Naskah Akademik
RANCANGAN QANUN KOTA SABANG TENTANG PEMBENTUKAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA KOTA SABANG A. Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan
mengganggu
kehidupan
dan
penghidupan
masyarakat, baik yang disebabkan oleh faktor alam berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor, dan/atau faktor nonalam berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit, maupun faktor manusia yang meliputi konflik sosial antar-kelompok atau antarkomunitas
masyarakat,
dan
teror,
sehingga
mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.1 Menyadari akan hal tersebut, sejak tahun 2001 pemerintah telah berupaya untuk mengatasinya dengan mengeluarkan Keppres Nomor
3
Tahun
2001
tentang
Badan
Koordinasi
Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Selanjutnya diikuti dengan Keppres No. 111 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001, yang menghendaki lahirnya Kepmendagri No. 131 Tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah. Dalam praktek selama ini dirasakan institusi yang telah dibentuk
untuk
menangani
masalah-masalah
yang
berkaitan
dengan penanggulangan bencana, baik di pusat (Bakornas PBP), di 1
Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 1 s/d 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
1
tingkat provinsi (Satkorlak PBP), maupun di tingkat kabupaten/kota (Satlak PBP) belum mampu menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Keadaan ini disebabkan oleh ketentuan yang mengatur tentang penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat
serta
kebutuhan
bangsa
Indonesia,
sehingga
menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.2 Pada dasarnya pelaksanaan penanggulangan bencana bukan hanya sekedar distribusi sembako, melainkan suatu kegiatan yang sangat konfrehensif sehingga diperlukan upaya secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Untuk itu dibutuhkan partisipasi
masyarakat
dan
pemerintah
dengan
semaksimal
mungkin memberdayakan potensi dan sumber daya setempat. Guna mewujudkan
efektifitas
dan
efisiensi
penyelenggaraan
penanggulangan bencana perlu diatur mekanisme dalam suatu sistem yang dapat mendorong kemandirian dan kewaspadaan masyarakat,
sehingga
masyarakat
memiliki
kemauan
dan
kemampuan melakukan berbagai upaya antisipatif dan partisipatif, secara terpadu melalui swadaya masyarakat yang didukung oleh institusi yang mapan dari pemerintah, khusus untuk penanganan masalah bencana. Untuk mengatasi kendala tersebut, pemerintah kemudian mengupayakan kembali masalah penanganan bencana ini dengan dikeluarkan
Undang-Undang
No.
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana. Dalam undang-undang tersebut antara lain ditentukan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi 2
Lihat UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; pada bagian konsidenran menimbang huruf c.
2
penanggung bencana”3.
jawab
dalam
Selanjutnya,
penyelenggaraan
untuk
memenuhi
penanggulangan maksud
tersebut
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menghendaki pembentukan suatu institusi yang menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh yang mandiri, baik pada tingkat pemerintah maupun pada pemerintah daerah.4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 menetapkan bahwa pembentukan
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN)
paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya
undang-undang
tersebut, dan paling lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). 5 Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 ditentukan bahwa BPBD terdiri atas: a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 ditegaskan bahwa pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja badan penanggulangan bencana daerah diatur dengan peraturan daerah. Atas dasar ketentuan tersebut, maka perlu tindak lanjut untuk melakukan langkah-langkah untuk 3
Lihat ketentuan Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ditentukan: “Pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana”. Selanjutnya ketentuan Pasal 18 (1) UU tersebut ditentukan: “Pemerintah daerah membentuk badan penanggulangan bencana daerah”. 5 Ketentuan Pasal 83 UU No. 24 Tahun 2007 ditetapkan: “Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 6 (enam) bulan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah terbentuk dan badan penanggulangan bencana daerah paling lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk”. 4
3
membentuk
Badan
Penanggulangan
Bencana
Daerah
dengan
perencanaan pembentukan Qanun Kota Sabang.
B. Permasalahan Inti dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) jo. Pasal 25 UU No. 24 Tahun 2007 yang telah dikemukakan di atas, bahwa pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja BPBD diatur dengan Peraturan Daerah (Qanun). Sedangkan menyangkut pejabat yang akan memimpin badan tersebut mengacu kepada ketentuan yang telah ditetapkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan ditentukan
bahwa
Bencana. badan
Dalam
undang-undang
penanggulangan
bencana
tersebut provinsi
dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib, dan pada
kabupaten/kota dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Pada pemerintah provinsi, hanya ada satu jabatan eselon Ib yaitu sekretaris daerah, dan demikian juga pada pemerintah kabupaten/kota, jabatan eselon IIa selama ini hanya ada satu jabatan yaitu sekretaris daerah kabupaten/kota.6 Dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah ditentukan “BPBD dipimpin oleh Kepala Badan, secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah”. Senada dengan itu, di dalam Rancangan Peraturan Kepala BNPB tentang Pedoman Pembentukan BPBD,
6
Pelajari PP No.100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Jabatan Struktural. Jo. PP 47/2005 tentang Perubahan atas PP 29/1997 tentang PNS yang menduduki jabatan rangkap.
4
Bagian Susunan Organisasi pada huruf a angka 1) ditetapkan “Kepala BPBD secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah”. Menurut ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dalam Jabatan Struktural disebutkan, PNS yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No. 29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan rangkap ditegaskan, bahwa PNS dilarang menduduki jabatan rangkap. Pada dasarnya larangan rangkap jabatan bertujuan agar pejabat konsentrasi dan bertanggung jawab pada satu jabatan yang diembannya. Di samping itu profesionalisme PNS dilandasi oleh prinsip pendapatan tunggal (single income principle). Sehingga di antara PNS dapat terjaga agar tidak terjadi kesenjangan-kesejangan dalam hal penerimaan gaji berdasarkan jenjang kepangkatan. Selain itu, secara yuridis, baik ketentuan dari Permendagri maupun Rancangan Peraturan Kepala BNPB tersebut di atas, tampak sudah terjadi benturan dengan ketentuan PP No. 100 Tahun 2000 jo. PP No. 47 Tahun 2005. Konflik normatif dari ketentuanketentuan tersebut menimbulkan kendala yang cukup besar bagi Pemerintahan Daerah dalam rangka menyusun produk hukum daerah bagi pembentukan BPBD. Untuk
mengatasi
kendala
tersebut,
sudah
seharusnya
kembali kepada asas-asas penyelesaian konflik di dalam norma hukum, bagi masalah ini mengacu kepada asas lex superior yang intinya lex superior derogat legi inferiori (ketentuan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah). Dengan demikian, Rancangan
5
Permendagri
dan
Rancangan
Peraturan
Kepala
BNPB
dapat
kesampingkan karena dikalahkan oleh PP No. 100 Tahun 2000 jo. PP 47 Tahun 2005. Lebih lanjut, apakah dimungkinkan seandainya langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah di atas dilakukan dengan menambah satu jabatan lagi eselon Ib di provinsi dan eselon IIa di kabupaten/kota.
Hal
ini
memang
belum
pernah
dilakukan,
mengingat langkah ini terkait dengan aspek lain yang harus diperhitungkan yakni kemampuan daerah. Karena penambahan jabatan akan membutuhkan tambahan dana bagi pembiayaannya. Ketentuan memang tidak melarang, 7 bila merujuk kepada pedoman pembentukan organisasi perangkat daerah, setiap daerah mengikuti persyaratan dan kriteria yang telah ditentukan, tetapi tidak bersifat mutlak.8 Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam hal ini daerah
(Aceh) diberikan kelonggaran untuk mengatur rumah
tangga sendiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.9
7
8
9
Penjelasan Pasal 20 Ayat (1) PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, menjelaskan: “Penentuan jumlah perangkat daerah sesuai dengan jumlah nilai yang ditetapkan berdasarkan perhitungan dari variabel, dan masing-masing pemerintah daerah tidak mutlak membentuk sejumlah perangkat daerah yang telah ditentukan sesuai dengan variabel tersebut”. Kemudian Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) dan (2) PP tersebut menyebutkan “Urusan pemerintahan yang perlu ditangani terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Masing-masing urusan pada prinsipnya tidak mutlak dibentuk dalam lembaga tersendiri, namun sebaliknya masing-masing urusan dapat dikembangkan atau dibentuk lebih dari satu lembaga perangkat daerah sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi, kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing”. Lihat ketentuan Pasal 19 dan 20 PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Ketentuan Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menentukan: ayat (1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. ayat (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasio nal, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
6
Selanjutnya dalam Ketentuan Pasal 10 UU Pemerintahan Aceh ditetapkan sebagai berikut: (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut Undang-Undang ini dengan persetujuan DPRA/DPRK kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga, badan dan/atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan qanun. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU tersebut dijelaskan:
“Pembentukan
lembaga
dimaksud
termasuk
pembentukan pusat penanggulangan bencana”.
C. Dasar Pemikiran Negara adalah organisasi masyarakat yang paling tinggi, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melindungi setiap warganya baik secara intern maupun secara extern yang harus dilakukan oleh pemerintah setiap saat dan berkesinambungan. Sebaliknya,
rakyat
sebagai
salah
satu
unsur
yang
sangat
menentukan dalam pembentukan Negara, kodratnya memiliki hakhak dasar (asasi) bawaan sejak lahir yang harus dihormati oleh semua pihak, terutama sekali dalam penyelenggaraan negara.10 Sejalan dengan itu prinsip negara hukum11 yang dipilih oleh negara-negara
sebagai
landasan
berbangsa
bernegara,
mengantarkan semua pihak untuk senantiasa berhadapan dan menjunjung tinggi ketentuan hukum yang berlaku. Oleh sebab itu, semua aspek kehidupan harus mendapat pengaturan hukum sesuai 10
11
Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 48. Bagi Indonesia lihat ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menentukan “Negara Indonesia adalah negara hukum.
7
dengan kontrak sosial yang telah disepakati. Penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan alternatif paling baik dalam penyelenggaraan negara, karena akan terlihat secara konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas
dari
setidaknya
hubungan
dapat
pemerintah
dijadikan
ukuran
dengan
masyarakat
ini
apakah
penyelenggaraan
pemerintahan sudah baik atau belum. Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik
dalam
lapangan
pengaturan
maupun
dalam
lapangan
pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan
tindakan
Ketentuan
bahwa
pemerintahan
setiap
tindakan
tanpa
dasar
kewenangan.
pemerintahan
ini
harus
didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam perspektif ini fungsi hukum di dalam masyarakat adalah perspektif social-engineering yang merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat (the officials perspective of the law) dan oleh karena pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh pejabat/penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini kerapkali disebut dengan the technocrat’s view of the law. Jadi yang dikaji di sini
adalah
dimobilisasikan
sumber-sumber dengan
kekuasaan
menggunakan
apa
yang
hukum
mekanisme.12
12
Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 10.
8
dapat sebagai
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dengan
persoalan-
persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan ketentuan peraturan
perundang-undangan
berjalan
lambat,
sementara
persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna
melaksanakan
tugas-tugas
penyelenggaraan
kepentingan
umum.13 Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement
de
pouvoir)
atau
tindakan
sewenang-wenang
(willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Esensi
dari
negara
hukum
yang
berkonstitusi
adalah
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara
13
A.M. Donner dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm. 182.
9
merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
ini
ditiadakan
dari
konstitusi,
maka
penyusunan,
pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi. Secara konstitusional, eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas telah disebutkan baik di dalam batang tubuh (Pasal 1 Ayat (3)) maupun dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah
Indonesia,
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan
yang
dilakukan
secara
bertahap
dan
berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang. Fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dapat mengabdi dalam 3 (tiga) sektor, yaitu: 14 1). Hukum sebagai alat penertib (ordering) fungsinya dapat menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang 14
Michael Hager, Development for the developing Nations, Work Paper in World Peace thought Law, Abijan 1973, hlm. 13.
10
mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. Hukum dapat meletakkan dasar (legitimasi) bagi penggunaan kekuasaan; 2) Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) fungsinya dapat
menjaga
kepentingan
keseimbangan
dan
negara/kepentingan
keharmonisan
umum
dan
antara
kepentingan
perorangan; dan 3). Hukum sebagai katalisator, fungsinya dapat membantu
untuk
memudahkan
terjadinya
proses
perubahan
melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum. Idealitas
negara
berdasarkan
hukum
ini
pada
tataran
implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep AngloSaxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Meskipun demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi hukum
adalah
mendasarkan
dengan
pada
asas
membuat legalitas
penormaan
dan
kekuasaan,
persyaratan,
sehingga
memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat. Apabila melihat kepada tujuan negara Republik Indonesia terhadap rakyatnya yang universal seperti tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dan telah dijabarkan di dalam Batang Tubuh, yaitu BAB XA tentang Hak Asasi Manusia sebanyak sepuluh pasal. Memberi Konsekuensi kepada Negara, bahwa setiap bentuk hak asasi manusia tersebut selalu diiringi dengan kewajiban
11
atau
tanggung jawab negara
dalam tiga
level,
yaitu
untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill). Mengingat tanggung jawab tersebut demikian luas dan kompleks, realisasinya tidak mampu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemenuhannya diserahkan kepada pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.15 Atribusi
membentuk
peraturan
perundang-undangan
(atributie van wetgevings-bevoegdheid) adalah pemberian wewenang membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh UUD/konstitusi atau UU kepada lembaga Negara atau pemerintah (daerah). Wewenang itu melekat terus-menerus sehingga dapat dilaksanakan setiap saat diperlukan dengan tetap memperhatikan batas-batas yang diberikan.16 Prinsip desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang
melahirkan
otonomi
bagi
daerah-daerah,
telah
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dirinya dengan mengeluarkan produk hukum daerah. Namun demikian, daerah juga harus senantiasa menjaga agar aturan main yang dikeluarkan tidak berbenturan dengan ketentuan yang lebih tinggi produk hukum pemerintah pusat. Otonomi khusus merupakan sistem yang memungkinkan daerah
untuk memiliki kemampuan
mengoptimalisasi potensi
terbaik yang dimilikinya dan mendorong daerah untuk berkembang sesuai dengan karakteristik, kemampuan dan kebutuhannya. Untuk itu, segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
15 16
Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) s/d (7) UUD 1945 Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Sorotan, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2005, hlm. 5.
12
mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkan persoalan, kecuali untuk persoalan-persoalan yang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa.17 Melalui kewenangan tersebut perlindungan hak-hak asasi manusia terhadap warga negara harus dilakukan oleh negara (melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah) bukanlah bersifat
limitatif
dan
penundaan.
Sebab,
ancaman
terhadap
keseimbangan akan hal tersebut setiap saat bisa terjadi, baik oleh faktor kesengajaan manusia sendiri ataupun oleh faktor lain, seperti bencana (alam) misalnya. Anomali
(ketidaknormalan)
yang
terjadi
akibat
bencana
membawa pergeseran nilai yang cukup signifikan terhadap situasi hak asasi manusia dari standar kebiasaan. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi suatu negara untuk melindungi rakyatnya, apalagi yang terkena suatu musibah atau suatu bencana. Negara melalui aparaturnya tidak boleh mengelak dari kewajiban tersebut. Negara tidak bisa berkilah bahwa tidak ada dasar hukum yang memberikan keharusan bertanggung jawab, meskipun bencana tersebut bukanlah akibat kebijakan yang dilakukannya atau kondisi alam yang tidak mendukung dan lain sebagainya. Kewajiban untuk bertanggung jawab sudah merupakan norma kepatutan (expediency), yang tidak bisa ditawar tanpa melihat penyebab bencana. Keadaan demikian menuntut kesiapan pemerintah untuk tepat waktu dan taat asas memenuhi tugas dan tanggangjawabnya tersebut. Implementasi bentuk tanggung jawab itu bersifat aktif, maksudnya menuntut negara melakukan suatu kebijakan terhadap 17
Pheni Chalid, Otonomi Daerah, Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Kemitraan Partnership, Jakarta, 2005, hlm. 22.
13
korban bencana. Oleh karena itu bila negara tidak melakukannya maka dapat dikatakan negara telah lalai melaksanakan tanggung jawabnya. Dalam praktek ada parameter yang bisa dijadikan acuan untuk menilai apakah negara melakukan tanggung jawabnya menangani
suatu
bencana.
Parameter
tersebut
kini
menjadi
kebiasaan yang sudah dijadikan standar umum dan bisa dikatakan sudah menjadi prinsip berdasarkan azas kepatutan. Acuan tersebut meliputi tiga kondisi yaitu: pertama kondisi pra bencana, kedua konsisi saat terjadi bencana dan ketiga kondisi pasca bencana. Setiap kondisi atau keadaan itu menuntut bentuk tanggung jawab yang berbeda-beda. Penggunaan acuan ini bertujuan untuk sejauh mungkin mencegah terulang kembali bencana yang sama atau setidak-tidaknya meminimalisasi jumlah korban jiwa dan kerugian lainnya yang ditimbulkan. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun posisi tersebut berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan
penanganan
yang
sistematis,
terpadu,
dan
terkoordinasi. Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu wadah yang khusus dan mandiri berbentuk badan yang tersusun secara
hirarki,
mulai
dari
pusat
sampai
ke
daerah-daerah.
Menyadari akan hal ini, pemerintah (pusat) telah mengeluarkan aturan sebagai payung hukum kuat bagi upaya dimaksud, yakni UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
14
Aceh sebagai daerah yang telah mengalami berbagai bencana, mulai dari skala kecil, menengah sampai skala cukup berat merasakan kebutuhan yang mendesak untuk mengimplementasikan UU tentang Penanggulangan Bencana itu. Sesuai dengan ketentuan UU tersebut, langkah utama yang harus ditempuh pemerintah daerah bagi upaya penanggulangan bencana di daerah adalah membentuk BPBD dengan Perda/Qanun. Menurut ketentuan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, suatu qanun yang akan dibentuk harus memenuhi tahapan-tahapan yang telah diatur, dan tahap pertama harus didahului adalah penyusunan naskah akademik. Naskah akademik dimaksudkan sebagai naskah awal yang memuat gagasan-gagasan
pengaturan
dan
materi
muatan
perundang-
undangan bdang tertentu secara holistik-futuristik dari berbagai aspek ilmu, disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawbkan secara ilmu hukum serta sejalan dengan politik hukum yang telah digariskan.18
D. Alasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis a. Alasan Filosofis Letak Kota Sabang berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu dan 18
Surat Keputusan BPHN No. G-159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyususnan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan.
15
terkoordinasi. Oleh karena itu, secara filosofis negara harus mengantisipasi kerawanan bencana tersebut dengan menyiapkan kelembagaan,
sebagai
wujud
tanggungjawab
negara
terhadap
kesejahteraan rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah bagian dari penyelenggaraan organisasi negara. Dalam
konsep
(welvaarrechtsstaat), kehidupan
negara
negara
warganya
hukum
bertanggung
dalam
upaya
jawab
kesejahteraan dalam
negara
segala
mewujudkan
kesejahteraan. Kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan, tidak hanya bersifat lahiriyah tetapi juga mewujudkan kesejahteraan bathiniah. Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
di
samping
merupakan tanggung jawab negara, dan juga merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Atas landasan filosofi tersebut, bahwa pembentukan BPBD merupakan suatu institusi yang diharapkan dapat bertindak untuk mengkoordinasikan seluruh perangkat daerah yang terkait dalam setiap
langkah
penanggulangan
bencana,
yang
berkerja
berdasarkan prinsip profesionalisme, efisien dan efektif. Oleh karena itu, pengaturan tentang pembentukan BPBD lebih lanjut melalui peraturan daerah/qanun, penjabarannya harus memperhatikan pesan yang telah diamanatkan dari ketentuan yang lebih tinggi itu. b. Alasan Yuridis Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana, merupakan landasan yuridi utama yang digunakan sebagai pedoman dalam penanggulangan bencana.
16
Dalam
Pasal
5
undang-undang
tersebut
ditegaskan
bahwa
“Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.” Dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 ditegaskan bahwa: “Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana meliputi: a.
penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b.
perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c.
pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan resiko bencana dengan program pembangunan; dan
d.
pengalokasian
dana
penanggulangan
bencana
dalam
Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah yang memadai. Sedangkan
kewenangan
pemerintah
daerah
dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a.
penetapan
kebijakan
wilayahnya
selaras
penanggulangan dengan
kebijakan
bencana
pada
pembangunan
daerah; b.
pembuatan
perencanaan
pembangunan
yang
memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; c.
pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d.
pengaturan
penggunaan
teknologi
yang
berpotensi
sebagaimana sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya; e.
perumusan
kebijakan
pencegahan
penguasaan
dan
pengurusan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
17
f.
pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.
Secara tegas dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 ditentukan bahwa: (1) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk Bandan Penanggulangan Bencana Daerah. (2) Bandan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib; dan b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Dalam
Pasal
25
Undang-Undang
No.
24
Tahun
2007
ditegaskan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi,
tugas,
struktur
organisasi,
dan
tata
kerja
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.” Ketentuan yang sangat penting dalam Pasal 25 ini, bahwa UndangUndang No. 24 Tahun 2007 memberikan kaedah penunjuk atau kaedah pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
membentuk
“Badan
Penanggulangan
Bencana
Daerah”
dengan Peraturan Daerah. Makna lain dari ketentuan undangundang tersebut, bahwa “Badan Penanggulangan Bencana Daerah” merupakan “satuan kerja perangkat daerah”, yang melaksanakan dan mengemban kewenangan, tanggung jawab pemerintah daerah. Berkaitan
dengan
kewenangan
sebagaimana
ditentukan
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh , dalam Pasal 7 ayat (1), Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
18
diberi
kewenangan
pemerintahan
dalam
untuk
mengatur
semua
sektor
dan
mengurus
publik
kecuali
urusan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah. Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, ditegaskan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK. Ketentuan tentang pembentukan badan, lembaga dan/atau komisi tersebut diatur dengan Qanun. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam “pembentukan lembaga dimaksud termasuk pembentukan pusat penanggulangan bencana.” Berdasarkan alasan yuridis yang diungkapkan di atas, bahwa ada dua hal penting yang dapat disimpulkan dalam rencana pembentukan Qanun Kota Sabang yang mengatur tentang badan penanggulangan bencana tersebut, yaitu: a. materi muatannya qanun (perda) tersebut bersifat heteronom, sabagai materi muatan pengaturan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lain, yang lebih tinggi atau materi muatan yang bersifat organik; dan b. kewenangan untuk membentuk qanun tersebut bersifat otonom, dan wujud dari lembaga yang akan dibentuk tersebut sebagai lembaga otonom. Dalam kerangka implementasi pembentukan BPBD, Mendagri menyiapkan suatu pedoman menyangkut organisasi dan tata kerja.19 Kemudian BNPB mengambil langkah penyusunan pedoman mengenai
19
20
pembentukan
BPBD.20
Namun
demikian
dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Sampai saat ini masih berbentuk rancangan Peraturan Kepala BNPB tentang Pedoman Pembentukan BPBD.
19
pelaksanaannya pemerintah daerah perlu pemahaman lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Selain itu, secara institusional penanganan masalah hak-hak masyarakat
dalam
rangka
penanggulangan
bencana
oleh
pemerintah (daerah) tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja, karena
masalahnya
demikian
luas
sehingga
mengharuskan
penanganan secara lintas sektoral yang melibatkan hampir semua perangkat daerah. Kenyataan ini membuat pihak pemerintah daerah harus
sangat
berhati-hati
dalam
membentuk
lembaga
penanggulangan bencana daerah, meskipun lembaga ini amat dibutuhkan keberadaanya. Secara geografis Kota Sabang termasuk ke dalam kategori daerah yang memiliki potensi rawan bencana. Selain itu, kebijakan pemerintah daerah, pengusaha hutan, dan juga masyarakat belum memiliki kesadaran yang cukup baik dalam hal pengelolaan hutan, bahkan kecenderungan merusak lebih banyak ketimbang menjaga kelestariannya. Dengan demikian, bencana terjadi tidak hanya disebabkan
oleh
faktor
alam
semata,
tetapi
ulah
manusia
merupakan faktor yang paling besar untuk mengundang datangnya bencana. Menurut data yang ada, Kota Sabang merupakan daerah yang rawan terjadi bencana alam, sebagian besar wilayahnya di pesisir pantai dan juga beberapa tahun lalu mengalami gempa dan tsunami tergolong dahsyat. Disamping itu juga termasuk wilayah yang tinggi frekuensi terjadi gempa bumi karena salah satunya memiliki gunung berapi
yang
masih
aktif,
bencana
banjir,
gelombang
pasang,
kebakaran, dan angin puting beliung. Selanjutnya, wilayah yang berbukit
sering terjadi bencana tanah longsor. Selain itu, menurut
data dari Dinas Kesehatan Kota Sabang ditemukan bahwa akibat
20
tingkat pendidikan/kesadaran masyarakat Kota Sabang yang masih di bawah standar mempunyai potensi yang cukup signifikan untuk melahirkan bencana yang diakibatkan oleh wabah penyakit. Hal ini terbukti
dengan
masih
ditemukan
daerah-daerah
yang
sering
terjangkit wabah penyakit dalam skala kuantitasnya tergolong besar, seperti malaria, diare, muntah mencret, demam berdarah dan lainnya. Selanjutnya bila melihat dari kacamata historis, 21 sejak kemerdekaan sampai dengan pertengahan tahun 2005 lalu Aceh selalu dirudung konflik, baik konflik yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal. Kenyataan ini menyisakan beban paling besar yang harus ditanggulangi oleh masyarakat dan pemerintah daerah, kondisi ini secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kota sabang yang merupakan bagian dari aceh. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa potensi bencana di Kota Sabang tergolong rawan, baik dalam skala kuantitas maupun skala kualitas, karena faktor penyebabnya sangat kompleks. 22 Dengan
demikian,
tanggungjawab
pemerintah
daerah
untuk
melakukan mitigasi terhadap masyarakat dan daerahnya amat berat, mengingat kultur masyarakat, birokrasi, dan kondisi daerah yang belum mendukung. Oleh karena itu, siapapun tidak ada yang dapat menjamin Kota Sabang bebas dari segala bencana. Untuk itu, diperlukan membangun pemahaman, kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab semua pihak akan pentingnya upaya penanganan bencana yang dimulai dari sebelum, saat dan sesudah terjadinya bencana.
21
Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Penerbit Suara Bebas, Jakarta, 2006. hlm. 1 – 158. 22 Lihat kembali catatan kaki nomor 1.
21
Kota
Sabang
sebagai
salah
satu
daerah
yang
pernah
mengalami musibah bencana demikian dahsyat pada tahun 2004 lalu, merasakan bahwa keberadaan BPBD yang telah ditetapkan dengan suatu payung hukum yang kuat sangat dibutuhkan. Meskipun demikian untuk pembentukannya masih dibutuhkan suatu kajian yang lebih mendalam melalui suatu penelitian, diskusi-diskusi dan workshop-workshop dengan para pihak terkait agar lembaga yang dibentuk nantinya dapat diterima dan sesuai dengan kebutuhan daerah dan masyarakat setempat.
E. Rekomendasi Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan kerangka pikir yang
telah
dikemukakan
dapat
direkomendasikan
bahwa
pembentukan BPBD Kota Sabang dengan Qanun Kota Sabang merupakan perintah langsung dari UU No. 24 tahun 2007 23 dan dikuatkan oleh UU 11 Tahun 200624, dengan demikian Qanun Kota Sabang dimaksud bersifat organik. Oleh karena itu, Qanun Kota Sabang yang akan dibentuk tersebut adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007.
F. Ruang Lingkup Pengaturan Untuk mewujudkan dan memastikan penyelenggaraan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah Kota Sabang dalam penanganan yang baik, terencana, terkoordinasi, terpadu, tertib, dan menyeluruh dalam penanggulangan bencana, perlu pengaturan
pembentukan lembaga
penyelenggara dalam bentuk Qanun Kota Sabang.
23 24
Perhatikan kembali ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2007. Perhatikan kembali ketentuan Pasal 10 Ayat (1) dan (2) UU No. 11 tahun 2006 serta Penjelasannya.
22
Ruang lingkup pengaturan dalam Rancangan Qanun Kota Sabang tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sabang mencakup: 1. Ketentuan Umum Dalam ketentuan umum, rencana pengaturan mencakup, antara lain tentang: a. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota sabang yang selanjutnya disebut BPBD adalah Satuan Kerja Perangkat Kota Sabang yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam rangka penanggulangan bencana di Kota Sabang. b. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kota Sabang yang selanjutnya disebut Kepala BPBD Kota Sabang. c. Unsur
Pengarah
adalah
Unsur
Pengarah
Penanggulangan
Bencana pada Badan Penanggulangan Bencana Kota Sabang. d. Anggota Unsur Pengarah adalah unsur yang berasal dari lembaga, instansi dan SKPD serta masyarakat profesional terkait dengan penanggulangan bencana. e. Masyarakat profesional adalah Unsur yang berasal dari pakar, profesional dan tokoh masyarakat yang mempunyai keahlian dalam Penanggulangan Bencana. f. Unsur
Pelaksana
adalah
Unsur
Pelaksana
Penanggulangan
Bencana pada Badan Penanggulangan Bencana Kota sabang. g. Pimpinan Unsur Pelaksana adalah setiap kepala pada Unsur Pelaksana
Penanggulangan
Bencana
pada
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sabang. h. Kepala Pelaksana adalah Kepala Pelaksana pada Unsur Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota sabang. i. Sekretariat adalah Sekretariat pada Unsur Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sabang.
23
j. Bidang
adalah
Bidang
pada
Unsur
Pelaksana
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sabang. k. Sub Bagian adalah Sub Bagian pada Unsur Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota sabang. l. Seksi adalah Seksi pada Unsur Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sabang. m. Kelompok
Jabatan
Fungsional
adalah
kelompok
jabatan
fungsional pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Sabang. n. Bencana
adalah
mengancam
dan
peristiwa
atau
mengganggu
rangkaian
kehidupan
peristiwa
dan
yang
penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non
alam
maupun
faktor
manusia
sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. o. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, perubahan iklim. p. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. q. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. r. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
24
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. s. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai
upaya
untuk
menghilangkan
dan/atau
mengurangi ancaman bencana. t. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. u. Peringatan peringatan
dini
adalah
sesegera
kemungkinan
serangkaian
mungkin
terjadinya
kepada
bencana
pada
kegiatan
pemberian
masyarakat suatu
tentang
tempat
oleh
lembaga yang berwenang. v. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 2. Pembentukan dan Susunan Organisasi Bagian ini mengatur tentang pembentukan dan susunan organisasi BPBD, yang mencakup antara lain: a. Dengan Qanun ini dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Kota Sabang. b. Badan
Penanggulangan Bencana Kota Sabang
Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Sabang. c. Susunan organisasi BPBD Kota sabang, terdiri dari: 1. Kepala BPBD; 2. Unsur Pengarah; dan 3. Unsur Pelaksana. d. Unsur Pengarah, terdiri dari: 1. Ketua Unsur Pengarah; dan 2. Anggota Unsur Pengarah.
25
merupakan
e. Unsur Pelaksana, terdiri dari: 1. Kepala Pelaksana; 2. Sekretariat; 3. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan; 4. Bidang Kedaruratan dan Logistik; dan 5. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi. f. Sekretariat BPBD terdiri dari: 1. Sub Bagian Umum; 2. Sub Bagian Keuangan; dan 3. Sub Bagian Program dan Pelaporan. g. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, terdiri dari: a. Seksi Pencegahan; dan b. Seksi Kesiapsiagaan. h. Bidang Kedaruratan dan Logistik, terdiri dari: 1. Seksi Kedaruratan; dan 2. Seksi Logistik. i. Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, terdiri dari: 1. Seksi Rehabilitasi; dan 2. Seksi Rekonstruksi. 3. Kedudukan Organisasi BPBD Kota Sabang a. Kepala BPBD , secara ex-officio dijabat oleh SEKDA. b. Kepala BPBD membawahi unsur pengarah dan unsur pelaksana. c. Kepala BPBD berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Walikota. d. Unsur Pengarah berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala BPBD. e. Ketua Unsur Pengarah dijabat oleh Kepala BPBD. f. Anggota Unsur Pengarah berasal dari:
26
1. lembaga,
instansi
dan
SKPD
yang
terkait
dengan
penanggulangan bencana; dan 2. masyarakat profesional dari unsur pakar, profesional dan tokoh masyarakat di Kota Sabang. g. Anggota Unsur Pengarah berjumlah 9 (Sembilan) anggota, terdiri dari 5 (Lima) pejabat lembaga, instansi dan SKPD serta 4 (Empat) anggota dari masyarakat profesional di Kota Sabang. h. Unsur Pelaksana dipimpin oleh Kepala Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BPBD. i. Unsur
Pelaksana
menyelenggarakan
membantu tugas dan
Kepala
BPBD
dalam
fungsi unsur pelaksana
dan
menjalankan tugas Kepala BPBD sehari-hari. j. Sekretariat sebagaimana dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang berada
di
bawah
dan
bertanggung
jawab
kepada
Kepala
Pelaksana. k. Bidang , dipimpin oleh Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Pelaksana. l. Sub Bagian dipimpin oleh Kepala Sub Bagian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Sekretariat. m. Seksi dipimpin oleh Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang. 4. Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangan a. BPBD mempunyai tugas: 1. menetapkan kebijakan
pedoman Pemerintah
penanggulangan
dan Kota
bencana
pengarahan
sesuai
Sabang
terhadap
yang
mencakup
dengan usaha
pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;
27
2. menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan; 3. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana; 4. menyusun
dan
menetapkan
prosedur
tetap
penanganan
bencana; 5. melaksanakan
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
pada wilayahnya; 6. melaporkan
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
kepada Walikota setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; 7. mengendalikan pengumpulan
dan penyaluran uang dan
barang; 8. mempertanggungjawabkan
penggunaan
anggaran
yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Sabang, dan sumber penerimaan lainnya; dan 9. melaksanakan
kewajiban
lain
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. b. Dalam menyelenggarakan tugas, BPBD mempunyai fungsi : 1. perumusan
dan
penetapan
kebijakan
penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; 2. pengkoordinasian
pelaksanaan
kegiatan
penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh; 3. pelaksanaan penanggulangan bencana secara terintegrasi dalam tahapan prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana;
28
4. pengkoordinasian penanggulangan bencana dengan instansi dan/atau institusi terkait lainnya pada tahap pra bencana dan pasca bencana; dan 5. pengkoordinasian
pengerahan
sumber
daya
manusia,
peralatan, logistik dari SKPD, instansi vertikal dan institusi terkait lainnya dalam rangka penanganan darurat bencana. c. Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPBD mempunyai kewenangan: 1. melaksanakan bencana
pada
perumusan wilayahnya
kebijakan selaras
penanggulangan dengan
kebijakan
pembangunan daerah; 2. melaksanakan
pengawasan
penyusunan
perencanaan
pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; 3. melaksanakan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain; 4. melakukan pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber
ancaman
atau
bahaya
bencana
pada
wilayahnya; 5. melakukan perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan 6. melaksanakan penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya. d. Rincian tugas pokok dan fungsi pemangku jabatan struktural di lingkungan BPBD diatur dengan peraturan Walikota. e. Uraian jabatan struktural dan non struktural di lingkungan BPBD diatur dengan peraturan Walikota. 5. Mekanisme Penetapan dan Pergantian Anggota Unsur Pengarah
29
a. Anggota unsur pengarah dari lembaga, instansi dan SKPD ditetapkan
dengan
Keputusan
Walikota
sesuai
peraturan
perundang-undangan. b. Anggota unsur pengarah dari masyarakat profesional ditetapkan berdasarkan prosedur pemilihan dan seleksi. c. Calon anggota unsur pengarah dari masyarakat profesional harus memenuhi persyaratan: 1. warga negara Indonesia; 2. sehat jasmani dan rohani; 3. berkelakuan baik; 4. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat pendaftaran; 5. memiliki wawasan kebangsaan; 6. memiliki pengetahuan
akademis dan
pengalaman
dalam
penanggulangan bencana; 7. memiliki integritas tinggi; 8. non-partisan; 9. tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri atau anggota TNI/Polri, kecuali Dosen yang telah mendapat izin dari pejabat yang berwenang; dan 10.
berdomisili di Kota Sabang
d. Prosedur Pendaftaran dan Seleksi anggota unsur pengarah dari masyarakat profesional: 1. pendaftaran
dilakukan
dengan
memberikan
kesempatan
kepada masyarakat dan diumumkan melalui media; 2. pendaftaran dan seleksi dilakukan oleh Lembaga Independen, yang ditunjuk/ditetapkan oleh Kepala BPBD;
30
3. lembaga independen melakukan seleksi terhadap bakal calon dan menetapkan sekurang-kurangnya 10 (Sepuluh) orang calon; 4. Lembaga independen menyampaikan hasil seleksi kepada Kepala BPBD; 5. Kepala BPBD mengusulkan 8
(Delapan) calon anggota unsur
pengarah dari masyarakat profesional hasil pemilihan kepada Walikota; dan 6. Walikota
menyampaikan
usulan
calon
anggota
unsur
pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e kepada DPRK untuk dilakukan uji kepatutan dan uji kelayakan. 7. DPRK menyampaikan hasil uji kepatutan dan uji kelayakan anggota unsur pengarah dari masyarakat profesional kepada Walikota untuk ditetapkan. 8. BPBD mengumumkan kepada masyarakat anggota unsur pengarah dari masyarakat profesional melalui media. e. Penetapan Anggota Unsur Pengarah dari masyarakat profesional ditetapkan dengan Keputusan Walikota. f. Masa
jabatan
anggota
unsur
pengarah
dari
masyarakat
masyarakat
profesional
profesional selama 5 (lima) tahun. g. Anggota
unsur
pengarah
dari
diberhentikan apabila: 1. meninggal dunia; 2. mengundurkan diri sebagai anggota unsur pengarah atas kemauan sendiri; dan 3. tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai anggota unsur pengarah dan/atau telah melakukan pelanggaran hukum yang telah
mendapat
putusan
kekuatan hukum tetap.
31
pengadilan
yang
mempunyai
h. Pemberhentian anggota unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada huruf g dilakukan setelah berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari Pimpinan DPRK. i. Pergantian antar waktu anggota unsur pengarah dilakukan sebagai berikut: 1. meninggal dunia; 2. tidak lagi menduduki jabatan di instansinya bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri; 3. mengundurkan diri sebagai anggota unsur pengarah atas kemauan sendiri; dan 4. tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai anggota unsur pengarah dan/atau telah melakukan pelanggaran hukum yang telah
mendapat
putusan
pengadilan
yang
mempunyai
kekuatan hukum tetap. j. Calon pengganti antar waktu anggota unsur pengarah dari lembaga, instansi dan SKPD harus berasal dari lembaga, instansi dan SKPD yang diwakilinya. k. Calon pengganti antar waktu unsur pengarah dari masyarakat profesional berasal dari calon anggota yang telah mengikuti uji kepatutan dan uji kelayakan setelah mendapat persetujuan dari Pimpinan DPRD. 6. Satuan Tugas a. BPBD dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Satuan Tugas Pusat Pengendalian Operasi termasuk satuan tugas reaksi cepat dan satuan tugas lainnya menurut kebutuhan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Satuan Tugas berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Pelaksana. 7. Kelompok Jabatan Fungsional
32
a. Kelompok jabatan fungsional dapat dibentuk sesuai dengan beban kerja. b. Kelompok jabatan fungsional, melaksanakan sebagian tugas BPBD sesuai dengan keahlian dan kebutuhan. 8. Eselon Dan Kepegawaian a.
Eselonering jabatan struktural unsur pelaksana pada BPBD,
terdiri dari: 1. kepala pelaksana adalah jabatan struktural eselon II.a; 2. kepala sekretariat adalah jabatan struktural eselon III.b; 3. kepala bidang adalah jabatan struktural eselon III.b; 4. kepala sub bagian adalah jabatan struktural eselon IV.a; dan 5. kepala seksi adalah jabatan struktural eselon IV.a. b. Pengangkatan dalam jabatan struktural pada Unsur Pelaksana berasal dari Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kemampuan, pengetahuan, keahlian, pengalaman, ketrampilan, dan integritas yang dibutuhkan dalam penanganan bencana. c. Kepala Pelaksana, Kepala Sekretariat, Kepala Bidang, Kepala Sub Bagian, dan Kepala Seksi diangkat dan diberhentikan oleh Walikota. d. Jenjang kepangkatan dan formasi kepegawaian ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 9. Tata Kerja Dalam Organisasi BPBD a. BPBD
dalam
melaksanakan
tugas
menerapkan
prinsip
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. b. Pimpinan Unsur Pelaksana melaksanakan sistem pengendalian intern di lingkungan masing-masing. c. Pimpinan Unsur Pelaksana bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan dan memberikan pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan.
33
d. Pimpinan
Unsur
melakukan
Pelaksana
pembinaan
dan
dalam
melaksanakan
pengawasan
terhadap
tugas satuan
organisasi di bawahnya. e. Koordinasi
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
dapat
dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi dan pihak-pihak lain yang terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f. Kerjasama yang melibatkan peran serta negara lain, lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dilakukan melalui koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. g. Rapat koordinasi BPBD dengan BPB Kabupaten/Kota diadakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktuwaktu sesuai dengan kebutuhan. h. Hubungan
Kerja
antara
BPBD
dengan
BPBA
bersifat
memfasilitasi/koordinasi dan pada saat penanganan darurat bencana BPBA dapat melaksanakan fungsi komando, koordinasi, dan pelaksana. i. Hubungan kerja antara BPBD dengan BNPB bersifat koordinasi dan teknis kebencanaan dalam rangka upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan penanggulangan bencana. 10. Pembiayaan Biaya
yang
diperlukan
untuk
melaksanakan
kegiatan
BPBD
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota serta sumber-sumber
lainnya
yang
sah
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan. 11. Ketentuan Peralihan Dengan berlakunya Qanun ini, maka segala ketentuan yang bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tidak berlaku. 12.
Ketentuan Penutup
34
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Sabang.
G. Kesimpulan Setelah melalui pengkajian terutama dari sisi yuridis, maka naskah akademik ini merekomendasikan untuk disusun Rancangan Qanun Kota Sabang tentang pemebentukan susunan organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota sabang. Masukan, usulan, dan kritikan dari stakeholder (pemangku kepentingan), digunakan sebagai bahan penyempurnaan terhadap naskah akademik ini. Naskah ini berisi landasan-landasan rasional dan didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai
dengan
rekomendasi
dalam
naskah
akademik
ini,
pertimbangan utama pembentukan Qanun ini, sebagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, maka
materi muatan qanun ini norma
yang bersifat heteronom. Namun kewenangan mengatur bersifat otonom dan lembaga yang dibentuk dengan qanun ini juga sebagai lembaga otonom, yang merupakan perangkat PemerintahKota sabang.
H. Daftar Pustaka 1. Buku-buku Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Penerbit Suara Bebas, Jakarta, 2006. Hager Michael, Development for the developing Nations, Work Paper in World Peace thought Law, Abijan, 1973.
35
Jazim Hamidi dan Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Sorotan, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2005. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Pheni Chalid, Otonomi Daerah, Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Kemitraan Partnership, Jakarta, 2005. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006. Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1985. 2. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. PP No. 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dalam Jabatan Struktural. PP No. 47 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No. 29 Tahun 1997 tentang PNS yang menduduki jabatan rangkap. PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Keppres No. 3 Tahun 2001 Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Keppres No. 111 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001, Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Kepmendagri No. 131 Tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Dan Penanganan Pengungsi di Daerah. Surat Keputusan BPHN No. G-159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.
36
Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
a.n SEKRETARIS DAERAH Asisten Administrasi Umum ub Kepala Bagian Organisasi
KEMALA DEWI, SH., MM. Pembina Tingkat I NIP. 196008191987032001
37