 4 Agustus 2008. HATHI Komda KalSel. 14 p.
124
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Efektifitas Tata Air dalam Mendukung Peningkatan Indeks Pertanaman di Daerah Pasang Surut Sumatera Selatan NP. Sri Ratmini Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6 Palembang Sumatera Selatan e-mail:
[email protected]. ABSTRAK Lahan pasang surut memiliki potensi yang sangat tinggi untuk pengembangan pertanian ke depan dengan penerapan teknologi yang memadahi. Pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian memerlukan langkah-langkah yang tepat agar terbentuk lahan budidaya yang mantap dan berkelanjutan. Indek pertanaman di lahan pasang surut sebagian besar saat ini adalah IP 100 (satu kali tanam). Untuk meningkatkan indek pertanaman maka pengaturan tata air sangat diperlukan. Permasalahan air merupakan salah satu yang harus ditanggulangi untuk meningkatkan indek pertanaman di lahan pasang surut. Akumulasi kelebihan air untuk tanaman palawija tanpa proses pembuangan dengan sirkulasi pasang surut cukup besar. Untuk itu pengaturan tata air sangat diperlukan untuk mengatur kelebian dan kekurangan air pada petak persawahan dan untuk dapat mengatur pola tanam. Indek pertanaman dapat ditingkatkan menjadi IP 200/IP300 (2/3 kali tanam) dengan pola tanam padi-palawija; padi-padi-palawija dengan mengatur tata air dan disesuaikan dengan tipe luapan air. Kata kunci: indek pertanaman, tata air, tipe luapan dan pasang surut PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia bertekad untuk dapat mencapai swasembada pangan dan mengurangi impor utamanya padi. Program ini dapat ditempuh melalui berbagai upaya antara lain, perluasan areal lahan, peningkatan produksi dan peningkatan indek pertanaman. Perluasan areal lahan saat ini sangat susah dilakukan dengan adanya persaingan pemakain lahan dengan bidang non tanaman pangan dan non pertanian. Peluang tebesar yang bisa dilakukan adalah dengan peningkatan indek pertananan. Pemanfaatan lahan pasang surut sebagai lahan pertanian mempunyai potensi yang cukup tinggi melalui pengelolaan yang tepat sehingga lahan pasang surut dapat dijadikan pertumbuhan pertanian yang produktif (Manwan et al.,1992 dan Ismail, et al., 1993). Menurut Alihamsyah (2001), dengan pengelolaan yang baik maka produksi lahan ini dapat mencapai 5 t/ha. Sumatera Selatan (Sumsel) mempunyai luas pasang surut yang berpoteni untuk lahan pertanian 961.000 ha dan telah direklamasi seluas 359.250 ha (Dirjen Pengairan, 1998), namun dalam pengembangannya memiliki kendala baik fisik, kimia biologi dan sosial budaya. Lahan pasang surut diklasifikasikan berdasarkan tipologinya menjadi lahan potensial, sulfat masam, gambut, bergambut dan salin (Ismail, 1993), kemudian berdasarkan tipe luapan air dibedakan menjadi tipeluapan A, B, C dan D (Ananto et al., 2000). Sumsel memiliki semua jenis tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan air tersebut. Perbedaan tipologi dan tipe luapan berpengaruh dalam
125
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
pemanfaatannya untuk lahan pertanian memiliki upaya dan penataan yang berbeda. Tanaman pangan umumnya dilakukan pada tipologi lahan potensial, sulfat masam, bergambut dan salin dengan tipe luapan A, B, dan C. Untuk tipologi gambut dalam dan tipe luapan D tidak direkomendasikan untuk diusahakan sebagai lahan tanaman pangan, melainkan direkomendasikan untuk lahan perkebunan atau sebagai lahan (Widjaja-Adhi, 1986). Pemanfaatan lahan pasang surut sebagai lahan pertanian sangat bergantung pada beberapa aspek diantaranya adalah: pasang surutnya air sungai/laut, kondisi biofisik lahan, sumberdaya manusia, sosial ekonomi dan pengaturan tata air (Kurdi, 2012). Pengaturan tata air dilakukan pada jaringan tata air makro maupun jaringan tata air mikro. Pengendalian tata air makro dan tersier yang baik akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian tata air mikro. Apabila pengendalian jaringan tata air makro dan tersier tidak berjalan dengan baik maka akan berpengaruh terhadap pengelolaan jaringan tata air mikro. Pengaturan tata air ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air untuk tanaman, upaya untuk memperbaiki aerasi tanah serta mengendalikan unsur-unsur yang dapat meracuni tanaman (Lakitan, 2013). Lahan pasang surut merupakan lumbung padi di Sumsel yang tersebar di sepanjang daerah aliran sungai Musi di sebelah Ilir, dan tersebar di empat kabupaten yaitu, Muara Enim, Ogan Ilir, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Produktivitas lahan pasang surut di Sumsel saat ini adalah 45,54 ku/ha gabah kering panen (BPS, 2014). Selama ini pemanfaatannya khusus untuk tanaman padi masih dilakukan satu kali pertanaman dalam setahun. Hal ini disebabkan adanya kendala kekeringan pada saat musim kemarau dan serangan hama tikus. Kendala ini dapat ditanggulangi dengan pemanfaatan teknologi yang benar, salah satunya adalah dengan pengelolaan tata air. Pengaturan tata air di lahan pasang surut selain berfungsi untuk mengendalikan air (mengatur kelebihan air dan menahan air) juga dapat berfungsi sebagai upaya untuk mengendalikan hama tikus. Pada paper ini akan dibahas berbagai aspek fungsi tata air di lahan pasang surut. SISTEM PENGELOLAAN AIR Pemanfaatan lahan pasang surut untuk lahan pertanian, didahului dengan reklamasi lahan yaitu dengan pembuatan saluran-saluran drainase yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai saluran irigasi. Pada lahan pasang surut, drainase sangat penting untuk membuang unsur-unsur yang berlebihan dan dapat meracuni tanaman dapat cepat tercuci. Umumnya sistem saluran yang dibuat pada lahan pasang surut adalah saluran drainase terbuka, baru sebagian saluran tersier dan skunder yang telah dilengkapi dengan pintu air. Pintu air yang telah ada umumnya belum terawat dengan baik, sehingga fungsi dari saluran tidak termanfaatkan dengan maksimal. Kondisi saluran yang tidak bersih akan berpengaruh terhadap jangkauan air pasang dan tingkat pencucian. Hal ini juga akan mempengaruhi kualitas air menjadi rendah sehingga tidak berfungsi sebagai hidromeliorasi (Idjuddin, 2000). Sistem jaringan tata air di lahan pasang surut dibagi menjadi sistem jaringan tata air makro dan tata air mikro. Sistem jaringan tata air makro terdiri dari saluran primer, sekunder, dan tersier. Sistem saluran makro yang ada di
126
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Sumsel terdiri dari lima tipe yaitu sisir tunggal, sisir berpasangan, garpu, kombinasi garpu dengan sisir, dan tangga (Ananto et al., 2000). Sedangkan sistem jaringan tata air mikro adalah dari aluran kuarter sampai saluran yang terdapat di petakan persawahan. Pintu air merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan air. Pintu air berfungsi untuk mengatur tingkat genangan di petakan persawahan, mencegah genangan air di petak persawahan pada saat pasang besar, dan mengurangi dampak kekeringan pada saat musim kemarau. Keberhasilan pertanian di lahan pasang surut sangat dipengaruhi dengan adanya pintu air, utamanya pada saat penanaman di musim kemarau. Beberapa tipe pintu air yang dapat digunakan di lahan pasang surut disesuaikan dengan kondisi tipe luapan air. Berdasarkan tipe luapan air pasang dan kedalaman air tanah, lahan pasang surut dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu tipe luapan A, B, C dan D. Tipe luapan A adalah lahan yang selalu terluapi air pasang besar dan kecil, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, tipe luapan B adalah lahan yang hanya terluapi air pasang besar pada musim hujan saja. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm, sedangkan lahan bertipe luapan D adalah seperti tipe C hanya kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm (Anantoet al., 2000). Pengelompokkan ini sangat dibutuhkan untuk arahan penataan dan pemanfaatan lahan, sistem pengelolaan air dan penentuan pola tanam. Tipe sisir tunggal
Tipe sisir berpasangan
Tipe tangga Tipe garpu
Tipe garpu-sisir berpasangan
Gambar 1. Lima sistem jaringan tata air makro di lahan pasang surut Sumatera Selatan
127
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
TATA AIR SEBAGAI PENGENDALI KEMASAMAN TANAH Tingkat produksi padi di lahan pasang surut sangat dipengaruhi dengan manajemen pengaturan air (Adam et al., 2013). Permasalahan yang umum dihadapi adalah kemasaman yang tinggi sehingga memicu kelarutan besi dan aluminium (Purnomo et al., 2005). Penurunan muka air tanah pada musim kemarau mengakibatkan kelarutan besi meningkat sangat tajam. Kondisi ini akan sangat berbahaya untuk tanaman apabila besi naik ke permukaan tanah atau lapisan olah. Oksidasi pirit akan terjadi apabila kondisi muka air tanah berada di bawah lapisan pirit. Lapisan pirit yang teroksidasi akan mengakibatkan unsur hara Fe dan Al teroksidasi dan akan terlarut terbawa air kepermukaan hal ini mempengaruhi ketersediaan akan beberapa unsur hara (De Datta, 1981). Pada proses oksidasi pirit, setiap molekul pirit akan menghasilkan 16 mol ion H+ (Migaszewski et al. 2007 dan Descostes et al. 2002). Adapun proses terjadinya oksidasi pirit dapat digambarkan dalam reaksi berikut: FeS2 + 7/2 O2 + H2O → Fe 2+ + 2 SO2–4 + 2 H + FeS2 + 14 Fe 3+ + 8 H 2O → 15 Fe 2+ + 2 SO 2–4 + 16 H+
(1) (2)
Pada kondisi pH rendah tanaman budidaya pada umumnya sering mengalami keracunan Fe2+, asam-asam organik dan H2S (Shamshuddin et al., 2004), hal ini mengakibatkan tingkat ketersediaan hara P menjadi sangat rendah (Purnomo et al., 2005). Oksidasi pirit ini dapat ditanggulangi dengan pengaturan tata air disesiauikan dengan kodisi tipe luapan airnya. Pada saat kemarau atau air di sungai mulai surut maka fungsi pintu air harus difungsikan untuk mempertahankan air di saluran tersier. Pada saat pasang besar pintu air dibiarkan terbuka, sehingga air pasang dan air surut dapat mengalir ke luar dan masuk petakan secara otoatis. Kondisi ini akan mengakibatkan pada saat air masuk ke petakan membawa air segar dari sungai dan pada ssat air surut akan melarutkan unsur unsur logam seperti Al, Fe dan Mn yang sangat berbahaya untuk tanaman apabila konsentrasinya tinggi, hal ini sering disebut dengan proses pencucian. Konsentrasi Fe di lahan pertanian dan di saluran air mengalami penurunan dengan adanya pengaturan tata air, dimana awalnya konsentrasi Fe 25 menjadi 5 ppm dalam saluran air dan pada air tanah yang awalnya 50 menjadi 5 ppm (Hadi, 2004). Hasil penelitian Imanudin et al., (2010) menunjukkan bahwa pada lahan sulfat masam potensial di Sumsel kedalaman pirit berada pada kedalaman dibawah 60 cm, namun kedalaman air tanah sangat bervariasi dari 0-2 cm dimuasim hujan dan turun sangat drastis sampai mencapai 90-100 cm pada saat musim kemarau. Kondisi ini akan memicu okidasi pirit karena air tanah berada di bawah lapisan pirit. Untuk itu maka pengendalian air di petakan tersier sangat penting untuk menghindari turunnya permukaan air tanah yang sangat dalam.
128
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
TATA AIR SEBAGAI PENGATUR POLA TANAM Pengaturan pola tanam di lahan pasang surut sangat erat kaitannya dengan tipe luapan air. Badan Litbang Pertanian mengelompokkan tipe luapan air di lahan pasang surut menjadi empat kelompok yaitu tipe luapan A, B, C dan D. Tipe luapan A adalah lahan yang selalu terluapi air pasang besar maupun pasang kecil, baik pada musim hujan atau musim kemarau. Tipe luapan B adalah lahan yang hanya terluapi air pasang besar pada saat musim hujan saja. Tipe luapan C adalah lahan yang tidak dapat terluapi air pasang namun mempunyai kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm, sedangkan bertipe luapan D adalah lahan yang tidak terluapi air pasang dan kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm. Pengelompokan tipe luapan air pasang di lahan pasang surut sangat penting untuk penataan lahan dan menyusun pola tanam. Pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut umumnya dilakukan satu kali dalam setahun. Di Sumatera Selatan sebaran tipe luapan air didominasi dengan tipe luapan B dan C. Luasan lahan yang terkategori tipe luapan B dan C berturut-turut adalah 66.132 ha (45,64%) dan 51.372 ha (35,45%), sedangkan untuk tipe luapan A dan D sekitar 13.258 ha (9,15%) dan 14.140 ha (9,76%) (Ananto et al., 2000). Pintu air merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan air untuk pengaturan pola tanam. Pintu air berfungsi untuk mengatur tingkat genangan di petakan persawahan, mencegah genangan air di petak persawahan pada saat pasang besar, dan mengurangi dampak kekeringan pada saat musim kemarau. Keberhasilan pertanian di lahan pasang surut sangat dipengaruhi dengan adanya pintu air, utamanya pada saat penanaman di musim kemarau. Beberapa tipe pintu air yang dapat digunakan di lahan pasang surut disesuaikan dengan kondisi tipe luapan air. Tipe luapan A dan B, sitem pengaturan air di saluran menggunakan aliran satu arah, dimana air masuk dan keluar berada pada saluran yang berbeda (Widjaja-Adhi, et al., 2000). Aliran satu arah berujuan supaya air buangan dari petakan sawah tidak kembali masuk saat pasang berikutnya. Pintu air yang dapat digunakan pada tipe luapan A dan B adalah pintu air yang dapat membuka dan menutup secara langsung (flapgate). Pintu flapgate dipasang menyesuaikan dengan fungsi saluran apakah untuk saluran drainase atau irigasi. Untuk saluran irigsi maka pintu dipasang dengan membuka ke dalam dan pada saluran drainase pintu dipasang membuka ke luar, sehingga dengan pemasangan seperti ini pintu akan membuka dan menutup secara otomatis akibat daya dorong air. Pintu air sistem flapgate berfungsi optimal untuk mencuci unsur-unsur toksik. Pada lahan dengan tipe luapan C yang diperlukan adalah pemasangan pintu air sistem tabat (stoplog), gunanya untuk mempertahankan genangan air di petakan persawahan. Pada kondisi kemarau yang panjang terkadang diperlukan pompa air untuk mencukupi kebutuhan air di saluran dan untuk mempertahankan muka air tanah tetap berada di atas permukaan lapisan pirit.
129
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Salura n Primer
Salura n Sek under
Pintu engse l (Flapgate) inlet
P intu engse l (F lapgate) outlet
P intu engse l (Flapgate) inlet
Saluran Tersi er
A’
A
P intu engse l (Flapgate) outlet
Salura n K uarter
P enampang A-A ’ 100 m 50 cm
A
50 cm
A’
50 cm
50 c m
Gambar 2. Skema sistem aliran air satu arah pada lahan dengan tipe luapan air A dan B.
S alura n P rimer/Jalur
A
S alura n Sek under
S toplog
S toplog
S toplog
S alura n keliling
S alura n C acing (K emalir) S alura n Tersier
S alura n tenga h
200 m S alura n K uarte r 100 m
S toplog
P enampang A -A ’ A’ S toplog A
Gambar 3.
A’
Skema sistem tabat pada lahan dengan tipe luapan C dan D.
Pengaturan pola tanam di lahan pasang surut sangat ditentukan dengan tipe luapan air pasang dan pengaturan tata airnya. Lahan dengan tipe luapan A dan B yang selalu terluapi air pasang maka lahan dengan tipe ini dapat di tanami padi dengan pola padi-padi-palawija, sedangkan lahan dengan tipe luapan C dapat ditanami padi dengan pola tanam padi-palawija-palawija. Arahan penataan lahan pasang surut disajikan pada Tabel 1 dan 2. Selanjutnya Imanudin et al., (2010) menyarankan bahwa untuk lahan dengan tipe luapan C maka pola tanam yang dapat diterapkan adalah padi-bera; padi – jagung; jagung-jagung.
130
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 1. Arahan penataan lahan aluvial bersulfida dan bersulfat. Kode*)
Tipe luapan air Tipologi lahan
A SMP-1 Aluvial bersulfida dangkal SMP-2 Aluvial bersulfida dalam Sawah SMP-3/A Aluvial bersulfida sangat Sawah dalam SMA-1 Aluvial bersulfat 1 -
B C Sawah Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/ kebun Sawah/surjan Sawah/surjan kebun SMA-2 Aluvial bersulfat 2 Sawah/surjan Sawah/surjan kebun SMA-3 Aluvial bersulfat 3 Sawah/kebun HSM Aluvial bersulfida dangkal Sawah Tegalan/kebun bergambut Sumber: Widjaja-Adhi (1995). *) Padanan kode dan tipologi lahan dapat dilihat pada Tabel 2.
D Sawah Tegalan/ kebun Tegalan/kebun Sawah/tegalan/ Sawah/tegalan/ Tegalan/kebun Sawah/tegalan
Tabel 2. Arahan pemanfaatan lahan bergambut/gambut. Kode*)
Tipe luapan air Tipologi lahan
A B C D G-0 Bergambut Sawah Sawah/surjan Tegalan Tegalan G-1 Gambut dangkal Sawah Sawah Tegalan/kebun Tegalan/kebun G-2 Gambut sedang Konservasi Kebun Kebun G-3 Gambut dalam Konservasi Kebun Kebun G-4 Gambut sangat dalam Konservasi Kebun Kebun D Kubah (Dome) gambut Konservasi Konservasi Konservasi ) * dengan substratum liat marin, padanan kode dan tipologi lahan dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber: Widjaja-Adhi (1995).
PENUTUP Pemanfaatan lahan pasang surut dapat dioptimalkan dengan pengaturan tata air. Indek pertanaman sangat ditentukan dengan tipe luapan air pasang dan pengaturan tata air. Indek pertanaman yang awalnya hanya satu kali tanam dalam satu tahun, maka dengan pengaturan tata air dapat ditingkatkan menjadi dua kali sampai tiga kali tanam dalam setahun.Untuk lahan yang selalu terluapi air pasang (tipe A) dapat diterapkan dengan pola tanam padi-padi-palawija, tipe luapan B: padi-palawija-palawija, sedangkan untuk tipe luapan C padi bera; padi-jagung atau jagung – jagung. Pengaturan pola tanam ini akan berhasil apabila pengaturan tata air dlakukan dengan baik dan benar. Fungsi pengaturan tata air dengan prinsip dasar mencukupi kebutuhan air untuk tanaman, mencegah terjadinya oksidasi lapisan pirit, mencuci unsur/senyawa beracun bagi tanaman, menjaga kelembaban gambut dan mencegah intrusi air asin.
131
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA Adam, H., R.H. Susanto, B. Lakitan, A. Saptawan, and M. Yazid. 2013. The problems and contraints in managing tidal swamps land for sustainable food crop farming (a case study for transmigration area of Tanjung Jabung Tiur Regency, Jambi Province, Inndonesia. International confrence on sustainable environment and agriculture. IPCBEE vol. 57. Alihamsyah, T., D. Nazemi, Nazemi, I. Khairullah, H.D. Noor, M. Sarwani, H. Sutikno, Y. Rina, F.N. Saleh, ddan S. Abdussamad. 2001. Empat puluh tahun Balitra: erkembanan dan program penelitian kedepan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Banjarbaru. Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentoro, Hermanto, Y. Soelaeman, I.W. Suastika, dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan usaha pertanian lahan pasang surut Sumatera Selatan; mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. BPS. 2014. Sumatera Selatan dalam angka. Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan De data, S.K. 1981. Principles an practices of rice production. H. Willey Interscience Publication. John Willey & Soons. New York. Descostes, M., C. Beaucaire, F. Mercier, S. Savoye, J. Sow, and P. Zuddas. 2002. Effect of carbonate ions on purite (FeS2) dissolution. Bull. Soc. Geol. France 173(3):265-270 Direktorat Jendral Pengairan. 1998. Profil proyek pengembangan daerah rawa Sumatera Selatan. Departemen Pekerjaan Umum. Hadi, R. 2004. Teknik pencegahan oksidasi pirit dengan tata air mikro pada usahatani jagung di lahan pasang surut. Buletin Teknik Pertanian, Vol. 9 Nomor 2. Kurdi, H. 2012. Penentuan elevasi dasar lahan pertanian berdasarkan pada kisaran pasang surut air laut pada lokasi unit Kecamatan Barambai. INFO TEKNIK, Vol. 13 Nomor 1, Juli 2012. Lakitan, B dan N. Gofar. 2013. Kebijakan inovasi teknologi untuk pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Prosiding seminar lahan suboptimal. PUR-PLSO Universitas Sriwijaya. Idjuddin, A.B. 2000. Pengelolaan air sebagai hidromeliorasi lahan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25 – 27 Juli 2000. Imanudin, M. S., E. Armanto, R. H. Susanto, dan S.M. Bernas. 2010. Water table fluctuation in tidal lowland for developing agricultural management startegist. J. Trop. Soils, Vol. 15, (3): 277-282 Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I.P. Widjaja-Adhi, Suwaro, T. Herawati, R. Tahir, dan D. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian Lahan Rawa; Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Pangan, Bogor. Manwan, I., I.G. Ismail, T. Alihansyah dan S. Partoharjono. 1992. Teknologi pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut: potensi, relevansi dan
132
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
faktor penentu. Dalam prosiding Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Puslitbangtan, Bogor. Migaszewski, Z.M., A. Galuszka, P. Paslawski, E. Starnawska. 2007. An influence of pyrite oxidation on generation of unique acidic pit water: A case study, podwisniowka quarry, Holy Cross Mountains (South-Central Poland). Polish J. Of Environ. Stud., 16 (3): 407-421 Purnomo, E., A. Mursyid, M. Syarwani, A. Jumberi, Y. Hashidoko, T. Hasegawa, S. Honma, and M. Osaki. 2005. Phosphorus solubilizing microorganisms in the rhizosphere of local rice verities grown without fertilizer on acid sulphate soils. Soil Sci. Plant Nutr, 51(5): 679-681 Shamshuddin, J., M. Syarwani, S. Fauziah, dan I.V. Ranst. 2004. A laboratory study on pyrite oxidation in acid sulphate soils. Soil Sci. Plant Anl., 35 (1): 117 - 129 Widjaja-Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Penenlitian dan Pengembangan Pertanian V (1). Widjaya Adhi, IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaya Adhi, IPG., D.A. Suriadikarta, M.T. Sutriadi, IGM. Subiksa, dan I.W. Suastika. 2000. Pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa. Dalam A. Adimihardja et al. (eds). Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Puslittanak, Bogor.
133