PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN Didi Ardi Suriadikarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33,40 juta ha, yang terdiri atas 20 juta ha rawa pasang surut dan 13,40 juta ha rawa lebak. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dan luasnya sekitar 6,70 juta ha. Lahan sulfat masam dapat diklasifikasikan menurut letak dan posisi bahan sulfidik di dalam pedon tanah. Kunci keberhasilan usaha pertanian di lahan pasang surut atau rawa adalah pengelolaan tanah dan air baik tingkat makro maupun mikro. Tata air makro meliputi pengaturan tata air pada saluran primer, sekunder dan tersier, sedangkan tata air mikro adalah pengelolaan tata air di lahan petani mulai dari saluran tersier, kuarter hingga ke lahan petani. Pengaturan tata air mikro bertujuan untuk mencuci lahan dari unsur yang beracun seperti Fe, Al, dan SO4. Pengelolaan tata air ini berkaitan dengan tipologi lahan dan tipe luapan. Lahan sulfat masam sesuai untuk sawah tergenang karena dengan penggenangan bahan sulfidik atau pirit akan stabil. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A atau B sesuai untuk sawah dengan sistem aliran satu arah, dan bila tipe luapannya C atau D maka saluran air perlu ditabat. Ameliorasi dan pengapuran diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Bahan amelioran yang diperlukan adalah kaptan dengan takaran untuk tanah sulfat masam potensial 2 t/ha, sedangkan untuk tanah sulfat masam aktual 4−8 t/ha bergantung pada kadar pirit dalam tanah. Semakin tinggi kadar pirit maka kebutuhan kapur untuk meningkatkan pH tanah semakin tinggi pula. Rock Phospate (RP) dapat digunakan pada tanah sulfat masam sebagai pengganti pupuk SP-36 dengan takaran 200 kg RP/ha setara dengan 125 kg SP-36/ha. Pupuk kalium umumnya cukup diberikan 100 kg KCl/ha. Pada lahan sulfat masam yang tersedia sumber air tawar dapat digunakan untuk tambak udang atau bandeng. Kata kunci: Tanah sulfat masam, pengelolaan lahan, pembangunan pertanian
ABSTRACT Management of acid sulphate soil for agricultural development The development of swampland in Indonesia is relatively slow due to low production of food crops caused by high input of agriculture materials. The area of swampland in Indonesia is about 33.40 million ha, and consists of 20 million ha of tidal land and 13.40 million ha of nontidal land. The acid sulphate soil is a part of tidal land and occupied about 6.70 million ha, and it is associated with peat soil and salin soil. Soil and water management is the success key to reclaim swampland for agricultural development. Soil and water management aimed to leach out toxic materials from the land like iron, aluminum, and sulphate. The design of water management on farming land is correlated with soil type and neap tide. If the soil type is actual acid sulphate soil and the type of neap tide is A, the design of soil and water management should be the one for lowland rice since in anaerobic condition pyrite will be stable. Soil ameliorant such as lime is required to increase soil pH and acid sulphate soil productivity. The general rate of lime for potential acid sulphate soil is about 2 t/ha, while for actual acid sulphate soil is 4–8 t/ha depends on the pyrite content of the soil. Furthermore, rock phosphate (RP) can replace SP-36 use; 200 kg RP/ha is required to replace 125 kg SP-36/ha. The use of adapted rice variety on acid sulphate soil is recommended to obtain high yield. Fisheries can also be done on acid sulphate soil if the surrounding areas have a source of fresh water. Keywords: Acid sulphate soil, soil management, agricultural development
L
ahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,40 juta ha, yang terdiri atas rawa pasang surut 20 juta ha dan rawa lebak 13,40 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program 36
transmigrasi yang dimulai tahun 1969 melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk mengimbangi penciutan lahan produktif di Jawa akibat alih fungsi ke sektor nonpertanian, seperti perumahan dan industri. Menurut Suriadikarta et al. (1999), lahan rawa yang telah dibuka mencapai 2,40 juta ha, yaitu 1,50
juta ha di Kalimantan dan 0,90 ha di Sumatera. Lahan rawa di Papua sampai saat ini belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air. Dengan upaya seperti itu diharapkan lahan rawa dapat menjadi lahan pertanian yang produktif, Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi 1995a; 1995b). Pengembangan lahan rawa yang dimulai dengan P4S tahun 1970-an dan dilanjutkan dengan proyek Swamp I, Swamp II, kerja sama dengan Belanda (LAWOO) tahun 1980-an, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun 1990-an, telah menghasilkan berbagai teknologi pengelolaan lahan (Suriadikarta dan Abdurachman 1999). Teknologi itu antara lain adalah pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, pengendalian hama dan penyakit, dan model usaha tani. Namun, umumnya teknologi tersebut tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan karena adanya berbagai kendala, seperti modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang kurang berkembang, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro. Berbagai kegagalan dan keberhasilan telah mewarnai kegiatan pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor misalnya, yaitu lahan yang ditinggalkan petani karena telah mengalami oksidasi pirit sehingga produksinya sangat rendah, merupakan akibat dari reklamasi yang kurang tepat. Kegagalan ini dapat menjadi pelajaran dalam pengembangan lahan sulfat masam di masa yang akan datang. Potensi lahan rawa yang demikian besar dapat dimanfaatkan untuk menunjang pogram peningkatan ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian (Departemen Pertanian 1999), lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun lebak dapat menjadi basis pengembangan ketahanan pangan untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Oleh karena itu, investasi pemerintah dan swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogianya dapat lebih ditingkatkan.
SIFAT TANAH SULFAT MASAM Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
tidak dapat digunakan untuk pertanian. Tanah sulfat masam mempunyai pH rendah, kandungan yang bersifat toksis H+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaan ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah serta kekahatan hara-hara lainnya (Andriesse dan Sukardi 1990). Reaksi oksidasi pirit menurut Boyd (1982) adalah sebagai berikut: 1) FeS2 + H2O + 3,5 O2 → FeSO4 + H2SO4 2) 2 FeSO4 + ½ O2 + H2SO4 → Fe2(SO4)3 + H2O 3) FeS2 + 7 Fe2(SO4)3 + 8 H2O → 15 FeSO4 + 8 H2SO4 Produksi ferri sulfat dari ferro sulfat sangat besar karena proses pembentukannya dipercepat oleh aktivitas bakteri Thiobacillus ferrooxidans (No. 2), dan pada kondisi yang masam reaksi pirit dengan ferri sulfat (No. 3) berlangsung sangat cepat. Ferri sulfat juga dapat terhidrolisis sehingga menambah kemasaman seperti diperlihatkan reaksi berikut: Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO4 Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat antara lain Al, Mn, Zn, dan Cu. Dengan demikian aliran permukaan (run off) atau air rembesan (sepage) dari galian tanah berpirit mencapai kemasaman sangat tinggi dan berisi ion-ion yang berpotensi sebagai racun. Menurut Widjaja-Adhi (1986), di dalam lumpur yang anaerob, pirit tidak membahayakan karena stabil, tetapi bila lumpur itu mengering, potensi redok (Eh) meningkat dan pirit tidak lagi stabil. Pirit diubah menjadi asam sulfat oleh bakteri Thiobacillus thiooxidans. Pada keadaan agak masam sampai netral terjadi reaksi: FeS2 + 3 H2O
→ Fe(OH)3 + S2 + 3 H
+
Ferri hidroksida yang terjadi dicirikan oleh warna cokelat dan terlihat pada bahan galian baru dari lapisan yang mengandung pirit. Dalam keadaan masam (pH kurang dari 3), pirit berdisosiasi menjadi ion ferro dan sulfur: FeS2
→ Fe2+ + S2 + 2 e
Sulfur yang dilepas dari reaksi di atas oleh bakteri T. thiooxidans diubah menjadi asam sulfat: S2 + 8 H2O
→ 2 SO42- + 16 H+ + 12 e
Ion H+ yang terbentuk cukup banyak ketika pirit terkena udara. Menurut Driessen dan Soepraptohardjo (1974),
penurunan pH dihalangi oleh tanah itu sendiri melalui beberapa cara, yaitu: 1) pembentukan jarosit, 2) penetralan oleh hasil disosiasi beberapa mineral hijau seperti khlorit, chamosit, dan glaukonit, 3) reaksi pertukaran dengan kation pada kompleks adsorpsi, dan 4) penetralan bahan kapur seperti kulit kering. Selanjutnya van Breemen (1976) mengemukakan bahwa Fe2+, H+, dan SO42yang dihasilkan selama oksidasi pirit biasanya mengalami berbagai reaksi lanjut di dalam tanah. Fe2+ dioksidasi menjadi Fe 3+, yang akan mengendap sebagai jarosit, goethite atau amorphous ferri oksida. Sejumlah besar sulfat dihasilkan selama pembentukan pirit, tetapi tetap tinggal dalam larutan dan hilang dari tanah melalui pencucian dan difusi ke permukaan air. Sulfat yang tersisa sebagian mengendap sebagai jarosit atau sebagai Al sulfat (AlOHSO4), dan sebagian diadsorpsi terutama oleh ferri oksida. Dalam kondisi relatif kering, gipsum (CaSO 4 .2H 2 O) akan terbentuk, sedangkan bila terjadi penguapan hebat, pada retakan permukaan terdapat sulfat yang masih dapat larut seperti sodium alum (NaAl(SO4)2.12H2O), tamarugit (Na Al(SO 4) 2.6H2O), pickeringite (MgAl 2 (SO4). 22 H2O) dan rezenite (Fe SO4 .4 H2O). Penggenangan akan mengurangi kemasaman, membuat tanah menjadi anaerob, serta memudahkan penguraian ulang bahan organik, reduksi besi (III), sulfat dan oksida lainnya oleh bakteri anaerob. 1) SO42- + 2 H+ + 2 CH2O H2O + 2 CO2 2) Fe(OH)3 + 2 H+ + ¼ CH2O + 1¼ H2O + ¼ CO2
H2S + 2 Fe2+
Dalam kondisi anaerob (tergenang), asam sulfat tidak terbentuk tetapi sulfat dapat direduksi lagi menjadi sulfida oleh bakteri Desulfovibrio sp., yang mungkin sementara terikat sebagai FeS. Pada tanah sulfat masam yang sangat muda yang masih di bawah pengaruh pasang surut, sulfida mungkin kembali membentuk pirit.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH SULFAT MASAM Pengelolaan Tanah dan Air Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di 37
1234567890 1234567890 1234567890
Flapgate (inlet)
A
Flapgate (outlet)
1234567890 1234567890 1234567890
Saluran sekunder pengeluaran
Flapgate (inlet)
123 123 123 123 123 123 123 123 123 123
Saluran tersier pemasukan
A
A s
38
Pada sistem aliran satu arah, saluran irigasi dan saluran drainase dirancang secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi, pintu klep membuka ke arah dalam sedangkan pada saluran drainase pintu klep membuka ke arah luar sehingga pencucian lahan berlangsung efektif. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah (Gambar 1), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu ditabat (disekat) dengan stoplog (Gambar 2) untuk menjaga permukaan air sesuai dengan kebutuhan
Saluran primer (jalur)
Saluran kuarter pengeluaran 123 Flapgate (outlet)123 123 123 123 123 123 123 123 123
Saluran tersier pengeluaran
A
Gambar 1. Jaringan tata air sistem saluran satu arah pada lahan pasang surut.
A
Saluran primer (jalur) Stoplog
Stoplog
Saluran cacing
Saluran keliling Saluran tersier pemasukan s
1234 123412345 12345 1234 12345 1234 12345 1234 12345 1234 12345 1234 12345 1234 12345 1234 12345 1234 12345 1234 123412345 12345 s
123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123
123456789 123456789 123456789
Saluran dangkal intensif Saluran tersier pengeluaran Stoplog
Saluran tersier pengeluaran
123 123 123 123 123 123 123 123 123
Saluran sekunder pengeluaran
Stoplog
s
1234567890 1234567890 1234567890 1234567890
s
Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran. Untuk memperlancar keluarmasuknya air pada petakan lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun, Widjaja-Adhi (1995a) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Menurut Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan saluran cacing di dalam petakan dengan jarak 3−12 m serta di sekeliling petakan, bergantung pada kondisi lahan. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak saluran cacing tersebut. Subagyono et al. (1999) menyatakan, pencucian bahan beracun dari petakan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Pencucian akan berjalan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Pengelolaan air pada saluran tersier bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2) mengatur tinggi muka air pada saluran dan petakan, dan 3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro bergantung pada tipe luapan air pasang dan tingkat keracunan.
Saluran sekunder
Tata air mikro
Pada lahan sulfat masam aktual, sistem pengairannya harus ditabat dan tidak disurjan agar besi dan pirit tidak meracuni tanaman. Penataan air di lahan petani dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow system) dan sistem aliran bolak-balik (two-way flow system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al. 1999). Penerapan aliran satu arah hanya akan berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.
Saluran sekunder
lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Dalam tulisan ini tata air makro tidak dibahas karena merupakan kewenangan dari Departemen Pekerjaan Umum.
A
Gambar 2.
Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D pada lahan pasang surut. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Tata air ini memerlukan pintu-pintu yang berfungsi sebagai pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel (flapgate). Di Karang Agung Ulu, penerapan pengelolaan tata air mikro pada lahan sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan dapat meningkatkan kualitas lahan dan hasil tanaman (Djayusman et al. 1995). Penerapan pengelolaan tata air dengan sistem tabat dan aliran satu arah dikombinasikan dengan pengolahan tanah dengan traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan sulfat masam (50 ha), dapat secara cepat meningkatkan kualitas lahan dan hasil tanaman padi dan palawija (ISDP 1997). Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,20 sebelum pengolahan tanah menjadi 4,80 pada saat penanaman dan 5,40 pada saat panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah 1998). Kandungan Fe++ juga menurun dari 160 ppm pada saat tanam menjadi 72 ppm pada panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas Cisadane mencapai 6,26 t/ha sedangkan varietas Cisanggarung 9,44 t/ha.
logi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, penataan lahan sebaiknya untuk sawah (Tabel 1), karena pirit akan lebih stabil (tidak mengalami oksidasi) dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Pada tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan sistem surjan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial, pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tanah untuk guludan diambil dari lapisan atas untuk menghindari oksidasi pirit.
Sistem surjan merupakan salah satu contoh penataan lahan rawa melalui diversifikasi tanaman. Lebar guludan dibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m, sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiap hektar lahan dapat dibuat 6−10 guludan dan 5−9 tabukan. Tabukan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami palawija, sayuran, dan tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa (Gambar 3).
Ameliorasi dan pemupukan Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena pH tanah rendah, kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta
Penataan lahan Penataan lahan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lahan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu memperhatikan hubungan antara tipo-
Gambar 3. Penampang tanah sulfat masam aktual.
Tabel 1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang surut. Tipologi lahan Kode SMP-1 SMP-2 SMP-3/A SMA-1 SMA-2 SMA-3 HSM G-1 G-2 G-3
Pemanfaatan lahan pada tipe luapan air
Tipologi Aluvial bersulfida dangkal Aluvial bersulfida dalam Aluvial bersulfida sangat dalam Aluvial bersulfat 1 Aluvial bersulfat 2 Aluvial bersulfat 3 Aluvial bersulfida dangkal bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam
A
B
Sawah Sawah -
Sawah Sawah (surjan) Sawah (surjan)
-
C
D Sawah (tegalan, kebun) Tegalan (kebun)
Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah
Sawah Sawah (surjan) Sawah (tegalan, kebun) Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah (kebun) Sawah (tegalan)
Sawah -
Sawah (tegalan) Kebun (kebun) Kebun (kebun)
Tegalan (kebun) Kehutanan Konservasi
Sawah (tegalan, kebun) Sawah (tegalan, kebun) Tegalan (kebun) Tegalan (kebun)
SMP = sulfat masam potensial, SMA = sulfat masam aktual, HSM = histosol sulfat masam, G = gambut. Sumber: Widjaja-Adhi (1995a).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
39
ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa rendah (Dent 1986). Oleh karena itu, diperlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanah sehingga produktivitas lahan meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan untuk meningkatkan pH dan rock phosphate (RP) untuk memenuhi kebutuhan hara P. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur adalah derajat pelapukan bahan induk, kandungan liat, kandungan bahan organik, bentuk kemasaman, pH tanah awal, metode kebutuhan kapur, dan waktu (Mc.Lean 1982 dalam Al-Jabri 2002). Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan berdasarkan metode inkubasi, titrasi, dan Aldd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur, tanah, dan air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya satu minggu
Hasil penelitian di rumah kaca dan di lapangan menunjukkan penentuan takaran kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti, Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Tanah sulfat masam umumnya memiliki ketersediaan hara P dan K rendah, namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula (Tabel 2). Pada tanah sulfat masam aktual, kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Takaran pupuk P adalah 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik et al. 1999; Supardi et al. 2000). RP yang bermutu baik untuk tanah sulfat masam aktual adalah RP Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan P 2O 5 total 28,80% (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Untuk pupuk K cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah.
sampai beberapa minggu, lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu. Menurut Mc.Lean. (1982) dalam Al-Jabri (2002), metode inkubasi memiliki kelemahan yaitu terjadi akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapur lebih dari yang seharusnya. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu memerlukan kapur lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan Aldd KCl 1 N, serta relatif lambat sehingga tidak sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri 2002). Walaupun metode titrasi memerlukan kapur lebih rendah, sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa, karena reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Aldd KCl 1 N jarang digunakan karena tingkat keracunan suatu jenis tanaman sangat bervariasi pada tanah yang berbeda.
Tabel 2. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di Indonesia.
Lokasi
Sumatera Selatan KA I PI PS-I KA I PII PS-14
Tipologi
USDA
pH
C organik (%)
P-Bray K (K O) 2 P 2O 5 (mg/100 g) (ppm)
P HCl 25% P 2O 5
Al dd
Kb
(%)
(%)
(mg/100 g)
Fluvaquentic Typic Sulfaquept Fluvaquentic Sulfaquept
3,40
1,20
2,20
4
1
88,20
7
3,90
5,86
31,50
17
23
71,80
41
Histic Sulfaquept
4,10
7,53
45,70
12
68
70
16
Typic Sulfaquept
3,50
0,89
2,20
-
-
15,42
54,95
SMP
Typic Sulfaquent
-
4,99
10,20
80
24
1,35
68
Sumatera Selatan Telang, Muba
SMP
Typic Sulfaquent
4,40
4,89
32,20
5
29
4,27
61
Kalimantan Selatan Tabung Anen
SMP
Typic Sulfaquent
4,90
3,83
19,60
40
22
0,66
> 100
Belawang
SMA
Histic Sulfaquept
3,40
22,93
17,20
26
104
16,83
Kalimantan Tengah Lamunti Ex PLG Pulau Petak Kalimantan Barat Parit ampera Sungai kakap
SMA
Klasifikasi
SMA bergambut SMA-2 SMP bergambut SMP-G SMA
5
SMA = Sulfat masam aktual, SMP = sulfat masam potensial.
40
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Tanah sulfat masam di Pulau Petak, Kalimantan Tengah, sangat respons terhadap pemupukan P, baik yang berasal dari TSP maupun RP. Pemberian 135 kg P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan hasil padi menjadi 2,45 t/ ha (Manuelpillai et al. 1986), meningkat delapan kali dibanding tanpa P dan kaptan. Pemberian 90 kg P 2O 5/ha dan kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha, tidak berbeda nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha, dan kaptan 1.000 kg/ha. Pemberian RP pada tanah sulfat masam juga tidak berbeda nyata dengan penggunaan TSP. Hal ini disebabkan terjadinya proses penyanggaan RP dalam media yang sangat masam, yang menghasilkan bentuk P yang metastabil seperti dikalsium fosfat yang tersedia untuk tanaman. Subiksa et al. (1990) menunjukkan, hasil padi dengan pemberian dolomit 2 t/ ha dan SP-36 200–300 kg/ha rata-rata mencapai 4 t/ha pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan Telang Kabupaten Muba, Sumatera Selatan. Pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen, Kalimantan Selatan, hasil padi dengan pemberian 43 kg P/ha, 52 kg K/ ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ ha mencapai 3,24 t/ha. Pemberian kapur didasarkan pada metode inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al. 1999), sedangkan pemupukan P berdasarkan kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan tanah. Di Belawang, Kalimantan Selatan, kebutuhan kapur lebih tinggi yaitu 4 t/ha dan P optimum 100 kg P/ha dan 78 kg K/
ha. Hasil tertinggi diperoleh dari perlakuan P optimum (100 kg P/ha), 78 kg K/ ha dan 4 t kapur/ha. Di Belawang, pirit pada tanah sulfat masam aktual telah mengalami oksidasi sehingga Aldd tinggi dan P tersedia rendah (Tabel 3). P alam yang telah dicoba untuk tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P alam Tunisia, Ciamis, P alam Chrismast, dan P alam Aljazair. Di Lamunti Kalimantan Tengah, pemberian P alam yang setara dengan 150 kg P2O5 / ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,50 t/ ha, tetapi kalau diberikan 75 kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha. Di Palingkau Kalimantan Tengah, takaran yang sama dapat memberikan hasil masing-masing 3,70 dan 3,40 t/ha (Supardi et al. 2000). Hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990) di Pulau Petak menunjukkan bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dengan pH 3−4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,50, jumlah Aldd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk tanah dengan pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat
Tabel 3. Hasil padi dengan pemupukan dan pengapuran pada tanah sulfat masam di Sumatera dan Kalimantan. Lokasi
Takaran pupuk (kg/ha) P 2O 5
K (K2O)
Kaptan (t/ha)
Hasil (t/ha)
Varietas
Kalimantan Selatan Tabung Anen Belawang
43 100
52 K 86 K
1 4
3,24 3,25
IR64 IR64
Sumatera Selatan Telang Muba
300
60 K2O
2 *
4
IR64
135 56
50 K2O 60 K2O
1 2
2,40 2
IR64
Kalimantan Tengah Unitalas Lamunti Ex PLG
dilakukan dengan drainase dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk K.
Penggunaan Varietas yang Adaptif Tanaman yang dapat diusahakan di lahan sulfat masam antara lain adalah padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), sayuran (cabai, kacang panjang, kubis, tomat, dan terung), buahbuahan (rambutan, nenas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka) dan tanaman perkebunan kelapa dan lada (Suwarno et al. 2000). Tanaman tersebut tumbuh baik pada tanah sulfat masam potensial dengan sistem tata air mikro seperti saluran drainase dan ameliorasi tanah.
Padi dan palawija Padi sawah mempunyai daya adaptasi yang lebih baik di lahan pasang surut khususnya tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Menurut Suwarno et al. (2000), sampai saat ini telah dilepas 11 varietas padi yang cocok dengan lahan pasang surut (Tabel 4). Varietas yang sesuai untuk lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batanghari, dan Dendang. Untuk tanah sulfat masam aktual di mana kadar Al dan Fe sangat tinggi, lebih sesuai ditanam varietas lokal yang telah adaptif seperti Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, dan Bayur. Mengingat kesuburan tanah sulfat masam sangat beragam maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil analisis tanah. Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun campuran dengan tanaman buah-buahan dan sayuran. Varietas kedelai yang cocok untuk tanah sulfat masam adalah Wilis, Rinjani, Lokon, dan Dempo. Hasil kedelai berkisar 1,50–2,40 t/ha, kacang tanah 3,50 t/ha, kacang hijau 1,20 t/ha, dan jagung Arjuna 3–4 t/ha. Pada tanah sulfat masam potensial, selain perlu dipupuk, tanaman perlu pula diberi kapur sesuai dengan takaran anjuran (Tabel 5).
Sayuran dan buah-buahan
* = dolomit. Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
Penggunaan amelioran, pengelolaan hara terpadu, serta penggunaan benih bermutu dengan waktu tanam yang tepat
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
41
Tabel 4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas dengan beberapa sifat keunggulannya. Tahun pelepasan
Umur (hari)
IR64
1980
140
27
Pera
Barito Mahakam
1981 1983
140 135
21 26
Pulen Pera
Kapuas Musi
1984 1988
127 135
23 24
Pulen Pera
Lematang Sei Lilin Banyuasin
1991 1991 1997
130 120 120
27 26 22
Pera Pera Pulen
Lalan
1997
125
27
Pera
Batanghari
1999
125
26
Pera
Dendang
1999
125
20
Pulen
Varietas
Kadar amilosa (%)
Tekstur nasi
Sifat unggul Tahan WC2, HDB, blas, Fe Tahan WC1 dan HDB Tahan HDB, Fe, salinitas Tahan WC1, HDB, Fe Tahan HDB, blas, salinitas Tahan WC1, Fe Tahan WC1, Fe Tahan HDB, blas, Fe, Al Tahan WC2, blas, salinitas Tahan WC2, HDB, blas, Fe Tahan WC2, HDB, blas, Fe, Al
WC 1, 2, 3: wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3; HDB: hawar daun bakteri; Fe, Al: tahan keracunan Fe dan Al. Sumber: Suwarno et al. (2000).
Tabel 5. Takaran pupuk untuk tanaman palawija di lahan pasang surut. Jenis tanaman Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Jagung
Takaran pupuk (kg/ha) N 22,50–45 22,50 22,50–45 67,50
P 2O 5
K 2O
45 45 45–90 45–90
50 50 50–60 50
Kaptan (t/ha) 2–3 1 2 0,50–2
Sumber: Suwarno et al. (2000).
merupakan kunci keberhasilan penanaman sayuran di lahan rawa (Satsiyati et al. 1999). Tanaman buah-buahan seperti pisang, nangka, rambutan, dan jeruk ditanam di pekarangan pada guludan. Sayuran dan pisang relatif cepat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani terutama pada tahun pertama mereka tinggal di pemukiman baru. Di lahan pekarangan lahan sulfat masam Karang Agung Ulu, tanaman sayuran mampu memberikan pendapatan lebih besar daripada tanaman pangan, yaitu 65,40% untuk sayuran dan 34,60% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa 1990). Hasil tomat varietas Ratna dan Intan masing-masing mencapai 18,54 dan 13,40 t/ha, sedangkan petsai varietas No. 82157 sekitar 15,60 t/ha (Sutater et al. 1990). Bawang merah varietas Ampenan dan 42
Bima juga dapat beradaptasi cukup baik pada tanah sulfat masam dengan potensi hasil masing-masing 6,40 dan 6,15 t umbi kering/ha (Sutater et al. 1990). Takaran pupuk untuk tanaman sayuran dan buahbuahan di lahan sulfat masam disajikan pada Tabel 6.
Tanaman perkebunan Di lahan sulfat masam Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, tanaman perkebunan yang dapat beradaptasi adalah kopi, kelapa, dan lada.
Kelapa. Jenis kelapa yang sesuai adalah kelapa lokal, karena memiliki daya adaptasi dan toleransi yang baik terhadap lingkungan. Kelapa dapat ditanam secara
tumpang sari dengan kopi, palawija, dan hortikultura atau secara monokultur pada guludan. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung Tengah, produktivitas kelapa masing-masing berkisar 7–18 butir dan 10–17 butir/pohon/periode petik. Pupuk diberikan sesuai dengan umur tanaman (Tabel 7), paling tinggi pada umur tanaman kelapa 3 tahun.
Temu-temuan. Tanaman temu-temuan seperti jahe, kencur, kunyit, temu lawak, lengkuas dan bangle tumbuh baik di lahan pasang surut. Penanamannya dapat dilakukan secara monokultur maupun tumpang sari dengan palawija atau tanaman tahunan yang tidak terlalu tinggi tingkat naungannya (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993; Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 1999). Tanaman temutemuan menghendaki tanah yang gembur dan subur, pH tanah normal dan tidak tergenang. Oleh karena itu, upaya perbaikan tanah yang meliputi pemberian kaptan, pemupukan, pembuatan saluran cacing, dan penambahan lapisan gambut akan menjamin pertumbuhan dan hasil rimpang yang optimal. Temu-temuan diharapkan dapat menunjang sistem usaha tani di lahan pasang surut. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dan obat tradisional baik untuk manusia maupun ternak. Kunyit, temu lawak, jahe, dan kencur dapat digunakan sebagai obat reumatik dan pegel linu, lempuyang untuk pegel linu, temu ireng dan bangle sebagai obat cacing, serta temu giring untuk obat panas dan batuk. Untuk ternak, jahe dapat mencegah penyakit tetelo (ND), dan temu lawak dapat menekan perkembangan bakteri pada kotoran ternak sehingga mengurangi bau limbah. Hasil tanaman temu-temuan di lahan sulfat masam cukup baik. Di Karang Agung Ulu (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993), hasil jahe merah dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,50 t gambut/ ha berkisar 15,50–23,60 t/ha, sedangkan untuk jahe putih kecil atau emprit 4,90– 8,50 t/ha dan jahe putih besar varietas Gajah 4,50–5,90 t/ha. Di Kalimantan Tengah, hasil jahe putih kecil juga cukup baik, berkisar 14−20 t/ha. Untuk kencur, hasil di Karang Agung Ulu mencapai 11,20–20,10 t/ha, dan di Kalimantan Tengah 200−300 g/rumpun. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Tabel 6. Takaran pupuk dan kapur untuk tanaman sayuran dan buah-buahan di lahan sulfat masam. Komoditas (varietas)
Urea
Takaran pupuk (kg/ha) TSP
KCl
NPK
Bahan organik (t/ha)
Tomat Ratna Intan
200 200
200 200
100 100
50−75 50−75
5 (pukan) 5 (pukan)
Bawang merah (Bisma, Brebes, Ampenan)
200
200
150
0
Petsai Asveg 82-156 SangiheTalaud
200
200
150
200
200
Kubis
200
Cabai kriting Pisang Ambon Mas Rajanangka Rajasere
Kapur (t/ha)
Hasil (t/ha)
1−1,50 1−1,50
18,54 13,48
10−15 (pukan sapi)
1,80
5−6,50
0
5
1−2
8,70−15,60
150
0
5−10 (gambut)
200
100
50
5
1−1,50
12−14
250
300
100
0
10
1−1,50
3,50−4,50
600
400
160
0
25
500
3
Residu MT-2: 21,40
14,20 kg/tandan 8,30 kg/tandan 12 kg/tandan 7,80 kg/tandan
Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
Tabel 7. Takaran pupuk tanaman kelapa Dalam Riau pada berbagai umur di lahan sulfat masam. Takaran pupuk (g/pohon)
Umur tanaman
Urea
SP-36
KCl
Kieserit
Kapur
1 bulan
100
100
100
50
1.500
1 tahun 6 bulan ke-I 6 bulan ke-II
200 200
250 250
300 300
100 100
2 tahun 6 bulan ke-I 6 bulan ke-II
350 350
0 600
450 450
150 150
3 tahun 6 bulan ke-I 6 bulan ke-II
500 500
0 800
600 600
200 200
BO = Memanfaatkan sisa-sisa tanaman dan gambut. Dicampur dalam lubang tanam dengan perbandingan tanah : BO = 1:1, Pengapuran pada tahun ke-4 bila perlu diberikan 2−3 kg/ pohon bersama-sama pemberian pupuk, Produksi = 80−110 butir/tahun/pohon. Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
Lada. Lada varietas Petaling I, Petaling II, dan Lampung Daun Kecil dapat tumbuh dan beradaptasi baik di lahan potensial maupun sulfat masam aktual Karang Agung Ulu. Pada lahan potensial, pengapuran dengan takaran 2−3 kg/ tanaman dapat meningkatkan produksi Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
buah sampai panen ketiga (panen pertama sekitar 3 tahun) (Tabel 8). Pembuatan saluran cacing di kanan dan di kiri tanaman memberikan hasil tertinggi yaitu 140, 300, dan 230 g/pohon masing-masing pada panen pertama, kedua, dan ketiga. Saluran cacing dapat
memperbaiki drainase sehingga kelembapan tanah sesuai bagi tanaman lada. Karena lada memerlukan bahan organik tinggi, maka pengembangannya di lahan bergambut tipis lebih sesuai untuk tanaman produktif. Pemupukan tiga kali setahun dengan interval 4 bulan sekali dengan takaran 512 g urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g kiserit/pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993). Tiang panjat seperti lamtoro gung (Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan pemangkasan empat kali setahun mampu mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal.
Perikanan Penelitian ikan sebagai komponen sistem usaha tani di lahan pasang surut dan rawa dilakukan sejak 1985 di lahan rawa Kertamulia Patratani, rawa banjiran di Lubuk Lampan, lahan pasang surut di tepi sungai Musi Mariana, lahan potensial di Karang Agung Ulu, lahan sulfat masam salin di Delta Upang dan lahan lebak di Kayu Agung Sumatera Selatan, serta di lahan pasang surut dan sulfat masam Parit Keladi dan Palingkau, Kalimantan. Sistem 43
Tabel 8. Produktivitas tanaman perkebunan pada lahan sulfat masam Sumatera Selatan dan Kalimantan. Tipologi lahan
Komoditas
Sulfat masam
Lada Jahe merah Kelapa
Potensi hasil 1,22 kg/tanaman 23,60 t/ha 4–10 butir/pohon 7–11 butir/pohon 7 butir/pohon
Lokasi Karang Agung Ulu Karang Agung Ulu Karang Agung Ulu (Sumatera Selatan) Tarantang (Kalimantan Selatan) Parit Keladi (Kalimantan Barat)
Sulfat masam potensial
Kelapa
10 butir/pohon
Lambur II (Jambi) Rasau Jaya (Kalimantan Barat) Pinrang Luar (Kalimantan Barat)
Bergambut
Kelapa
8−12 butir/pohon 6−15 butir/pohon
Pinrang Luar Karang Agung Ulu
7−11 butir/pohon Jahe kecil
0,70−11 kg/tanaman
Kencur
0,20−0,30 kg/tanaman
Sakalagun (Kalimantan Selatan) Lamunti (Kalimantan Tengah) Lamunti, Dadahup
Kopi
0,40 kg/pohon/musim
Pinrang Luar
Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
usaha tani perikanan diartikan sebagai usaha perikanan di lahan petani (Kasryno et al. 1989; Partohardjono 1989) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan pemanfaatan sumber daya secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan petani. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi atau paket teknologi usaha tani yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosioekonomi yang ada di daerah. Hasil ikan di lahan potensial, lahan lebak, dan lahan pasang surut yang mempunyai pH air relatif baik (4–5) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil di lahan sulfat masam. Jumlah kapur yang ditambahkan pada lahan potensial berkisar 5 t/ha, sedangkan pada lahan sulfat masam 10 t/ha. Kendala pada pembangunan kolam di lahan pasang surut adalah rembesan air dari pematang dan masuknya air hujan dari tepi pematang ke dalam kolam sehingga pH air kolam turun dari 4 menjadi < 3 sehingga ikan mati. Jenis ikan yang dapat dipelihara di kolam pasang surut antara lain adalah patin, tembakang, lele, gurami, dan nila merah. Jenis ikan tersebut dapat ber44
adaptasi dengan perubahan pH air kolam yang turun waktu hujan. Untuk mengatasi penurunan pH air waktu hujan, pembuatan kolam dilakukan sebagai berikut: 1) lapisan atas tanah 0–10 cm dikupas kemudian tanah kupasan ditempatkan pada lokasi yang aman, 2) penggalian kolam dilakukan sampai kedalaman 1–1,20 m, 3), setelah penggalian kolam selesai, dibuat galengan bersusun seperti tangga (2−3 tangga) lalu guludan ditutup dengan tanah lapisan atas, 4) kolam dikapur dengan takaran 5– 10 t kaptan/ha. Pemeliharaan ikan dapat pula dilakukan secara polikultur. Ikan nila dapat memanfaatkan organisme plankton, sedangkan ikan patin memakan organisme yang hidup di dasar kolam. Untuk pemeliharaan ikan secara monokultur, ikan diberi tambahan pakan pelet dan sisa makanan.
KESIMPULAN DAN SARAN Lahan sulfat masam yang merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dengan luas ± 6,70 juta ha mempunyai
potensi untuk usaha pertanian terutama padi sawah dan perikanan. Tanah sulfat masam mempunyai kandungan bahan organik P tersedia maupun P potensial yang umumnya rendah. Untuk tanah sulfat masam dengan kadar bahan organik sedang sampai tinggi, kadar P tersedia dan potensial juga tinggi. Pada tanah sulfat masam yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kadar hara K umumnya tinggi. Rock phosphate dapat menggantikan pupuk SP-36, dengan takaran 200 kg RP/ha yang setara dengan 125 kg SP-36/ ha, pada tanah sulfat masam potensial. Perbaikan tata air mikro seperti pembuatan saluran keliling, saluran cacing, dan drainase dangkal sangat efektif dalam membuang bahan-bahan beracun seperti Fe, Al, dan sulfat. Tanaman yang sesuai di lahan sulfat masam adalah tanaman buah-buahan (pisang, nangka, rambutan, dan jeruk), palawija (kedelai varietas Wilis, Lokon, Rinjani Dempo, dan kacang hijau), tanaman perkebunan (kelapa, lada, dan temu-temuan), dan tanaman sayuran (tomat varietas Intan dan Ratna, petsai varietas No. 82-157 dan bawang merah varietas Ampenan dan Bima). Kendala pengembangan lahan rawa sulfat masam adalah terbatasnya sumber daya manusia, sarana prasarana pertanian, kelembagaan pedesaan, serta kebijakan pemerintah yang sering berubah-ubah dalam pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Untuk mengembangkan lahan rawa pasang surut menjadi lahan pertanian yang produktif diperlukan kebijakan pemerintah yang mendukung upaya tersebut, seperti subsidi benih dan pupuk, pengolahan tanah, bahan amelioran tanah, serta pemeliharaan jaringan tata air.
DAFTAR PUSTAKA Al-Jabri, M. 2002. Penetapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran, Bandung. Andriesse, W.M. and M. Sukardi. 1990. Survey compound introduction, objection and outline. Workshop on Acid Sulfate Soil in the Humid Tropics, Bogor. Indonesia. 20– 22 November. p. 10−17. Departemen Pertanian. 1999. Sambutan Menteri Pertanian Republik Indonesia dalam Pem-
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
bukaan Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23−26 November 1999. hlm. 7−12. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Fish Pond Culture. Elsevier Sci. Publication Co., Amsterdam. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. International Institute for Land Reclamation and Improvement Publication No. 39, Wageningen, the Netherland. p. 1−22. Djayusman, M., S. Sastraatmaja, IG. Ismail, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahan dan pengelolaan air untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 20−27. Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo. 1974. Soil for Agriculture Expansion in Indonesia. Bulletin 1. Soil Research Institute, Bogor. Hartatik, W., I.B. Aribawa, dan J. Sri Adiningsih. 1999. Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 6−8 Desember 1999. hlm. 205−222. ISDP. 1997. Gelar Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan, 1997. Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran, E.A. Rasahan, and C.G. Swensen. 1989. Development an integrated farming system research in Indonesia. Workshop on FSC in Indonesia. Sukamandi, 13−16 August 1989. Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and related chemical characteristics of acid sulfate soil in Pulau Petak Kalimantan. Workshop on Acid Sulfate Soil in the Humid Tropies, 20−22 November, Bogor Indonesia. p. 30−35. Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S. Simatupang. 1986. Site specific soil characteristics and the amelioration of a sulfic Tropaquepts (acid sulfate) in Central Kalimantan. Symposium on Lowland Development in Indonesia. Jakarta 24−31 August 1986. p. 252−262.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 1999. Penelitian pengembangan sistem usaha tani lahan rawa pasang surut di kawasan PLG sejuta hektar. Kapet DAS Kakab. Kalimantan Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999. Teknik budi daya dan potensi usaha tani sayuran lahan rawa di Kalimantan Tengah. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23−26 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 79−93. Subagyono, H., I.W. Suatika, dan E.E. Ananto. 1999. Penataan Lahan dan Tata Air Mikro: Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 1− 5. Subiksa, I.G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan Penelitian Sistem Usaha Tani pada Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Risalah Seminar Penelitian Proyek Swamps II. Bogor, 19−21 September 1990. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 31−38. Subiksa, I.G.M., D.A. Suriadikarta, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan jarak kemalir terhadap kimia tanah dan hasil padi sawah pada tanah sulfic Tropaquents. Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps-II, Palembang. 29− 31 Oktober 1990. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 165− 170. Supardi, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP36 di lahan sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa, Cipayung 25–29 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat hlm. 433− 440.
Partohardjono, S. 1989. Pemantapan Program Nasional Penelitian Sistem Usaha Tani. Makalah Latihan Metodologi Penelitian Usaha Tani, Sukamandi, 6−26 Februari 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999. Penelitian teknologi reklamasi untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam potensial. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23–26 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 135−143.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Sewindu Penelitian di Lahan Rawa. Kontribusi dan prospek pengembangan Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 13−33.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z. Desmiyati, Suwarno, M. Januwati, dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan teknologi dan kendala pengembangan usaha tani lahan rawa. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23−26 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 1−32. Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 6−12. Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahan sulfat masam. Risalah Hasil Penelitian. Proyek Swamps-II. Bogor 19–21 September 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 275–277. Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan sistem usaha tani terpadu. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25–27 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 176−186. Van Breemen, N. 1976. Genesis and solution chemistry of acid sulfate soils in Thailand. Center of Agricultural Publishing and Documentation. Ph.D. Dessertation, University of Wageningen. Widjaja-Adhi, IPG. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(1): 1–9. Widjaja-Adhi, IPG., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A. Syarifudin. 1992. Sumber daya lahan rawa: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak, Cisarua 3−4 Maret 1992. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 19−38. Widjaja-Adhi, IP.G. 1995a. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumber daya lahan rawa untuk usaha tani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan, 26−30 Juni 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Widjaja-Adhi, IP.G. 1995b. Potensi peluang dan kendala perluasan areal pertanian lahan rawa di Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng, 7−8 November 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm. 1−12. Widjaja-Adhi. IP.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan pasang surut; Potensi, prospek, dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI, 16–17 Desember 1998. hlm. 51−72.
45