RAHASIA PEMBUNUHAN MANUSIA (Kardiaman Simbolon) Pengantar Kitab Kejadian dengan yakin mencatat: “TUHAN Allah berfirman: „Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.‟” (Kej 2:18). Dalam cerita selanjutnya kita mengerti bahwa penolong yang diciptakan Tuhan bukan binatang, bukan tumbuhan atau benda lain-lainnya melainkan “seorang pribadi” yang sepadan dengannya, yakni sesama manusia. Kesendirian manusia dipandang oleh Allah sebagai sebuah situasi yang tidak baik, dan sebaliknya kebersamaan atau kehidupan manusia dengan sesamanya dipandang Allah sebagai pilihan yang paling baik bagi kelangsungan hidup manusia. Namun, tak lama setelah “kesendirian” itu dikutuk oleh Tuhan, apa yang konon dipandang baik oleh Allah, seakan balik dikutuk oleh manusia itu sendiri. Mengapa? Fakta bahwa manusia yang satu dengan yang lain tak selalu berjalan sebagai rekan penolong, sebagai eksistensi yang saling menguntungkan (simbiosis mutualis). Dalam Kitab Suci ada banyak kisah yang menggambarkan situasi yang demikian. Kisah “Kain dan Habel”, kisah Ayub, kisah Yusuf dan masih banyak kisah-kisah yang yang yang bisa digelar.1 Kain dan Habel adalah anak dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Dalam kisah itu Habel menjadi korban pembunuhan oleh kakaknya sendiri; Ayub adalah korban penindasan dan kekerasan dari masyarakat sekitarnya,2 sementara Yusuf adalah korban dari saudarasaudaranya. Awal Mula Kekerasan Kain dan Habel adalah kakak beradik, satu saudara. Meski demikian ada indikasi pembedaan status sosial di antara mereka. Seperti pembedaan pekerjaan; Habel jadi petani dan Kain menjadi penggembala; demikian pula ada perbedaan agama atau keyakinan sebab mereka berdua
1 2
Lih. Kisah-kisah tersebut dalam dibaca dalam Kej 4:3-16; Ayb 16: 7-10; Kej 37: 1-28. Bdk. Rene Girard, Ayub, Korban Masyarakatnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. 39
juga tidak sama-sama beribadah. Kain mempersembahkan hasil dari tanah itu dan Habel tentu mempersembahkan hasil ternaknya.3 Perbedaan itu menimbulkan perpecahan dan iri hati sebab Tuhan mengindahkan Habel dan korban persembahannya, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya (bdk. Kej 4:4). Kelak, kekerasan dan pembunuhan seakan mendapat legitimasi dari Tuhan. Kita tidak tahu mengapa Allah berbuat demikian. Apakah karena agama Habel lebih berkenan pada Allah atau Allah tidak menghendaki bentuk persembahan Kain? Rasanya terlalu jauh jika memberi kesimpulan yang demikian. “Alasan untuk penerimaan kurban itu tidaklah sekali-kali terletak pada keadaan atau sikap manusia, melainkan bergantung sepenuhnya kepada kemauan bebas Allah. Allah adalah bebas untuk menerima atau menolak persembahan manusia. Dia tidak dipaksa oleh agama manusia.”4 Dalam Perjanjian Baru, kebebasan Allah untuk bertindak seakanakan “tidak adil” tampak dalam Mat. 20: 1-16. Pekerja yang sejak pagi hari bekerja memperoleh upah yang sama dengan orang yang bekerja mulai jam lima sore. Peristiwa itu menimbulkan iri hati dalam diri pekerja yang terdahulu. Yesus berkata: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Mat 20:15). Maka, rahasia dibalik pembedaan Kain dengan Habel tidak boleh mendatangkan justifikasi yang kerap menuduh adanya kekurangan pada pihak Kain. Kain tidak menerima kebebasan Tuhan. Ia berpikir sebagaimana kebanyakan orang berpikir bahwa Tuhan tidak adil terhadap manusia.5 Maka, alamat dari pikiran yang demikian berujung pada kecemburuan sosial dan tindakan yang tidak manusiawi, yakni penindasan dan kekerasan. “Kekerasan melahirkan kekacauan, kebingungan kelinglungan dan kekalutan. Disulut kekerasan, orang bisa meniadakan sendiri apa yang diperolehnya dengan cucuran air mata dan keringat. Kekerasan memang bagai misteri.” 6 Sebab bisa bermuara bagi manusia untuk segera
3
4 5
6
Lih. Dr. R. L. Hymers, Jr., Kain dan Habel dalam Satu Kisah, dalam http://www.rlhymersjr.com/Online_ Sermons_Indonesian/2008/030108PM_TwoResponses.html., diakses pada tanggal 12 Agustus 2011. Lih. Dr. Walter Lempp, Tafsiran Alkitab: Kejadian 1:1-4:26, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hlm., 108. Bdk. Mat 20:12 katanya: “Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.” Sindhunata, Kambing Hitam : Teori Rene Girard, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2006, hlm.5 40
meluapkannya, tanpa peduli pada siapa ia harus melakukannya; bahkan saudaranya sendiri. Selubung Kekerasan terhadap Sesama Kisah Habel dan Kain tampaknya membawa dampak buruk bagi sejarah manusia. Benar atau tidak, kisah itu seakan melegitimasi penindasan dan kekerasan terhadap sesama manusia. Kisah–kisah lain yang serupa dalam Kitab Suci sendiri tampaknya cukup untuk meyakinkan kita bahwa keberadaan manusia di antara makhluk yang sepadan dengan dia bukan lagi sebuah keuntungan; bukan lagi sebuah kebaikan. Sekarang ini realitas kemanusiaan memang sedang sekarat. Kekerasan yang membabi buta silih berganti dipertontonkan kepada publik. Ribuan hingga jutaan manusia waswas, sengsara di arena penindasan dan bahkan meninggal dalam parade kekerasan. Semua manusia berhadapan dengan “singa” yang mengaum-ngaum, berhadapan dengan mulut dosa yang selalu mencari kesempatan untuk menerkam. Maka rasul Petrus mengingatkan: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1 Pet 5:8). Namun banyak orang mengacuhkan peringatan itu; akibatnya di Jakarta dan sekitarnya saja diperkirakan setiap 10 menit, seorang warga menjadi korban kekerasan. Itu berarti dalam sehari diperkirakan sekitar 140 manusia menjadi korban hanya di satu kota saja.7 Dunia tampak tidak semakin baik, justru semakin hari penindasan dan tindak kekerasan kian melanggeng, meski telah banyak nabi maupun rasul mengingatkan manusia agar tidak jatuh pada promosi si iblis. Demikian halnya dengan kain Kain, Allah telah mencoba menyadarkannya. Bahwa apa yang sedang bergejolak adalah hatinya, yakni iri hati dan dendam akan mendatangkan bencana bagi eksistensi kemanusiaan. Tuhan menuntun Kain ke jalan yang benar. Ia juga meyakinkannya bahwa meskipun ada begitu besar pergolakan dalam dirinya, manusia punya kuasa untuk mengalahkan godaan tersebut dengan berbuat kebaikan.8 Namun, semua perkataan yang menusuk hatinya diabaikannya. Kain membela diri dengan caranya sendiri, berusaha menunjukkan kebenarannya sendiri, menolak pikiran-pikiran dan perkataan-perkataan Tuhan yang berbicara kepada Dia. Dalam diri manusia terbentang muara kekuatan untuk melawan kuasa jahat atau godaan setan. Rasul Paulus menegaskan: “Atau tidak 7 8
Harian, Kompas,tanggal 12 April 2011. Lih. Dr. Walter Lempp, op. cit., hlm., 112. 41
tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, - dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (I Kor 6:19). Maka sesungguhnya, sebagaimana pernah digagas oleh Thomas Aquinas, manusia adalah makhluk yang selalu menghendaki kebaikan.9 Akan tetapi, manusia yang berhakikat demikian kini mengalami persoalan. Faktanya manusia tetap jatuh pada aktivitas penindasan dan kekerasan. Meski Roh kudus diam dalam diri manusia kekerasan tetap terjadi. Buktinya, terakhir ditemukan dua korban dibacok pelaku di dalam angkutan kota dalam perjalanan dari Cililitan, Jakarta Timur, menuju Cimanggis.10 Tindak kekerasan manusia murni buah dari iri hati, kemarahan, dan kebencian yang dibiarkan melukai perasaannya dan terus memuncak sehingga kuasa iblis mengambil alih dan mengendalikannya untuk menjadikan dia sebagai seorang pembunuh. Apa yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya adalah contoh perbuatan real dari manusia yang dikuasai iblis. Meskipun pada hakikatnya manusia selalu menghendaki apa yang baik atau kebaikan selalu menjadi tujuan dari aktivitasnya, bukan tidak mungkin ia jatuh pada godaan si jahat yang jauh lebih cerdik. Iblis begitu cerdik menggoda manusia. Ia mengelabui pikiran manusia. Perkataan Petrus kepada Yesus membuktikan hal itu. Petrus berkata: "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau" (Matius 16:22). Petrus memandang kebaikan dari perspektifnya sendiri. Akan tetapi, konsep Petrus tentang kebaikan menjadi persoalan baru. Sebab menurut konsep yang demikian, tindakan penindasan dan pembunuhan dengan demikian bisa dikatakan sebagai perbuatan baik, meskipun perbuatan itu bukan saja merugikan secara materi, tapi juga mengubur nilai martabat dan harkat manusia lain. Mengapa manusia tetap melakukannya? Mengapa aktivitas demikian semakin melanggeng? Inilah tak lain dan tak bukan adalah karena iblis mengelabui pikiran manusia, sebagaimana iblis mengelabui pikiran Petrus. Pelaku kekerasan dan penindasan kerap ditipu oleh kuasa iblis untuk 9
10
Gagasan ini direferensi Tomas Aquinas dari pernyataan Aristoteles. “Every craft and every investigation, likewise every action and decisions aims at good”,(NE, 109,4a,1). Bdk. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan, dalam empat bulan pertama di tahun 2011, pihaknya menerima 435 kasus kekerasan yang melibatkan anak. Artinya, terjadi kasus kekerasan anak setiap bulan. Selain itu; Direktur Legal Resources Center Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia Semarang Evarisan mengatakan, sampai saat ini jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah masih tinggi. Sejak November 2010 sampai Februari 2011 tercatat sebanyak 31 kasus. Bdk. Harian, Kompas, 1 Maret 2011. 42
memandang suatu perbuatan “baik” hanya dari pikirannya sendiri, tanpa memberi kesempatan pada “kebaikan” menurut pikiran Allah. Pikiran yang tertipu bukan saja terjadi bagi mereka yang pendidikannya rendah, atau mereka yang tidak beragama atau tidak dekat dengan Tuhan; sebaliknya penganut agama, orang-orang suci yang mengenal dan dekat dengan Tuhan bisa juga jatuh pada aktivitas yang sama. Maka, sekarang ini kekerasan tidak pilih-pilih korban. Orang tua atau anak-anak, semua berpotensi menjadi korban kekerasan sekaligus berpotensi menjadi pelaku. Seperti kisah Kain dan Habel; membunuh antar anggota keluarga dewasa ini bukan berita asing lagi. Pejabat, ilmuwan, orang kaya dan bahkan orang miskin tidak sekalipun luput dari perhitungan sasaran manipulasi si iblis. Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Mat 16:23). Manusia sering tertipu oleh dirinya sendiri, sehingga melihat pembunuhan sebagai sesuatu yang baik. Kain memandang pembunuhan terhadap adiknya sebagai sesuatu keputusan yang baik bagi dirinya sendiri. Tapi, tak pernah memikirkan kebaikan untuk sesamanya. Maka ia menghendakinya. Ia melakukan itu dengan sadar dan tahu bahwa apa yang dikehendakinya adalah baik. Ia bebas untuk melakukan itu, sebab tindakan itu keluar dari dirinya sendiri. Thomas Aquinas telah menegaskan bahwa aktivitas manusia tidak semata-mata hanya tergantung pada maksud dan kemauan baik, melainkan orang harus menghendaki kebaikan.11 Artinya; “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rm 12:21). Nasib Pelaku Kekerasan Sebelum perbuatan dosa dilakukan nasib seorang pelaku ditentukan oleh peringatan atau nasihat; namun sesudah perbuatan terjadi nasib seorang pelaku ditentukan oleh sebuah penghakiman. Bagaimana dengan Kain? Mengapa Allah seakan tidak adil terhadapnya? Sebab Ia menerima persembahan Habel dan tidak berkenan kepada persembahan Kain. Apakah Allah ingin membuang Kain? Tidak! Sebelum Kain membunuh adiknya, Tuhan sesungguhnya telah menaruh perhatian padanya agar dia tidak jatuh pada dosa berat akibat kebencian. “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; 11
“… As to be read first enters into human apprehending as such, so to be good first enters the practical reason‟s apprehending when it is bent on doing something. For agent acts on account of an end, and to be end carries the meaning of to be good”, (Thomas Aquinas, ST I-II,94,2). 43
ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej 4: 6). Di sini kita bisa melihat bahwa Allah tidak membuang Kain. Tuhan bukan tidak berkenan kepada keberadaan Kain, meskipun kurban persembahannya tidak diindahkan.12 Bahkan Allah seakan memberikan saat itu juga kuasa yang lebih kepada Kain untuk dapat bertahan pada godaan si jahat yang akan menghantuinya. Sesudah perbuatan terjadi nasib seorang pelaku ditentukan oleh sebuah penghakiman. Allah mengakimi Kain, Firman-Nya: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah” (Kej 4:10). Drama penghakiman terhadap Kain berjalan begitu cepat, Tuhan akhirnya membuat keputusan. ”Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu. Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi."( Kej 4:11-12). Allah benar-benar murka terhadap Kain dan memarahinya. Namun, murka Tuhan seakan tidak semenit pun berlangsung. Ketakutan Kain bahwa dirinya akan dibunuh oleh orang-orang yang bertemu dengan dia justru mendapat perhatian lebih dari Tuhan. Sebab firman Tuhan kepadanya: “Barang siapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat” (Kej 4:15). Tuhan memberikan kesempatan kepadanya untuk bertobat dan datang, dan disucikan. Demikian halnya Tuhan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpaling dari dosa dan memberi diri untuk disucikan.13 Tapi persoalannya tidak semua menggunakan kesempatan itu. Walaupun berulang kali kesempatan diberikan kepada setiap orang yang pernah jatuh pada tindakan kekerasan, sedikit saja orang yang berubah. Penutup Dari kisah Kain dan Habel, muncul satu pertanyaan; mengapa Tuhan berpihak pada pelaku kekerasan dan pembunuhan? Mengapa Tuhan melindungi seorang pembunuh? Mengapa Tuhan menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barang siapa pun yang bertemu dengan dia? (bdk. Kej 4:16). Rene Girerad sebagaimana dikutip oleh Sindhunata mengatakan; 14 “Setelah pembunuhan pertama, harus segera dimaklumkan hukum melawan pembunuhan, supaya pembunuhan tidak berkelanjutan”. Perbuatan Tuhan kepada Kain dan para pelaku kejahatan, tak selayaknya 12
Bdk. Lih. Dr. Walter Lempp, op. cit., hlm.,110. Lih. Dr. R. L. Hymers, Art., Cit. 14 Sindhunata, op. cit., hlm., 217. 13
44
dipandang sebagai pembenaran perbuatan kekerasan terhadap sesama manusia, melainkan cara untuk memutus tindakan kekerasan yang berkelanjutan. Oleh karena itulah Paulus berkata: “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!” (Rm 12:17). Di dunia ini akan selalu ada kebaikan, demikian juga kejahatan. Yang baik belum tentu menang dan yang jahat belum tentu kalah. Manusia adalah serigala untuk dirinya sendiri sebab selalu ada dendam yang harus dibalas dan darah yang harus dibayar.15 Perang dan pembunuhan tidak akan pernah selesai. Itulah rahasia gelap dibalik tindak kekerasan dan pembunuhan yang berada dalam lingkaran setan hingga berabad-abad lamanya. Maka, Yesus menegaskan: “Kamu telah mendengar firman: „Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Mat 5:38-39). Sebab dengan cara inilah kita bisa memutus rantai kekerasan dari peradaban manusia; dan pada akhirnya mengembalikan “status penolong” kepada manusia lain. Daftar Pustaka Alkitab. Lembaga Biblika Indonesia: Jakarta,1974. Aquinas,Thomas. Summa Teologie dalam Pro-Life. Girard, Rene. Ayub, Korban Masyarakatnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. Hymers, R. L. Jr. Dr. Kain dan Habel dalam Satu Kisah, dalam http://www.rlhymersjr.com/Online_Sermons_indonesian/2008/030108PM_ TwoResponses.html.,diakses pada tanggal 12 Agustus 2011. Lempp, Walter Dr. Tafsiran Alkitab: Kejadian 1:1-4:26. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. Sindhunata. Kambing Hitam : Teori Rene Girard. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2006. 15
Bdk. Kitab Imamat 24: 17-21 “Juga apabila seseorang membunuh seorang manusia, pastilah ia dihukum mati. Tetapi siapa yang memukul mati seekor ternak, harus membayar gantinya, seekor ganti seekor. Apabila seseorang membuat orang sesamanya bercacat, maka seperti yang telah dilakukannya, begitulah harus dilakukan kepadanya: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya. Siapa yang memukul mati seekor ternak, ia harus membayar gantinya, tetapi siapa yang membunuh seorang manusia, ia harus dihukum mati. 45
Harian Kompas, tanggal 1 Maret 2011. Harian Kompas,tanggal 12 April 2011.
46