34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak
diekskresikan dalam feses (Tillman, dkk., 1998). Zat makanan yang dapat diukur nilai kecernaannya diantaranya adalah protein kasar. Kecernan protein kasar sangat berkaitan erat dengan proses pencernaan dan penyerapan protein ransum yang terjadi di dalam tubuh domba. Pencernaan merupakan proses pemecahan zat makanan untuk diserap oleh tubuh. Hasil penelitian mengenai pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal terhadap kecernaan protein kasar pada domba Garut jantan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Kecernaan Protein Kasar pada Berbagai Perlakuan Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 R4 R5 R6 ........................................... % ........................................... 1 46,55 55,61 60,55 71,04 72,71 69,63 2 60,11 56,46 74,76 65,3 82,75 63,99 3 55,57 54,52 78,24 77,49 72,65 4 56,78 61,46 68,88 74,54 79,03 77,10 Rata-rata 54,7 5 57,01 68,06 72,28 77,99 70,84 Keterangan : R1 = Ransum dengan kandungan Protein Kasar 12% dan TDN 60% R2 = Ransum dengan kandungan Protein Kasar 12% dan TDN 65% R3 = Ransum dengan kandungan Protein Kasar 14% dan TDN 60% R4 = Ransum dengan kandungan Protein Kasar 14% dan TDN 65% R5 = Ransum dengan kandungan Protein Kasar 16% dan TDN 60% R6 = Ransum dengan kandungan Protein Kasar 16% dan TDN 65%
Berdasarkan Tabel 4. terlihat bahwa pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal menghasilkan kecernaan protein kasar yang bervariasi pada tiap perlakuan. Rataan kecernaan protein tertinggi diperoleh pada R5, yaitu pada ransum dengan 16% protein kasar dan 60% TDN
35 dengan rataan kecernaan protein kasar sebesar 77,99%, kemudian diikuti oleh R4 (72,28%), R6 (70,84%), R3 (68,06), R2 (57,01%), dan R1 (54,75%). Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein kasar dilakukan analisis ragam seperti yang tercantum pada Lampiran 9. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit berbasis bahan pakan lokal dengan imbangan protein dan energi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kecernaan protein kasar. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan yang hasilnya tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Perlakuan Rataan KcPK Signifikansi (0,05) ………. % ………. R5 77,99 a R4 72,28 ab R6 70,84 ab R3 68,06 b R2 57,01 c R1 54,75 c Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) Berdasarkan Tabel 5. terlihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap kecernaan protein kasar. Hal ini terjadi karena pengaruh imbangan protein dan energi ransum yang berbeda. Hal ini sejalan dengan pendapat Tillman, dkk., (1998) daya cerna ransum dipengaruhi oleh komposisi bahan pakan, daya cerna semu protein kasar, kadar lemak, pengolahan bahan pakan, jenis ternak, dan jumlah konsumsi.
Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh kandungan
protein kasar dalam pakan (Arora, 1995). Pakan yang memiliki kandungan protein rendah umumnya memiliki kecernaan yang rendah, dan sebaliknya pakan dengan
36 kandungan protein tinggi memiliki kecernaan yang tinggi. Kecernaan protein kasar dipengaruhi juga oleh kandungan lignin dari bahan pakan (Crampton dan Harris, 1969). Lignin merupakan polimer yang mengandung protein yang sulit dicerna dan mengandung inti fenolat yang bersifat melindungi serangan mikroba, sehingga dapat menurunkan kecernaan protein. Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada perlakuan R1 dan R2 tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Ransum perlakuan R1 dan R2 memiliki kandungan protein kasar sebesar 12% dengan masing-masing TDN sebesar 60% dan 65%. Dapat dilihat R1 dan R2 memiliki rataan kecernaan protein kasar terendah yaitu 54,75% dan 57,01%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kualitas ransum R1 dan R2 rendah, sehingga konsumsi protein ransum dan protein yang tercerna rendah. Dapat dilihat konsumsi protein kasar ransum perlakuan R1 dan R2 memiliki rata-rata paling rendah yaitu 126,55 gram dan 123,51 gram (Lampiran 6). Menurut Tillman, dkk., (1998) daya cerna semu protein kasar memiliki pengaruh terhadap kecernaan, dimana semakin besar kandungan protein yang terdapat di dalam ransum maka akan semakin besar pula daya cerna semu protein yang dihasilkan. Selain itu konsumsi bahan kering turut berpengaruh terhadap kecernaan suatu zat makanan, karena konsumsi bahan kering sangat berkaitan dengan konsumsi zat makanan lain seperti protein kasar.
Menurut
Ebrahimi, dkk. (2007) konsumsi pakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan protein dan akan menurun seiring dengan meningkatnya kandungan energi. Menurut Parakkasi (1999) bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein semakin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai kecernaan bahan pakan tersebut.
37 Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa R5 memberikan nilai kecernaan protein kasar tertinggi (77,99%) dibandingkan dengan perlakuan lain, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R4 (72,28%) dan R6 (70,84%). Nilai tersebut menunjukkan bahwa jika kualitas ransum semakin meningkat, maka konsumsi protein ransum dan protein yang tercerna pun semakin meningkat.
Menurut
pendapat Sutrisno dkk., (1985) jumlah kandungan protein kasar yang tinggi di dalam ransum akan mengakibatkan perkembangan mikroba rumen menjadi lebih banyak, sehingga menyebabkan pencernaan makanan berjalan dengan baik. Banyaknya jumlah mikroba di dalam rumen, menyebabkan rumen berfungsi maksimal dalam memfermentasi.
Mikroba rumen mampu mendegradasi
karbohidrat bahan makanan baik yang kompleks maupun yang sederhana menjadi asam lemak terbang, demikian pula protein difermentasi menjadi ammonia (Tillman, dkk., 1998). Selain itu mikroba rumen merupakan salah satu sumber protein bagi ruminansia, karena diperkirakan sekitar 60% dari BK mikroba adalah protein (Owens dan Zinn, 1988). Protein akan dipecah oleh pepsin menjadi gugusan yang lebih sederhana, yaitu proteosa dan pepton (Anggorodi, 1994).
Pencernaan protein akan
menghasilkan asam amino yang kemudian diubah menjadi ammonia, VFA, dan CO2 (Arora, 1995). Sekitar 60% protein dirombak oleh enzim proteolitik, mikroba dan protozoa rumen menjadi ammonia dan sisanya lolos ke dalam usus (Satter dan Slyter, 1974). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan protein ransum maka kualitas ransum menjadi semakin baik dan kecernaan pun semakin meningkat. Pada akhirnya kecernaan protein kasarnya meningkat. Kecernaan
38 protein kasar tertinggi (77,99%) adalah pada ransum dengan imbangan 16% protein kasar dan 60% TDN.
4.2
Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Lemak Kasar Kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah jumlah zat makanan dari
suatu bahan pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan (Cheeke, 2005). Zat makanan yang dapat diukur nilai kecernaannya diantaranya adalah lemak kasar. Hasil penelitian mengenai pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal terhadap kecernaan lemak kasar pada domba Garut jantan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Kecernaan Lemak Kasar pada Berbagai Perlakuan Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 R4 R5 R6 ........................................... % ........................................... 1 76,12 77,15 69,56 78,20 79,99 71,96 2 73,59 76,86 85,26 79,99 85,67 73,14 3 78,49 78,71 80,64 77,22 74,50 4 77,24 81,04 79,02 82,65 81,90 80,26 Rata-rata 76,36 78,44 77,94 80,37 81,19 74,96 Berdasarkan pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa pengaruh imbangan protein dan energi dalam ransum komplit berbasis bahan pakan lokal pada domba Garut jantan menghasilkan kecernaan lemak kasar yang bervariasi pada tiap perlakuan. Rataan kecernaan protein tertinggi diperoleh pada R5, yaitu pada ransum dengan 16% protein kasar dan 60% TDN dengan rataan kecernaan lemak kasar sebesar 81,19%, kemudian diikuti oleh R4 (80,37%), R2 (78,44%), R3 (77,94), R1 (76,36%), dan R6 (74,96%).
39 Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan lemak kasar dilakukan analisis ragam seperti yang tertera pada Lampiran 13. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit berbasis bahan pakan lokal dengan imbangan protein dan energi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap kecernaan lemak kasar.
Untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan yang hasilnya tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Lemak Kasar Perlakuan Rataan KcLK Signifikansi (0,05) ………. % ………. R5 81,19 a R4 80,37 a R2 78,44 a R3 77,94 a R1 76,36 a R6 74,96 a Keterangan: Huruf yang sama pada kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) Berdasarkan Tabel 7. dapat dilihat tidak terdapat perbedaan antar perlakuan terhadap kecernaan lemak kasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Wiseman (1990) bahwa kecernan lemak kasar pada umumnya tinggi, karena lemak kasar memiliki struktur kimia lemak yang mudah dicerna. Nilai kecernaan lemak kasar hasil penelitian berkisar antara 74,96% - 81,19%.
Nilai tersebut mendekati hasil
penelitian Johnson (1991) yang menunjukkan bahwa kisaran nilai kecernaan lemak kasar yaitu 80 - 90%. Imbangan protein dan energi dalam ransum mempengaruhi kecernaan lemak kasar.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Dabiri (2016) bahwa peningkatan
40 kandungan energi ransum akan mempengaruhi lemak yang dicerna oleh tubuh ternak. Lemak yang dicerna akan berpengaruh terhadap deposisi lemak tubuh. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida dari gliserol. Dalam pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak, yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air (Anggorodi, 1994). Hasil kecernaan lemak kasar yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan karena lemak yang diserap mengandung trigliserida (lemak sederhana), sehingga lebih mudah dicerna. Trigliserida banyak terdapat dalam konsentrat, sehingga menghasilkan kecernaan lemak kasar yang tinggi. Menurut Maynard, dkk., (1979) bahwa secara umum kemampuan untuk menyerap dan mencerna lemak meningkat tinggi jika : (1) ikatan lemak rantai pendek, (2) lebih banyak ikatan asam lemak tidak jenuh, dan (3) lebih banyak kandungan trigliserida daripada asam lemak bebas. Menurut Toharmat, dkk. (2006) konsumsi bahan kering cenderung berbanding terbalik dengan efisiensi kecernaan komponen lemak.
Meningkatnya konsumsi bahan kering akan menyebabkan
penurunan kecernaan lemak kasar. Lemak dirombak di dalam rumen dan terdiri atas dua tahap, yaitu lemak akan dihidrolisis menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak yang ada dalam rumen langsung masuk ke dalam siklus Krebs dan akhirnya berubah menjadi CO2 dan H2O dimana sebelumnya digunakan sebagai energi dalam berbagai proses biokimia dalam sel (Lehninger, 1993). Sementara gliserol yang lepas dari proses hidrolisis akan difermentasikan dalam rumen dengan bantuan mikroba rumen. Menurut Anggorodi (1994) menyatakan hampir semua lemak yang terdapat dalam makanan dapat dicerna, namun sangat membutuhkan banyak waktu bagi
41 getah pencernaan untuk merombaknya. Saat lemak masuk usus halus, enzim lipase akan memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak akan diserap dari usus halus dengan bantuan empedu dan akan bergabung kembali ke dalam lemak netral dalam dinding usus halus dengan lesitin sebagai zat antara. Menurut Parakkasi (1999) empedu dan cairan pankreas dibutuhkan untuk penyerapan lemak yang optimum pada ruminansia. Sebagian dari lemak yang diserap terutama yang masuk peredaran darah melalui sistem limfatik dapat langsung disimpan dalam jaringan. Sebagian besar dari lemak yang diserap mengalami metabolisme dalam hati.
Hasil akhir katabolisme lemak adalah karbondioksida dan air yang
dikeluarkan melalui ginjal, paru-paru, dan kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa imbangan 12 - 16% protein kasar dan 60 - 65% TDN ransum tidak mempengaruhi kecernaan lemak kasar.