Rainwater Utilization Management Model Development at the Altitude of Cocoa Plantations Area for the Increase of Cocoa Productivity Muhammad Hasbi1, Rahim Darma2, Muhammad Yamin3, Muhammad Nurdin4, Muhammad Rizal5 1 Department of Computer Science, Mathematics,Hasanuddin University, Indonesia 1,3,4,5 Doctoral Program, Department Of Agricultural, Hasanuddin University, Indonesia 2 Department of Agicultural Socio-economics, Hasanuddin University, Indonesia Email:
[email protected] Abstract Cocoa is an important commodity because it involves about 90% farmers. It can produce throughout the year, and easily marketed. However, cocoa productivity tends to decrease by an average of only 300 kg per hectare per year or away from the potential productivity of two tons. Water management is an alternative method to increase its productivity. Water management could be done with harvesting rainwater on the highest part of cacao plantation area and distribute them by applying the law of gravity. The research objective is to improve cocoa productivity through the improved management of rainwater utilization. One of the important implication of rainwater management implementation was the improvement of micro environment quality that supports the cocoa cultivation throughout the year. The research method used was an experimental design to identify the appropriate technical specification parts of infrastructure to support the rainwater management. This research generated computation models to determine the technical specifications to support the rainwater management infrastructure from the height area to fulfill the water needs of cocoa plants. The implementation of appropriate rainwater utilization management for cocoa plantation will increase the cocoa productivity and be harvested throughout the year. Keywords: Management, rainwater utilization, reservoirs, cocoa plantations.
Pendahuluan Air adalah salah satu kebutuhan utama tanaman kakao. Kekurangan air yang melewati ambang batas kebutuhan tanaman kakao akan menyebabkan dehidrasi. Tanaman kakao yang mengalami dehidrasi akan lebih berat penderitaanya dari pada yang menghadapi serangan penyakit. Sumber air utama di muka bumi adalah air hujan. Volume air hujan yang jatuh di permukaan bumi dalam setiap unit luasan per tahun dinyatakan dengan curah hujan yang diukur dengan satuan tinggi (mm= millimeter). Dengan kata lain, misalkan lokasi A memiliki luas satu ha dengan curah hujan 3000 mm (3 m), maka volume air hujan yang jatuh di lokasi A sepanjang satu tahun adalah 30.000 m3. Volume air hujan yang jatuh di lokasi A sungguh sangat melimpah. Sayangnya, sebagian besar air hujan tersebut tidak dimanfaatkan oleh tanaman karena sudah mengalir ke laut tidak lama setelah air hujan jatuh. Untungnya, air hujan masih terus jatuh secara priodik dari tahun ke tahun dengan tinggi curah hujan yang relative sama. air hujan adalah salah satu sumber pengelolaan sumber daya air di daerah yang mengalami kekurangan air (Yulistyorini, 2011). air hujan merupakan sumber air yang berkualitas tinggi dimana tersedia setiap musim hujan dan berpotensi untuk mengurangi tekanan terhadap pemakaian sumber air bersih. Penampungan air hujan, yang berasal dari atap rumah adalah alternative air yang dapat digunakan sebagai sumber air bersih, membutuhkan pengolahan yang sederhana sebelum air digunakan. Di Singapura (Nanyang Technological University Campus) penggunaan air bersih dapat ditekan sebesar 12.4% untuk penyiraman toilet karena air bersih tersebut digantikan oleh air hujan
(Appan, 1999). Studi di beberapa kota di Australia menyebutkan bahwa penggunaan air hujan dapat menghemat air bersih sampai 29.9% (Perth) dan 32.3% (Sydney) (Zhang, Donghui, Liang, & Stephanie, 2009). Di Jordan, pemanfaatan air hujan oleh penduduk sebagai alternatif sumber air bersih mengurangi pemakaian air hingga 19.7%. Selain untuk keperluan air minum dan memasak, air hujan dapat digunakan untuk perawatan taman, kebersihan di dalam dan di luar rumah. Untuk keperluan air minum tentu masih membutuhkan pengolahan lebih lanjut walaupun tidak terlalu rumit (Abdulla et al., 2009). Ghisi et al (2009) menyatakan bahwa pemakaian air hujan di bebarapa SPBU di Brasil menghemat pemakaian air bersih (potable water) sebesar 32,7–70%. Selain untuk kebutuhan toilet dan taman, air tersebut digunakan untuk pencucian kendaraan di SPBU (Ghisi, Davida Fonseca, & Vinicius Luis, 2009). Selain air hujan dapat digunakan sebagai pengganti air bersih, kelebihan air hujan dapat diresapkan ke dalam tanah, sehingga air tanah akan terisi kembali. Hal ini menguntungkan dalam hal konservasi air tanah yang dapat membantu penurunan muka air tanah tidak terjadi secara drastis. Selain itu pengisian kembali air tanah dapat mengurangi volume limpasan air hujan dan dapat mengurangi potensi banjir (Yulistyorini, 2011). Kakao (Theobroma cocoa L.) adalah tanaman perkebunan yang dapat dibudidaya di daerah tropis, seperti Indonesia. Populasi kakao per ha idealnya sekitar 1000 pohon dengan ukuran jarak tanam 3 m x 3 m. Keistimewaan tanaman kakao adalah dapat berbuah sepanjang tahun jika kebutuhan air, nutrisi, dan lingkungannya terpenuhi. Tanaman kakao dapat menghasilkan buah rata-rata 3 kg biji kering per pohon per tahun atau sekitar 3000 kg/tahun. Tanaman kakao adalah tanaman yang mudah kecewa tetapi juga cepat berterima kasih. Jika tanaman kakao tidak diberikan kebutuhannya, maka dalam waktu hanya sekitar dua bulan penampilan dan produktifitas tanaman tersebut akan menurun drastis. Namun, jika semua kebutuhan tanaman kakao diberikan maka paling satu bulan penampilan dan produktifitas tanaman tersebut mulai membaik Nasruddin (…). Permasalahan utama tanaman kakao menurut para petani kakao, dari hasi survey yang kami lakukan sejak tahun 2012 di Kabupaten Bulukumba dan Wajo, adalah kurangnya air untuk penyiraman tanaman kakao. Menurut mereka, pada umumnya permasalahan penyakit kakao adalah akibat dari ketidak cukupan air pada saat masa pembuahan kakao. Mereka sangat yakin bahwa jika pengaturan air pada tanaman kakao seperti pengaturan air pada tanaman padi, maka budidaya tanaman kakao jauh lebih menarik dari pada budidaya tanaman lainnya, setelah tanaman padi, karena tanaman kakao dapat berproduksi sepanjang tahun yang dapat mengatasi masalah kekurangan pangan petani yang dapat terjadi setiap saat. Permintaan pasar internasional dan harga biji kakao kering di tingkat petani cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dan pada saat ini harga kakao berkisar Rp 30.000/kg sd. Rp 40.000/kg. Dengan demikian, potensi ekonomi kebun kakao/ha adalah Rp 90.000.000. Sungguh potensi yang sangat besar yang belum dikelola dengan baik.
Sistem Pemanenan air hujan Manajemen utilisasi air hujan (MUAH) adalah pemanfaatan air hujan dengan menerapkan sistem pemanenan air hujan (SPAH). Pemanenan air hujan (PAH) adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang jatuh pada atap bangunan, permukaan tanah, jalan, atau perbukitan batu yang akan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber suplai air bersih (UNEP International Technology Centre, 2001). a. Komponen-Komponen SPAH Komponen-komponen RWHS tergantung pada tujuan RWH. RWHS untuk tujuan pengelolaan air bersih atau air minum terdiri atas komponen sbb: tempat penangkapan air hujan (TMH), saluran air hujan (SAH) yang mengalirkan air hujan dari tempat menangkap air hujan ke tangki penyimpanan
(conveyance), filter, reservoir (storage tank), saluran pembuangan (SP), dan pompa (Abdulla, Fayez, & Al-Shareef, 2009; Song, Mooyoung, Tschungil, & Jee-eun, 2009). Komponen-komponen RWHS untuk tujuan kebutuhan tanaman perkebunan tidak harus melibatkan semua komponen-komponen RWHS tersebut. Pelibatan komponen-komponen RWHS tergantung pada metode yang diterapkan. Area penangkapan air hujan adalah tempat penangkapan air hujan dan bahan yang digunakan dalam konstruksinya. Bahan-bahan tersebut mempengaruhi efisiensi dan kualitas pengumpulan air hujan. Bahan bahan yang digunakan untuk permukaan tangkapan air hujan harus tidak mengandung racun dan bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas air hujan. Umumnya, bahan-bahan yang digunakan tersebut adalah bahan anti karat seperti alumunium, besi galvanis, beton, fiberglass shingles, dll. Gambar 1 dan 2 menunjukkan skema ilustrasi RWHS dengan menggunakan atap dan permukaan tanah (UNEP International Technology Centre, 2001).
Gambar 1. Ilustrasi SPAH (a) Menggunakan Atap dan (b) Menggunakan Tanah (Sumber: Sturm, et al., 2009)
Gambar 2. SPAH di Banda Aceh Pasca Tsunami Tahun 2004
(Sumber: (Amin & Han, 2009); & Song et al., 2009) RWHS yang diterapkan pasca bencana tsunami di Banda Aceh tersebut adalah RWHS yang sederhana, mudah dan murah dikonstruksi. Sistem ini sangat membantu masyarakat yang terkena bencana dan kesulitan air bersih pasca tsunami (Amin & Han, 2009). Sistem pengaliran air hujan biasanya terdiri dari saluran pengumpul atau pipa yang mengalirkan air hujan yang turun di atap ke tangki penyimpanan. Saluran pengumpul atau pipa mempunyai ukuran, kemiringan dan pemasangan
sedemikian rupa agar volume air hujan yang dapat tertampung semaksimal mungkin (Abdulla et al., 2009). Contoh saluran penampung disajikan pada Gambar 3. Ukuran saluran penampung bergantung pada luas area tangkapan hujan, biasanya diameter saluran penampung berukuran 2,0 samapai 5.0 Inc (Abdulla, Fayez, & Al-Shareef, 2009). Komponen Filter dibutuhkan untuk menyaring sampah (daun, plastik, ranting, dll) yang ikut bersama air hujan dalam saluran penampung (Gambar 4) sehingga kualitas air hujan terjaga. Dalam kondisi tertentu, filter harus bisa dilepas dan dibersihkan dengan mudah dari sampah. Komponen tangki alami atau tangki buatan adalah tempat untuk menyimpan air hujan. Tangki penyimpanan air hujan dapat diletakkan di atas atau di bawah tanah . Komponen First flush device dibutuhkan apabila kualitas air hujan menjadi prioritas utama. Saluran pembuangan air hujan dibutuhkan untuk membuang air hujan yang jartuh pada menit-menit awal. Tujuan fasilitas ini adalah untuk meminimalkan polutan yang ikut bersama air hujan. Pompa dibutuhkan apabila tangki penampung air hujan diletakkan di bawah tanah. Menurut UNEP (2001), ada beberapa tipe RWHS yang dapat diterapkan: (1) RWHS dengan sistem atap, sistem ini menggunakan atap rumah sebagai area penangkapan air hujan. Jika sistem ini diterapkan pada rumah secara individu, maka kemungkinan air yang terkumpul tidak signifikan, namun apabila sistem tersebut diterapkan secara masal, maka air yang terkumpul sangat melimpah; (2) sistem permukaan tanah (land surface catchment areas). sistem ini menggunakan permukaan tanah dengan metode yang sangat sederhana untuk mengumpulkan air hujan. Dibandingkan dengan sistem atap, RWH dengan sistem permukaan tanah memungkinkan lebih banyak mengumpulkan air hujan karena daerah tangkapannya lebih luas. Air hujan yang terkumpul dengan sistem permukaan tanah lebih cocok digunakan untuk pertanian karena kualitas air yang rendah. Air hujan yang terkumpul dengan sistem ini dapat ditampung dalam cekungan kebun. Namun demikian, sebagian air yang ditampung dalam cekungan kebun kemungkinan akan meresap ke dalam tanah (UNEP International Technology Centre, 2001). b. Komponen SPAH untuk Tanaman Kakao Komponen-komponen RWHS untuk penyediaan air pada tanaman perkebunan di musim kemarau tergantung pada sistem pengelolaan RWHS yang akan diterapkan. Berikut ini tiga sistem RWH yang sudah mulai diperkenalkan kepada petani kakao: 1. Pengelolaan RWH dengan sistem alami, seperti sistem parit-parit buntu (rorak-rorak) di sekitar tanaman, atau sistem biopori di sekitar tanaman. Pengelolaan RWH dengan sistem ini hanya membutuhkan komponen tempat penyimpanan (TP) air hujan alami, lihat Gambar 1. 2. Pengelolaan RWH dengan sistem bendungan. Sistem ini memanfaatkan cekungan-cekungan kebun (embung-embung) untuk menangkap air hujan. Letaknya biasanya lebih rendah dari tanaman kebun. Pengelolaan RWH dengan sistem ini hanya membutuhkan komponen Tempat Penampungan air hujan (TP) berupa cekungan-cekungan, dan pompa air untuk mendistribusikan air ke tanaman lihat Gambar 4. 3. Pengelolaan RWH dengan sistem penampungan-atas buatan. Sistem ini memanfaatkan areaketinggian kebun untuk menangkap air hujan. Sistem ini hanya melibatkan paling tidak empat komponen, yaitu tempat penampung air hujan (TP), tempat penangkapan air-hujan (TMH), dan Sistem pendistribusian air (SPA) berbasis grafitasi. Sistem ini hanya mengandalkan air hujan sebagai satu-satunya sumber air yang akan dikelola, lihat Gambar 5, dan Gambar 6
Gambar 3. SPAH dengan sistem Rorak https://www.youtube.com/watch?v=pBPcmJHL2gU
Gambar 4. SPAH dengan sitem embung bawah
Gambar 5. SPAH dengan system embung atas dengan TMH di sekitarnya
Gambar 6. SPAH dengan system Embung atas tanpa TMH
https://www.youtube.com/watch?v=JVW0bjKg0k0
Sumber: www.youtube.com/watch?v=mZg2feCUJSU
Volume air hujan Yang Dapat Dikelola Di Kebun Tidak semua air hujan yang turun pada suatu kebun dapat dikelola untuk mengatasi kebutuhan air tanaman sepanjang musim kemarau. a. Volume air hujan yang jatuh di suatu kebun Volume air hujan yang jatuh pada setiap kebun tergantung pada tinggi curah hujan dan luas kebun. Model matematika sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan volume air hujan yang dapat dikelola sepanjang tahun pada suatu lokasi kebun adalah sbb:
Vah = ∑Chi * Lk
………………………………………………………………..............
(Eq. 1 )
Atau
Vah = Ch * Lk Dimana Vah Chi Ch Lk
………………………………………………………………..............
(Eq. 2)
: Volume air hujan per tahun yang jatuh pada suatu kebun (m3) : Curah hujan harian (mm/hari), dimana i = 1,2,…366. : Curah hujan tahunan = ∑Chi (mm/tahun) : Luas kebun target (m2).
Sebagai contoh: Suatu kebun kakao dengan luas 2 ha, curah hujan pada kebun tersebut per tahun adalah 2.500 mm (2,5 m), maka volume air hujan yang jatuh pada kebun tersebut adalah 20.000 m2 x 2,5 m = 50.000 m3.
b. Potensi air hujan yang dapat dipanen pada suatu kebun Tidak semua air hujan yang jatuh pada suatu kebun dapat dipanen. Volume air hujan yang dapat dipanen dalam suatu kebun sepanjang tahun tergantung pada koefisien runoff pada masing-masing kebun. Koefisien runoff adalah prosentase curah hujan yang menjadi limpasan hujan (runoff) (%/tahun). Model matematika sederhana untuk menghitung volume air hujan yang dapat dipanen pada suatu kebun adalah:
Vp = R * Vah
………………………………………………………………..............
(Eq. 3)
Dimana Vp : Volume air hujan yang dapat dipanen per tahun pada suatu kebun (m3) R : Koefisien runoff (%/tahun). Vah : Volume air hujan per tahun yang jatuh pada suatu kebun (m3), lihat (Eq. 1) Sebagai contoh: Misalkan, koefisien runoff ( R ) pada contoh kebun di atas adalah 45%, maka volume air yang dapat dipanen pada kebun tersebut adalah 45% x 50.000 m3, atau 22.500 m3. c. Volume air hujan yang dapat digunakan tanaman pada musim kemarau Tidak semua air hujan yang sudah dipanen pada suatu kebun dapat digunakan oleh tanaman pada musim kemarau. Volume air hujan yang dapat digunakan untuk tanaman tergantung pada koefisien efisiensi penyimpanan atau pengolahannya. Koefisien effisiensi penyimpanan air hujan adalah prosentase air hujan yang dapat digunakan secara efektif. Koefisen ini bergantung dari desain SPAH dan pemanfaatan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Untuk kebutuhan indoor (seperti: mandi, cuci, toilet, kebocoran). koefisien efisiensi sebesar (7590)%, sedangkan untuk kebutuhan outdoor (seperti: irigasi, reservoir (liter/hari) sebesar 50% (UNEP International Technology Centre, 2001). Model matematika untuk menghitung volume air hujan yang dapat digunakan untuk tanaman pada suatu kebun adalah:
Vg = E * Vp
………………………………………………………………..............
(Eq. 4)
Dimana Vg : Volume air hujan yang dapat digunakan tanaman pada musim kemarau E : Koefisien efisiensi penyimpanan air hujan (%/tahun). Vp :Volume air hujan yang dapat dipanen per tahun pada suatu kebun (m3), lihat (Eq. 3). d. Volume air hujan yang Dibutuhkan Tanaman Kakao Volume air hujan yang dibutuhkan untuk mengelola kebutuhan air suatu kebun selama musim kering (musim kemarau) tergantung pada populasi (jumlah) tanaman kakao dan volume kebutuhan air hujan setiap tanaman pada periode musim kemarau setiap tahun. Model matematika yang dapat digunakan sbb:
Vt =N* ∑ Vti
………………………………………………………………..............
(Eq. 5)
Jika volume kebutuhan air tanaman kakao diasumsikan sama untuk setiap pohon, maka Eq. 5 sama dengan:
Vt =N* n* Vrata Dimana
Vt
:
………………………………………………………………..............
(Eq. 6)
Volume air hujan yang dibutuhkan keseluruhan tanamam kakao selama musim kemarau (m3) N : Lama musim kemarau di lokasi kebun yang membutuhkan penyiraman (hari) Vti : Volume kebutuhan air tanaman ke-i setiap hari (liter) selama musim kemarau, i = 1, 2, … n, dimana n adalah jumlah pohon tanaman yang menjadi target pengelolaan air hujan. Vrata : Volume rata-rata kebutuhan air tanaman kakao selama musim kemarau (liter)
n
: jumlah tanaman kakao dalam kebun.
Sebagai contoh: Sebuah kebun kakao dengan luas 2 ha, dengan populasi tanaman kakao sebanyak 2135 pohon. Kebun tersebut berlokasi di Desa X yang memiliki musim kemarau selama 7 bulan, maka kebutuhan air hujan yang harus disiapkan atau disimpan sepanjang musim hujan adalah sbb: Misalkan setiap pohon kakao membutuhkan rata-rata 5 liter air/pohon/hari, maka setiap pohon untuk 7 bulan musim kering membutuhkan air hujan sebanyak 7 x 30 hari x 5 liter air/pohon/hari adalah 1050 liter/pohon atau 1,05 m3/pohon. Jadi kebutuhan air hujan untuk seluruh pohon kakao selama 7 bulan kemarau adalah 2135 pohon x 1,05 m3/pohon atau 2241,75 m3.
Manajemen Utilitas air hujan Untuk Kebun Kakao Manajemen utilisasi air hujan (MUAH) adalah pengeloaan air hujan sesuai kebutuhan kebun kakao, seperti yang dirumuskan pada (Eq. 5) atau (Eq. 6), untuk mengoptimalkan produktifitas kebun kakao sepanjang tahun. Kebun kakao petani pada umumnya berada pada lokasi yang tidak rata atau berbukit. Kontur lokasi kakao yang berbukit menyebabkan koefisien runoff (limpasan) tinggi. Akibatnya, tanaman kakao di lokasi seperti itu akan lebih cepat dehidrasi. Di sisi lain, keuntungan kebun kakao yang berbukit memungkinkan pengelolaan penyimpanan air hujan diletakkan pada daerah ketinggian di suatu kebun, sehingga pendistribusian airnya ke seluruh atau sebagian besar tanaman pada musim kemarau tidak perlu menggunakan mesin, tetapi cukup dengan memanfaatkan hukum grafitasi bumi. Manajemen utilitas air hujan di kebun kakao bertujuan untuk meningkatkan produktifitas kebun kakao dari rata-rata 500 kg/ha/tahun menjadi 2000 kg sd. 3000 kg ha/tahun. a. Manajemen air hujan Alami Manajemen air hujan sudah dimulai sejak persiapan lubang tanam kakao. Volume lubang tanam kakao menentukan kapasitas penyimpanan air hujan untuk tanaman kakao. Manajemen air hujan alami lainnya adalah metode rorak-rorak, metode biopori, atau metode optimalisasi cekungancekungan kebun alamai yang ada. Contoh manajemen air hujan secara alami adalah: 1). Dengan membuat rorak-rorak disekitar tanaman; 2). Dengan membuat biopori dengan kedalaman dan diameter tertentu disekitar tanaman. Manajemen air hujan secara alami ini tidak bisa sepenuhnya diandalkan pada kebun kakao yang memiliki struktur tanah yang tidak mampu menyimpan air hujan sampai menjelang musim hujan berikutnya. Penyimpanan dan penggunaan air dengan manajemen air hujan ini tidak dapat dikendalikan sepenuhnya. b. Manajemen air hujan Modern Manajemen air hujan modern adalah manajemen air hujan berbasis teknologi. Salah satu teknologi pengelolaan air hujan adalah dengan sistem embung-embung buatan berbasis teknologi geomembran. Contoh manajemen air hujan dengan menggunakan teknologi geomembran adalah dengan membuat embung-embung (kolam air buatan) di lokasi tertentu pada suatu kebun. Masih banyak cara yang lain untuk memanen air hujan, tetapi pembahasan ini dibatasi hanya pada pengelolaan air hujan, dengan memanfaatkan teknologi geomembran, pada kebun kakao yang memiliki kemiringan atau berlereng, sehingga air hujan memungkinkan dipanen pada lokasi tertinggi dari kebun tersebut. Lokasi tertinggi tidak berarti embung-embung diletakkan pada puncak kebun target, tetapi lokasi tertinggi dari kebun yang memungkinkan memanen air hujan selama musim hujan sesuai dengan volume air yang dibutuhkan tanaman kakao sepanjang musim kering. 1. Manajemen Kolam Penampungan air hujan buatan (KPAHB) Manajemen KPAHB mempertimbangkan tiga faktor utama, yaitu volume, koefisien efisiensi, dan letak KPAHB di dalam kebun. Penentuan letak KPAHB dipengaruhi oleh jenis dan luas daerah
tangkapan air hujan (DTAH) yang dibutuhkan oleh KPAHB. Ada tiga jenis DTAH yang dapat digunakan dalam kebun, pertama adalah KPAHB itu sendiri, kedua adalah atap bangunan kebun (ABK) yang lebih tinggi dari KPAHB, dan ketiga adalah area kebun yang lebih tinggi dari KPAHB. Volume KPAHB Misalkan kebutuhan air kebun kakao sepanjang musim kemarau sebanyak Vt (m3), maka volume tempat penyimpanan air hujan yang harus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan kebun tersebut adalah:
Vk = (2 - e) Vt Dimana Vk
Vt e
………………………………………………………………..............
(Eq. 7)
: Volume minimum kolam penampungan air hujan selama setahun (m3) : Volume air hujan yang dibubutuhkan kebun kakao selama musim kemarau (m3) : Koefisien efisiensi kolam penampungan air hujan (%)
Dengan mengetahui Vk , maka KPAHB dapat ditentukan Luas (Panjang, Lebar) dan Kedalamannya (Tinggi). Menurut Pratomo (2009), tinggi atau kedalam KPAHB adalah adalah 3m . Faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk menentukan kedalaman KPAHB adalah keamanan fisik kolam itu sendiri dan evaporasi (Pratomo, 2009). Secara alamiah, semakin dalam KPAHB semakin menurun koefisien evaporasinya. Koefisien efisiensi KPAHB Koefisien efisiensi KPAHB sangat menentukan volume air hujan yang harus dipanen selama musim hujan. Secara umum, ada tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien efisiensi KPAHB, pertama adalah faktor infiltrasi atau perembesan air dari KPAHB, kedua adalah faktor penguapan dari KPAHB, dan ketiga adalah faktor kerusakan KPAHB. Penerapan sistem KPAHB modern dengan teknologi geomembran sebagai komponen utamanya dapat meminimalisasi faktor infiltrasi atau perembesan air keluar dari KPAHB dan faktor kerusakan dapat dikendalikan atau dikelola dengan baik. Dengan kata lain, hanya penguapan sebagai faktor utama satu-satunya yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya koefisien efisiensi KPAHB modern. Menurut Pratomo (2009), faktor penguapan dalam penerapan KPAHB diperkirakan sebesar 20%. Dengan demikian, koefisien efisiensi KPAHB tersebut adalah sekitar 80%. Letak KPAHB Penentuan letak KPAHB sangat tergantung pada jenis DTAH yang terlibat untuk memenuhi volume KPAHB. Jika KPAHB dan ABK sebagai DTAH sudah mampu memenuhi volume KPAHB minimum untuk memenuhi kebutuhan kebun kakao, maka letak KPAHB yang terbaik adalah di puncak lokasi kebun itu sendiri. Jika KPAHB dan ABK sebagai DTAH belum mampu memenuhi volume KPAHB minimum untuk memenuhi kebutuhan kebun kakao, maka letak KPAHB harus diletakkan lebih rendah dari DTAH tambahan dari area kebun kakao yang dibutuhkan KPAHB. 2. Manajemen Daerah Tangkapan air hujan a. Jenis-jenis DTAH Jenis daerah tangkapan air hujan (DTAH) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi Vk secara berturut-turut adalah: Pertama, kolam penampungan air hujan buatan (KPAHB) itu sendiri; Kedua, atap bangunan kebun (ABK) yang lebih tinggi dari KPAHB jika ada; Ketiga, semua area kebun yang lebih tinggi (SDLT) dari KPAHB. b. Pemilihan DTAH Pemilihan DTAH sangat ditentukan oleh tinggi curah hujan (mm) per tahun di lokasi kebun kakao. Jika tinggi curah hujan per tahun (mm) lebih besar dari kedalaman minimal KPAHB, maka DTAH
cukup dengan memanfaatkan KPAHB sebagai DTAH. Jika curah hujan lebih kecil dari kedalaman KPAHB, maka prioritas alternatif DTAH tambahan adalah ABK yang lebih tinggi jika ada. Jika total volume tangkapan air hujan dari KPAHB dan ABK kurang dari volume KPAHB, maka DTAH alternative berikut yang bisa dimanfaatkan adalah SDLT. c. Model matematika untuk menghitung volume air hujan DTAH Model matematika untuk menghitung volume air hujan DTAH dari KPAHB adalah sbb:
Vtk = P*L*Ch Dimana Vtk
P L Ch
: : : :
………………………………………………………………..............
(Eq. 8)
Volume air hujan DTAH dari KPAHB selama setahun (m3) Panjang DTAH dari KBAHB (m) Lebar DTAH dari KBAHB (m) Curah hujan pertahun (mm)
Model matematika untuk menghitung volume air hujan DTAH dari ABK adalah sbb:
Vta = Pa*La*Ch Dimana Vta
Pa La Ch
: : : :
………………………………………………………………..............
(Eq. 9)
Volume air hujan DTAH dari ABK selama setahun (m3) Panjang DTAH dari ABK (m) Lebar DTAH dari ABK (m) Curah hujan pertahun (mm)
Model matematika untuk menghitung volume air hujan DTAH dari SDLT adalah sbb:
Vts = Ps*Ls*Ch*R Dimana Vts
Ps Ls R
: : : :
………………………………………………………………..............
Volume air hujan DTAH dari SDLT selama setahun (m3) Panjang DTAH dari SDLT (m) Lebar DTAH dari SDLT (m) Faktor runoff SDLT (%)
d. Penentuan Luas Daerah Tangkapan air hujan
(Eq. 10)
Flow Chart Menghitung luas daerah tangkapan air hujan Start Input: V, t, P, Ch Input t ≥ 3 Tidak
t≥3? Ya L = (V/(P*t) Vk = P*L*t
Dt = P * L
Ya
Vk ≥ V ? Tidak Ada Ab ?
Input: Pa, La
Ya
Tidak
Va = Pa*La*Ch
Vs = V - Vk Input: R Dt = Vs/R + (P * L)
Ya
V ≥ (Vk+Va) ?
Vs = V - (Vk - Va)
Tidak Dt = (Pa*La)+(P*L)
Keterangan: V = Volume kolam yang diinginkan t = Kedalaman kolam yang diinginkan (t≥3m) P = Panjang Kolam yang diinginkan Ch= Curah Hujan sesuai data BMKG di lokasi L = Lebar Kolam Penampungan Vk = Volume tangkapan air hujan pada kolam Dt = Luas daerah tangkapan Ab = Atap bangunan kebun Pa = Panjang atap La = Lebar atap Va = Volume tangkapan air hujan Atab bangunan adalah. Vs = Kebutuhan Volume tangkapan air hujan sekitar kolam penampungan adalah: R = Koefisien runoff per tahun Vs = Volume tangkapan air hujan sekitar kolam penampungan Lt = Luas daerah tangkapan yang dibutuhkan adalah:
Input: R Dt = Vs/R + (Pa * La) + (P * L) Selesai
Kesimpulan 1. Dengan manajemen yang tepat, air hujan dapat digunakan sebagai salah satu sumber air bersih maupun sumber air perkebunan untuk mengatasi lebutuhan air bersih maupun tanaman perkebunan sepanjang musim kemarau. 2. Manajemen air hujan dapat dikelola dengan dua cara, pertama adalah dengan cara alamiah seperti pembuatan rorak-rorak atau biopori-biopori disekitar tanaman, kedua adalah dengan cara modern seperti pembuatan embun-embun berbasis teknologi geomembran. 3. Manajemen air hujan secara alamiah sangat sulit dikelola sesuai kebutuhan tanaman kakao sepanjang musim kemarau karena fator infiltrasi atau perembesan tidak dapat dikendalikan. 4. Manajemen air hujan secara modern jauh lebih mudah dikelola sesuai kebutuhan tanaman kakao sepanjang musim kemarau karena fator infiltrasi atau perembesan dapat dikendalikan dengan mudah. 5. Kombinasi manajemen air hujan secara alamiah dan secara modern dilakukan pada kebun yang curah hujannya rendah (kurang dari 1500 mm) dan musim kemaraunya panjang (lebih dari 7 bulan).
Referensi Abdulla, Fayez, A., & Al-Shareef, A. (2009). Roof rainwater harvesting systems for household water supply in Jordan. Desalination, 195-207. Amin, M., & Han, M. (2009). Water environmental and sanitation status in disaster relief of Pakistan’s 2005 earthquake. Desalination, 436-445. Appan, A. (1999). A dual-mode system for harnessing roofwater for nonpotable uses. Urban Water, 317-321. Ghisi, E., Davida Fonseca, T., & Vinicius Luis, R. (2009). Rainwater harvesting in petrol stations in Brasilia: Potential for potable water saving and investment feasibility analysis. Resources, Conservation and Recycling, 79-85. Helmreich, B., & Horn, H. (2009 ). Opportunities in rainwater harvesting. Desalination, 118-124. Kahinda, J.-m. M., Akpofure, E., & Jean, R. (2007). Domestic rainwater harvesting to improve water supply in rural South Africa. Physics and Chemistry of the Earth, 1050-1057. Li, Z., Fergal, B., & Anthony, R. (2010). Rainwater harvesting and greywater treatment system for domestic application in Ireland. Desalination, 1-8. Pratomo. (2009, Maret 27). Waduk Mini Penyelamat Ladang Petani. Retrieved August 26, 2017, from Yayasan Obor Tani: http://obortani.com/read/2009/03/27/waduk-mini-desa-genting-selesaicorporate-social-responsibility-csr.html Sazaki, E., Alexopoulos, A., & Leotsinidis, M. (2007). Rainwater harvesting, quality assessment and utilization in Kefalonia Island, Greece. Water Research, 2039-2047. Song, J., Mooyoung, H., Tschungil, K., & Jee-eun, S. (2009). Rainwater harvesting as a suatainable water supply option in Banda Aceh. Desalination, 233-240. UNEP International Technology Centre. (2001). Rainwater Harvesting. Australia: Murdoch University of Western Australia. Yulistyorini, A. (2011, Februari). Air Hujan Sebagai Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air Di Perkotaan. Teknologi dan Kejuruan, 34, 105-114. Zhang, Y., Donghui, C., Liang, C., & Stephanie, A. (2009). Potential for rainwater use in high-rise buildings in Australia cities. Journal of Environmental Management, 222-226.