1
RANCANGAN UNDANG-UNDANG RAHASIA NEGARA VERSUS KEBEBASAN PERS (STUDI TENTANG OPINI WARTAWAN DI MAKASSAR) State Secret Bill Versus Press Freedom : A Study on Journalists’ Opinion in Makassar
Nasrullah, Hafied Cangara dan Aswanto
ABSTRACT The aim of the research is to analyze the opinion, understanding, and attitude of journalist in Makassar on State Secret Bill in relation to the process of seeking news items. The methods of obtaining the data were observation, in-depth interview, and documentation. The data were processed by using Miles and Huberman interactive model analysis consisting of three processes, i.e. reduction (simplification), assembling and presentation, and drawing conclusion. The results reveal that journalist in Makassar know about State Secret Bill with various understanding levels. Their knowledge is influenced by types of media, educational background, coverage experience, and interaction with different resource persons especially public officials, professionals, and NGO activist. There are two types of journalist’ attitude. First, the one which refuses the bill emphatically based on the reason that the bill is potential to blunt the power of press critical ability towards the government. Second, the one which accept the bill based on the condition that there must be a revision on the number of article in the State Secret Bill which are considered to be contrary to the public rights to obtain public information. Key Words : Journalist, Studies of opinion, news gathering
ABSTRAK Penelitian ini menganalisis pendapat, pemahaman, dan sikap, wartawan di Makassar terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara dalam kaitannya dengan proses pencarian bahan berita. Pengumpulan data ditempuh melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Data diolah dengan menggunakan analisis model interaktif Miles dan Huberman. Terdapat tiga proses yang berlangsung secara interaktif, yaitu reduksi (menyederhanakan), merakit dan menyajikan, serta menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan umumnya wartawan di Makassar mengetahui tentang RUU Rahasia Negara disertai tingkat pemahaman yang variatif. Pengetahuan mereka tentang hal itu dipengaruhi jenis media, latar belakang pendidikan, pengalaman liputan, serta interaksi dengan beragam nara sumber terutama pejabat publik, kalangan profesional, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Ditemukan dua sikap wartawan. Pertama: menolak dengan tegas dengan alasan RUU tersebut berpotensi menumpulkan daya kritis pers terhadap pemerintah. Kedua: menerima dengan catatan harus ada revisi terhadap sejumlah pasal dalam RUU Rahasia Negara yang dianggap bertentangan dengan hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Kata Kunci : Wartawan, Studi tentang Opini
PENDAHULUAN Meskipun tidak sempat disahkan oleh anggota DPR periode 2004-2009, Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara tetap ditargetkan untuk menjadi produk pembuatan perundang-undangan. RUU yang merupakan inisiatif pemerintah tersebut sudah masuk daftar
2
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode (2009-2014). Hal ini berarti pembahasan dan pengesahan RUU tersebut untuk menjadi Undang-Undang tetap akan dilakukan pemerintah bersama anggota DPR meski menuai penolakan dari publik. Staf Ahli Menteri Pertahanan, Agus Brotosusilo menyatakan bahwa RUU Rahasia Negara bakal diajukan kembali ke DPR untuk tetap dibahas menjadi Undang-undang meski sempat dihentikan sementara pembahasannya sejak awal Oktober 2009. Menteri Pertahanan akan menyampaikan konsep rancangan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta pertimbangan dan izin. Hal itu bisa dilakukan sebagai bagian dari agenda dan program kerja Kabinet Indonesia Bersatu II bersama DPR. (Tempo Interaktif, 22/11 2009). Kebijakan Menteri Pertahanan semasa dijabat Yuwono Sudarsono bertolak belakang dengan kebijakan Menteri Pertahanan sekarang, yakni Purnomo Yusgiantoro. Penarikan naskah RUU Rahasia Negara dari DPR dilakukan oleh Yuwono Sudarsono bulan Oktober 2009, menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR-RI periode 2004-2009. Namun dengan diajukannya kembali RUU tersebut ke DPR, maka dipastikan para anggota legislatif yang membahasnya bersama pemerintah adalah wajah-wajah baru anggota DPR, periode 2009-2014. Dengan kata lain, pemahaman akan adanya penolakan publik terhadap RUU tersebut, perlu dipertegas kembali agar tidak terjadi kesalahkprahan dan memudahkan lolosnya RUU Rahasia Negara menjadi Undang-Undang. Inisiatif Yuwono (semasa masih menjabat Menteri Pertahanan) untuk mencabut draf tersebut dari DPR adalah akibat derasnya kritikan dan tekanan publik, termasuk kalangan pers, akademisi, dan aktivis pro demokrasi. Kritikan yang sangat tajam dari publik adalah kekhawatiran akan terjadinya pembelengguan terhadap pers bila mana RUU Rahasia Negara lolos dan disahkan menjadi sebuah UU. (Kompas.com 8/9/2009). Deklarasi penolakan RUU Rahasia Negara dilakukan oleh Masyarakat Pers Indonesia terdiri atas Dewan Pers, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia, Institut Pengembangan Media Lokal, dan Forum Pemantau Informasi Publik di Gedung DPR RI tanggal 8 September 2009. (Kompas.com 8/9/2009). Salah satu pertimbangan yang mendasari kekhawatiran Masyarakat Pers Indonesia tersebut tercermin pada pada Pasal 49 RUU Rahasia Negara. Bunyi pasal tersebut adalah : ”Korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana denda paling sedikit 50 miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah. Korporasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.” (Kompas, 14 September 2009). Esensi pasal ini sangat tersangkut keberadaan korporasi media. Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi publik. Media massa juga sering menghadapi klaim-klaim rahasia negara dari lembaga pemerintah. Ancaman pidana RUU Rahasia Negara berupa denda Rp 50 miliar - Rp 100 miliar hampir pasti secara ekonomi akan membunuh eksistensi media massa. Apabila itu diterapkan terhadap korporasi media, maka sanksi pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tak lain dan tak bukan adalah bentuk pemberedelan. Maka, RUU Rahasia Negara adalah ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di Indonesia. Apabila disepakati bahwa pers merupakan pilar keempat dari demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka sesungguhnya ancaman terhadap kebebasan pers secara langsung merupakan ancaman juga bagi kehidupan demokarasi di negara Indonesia. Menurut Al Araf, peneliti dari Imparsial, di tengah kecenderungan banyak negara menghapus ancaman hukuman mati, Indonesia justru menambah pasal-pasal pidana yang menjurus ke hal itu. Pencantuman pasal ancaman hukuman mati tersebut tidak hanya bertentangan
3
dengan konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan konvensi hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. (Kompas.com, 10/9/2009). Menurut Direktur Yayasan Sains Estetika dan Etika (SET), Agus Sudibyo, urgensi UU Rahasia Negara cukup diragukan. Problem bangsa Indonesia saat ini terutama sekali bukanlah bagaimana menciptakan mekanisme kerahasiaan atas informasi-informasi pemerintahan guna melindungi kepentingan negara. Namun, sebaliknya, bagaimana mengakhiri dominasi rezim kerahasiaaan dan budaya ketertutupan dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan di semua lini dan semua level. Rezim kerahasiaan dan budaya ketertutupan sejauh ini terbukti masih menjadi kendala utama upaya pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance di Indonesia. (idsps.org/option.com) Dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat konstitusi, maka lahirnya UU Rahasia Negara dapat berimplikasi pada tertutupnya informasi tentang beasiswa pada institusi peguruan tinggi. Tertutupnya informasi beasiswa, sama saja dengan mempersempit akses warga negara untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan bermutu. Hal ini sama saja dengan mempersempit ruang peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks komunikasi hukum dan asas keterbukaan peradilan, guru besar hukum Universitas Hasanuddin Aswanto dalam sebuah kesempatan kuliah hukum pers mengungkapkan bahwa klaim rahasia negara bukan tidak mungkin merambah dunia peradilan yang mestinya transparan. Apabila UU Rahasia Negara tidak ditelaah secara kritis, maka sebuah amar putusan majelis hakim bisa saja dianggap sebagai rahasia negara. Padahal, amar putusan tersebut sangat patut diumumkan pada publik. Rahasia negara bukan hanya problem dalam konteks news gathering, tetapi juga ancaman nyata bagi kaum profesional media. Gerakan reformasi belum berhasil menghapus pasal pembocoran rahasia negara dengan sanksi pidana yang berat dalam KUHP. Maka, sama kondisinya dengan era Orde Baru, pasal-pasal tersebut dapat menyeret wartawan masuk bui karena menyebarkan informasi yang memojokkan pemerintah atau pejabat tertentu, meskipun tidak benarbenar merugikan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional. Berdasarkan uraian tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman wartawan akan esensi dan substansi RUU Rahasia Negara dan ancaman-ancaman kebebasan pers adalah sangat penting. Mengingat, wartawan adalah motor utama dunia pers. Pada sisi lain, tidak terbantahkan bahwa pers adalah pilar keempat dari demokrasi, di samping tiga pilar lainnya, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lemahnya pemahaman dan tidak jelasnya sikap wartawan akan RUU Rahasia Negara mengindikasikan tumpulnya daya kritis wartawan dalam mengawal pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Lemahnya daya kritis wartawan dengan sendirinya menumpulkan peran pers sebagai alat kontrol sosial. Jika fungsi tersebut melemah, maka bukan tidak mungkin upaya pemberantasan korupsi yang tengah digalakkan hanya tinggal slogan. Di samping itu, pemahaman kalangan profesional dan pejabat publik, juga dengan sendirinya berpotensi menghambat cara-cara kerja wartawan dalam menggali, mengolah, dan menyiarkan berita. Berdasarkan uraian tersebut, penulis akan melakukan penelitian pada wartawan, kalangan profesional, dan pejabat publik di Kota Makassar dengan mengacu pada pengertian rahasia negara dan pasal-pasal yang berpotensi menghambat cara kerja wartawan memperoleh informasi sebagai bahan pemberitaan. Penelitian ini berjudul ”Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara versus Kebebasan Pers (Studi Tentang Opini Wartawan di Makassar)”. Rumusan Masalah Untuk memagari uraian dan pembahasan dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana wartawan Makassar mengetahui dan memahami RUU Rahasia Negara? 2. Bagaimana sikap wartawan di Makassar terhadap RUU Rahasia Negara dalam kaitannya dengan proses penggalian bahan berita (news gathering)?
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu, yakni: 1. Menganalisis pemahaman wartawan di Makassar di Makassar terhadap RUU Rahasia Negara. 2. Menganalisis pendapat wartawan k di Makassar dalam kaitannya dengan proses pencarian bahan berita. TINJAUAN PUSTAKA 1. Hakikat Demokrasi Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena pada abad ke-5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yakni “demos” yang berarti rakyat, dan “kratos” atau “cratein” yang berarti kekuasaan/pemerintahan. Secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, menurut M. Masad Masrur (2008), arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara (http://masadmasrur.blog.co. uk/2008/03/20/pengertian-demokrasi). Demokrasi kemudian berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Sebastian Schmieg (2008) menguraikan, salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. (http://sakauhendro.wordspress.com). Dalam hal ini, pers sebagai pilar keempat demokrasi juga ikut berperan mengontrol kinerja ketiga pilar lainnya, sekaligus menjembatani kebutuhan informasi dengan warga negara. Hafied Cangara (2009: 64) mengemukakan bahwa dua dasawarsa terakhir, terminologi demokrasi menggema di hampir semua penjuru dunia, bukan saja menjadi icon suatu negara melainkan juga sebagai simbol perjuangan setiap bangsa yang berusaha mengakhiri tirani otoritarianisme. Perjuangan dan penegakan demokrasi kian gencar bergulir terutama pada pertengahan tahun 1970-an hingga akhir tahun 1990-an. 2. Kebebasan Sebagai Eksistensi Manusia Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah terjaminnya kebebasan untuk berekspresi. Kebebasan berekespresi dapat terwujud dalam berbagai bentuk seperti; berkesenian, kritik sosial, atau menyebarkan gagasan melalui media massa. Di antara media ekspresi dan penyebarluasan gagasan yang banyak dikenal masyarakat adalah pers. Haryatmoko, dosen filsafat Universitas Indonesia, dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (2004: 95) bahkan mengidentikkan demokrasi dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Bila kebebasan pendapat dihambat, maka demokrasi sebagai sistem politik terancam. John Locke seperti dikutip Aidir Amin Daud (2007) berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai karunia berupa hak-hak yang bersifat kodrat. Oleh karena itu tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang dapat mencabutnya. Albert Camus, filsuf eksistensialisme tenar lainnya asal Prancis dalam bukunya, The Rebel, (Aidir 2007) juga mengatakan rasa ingin bebas muncul, dan oleh negara disebut pemberontak (rebel) lebih karena mereka yang selama ini selalu bilang ”ya”, akhirnya memiliki keberanian untuk berkata ”tidak”. Atmakusumah, pengajar pada Lembaga Pers Drs Soetomo Jakarta, dalam artikelnya di Kompas 12 Maret 2005, menyatakan bahwa perkembangan kebebasan di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak lagi wajar, bahkan tidak patut, untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para pencipta karya pemikiran kreatif seperti karya jurnalistik,
5
pendapat, atau ekspresi. Berkat perjuangan yang sangat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa pemerintahan lima abad yang lalu. Ketika dunia cetak-mencetak baru mengawali sejarahnya di Eropa sekitar 500 tahun yang silam, seorang pejabat tinggi Inggris memperingatkan, “Kita harus menghancurkan percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita.” Tetapi, para pencetak terus saja mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan ini hanyalah berbekal keyakinan pada kata-kata para pemikir besar bahwa “Kita harus mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.” (http://www.komisihukum.go.id) Sosiolog Ignas Kleden seperti dikutip Atmakusumah (2009:187) mengatakan bahwa kebebasan pers sangat bergantung pada seberapa jauh pemegang kekuasaan menghormati kepada pers, akan semakin enggan ia melakukan tindakan represif terhadap pers. Tetapi, semakin rendah rasa hormatnya kepada pers, akan semakin mudah ia melakukan tindakan represif terhadap pers. Berdasarkan uraian tersebut bisa dikatakan bahwa masyarakat yang menginginkan kebebasan pers, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat bagi kepentingan masyarakat itu sendiri, perlu mendukung dan memperkuat idealisme pers. Tujuannya adalah agar para pengelola media pers mempunyai kekuatan moral untuk bertahan dari tekanantekanan pihak luar dan agar mereka tetap memiliki rasa percaya diri dan mempertahankan martabatnya. Amien Rais (1986: xxiii) menegaskan bahwa keterbukaan merupakan prinsip penting dalam demokrasi. Rakyat perlu mengetahui tidak saja kualitas para pemimpinnya, melainkan juga situasi yang selalu berkembang yang mempengaruhi kehidupannya dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahnya, entah yang bersifat politik, ekonomi, moneter, pertahanan dan keamanan, pendidikan dan lain sebagainya. Untuk menentukan pilihan yang tepat dan mantap, rakyat perlu informasi yang cukup dan terbuka sehingga terbuka baginya berbagai alternatif dan cakrawala masalah yang dihadapi. Terutama sekali rakyat harus well-informed mengenai politik pemerintahnya sehingga tidak ada sikap apriori menerima atau menolak suatu kebijakan, apalagi bila politik pemerintah itu menyangkut suatu masalah fundamental. Di samping itu, kebutuhan akan komunikasi dan informasi ini juga diperoleh melalui media elektronik seperti radio, televisi dan internet. Media apa pun yang digunakan yang pasti selalu dicari setiap hari, karena hal tersebut sudah merupakan kebutuhan pokok. Dalam perkembangannya, segalanya telah digantikan oleh budaya komunikasi dunia maya, sebuah dunia yang nyaris tanpa batas. Oleh Henry Perritt, fenomena ini dinamakan information superhighway (Yohanis Suhardin: 2009). Adalah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang membawa pemahaman baru tentang konsep kebebasan pers. Di balik itu, kebebasan juga berarti membangun tanggung jawab. Hanyalah orang-orang yang bebas bertindak yang dapat dimintai tanggung jawabnya, menurut psikolog B.F. Skinner. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak bebas bertindak hanya dapat dimintakan tanggung jawabnya kepada pihak-pihak yang tidak memberinya kebebasan. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/9909/13/opini/uupe04.htm) 3. Hak untuk Mengetahui dan Regulasinya Hak untuk mengetahui (right to know) merupakan hak fundamental bagi setiap manusia. Hak atas untuk mengetahui informasi menjadi perhatian utama para perumus Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada tahun 1946, Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. (http://www.kontras.org). Informasi memang sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk berbagai tujuan. Menurut F. Rahmadi (1990: xvii), dengan informasi manusia dapat mengikuti peristiwaperistiwa yang terjadi di sekitarnya, dapat mencerdaskan kehidupannya, memperluas cakrawala pandangannya, dan di samping itu pula dapat lebih meningkatkan kedudukan serta peranannya di dalam masyarakat. Di negara Republik Indonesia, hak atas informasi dijamin dalam Konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan:
6
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal yang termuat dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tersebut pada prinsipnya merupakan sebuah kehendak politik untuk mewujudkan kebebasan informasi dan kebebasan pers di Tanah Air sebagai bagian integral dan manifestasi kedaulatan rakyat yang berbasis pada prinsip demokrasi, keadilan, dan sepermasi hukum. Hal ini juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hari nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 mendefisinsikan pers sebagai berikut: ”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” Artinya, jaminan hukum bagi kebebasan pers di Indonesia tidaklah tertuju pada jurnalisme media pers cetak serta media siaran radio dan televisi semata. Sebab, cakupan Undang-Undang Pers juga mengatur tentang kegiatan dan karya jurnalistik juga dapat menjadi bagian “segala jenis saluran yang tersedia”. Media internet atau media online tentulah juga termasuk bagian dari pers, sepanjang menyangkut kegiatan peliputan dan penyiaran komponen jurnalistiknya. Salah satu unsur penting yang berperan dalam penyebaran informasi adalah pers (Rachmadi, 1990:1). Pers dapat menyampaikan informasi kepada sejumlah besar khalayak dalam waktu yang singkat. Pers yang berfungsi sebagai penyebar informasi dapat berperan dalam menyampaikan kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat. Di samping itu masyarakat juga dapat menggunakan pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat serta kritik (control social). Eksistensi dan peran media massa yang begitu penting dalam kehidupan umat manusia, jelas tidak dapat dipisahkan dari eksistensi informasi itu sendiri. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 3 secara tegas dinyatakan bahwa media massa dalam hal ini Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan dan media pengawasan atau kontrol sosial (Unde, 2010). Yosep Adi Prasetyo (2008) memandang UU KIP telah menciptakan ruang yang cukup bagi terciptanya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian UU KIP mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Di samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. (http://www.antikorupsi.org) Senada dengan itu, Sukriansyah S. Latief (2009) menyatakan, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membuka akses publik terhadap informasi sehingga dapat mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan terciptanya good atau clear governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Dalam negara demokrasi, penyelenggaraan kekuasaan harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada rakyat. Akuntabilitas mengantar tata pemerintahan yang baik (good governance), yang bermuara pada jaminan pemenuhan hak-hak warga. Untuk membangun tata pemerintahan yang baik, pemerintah terbuka (open government) merupakan salah satu pondasinya. Dalam pemerintahan yang terbuka, kebebasan memperoleh informasi publik adalah bagian utama.
7
4. Teori Pendukung Ritzer (2004) dalam Kriyantono (2008 ; xi) menjelaskan teori kritis adalah produk sekelompok neo-Marxis Jerman yang tidak puas dengan keadaan teori Marxian, terutama kecenderungannya menuju determinasi ekonomi. Sampai kemudian the institute of social research, sebuah organisasi yang berkaitan dengan teori kritis resmi didirikan di Frankfurt Jerman pada 23 Februari 1923. Kelompok kritis menggunakan pendekatan yang filosofis, menekankan pada struktur sosial yang lebih luas dimana komunikasi massa itu terjadi, dan fokus pada isu siapa mengontrol suatu sistem komunikasi. Paul F Lazarfeld tahun 1940-an mengatakan, riset kritis berkembang dari pendekatan Marxis pada penelitian masyarakat tetapi menggeser penekanannya dari konflik golongan ke peran dominasi masyarakat. Dalam studi komunikasi, teori kritis mampu memperkayadan mewarnai penelitian komunikasi utamanya kritik penelitian komunikasi terhadap konteks sosiologis yang berkembang di masyarakat (Severin – Tankard, 2007 : 18). Kebebasan pers di suatu negara erat sekali kaitannya dengan sistem politik dan sistem pers yang berlaku di negara bersangkutan. Salah satu pengelompokkan sistem pers yang terkenal di dunia tersajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Peterson, dan Schramm,1956). Para penulisnya, seperti diutarakan Aidir (2007), membagi sistem pers dalam empat kategori yaitu otoriter, liberal, tanggung jawab sosial dan totaliter Soviet. Teori pendukungnya adalah teori tanggung jawab sosial. Teori ini timbul pada awal abad ke-20 sebagai protes terhadap kebebasan mutlak yang diajarkan oleh teeori libertarian karena teori Libertarian ini dipandang telah menimbulkan kemerosotan moral dalam masyarakat. Social Responsibility Theory mempunyai dasar pemikiran bahwa kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori Tanggung Jawab Sosial dianggap sebagai suatu bentuk revisi terhadap ketiga teori sebelumnya yang memberikan tanggung jawab yang amat kurang terhadap masyarakat. Teori Tanggung jawab Sosial mendasarkan pandangannya kepada suatu prinsip bahwa kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern saat ini. Jadi, kebebasan pers menurut teori Tanggung Jawab Sosial harus pula melihat kepentingan umum atau masyarakat lingkungan di mana pers itu berpijak. Dapat dimengerti bahwa kebebasan pers yang merupakan hak asasi itu, harus diiringi dengan kewajiban asasi pula yaitu pertanggungjawaban. Dengan demikian, konstruksinya adalah ”kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Tanggung jawab yang dimaksud tak terpisahkan dari kepentingan publik dalam rangka tegaknya prinsip-prinsip demokrasi. Di bawah teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan dalam hal penyiaran dikontrol oleh badan pengatur mengingat keterbatasan teknis pada jumlah saluran frekuensi yang tersedia. Pers yang bebas dan bertanggung jawab, di Indonesia dikenal sebagai Pers Pancasila yang menurut dewan pers adalah pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilainilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kompromi antara nilai-nilai Pancasila, konstitusi, dan tuntutan demokratisasi melahirkan Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers. Menurut Leonard W. Doob, seperti diutarakan Cangara (2009:156), suatu isu baru dapat dikatakan pendapat umum setelah masyarakat menyatakan pendapatnya. Sepanjang pendapat itu sifatnya orang perorangan, ia baru menjadi pendapat pribadi. Namun, perlu diketahui bahwa pendapat pribadi tidak bisa dipisahkan dengan pendapat umum sebab pendapat umum dibangun berdasarkan pendapat perorangan (pribadi) terhadap isu yang diminati oleh orang banyak. Jadi sebuah pendapat pribadi bisa saja menjadi bagian dari pendapat umum jika seseorang ikut terlibat dalam membicarakan masalah yang banyak dibicarakan oleh masyarakat, apalagi jika pendapat itu dikemukakan lewat media massa. Dalam kehidupan sehari-hari sering kali orang tidak bisa membedakan antara persepsi dan pendapat. Oleh karena itu, Cangara (2009:171) menggambarkan bagaimana proses terjadinya pendapat yang didahului stimuli dan persepsi sebagai berikut:
8
Penalaran
Stimuli
Organisme
Persepsi
Sikap
Pendapat/ Tanggapan
Perasaan
Gambar : Pendapat Umum yang Diawali Stimuli (Cangara, 2009) Cangara lebih jauh menguraikan, stimuli adalah rangsangan yang disentuh oleh satu atau lebih organisme (panca indra) manusia, apakah itu indra mata, telinga, hidung atau kulit. Ketika stimuli itu melakukan persentuhan dengan organisme manusia, akan menimbulkan persepsi dalam bentuk praduga awal. Untuk menciptakan praduga sementara, ion-ion dalam otak manusia melakukan penalaran untuk menilai stimuli tersebut, sementara indra lain dan sentuhan jiwa (internal) manusia melakukan analisis rasa (feeling). Jadi, persepsi tidak saja bersumber dari pandangan visual, melainkan semua indra manusia bisa menimbulkan persepsi sepanjang indra itu tersentuh oleh rangsangan (stimuli). Hasil olah antara rasa dan nalar disatukan dengan sikap berdasarkan pengalaman, latar belakang sejarah, pendidikan akhirnya melahirkan pendapat dan tanggapan. Banyak sekali kekeliruan yang telah terjadi dalam praktik penulisan tesis atau skripsi yang tidak mampu membedakan antara persepsi dan pendapat. Dalam studi komunikasi yang diukur dalam bentuk pernyataan adalah pendapat dan bukan persepsi, meski pendapat pada awalnya harus diawali dengan persepsi, tetapi masih dalam status praduga sementara yang belum dinyatakan. Jadi, analisis persepsi lebih banyak didekati dari perspektif psikologi, sementara analisis pendapat (opini) menjadi kajian komunikasi. Pendekatan dalam teori integrasi-informasi pada komunikator memusat pada cara kita mengakumulasi dan mengorganisir informasi mengenai orang, objek, situasi, dan pemikiran untuk membentuk sikap, atau kecenderungan untuk bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu hal. Pendekatan integrasi-informasi adalah salah satu model yang paling populer dalam pembentukan sikap dan perubahan sikap. Kesadaran atau kognisi digambarkan sebagai sebuah sistem dimana beberapa kekuatan berinteraksi, dimana informasi berpotensi mempengaruhi sistem kepercayaan atau sikap seseorang. Sikap adalah akumulasi dari informasi tentang suatu objek, orang situasi, atau pengalaman. Perubahan sikap terjadi karena adanya informasi baru didapatkan atau karena ia mengubah pendapat seseorang tentang bobot atau valensi dari informasi lain. Informasi apapun biasanya tidak memiliki pengaruh berarti karena sikap terdiri atas sejumlah kepercayaan yang bisa menyangkal informasi baru tersebut. Ada dua variabel yang keliatan cukup penting dalam mempengaruhi perubahan sikap. Yang pertama adalah valensi, atau arah. Valensi mengacu pada apakah informasi tersebut mendukung kepercayaan anda atau menolaknya. Ketika informasi mendukung kepercayaan anda, ia memiliki valensi “positif”. Jika tidak maka ia memiliki valensi “negatif”. Variabel kedua yang mempengaruhi dampak informasi adalah bobot penilaian anda terhadap informasi. Bobot adalah fungsi kredibilitas. Jika anda menganggap informasi tersebut benar, maka informasi tersebut dinilai memiliki bobot yang tinggi; jika tidak maka dianggap memiliki bobot yang rendah.
9
Jadi valensi berdampak pada bagaimana informasi mempengaruhi sistem kepercayaan anda, dan bobot berdampak pada seberapa besar pengaruhnya. Salah satu ahli teori integrasiinformasi yang terkenal adalah Martin Fishbein. Ia fokus pada sifat dasar yang kompleks dari sikap, yang dikenal dengan teori nilai-ekspektansi. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dipilih dengan pertimbangan Kota Makassar merupakan salah satu wilayah yang menjadi pusat pengembangan pers di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa surat kabar lokal dan nasional yang terbit di kota ini. Secara umum surat kabar yang terbit di Makassar tergabung ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: Jawa Pos Group (Fajar, Berita Kota Makassar, dan Ujung Pandang Express), Kompas Group (Tribun Timur dan Kompas), dan MNC Group (Seputar Indonesia). Surat kabar yang tidak masuk dalam kelompok ini adalah Media Indonesia, Suara Pembaruan, Republika, Bisnis Indonesia, Jurnal Nasional, dan The Jakarta Post. Di samping itu, hampir semua stasiun televisi nasional juga telah menugaskan dan menempatkan perwakilan wartawannya di Kota Makassar. Demikian pula radio dan media online. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini direncanakan berlangsung selama satu bulan, yaitu April - Mei 2010. Penelitian dilakukan terhadap wartawan yang mewakili tiga jenis media mencakup media cetak, media elektronik (TV/radio), dan wartawan online. Di samping itu, untuk memperkaya spektrum dan pembahasan, peneliti juga akan mewawancarai kalangan profesional yang relevan, termasuk pengacara dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Bahkan, peneliti juga mewawancarai pejabat publik dalaam lingkup, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar. Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap dan perilaku dalam lingkungan alamiah ketimbang dalam lingkungan yang agak artifisial seperti dalam survei atau eksperimen. (Mulyana, 2007 : 3). Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada wartawan. Akan tetapi, demi menghindari subjektivitas dalam penelitian, peneliti juga berupaya mencari penyeimbang dengan mewawncarai pejabat publik, kalangan profesional, dan aktivis LSM di Kota Makassar. Aspek yang diteliti adalah pemahaman, sikap, dan pendapat mereka terhadap Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara terutama dalam kaitannya dengan tuntutan keterbukaan informasi dan jaminan kebebasan pers yang telah tertuang dalam konstitusi dan perundang-undangan ternasuk Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Teknik Analisis Data Data dalam penelitian ini menggunakan analisis data model interaktif Miles dan Huberman (dalam Islami, 2001) yaitu terdapat tiga proses yang berlangsung secara interaktif. Pertama reduksi data, yaitu proses memilih, menfokuskan, menyederhanakan, dan mengabstraksikan data dari berbagai sumber data, misalnya dari catatan lapangan, dokumen, arsip dan sebagainya. Selanjutnya proses mempertegas, memperpendek, membuang yang tidak perlu, menentukan fokus dan mengatur data sehingga kesimpulan bisa dibuat. Kedua, penyajian data, seperti merakit data dan menyajikannya dengan baik supaya lebih mudah dipahami. Penyajian bisa berupa matriks, gambar/skema, jaringan kerja, tabel dan seterusnya. Ketiga, menarik kesimpulan/verifikasi, proses penarikan kesimpulan awal masih belum kuat, terbuka dan skeptis. Kesimpulan akhir dilakukan setelah pengumpulan data berakhir. Verifikasi diperoleh lewat proses negosiasi/konsensus antarsubyek, berdiskusi dengan sejawat, memeriksa data antaranggota.
10
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pemahaman Terhadap RUU Rahasia Negara Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat diuraikan bahwa pada umumnya wartawan di Kota Makassar yang aktif mencari, mengolah, menyunting, dan menyiarkan berita telah cukup memenuhi syarat sebagaimana ilmuan. Hal itu ditandai dengan adanya pengetahuan yang memadai, kecerdasan intelektual, tanggungjawab sosial, dan sikap kritis. Terkait dengan pengetahuan akan keberadaan RUU Rahasia Negara, wartawan Makassar yang ditemui peneliti umumnya pernah mendengar dan membaca pasal demi pasal yang terkandung dalam RUU ini. Meski sebagian belum pernah membaca secara terinci isi dari draf RUU RN, namun mereka menyadari bahwa sejumlah pasal tersebut bisa mengancam kelanggengan nilai-nilai demokrasi, transparansi publik, good governance, pemberantasan korupsi, dan kebebasan pers yang saat ini ada. Dalam pandangan peneliti, kebijakan publik yang transparan dan partisipatif dalam pemahaman wartawan Makassar akan menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula. Salah satu kunci utama dari pengelolaan kebijakan yang berkualitas adalah tingginya intensitas partisipasi publik. Sebab kesahihan kebijakan publik dari pemerintah terletak disana. Dialog dengan publik adalah kebenaran suatu kebijakan dan menjadi sarana utama untuk kebijakan yang siap digunakan. Perbincangan mengenai partisipasi dalam pengelolaan sektor publik telah lama mendapat perhatian serius di berbagai Negara. Pengikutsertaan masyarakat pers sebagai representasi masyarakat yang terwujud dalam perencanaan yang partisipasi dapat membawa keuntungan substantive bagi pemerintah atau penentu kebijakan, dimana keputusan publik yang diambil akan memberi rasa kepuasaan dan dukungan publik yang cukup kuat terhadap suatu proses pembangunan. Keterlibatan masyarakat pers dalam proses penentuan kebijakan publik yang dapat memberikan nilai strategis bagi masyarakat pada umumnya, dan hal ini menjadi salah satu syarat penting dalam upaya pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Mencermati proses kelahiran RUU Rahasia Negara kemudian membandingkannya dengan prinsip demokrasi berdasar UNDP 1997, maka boleh dikatakan keberadaan RUU ini sudah memenuhi prinsip demokratisasi, karena tahapannya sudah melewati berbagai jenjang termasuk uji publik. Hanya saja, proses penyusunan yang dianggap tidak transparan membuat sejumlah prinsip demokrasi terabaikan (Jumadi, dkk, 2009). Dari Sembilan prinsip regulasi yang demokratis; 1) menyangkut partisipasi, 2) supremasi hukum, 3) transparansi, 4) cepat tanggap, 5) membangun konsensus, 6) kesetaraan, 7) efektif dan efesien, 8) bertanggungjawab, 9) memiliki visi strategis, terdapat sejumlah prinsip demokrasi yang belum mengiringi kehadiran RUU RN. Soal pelibatan partisipasi yang belum menyentuh seluruh stakeholders di daerah. Akhirnya supremasi hukum yang menempatkan prinsip keadilan untuk semua, juga sulit ditegakkan. Terlebih jika proses kelahiran sebuah produk regulasi berjalan secara tidak transparan, kondisi ini otomatis membuat konsensus yang diharapkan lahir di kalangan masyarakat dan pemerintah tidak akan terbangun secara maksimal. Konsensus sulit terbangun disebabkan belum adanya kesetaraan dan kesempatan berkontribusi dalam sebuah regulasi yang diberikan terhadap kelompok kepentingan dalam hal ini masyarakat pers, LSM, kalangan kampus. Jikalau hal ini terus dipaksakan maka keberadaan RUU RN menjadi UU berjalan tidak efektif dan efesien. Padahal dalam berbagai kesempatan, pemerintah selalu menyatakan tekadnya mewujudkan demokratisasi dan kebebasan pers. Pada sisi lain terlihat bahwa demokratisasi itu hanyalah jargon semata. Dalam RUU RN di mata wartawan dan LSM terlihat rumusan- rumusan pemerintah tentang sistem kerahasiaan negara yang mengandung spirit kembali ke sistem media otoritarian atau zaman Orde Baru. Truamatik akan bangkitnya kembali Orde Baru demikian kuat. Dalam pendekatan teori kritis, sebagaimana diusung Honneth, sebagai bagian dari masyarakat intelektual dan kritis sebagaimana seorang ilmuan, wartawan adalah orang yang selalu
11
skeptis, tidak mudah percaya begitu saja atas apa yang dilihat, di dengar, dan diraba. Wartawan tidak boleh cepat puas dengan informasi yang sudah diterimanya. Ia harus punya jiwa petualang dan semangat keilmuan. Sikap tersebut tentunya berguna juga bagi masyarakat. Keragu-raguan akan menimbulkan gairah untuk terus mencari kebenaran. Sebab, kebanaran adalah sesuatu yang bersifat sementara dan terus mempunyai peluang untuk disempurnakan. Wartawan yang cerdas adalah orang yang selalu diliputi ketidakpercayaan akan informasi yang diterimanya. Wartawan tidak boleh menerima apa adanya termasuk rencana pemerintah menggodok RUU Rahasia Negara. Wartawan memiliki kesamaan sifat dengan para pemikir di dalam ranah teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Dalam hal ini mayoritas pemikir teori kritis selalu bersikap negatif dan curiga terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan social dan ketidakadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambat perkembangan kultural suatu masyarakat. 2.Sikap Terhadap RUU Rahasia Negara Kini, setelah hampir 12 tahun pers menikmati kebebasannya, muncul lagi sebuah usulan regulasi bernama RUU Rahasia Negara. Dari hasil penelitian terungkap, kalau keberadaan RUU RN dianggap menjadi sebuah ancaman bagi kemerdekaan pers. "Rahasia Negara!" Kata ini begitu familier ditelinga komunitas wartawan, sekaligus sangat problematis dalam konteks proses penggalian informasi jurnalistik. Kata itu sering dilontarkan pejabat atau pegawai badan publik sebagai alasan untuk tidak memberikan informasi, dokumen atau data yang diminta pers. Alasan yang seringkali, bahkan hampir selalu diutarakan tanpa penjelasan masuk-akal mengapa suatu informasi dirahasiakan dan apa pertimbangan yang mendasarinya. Klaim rahasia negara tidak benar-benar untuk melindungi informasi-informasi yang jika dibuka, memang menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional. Klaim itu secara latah juga dilakukan terhadap informasi yang justru harus diberitahukan kepada masyarakat, diwacanakan melalui ruang media. Misalnya informasi tentang RAPBN/RAPBD, kebijakan badan publik, rencana kebijakan, rencana proyek, rencana kunjungan pejabat, belanja rutin, aktivitas internal badan publik, persidangan DPR/DPRD. Karena menyangkut pelaksanaan mandat pemerintahan dan penggunaan dana negara, jelas sekali bahwa informasi-informasi itu harus terbuka bagi masyarakat. Namun pemerintah sering menghambat akses media atas informasi tersebut, dengan alasan melindungi rahasia negara. Masyarakat pers dalam penelitian ini percaya bahwa Rahasia Negara bukan hanya problem dalam konteks news gathering, namun juga ancaman nyata bagi profesional media. Para informan menyadari bahwa sejumlah pasal dalam RUU RN dapat menyeret wartawan masuk bui karena menyebarkan informasi yang memojokkan pemerintah atau pejabat tertentu, meskipun tidak benar-benar merugikan kepentingan perfahanan dan keamanan nasional. Dalam teori opini publik (pendapat umum) disebutkan bahwa pendapat umum adalah pendapat yang beredar di kalangan masyarakat terhadap suatu isu yang dipersoalkan oleh banyak orang. Pendapat umum sering kali dinilai sebagai pendapat atau kehendak orang banyak yang dinyatakan. Bisa dalam bentuk gosip, humor, saran atau kritik yang tidak sampai. Banyak penguasa tidak mengetahui hal itu sebab ia hanya mendapat laporan dari bawahannya, sementara orang yang ada di luar kekuasaan banyak memberi penilaian. Melalui pendapat yang dikumpulkan itu, para pengambil kebijakan apakah dalam bidang pemerintahan, bisnis atau partai mestinya dapat melihat kecenderungan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Kecenderungan masyarakat bisa tertangkap oleh tulisa koran, rekaman suara radio dan tangkapan mata kamera televisi. Sikap yang muncul dari wartawan dan kalangan profesional bisa diartikan bagaimana kecenderungan mereka orang untuk memikirkan suatu masalah. Apakah hal itu mereka dukung, menentang atau netral. Dari sikap ini lahirlah pendapat yang dinyatakan wartawan berdasarkan sikapnya. Sikap kemudian menjelma menjadi pendapat umum yang dipengaruhi oleh pengetahuan, budaya, dan kepercayaan yang dianut seseorang. Dalam praktik komunikasi, usaha untuk membentuk dan mengubah pendapat seseorang biasanya diawali dengan mencoba memberi
12
wawasan untuk memengaruhi sikapnya. Sikap lebih sulit diubah daripada pendapat jika hal tersebut terkait dengan norma, pengetahuan, kepercayaan, agama, dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakatnya. Inilah yang terbentuk dalam pemikiran para wartawan di Makassar terhadap keberadaan RUU RN. Dalam penelitian ini, terdapat 3 sikap yang mencuat dari diri informan; pertama; Mereka yang menolak tegas RUU RN dengan alasan bertolak belakang dengan UU Pers, UU Ham, dan UU KIP. Kedua, Mereka yang menerima dengan catatan dengan cara pemerintah merevisi sejumlah pasal yang mengekang kebebasan pers, dan ketiga, Mereka yang berharap RUU RN disinkronkan dengan UU KIP. Teori Tanggung Jawab Sosial mendasarkan pandangannya kepada suatu prinsip bahwa kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern saat ini. Jadi, kebebasan pers menurut teori ini, harus pula melihat kepentingan umum atau masyarakat lingkungan di mana pers itu berpijak. Kiranya dapat dimengerti bahwa kebebasan pers yang merupakan hak asasi itu, harus diiringi dengan kewajiban asasi pula yaitu pertanggung-jawaban. Dengan demikian, konstruksinya adalah ”kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Dalam hal ini, tanggung jawab yang dimaksud tak terpisahkan dari kepentingan publik dalam rangka tegaknya prinsip-prinsip demokrasi. Di bawah teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, perilaku narasumber dan konsumen, serta kode etik profesional. Semua alat alat kontrol tersebut sudah pasti berpijak pada masyarakat, di mana pers tersebut berpijak dan beroperasional. Tidak terkecuali pula, sistem politik, sistem hukum, dan sistem ekonomi yang melingkupi tempat berpijak dan wilayah operasional pers tersebut. Teori tersebut amat relevan dengan pengetahuan dan sikap wartawan di Makassar atas munculnya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Semangat untuk mengetahui esensi kehadiran sebuah regulasi berikut eksesnya sesungguhnya mencerminkan komitmen mereka untuk memenuhi tuntutan tanggung jawab sosial. Tuntutan tanggung jawab sosial tersebut sejalan dengan peran dan fungsi pers, mulai dari fungsi informasi, edukasi, kontrol sosial, menghibur, dan lembaga ekonomi. Jika bukan karena tuntutan tanggung jawab sosial, manalah mungkin wartawan tersebut sudi berususah payah mengkritisi Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara di tengah ketatnya tuntutan tugas dari lembaga di mana mereka bekerja. Jika RUU Rahasia Negara tidak dikritisi, maka pasal-pasal yang memunginkinkan pers dibredel, dibangkrutkan, atau dibungkam dengan memenjarakan penanggungjawabnya, bakal lolos begitu saja masuk ke DPR hingga akhirnya terbit sebagai produk legislasi bernama UndangUndang Rahasia Negara. Kemampuan wartawan di Makassar mengkritisi RUU Rahasia Negara sesungguhnya juga tidak lepas dari upayanya mendorong terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu asas yang dipakai menuju tata pemerintahan yang baik adalah “asas keterbukaan”. Di setiap lini pemerintah dituntut memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan terbukanya akses informasi publik. Sejalan dengan itu lahirlah beberapa Undang-Undang yang mendukung. Misalnya, Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keterbukaan informasi amat relevan dengan peran dan tanggung jawab sosial pers. Pasal-pasal Krusial dalam RUU Rahasia Negara Sejumlah informan yang ditemui memplesetkan karya tokoh emansipasi - RA Kartini dengan menyatakan, kalau kehadiran RUU RN ibaratnya, “habis terang terbitlah gelap” artinya bahwa sejenak kita dalam terang keterbukaan informasi, sudah kembali menghadang bayangbayang kegelapan rezim kerahasiaan Negara. Mengapa RUU RN berpotensi mengancam keterbukaan informasi dan kebebasan pers? Inilah pertanyaan yang mungkin juga ditanyakan tidak hanya masyarakat pers, aktivis LSM, dan kalangan professional, tetapi juga menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat. Berikut sejumlah alasan yang dikemukakan para informan serta hasil elaborasi Penulis atas sejumlah pasal yang dianggap “bermasalah” dalam UU RN.
13
Pertama, defenisi tentang rahasia Negara dalam ketentuan umum dalam Pasal 1 ayat 1 RUU RN dianggap sangat umum dengan parameter dan tidak jelas. Hal ini memberi peluang kepada institusi formal atau badan publik di berbagai level untuk semena-mena memutuskan klaim rahasia Negara. Klaim ini bisa secara ‘latah’ dilakukan terhadap informasi yang justru harus dibertahukan kepada masyarakat dan diwacanakan melalui media massa. Misalnya tentang informasi RAPBN/RAPBD, kebijakan badan publik, belanja rutin, rencana kebijakan, rencana proyek, rencana kunjungan pejabat, aktivitas internal badan public, persidangan di DPR/DPRD. Semua persoalan ini menyangkut pelaksanaan mandate pemerintah dan penggunaan dana Negara, dan semua informasi ini harus terbuka kemasyaralat sebagaimana diamanatkan dalam UU Pers dan UU KIP. Selain itu, defenisi rahasia negara dirumuskan secara luas dan elastis, dimana lingkup rahasia negara masih tetap mencakup informasi, benda, dan aktivitas. Jika merujuk dengan standar internasional tentang kerahasiaan negara, rahasia negara seharusnya spesifik hanya mengatur halihwal informasi saja, tidak usah mencakup benda dan aktivitas. Pengalaman berbagai negara menunjukkan, sangat problematis untuk melebeli aktivitas sebagai rahasia negara. Di mana dalam praktiknya lebih banyak merugikan kepentingan masyarakat termasuk aktivitas liputan investigasi yang dilakukan para wartawan. Kedua, masih dalam pasal 1 RUU RN khususnya dalam ayat 8 dan ayat 13, sorotan tentang ruang lingkup instansi yang berwenang melakukan klaim rahasia Negara juga dianggap terlalu luas. Yang dimaksud instansi dalam RUU RN bisa mencakup semua instansi pemerintah di semua lini dan semua level. Dapat dibayangkan betapa bermasalahnya jika yang berhak melakukan klaim rahasia negara tidak saja institusi kepresidenan, pejabat-pejabat tinggi negara, departemen pemerintah, tetapi juga Gubernur, Bupati, sampai camat, lurah, dan seterusnya. Ketiga. meskipun sebenarnya dalam defenisi rahasia Negara dalam pasal 1 sudah terjadi pengerucutan lingkup rahasia Negara, namun dalam pasal 6 RUU RN defenisi rahasia Negara masih dirumuskan secara luas dan tidak spesifik. Misalnya mencakup “informasi yang berkaitan dengan alokasi anggaran, pembelanjaan dan asset pemerintah yang tepat untuk tujuan keamanan nasional. Keempat, Bahaya lainnya adalah kerahasiaan Negara hanya dilakukan secara kategorikal, pengelompokan murni, tidak diikuti dengan uji konsekuensi. Apak konsekuensinya jika informasi itu dibuka ke public? Apa benar informasi itu harus dirahasiakan? Selain itu informasi ini tidak melewati uji public. Mana yang lebih menguntungkan bagi masyarakat, informasi yang dibuka atau dirahasiakan? Selain itu, rahasia negara dengan ruang lingkupnya demikian luas dan elastis, tidak dapat dibuka meskipun untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Bahkan rahasia negara tetap tidak dapat dibuka meskipun dibutuhkan sebagai alat bukti dalam proses pengadilan, kecuali dengan seizin Presiden. Sebagaimana yang terkandung dalam pasal 37 dan 38 RUU RN. Kelima, pasal 41 RUU RN tidak mencerminkan regulasi yang memberi perlindungan terhadap masyarakat (publik). Dalam proses pengadilan tentang kasus yang dianggap melanggar rahasia negara, dilakukan secara tertutup. Padahal di era reformasi asas kesebandingan hukum, asas keterbukaan, serta asas perlindungan terhadap masyarakat tetap harus diutamakan. Terlebih kondisi peradilan di Indonesia dimata publik sangat memprihatinkan. Jual beli kasus dan tukar menukar tahanan menjadi contoh kecil bagaimana problematisnya sistem peradilan kita. Pasal diatas juga secara tidak langsung mengancam kebebasan pers, sebab pers tidak diberi akses menyampaikan informasi yang benar dalam sebuah proses pengadilan. Klaim rahasia negara bukan tidak mungkin merambah dunia peradilan yang mestinya transparan. Apabila UU Rahasia Negara tidak ditelaah secara kritis, maka sebuah amar putusan majelis hakim bisa saja dianggap sebagai rahasia negara. Padahal, amar putusan tersebut sangat patut diumumkan pada publik. Kerahasiaan negara dalam praktiknya berpotensi lebih banyak digunakan pemegang kekuasaan untuk melakukan kebohongan publik, demi menyembunyikan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. Terlebih tidak ada kontrol pers atas mekanisme pengadilan. Rezim kerahasiaan dan budaya ketertutupan sejauh ini terbukti masih menjadi kendala utama upaya pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance di Indonesia.
14
Keenam, isu tentang ketentuan pidana dan pidana denda yang tersebar di pasal 44, 45, 46, dan 47, diakui sejumlah informan menjadi masalah tersendiri. Pasal tersebut bisa menyeret wartawan masuk bui karena menyebarkan informasi yang memojokkan pemerintah atau pejabat tertentu, meskipun sebenarnya tidak benar-benar merugikan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional. Selain sanksi pidana penjara, pidana denda juga sangat memberatkan. Besarnya nilai pidana denda tidak memiliki pertimbangan dan alasan filosofis dan yuridis. Besarnya pidana denda jelas sangat memberatkan wartawan, terlebih yang median massa “miskin” di daerah. Sanksi pidana haruslah menjadi pilihan terakhir. Ketentuan pidana yang tersebar di KUH Pidana sudah cukup digunakan untuk menegakkan wibawa RUU RN. Pertanyaannya kemudian, apakah yang melatarbelakangi sanksi pidana ini? Dalam rangka membangun wibawa UU atau memang bermaksud membungkan daya kritis dan kontrol sosial dari pers kita? Ketujuh, ketentuan pidana rahasia negara sangat eksesif, sumir dan tidak memperhitungkan perlindungan hukum atas hak publik atas informasi. Tidak seimbang antara ketentuan pidana rahasia negara dan ketentuan pidana dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Jika sanksi untuk pelanggaran atas rahasia negara minimal hukuman mati, maka sanksi pidana untuk pelanggaran keterbukaan informasi maksimal 2 tahun, apa pun jenis kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Ketentuan pidana rahasia negara sama sekali tidak mengatur sanksi pidana untuk badan publik/pejabat publik. Kondisi ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip persamaan dimata hukum. Kedelapan, ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 49 RUU RN yang menyinggung soal korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia Negara dipidana dengan denda paling sedikit 50 miliar dan paling banyak 100 miliar rupiah. Bahkan korporasi ini bisa saja dibekukan, dicabut isinnya, bahkan dianggap sebagai korporasi yang terlarang. Menyimak pasal ini trauma pers Indonesia di zaman rejim Orde Baru pasti terulang mengingat kala itu, hidup matinya pers dikontrol dengan ‘monster’ bernama SIUPP. Ketika membaca pasal ini, yang dibayangkan tentang keberadaan korporasi adalah media massa. Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi publik. Media massa juga adalah korporasi yang paling sering menghadapi klaim-klaim rahasia Negara dari lembaga pemerintah. Jika RUU RN diterapkan, pidana denda Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar hampir pasti akan membunuh eksistensi media massa kita, terutama media massa yang berada di daerah. Jika sanksi ini diterapkan terhadap korporasi media, sanksi pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk pembreidelan. Maka jelas, RUU RN menjadi ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi terlebih ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.
PENUTUP Kesimpulan 1. Umumnya wartawan di Makassar mengetahui tentang Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara disertai dengan tingkat pemahaman yang variatif. Pengetahuan mereka tentang hal itu berdasarkan jenis media, latar belakang pendidikan, pengalaman liputan, serta interaksi dengan beragam nara sumber terutama pejabat publik, kalangan profesional, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. 2.
Umumnya wartawan di Makassar menyikapi Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara dengan dua varian. Yakni: Pertama, menolak dengan tegas dengan alasan RUU tersebut berpotensi menumpulkan daya kritis pers terhadap jalannya pemerintahan dan melemahkan fungsi pers dalam penyebarluasan informasi. Kedua, menerima dengan catatan merevisi sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang dianggap
15
bertentangan atau tidak selaras dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 3. Sikap penolakan wartawan terhadap Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara antara lain juga muncul karena trauma akan berulangnya kembali paradigma rezim Orde Baru yang anti demokratisasi. Saran 1.
Sebagai kaum profesional yang mengemban fungsi informasi, edukasi, dan kontrol sosial, sebaiknya wartawan tidak larut pada rutinitas tanpa membekali diri dengan pemahaman dan wawasan yang luas, terutama berkait dengan arah kebijakan publik, dinamika, dan sistem politik yang berkembang.
2. Dalam merumuskan sebuah kebijakan publik, termasuk perundang- undangan, hendaknya pemerintah dan DPR mencermati aspirasi dan dinamika masyarakat, terutama para stakeholders (pemangku kepentingan), yakni pers, profesional, aktivis LSM, dan akademisi. DAFTAR PUSTAKA Atmakusumah, 2009. Tuntutan Zaman Kebebasan Pers Yayasan Tifa, Jakarta.
dan Ekspresi. Spasi & VHR Book
Cangara, Hafied, 2009. Komunikasi Politik, Konsep Teori, dan Strategi. Rajawali Pers, Jakarta. Cangara, Hafied, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Griffin, EM. A First Look at communication theory. San Diego University. Haryatmoko, 2003. Etika Politik dan Kekuasaaan.Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Hamijoyo, Santoso. S. 2005. Komunikasi Partisipatoris. Humaniora, Bandung. John, Little. 1996. Theories of Human Communication. Wedswort Publishing Company, America Kriyantono, Rachmat. 2008. Riset Komunikasi. Kencana, Jakarta. Mc Luhan, Marshall. The Global Village. 1989. Oxford University Press, New York. ______, 2000. Titian Jalan Demokrasi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Rachmadi, F. 1990, Perbandingan Sistem Pers, Grameda, Jakarta. __________,2008, Undang-Undang RI tentang ”Keterbukaan Informasi Publik”. Pustaka Fahima. Yogyakarta. ___________,2002. Sejarah Pers Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. ___________, 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. ___________,1986, Demokrasi dan Proses Politik. LP3ES, Jakarta. ___________,2008, Mengelola Kebebasan Pers. Dewan Pers-Yayasan Tifa. ___________,2008, Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. ___________,2008, Komunikasi Massa. Widya Padjadjaran, Bandung