RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR ____ TAHUN ____ TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK UTARA, Menimbang: a.
Mengingat:
bahwa kegiatan lalu lintas mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan dan integrasi nasional dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan; b. bahwa permasalahan lalu lintas di Kabupaten masihmerupakan permasalahan yang bersifat multi dimensi; c. bahwadalam rangka upaya pembinaan keselamatan pelayaran, keamanan, ketertiban, pengawasan dan pengendalian kepada pemilik kapal, operator, nahkoda kapal dan atau badan hukum yang mengoperasikan kapalnya dengan ukuran dibawah7gross tonnage(GT<7) maka dipandang perlu untuk mengatur pembinaan pelayanan surat ukur kapal, sertifikat kesempurnaan kapal dan surat keterangan kecakapan kapal; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c perlu menetapkan peraturan daerah. 1. Ordonantie Stb. 1927 Nomor 210 Tentang Pengukuran Kapal dan Kendaraan air yang berkedudukan di Indonesia; 2. Ordonantie Stb. 127 Nomor 289 jo. Stb. 129 Nomor 111 tentang pengawasan terhadap kapal-kapal dan alat-alat kendaraan air yang digunakan untuk mengangkut orang dan barang; 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4537); 6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia2007 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) ; 9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara di Propinsi Nusa Tenggara Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4893); 10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 11. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kapal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3724); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3924); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kabupaten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5199); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalulintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 5317); 24. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas 25. Peraturan Bupati Lombok Utara Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Lombok Utara (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok UtaraTahun 2009 Nomor 1). dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN,
LOMBOK
BAB I. KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
UTARA
TENTANG
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
11.
12. 13.
14.
15.
16.
17.
18. 19. 20. 21.
22. 23. 24.
Daerah adalah Kabupaten Lombok Utara; Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Lombok Utara; Kepala Daerah atau Bupati adalah BupatiLombok Utara; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Utara; Dinas adalah Dinas Perhubungan Kabupaten Lombok Utara; Kepolisian adalah Kepolisian Resort Kabupaten Lombok Utara; Pejabat, adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Retribusi Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Badan, adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosal politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya; Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang diruang lalu lintas jalan. Pengembang atau pembangun adalah setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas. Analisis dampak lalu lintas adalah serangkaian kegiatan kajian mengenai dampak lalu lintas dari pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang hasilnya dituangkan dalam bentuk dokumen hasil analisis dampak lalu lintas. Jaringan Lalu Lintas adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan. Pemakai Jalan adalah orang yang memakai Jalan untuk berlalu lintas. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. Rambu Peringatan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan. Rambu Larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan pemakai jalan. Rambu Perintah adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu Petunjuk adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lainlain bagi pemakai jalan.
25. Papan Tambahan adalah papan yang dipasang dibawah daun rambu yang memberikan penjelasan lebih lanjut dari suatu rambu. 26. Kecepatan adalah kemampuan untuk menempuh jarak tertentu dalam satuan waktu, dinyatakan dalam kilometer per jam. 27. Pusat kegiatan adalah bangunan untuk kegiatan perdagangan, perkantoran, industri, fasilitas pendidikan, fasilitas pelayanan umum dan/atau kegiatan lain yang menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas. 28. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas. 29. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang ditunjuk diberi wewenang dan kewajiban untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah Kota Padang yang memuat ketentuan pidana. 30. Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya. 31. Pelayaran, adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan serta keamanan dan keselamatannya; 32. Kapal, adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin atau tunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah; 33. Angkutan Laut, adalah setiap kegiatan angkutan dengnan menggunakan kapal untuk mengangkut penumpang, barang, dan/atau hewan dalam satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut; 34. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk radio dan elektronik kapal; 35. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal serta penumpang dan status hokum kapal untuk berlayar di perairan tertentu; 36. Pengukuran Kapal, adalah pengukuran kapal yang dilakukan untuk menentukan ukuran tonase kapal; 37. Surat Ukur Kapal adalah surat keterangan yang menunjukkan besarnya angkut suatu kapal ( volume ) 38. Tonase Kotor yang selanjutnya disebut GT adalah satuan volume kapal; 39. Sertifikasi Kesempurnaan Kapal atau disebut Sertifikat Kesempurnaan, adalah salah satu dari surat-surat kapal yang harus berada di kapal saat kapal berlayar, isinya menyatakan bahwa kapal tersebut telah memenuhi persyaratan kesempurnaan dan kelengkapan untuk berlayar pada perairan tertentu; 40. Pas Kecil Kapal atau disebut Pas Kapal, adalah salah satu surat kapal untuk ukuran dibawah GT 7 ( Tujuh Gross Tonage ) ( ukuran < GT 7 ) yang berada di kapal apabila kapal akan berlayar, dalam pas kecil kapal dicantumkan data umum ukuran dan tonase kapal yang bersangkutan; 41. Nahkoda adalah salah seorang dari awak kapalyang menjadi pimpinan umum di atas kapal serta mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 42. Operator Kapal adalah orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal; 43. Surat Keterangan Kecakapan selanjutnya disingkat SKK adalah tanda bukti kecakapan yang wajib dimiliki oleh seorang yang memimpin dan bertanggung jawab di atas kapal baik di bagian nautis maupun teknika ; BAB II. MAKSUD, TUJUAN DAN ASAS Bagian Kesatu Maksud dan Tujuan
Pasal 2 Pengaturan penyelenggaraan perhubungan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan perhubungan melalui sistem transportasiyang efektif dan efisien guna mendorong perekonomian Daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 3 Penyelenggaraan perhubungan bertujuan untuk: a. mewujudkan pelayanan transportasi darat, laut dan udara yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu untuk mendorong perekonomian Daerah, serta memajukan kesejahteraan masyarakat; b. mewujudkan etika penyelenggaraan perhubungan darat, laut dan udara; dan c. mewujudkan penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Bagian Kedua Asas Pasal 4 Penyelenggaraan perhubungan berasaskan: a. asas transparansi; b. asas akuntabilitas; c. asas berwawasan lingkungan hidup; d. asas berkelanjutan; e. asas partisipatif; f. asas manfaat; g. asas efisien dan efektif; h. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan; i. asas keterpaduan; j. asas kemandirian; k. asas keadilan; l. asas kepentingan umum; m. asas kedaulatan; dan n. asaskebangsaan. BAB III. FUNGSI DAN KEDUDUKAN Pasal 5 (1) Penyelenggaraan perhubungan di Daerah merupakan penyelaras kebijakan pembangunan transportasi di Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Nusa Tenggara Barat dan dokumen perencanaan Daerah dalam kerangka Sistem Transportasi Nasional (Sistranas). (2) Kedudukan penyelenggaraan perhubungan di Daerah sebagai pedoman dalam: a. Penyelenggaraan perhubungan darat, laut secara terintegrasi; b. Penyusunan tataran transportasi lokal (Tatralok). BAB IV. RUANG LINGKUP Pasal 6 (1) Ruang lingkup penyelenggaraan perhubungan, meliputi: a. Perhubungan darat; dan b. Perhubungan laut. (2) Penyelenggaraan perhubungansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpadu melalui keterkaitan antarmoda dan intramoda untuk menjangkau dan menghubungkan seluruh wilayah di Daerah dan antara daerah dengan daerah lainnya. BAB V. KEWENANGAN Bagian Kesatu Penyelenggaraan Perhubungan Darat
Pasal 7 Dalam penyelenggaraan perhubungan darat, PemerintahDaerahmempunyaikewenangan: 1. Penyusunan dan penetapan rencana induk jaringan lalulintas dan angkutan jalan Daerah; 2. penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalulintas di jalan kabupaten; 3. penyelenggaraan analisis dampak lalulintas di jalan kabupaten; 4. penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C; 5. pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe C; 6. Pembangunan dan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C; 7. Pembangunan dan pengoperasian terminal barang; 8. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota. 9. Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum. 10. Pemberianizin usahamendirikan pendidikan dan latihanmengemudi. 11. pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalulintas di jalan kabupaten; 12. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 13. penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten; 14. penerbitan izin trayek angkutan perkotaan dan perdesaan; 15. penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten; 16. Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten; 17. Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten; 18. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa; 19. Pemberian izin usaha angkutan pariwisata; 20. Pemberian izin usaha angkutan barang; 21. penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan kota dan angkutan perdesaan; 22. penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalulintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten; 23. penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalulintas di jalan kabupaten; 24. Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten; 25. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor; 26. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya 27. perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalulintas di jalan kabupaten; 28. pelaksanaan penyidikan pelanggaran : a. Peraturan Daerah bidang lalulintas dan angkutan jalan; b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan; c. Pelanggaran ketentuan pengujian berkala; dan d. Perizinanangkutan umum. 29. Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota. Bagian Kedua Penyelenggaraan Perhubungan Laut Pasal 8 Dalam penyelenggaraan perhubungan laut, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan: 1. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yg berlayar di laut: a. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal; b. Pelaksanaan pengukuran kapal; c. Penerbitan pas kecil;
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
34.
35. 36. 37. 38.
d. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil; e. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal; f. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal; g. Penerbitas sertifikat keselamatan kapal h. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal; i. penerbitan dokumen pengawakan; Penetapan penggunaan tanah lokasi pelabuhan laut; Pengelolaan pelabuhan lokal lama; Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh kabupaten/kota.; Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hubungan internasional dan nasional; Penetapan rencana induk pelabuhan lokal; Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum; Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus; penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut lokal; penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus lokal; penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut lokal; penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus lokal; rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub; rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional; rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional; rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal; Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal; Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut lokal; Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal; Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal; Penetapan TUKS dan Terminal Khusus di pelabuhan lokal; Pelaksanaan rancang bangun fasilitas pelabuhan bagi pelabuhan dengan pelayaran lokal (kabupaten).; Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal; Izin kegiatan reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal; Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut lokal; Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus lokal; Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri Penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah Daerah; Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam Daerah; Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam Daerah; Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam Daerah; Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam Daerah; Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam Daerah; Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur (liner) dan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur (tramper) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam Daerah; Izin usaha tally di pelabuhan; Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal; izin usaha ekspedisi/freight forwarder; Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat pengawasan dan alat pengamanan (rambu-rambu), lintasan dalam Daerah;
39. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha dan kegiatan salvage serta persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatannya dalam Daerah; BAB VI. ARAH KEBIJAKAN DAN TATARAN TRANSPORTASI LOKAL Bagian Kesatu Arah Kebijakan Paragraf Satu Perhubungan Darat Pasal 9 Arah kebijakan perhubungan darat di Daerah meliputi : a. pengharmonisasian sistem jaringan jalan dengan kebijakan RTRWP dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), serta meningkatkan keterpaduan dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam konteks pelayanan antarmoda dan Sistranas; b. pengembangan Rencana Induk Jaringan Lalulintas Jalan Kabupaten berbasis wilayah; c. pengembangan angkutan massal; d. pengembangan angkutan yang berbasis energi alternatif; e. mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan dan penyediaan prasarana jalan; f. peningkatan kondisi pelayanan prasarana jalan melalui penanganan muatan lebih secara komprehensif, dan melibatkan berbagai instansi terkait; g. peningkatan keselamatan lalulintas jalan secara komprehensif dan terpadu; h. peningkatan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu melalui penataan, sistem jaringan dan terminal, serta manajemen rekayasa lalulintas; i. peningkatan aksesibilitas pelayanan kepada masyarakat melalui penyediaan pelayanan angkutan di Daerah, termasuk aksesibilitas untuk penyandang cacat; j. peningkatan efisiensi dan efektivitas peraturan serta kinerja kelembagaan; dan k. peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia aparatur dan operator serta disiplin pengguna jasa, peningkatan kemampuan manajemen dan rekayasa lalulintas, serta pembinaan teknis tentang pelayanan operasional transportasi, dan dukungan pengembangan transportasi yang berkelanjutan, terutama penggunaan transportasi umum masal yang efisien. Paragraf Dua Perhubungan Laut Pasal 10 Arah kebijakan perhubungan laut meliputi : a. peningkatan peran armada pelayaran baik untuk angkutan dalam negeri maupun ekspor-impor; b. penyelenggaraan pelabuhan pengumpan lokal yang dikelola Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah; c. pemutakhiran tatanan kepelabuhanan Daerah, mengacu pada Sistranas, Tatrawil dan Tatralok; d. peningkatan keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana, sarana dan pengelolaan perhubungan laut; e. peningkatan kelancaran pelayanan angkutan laut secara terpadu melalui penataan sistem jaringan jalan dan pelabuhan; f. peningkatan aksesibilitas pelayanan perhubungan laut; dan g. mendorong peranserta Pemerintah Daerah dan swasta dalam penyelenggaraan perhubungan laut. Bagian Kedua Tataran Transportasi Lokal
Pasal 11 (1) Pemerintah Daerah menyusun Tatralok sebagai pedoman penyelenggaraan perhubungan di Daerah. (2) Tatralok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat : a. perkembangan lingkungan strategis internal dan eksternal; b. arah pengembangan jaringan transportasi darat, transportasi laut; dan c. kondisi tingkat bangkitan dan tarikan, serta pola pergerakan saat ini dan yang akan datang melalui peramalan transportasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tatralok diatur dengan Peraturan Bupati. BAB VII. PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DARAT Bagian Kesatu Rencana Induk Jaringan Lalulintas dan Angkutan Jalan Kabupaten Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah menyusun dan menetapkan Rencana Induk Jaringan Lalulintas dan Angkutan Jalan Kabupaten secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan lalulintas dan angkutan jalan serta ruang kegiatan, yang memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan skala Kabupaten; b. arah dan kebijakan peranan lalulintas dan angkutan jalan kabupaten dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan simpul kabupaten; dan d. rencana kebutuhan ruang lalulintas kabupaten. (2) Rencana Induk Jaringan Lalulintas dan Angkutan Jalan Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pedoman untuk mewujudkan lalulintas dan angkutan jalan yang terpadu dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. (3) Rencana Induk Jaringan Lalulintas dan Angkutan Jalan Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Ruang Lalu Lintas Paragraf Satu Manajemen dan Rekayasa Lalulintas Pasal 13 Pemerintah Daerah melaksanakan manajemen dan rekayasa lalulintas pada jalan kabupaten, jalan desa dan jalan lingkungan yang digunakanuntuk lalu lintas umum meliputi kegiatan : a. perencanaan; b. pengaturan; c. perekayasaan; d. pemberdayaan; dan e. pengawasan. Pasal 14 Pemerintah Daerah melakukan kegiatan perencanaansebagaimana dimaksud pasal 21 huruf ameliputi: a. identifikasi masalah lalulintas; b. inventarisasi dan analisis situasi arus lalulintas; c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang;
d. e. f. g.
inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung kendaraan; inventarisasi dan analisis dampak lalulintas; penetapan tingkat pelayanan; dan penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalulintas. Pasal 15
(1) Pemerintah Daerah melakukan kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf b melalui penetapan kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalulintas pada jaringan jalan kabupaten, jalan desa dan jalan lingkungan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum; (2) Kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalulintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perintah, larangan, peringatan dan/atau petunjuk; (3) Perintah, larangan, peringatan dan/atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dinyatakan denganrambu lalulintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi isyarat lalulintas (APILL) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Pemerintah Daerah melakukan kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf (c)melalui pengadaan,pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada jalan kabupaten yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan; (2) Pengadaan dan pemasangan perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Inventarisasi kebutuhan perlengkapan jalan sesuai kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalulintas yang telah ditetapkan; b. Penetapan jumlah kebutuhan dan lokasi pemasangan perlengkapan jalan; c. Penetapan lokasi rinci pemasangan perlengkapan jalan; d. Penyusunan spesifikasi teknis yang dilengkapi dengan gambar teknis perlengkapan jalan; dan e. Kegiatan pemasangan perlengkapan jalan sesuai kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalulintas yang telah ditetapkan. (3) Perbaikan dan pemeliharaan perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemantauan keberadaan dan kinerja perlengkapan jalan; b. Pembersihan benda-benda yang dapat mengurangi atau menghilangkan fungsi/kinerja perlengkapan jalan; c. Penyesuaiantata letak perlengkapan jalan apabila terjadi perubahan atau pergeseran posisi pada ruas jalan; dan d. Perbaikan, pemeliharaan dan/ataupenggantian perlengkapan jalan yang rusak, cacat atau hilang; Pasal 17 Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf (d)meliputi arahan, bimbingan, penyuluhan, pelatihan dan bantuan teknis kepada masyarakat umum. Pasal 18 Pemerintah Daerah melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pasal 21 huruf (e), meliputi : a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan; b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan c. tindakan penegakan hukum. Paragraf Dua Analisis Dampak Lalulintas
Pasal 19 (1) Setiap rencanapembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur pada jalan kabupaten yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalulintas dan angkutan jalan, wajib dilakukan analisis dampak lalulintas. (2) Pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa: a. kegiatan perdagangan; b. kegiatan perkantoran; c. kegiatan industri; d. fasilitas pendidikan; e. fasilitas pelayanan umum; dan/atau f. kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas. (3) Permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) berupa: a. perumahan dan permukiman; b. rumah susun dan apartemen; dan/atau c. permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas. (4) Infrastruktursebagaimana dimaksuddalam ayat (1) berupa: a. akses ke dan dari jalan tol; b. pelabuhan; c. bandar udara; d. terminal; e. stasiun kereta api; f. pool kendaraan; g. fasilitas parkir untuk umum; dan/atau h. infrastruktur lainnya. (5) Kriteria pusat kegiatan, pemukiman, dan infrastruktur yang dapat menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 20 Analisis dampak lalulintas sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 paling kurang memuat: a. Analisis bangkitan dan tarikan lalulintas dan angkutan jalan; b. Simulasi kinerja lalulintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. Rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak; d. Tanggungjawab pemerintah daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan e. Rencana pemantauan dan evaluasi. Pasal 21 Pengembang atau pembangun melakukan analisis dampak lalu lintas dengan menunjuk lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Hasil analisis dampak lalu lintas merupakan salah satu persyaratan pengembang atau pembangun untuk memperoleh: a. izin lokasi; b. izin mendirikan bangunan; atau c. izin pembangunan bangunan gedung dengan fungsi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 (1) Hasil analisis dampak lalulintas disusun dalam bentuk Dokumen Hasil Analisis Dampak Lalulintas. (2) Dokumen hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. b. c. d. e.
analisis bangkitan dan tarikan lalulintas dan angkutan jalan akibat pembangunan; simulasi kinerja lalu lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak; tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Pengembang atau Pembangun dalam penanganan dampak; dan rencana pemantauan dan evaluasi. Pasal 24
(1) Hasil analisis dampak lalulintas sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 harus disampaikan kepada Bupati untuk mendapatkan persetujuan; (2) Bupati memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen hasil analisis dampak lalu lintas secara lengkap dan memenuhi persyaratan; (3) Bupati dapat melimpahkan kewenangan untuk menetapkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dinas. Pasal 25 (1) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Bupati membentuk tim evaluasi dokumen hasil analisis dampak lalu lintas yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiridari unsur pembina sarana dan prasarana lalu lintas danangkutan jalan, pembina jalan, dan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, yang mempunyai tugas: a. melakukan penilaian terhadap hasil analisis dampak lalu lintas; dan b. menilai kelayakan rekomendasi yang diusulkan dalam hasil analisis dampak lalu lintas Pasal 26 (1) Hasil penilaian tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 disampaikan kepada Bupati. (2) Dalam hal hasil penilaian tim evaluasi menyatakan hasil analisis dampak lalu lintas belum memenuhi persyaratan, maka Bupati mengembalikan hasil analisis kepada Pengembang atau Pembangun untuk disempurnakan. (3) Dalam hal hasil penilaiantimevaluasi menyatakan hasil analisis dampak lalu lintas telah memenuhi persyaratan, maka Bupati meminta kepada Pengembang atau Pembangun untuk membuat dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan melaksanakan semua kewajiban yang tercantum dalam dokumen hasil analisis dampak lalu lintas. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen hasil analisis dampak lalu lintas. (5) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus terpenuhi selama pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur dioperasikan. Pasal 27 (1) Dinas melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi. (3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pemberian sanksi administratif. (4) Tatacara pengenaan sanksi administratif akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Bupati. Bagian Ketiga Uji Berkala Kendaraan Bermotor Paragraf Satu Umum
Pasal 28 (1) Setiap mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diregistrasi di Daerah untuk dioperasikan di jalan wajib melakukanuji berkala; (2) Uji Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh a. Unit pelaksana pengujian milik Pemerintah Daerah; b. Unit pelaksana agen tunggal pemegang merk yang mendapat izin Pemerintah; dan c. Unit pelaksanapengujian swasta yang mendapat izin Pemerintah (3) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku selama 6 (enam) bulan. (4) Uji berkala yang dilakukan di unit pelaksana pengujian milik Pemerintah Daerahsebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dikenakan retribusi. Pasal 29 (1) Uji berkalameliputi kegiatan Pemeriksaan Persyaratan Teknis, Pengujian Persyaratan Laik Jalan dan Pemberian Bukti Lulus Uji. (2) Pemeriksaan Persyaratan Teknissebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan: a. Susunan; b. Perlengkapan; c. Ukuran; d. Rumah-rumah; dan e. Rancangan teknis kendaraan bermotor sesuai dengan peruntukannya. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara visual dan pengecekan secara manual dengan atau tanpa alat bantu. (4) Pengujian persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. Emisi gas buang; b. Tingkat kebisingan; c. Kemampuan rem utama; d. Kemampuan rem parkir; e. Kincup roda depan; f. Kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama; g. Akurasi alat penunjuk kecepatan; dan h. Kedalaman alur ban. Paragraf Dua Bukti Lulus Uji Berkala Pasal 30 (1) Mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan di Daerah yang telah dinyatakan luluspemeriksaan dan pengujian diberikan bukti lulus uji berkala kendaraan bermotor. (2) Bukti lulus uji berkala kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud ayat (1)diberikan dalam bentuk: a. buku uji berkala; b. tanda uji berkala; dan c. tanda samping. Pasal 31 (1) Dalam hal Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak lulus uji, penguji wajib menerbitkan surat keterangan tidak lulus uji. (2) Surat keterangan tidak lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pemilik Kendaraan Bermotor dengan mencantumkan: a. item yang tidak lulus uji; b. alasan tidak lulus uji; c. perbaikan yang harus dilakukan; dan d. waktu dan tempat dilakukan pengujian ulang.
(3) Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melakukan perbaikansebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. Pasal 32 (1) Dalam hal pemilik Kendaraan Bermotor tidak menyetujuisurat keterangan tidak lulus uji sebagaimana dimaksudpada pasal 31 dapat mengajukan keberatan kepada Dinas. (2) Dalam hal keberatan diterima oleh Dinas, pemilik kendaraan berhak mendapatkan bukti lulus uji sebagaimana dimaksud dalam pasal 30. (3) Dalam hal keberatan diterima oleh Dinas, Pemilik kendaraan wajib menjalankan uji ulang sesuai dengan waktu dan tempat yang ditetapkan dalam surat keterangan tidak lulus uji. (4) Uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperlakukan sebagai permohonan baru kecuali permohonan uji ulang dilakukan setelah batas waktu yang ditetapkan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Bupati.
Paragraf Tiga Tenaga Penguji Pasal 33 (1) Uji berkala dilakukan oleh tenaga penguji yang memiliki kualifikasi teknis tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap tenaga penguji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang sedang menjalankan tugas harus mengenakan tandakualifikasi. Paragraf Empat Peralatan Uji Pasal 34 (1) Unit pelaksana uji berkala kendaraan bermotor harus memiliki peralatan pengujian yang lengkap. (2) Peralatan pengujian lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. alat uji emisi gas buang; b. alat uji kebisingan; c. alat uji rem; d. alat uji lampu; e. alat uji kincup roda depan; f. alat uji penunjuk kecepatan; g. alat pengukur kedalaman alur ban; h. alat pengukur berat; i. alat pengukur dimensi; j. alat uji daya tembus cahaya pada kaca; k. kompresor udara; l. generator set; dan m. peralatan bantu. (3) Unit pelaksana pengujian milik Pemerintah Daerah melakukan pengadaanperalatan pengujian lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta melakukan pemeliharaan dan kalibrasisetiap 1 (satu) tahun sekali. (4) Unit pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor yang tidak melakukan kalibrasi peralatan, hasil Uji Berkala yang dilakukan dinyatakan tidak sah. Paragraf Lima Prosedur Uji Berkala Pasal 35 Prosedur uji berkala pada Unit pelaksana pengujian Daerahmeliputi:
milik
Pemerintah
a. b.
Uji berkala pertama; Uji berkala berikutnya; Pasal 36
(1) Permohonan Uji berkala pertama sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf a dilakukan dengan membawa kendaraan bermotor ke unit pengujian dan menyampaikan permohonan tertulis kepada Dinas dengan dengan melampirkan: a. fotocopy sertifikat registrasi uji tipe; b. fotocopy identitas pemilik Kendaraan Bermotor; c. fotocopybukti pemilik Kendaraan Bermotor; dan d. fotocopy Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Permohonan Uji berkala berikutnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b dilakukan dengan membawa kendaraan bermotor ke unit pengujian dan menyampaikan permohonan tertulis kepada Dinas dengan dengan melampirkan: a. bukti lulus uji berkala seelumnya; dan b. fotocopy identitas pemilik Kendaraan Pasal 37 (1) Dalam hal terdapat perubahan kepemilikan, spesifikasi teknis dan/atau wilayah operasi Kendaraan bermotor, pemilik atau pemilik baru kendaraan bermotor wajib mengajukan permohonan perubahan bukti lulus Uji Berkala. (2) Permohonan perubahan bukti lulus Uji Berkala untuk perubahan kepemilikan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan membawa kendaraan bermotor ke unit pengujian dan menyampaikan permohonan tertulis kepada Dinas dengan dengan melampirkan: a. bukti lulus Uji Berkala sebelumnya; b. fotocopybukti pemilik Kendaraan Bermotor; c. fotocopy Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; d. fotocopy identitas pemilik Kendaraan; dan e. keterangan mengenai perubahan kepemilikan; (3) Permohonan perubahan bukti lulus Uji Berkala untuk perubahan spesifikasi teknis kendaraan bermotor dilakukan dengan membawa kendaraan bermotor ke unit pengujian dan menyampaikan permohonan tertulis kepada Dinas dengan dengan melampirkan: a. bukti lulus Uji Berkala sebelumnya; b. fotocopybukti pemilik Kendaraan Bermotor; c. fotocopy Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; d. fotocopy identitas pemilik Kendaraan; dan e. keterangan mengenai perubahan spesifikasi teknis; (4) Permohonan perubahan bukti lulus Uji Berkala untuk perubahan wilayah operasi kendaraan bermotor dilakukan dengan membawa kendaraan bermotor ke unit pengujian dan menyampaikan permohonan tertulis kepada Dinas dengan dengan melampirkan: a. bukti lulus Uji Berkala sebelumnya; b. fotocopybukti pemilik Kendaraan Bermotor; c. fotocopy Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; d. fotocopy identitas pemilik Kendaraan; dan e. keterangan mengenai perubahan wilayah operasi; Pasal 38 (1) Dalam keadaan tertentu, mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diregistrasi di daerah lain, dapat melakukan uji berkala pada unit pengujian milik Daerah. (2) Permohonan Uji berkala berikutnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b dilakukan dengan membawa kendaraan bermotor ke unit pengujian dan menyampaikan permohonan tertulis kepada Dinas dengan dengan melampirkan: a. bukti lulus uji berkala sebelumnya; b. fotocopy identitas pemilik Kendaraan; dan
c. keterangan dari unit pelaksana uji berkala daerah asal kendaraan. (3) Hasil pengujian kendaraan bermotor dilaporkan oleh Unit pelaksana pengujian milik Pemerintah Daerah kepada unit pelaksana uji berkala daerah asal kendaraan. Bagian Keempat Angkutan Paragraf Satu Angkutan Orang dan Barang Pasal 39 (1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. (2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus. (3) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Tidak Bermotor berupa Cidomo atau Sepeda. (4) Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor wajib menggunakan mobil barang. (5) Mobil barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilarang digunakan untuk angkutan orang, kecuali dalam hal tertentu yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan. Paragraf Dua Angkutan Umum Pasal 40 (1) Angkutan Umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau; (2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum; (3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 41 Penyedian jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf Tiga AngkutanOrang dengan Kendaraan Bermotor Umum Pasal 42 Pemerintah Daerah menetapkan pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di dalam Daerah,terdiri atas: a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek. Pasal 43 (1) Jenis pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 huruf a terdiri atas: a. angkutan perkotaan yang berada dalam wilayah Daerah; dan b. angkutan perdesaanyang berada dalam wilayah Daerah. (2) Jenis pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Taksi yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Daerah; dan b. AngkutanKawasanTertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Daerah.
Pasal 44 (1) Jenis pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a harus memiliki jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan umum. (2) Jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek dan dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. (4) Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikaji ulang secara berkala paling lama setiap5 (lima) tahun. Pasal 45 (1) Pemerintah Daerah menetapkan standar pelayanan minimal angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, meliputi : a. Keamanan; b. Keselamatan; c. Kenyamanan; d. Keterjangkauan; e. Kesetaraan; dan f. Keteraturan. (2) Perusahaan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 46 (1) Perusahaan angkutanumum yang menyelenggarakan angkutan orang di Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 wajib memiliki izin. (2) Jangka waktu izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Penerbitan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut Retribusi. Pasal 47 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 35, meliputi: a. Izin trayek; dan b. Izin operasi. (2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Perusahaan angkutan umum menyampaikan permohonan kepada Bupati dengan melampirkan: a. Nomor pokok wajib pajak (npwp); b. Akte pendirian perusahaan; c. Surat keterangan domisili perusahaan; d. Surat izin tempat usaha (situ); e. Pernyataan kesanggupan untuk memenuhi seluruh kewajiban sebagai pemegang izin. f. Pernyataan memiliki atau menguasai 5 (lima) kendaraan bermotor dengan fotokopi surat tanda nomor kendaraan bermotor sesuai domisiliperusahaan dan fotokopi buku uji; g. Pernyataan memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan (pool) kendaraan bermotor yang dibuktikan dengan gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai pemilikan; h. Surat keterangan memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan bermotor; i. Surat keterangan kondisi usaha; j. Surat keterangan komitmen usaha; dan
k. Surat keterangan dari dinas. (3) Bupati wajib memberikan jawaban persetujuan atau penolakan terhadap permohonan yang diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima dengan lengkap dan memenuhi persyaratan. Pasal 48 (1) Setiap perusahaan angkutan umum yang telah mendapat izin trayek sebagaimana dimaksud pasal 36 ayat (1) huruf a, dapat menyediakan kendaraan cadangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari jumlah seluruh kendaraan bermotor yang diberi izin trayek. (2) Kendaraan cadangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dioperasikan apabila kendaraan yang melayani angkutan pada trayek sesuai dengan izin yang diberikan mengalami kerusakan atau tidak dapat melanjutkan perjalanan. (3) Kendaraan cadangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi kartu pengawasan cadangan dan kartu pengawasan kendaraan yang memiliki izin trayek yang digantikannya. Pasal 49 (1) Perusahaanangkutan umum yang telah memiliki izin trayek dapat diberikan izininsidentil untuk menggunakan kendaraan bermotor cadangannya menyimpang dari izin trayek yang dimiliki. (2) Izin insidentil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan untuk kepentingan: a. menambah kekurangan angkutan pada waktu keadaan tertentu, seperti angkutan pada hari-hari besar keagamaan, angkutan haji, angkutan liburan sekolah dan angkutan transmigrasi; b. keadaan darurat tertentu, seperti bencana alam dan lain-lain. (3) Izin insidentil hanya diberikan untuk satu kali perjalanan pulang pergi dan berlaku paling lama 14 (empat belas) hari serta tidak dapat diperpanjang. (4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipungut Retribusi. Pasal 50 Pemerintah Daerah memberikan rekomendasi terhadap penerbitan izin, meliputi: a. Izin trayek angkutan antar Kota Dalam Provinsi yang melalui wilayah Daerah; b. Izin trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah Daerah; c. Izin trayek angkutan perdesaanyang melampaui wilayah Daerah; d. Izin operasi angkutan taksi yang wilayah operasinya melayani wilayah Daerah; dan e. Izin operasi angkutan kawasan tertentuyang wilayah operasinya melayani wilayah Daerah. Pasal 51 (1) Pemerintah Daerah menetapkan tarif penumpang kelas ekonomi untuk penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek. (2) Pemerintah Daerah menetapkan tarif batas atas untuk penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek. (3) Tarif sebagaimanadimaksuddalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan Bupati. Paragraf Empat Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor Umum Pasal 52 Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan barang umum; dan b. angkutan barang khusus.
Pasal 53 (1) Pemerintah Daerah menyusun dan menetapkan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan Kabupaten. (2) Jaringan lintas angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati berdasarkan kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima Terminal Paragraf Satu Umum Pasal 54 (1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di Daerah, dapat dibangun dan diselenggarakan terminal. (2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa terminal penumpang dan/atau terminal barang. (3) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C. (4) Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun terminal barang di Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Setiap kendaraan bermotor umum dalam trayek wajib singgah di terminal penumpang yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Paragraf Dua Penetapan Lokasi Terminal Pasal 55 (1) Penetapan lokasi terminaldi Daerah dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalulintas dan Angkutan Jalan Kabupaten. (2) Penetapan lokasi terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan: a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas; d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan; e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f. permintaan angkutan; g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau i. kelestarian lingkungan hidup. (3) Penetapan lokasi terminalsebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan oleh Bupatisesuai kewenangannya menurut peraturan perundang-undangan. Paragraf Tiga Fasilitas Terminal Pasal 56 (1) Setiappenyelenggara Terminaldi Daerah wajibmenyediakanfasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan dan memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang cacat. (2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(1) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan. Paragraf Empat Lingkungan Kerja Terminal Pasal 57 (1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal. (2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal. (3) Lingkungan kerja terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf Lima Pembangunan dan Pengoperasian Terminal Pasal 58 (1) Pembangunan terminal di daerah harus dilengkapi dengan: a. Rancang bangun; b. buku kerja rancang bangun; c. rencana induk Terminal; d. analisis dampak Lalu Lintas; dan e. analisis mengenai dampak lingkungan.. (2) Rancang bangun terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf aharus disahkan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 59 (1) Pengoperasian Terminal dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan: a. Direktur Jenderal Perhubungan Darat untuk terminal penumpang tipe A; b. Gubernur Provinsi NTB untuk terminal penumpang tipe B dan Terminal Barang; c. Bupati untuk terminal tipe C; dan (2) pengoperasian terminal meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; dan c. pengawasan operasional terminal. BAB VIII. PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN LAUT Bagian Kesatu Angkutan Laut Paragraf Satu Jenis Angkutan Laut Pasal 60 Jenis angkutan laut terdiri atas : a. angkutan laut dalam negeri; b. angkutan laut khusus; dan c. angkutanlaut pelayaran rakyat. Paragraf Dua Angkutan Laut Dalam Negeri Pasal 61 (1) Angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha perusahaan angkutan laut sebagaimanadimaksud pada ayat (1) yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam Daerah. (3) Penerbitan izin usaha perusahaan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut retribusi. Pasal 62 (1) Pemerintah Daerah menyusun jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri di Daerah bersama-sama Pemerintah dengan asosiasi pengguna jasa angkutan laut. (2) Ketentuan mengenai jaringan trayek tetap angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Paragraf Tiga Angkutan Laut Khusus Pasal 63 (1) Kegiatan angkutan laut khusus di Daerah dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok bagi kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf Empat Angkutan Laut Pelayaran Rakyat Pasal 64 (1) Kegiatan angkutan laut pelayaran rakyat di Daerah merupakan usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan yang mempunyai peranan penting dan memiliki karakteristik tersendiri. (2) Kegiatan angkutan laut pelayaran rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (3) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha angkutan laut pelayaran rakyat untuk orang perseorangan atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam Daerah. (4) Penerbitan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipungut retribusi. Bagian Kedua Kegiatan Usaha Jasa Terkait Angkutan di Perairan Paragraf Satu Kegiatan Usaha Jasa Pasal 65 (1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan, dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. (2) Usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. bongkar muat barang; b. jasa pengurusan transportasi; c. angkutan perairan pelabuhan; d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;
e. tally mandiri; dan f. depo peti kemas. (3) Kegiatan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diselenggarakan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk jenis usaha kegiatan sebagaimana dimaksudpada ayat (2). Paragraf Dua UsahaBongkarMuat Pasal 66 (1) PemerintahDaerahmenerbitkanizinusahabongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (2) huruf a pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan. (2) Penerbitan izin usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. (3) Penerbitan izin usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan bongkar muat masih menjalankan kegiatan usaha bongkar muat dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali. (4) Penerbitan izin usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Gubernur secara berkala setiap semester kepada Menteri Perhubungan. (5) Penerbitan izin usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut retribusi. Paragraf Tiga Jasa Pengurusan Transportasi Pasal 67 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (2) huruf b berdasarkan tempat perusahaan berdomisili. (2) Penerbitan izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penerbitan izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan jasa pengurusan transportasi masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali. (4) Penerbitan izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Bupati secara berkala setiap semester kepada Gubernur dan Menteri Perhubungan. (5) Penerbitan izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut retribusi. Paragraf Empat Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan Pasal 68 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (2) huruf c pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan. (2) Penerbitan izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. (3) Penerbitan izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan angkutan perairan pelabuhan masih menjalankan kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali.
(4) Penerbitan izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Bupati secara berkala setiap semester kepada Gubernur dan Menteri Perhubungan. (5) Penerbitan izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut retribusi. Paragraf Lima Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Peralatan Jasa Terkait dengan Angkutan Laut Pasal 69 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (2) huruf d pada tempat perusahaan berdomisili. (2) Penerbitan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penerbitan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut masih menjalankan kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali. (4) Penerbitan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Bupati secara berkala setiap semester kepada Gubernur dan Menteri Perhubungan. (5) Penerbitan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut retribusi.
Paragraf Enam Tally Mandiri Pasal 70 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (2) huruf e pada tempat perusahaan berdomisili. (2) Penerbitan izin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penerbitan izin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan masih menjalankan kegiatan usaha tally mandiri dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali. (4) Penerbitan zin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Bupati secara berkala setiap semester kepada Gubernur dan Menteri Perhubungan. (5) Penerbitan izin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut retribusi.
Paragraf Tujuh Depo Peti Kemas Pasal 71 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (2) huruf f pada tempat perusahaan berdomisili. (2) Penerbitan izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.
(3) Penerbitan izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan masih menjalankan kegiatan usaha depo peti kemas dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali. (4) Penerbitan izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan oleh Bupati secara berkala setiap semester kepada Bupati dan Menteri Perhubungan. (5) Penerbitan izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut retribusi. Bagian Ketiga Kepelabuhanan Paragraf Satu Tatanan Kepelabuhanan Pasal 72 (1) Tatanan kepelabuhanan diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan Daerah yang berwawasan nusantara. (2) Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem kepelabuhanan secara lokal yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam. (3) Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat : a. peran, fungsi, jenis; b. Rencana Induk Pelabuhan; dan c. Lokasipelabuhan. Pasal 73 (1) Pelabuhan laut digunakan untuk melayani angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan, serta mempunyai hierarki sebagai berikut : a. pelabuhan utama; b. pelabuhan pengumpul; c. pelabuhan pengumpan lokal; dan d. pelabuhan pengumpan lokal. (2) Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d. Paragraf Dua Rencana Induk Pelabuhan Pasal 74 (1) Pemerintah Daerah menyusun Rencana Induk Pelabuhan Laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) untuk pelabuhan pengumpan lokal, sebagai pedoman penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian dan pengembangan pelabuhan di Daerah. (2) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan : a. RTRWN, RTRWP NTB, dan RTRW Daerah; b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi Daerah; c. potensi sumberdaya alam; dan d. perkembanganlingkungan strategis, baik nasional, lokal maupun lokal. (3) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan rencana peruntukan wilayah perairan. (4) Rencana peruntukan wilayah daratan dan wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada kriteria kebutuhan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi : a. fasilitas pokok; dan
b. fasilitas penunjang. (5) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. (6) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (7) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana, Rencana Induk Pelabuhan dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Pasal 75 Pemerintah Daerah memberikan rekomendasi Rencana Induk Pelabuhan Utama, Pengumpul dan Pengumpul Lokal sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c. Pasal 76 Pemerintah Daerah mengusulkan kepada Pemerintah mengenai rencana penggunaan wilayah daratan dan perairan untuk penetapan lokasi pelabuhan pengumpan lokal, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 77 (1) Pemerintah Daerah memberikan rekomendasi untuk penetapan lokasi pelabuhan laut, meliputi : a. pelabuhan utama; b. pelabuhan pengumpul; dan c. pelabuhan pengumpan lokal. (2) Lokasi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta DLKr dan DLKp pelabuhan. Pasal 78 Pemerintah Daerah menetapkan DLKr dan DLKp pelabuhan pengumpan lokal dengan memperhatikan Tatanan Kepelabuhanan Nasional. Pasal 79 Pemerintah Daerah memberikan rekomendasi untuk penetapan DLKr dan DLKp pelabuhan utama,pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan lokal. Paragraf Tiga Penyelenggaraan Kegiatan di Pelabuhan Pasal 80 (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan kegiatan di pelabuhan pengumpan lokal, meliputi : a. pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian kegiatan kepelabuhanan; dan b. keselamatan dan keamanan pelayaran. (2) Kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah. (3) Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf Empat Pembangunan dan Pengembangan, serta Pengoperasian Pelabuhan Pasal 81 (1) Pembangunan dan pengembangan pelabuhan pengumpan lokal dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan.
(2) Pemerintah Daerah menerbitkan izin pembangunan dan pengembangan pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pembangunan dan pengembangan pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan Daerah. (4) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan, serta memperhatikan keterpaduan intramoda dan antarmoda transportasi. (5) Penerbitan izin pembangunan dan pengembangan pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut retribusi. Pasal 82 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan izin pengoperasian pelabuhan pengumpan lokal. (2) Penerbitan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. pembangunan pelabuhan telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan pelabuhan; b. standar keselamatan dan keamanan pelayaran; c. tersedianya fasilitas untuk menjamin arus penumpang dan barang; d. memiliki sistem pengelolaan lingkungan; e. tersedianya pelaksana kegiatan kepelabuhanan; f. memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan g. tersedianyasumberdaya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat. (3) Penerbitan izin pengoperasian pelabuhan pengumpan lokal tidak dipungut retribusi. Paragraf Lima Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri Pasal 83 (1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar DLKr dan DLKp pelabuhan, dapat dibangun terminal khusus untuk kepentingan sendiri guna menunjang kepentingan pokok. (2) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam DLKr dan DLKp pelabuhan di Daerah, dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri. (3) Lokasi terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan sesuai dengan RTRW Daerah. (4) Bupati memberikan rekomendasi dalam penetapan lokasi terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 84 Pengelolaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 107 ayat (1), dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau Badan yang mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah. Paragraf Enam Jasa Kepelabuhanan Pasal 85 (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan jasa usaha kepelabuhanan di pelabuhan pengumpan lokal, meliputi : a. pelayanan jasa kapal; b. pelayanan jasa barang; c. pelayanan jasa penumpang; d. pelayanan jasa alat; dan e. pelayanan jasa kepelabuhanan lainnya.
(2) Pelayanan jasa usaha kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut retribusi. (3) Tarif retribusi jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah. Bagian Keempat Kelaiklautan Kapal Paragraf Satu Keselamatan Kapal Pasal 86 (1) Setiap kapal yang akan berlayar, harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal. (2) Persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. material; b. konstruksi; c. bangunan; d. permesinan dan perlistrikan; e. stabilitas; f. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio; dan g. elektronika kapal. (3) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan keselamatan kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 GT (GT < 7). Paragraf Dua Surat Ukur Kapal Pasal 87 (1) Pemerintah Daerah melaksanakan pengukuran kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 GT (GT < 7). (2) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh petugas teknis bersertifikat yang ditunjuk oleh Bupati. (3) Hasil pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dituangkan dalam Surat Ukur Kapal dan dicatat dalam buku daftar ukur kapal. (4) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi. Pasal 88 (1) Kapal yang telah memperolehSurat Ukur Kapal sebagaimana dimaksud pada pasal 87 ayat (3) dipasang Tanda Selar. (2) Tanda Selar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rangkaian angka dan huruf yang terdiri dari GT. angka tonase kotor, No. yang diikuti angka nomorsuratukur, dan kode pengukuran dari pelabuhan yang menerbitkan surat ukur. (3) Tanda Selarsebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipasang secara permanen di bagian luar dinding depan bangunan atas atau pada tempat lain yang aman dan mudah dibaca. (4) tanda selar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan angka dan huruf berukuran : a. Tinggi angka 65 mm (enam puluh lima milimeter), lebar 40 mm (empat puluh milimeter); b. Tinggi huruf besar 65 mm (enam puluh lima milimeter), lebar 50 mm (lima puluh milimeter); c. Tinggi huruf kecil 50 mm (lima puluh milimeter), lebar 35 mm (tiga puluh lima milimeter); dan d. Lebar huruf dan angka 12 mm (dua belas milimeter).
Pasal 89 (1) Surat Ukur Kapal sebagaimana dimaksud pada pasal 87 ayat (3)berlaku selama kapal tidak mengalami perubahan ukuran, tonase, nama kapal atau kapal tidak dipergunakan lagi. (2) Surat ukur menjadi tidak berlaku dan harus diterbitkan surat ukur baru apabila kapal mengalami: a. perubahan bangunan yang menyebabkan rincian ukuran dan atau tonase kapal yang tercantum dalam surat ukur berubah; atau b. kapal ganti nama. (3) Pemilik, operator kapal, atau Nakhoda harus segera melaporkan secara tertulis kepada Bupati atau Dinas apabila terjadi perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data yang ada dalam Surat Ukur. Pasal 90 (1) Permohonan pengukuran kapal diajukan oleh pemilik kapal atau yang dikuasakan kepada BupatimelaluiDinas, dilengkapi dengan dokumen meliputi: a. bukti hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. garnbar-gambar kapal yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengukuran kapal. (2) Permohonan pengukuran kapal dapat diajukan untuk dilakukan pengukuran apabila pembangunan kapal paling sedikit secara fisik telah mencapai tahap penyelesaian bangunan lambung, geladak utama, dan seluruh bangunan atas. Paragraf Tiga Pas Kecil Pasal 91 (1) Pemerintah Daerah menerbitkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesiabagi kapal yang berlayar di laut dalam bentuk Pas Kecil untuk kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 GT (GT < 7). (2) Pas kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam buku register pas kecil. Pasal 92 (1) Kapal yang telah memperoleh Pas Kecildiberi Tanda Pas Kecil yang harus dipasang secara permanen dan mudah dilihat pada kedua sisi haluan bagian luar lambung kapal. (2) Tanda Pas Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rangkaian huruf dan angka yang menunjukkan kode pas kecil diikuti dengan huruf No. dan angka yang menunjukkan nomor urut penerbitan pas kecil. (3) Huruf dan angka dalam tanda pas kecil berukuran 150 mm (seratus lima puluh milimeter). Pasal 93 (1) Pas kecil sebagaimana dimaksud pada Pasal 91 berlaku selama 1 (satu) tahun. (2) Pas Kecil menjadi tidak berlaku dan harus diterbitkan Pas Kecil baru apabila kapal mengalami: a. perubahan bangunan yang menyebabkan rincian ukuran dan atau tonase kapal berubah; b. kapal berganti kepemilikan; c. kapal ganti nama; dan d. berakhirnya masa berlaku.
Pasal 94 (1) Untuk memperoleh Pas Kecil sebagaimana dimaksud pada Pasal 91 pemilik kapal mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas dengan dilengkapi: a. bukti hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. identitas pemilik; dan c. surat ukur kapal. (2) Dalam hal Pas Kecil hilang atau rusak, pemilik kapal dapat mengajukan permohonan pas kecil pengganti kepada Bupati melalui Dinas dengan dilengkapi: a. Surat keterengan kehilangan dari Kepolisian; dan/atau b. Pas kecil yang rusak. (3) Penerbitan Pas kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan retribusi. Paragraf Empat Sertifikat Kesempurnaan Kapal Pasal 95 (1) Pemerintah Daerah melaksanakan pemeriksaan persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat (2) untuk kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 GT (GT < 7). (2) Kapal yang lulus pemeriksaan persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Sertifikat Kesempurnaan Kapal. (3) pemeriksaan persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali. Pasal 96 (1) Untuk memperoleh Sertifikat Kesempurnaan Kapal sebagaimana dimaksud pada Pasal 95 pemilik kapal mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas dengan dilengkapi: a. Pas Kecil kapal; b. identitas pemilik; dan c. surat ukur kapal. (2) Dalam hal Sertifikat Kesempurnaan Kapalhilang atau rusak, pemilik kapal dapat mengajukan permohonan Sertifikat Kesempurnaan Kapalpengganti kepada Bupati melalui Dinas dengan dilengkapi: a. Surat keterengan kehilangan dari Kepolisian; dan/atau b. Sertifikat Kesempurnaan Kapalyang rusak. (3) Penerbitan Sertifikat Kesempurnaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan retribusi. Paragraf Lima Pengawakan Kapal Pasal 97 (1) Setiap kapal yang akan berlayarwajib diawaki oleh awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional dalam bentuk Surat Keterangan Kecakapan Kapal. (2) Awak kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nakhoda dan anak buah kapal. (3) Pemerintah Daerah menerbitkan Surat Keterangan Kecakapan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah melakukan uji kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional kepada calon awak kapal. (4) Surat Keterangan Kecakapan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 5 (lima) tahun.
Pasal 98 (1) Untuk memperoleh Surat Keterangan Kecakapan Kapal sebagaimana dimaksud pada Pasal 97,calon awak kapal mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas dengan dilengkapi: a. Fotokopi identitas; b. Fotokopi ijazah terakhir; c. Surat keterangan berbadan sehat dari Dokter; d. Surat keterangan berkelakuan baik dari Kepolisian; dan e. Pas Foto berwarna. (2) Dalam hal Surat Keterangan Kecakapan Kapal hilang atau rusak, awak kapal dapat mengajukan permohonan Surat Keterangan Kecakapan Kapal pengganti kepada Bupati melalui Dinas dengan dilengkapi: a. Surat keterengan kehilangan dari Kepolisian; dan/atau b. Surat Keterangan Kecakapan Kapal yang rusak. (3) Penerbitan Surat Keterangan Kecakapan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dikenakan retribusi. Bagian Kelima Kenavigasian Paragraf Satu Umum Pasal 99 Untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran, diselenggarakan kenavigasian, yang meliputi: a. sarana bantu navigasi pelayaran; b. telekomunikasi pelayaran; c. hidrografi dan meteorologi; d. alur dan perlintasan; e. bangunan dan instalasi; f. pengerukan dan reklamasi; g. pemanduan; h. kerangka kapal; dan i. salvage dan pekerjaan bawah air. BAB IX. PERLAKUAN KHUSUS Pasal 100 (1) Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang transportasi kepada penyandang cacat, manusia usialanjut, anak-anak, wanita hamil dan orang sakit. (2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. penyediaan aksesibilitas; b. prioritas pelayanan; dan c. fasilitas pelayanan. BAB X.
KOORDINASI
Pasal 101 Dalam rangka keterpaduan penyusunan kebijakan penyelenggaraan perhubungan secara terintegrasi dengan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan instansi terkait, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XI. KERJASAMA DAN KEMITRAAN Pasal 102 (1) Pemerintah Daerah mengembangkan pola kerjasama penyelenggaraan perhubungan.
dalam rangka
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara Daerah dengan: a. Pemerintah; b. Pemerintah Provinsi; c. Pemerintah Kabupaten/Kota lain; dan d. Dunia usaha. (3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) meliputi kerjasama : a. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan perhubungan; b. pengembangan perhubungan; dan c. kerjasama lain yang diperlukan sesuai kesepakatan bersama. Pasal 103 (1) Pemerintah Daerah membentuk kemitraan dengan dunia usaha dan/atau lembaga lain dalam rangka penyelenggaraan perhubungan. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kegiatan : a. pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi sumberdaya manusia; b. penelitian dan pengembangan; dan c. kegiatan lain sesuai kesepakatan, dengan prinsip saling menguntungkan. BAB XII. PERANSERTA MASYARAKAT Pasal 104 (1) Dalam meningkatkan penyelenggaraan perhubungan di Daerah, masyarakat memiliki kesempatan untuk berperanserta. (2) Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan perhubungan di Daerah; b. memberi masukan kepada Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang penyelenggaraan perhubungan; c. memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan dan pengawasan perhubungan; d. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan penyelenggaraan perhubungan yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan; dan/atau e. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan perhubungan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum. (3) Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan. BAB XIII. LARANGAN Pasal 105 (1) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal ……………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………. (2) Setiap petugas penyelenggara perhubungan dilarang : a. melakukan pemeriksaan dan pengawasan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. memanipulasi pencatatan data; c. menerimapemberian dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan dan pengawasan. BAB XIV. SANKSI ADMINISTRASI Pasal 106 (1) Orang atau badan usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 105 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi,berupa:
a. teguran tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. pembekuan izin; d. pencabutan izin; e. penetapan ganti rugi; dan f. denda. (2) Setiap petugas yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 105 ayat (2), dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau dibebastugaskan dari jabatannya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XV. KETENTUAN PIDANA Pasal 107 (1) Barang siapa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 105 ayat (1), diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. (3) Dalam hal pelanggaran di bidang lalulintas angkutan darat, lalulintas angkutan laut dan usaha angkutan laut dan penunjang angkutan laut, yang menimbulkan dampak yang luas dan/atau tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman pidana yang lebih tinggi dari ancaman pidana dalam Peraturan Daerah ini, maka dikenakan ancaman pidana yang lebih tinggi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan Daerah dan disetorkan ke Kas Daerah, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. BAB XVI. PENYIDIKAN Pasal 108 (1) Selain oleh pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Penyidik Polri) yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (2) Dalam pelaksanaan tugas penyidikan, PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda dan atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya; dan i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Dalam pelaksanaan tugasnya, PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri
BAB XVII.
PENEGAKAN HUKUM Pasal 109
Penegakan hukum dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan PPNS, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. BAB XVIII.
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 110
Bupati melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan perhubungan di Daerah. BAB XIX. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 111 (1) Seluruh perizinan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perizinan yang sedang diproses pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah ini, harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. (3) Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan, usaha perseorangan yang menyediakan jasa angkutan umum harus menyesuaikan menjadi badan usaha secara bertahap, sesuai Pasal 41. BAB XX. KETENTUAN PENUTUP Pasal 112 Peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan perhubungan yang ditetapkan sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dengan ketentuan harus menyesuaikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan. Pasal 113 Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus sudah ditetapkan paling lambat terhitung 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal 114 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Pasal 115 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannyadalam Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Utara.
Ditetapkan di : Padatanggal : BUPATI LOMBOK UTARA,
H. DJOHAN SJAMSU
Diundangkan di Tanjung
pada tanggal ………………………… 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA
Drs. Suardi LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARATAHUN 20…… NOMOR …………