PEMBELAJARAN SOSIAL (SOCIAL LESSON LEARNING) DALAM PROGRAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)
RAGIL SATRIYO GUMILANG
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PEMBELAJARAN SOSIAL (SOCIAL LESSON LEARNING) DALAM PROGRAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)
RAGIL SATRIYO GUMILANG Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Dipersembahkan untuk : Alam semesta yang menerima perlakuan sia-sia, diracun jalan nafasnya, dan diperkosa kesuburannya.
Ada kalanya kita mesti jongkok bahkan tiarap untuk melihat lebih dekat bumi pijakan ini walau kadang dianggap bodoh. Ada kalanya kita mesti jinjit bahkan melompat untuk meraih langit walau kadang dianggap terlalu banyak mimpi. (Dieng 2010)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2010
Ragil Satriyo Gumilang NRP E14054281
SUMMARY RAGIL SATRIYO GUMILANG. Social Lesson Learning in Land and Forest Rehabilitation Program in Dieng Mountains (Case Study in Kejajar Sub-District, Wonosobo District, West Java) Supervised by BRAMASTO NUGROHO. Most of lands in Dieng Mountains is cultivating with high value agriculture commodity, especially potatoes. Land degradation in Dieng Plateau mostly because insufficient crown cover area in conservation forest and production forest and also farming activity which is not environmental friendly. Society has a main role in land and forest rehabilitation management, meanwhile Forestry and Plantation District Office and Perhutani (government) and NGO/TKPD (Dieng Recovery Working Team) work as facilitators. Harmony interaction between stakeholders is becoming priorities in order to introduce the idea and value of land and forest rehabilitation and hopefully can be implemented by community. This research using explanative method. Quantitative approach (positivism) and Qualitative approach (phenomenology) also used in this research. Social phenomenon that chosen to be focus point of learned in this research is focusing on forest and land rehabilitation management that practiced by community, both before and after the program is introduced. The social phenomenon then be analyzed using social lesson learning based on four dimension aspect in social learning by Wollenberg et al. (2001). The dimensions are decision making, innovations and problem solving, communication network and relationship building, and capacity building and society building. Respondent perception for the continuity of rehabilitation program inside forest area considered more important than in the private area because society thinks that trees that planted in their private lands are decreasing their land productivity. Almost all respondent agreed that private land degradation is not so important to them. The society still manages their land despite of land quality and productivity decreasing. It can be realized, because of high land demand in this region as well as economic needs.. The respondents begin to realize that the development of participative plan and conservation principle is highly needed. TKPD act strategically in facilitating various needs between stakeholders. TKPD has taken important role as organizer in many meeting and discussion forums. TKPD also act as councilor that encourage the respondent and initiate to implement the program. Facilitation plays an important role in the social learning process in the programs. Keywords: Social Learning, Rehabilitation, Perception, Facilitation, Dieng
RINGKASAN RAGIL SATRIYO GUMILANG. Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO. Kawasan Pegunungan Dieng sebagian besar wilayahnya diusahakan untuk kegiatan pertanian bernilai ekonomi tinggi terutama kentang. Penyebab kerusakan di daerah Pegunungan Dieng diakibatkan oleh daerah konservasi dan hutan produksi yang tidak cukup tertutup oleh area pepohonan dan pola pertanian yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Dalam usaha rehabilitasi hutan dan lahan di daerah Pegunungan Dieng, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan. Interaksi yang harmonis antara stakeholder menjadi prioritas agar ide dan nilai dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diintroduksi dan diterapkan oleh masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian metode eksplanatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis). Gejala sosial yang menjadi fokus penelitian yaitu pola pengelolaan hutan dan lahan yang dipraktekkan oleh masyarakat baik sebelum maupun sesudah introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi bersamaan dengan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Gejala sosial fokus penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan konsep pembelajaran sosial (Social lesson learning) menurut empat dimensi pembelajaran sosial Wollenberg et al. (2001), antara lain: pengambilan keputusan, inovasi dan pemecahan masalah, jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan, serta pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat. Persepsi responden terhadap keberlanjutan kegiatan rehabilitasi dalam aspek teknis penanaman dan pemeliharaan pohon di dalam kawasan hutan dipandang lebih penting dari pada di lahan milik. Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktivitas lahan pertaniannya. Hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di daerah Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Masyarakat mulai menyadari bahwa pengembangan perencanaan partisipatif serta memperhatikan kaidah konservasi sangat penting bagi mereka. Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan diplomasi. TKPD berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan. Kata kunci: Pembelajaran sosial, rehabilitasi, persepsi, fasilitasi, Dieng
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di
Kecamatan Kejajar,
Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Nama Mahasiswa
: Ragil Satriyo Gumilang
NRP
: E 14054281
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS NIP. 19581104 198703 1 005
Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 24 Nopember 1986 dari pasangan Bapak Mulyono dengan Ibu Sundariyati. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri I Temanggung dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk Mayor Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun ketiga pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis memilih Bagian Kebijakan Kehutanan. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis mendapatkan beasiswa PPA. Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di beberapa Lembaga Kemahasiswaan. Penulis aktif di 1) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan sebagai Ketua Umum (2008-2009) dan Kepala Biro Kesejahteraan Sosial dan Lingkungan (2006-2007), 2) Himpunan Profesi Manajemen Hutan/FMSC sebagai Ketua Umum (2007-2008), 3) Organisasi Mahasiswa Daerah Temanggung IPB sebagai Ketua Umum (2005-2007). Tahun 2007 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jawa Barat, jalur Kamojang-Leuweung Sancang dan tahun 2008 Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan KPH Cianjur. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di IUPHHK-HA PT.Andalas Merapi Timber di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Tahun 2007 penulis menjadi asisten lapang dalam proyek pengembangan Gaharu di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Tahun 2009 penulis menjadi asisten lapang Lembaga Penilai Independen IPB dalam perpanjangan IUPHHK-HA PT. Sindo Lumber Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Tahun 2010 penulis menjadi asisten lapang dalam proyek surve sosial ekonomi dan HCVF di IUPHHK-HA PT. SSS Kabupaten Siberut Utara, Sumatera Barat. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah), dibimbing oleh Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS.
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penyusunan penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang tetap setia dan tetap istiqomah dalam mengikuti semua perjalanannya. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah rehabilitasi hutan dan lahan, dengan judul Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam rangka penulisan Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Mulyono dan Ibu Sundariyati atas segala upaya jerih payahnya dan lantunan do’a yang tak pernah putus. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik dan menempatkan keduanya pada tempat yang mulia disisi-Nya nanti. 2. Mas Ajie, Mas Aan, Mbak Dwi, Yodha dan keluarga besar Mbah Wagiman atas kebersamaan yang indah, dukungan moral dan materilnya. Semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan hidayah-Nya. 3. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS atas bimbingan, ilmu dan waktu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik. 4. Bapak Andreas selaku penaggung jawab lapang program rehabilitasi hutan dan lahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Bapak Fahmi selaku Ketua Tim Teknis TKPD yang telah membantu proses penelitian. 5. Sahabat-sahabat terbaik yang dipertemukan di kampus (Angga, Budi, Dude, Sogi, Fenoy, Anne, Aswin, Kobul, Moji, Ivan, Kura, Bejo, Oki, Sidik, Apry, Herry, Rofik, Aceng, Coki, Eno, Nando, Tyas, Tian, Gilang, Poche, Icha,
Daryl, Ias, Pipeh, Afwan, Ika, Syam, Adit, Suke, Upi, Deden, Dhani, Kris, Ma’cik, Ani, Dola, Sipuy, Amel, Andre, Sentot, Lisda, Hania, Ayu, Linda, Danesh, May, Poppy, Yono, Hafiz) serta sahabat-sahabat terbaik yang tak terpisah ruang dan waktu (Andi, Fajar, Botak, Dita, Sari, Lala, Dyah, Azis, Fuad, Erwin, Muh, Mbembeng, Dadut, Sendy, Novita, Bogel, Qplek, Mali, Prety, Ian, Yudhan, Aldi, Bonchu, Ismi, Lily) terutama Dinning Hayani yang tak pernah selesai mendoakan keselamatanku, semoga persahabatan tetap terjalin hingga nanti di surga-Nya. 6. Rekan-rekan Manajemen Hutan khususnya dan Fahutan umumnya atas kebersamaannya selama ini. 7. Seluruh staf dan teman-teman dari Kebijakan Kehutanan serta staf administrasi Departemen Manajemen Hutan atas segala bantuan dan kerjasamanya. 8. Keluarga kecil “Panti Jomblo Al-Ahsan” yang memberikan banyak motivasi dan semangat. Semoga persahabatan kita tetap terjalin hingga nanti. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dan telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan dari penulis. Oleh karena itu masukan, kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk memperoleh hasil penelitian yang sebaikbaiknya. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat. Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Bogor, Mei 2010 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vii BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................
1
Tujuan Penelitian ..........................................................................
3
Hipotesis Penelitian ......................................................................
3
Manfaat Penelitian ........................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA Pembelajaran Sosial ......................................................................
4
Konsep Pengetahuan Lokal ...........................................................
6
Persepsi dan Keberlanjutan Program .............................................
7
Rehabilitasi Hutan dan Lahan .......................................................
9
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................... 10 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 11 Metode Penelitian ......................................................................... 11 Jenis Data ..................................................................................... 12 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 13 Teknik Pengolahan Data ............................................................... 16 Analisis Data ................................................................................ 20 Keabsahan Data ............................................................................ 21
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ............................................................................. 24 Jenis Tanah dan Topografi ............................................................ 24 Iklim ............................................................................................. 26 Sosial Ekonomi Masyarakat .......................................................... 26
BAB V
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DALAM POLA PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN KEJAJAR Sub Sistem Kehutanan .................................................................. 31 Sub Sistem Pertanian .................................................................... 36 Sub Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat ....................................... 42
BAB VI
PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN KEJAJAR Perkembangan Kegiatan ............................................................... 52 Proses Kegiatan ............................................................................ 55 Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program .................. 58
BAB VII PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Dimensi Pembelajaran Sosial ....................................................... 61 Jawaban Hipotesis Penelitian ........................................................ 73 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................. 75 Saran ............................................................................................ 76 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 78 LAMPIRAN .................................................................................................. 81
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Pertanyaan Kunci Dimensi Pembelajaran Sosial ................................. ...... 15 2. Tingkat Persepsi Berdasarkan Skala Likert ................................................ 18 3. Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program RHL ..................... 18 4. Penggolongan Penduduk Menurut Produktifitas Kerja............................... 27 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Kejajar .............................. 29 6. Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Fungsinya .................... 33 7. Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Kelas Hutan.................. 33 8. Luas Pemilikan Lahan Per Keluarga .......................................................... 38 9. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kejajar .............................................. 42 10. Luas Lahan Pertanian Minimum yang Dibutuhkan di Kecamatan Kejajar.. 43 11. Produksi Pangan di Kecamatan Kejajar ..................................................... 45 12. Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak di Kecamatan Kejajar ........................... 46 13. Banyaknya Keluaga dan Tahapan Sejahtera Kecamatan Kejajar 2008 ...... 48 14. Analisis Usaha Pertanian Kentang di Masyarakat Kejajar .......................... 49 15. Analisis Usaha Ternak Kambing atau Domba di Masyarakat Kejajar ........ 50 16. Perubahan Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan....................................................................... 53 17. Perkembangan Program Pemulihan Dieng Sejak Tahun 2007 ................... 54 18. Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program Pemulihan Dieng .. 59
DAFTAR GAMBAR
No. 1.
Halaman Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan.” ................................................................................. . 11
2.
Proses Analsis Data dalam Penelitian Kualitatif ....................................... 21
3.
Guludan Bidang Tanaman Kentang Searah Lereng................................... 40
4.
Proses Perubahan Pendekatan Partisipatif................................................. 65
5.
Arus Informasi di Kecamatan Kejajar....................................................... 70
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Tabel Penggolongan Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ........... ...... 81 2. Tabel Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Kejajar ....................... 82 3. Tabel Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program Pemulihan Dieng ....................................................................................... 83 4. Tabel Jumlah Kepala Keluarga Petani ....................................................... 86 5. Tabel Jumlah Responden dalam Penelitian ................................................ 86 6. Tabel Responden Persepsi Keberlanjutan Program RHL .......................... 87 7. Tabel Perbandingan Berbagai Pertanaman yang Dilakukan ....................... 87 8. Matrik Triangulasi Dimensi Pembelajaran Sosial ...................................... 88
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan dan lahan memegang peranan penting bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitarnya. Hutan dan lahan telah menjadi sumber kehidupan utama bagi mereka. Pengelolaan hutan dan lahan yang mereka lakukan seharusnya mampu menjamin keberlangsungan hidup dasar. Pengelolaan hutan tersebut merupakan praktek dari sistem pengetahuan lokal yang bersifat turun temurun. Kawasan Pegunungan Dieng sebagian besar wilayahnya diusahakan untuk kegiatan pertanian bernilai ekonomi tinggi seperti kentang dan tembakau. Penyebab kerusakan pada dataran tinggi Dieng diakibatkan oleh daerah konservasi dan hutan produksi yang tidak cukup tertutup oleh area pepohonan dan pola pertanian yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Menurut TKPD (2008) dalam Nugroho (2009), di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi pada tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut. Dalam usaha rehabilitasi hutan dan lahan di daerah Pegunungan Dieng, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan. Interaksi yang harmonis antara stakeholder menjadi prioritas agar ide dan nilai dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diintroduksi dan diterapkan oleh masyarakat. Hal ini menjadi kendala utama sehingga diperlukan pendekatan yang tepat agar hubungan berbagai pihak dapat diperbaiki. Oleh sebab itu dalam menata hubungan stakeholder khususnya masyarakat, pemerintah dan LSM, diperlukan suatu proses yang mampu mambawa masingmasing pihak pada keadaan yang lebih baik. Masing-masing pihak dapat menjalankan kepentingannya tanpa terjadi perbenturan dengan kepentingan yang lain. Proses inilah yang dinamakan pembelajaran sosial yang pada akhirnya akan
2
mewujudkan
kesepahaman
berbagai
pihak
dalam
memandang
dan
mengimplementasikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Berbagai inovasi yang telah diperkenalkan melalui konsep pengelolaan lahan yang ramah lingkungan tentu telah membawa dampak dalam kehidupan masyarakat lokal, dimana dampak ini merupakan strategi adaptasi berbagai pihak. Oleh sebab itu, penelitian mengenai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana konsep rehabilitasi telah memasuki tatanan suprastruktur masyarakat dan memberikan suatu pola baru dalam pengelolaan lahan. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah telah dilakukan dengan berbagai program. Namun demikian bukan sesuatu yang mudah untuk mengaplikasikan ide dan nilai baru. Pada umumnya petani telah memiliki ide dan nilai mereka sendiri serta kebiasaan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini pengelolaan hutan dan lahan didominasi oleh pengelolaan lahan pertanian kentang dan tembakau yang cenderung merusak lahan namun menghasilkan nilai ekonomis cukup tinggi. Demikian juga Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Perhutani, dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan, tidak mudah dapat mensosialisasikan dan memfasilitasi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Dibutuhkan perubahan sikap dan perilaku para pihak yang terlibat agar pengelolaan lahan yang lestari dapat dilaksanakan. Sikap dan perilaku para pihak yang terlibat ini berpengaruh dalam menentukan bentuk hubungan antara petani dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) serta model pengelolaan lahan yang lestari. Keselarasan sikap antara petani dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) yang tercermin dari hubungan yang harmonis serta hutan dan lahan yang lestari menjadi faktor penting dalam analisis pembelajaran sosial (Social lesson learning). Bagaimana perubahan sikap dan perilaku tersebut berperan dalam pembelajaran sosial merupakan hal yang cukup menarik untuk diteliti.
3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Mengidentifikasi permasalahan pola pengelolaan hutan dan lahan sebelum dan sesudah introduksi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mempengaruhi berlangsungnya proses pembelajaran sosial dalam budidaya pertanian sayursayuran bernilai ekonomi tinggi. 2. Memahami peran fasilitasi dalam proses pembelajaran sosial. 3. Mendeskripsikan persepsi petani mengenai keberlanjutan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Hipotesis Penelitian Fasilitasi
mempengaruhi proses pembelajaran sosial
dalam upaya
rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk: 1.
Memberikan gambaran faktual mengenai proses pembelajaran sosial tentang pengelolaan lahan yang terjadi pada masyarakat kawasan Pegunungan Dieng.
2.
Bahan masukan bagi para pelaksana dan pengelola program rehabilitasi hutan dan lahan dalam mengambil kebijakan dalam pemulihan fungsi lindung Kawasan Pegunungan Dieng.
3.
Bahan acuan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pembelajaran Sosial Menurut Wollenberg et al. (2001), pembelajaran sosial merupakan suatu proses yang bersifat kontinu yang terjadi antar berbagai pihak dalam mewujudkan kesamaan visi dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan pihak-pihak tersebut. Terdapat empat dimensi dalam pembelajaran sosial. Dimensi pertama yaitu pengambilan keputusan. Pengelolaan sumberdaya hutan melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda. Kekuatan politik telah menjadi penyebab utama ketidaksamaan akses masing-masing pihak dalam mengelola hutan. Lee (1993) yang diacu oleh Wollenberg et al. (2001) menyatakan bahwa di antara pihak-pihak tersebut terjadi konflik yang bersifat terbatas. Melalui pembelajaran sosial dilakukan pengambilan keputusan secara bersama-sama terutama untuk meminimalisasi kekuatan politik tadi. Dimensi kedua yaitu inovasi dan pemecahan masalah. Tiap pihak dalam pembelajaran
sosial
memiliki
kepentingan
masing-masing.
Kepentingan-
kepentingan ini akan membawa pada perbedaan pengetahuan dalam belajar. Pengetahuan tersebut dapat berbentuk nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metodemetode, dan pengalaman sejarah. Menurut Daniels dan Walker (1999) diacu dalam Wollenberg et al. (2001), di dalam pembelajaran sosial terjadi pertukaran pandangan antara berbagai pihak yang bertujuan untuk merubah pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut. Dimensi ketiga yaitu jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan. Pembelajaran sosial berjalan dengan lancar jika di antara pihak yang terlibat berinteraksi, sehingga terbentuk hubungan yang kuat dan saling membutuhkan. Hubungan yang interdependen ini akan membantu proses berbagi pengetahuan. Dalam belajar tidak ada pihak yang mendominasi, semua pihak memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu, dalam prosesnya pembelajaran sosial tidak bersifat linier, tetapi merupakan sebuah proses interaktif di antara pihakpihak yang terlibat di dalamnya.
5
Dimensi terakhir yaitu pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat. Ketika masyarakat dihadapkan pada pengetahuan baru, masyarakat memiliki keinginan untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang lebih detail. Pemahaman terhadap pengetahuan baru tersebut tercipta dengan cara belajar secara bersama-sama. Selain memperkaya wawasan masyarakat, di dalam proses belajar, masyarakat juga mengembangkan pengetahuan baru yang dipelajari agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Upaya ini menunjukkan bahwa masyarakat
memiliki
kapabilitas
untuk
meningkatkan
kemampuan
dan
mengembangkan apa yang sudah mereka miliki. Fasilitasi merupakan syarat vital dalam pembelajaran sosial. Fasilitator berperan dalam mempercepat proses pembelajaran. Fasilitator dapat memperkecil resiko kesalahan dalam menginterpretasikan kepentingan masyarakat lokal. Untuk itu, fasilitator harus sensitif terutama dalam menghadapi berbagai kepentingan dan berbagai hubungan yang terjalin di antara para pelaku pembelajaran. Faktor sosial budaya memegang peranan penting dalam menentukan diterima atau tidaknya ide-ide baru. Ide baru dapat diterima oleh masyarakat apabila ide tersebut memenuhi kebutuhan mereka dan tidak bertentangan dengan adat. Menurut Adimihardja (1999), tidak semua ide dan nilai diterima karena adanya dua kecenderungan alamiah pada masyarakat yakni, modifikasi adaptif dan kecenderungan untuk mempertahankan apa yang ada. Bukan berarti masyarakat akan menyerap ide baru begitu saja, melainkan ada upaya kompromi antara budaya yang telah ada dan peluang-peluang yang diberikan oleh keadaan baru.
Konsep Pengetahuan Lokal Sunaryo dan Joshi (2003), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses pembelajaran, yang menyangkut pemikiran, pengalaman dan pengamatan. Pengetahuan bersifat universal tetapi tidak mutlak dan tidak netral. Pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, seperti perkembangan dari pengetahuan itu sendiri dan adanya kepentingan-kepentingan serta kebijakan yang mendorong pengetahuan mengarah pada aspek tertentu.
6
Pengetahuan indigenous berarti pengetahuan asli, maksudnya yang diciptakan dan dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Kata indigenous berarti asli dan pribumi. Pemakaian kata indigenous mengacu pada arti masyarakat indigenous atau masyarakat asli yang berdomisili di suatu wilayah geografis tertentu. Pengetahuan tersebut melingkupi semua cara yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup, telah teruji dalam jangka waktu yang lama, dan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal. Pengertian di atas bermakna sempit, karena hanya memperhitungkan masyarakat asli dan mengabaikan pengetahuan masyarakat pendatang. Oleh karena itu banyak pihak yang berkeberatan dengan batasan tersebut dan memiliki preferensi terhadap pemakaian istilah pengetahuan lokal. Pengetahuan berada pada tataran konsep yang lebih luas dimana pengetahuan di sini mengacu pada pengetahuan yang ada pada suatu wilayah tertentu. Tidak menjadi masalah apakah masyarakat di wilayah tersebut asli atau tidak. Pengetahuan lokal tidak terbatas pada apa yang dicerminkan oleh metode dan teknik dalam pengelolaan sumberdaya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang telah menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama akan menjadi ‘kearifan lokal’. Menurut Adimihardja (2004), pengetahuan lokal merupakan suatu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan bentuk keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu. Pengetahuan lokal ini juga mengenai pengetahuan agrikultur, medikal, ekologi, produk, desain dalam bidang kerajinan tangan, arsitektur, serta bidang seni. Sifat yang dinamis, selalu berubah, mencirikan pengetahuan lokal. Perubahan tersebut dapat dikarenakan oleh ketidaksesuaiannya terhadap situasi yang baru ataupun karena adaptasi dengan situasi yang baru ataupun karena adaptasi dengan situasi dan kondisi yang baru. Pengetahuan yang tidak sesuai perlahan akan menghilang dan disubstitusi oleh pengetahuan baru yang sesuai.
7
Masyarakat lokal di Indonesia memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Raden dan Nababan (2003), sampai awal dekade 1970-an, pengetahuan lokal yang sangat beragam masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara. Bentuk pengetahuan lokal lain dalam pengelolaan hutan ditunjukkan melalui praktek kebun hutan (agroforest). Praktek kebun hutan ini ditemukan pada ratusan lokasi di seluruh kawasan hutan tropika (Tadjudin 2000). Penelitian di Kalimantan dan Sumatera menyatakan bahwa masyarakat yang melakukan praktek kebun hutan adalah masyarakat yang kehidupan ekonomi dan budayanya tergantung pada sumberdaya hutan.
Persepsi dan Keberlanjutan Program Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Persepsi yang dimiliki seseorang berbeda karena pengaruh berbagai faktor mulai dari pengalaman, latar belakang, lingkungan dimana dia tinggal, juga motivasi dan lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang akan menyebabkan
seseorang
dalam
menginterpretasikan
sesuatu
mempunyai
perbedaan pendapat (Nurdin 2003). Menurut Siagian (1995) diacu dalam Nurdin (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut : 1. Diri seseorang yang bersangkutan. Apabila seseorang melihat dan berusaha memberi interpretasi tentang apa yang telah dilihatnya, pendapatnya akan dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, dan harapan. 2. Sasaran persepsi. Sasaran persepsi dapat berupa benda atau peristiwa. Dalam persepsinya seseorang biasanya membuat generalisasi dengan menggolongkan dari sekelompok orang, benda atau peristiwa yang memiliki karakteristik yang serupa. 3. Situasi. Persepsi harus dilihat secara konstektual yang berarti dalam situasi.
8
Nurdin (2003) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses pemaknaan terhadap obyek berdasarkan kesenjangan antara benar atau salahnya suatu pernyataan. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan suatu stimulus tersebut (Langevelt 1966, diacu dalam Nurdin 2003). Saarinen (1976) diacu dalam Nurdin (2003) mengatakan bahwa persepsi sosial (sosial perseption) umumnya berkaitan dengan faktor-faktor sosial budaya terhadap struktur kognitif dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Menurut Suparlan (1994) keberlanjutan hanya bisa dicapai melalui pembangunan dengan rakyat sebagai sentral. Untuk menjaga keberlanjutan program, maka pelaksanaannya harus dilandasi oleh konsep-konsep tertentu yang dapat menjamin bahwa program ini dapat dan harus sampai pada kelompok sasaran (target group) untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan kesejahteraan dan sekaligus membawa peningkatan sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial (social capital) dari kelompok sasaran (Khandker et al. 1995, diacu dalam Yuliarso 2004). Rohima (2002) menyatakan bahwa implementasi dan keberlanjutan program merupakan suatu tantangan dalam perencanaan program. Strategi top down tidak hanya kurang efektif tapi juga sulit untuk menjaga keberlanjutan. Program pengembangan pada masyarakat perlu mempertimbangkan tentang jalan keluar yang baik dari masalah yang ada di masyarakat juga kebutuhan terhadap program yang ditawarkan.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan
fungsi
hutan
dan
lahan
sehingga
daya
dukung,
produktivitasnya dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Inisiatif rehabilitasi hutan dan lahan didefinisikan sebagai kegiatan yang disengaja dengan tujuan regenerasi pohon, baik secara alami maupun buatan di atas lahan berupa padang rumput, semak belukar, atau wilayah tandus yang dulunya
berhutan,
dengan
maksud
untuk
meningkatkan
produktivitas,
penghidupan masyarakat, dan/atau manfaat jasa lingkungan (Tim Rehabilitasi
9
CIFOR 2003). Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan (Dephut 2003). Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholder melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan yang efektif dan efisien (Menkokesra 2003). GN-RHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik (BKN 2005). GN-RHL meliputi dua ruang lingkup yaitu: 1. Lingkup kegiatan a. Kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan. Kegiatan ini meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan penanaman hutan. Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman,dan lain-lain) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, gully plug, terasering, sumur resapan, grass barrier, dan lain-lain), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup wilayah Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasi 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani (Menkokesra 2003).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kawasan Pegunungan Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai Januari 2010. Di lokasi penelitian penulis dibantu oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo, Perhutani (Pemerintah Daerah), dan Tim Kerja Pemulihan Dieng (LSM). Pemilihan lokasi lapangan berdasarkan hasil orientasi lapangan yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian dipilih 4 desa di Kecamatan Kejajar sebagai sampel lokasi penelitian secara purposive sampling yaitu Desa Buntu, Kreo, Patak Banteng dan Sigedang. Desa Buntu dan Desa Kreo dipilih dengan alasan kedua desa tersebut dijadikan desa model dalam program rehabilitasi hutan dan lahan oleh Tim Kerja Pemulihan Dieng. Desa Patak Banteng dipilih karena sebagian besar masyarakatnya mengelola lahan pertanian kentang selama satu tahun penuh. Sedangkan
Desa
Sigedang
dipilih
karena
sebagian
besar
wilayahnya
bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Dengan ini diharapkan dapat mewakili karakteristik desa-desa di Kecamatan Kejajar. Lokasi ini ditetapkan karena dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi yang cenderung merusak lahan. Lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi di Kawasan Pegunungan Dieng yang telah ada introduksi teknologi ramah lingkungan melalui pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Implementasi program rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan Dieng sering berseberangan dengan pola pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi sehingga proses belajar terhadap ide dan nilai baru masih berlangsung. Sebagian besar masyarakat terlibat dalam program rehabilitasi hutan dan lahan dan bertani sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti tanaman kentang serta dalam implementasinya melibatkan berbagai pihak terkait. Dari pihak-pihak inilah ditelusuri proses-proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.
11
Kerangka Pemikiran Analisis pembelajaran sosial kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat berkaitan dengan permasalahan sub sistem pertanian, kehutanan dan sosial ekonomi masyarakat. Dari permasalahan pengelolaan
sub
sistem
tersebut,
dianalisis
bagaimana
fasilitasi
sosial
mempengaruhi proses pembelajaran sosial dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Hubungan antara topik penelitian disajikan dalam Gambar 1. Fasilitasi Sosial
Ide dan Nilai Lama
Pembelajaran Sosial RHL. • Pengambilan keputusan • Inovasi dan pemecahan masalah • Jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan • Pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat
Ide dan Nilai Baru
Pola Pengelolaan Hutan dan Lahan Baru.
Sub Sistem Kehutanan
Sub Sistem Pertanian
Sub Sistem Sosial Ekonomi masyarakat
Gambar 1 Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan.”
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian metode eksplanatif, dimana penelitian difokuskan pada suatu gejala sosial untuk dapat dijelaskan penyebab dan keterkaitannya dengan gejala sosial yang lain. Gejala sosial yang menjadi fokus penelitian yaitu pola pengelolaan hutan dan lahan yang dipraktekkan oleh masyarakat baik sebelum introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi maupun sesudah introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi bersamaan dengan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Gejala sosial fokus penelitian kemudian dianalisis dengan
12
mempergunakan konsep pembelajaran sosial (Social lesson learning) menurut dimensi pembelajaran sosial Wollenberg et al. (2001). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis). Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus karena gejala sosial yang dikaji adalah gejala sosial kontemporer yang dianalisis dan dipahami menurut sudut pandang subjek penelitian. program rehabilitasi hutan dan lahan merupakan upaya perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama, dan terkoordinasi dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait swasta dan masyarakat, agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik. Oleh karenanya strategi studi kasus sangat sesuai untuk menggali informasi sedalam mungkin mengenai gejala pembelajaran sosial pada masyarakat kawasan Pegunungan Dieng sebagai pengelola lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti pertanian kentang dan pelaksana program rehabilitasi hutan dan lahan. Unit analisis dalam penelitian ada tiga yaitu petani, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani), dan LSM (Tim Kerja Pemulihan Dieng). Sudut pandang yang digunakan dalam penelitian adalah sudut pandang subjek penelitian (tineliti). Jadi, sudut pandang yang dipakai dalam penelitian yaitu sudut pandang petani, sudut pandang Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan sudut pandang LSM (Tim Kerja Pemulihan Dieng).
Jenis Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dari sasaran penelitian. Data primer meliputi: keadaan umum responden, luas lahan yang diusahakan serta pengelolaanya, serta persepsi terhadap keberlanjutan program rehabilitasi hutan dan lahan. Data primer diambil melalui wawancara semi terstruktur dan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperlukan untuk melengkapi data primer yang diperoleh dari instansi-instansi pemerintah, meliputi keadaan lingkungan biofisik tempat penelitian dan data lain yang relevan dengan penelitian.
13
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 1. Teknik Observasi, yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. 2. Teknik Survei, yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan masyarakat (responden) serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan responden. 3. Studi Pustaka, yaitu cara pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu data deskriptif berupa kata-kata yang diucapkan langsung dan kata-kata yang dituliskan oleh subjek penelitian dan informan tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Sitorus 1998). Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif yaitu dengan cara wawancara mendalam, pengamatan, dan analisis data sekunder. Wawancara mendalam dilakukan terhadap subjek penelitian dan informan. Informan berasal dari masyarakat desa, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng. Teknik pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik bola salju (Snowball) yaitu menjadikan tokoh dalam masyarakat sebagai informan kunci untuk menentukan pihak-pihak yang dapat dijadikan subjek penelitian. Menurut Sitorus (1998), subjek penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi tentang dirinya yang mencakup pendapat, perasaan, dan tindakan yang dilakukan. Misalnya tentang keterlibatan dirinya dalam program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi, tentang perasaannya terhadap pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi dan sebagainya. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah petani anggota Kelompok Tani Desa, pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pegawai Perhutani,
14
Pegawai Dishutbun Wonosobo dan relawan Tim Kerja Pemulihan Dieng yang menjadi pendamping desa. Jumlah responden sebagai subjek penelitian dan informan sebanyak 39 responden. Informasi mengenai mereka diperoleh dari informan kunci. Pertama, penulis mengajukan beberapa kriteria kepada informan kunci. Kriteria tersebut antara lain adalah mengelola lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti kentang, ikut serta dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, terbuka serta tidak segan menyampaikan pendapatnya. Dari kriteria tersebut
informan
kunci
memberikan
nama-nama
petani
yang
dapat
diwawancarai. Wawancara dengan para petani tersebut akan menghasilkan data mengenai proses pembelajaran sosial, pola pengelolaan hutan, prinsip bermitra dan manfaat ekonomis. Peneliti menggali informasi dari pegawai Dishutbun Wonosobo serta pegawai Perhutani mengenai konsep program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan serta pelaksanaanya selama ini. Agar informasi yang diperoleh memiliki tingkat realibilitas yang tinggi dilakukan cross check dengan aktivis TKPD. Dari aktivis TKPD juga diperoleh informasi mengenai kegiatan fasilitasi. Wawancara mendalam dilakukan dengan berbagai cara. Petani kentang diwawancarai dengan mendatangi mereka di lahan garapan dan di rumah masingmasing. Anggota kelompok tani desa dan LMDH diwawancarai di rumah masingmasing. Wawancara dengan Dishutbun Wonosobo dan aktivis TKPD dilakukan dengan mendatangi kantor keduanya. Untuk menunjang data yang didapatkan dari wawancara mendalam dilakukan pula pengamatan lapangan. Hal-hal yang diamati adalah kehidupan keseharian masyarakat, pola pengelolaan hutan dan lahan yang diterapkan, interaksi antara petani, Dishutbun dan TKPD serta proses diskusi antar pihak yang terkait. Penulis menghadiri beberapa kegiatan dalam rangka upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Wonosobo diantaranya Lokakarya Penyusunan Road Map Penyelamatan Dieng pada tanggal 29 Juni 2009 yang diikuti oleh pemerintah level pusat, propinsi, kabupaten, pelaku, pakar, LSM, dan lembaga donor. Selain itu penulis juga menghadiri Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng pada tanggal 23 Desember 2009 yang dikoordinasi oleh BP DAS Serayu Opak
15
Progo serta menghadiri Semiloka Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kabupaten Wonosobo antara masyarakat, Perhutani dan LSM. Untuk mendukung data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan pengamatan maka dilakukan analisis terhadap data sekunder. Data sekunder berasal dari berbagai literatur, dokumen, tesis, dan disertasi. Dari literatur diperoleh informasi mengenai konsep pembelajaran sosial, konsep pengetahuan lokal dan konsep pengelolaan hutan dan lahan. Dari dokumen didapat data monografi desa dan data mengenai program rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan dari tesis dan disertasi diperoleh informasi tentang hasil-hasil penelitian terdahulu terutama mengenai program rehabilitasi hutan dan lahan dan pertanian bernilai ekonomi tinggi. Penggunaan data sekunder bertujuan untuk membantu dalam mengarahkan dan memfokuskan penelitian. Pertanyaan kunci, teknik dan unit analisis pengumpulan data dari keempat dimensi pembelajaran sosial dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Pertanyaan Kunci Dimensi Pembelajaran Sosial Pertanyaan Kunci
Teknik
Unit Analisis
Dimensi 1. Pengambilan keputusan Bagaimana penetapan kebijakan pemerintah pusat dan daerah Studi terkait pengelolaan hutan dan lahan pertanian bernilai pustaka ekonomi tinggi, sepihak atau bersama masyarakat? Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
Bagaimana sejarah kepemilikan dan status lahan garapan Studi petani? pustaka Survei
Dishutbun Masyarakat
Bagaimana konflik hak pengelolaan lahan, adakah ketidaksamaan akses antar pihak dalam pengelolaan lahan?
Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
Bagaimana kesesuaian kebijakan pemerintah pelaksana kerja fasilitator di lapangan?
Studi pustaka Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
dengan
Dimensi 2. Inovasi dan Pemecahan Masalah Bagaimana pemahaman tentang konsep, nilai-nilai, kapasitas, Survei cara pandang, metode, dan pengalaman sejarah dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan?
Dishutbun Masyarakat LSM
Bagaimana kesesuaian nilai-nilai dan pengetahuan lokal masyarakat dengan adanya introduksi program rehabilitasi hutan dan lahan?
Masyarakat
Survei
16
Tabel 1 (lanjutan) Pertanyaan Kunci
Teknik
Bagaimana peran fasilitator menjembatani kepentingankepentingan dalam pertukaran pandangan berbagai pihak?
Survei Observasi
Unit Analisis Dishutbun Masyarakat LSM
Dimensi 3. Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan Bagaimana arus informasi pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan antara petani aktif, petani pengikut, Dishutbun dan LSM?
Survei Studi pustaka
Dishutbun Masyarakat LSM
Bagaimana karakteristik petani aktif dan petani pengikut?
Survei
Masyarakat LSM
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan tindakan antara petani aktif dan petani pengikut?
Survei
Masyarakat LSM
Bagaimana dominansi interaksi yang terjalin antara berbagai Observasi pihak? Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
Dimensi 4. Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat Bagaimana keikutsertaan masyarakat (Kelompok tani dan LMDH) dalam berbagai program dan penyuluhan tentang program rehabilitasi hutan dan lahan?
Studi pustaka Observasi Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
Bagaimana peran pihak-pihak yang terkait dalam Studi pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat? pustaka Observasi Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
Bagaimana proses musyawarah dalam pembangunan dan Studi pengembangan kapasitas masyarakat? pustaka Observasi Survei
Dishutbun Masyarakat LSM
Teknik Pengolahan Data Kebutuhan Pangan Perhitungan kebutuhan pangan terkait erat dengan kebutuhan lahan bagi masyarakat. Perhitungan kebutuhan pangan dihitung dari jumlah penduduk dikalikan dengan jumlah konsumsi pangan rata-rata per kapita. Konsumsi rata-rata per kapita tidak ditentukan berdasarkan survey, tetapi dengan menggunakan pendekatan angka normative menurut Simon (1994), yaitu konsumsi beras per kapita adalah 0,31 kg/hari.. Perbandingan antara kebutuhan pangan masyarakat dengan besarnya produksi pangan yang dihasilkan dapat digunakan untuk menentukan apakah lokasi penelitian tersebut surplus atau defisit pangan.
17
Kebutuhan pangan penduduk dapat diformulasikan sebagai berikut: Kpg
= 0,35 kg/hari x P
Keterangan: Kpg
: Jumlah pangan penduduk desa (kg/hari)
0,35
: angka normatif konsumsi beras perkapita (Simon 1994)
P : Jumlah penduduk desa (jiwa) Kebutuhan Pakan Ternak Rasio kepemilikan ternak (ekor/KK) diperoleh berdasarkan jumlah data dan jenis ternak yang dimiliki oleh penduduk. Untuk memperkirakan kebutuhan pakan ternak diperlukan kepadatan ternak yang dinilai dengan satuan Unit Ternak (UT). Ternak sapi, kerbau, dan kuda rata-rata memiliki 0,75 UT per ekor, sedangkan ternak kambing dan domba 1/7 UT per ekor. Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) digunakan kriteria kebutuhan HMT normal menurut Simon (1994), dimana: kerbau 45 kg/ekor/hari, sapi 30 kg/ekor/hari dan kambing maupun domba 10 kg/ekor/hari. Dari kebutuhan pakan ternak tersebut perlu diketahui besarnya pakan ternak yang berasal dari hutan dan lahan. Angkatan Kerja dan Lapangan Pekerjaan Angkatan kerja dihitung dari penduduk yang berumur antara 15 – 59 tahun. Kesempatan kerja yang tersedia di desa dihitung dengan pendekatan jumlah angka normal, yaitu luas normal sawah dan tegal yang dibutuhkan oleh satu keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan subsisten (kelumrahan) yaitu sebesar 0,79 Ha sawah tadah hujan (Simon 1994). Apabila sawah dan tegal yang ada dibagi dengan jumlah seluruh keluarga di desa hasilnya kurang dari 0,79 Ha, maka akan terdapat tenaga kerja yang tidak terserap dalam kegiatan pertanian atau menganggur. Penentuan Persepsi Penentuan persepsi responden terhadap keberlanjutan program dilakukan dengan melakukan sejumlah pernyataan melalui kuesioner. Jumlah responden untuk data persepsi sebanyak 25 responden yang dipilih secara purposive. Variabel dan pernyataan tersebut ditentukan sesuai bentuk kegiatan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan oleh responden. Metode yang digunakan yaitu metode rating yang dijumlahkan atau penskalaan Likert
18
(Mueller 1996) merupakan metode penskalaan pernyataan sikap/persepsi yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Responden akan diminta untuk menyatakan tingkat kepentingan terhadap isi pernyataan/indikator dalam tiga kategori jawaban, yaitu “Sangat Penting” (SP), “Penting” (P), dan “Kurang Penting“ (KP). Dari masing-masing kategori jawaban akan diberi nilai tergantung dari bentuk pernyataannya baik yang berupa pernyataan positif maupun negatif. Pemberian nilai dari 1 sampai 3 tergantung bentuk pernyataannya, apabila positif maka nilai terkecil untuk kategori jawaban tingkat kepentingan misalnya Sangat Penting (SP) adalah 1 sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif, nilai terbesar untuk kategori jawaban penolakan misalnya Kurang Penting (KP) adalah 3. Hasil dari kuesioner dicari nilai rata-rata dari tiap butir pernyataan dengan menjumlahkan nilai dari tiap jawaban dan membaginya dengan jumlah responden. Sehingga diperoleh nilai yang menggambarkan tingkat persepsi responden. Interval nilai rata-rata dari pernyataan/ tanggapan untuk tingkat persepsi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat Persepsi berdasarkan Skala Likert Interval Nilai Tanggapan
Tingkat Persepsi
0 – 1,0
Tinggi
1,1 – 2,0
Sedang
2,1 – 3,0
Rendah
Indikator-indikator persepsi yang mempengaruhi keberlanjutan program rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng dibedakan ke dalam 2 hal pengamatan, di dalam kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat. Indikator tersebut mencakup aspek-aspek, diantaranya aspek teknis, kelembagaan, pengelolaan dan ekonomi. Secara lebih lengkap disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 3 Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program RHL No
Di dalam kawasan hutan
No
Aspek Teknis
Di lahan milik Aspek Teknis
1.
Penanaman pohon
1.
Penanaman pohon
2.
Pemeliharaan pohon
2.
Pemeliharaan pohon
Aspek Kelembagaan 1.
Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi
Aspek Kelembagaan 1.
Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi
19
Tabel 2 (lanjutan) No
Di dalam kawasan hutan
No
Di lahan milik
2.
Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan
2.
Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan
3.
Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah
3.
Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah
4.
Adanya kesepahaman satu sama lain
5.
Hubungan baik antara staf program dan masyarakat
4.
Hubungan baik antara staf program dan masyarakat
6.
Konflik lahan harus diselesaikan dengan tuntas
7.
Tersedianya lahan untuk dikelola masyarakat
8.
Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat
5.
Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat
9.
Pembentukan lembaga baru
10.
Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam
6.
Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam
11.
Aturan main yang jelas
7.
Aturan main yang jelas
8.
Pemberdayaan organisasi
9.
Inovasi pada aspek teknis dan kelembagaan
Aspek Pengelolaan 1.
Transparansi
Aspek Pengelolaan 1.
Transparansi
2.
Pengembangan perencanaan partisipatif
3.
Penurunan tingkat penebangan/perambahan
2.
Desa sekitar hutan dilibatkan dalam pengelolaan hutan dan pengamanan
3.
Dukungan pemerintah yang jelas
4.
Dukungan pemerintah yang jelas
4.
Proses peningkatan kesadaran masyarakat
5.
Proses peningkatan kesadaran masyarakat
5.
Penyuluhan kehutanan
6.
Penyuluhan kehutanan
6.
Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi
7.
Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi
Aspek ekonomi
Aspek ekonomi
1.
Mekanisme investasi kembali (reinvestasi) yang jelas
1.
Mekanisme investasi kembali (reinvestasi) yang jelas
2.
Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi
2.
Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi
20
Analisis Data Data-data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Untuk mendapatkan data yang sesuai dilakukan pemilahan dan penyederhanaan. Pemilahan data dimaksudkan untuk mempertajam analisis. Setelah data dipilah selanjutnya dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk teks naratif. Dari hasil penyajian dapat ditarik berbagai kesimpulan (Sitorus 1998). Analisis data mulai dari pemilahan data sampai penarikan kesimpulan. Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan. Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication). Ketiga tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Reduksi Data. Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. 2. Penyajian Data. Penyajian data atau display data dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-
21
bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh. 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi. Dalam penelitian kualitatif, penarikan data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan yaitu dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat
grounded . Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus
dilakukan
verifikasi
selama
penelitian
berlangsung
yang
melibatkan
interprestasi peneliti.
Gambar 2 Proses Analsis Data dalam Penelitian Kualitatif.
Keabsahan Data Moleong (2000) mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang dapat digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data hasil penelitian ini, akan dilakukan kegiatan sebagai berikut:
22
1. Derajat
kepercayaan
(credibility).
Penerapan
konsep
kriteria
derajat
kepercayaan ini berfungsi untuk melaksanakan inquiry sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Selain itu berfungsi untuk menunjukkan derajat kepercayaan hasil penemuan dengan cara pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa kredibilitas hasil penelitian adalah sebagai berikut: a. Memperpanjang masa observasi. Dengan cara ini peneliti berharap mempunyai cukup waktu untuk mengenal situasi lingkungan dan melakukan hubungan baik dengan para informan di lokasi penelitian. Dengan demikian peneliti dapat mengecek kebenaran berbagai informasi dan data yang diperoleh sampai sudah dirasa benar. b. Melakukan peer debriefing. Hasil kajian dari peneliti didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan juga tentang metode penelitian yang diterapkan. Pembicaraan ini bertujuan antara lain untuk memperoleh kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan yang menguji tingkat kepercayaan dari kebenaran hasil penelitian. c. Triangulasi. Triangulasi dilakukan untuk mengecek kebenaran data tertentu dan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan dengan menggunakan metode yang berlainan. Triangulasi dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan data, sumber data dan teknik pengumpulan data. d. Mengadakan member check . Hal ini peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dengan cara mengecek ulang garis besar berbagai hal yang telah disampaikan informan berdasarkan catatan lapangan. Hal ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penulisan laporan penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan. 2. Keteralihan (transferability). Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama.
23
3. Kebergantungan
dan
memastikan apakah
Kepastian.
Untuk
hasil penelitian
ini
mengetahui, benar
atau
mengecek salah,
serta
peneliti
mendiskusikannya dengan pembimbing mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan. Setelah hasil penelitian dianggap benar, diadakan seminar terbuka dengan mengundang teman sejawat dan pembimbing.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Wonosobo yang masuk dalam kawasan Pegunungan Dieng. Secara geografis memiliki luas wilayah 5.761,92 ha, atau 5,85 % dari luas Kabupaten Wonosobo. Ketinggian wilayah antara 1.360 – 2.302 m di atas permukaan laut. Kecamatan Kejajar merupakan salah satu dari 15 Kecamatan di Kabupaten Wonosobo, terletak antara 7°11’20’’ sampai 7°18’00’’ Lintang Selatan (LS) dan 109° 51’11” sampai 109° 59’52’’ Bujur Timur (BT), berjarak 17 Km dari ibu kota Kabupaten Wonosobo dan 146 Km dari ibu kota Propinsi Jawa Tengah. Secara Administrasi Kecamatan Kejajar berbatasan langsung dengan: Sebelah Utara
: Kabupaten Batang
Sebelah Timur
: Kabupaten Temanggung
Sebelah Selatan
: Kecamatan Garung
Sebelah Barat
: Kabupaten Banjarnegara
Luas Kecamatan Kejajar adalah 5.761,919 ha, dengan komposisi tata guna lahan atas lahan tanah kering seluas 3.066,31 ha (53,21 %), hutan negara 2.309,81 ha (40,08 %), perkebunan negara/swasta seluas 155,85 ha (2,7 %) dan lainnya seluas 232,67 ha (4,01%) (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009).
Jenis Tanah dan Topografi Tanah merupakan lapisan-lapisan dekat permukaan yang berbeda dengan batuan di bawahnya sebagai hasil interaksi antara: iklim, jasad hidup, bahan induk, relief dan proses yang panjang. Tanah merupakan salah satu unsur lingkungan dan tempat manusia melakukan kegiatan baik dalam bidang pertanian, maupun non pertanian. Tanah dalam kaitannya dengan penggunaan tanah/lahan tergantung pada kebutuhan penduduk. Hal ini yang sering menimbulkan konflik antar kepentingan. Perbedaan faktor yang menentukan pembentukan tanah, menghasilkan perbedaan sifat, potensi dan jenis tanah yang terbentuk. Jenis-jenis tanah yang
25
terbentuk di Kawasan Dieng adalah: 1) Latosol; 2) Latosol coklat; 3) Latosol coklat kekuningan; 4) Podzolik coklat kemerahan. 5) Litosol – Latosol. Jenis tanah di Kecamatan Kejajar didominasi oleh jenis regosol dan Andosol. Jenis tanah regosol ini belum berkembang, sehingga belum terbentuk horison tanah. Regosol banyak ditemukan pada endapan lahar dan piroklastis. Tanah bertekstur pasiran hingga pasir bergeluh, struktur remah pada kondisi kering, warna tanah abu-abu kecoklatan. Konsistensi lepas-lepas, permeabilitas umumnya sedang hingga cepat, kandungan bahan organis rendah hingga sedang, pH 5 – 6,5 kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa termasuk sedang. Pada lokasi tertentu Regosol dapat bertekstur remah hingga gumpal jika terdapat kandungan lempung atau banyak mengandung bahan organis. Sebaran jenis tanah ini terdapat pada relief datar, berombak, bergelombang, lereng gunung api, perbukitan hingga pegunungan terjal berbatuan vulkanis. Andosol berkembang pada satuan bentuk lahan perbukitan hingga pegunungan terjal berbatuan tuf pada kondisi suhu dingin dan curah hujan sedang. Ciri Andosol yaitu; tanah tebal, warna tanah coklat – abu-abu gelap, tekstur geluh berdebu, konsistensi gembur permeabilitas sedang, kandungan bahan organik sedang, pH 5,5 - 6, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa tinggi. Potensi lahan untuk tanaman pertanian termasuk sedang hingga tinggi (RTPPKD 2007) Topografi Kecamatan Kejajar dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Komplek pegunungan Dieng terdiri dari Gunung Bismo, Binem, Nagasari, Pangonan, Merdada, Prau, Pager Kandang, Petarangan Telaga Dlimo, Pakuwojo, Kunir, Kendil, Srodjo, Sipandu dan Prambanan. Gunung di komplek Dieng yang tertinggi adalah Gunung Prau, yaitu 2565 m dpl. Kemiringan tanah di Kecamatan Kejajar cukup terjal, didominasi kelas lereng antara 15 – 40 % yaitu seluas 1.993,099 ha (65%). Disamping dikelilingi gunung dan perbukitan, di Kecamatan Kejajar terdapat beberapa telaga, diantaranya Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Telaga Cebong. Telaga ini dimanfaatkan sebagai sumber mata air dan objek wisata oleh masyarakat setempat untuk menyirami tanaman pertaniannya saat musim kemarau sehingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan antar petani dan pengelola wisata alam (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009)
26
Iklim Iklim merupakan gabungan beberapa unsur cuaca yang terjadi dalam kurun waktu yang lama dan dalam wilayah yang luas. Iklim dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, keadaan awan, hujan dan sinar matahari. Curah hujan merupakan salah satu unsur penyusun iklim yang sangat penting dalam kehidupan pertanian. Menentukan jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu yang tepat untuk penanaman sangat bergantung pada banyaknya curah hujan dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu penanamannya. Berdasarkan besarnya curah hujan yang ditentukan dalam banyaknya bulan basah, bulan lembab dan bulan kering, Schmidt dan Ferguson menetapkan tipe iklim di Indonesia dengan menggunakan rumus nilai Q yaitu Jumlah rata-rata bulan kering dibagi jumlah rata-rata bulan basah dikali 100%. Berdasarkan data curah hujan 5 tahun terakhir, diketahui curah hujan ratarata adalah 3,533 mm/tahun dengan jumlah rata-rata bulan basah sebanyak 8,67 bulan dan bulan kering sebanyak 2,33 bulan. Dengan menghitung nilai Q, diketahui bahwa tipe iklim di Kecamatan Kejajar termasuk dalam tipe iklim B(basah). Sebagian besar desa di Kecamatan Kejajar bersinggungan langsung dengan RPH Dieng yang merupakan BKPH Wonosobo. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan penting untuk diketahui iklim suatu daerah untuk dapat ditentukan kelas perusahaan serta tata waktu pelaksanaan pembangunan hutan mulai dari persemaian, penanaman, sampai dengan tebangan. Di daerah pegunungan, seperti dataran tinggi Dieng suhu relatif rendah, berkisar antara 200C – 300C, sementara kelembaban udara relatif tinggi antara 84 – 86% (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009).
Sosial Ekonomi Masyarakat Kependudukan Kependudukan merupakan hal yang penting untuk diketahui di dalam pembangunan wilayah, termasuk di dalamnya pembangunan wilayah hutan. Jumlah dan komposisi penduduk dapat mencerminkan ketersediaan angkatan kerja yang diperlukan dalam pembangunan wilayah. Jumlah angkatan kerja yang
27
banyak akan mempercepat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam pembangunan wilayah. Namun ketersediaan tenaga kerja yang banyak harus diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja yang cukup, sehingga tidak menyebabkan terjadinya pengangguran dan pemanfaatan sumber dayaalam yang melebihi daya dukungnya sehingga akan menyebabkan kerusakan sumber dayaalam itu sendiri. Jumlah tenaga kerja yang sedikit juga akan menyebabkan tingginya tingkat upah buruh sehingga dapat berpengaruh terhadap pembangunan. Menurut Ethika (1997) diacu dalam Tribowo (2001) jumlah penduduk dapat digolongkan berdasarkan produktivitas sebagai berikut: 1. Golongan tidak produktif a. Usia muda
: 0 – 14 tahun
b. Usia tua
: 60 tahun ke atas
2. Golongan produktif
: Usia 15 – 59 tahun
Penggolongan penduduk menurut produktivitasnya di desa-desa Kecamatan Kejajar disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Penggolongan Penduduk Menurut Produktivitas Kerja Jumlah Penduduk Usia Non Produktif No Desa Usia Produktif Jumlah Usia Muda Usia Tua Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa 1 Buntu 632 26,68 209 8,82 1.528 64,50 2.369 2 Sigedang 877 30,15 128 4,40 1.904 65,45 2.909 3 Tambi 1.520 29,62 228 4,44 3.383 65,93 5.131 4 Kreo 514 32,17 132 8,26 952 59,57 1.598 5 Serang 1.575 33,92 328 7,06 2.740 59,01 4.643 6 Kejajar 986 28,65 273 7,93 2.182 63,41 3.441 7 Igirmranak 200 29,59 54 7,99 422 62,43 676 8 Surengede 1.114 30,79 203 5,61 2.301 63,60 3.618 9 Tieng 1.138 27,02 346 8,21 2.728 64,77 4.212 10 Parikesit 559 28,53 106 5,41 1.294 66,05 1.959 11 Sembungan 344 30,52 51 4,53 732 64,95 1.127 12 Jojogan 428 29,34 57 3,91 974 66,76 1.459 13 Patakbanteng 802 31,76 131 5,19 1.592 63,05 2.525 14 Dieng 500 23,38 172 8,04 1.467 68,58 2.139 15 Sikunang 593 29,05 116 5,68 1.332 65,26 2.041 16 Campursari 717 29,31 172 7,03 1.557 63,65 2.446 JUMLAH 12.499 29,40 2.706 6,40 27.088 64,18 42.293
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008.
28
Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah angkatan kerja produktif cukup besar yaitu 27.088 jiwa atau 64,18 %, yang terdiri dari angkatan kerja muda (14 – 24 tahun), angkatan kerja produktif (25 – 49 tahun) dan angkatan kerja tua (50 – 59 tahun). Dengan melihat penggolongan umur ini dapat dihitung beban ketergantungan
atau
angka
ketergantungan
yang
diperoleh
dengan
membandingkan golongan umur non produktif dengan golongan umur produktif dikali 100%. Untuk Kecamatan Kejajar, angka ketergantungan yang diperoleh sebesar 56%, artinya setiap 100 orang yang bekerja harus menanggung 56 orang yang tidak bekerja. Dilihat dari segi ekonomi, semakin tinggi angka ketergantungan penduduk di suatu daerah maka akan semakin berat beban penduduknya. Penggolongan penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada lampiran 1. Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan wilayah. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan berpengaruh terhadap penerimaan program-program pembangunan, termasuk program rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam rehabilitasi hutan dan lahan, salah satu tujuannya adalah kelestarian hutan dan lahan memerlukan pemahaman yang cukup untuk dapat menerima pelaksanaan introduksi rehabilitasi hutan dan lahan. Hal tersebut mengingat keberhasilan pembangunan hutan baru dapat dilaksanakan dalam waktu yang lama. Seperti di desa-desa sekitar hutan umumnya, tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Kejajar tergolong rendah, sebagian besar penduduk yaitu 18.451 orang atau 54,08% hanya menamatkan sekolah dasar. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut akan menyulitkan dalam penyampaian program rehabilitasi hutan dan lahan dan intoduksi teknologi baru yang bermanfaat bagi pembangunan wilayah. Terlebih di Kecamatan Kejajar yang sebagian besarnya merupakan hutan lindung, menuntut pemahaman lebih untuk tetap mempertahankan hutan sebagai pelindung tata air. Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 5.
29
Tabel 5 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Kejajar Tamat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Desa Buntu Sigedang Tambi Kreo Serang Kejajar Igirmranak Surengede Tieng Parikesit Sembungan Jojogan Patakbanteng Dieng Sikunang Campursari Jumlah
SD 1.197 1.416 2.149 707 1.876 1.297 261 1.851 1.581 1.023 572 588 1.296 956 849 832 18.451
SMP 152 134 424 99 527 527 37 231 498 91 157 143 158 219 228 60 3.685
SMA 129 64 230 62 240 366 12 61 274 37 33 55 77 239 91 27 1.997
AKD /PT 23 18 24 10 34 51 1 6 86 12 3 7 13 21 7 3 319
Tidak/ belum tamat SD
Tidak Sekolah
Jumlah
402 621 1.126 338 845 429 169 611 862 346 59 349 364 342 401 933 8.197
45 71 186 68 107 79 49 142 161 93 53 52 91 57 89 123 1.466
1.948 2.324 4.139 1.284 3.629 2.749 529 2.902 3.462 1.602 877 1.194 1.999 1.834 1.665 1.978 34.115
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008. Matapencaharian Biro Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo (2008), mengklasifikasikan jenis mata pencaharian penduduk menjadi 13 kelompok, yaitu petani sendiri, buruh tani, peternak skala besar, penggalian, nelayan, industri, bangunan, perdagangan, transportasi, PNS/Honda, TNI, Polisi, pensiunan, dan lainnya. Klasifikasi mata pencaharian masyarakat Kecamatan Kejajar sesuai pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari Lampiran 2 terlihat bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Kejajar adalah petani, baik sebagai pemilik maupun buruh tani. Dengan demikian, jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian sebanyak 17.936 jiwa (77,27%) yang terdiri dari petani pemilik sebanyak 10.851 jiwa (46,75%) dan buruh tani sebanyak 7.085 jiwa (30,52%). Mata pencaharian lain yang cukup dominan adalah perdagangan dan bangunan, yang masing-masing sebanyak 1.471 jiwa (6,34%) dan 815 jiwa (3,51%). Perdagangan yang banyak disediakan oleh masyarakat di samping toko klontong adalah sarana pertanian seperti pupuk, bibit tanaman pertanian.
30
Tata Guna Lahan Lahan menjadi modal utama pada masyarakat di Kecamatan Kejajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan di Kecamatan Kejajar hanya digunakan untuk lahan kering. Lahan kering berupa pekarangan dan tegalan dengan luas masing-masing adalah 157,21 ha dan 3066,31 ha. Tegalan mendominasi semua lahan pertanian yang ada di Kecamatan Kejajar. Hal ini dikarenakan letak desa-desa tersebut berada pada ketinggian di atas 1000 m dpl dengan kondisi lahan yang bergelombang dan berbukit. Disamping itu kebutuhan untuk pertanian hanya diperoleh dari hujan dan beberapa mata air yang ada. Hanya petani yang cukup mampu yang dapat mengalirkan air dari mata air ke lahan pertaniannya, mengingat diperlukan pipa pralon yang cukup panjang untuk memperoleh air. Lahan pekarangan hanya digunakan untuk rumah dan sarana sosial seperti sekolah dan masjid. Terbatasnya lahan pertanian yang relatif datar dan jumlah penduduk yang cukup banyak menyebabkan rumah-rumah dibangun cukup rapat satu dengan yang lainnya sehingga membentuk pemukiman yang sangat padat. Pekarangan yang sempit tersebut tidak memungkinkan ditanami tanaman pertanian maupun tanaman kayu keras yang dapat membantu masyarakat memperoleh penghasilan tambahan selain dari lahan tegalan. Pemilikan Ternak Umumnya berternak merupakan salah satu budaya pada masyarakat agraris selain kegiatan bercocok tanam. Memelihara ternak disamping untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi keluarga juga sebagai tabungan. Jika sewaktu-waktu hasil dari kegiatan bercocok tanam tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau kebutuhan mendesak, ternak tersebut akan dijual. Ternak yang dipelihara oleh masyarakat Kecamatan Kejajar kebanyakan merupakan hewan ternak kecil, seperti kambing dan jenis unggas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo tahun 2008, jenis dan jumlah ternak yang ada di Kecamatan Kejajar adalah sapi 43 ekor, domba 5.701 ekor, ayam 18.428 ekor, itik 424 ekor, dan enthog 2.192 ekor.
BAB V IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DALAM POLA PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN KEJAJAR
Sub Sistem Kehutanan Identifikasi pola pengelolaan hutan dilakukan dengan mengidentifikasi sejarah pengelolaan hutan, kondisi hutan saat ini dan aspek teknik kehutanan dan sumberdaya manusia di Kecamatan Kejajar pada khususnya dan RPH Dieng pada umumnya. Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan di Kawasan Pegunungan Dieng. Dataran tinggi Dieng pada jaman Mataram Kuno merupakan hutan perawan. Hal tersebut terungkap dari beberapa informasi naskah dan sastra kuno, misalnya Serat Centini, kisah Paradin Dieng, dan masih banyak lagi. Dataran tinggi Dieng dikenal sebagai dataran tinggi yang gelap dan pekat. Dieng kala itu digambarkan masih sebagai hutan perawan (Sukatno 2004). Aktivitas manusia di Dataran Tinggi Dieng yang mulai memanfaatkan hutan primer telah berlangsung sejak abad ke-8. Hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah pada situs Dieng. Bukti-bukti prasasti menunjukkan bahwa kehidupan situs Dieng berlangsung dari abad ke-8 sampai ke-13 (Dumarcay 1986, diacu dalam Pudjoarianto 1996). Kelangsungan hidup situs Dieng tersebut dapat digunakan untuk merefleksikan adanya aktifitas-aktifitas pada masa itu. Manusia merambah hutan untuk berbagai kebutuhan, seperti membangun rumah, kayu bakar dan sumber kebutuhan lainnya. Aktivitas manusia di Dieng ditunjukkan pula oleh adanya bukti bekas jalan buatan berbatu di bagian utara antara Pekalongan dan Gunung Kendeng, jalan yang diberi nama ‘Andha Budha’, di sebelah tenggara kawah Sikidang. Bukti arkeologis lain yaitu di Watu Kelir dekat kelompok Candi Magersari. Bukti tersebut menunjukkan bahwa komplek percandian Dieng banyak dikunjungi orang. Menurut Schelterna (1912) diacu dalam Pudjorianto (1996), tanpa adanya sebab-sebab yang jelas, sampai dengan 1800 Dataran tinggi Dieng ditinggalkan oleh penduduknya. Proses perambahan hutan terulang kembali setelah tahun 1800 hingga sekarang. Akibat populasi penduduk di Dieng berkembang cepat, maka
32
kerusakan hutan untuk tempat pemukiman dan lahan-lahan pertanian bertambah besar. Sehingga hutan alami hanya terdapat di puncak Gunung Prau dan puncakpuncak bukit lainnya. Pada tahun 1900 oleh pemerintah Belanda, kawasan hutan Gunung Bisma ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pada tahun 1919 dilakukan tata batas di kawasan Gunung Bisma, yaitu seluas 2.219,9 hektar dan kemudian pada tahun 1923 ditentukan petak-petaknya. Selanjutnya oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 26 tanggal 26 Juli 1940, kawasan hutan Gunung Bisma ditetapkan sebagai Cagar Alam Tlogo Warno Pangilon. Menurut Sukatno (2004), pada masa pemerintahan Belanda ini, di Dataran Tinggi Dieng banyak diusahakan perkebunan buah-buahan khas Eropa dan Amerika yang dikelola oleh orang-orang Belanda. Pada mulanya, kawasan hutan Pegunungan Dieng merupakan hutan rimba dengan keadaan topografi yang berbukit-bukit, bergelombang, bergunung-gunung dengan lereng bergelombang sangat curam. Maka sebagian besar hutannya merupakan hutan lindung. Pada tahun 1958 telah dicoba tanaman pinus dan berhasil baik. Mengingat keberhasilan tanaman pinus, maka dalam penyusunan buku RPKH jangka 1988-1997, untuk hutan bagian Wonosobo ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Pinus, termasuk di dalamnya RPH Dieng (Perhutani 1998). Kondisi Hutan Kecamatan Kejajar memiliki kawasan hutan negara terluas diantara empat kecamatan yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan RPH Dieng yaitu seluas 2.309,80 ha atau 90,23% dari luas total RPH Dieng. Kawasan hutan RPH Dieng dikelilingi oleh 20 desa. Desa Campursari di Kecamatan Kejajar wilayahnya memiliki hutan terluas yaitu 256 ha dan Desa Surengede memiliki luas hutan terendah yaitu 14 ha. Kawasan hutan RPH Dieng terdiri dari 2 kompleks gunung, yaitu kompleks Gunung Prau di sebelah utara dan Gunung Bisma di sebelah selatan. Desa-desa yang masuk dalam kompleks Gunung Prau antara lain: Desa Dieng, Patakbanteng, Jojogan, Parikesit, Igirmranak, Surengede dan Tieng. Sedangkan desa-desa yang masuk dalam kompleks Gunung Bismo antara lain: Desa Sembungan, Sikunang, Campursari, Kalidesel, Mutisari, Krinjing, Dero Duwur, Slukatan, Tlogo, Menjer, Mlandi, dan Maron.
33
Desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kejajar lebih mudah diakses dari kantor RPH Dieng daripada desa-desa yang berada di Wilayah Kecamatan lain. Sehingga letak desa yang jauh seringkali menyulitkan dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat desa tersebut. Kantor RPH Dieng berada di pinggir jalan antara Wonosobo – Dieng yaitu di Desa Kejajar Kecamatan Kejajar. Kantor RPH Dieng berada 15 km dari pusat kota Wonosobo. Kawasan hutan di RPH Dieng luasnya 2.560 ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.359/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Jawa Tengah. Kawasan tersebut dibedakan menurut fungsinya menjadi hutan lindung (63,65%), hutan produksi terbatas (34,99%) dan Cagar Alam/Taman Wisata Alam (1,36%). Selengkapnya disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Fungsinya Petak HL (ha) HPT (ha) 1 83,7 2 70,9 3 220,3 219,0 4 128,6 256,1 5 266,3 266,0 6 36,9 7 521,7 8 89,9 9 10 22,5 11 230,0 12 113,2 Jumlah 1.629,4 895,7 Sumber: SK Menhut No. 359/Menhut-II/2004
CA/TWA (ha)
34,9
34,9
Jumlah (ha) 83,7 70,9 439,3 384,7 532,3 36,9 521,7 89,9 34,9 22,5 230,0 113,2 2.560,0
RPH Dieng merupakan Kelas Perusahaan Pinus dan wilayah hutannya dibagi sesuai dengan kelas hutannya sesuai dengan Tabel 7. Tabel 7 Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Kelas Hutan No 1 2 3 4 5
Kelas Hutan Tanah Kosong (TK) Tanaman Kayu Lain (TKL) Hutan Lindung Terbatas (HLT) Hutan Lindung (HL) Tak Baik untuk Produksi (TBP) Jumlah Sumber: Perhutani 2006.
Luas (ha) 87,2 43,5 763,6 1.614,4 51,3 2560,0
34
Hutan di RPH Dieng terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam yang ada seluas 973,5 ha dengan jenis tanaman antara lain bendo, mranak, sadan, pucangan, wrakas dan pakis. Jenis-jenis pohon yang ada di hutan tanaman antara lain: pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima noronhoe), rimba campur, akasia (Acacia decurens) dan bintamin, dengan luas total 1.106,9 ha. Pada era reformasi tahun 1997-1998 terjadi perambahan hutan lindung oleh masyarakat sekitar hutan untuk ditanami kentang. Penjarahan di Dataran Tinggi Dieng tersebut mencapai luas 714,9 ha (Perhutani 2007). Hal tersebut menyebabkan tanah kosong seluas 87,2 ha pada akhir jangka meskipun telah dilakukan penanaman. Disamping itu juga terdapat hutan tanaman dengan kondisi tanaman yang jelek seluas 269,4 ha. Pola Pengelolaan Hutan. Mengingat kelas hutannya sebagian merupakan hutan lindung, RPH Dieng tidak pernah melakukan penebangan. Pengelolaan yang dilakukan hanya membiarkan hutan tersebut sebagai perlindungan kawasan. Tebangan yang dilakukan adalah tebangan B1 yaitu tebang habis pada bidang-bidang tak produktif tetapi baik untuk perusahaan tebang habis. Pada lapangan tak produktif disediakan untuk penghasilan kayu pinus, meliputi: tanah kosong, hutan pinus rawang (pertumbuhan kurang), dan hutan jenis kayu lain. Penebangan tersebut dilakukan pada petak-petak yang pertumbuhannya kurang atau jelek, kemudian diganti dengan tanaman baru untuk mendapatkan tegakan yang lebih baik. Pembuatan tanaman merupakan hal yang harus berhasil dilakukan untuk mencapai kelestarian hutan. Pembuatan tanaman di RPH Dieng terdiri dari tanaman pembangunan dan rehabilitasi hutan dan lahan. Tanaman pembangunan dilakukan pada petak-petak yang telah dilakukan penebangan B1 dan tanaman RHL dilakukan dilakukan pada petak-petak yang kosong akibat penjarahan lahan yang terjadi selama era reformasi dan kebakaran hutan. Jenis-jenis tanaman yang ditanam di hutan lindung sebagian besar adalah puspa, pinus, dan rimba campur. Rimba campur biasanya terdiri dari jenis Akasia dan bintamin. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dan 5 x 2 m. Jarak tanam yang cukup lebar dipilih karena alasan efisiensi namun sangat rawan bagi masyarakat untuk memanfaatkan
35
lahan yang kosong di sela-sela tanaman kehutanan untuk ditanami tanaman semusim seperti tanaman kentang dan sayuran lainnya. Pohon akasia sangat rawan dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Selain merencek, masyarakat kadang juga menebang pohon akasia meskipun masih muda karena kualitas kayu akasia cukup baik untuk kayu bakar. Namun sekarang hal tersebut sangat sedikit dilakukan oleh masyarakat karena kebijakan pemerintah mengganti bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah yang semakin tinggi harganya menjadi gas elpiji yang lebih rendah harganya dan lebih mudah didapatkan oleh masyarakat. Sumberdaya Manusia Keberadaan sumberdaya manusia sangat berpengaruh dalam keberhasilan program pembangunan apapun, termasuk dalam pembangunan dan rehabilitasi hutan. Kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan ikut menentukan keberhasilan dalam pembangunan dan rehabilitasi hutan, yang pada akhirnya akan menuju pada kelestarian hutan itu sendiri. Di samping kemampuan, jumlah pegawai yang memadai dengan kawasan hutan yang harus dikelola juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan hutan. Sumberdaya manusia yang mengelola kawasan hutan di RPH Dieng seluruhnya berjumlah 9 orang terdiri dari 1 orang kepala RPH, 2 orang mandor polter, 3 orang mandor tanam dan pemeliharaan, 1 orang mandor UST/tanam, 1 orang mandor VHF/tanam dan 1 orang mandor persemaian /tanam. Keterbatasan jumlah pegawai menyebabkan rangkap tugas mandor. Seluruh pegawai di RPH Dieng umumnya berpendidikan SLTA dan tidak ada yang secara khusus berpendidikan formal di bidang kehutanan. Pengetahuan pengelolaan hutan didasarkan pada pengalaman, petunjuk teknis pelaksanaan dan pengarahan dari atasan. Jumlah pegawai tidak sebanding dengan luas hutan yang harus dijaga dan dikelola yaitu seluas 2.560 ha. Hutan yang begitu luas harus dijaga oleh 2 orang mandor polter yang tugasnya mengamankan hutan. Jika seluruh pegawai juga menjaga hutan, maka setiap orang harus menjaga hutan seluas sekitar 284,44 ha. Sangat diluar batas kemampuan seseorang untuk mengelola hutan seluas itu
36
apalagi dengan berbagai kondisi dan tekanan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Mengingat keterbatasan sumberdaya manusia dan besarnya tekanan masyarakat terhadap hutan, untuk dapat mengamankan seluruh kawasan hutan diperlukan partisipasi dari masyarakat setempat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Masyarakat akan bersedia menjaga kelestarian hutan jika masyarakat memperoleh keuntungan ekonomi dalam jangka pendek yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keuntungan ekonomi jangka panjang seperti ketersediaan air yang cukup kurang menjadi alasan yang populer untuk mengajak masyarakat ikut berperan dalam menjaga kelestarian hutan. Melalui pendekatan social forestry dengan program PHBM, kepentingan kedua belah pihak dapat diakomodir dengan solusi yang saling menguntungkan. Kepentingan pengamanan hutan bagi pengelola hutan dan kepentingan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat sekitar hutan. Tugas lebih berat harus dilakukan oleh mantri dan mandor dalam hal pendekatan kepada masyarakat. Mantri dan mandor harus lebih memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat tersebut karena secara karakter manusiawi daerah pedesaan sopan santun dan rasa segan masih dijunjung tinggi.
Sub Sistem Pertanian Sub sistem pertanian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan rehabilitasi lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, mengingat sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, baik petani lahan milik maupun buruh tani. Pertanian yang diusahakan merupakan pertanian lahan kering dengan mengolah tanah tegalan untuk ditanami tanaman pangan dan sayuran bernilai ekonomi tinggi terutama kentang. Sejarah Singkat Pengelolaan Lahan di Kawasan Pegunungan Dieng. Pembukaan lahan pertanian di Dataran Tinggi Dieng seperti pada umumnya yang terjadi di daerah pegunungan di Jawa. Pembukaan hutan di lereng pegunungan di Jawa telah dimulai sejak akhir abad ke 18. Penduduk di wilayah kerajaan Yogjakarta dan Surakarta merupakan yang pertama-tama melakukan pembukaan lahan pertanian di lereng pegunungan. Hal tersebut dikarenakan
37
banyaknya kewajiban yang harus dibayarkan kepada pemerintahan feodal pada waktu itu. Mereka mencari perlindungan dari tekanan kewajiban dan pajak di pegunungan-pegunungan. Penyebab lain dibukanya lahan lereng pegunungan Jawa adalah terjadinya perang besar di Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825-1830. Hal itu memaksa penduduk di dataran bawah mencari perlindungan di lereng-lereng pegunungan. Setelah perang selesai, banyak penduduk yang tidak dapat kembali ke tempat asalnya. Mereka menetap dan membuka lahan pertanian di hutan di lereng pegunungan. Perpindahan penduduk secara besar-besaran tersebut dibuktikan oleh catatan Junghun (1853-1954) yang menyatakan bahwa sekitar tahun 1830 terjadi perubahan distribusi geografis penduduk di Jawa dibanding dengan setengah abad sebelumnya, terutama di Jawa bagian Tengah, yaitu ditempatinya daerah pegunungan dan gunung yang semula tidak ditinggali. Hal selanjutnya yang mempengaruhi tipe pembukaan lahan hutan di pegunungan jawa adalah saat pemerintah Belanda mengembangkan penanaman kopi Arabika yang bernilai tinggi di daerah dengan ketinggian sekitar 2.000 – 4.500 kaki (sekitar 609,6-1371,6 m dpl) pada pertengahan abad ke-19. Penanaman kopi tersebut membawa keuntungan yang besar kepada pemerintah dan mendorong dibukanya lahan-lahan baru di lereng gunung untuk ditanami kopi. Namun kejayaan tanaman kopi berangsur-angsur pudar pada tahun 1915-1920. Penyebabnya adalah penyakit daun yang menyerang tanaman kopi, yang secara nyata menghancurkan hampir semua tanaman kopi Arabika. Selanjutnya tanaman yang tidak berharga tersebut dibabat habis dan kemudian ditumbuhi oleh rumput dan semak. Area bekas perkebunan kopi tersebut dilepaskan oleh pemerintahan Belanda dan didistribusikan kepada penduduk pribumi sehingga pemilik tanah di pegunungan bertambah banyak. Setelah kegagalan tanaman kopi, pemerintah Belanda mendorong pemilik tanah yang baru (petani pedesaan) untuk menanami lahannya dengan kopi varietas baru yang terjamin tahan terhadap penyakit daun, yaitu kopi Robusta. Bagaimanapun puluhan tahun melakukan penanaman kopi di bawah paksaan membuat petani pada akhirnya menolak menanam kopi kembali. Disamping itu mereka kekurangan modal dan keahlian untuk menanam kopi dengan hasil yang memadai, bahkan mereka menanami bekas perkebunan kopi itu dengan tanaman
38
pangan. Inilah awal dari penanaman tanaman pangan secara besar-besaran di daerah lereng pegunungan yang semula berupa hutan itu (Palte 1980, diacu dalam Fahmi 2003). Menurut Ngabidin et al. (2003), sejarah pemanfaatan lahan pertanian di sekitar Kecamatan Kejajar, pada awalnya penduduk bertani tanaman peutrem, kemudian mereka beralih pada tanaman tembakau garangan sekitar tahun 1965 dengan menggunakan lahan milik sendiri. Beberapa tahun kemudian berganti dengan tanaman kol, akan tetapi masih banyak penduduk menanam tembakau garangan. Pada tahun 1974 tanaman kentang masuk ke wilayah Dieng. Sejak saat itu sebagian masyarakat beralih ke tanaman kentang kemudian tahun 1984 tanaman kentang dijadikan sumber pertanian bagi mereka yang mempunyai lahan cukup banyak. Dari keberhasilan sebagian orang yang menanam kentang, pada tahun 1986 sebagian besar masyarakat mengubah pertanian tembakau manjadi tanaman kentang dengan lahan yang dimiliki hingga kini. Semula masyarakat menanam kentang dengan sedikit lahan miliknya, namun belum dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kemudian pada awal tahun 1997 mereka bersama-sama menjadikan hutan sebagai lahan kentang. Lahan pertanian penduduk di Dataran Tinggi Dieng merupakan lahan di lereng pegunungan, sehingga ketersediaan lahan untuk kegiatan pertanian sangat terbatas dan tidak mungkin menambah luasan tanpa mengkonversi hutan. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di Kecamatan Kejajar, yaitu 847 jiwa per km2. Dengan kepadatan penduduk dan luas lahan yang ada tersebut, mendorong masyarakat untuk merambah hutan lindung untuk dijadikan lahan pertanian. Rasio Pemilikan Lahan Rasio kepemilikan lahan menggambarkan luas lahan yang dimiliki oleh setiap kepala keluarga terhadap luas total lahan yang ada. Luas lahan per keluarga di Kecamatan Kejajar disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Luas Pemilikan Lahan Per Keluarga No
Desa
Jumlah KK
1 2 3
Buntu Sigedang Tambi
692 847 1.510
Luas Sawah (ha) 0 0 0
Luas Pekarangan (ha) 12,04 13,51 15,75
Luas Tegal (ha) 284,81 295,08 198,43
Jumlah Lahan (ha) 296,85 308,58 214,18
Rasio Lahan (ha/KK) 0,43 0,36 0,14
39
Tabel 8 (lanjutan) No
Desa
4 Kreo 5 Serang 6 Kejajar 7 Igirmranak 8 Surengede 9 Tieng 10 Parikesit 11 Sembungan 12 Jojogan 13 Patakbanteng 14 Dieng 15 Sikunang 16 Campursari Jumlah
425 1.202 968 199 1.021 1.261 573 331 408 652 649 698 715
Luas Sawah (ha) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Luas Pekarangan (ha) 5,28 12,18 11,07 2,94 14,99 8,66 5,62 7,80 9,38 8,33 10,06 9,26 10,34
12.151
0
157,21
Jumlah KK
Luas Rata-rata per KK 0 0,01 Sumber: BPS Kab. Wonosobo, 2008 (diolah)
Luas Tegal (ha) 195,11 264,97 182,80 67,33 331,01 175,34 179,38 189,70 97,62 137,55 79,94 135,59 251,67 3.066,3 0 0,25
Jumlah Lahan (ha) 200,38 277,15 193,87 70,28 346,00 184,00 185,00 197,50 107,00 145,88 90,00 144,85 262,00 3.223,51
Rasio Lahan (ha/KK) 0,47 0,23 0,20 0,35 0,34 0,15 0,32 0,60 0,26 0,22 0,14 0,21 0,37 0,30
0,27
Dari tabel di atas terlihat bahwa tidak ada satu orang masyarakat pun yang mengusahakan lahan sawah. Lahan di masyarakat adalah lahan kering, yaitu tegalan dan pekarangan, masing-masing rasio kepemilikan lahannya adalah 0,25 ha/KK dan 0,01 ha/KK. Sedangkan rasio kepemilikan lahan di Kecamatan Kejajar adalah 0,30 ha/KK. Pola Pengelolaan Lahan Pertanian Pola pengelolaan lahan pertanian di Kawasan Pegunungan Dieng khususnya di Kecamatan Kejajar sangat penting diketahui dalam proses pembelajaran sosial upaya rehabilitasi hutan dan lahan karena pola pertanian yang dilakukan akan sangat berpengaruh terhadap upaya pelestarian hutan sebagai pelindung tata air. Dalam pelaksanaanya nanti, diperlukan introduksi teknologi baru yang sedikit mengubah cara dan sistem pertanian lahan kering yang sudah dikenal masyarakat selama ini. Hal tersebut diperlukan agar pola pengelolaan lahan yang baru dapat berjalan sinergis dengan upaya pelestarian lingkungan. Sumberdaya lahan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menghasilkan tanaman pangan maupun tanaman lain yang bernilai ekonomi tinggi seperti kentang, tembakau dan beberapa jenis sayuran khas dataran tinggi lainnya. Lahan pertanian dapat ditanami 2 atau 3 kali dalam setahun tergantung ketersediaan
40
sumber air dan jenis tanaman yang ditanam. Pola tanam yang biasa dilakukan di Kecamatan Kejajar bagian bawah seperti Desa Kreo dan Buntu adalah menanam tembakau-jagung-kentang atau tembakau-kubis-kentang dan bagian atas seperti Desa Patak Banteng, Tieng dan sekitarnya adalah kentang-kentang-kentang atau kentang-kentang-kubis. Penanaman umumnya dilakukan secara monokultur sehingga keuntungan ekonomi yang diperoleh maksimal. Namun ada juga penduduk yang menanam secara tumpang sari dengan tanaman lain, terutama di pinggiran teras dengan tanaman lombok bandung dan kacang dieng. Beberapa orang bahkan menanam tanaman keras di lahan pertaniannya, namun dalam jumlah yang sangat terbatas. Hal ini dilakukan agar matahari tetap dapat diserap secara optimal oleh tanaman pertanian. Penanaman tanaman kayu-kayuan sangat jarang dilakukan oleh masyarakat karena mengganggu pertumbuhan tanaman pertanian dari tajuknya yang menghalangi penyinaran tanaman. Mengingat lahan tegalan terletak pada lereng dan punggungan gunung, maka lahan yang dimiliki berupa lahan miring. Untuk mengelola lahannya masyarakat telah membuat teras bangku yang diperkuat dengan batu, teras bangku sederhana atau bahkan hanya diolah tanpa dibuat teras. Teras-teras ini umumnya juga telah dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan bangunan terjunan air. Meskipun sebagian lahan telah dibuat teras, namun dalam pembuatan guludan pada teras-teras untuk bidang tanaman kentang dilakukan searah dengan lereng seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Guludan Bidang Tanaman Kentang Searah Lereng.
41
Pembuatan guludan tersebut
dilakukan untuk memudahkan dalam
pengelolaan dan jumlah bibit yang ditanam lebih banyak. Disamping itu, guludan yang searah lereng juga membuat air dapat mengalir lancar dan tidak menggenang yang dapat menyebabkan tanah menjadi becek sehingga dapat menyebabkan penyakit busuk buah pada tanaman kentang. Pola pertanian yang tidak sesuai kaidah konservasi tersebut telah menyebabkan pengurasan kesuburan tanah akibat lapisan tanah yang subur terbawa oleh air limpasan ke sungai. Pembuatan guludan searah lereng menyebabkan
laju erosi menjadi semakin tinggi, sehingga berdampak pada
penurunan tingkat kesuburan tanah karena hilangnya lapisan tanah atas yang mengandung banyak hara. Berdasarkan laporan TKPD tahun 2008, tingkat erosi di Dataran Tinggi Dieng mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm, dan 13,7 mm di hulu DAS Merawu. Tingkat erosi di tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut. Ditambah lagi pertambahan sedimen di Waduk Sudirman, Sungai Serayu, sejak tahun 1989. Pendangkalan di waduk ini telah mencapai 60,11 m3 atau 40% dari kapasitas waduk. Penambahan sedimen tertinggi terjadi selama tahun 2000 (7,11 m3) pada saat terjadi penggundulan hutan besar-besaran di dataran tinggi Dieng. Penurunan kesuburan tanah tersebut oleh petani diantisipasi melalui pemberian pupuk kandang agar tanah tidak semakin kritis. Pemberian pupuk kandang ini menambah input faktor produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Disamping itu, pupuk kandang yang digunakan juga menyebabkan pencemaran air jika terbawa oleh air limpasan masuk ke badan sungai. Pupuk kandang yang umumnya berupa kotoran unggas atau ternak, menimbulkan aroma yang tajam dan menyengat hidung sehingga menyebabkan pencemaran udara. Pembuatan guludan dan penanaman yang searah dengan kontur (nyabuk gunung) dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal tersebut tidak menarik bagi sebagian besar petani karena manfaat ekonomi jangka pendek akan berkurang. Penanaman searah dengan kontur sangat bermanfaat bagi aspek ekologi dan ekonomi karena dapat menurunkan biaya produksi pertanian dalam jangka panjang.
42
Sub Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Sub sistem sosial merupakan sistem yang selalu berkembang secara dinamis seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk menuntut pemenuhan kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk hidup. Berbagai permasalahan yang dihadapi sub sistem sosial akan berpengaruh terhadap usaha rehabilitasi hutan dan lahan. Permasalahan yang umum terjadi pada sub sistem sosial antara lain angkatan kerja yang tidak terserap oleh lapangan kerja yang ada serta kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Angkatan Kerja dan Lapangan Pekerjaan Jumlah
angkatan
kerja
berkaitan erat
dengan
jumlah penduduk.
Perkembangan jumlah penduduk yang terus meningkat akan menuntut ketersediaan lapangan pekerjaan agar tidak terjadi pengangguran. Lapangan pekerjaan yang tersedia di pedesaan lebih banyak di sektor pertanian. Dalam hal ini rasio pemilikan lahan merupakan faktor pembatas terhadap jumlah angkatan kerja yang dapat di serap di sektor pertanian. Kepadatan penduduk di Kecamatan Kejajar cukup tinggi, kepadatan penduduk rata-rata di Kecamata Kejajar adalah 847 jiwa per km2. Kepadatan penduduk disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kejajar Luas Wilayah (km2) 1 Buntu 3,34 2 Sigedang 10,82 3 Tambi 4,12 4 Kreo 2,84 5 Serang 3,66 6 Kejajar 5,83 7 Igirmranak 1,10 8 Surengede 3,64 9 Tieng 2,22 10 Parikesit 2,09 11 Sembungan 2,66 12 Jojogan 1,26 13 Patakbanteng 2,30 14 Dieng 2,82 15 Sikunang 3,74 16 Campursari 5,21 Jumlah 57,62 Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 No.
Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2.369 2.909 5.131 1.598 4.643 3.441 676 3.618 4.212 1.959 1.127 1.459 2.525 2.139 2.041 2.446 42.293
Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) 709 269 1.246 562 1.270 591 615 995 1.897 937 424 1.158 1.100 759 546 469 847
43
Angka kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan rasio kepemilikan lahan yang kecil. Pada situasi pemilikan lahan yang kecil, pada masyarakat petani biasanya terdapat pengangguran tak kentara (Simon 2004). Pengangguran tak kentara bisa diukur dengan menghitung luas areal pertanian sekarang dan luas areal yang diperlukan satu keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut Hardjosoediro (1997), dalam keadaan normal satu keluarga petani dapat mengerjakan sawah tadah hujan seluas 0,7 ha dan tegalan 0,3 ha, sedangkan menurut Simon (1983), untuk daerah pertanian yang relatif kurang subur, luas minimum yang dibutuhkan 1 keluarga setara dengan 0,79 ha ekuivalen sawah tadah hujan (ESTH). Untuk mengetahui tingkat pengangguran petani, perlu diketahui jumlah keluarga yang bekerja sebagai petani, yaitu petani pemilik lahan dan buruh tani dan luas lahan minimal yang diperlukan satu keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dinyatakan dalam ESTH. Luas lahan pertanian minimal yang diperlukan oleh masyarakat petani di suatu desa dapat diketahui dari jumlah KK dikalikan dengan 0,79 ha ESTH. Dari Lampiran 4 diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Kejajar yang bekerja sebanyak 23.213 jiwa, sedangkan jumlah petani dan buruh tani adalah 17.936 jiwa. Apabila diasumsikan anggota masyarakat yang bekerja sebagai petani menyebar merata sesuai dengan persebaran penduduk di masingmasing desa, maka jumlah keluarga yang bekerja di bidang pertanian dalam penelitian ini sebanyak 9.357 KK. Dengan menggunakan pedoman yang ada, dapat ditentukan terdapat surplus atau defisit lahan pertanian, sehingga dapat diketahui ada tidaknya pengangguran yang disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10 Luas Lahan Pertanian Minimum yang Dibutuhkan di Kecamatan Kejajar No
1 2 3 4 5
Desa
Buntu Sigedang Tambi Kreo Serang
Jumlah Petani (KK) 564 565 1.027 347 946
Luas Pekara ngan (ha) 12,04 13,51 15,75 5,28 12,18
Luas Tegal (ha) 284,81 295,08 198,43 195,10 264,97
Total Luas Lahan (ESTH) 89,06 92,57 64,25 60,11 83,15
Luas Lahan Min (ESTH) 445,41 446,09 811,27 274,37 747,32
Keterangan
Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit
44
Tabel 10 (lanjutan) Luas Luas Pekara Tegal ngan (KK) (ha) (ha) 6 659 11,07 182,80 Kejajar 178 2,94 67,33 7 Igirmranak 860 15,00 331,01 8 Surengede 1.071 8,66 175,34 9 Tieng 454 5,62 179,38 10 Parikesit 295 7,80 189,70 11 Sembungan 351 9,38 97,62 12 Jojogan 470 8,33 137,55 13 Patakbanteng 449 10,06 79,94 14 Dieng 547 9,26 135,59 15 Sikunang 576 10,34 251,67 16 Campursari 9.357 157,21 3.066,31 Jumlah Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 (diolah) No
Desa
Jumlah Petani
Total Luas Lahan (ESTH) 58,16 21,08 103,80 55,20 55,50 59,25 32,10 43,76 27,00 43,45 78,60 967,05
Luas Lahan Min (ESTH) 520,23 140,53 679,54 845,92 358,42 233,02 277,40 371,02 354,75 431,98 454,96 7.392,22
Keterangan
Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit Defisit
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat kekurangan lahan pertanian seluas 6.425,17 ha ESTH atau setara dengan atau setara dengan 8.133 KK. Seluruh desa di Kecamatan Kejajar mengalami defisit lahan pertanian. Defisit paling besar di Desa Tieng. Di Desa ini memang yang bekerja sebagai petani cukup banyak. Kekurangan lahan paling kecil dialami Desa Igirmranak dan memang yang bekerja sebagai petani relatif sedikit. Kekurangan lahan pertanian tersebut menyebabkan terjadinya penganguran tak kentara di Kecamatan Kejajar. Pengangguran tak kentara ini dapat diamati dari adanya waktu kosong, tidak ada pekerjaan bagi buruh tani setelah tanaman semusim ditanam dan menunggu masa panen. Selain itu tidak banyak penduduk usia produktif usia muda yang merantau ke luar daerah. Nampaknya budaya merantau bukan merupakan kebiasaan penduduk di dataran tinggi ini. Hal ini juga terlihat dari data kependudukan BPS setempat yang menunjukkan sedikitnya penduduk yang pindah ke luar daerah. Pengangguran juga menunjukkan adanya surplus tenaga kerja, yang tidak dapat diantisipasi dengan baik dapat menimbulkan kerawanan bagi keamanan kawasan hutan. Oleh sebab itu, usaha rehabilitasi hutan dan lahan di Kecamatan Kejajar harus dapat diupayakan untuk memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar hutan atau dengan menyediakan lahan di hutan untuk kegiatan ekonomi
45
produktif namun tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan asas hutan lestari sehingga fungsi perlindungan terhadap tata air dapat dipertahankan. Kebutuhan Pangan Kebutuhan pangan yang dihitung dalam penelitian ini sesuai dengan makanan pokok kebanyakan penduduk di Kecamatan Kejajar, yaitu beras. Dalam hal ini kebutuhan pangan tidak dihitung berdasarkan hasil survey di lapangan, melainkan menggunakan angka normatif. Angka normatif yang digunakan sesuai dengan yang dinyatakan oleh Simon (1994) yaitu konsumsi beras per kapita adalah 0,31 kg/hari. Kebutuhan pangan dihitung dari jumlah penduduk dikalikan dengan kebutuhan pangan per kapita di setiap desa sekitar hutan. Jumlah penduduk di Kecamatan Kejajar tahun 2008 adalah 42.293 jiwa, maka besarnya konsumsi beras di Kecamatan Kajajar adalah 13.110,83 kg/hari atau 4.785,45 ton/tahun. Produksi tanaman pangan di Kecamatan Kejajar menurut BPS Wonosobo 2008 adalah jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Produksi pangan dinyatakan dalam ekuivalen beras, dengan menggunakan asumsi yang dipakai Simon (2000) yaitu 1 kg gabah setara dengan 0,33 kg beras, 1 kg ketela pohon dan ubi jalar setara dengan 0,13 kg beras. Dari asumsi tersebut dapat diketahui bahwa produksi pangan di Kecamatan Kejajar seperti pada Tabel 11 di bawah ini. Dengan total produksi pangan (ekuivalen beras) sebesar 678,19 ton/tahun, setiap tahun di Kecamatan Kejajar mengalami defisit pangan sebesar 4.107,26 ton/tahun sehingga harus mendatangkan pangan dari daerah lain. Tabel 11 Produksi Pangan di Kecamatan Kejajar No 1 2 3
Jenis tanaman Pangan Produksi (ton) Jagung 1.985 Ubi Kayu 84 Ubi Jalar 94 Jumlah Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 (diolah)
Ekuivalen Besar (ton) 655,05 10,92 12,22 678,19
Keterbatasan produksi pangan di Kecamatan Kejajar disebabkan oleh kondisi ketinggian tempat dan iklim yang tidak cocok untuk budidaya tanaman pangan. Petani di Kecamatan Kejajar lebih banyak membudayakan tanaman kentang, sayur-sayuran dan tembakau. Keterbatasan produksi pangan tersebut juga memaksa sebagian masyarakat yang tidak mampu membeli beras,
46
menggunakan jagung sebagai makanan pokoknya. Dengan kondisi tersebut dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan harus memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat menghasilkan pangan dari lahan dan hutan atau memberikan peluang kerja bagi masyarakat terutama buruh tani untuk memperoleh pendapatan dari lahan hutan sehingga dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pangannya. Kebutuhan Pakan Ternak Peternakan merupakan pekerjaan sampingan yang biasa dilakukan oleh masyarakat petani. Hal tersebut dilakukan petani untuk menambah pendapatan atau sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Mengingat hal tersebut, kegiatan beternak merupakan kegiatan ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat di Kecamatan Kejajar. Dengan demikian, peternakan rakyat harus dipertimbangkan agar kegiatan peternakan tersebut tidak berpotensi menimbulkan kerusakan hutan dan lahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan pakan ternak. Dengan mengetahui jumlah ternak yang ada di Kecamatan Kejajar, dapat diperhitungkan jumlah hijauan pakan ternak (HMT) yang diperlukan. Jumlah ternak yang ada diketahui dari data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Wonosobo tahun 2008, adalah sapi 116 ekor dan domba 5.701 ekor. Kebutuhan HMT untuk kerbau adalah 45 kg/ekor/hari, sapi dan kuda 30 kg/hari/ekor serta kambing dan domba 10 kg/hari/ekor. Dengan perhitungan asumsi tersebut dapat diketahui jumlah kebutuhan HMT yang disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak di Kecamatan Kejajar No. 1 2
Jenis Ternak
Produksi (ekor) 116 5.701
Sapi Kambing dan Domba Jumlah Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 (diolah)
Kebutuhan HMT (ton/tahun) 1.270,20 20.808,65 22.078,85
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa, jumlah HMT di Kecamatan Kejajar adalah 22.078,85 ton/tahun. Untuk konsumsi ternak sapi sebesar 1.270,20 ton/tahun sedangkan kambing dan domba sebesar 20.808,65 ton/tahun. Mengingat letak Kecamatan Kejajar di dataran tinggi, keterbatasan lahan yang dimiliki masyarakat berpengaruh dalam pemilihan jenis ternak yang dipelihara.
47
Keterbatasan luas lahan tidak memungkinkan untuk membuat kandang bagi ternak besar, disamping akan sulit memperoleh HMT yang cukup banyak karena lahan pertanian yang dimiliki ditanami tanaman kentang, sayuran dan tembakau sebagai modal utama memenuhi kebutuhan pokoknya. Untuk memenuhi kebutuhan HMT, masyarakat di Kecamatan Kejajar memperoleh dari lahan miliknya atau dari hutan. Pengambilan HMT dari lahan hutan seringkali menyebabkan kerusakan hutan karena penduduk melakukan perencekan, terutama pada pohon akasia untuk diambil daunnya sedangkan batangnya untuk kayu bakar. Disamping itu, kadang masyarakat menggembalakan ternak di hutan terutama desa yang dekat dengan kawasan hutan yang relatif datar. Penggembalaan ternak ini menyebabkan kerusakan hutan, disamping terjadi pemadatan tanah juga menyebabkan matinya tanaman muda. Untuk melihat kepadatan ternak dapat dinyatakan dalam satuan Unit Ternak (UT). Setiap sapi, kerbau atau kuda memiliki 0,75 UT dan kambing atau domba memiliki 1/7 UT (Donie 1987). Dengan asumsi tersebut, kepadatan ternak di Kecamatan Kejajar adalah 901,43 UT. Luas hutan negara di Kecamatan Kejajar adalah 2.309,80 ha, sehingga kepadatan ternak terhadap lahan sebesar 901,43 UT: 2.309,80 ha atau 0,39 UT/ha. Hal ini berarti setiap hektar lahan menanggung 0,39 UT. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hutan negara Kecamatan Kejajar, pemenuhan kebutuhan HMT sebanyak 22.078,85 ton/tahun dan luas hutan negara 2.309,80 ha, maka setiap hektar hutan akan memproduksi pakan ternak rata-rata sebesar 9,56 ton/tahun. Jika angka produksi ini dapat disediakan di lahan hutan, diharapkan kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan perencekan dapat dihindarkan. Tingkat Kesejahteraan dan Penghasilan Masyarakat Tingkat kesejahteraan masyarakat berhubungan erat dengan tingkat penghasilan dan konsumsi masyarakatnya. Dari identifikasi ini, dapat digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan ekonomi produktif berbasis masyarakat lokal yang ramah lingkungan. Masyarakat
akan memilih untuk tetap
mengusahakan ekonomi produktif yang saat ini dilakukan jika dari hasil penggantian usaha ekonomi produktif dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan kurang menguntungkan.
48
Tingkat kesejahteraan dihitung berdasarkan beberapa variable yang layak dan operasional (BPS 2000), yaitu: luas lantai per kapita, jenis lantai, ketersediaan air bersih, keberadaan jamban, kepemilikan aset, variasi konsumsi lauk pauk, pembelian pakaian, kehadiran dalam kegiatan sosial. Sebagian besar keluarga di Kecamatan Kejajar berada pada tahap pra keluarga sejahtera yaitu 4.496 KK (37,00%). Hal ini berarti tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat di Kecamatan Kejajar berdasarkan BPS masih tergolong rendah. Tingkat kesejahteraan masyarakat Kecamatan Kejajar disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Banyaknya Keluaga dan Tahapan Sejahtera Kecamatan Kejajar 2008 No
Desa
Jumlah KK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Buntu Sigedang Tambi Kreo Serang Kejajar Igirmranak Surengede Tieng Parikesit Sembungan Jojogan Patakbanteng Dieng Sikunang Campursari Jumlah Persen
692 847 1.510 425 1.202 968 199 1.021 1.261 573 331 408 652 649 698 715 12.151 100
TahapanSejahtera (KK) Pra KS KS I KS II 267 100 74 258 96 80 606 275 138 189 52 83 378 222 194 345 314 148 83 72 36 484 175 125 633 215 129 170 85 99 103 77 63 100 55 96 177 150 143 176 65 114 234 236 116 293 115 142 4.496 2.304 1.780 37,00 18,96 14,65
KSIII/III+ 230 278 454 46 366 131 6 185 157 134 47 121 131 252 88 111 2.737 22,52
KSIII+ 21 135 37 55 42 30 2 52 127 85 41 36 51 42 24 54 834 6,86
Sumber: BPS Kabupaten Wonosobo 2008 Berdasarkan survai dari Tim Grand Design Rencana Tindak Penataan dan Pemulihan Kawasan Dieng (RTPPKD) tahun 2007, sebagian besar masyarakat mempunyai penghasilan kurang dari Rp. 1.000.000,00 per bulan. Bahkan ada sebagian kecil masyarakat berpenghasilan di bawah Rp. 500.000,00 per bulan. Tingkat penghasilan perbulan antara Rp. 1.000.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00 banyak terdapat pada wilayah dengan mata pencaharian utama dari budidaya tanaman kentang dan kopi.
49
Pertanian kentang merupakan usaha tani yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat. Ada yang selama satu tahun mengusahakan kentang hingga 3 kali masa tanam. Namun, akhir-akhir ini petani mengeluhkan tentang penurunan kuantitas produksi dan harga jual kentang. Berdasarkan hasil surve secara purposive sampling kepada 10 responden petani kentang di 4 desa di Kecamatan Kejajar, yaitu Desa Buntu, Kreo, Patak Banteng dan Sigedang, didapatkan data rata-rata analisis usaha pertanian kentang per hektar yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Analisis Usaha Pertanian Kentang di Masyarakat Kejajar Komponen Kebutuhan Satuan Biaya(Rp) Pengeluaran 1.350 Kg 5.800 Bibit Kentang 3,5 Rit 1.250.000 Pupuk Kandang Pupuk Kimia Ponsca 4 Sak 100.000 TS 6 Sak 90.000 SP 3 Sak 90.000 Urea 4 Sak 70.000 4 Rol 500.000 Mulsa Ancir & tali 89 drum 100.000 Pestisida Borongan Pengolahan Tanah & tanam Borongan/harian Tenaga Kerja matun 48 HOK 15.000 Tenaga Kerja obat Borongan Pemanenan 1 Ha/musim Sewa Lahan Total Pengeluaran Pemasukan 10.150 Kg 4.000 Hasil panen 1.350 Kg 2.500 Bibit Sisa Keuntungan/ha/musim tanam
Total(Rp) 7.830.000 4.375.000 400.000 540.000 270.000 280.000 2.000.000 2.000.000 8.900.000 2.500.000 1.000.000 720.000 1.000.000 4.000.000 35.815.000 40.600.000 3.375.000 8.160.000
Sumber: Data primer (diolah) Dari hasil perhitungan rata-rata 10 responden tersebut,. Jika diasumsikan bahwa musim tanam kentang selama 3 – 4 bulan, maka rata-rata penghasilan responden petani kentang antara Rp. 2.720.000,00 sampai Rp. 2.040.000,00 per bulan. Berdasarkan pengakuan responden petani kentang yang menanam kentang 3 kali setahun, rata-rata hanya mengalami keuntungan 1 – 2 masa tanam. Disimpulkan bahwa penanaman kentang selama 3 kali setahun akan memberikan penghasilan rata-rata responden kurang dari Rp. 2.000.000,00 per bulan.
50
Sebagian kecil responden masyarakat Kecamatan Kejajar lebih memilih untuk tidak secara terus-menerus menanam tanaman kentang selama 3 kali setahun. Ada yang diselingi tanaman sayuran seperti kol, wortel, cabai, jipang dan jagung walaupun harga jual sangat dipengaruhi kondisi pasar. Namun ada masyarakat yang justru mengusahakan ternak kambing dan domba. Beberapa responden beranggapan bahwa usaha peternakan lebih menguntungkan dari pada usaha pertanian pada saat ini. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa alasan, diantaranya harga jual kentang dan pupuk yang tidak stabil. Selain itu juga penaggalan musim yang sangat sulit diduga. Berdasarkan hasil surve pada peternak domba dan kambing, usaha ekonomi produktif masyarakat yang sebanding dengan usaha pertanian kentang adalah ternak kambing atau domba. Analisis usaha ternak jenis Marino dan Dombos kualitas sedang yang cocok diusahakan di Kecamatan Kejajar dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Analisis Usaha Ternak Kambing atau Domba di Masyarakat Kejajar Komponen Bibit Betina Bibit Jantan Perawatan & pakan Hasil penjualan anak Keuntungan total/6bulan
Jumlah 10 2 12 15
Satuan Ekor Ekor Ekor/hari Ekor
Harga(Rp) 1.500.000 1.500.000 1.000 750.000
Total(Rp) 15.000.000 3.000.000 2.160.000 11.250.000 9.090.000
Sumber: Data primer (diolah) Berdasarkan pengalaman peternak yang telah mengusahakan ternak domba, domba beranak rata-rata 1 – 2 ekor per peranakan selama 6 bulan sehingga diasumsikan domba beranak 1,5 ekor (150%) per peranakan. Keuntungan total selama 6 bulan (1 kali pranakan) sebesar Rp. 9.090.000,00 yang masih menyisakan bibit jantan dan betina seharga Rp. 18.000.000,00 untuk peranakan selama 3 – 4 tahun masa produktif. Jika dirata-ratakan hasil keuntungan ternak kambing atau domba jenis Marino dan Dombos kualitas sedang sebanyak 10 ekor betina, maka setiap bulan peternak mendapatkan penghasilan rata-rata sebesar Rp. 1.515.000,00 dan pada akhir masa produktif, kambing dapat dijual seharga Rp. 18.000.000,00. Hal tersebut sangat lebih menguntungkan dari usaha pertanian kentang karena waktu kerja yang dibutuhkan relatif lebih ringan dan peternak dapat sekaligus mengusahakan pertaniannya. Namun usaha peternakan ini belum
51
banyak dilakukan masyarakat dalam skala seperti yang dilakukan responden yaitu modal minimal 10 bibit domba betina. Permasalahan ini dikarenakan oleh adanya modal dan perhitungan sebagian besar masyarakat yang merasa kurang menguntungkannya dari usaha ini.
Jika usaha peternakan kambing ini dapat
dijadikan usaha ekonomi produktif masyarakat yang utama, maka lahan kering akan lebih kecil kemungkinan diusahakan untuk pertanian semusim secara intensif sehingga mengurangi resiko kerusakan lahan. Penanaman rumput di lahan milik petani dapat dijadikan sumber pakan ternak sekaligus mengurangi tingkat erosi dibandingkan
penanaman
tanaman
semusim
seperti
kentang,
dengan
perbandingan pada penanaman kentang searah lereng sebesar 136,1 ton/ha/tahun dan penanaman penutup rumput sebesar 0,2 ton/ha/tahun. Perbandingan tingkat erosi berbagai pertanaman dapat dilihat pada Lampiran 7.
BAB VI PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG WONOSOBO
Perkembangan Kegiatan Secara umum, upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia dari beberapa dekade berubah-ubah orientasi kebijakannya. Pada tahun 1950-an hingga 1970-an, kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan menggunakan pendekatan top-down, yang kemudian pada akhir tahun 1990-an, secara konseptual berubah menjadi lebih partisipatif. Antara tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an, kegiatan rehabilitasi berada pada masa transisi. Perubahan dalam beberapa aspek kebijakan sejak reformasi tahun 1998 telah mempengaruhi pendekatan pemerintah dalam menetapkan kebijakan rehabilitasi. Perubahan kebijakan yang mempengaruhi program rehabilitasi hutan dan lahan disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Perubahan Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Orientasi Kebijakan Aspek Kebijakan 1950an – 1960-an 1970-an – 1990-an 1998 – saat ini Pengelolaan Difokuskan pada aspek Difokuskan pada aspek Difokuskan pada hutan ekologi: ekonomi: berorientasi pengelolaan berbasis mengembalikan dan pada pengelolaan kayu sumberdaya: mempertahankan fungsi untuk mengurangi menyeimbangkan aspek ekologis (Konservasi ketergantungan pada sosial-ekonomi dan tanah dan air) ekspor minyak. lingkungan. Skala pengelolaan
Pengelolaan skala kecil hingga sedang
Pengelolaan skala besar
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat
Sistem pemerintahan
Pemerintahan terpusat
Pemerintahan terpusat
Desentralisasi pemerintahan
Target rehabilitasi
Rehabilitasi umumnya dilakukan di pulau Jawa melalui pengembangan tanaman Jati
Rehabilitasi kawasan hutan produksi dan lahan milik masyarakat
Rehabilitasi hutan produksi dan kawasan konservasi
Pendekatan pengelolaan
Pendekatan sektoral
Pendekatan sektoral
Pendekatan terpadu
Pendanaan
Pendanaan dari pemerintah
Pendanaan dari pemerintah dan donor
Prinsip berbagi biaya, namun masih mempunyai ketergantungan pada dana pemerintah
Sumber: CIFOR 2008.
53
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng saat ini, kebijakan bersifat partisipatif seperti yang ada pada tabel di atas. Namun kegiatan yang dilaksanakan juga mempunyai target yang cukup besar pada lahan milik masyarakat di sekitar kawasan hutan negara di Pegunungan Dieng disamping kawasan konservasinya. Sejak tahun 2007 telah dilakukan inisiatif Program Pemulihan Dieng (PPD) oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Program ini bekerjasama dengan beberapa pihak, termasuk LSM, pakar, serta lembaga donor. Kegiatan masih berjalan sampai sekarang dalam berbagai bentuk yang bertujuan mengembalikan fungsi lindung kawasan Dieng tanpa mengabaikan kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Beberapa hal penting telah dihasilkan selama kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan, namun masih ada halhal lain yang akan dicapai selama program berjalan hingga saat ini. Kegiatan dalam rangka Program Pemulihan Dieng yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17 Perkembangan Program Pemulihan Dieng Sejak Tahun 2007 Penyelenggara
Hasil yang Dicapai
Pihak yang Terlibat Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Kegiatan
Waktu
Penguatan Kelembagaan Multipihak dalam Program Pemulihan Dieng
November 2007 Agustus 2008
LSM Javlec
meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemulihan lingkungan kawasan Dieng, bertambahnya kapasitas stakeholder yang terlibat dalam program, serta meluasnya dukungan dan kolaborasi bagi upaya Program Pemulihan Dieng.
Fasilitasi rencana tindak dan perluasan dukungan para pihak dalam Program Pemulihan Dieng
November 2007 – Juli 2009
LSM Javlec
adanya dukungan terhadap perluasan jejaring kolaborasi, asistensi teknis terhadap beberapa demplot serta penguatan lembaga lokal melalui Forum Peduli Dieng
Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Program Pemulihan Dieng
2007 (FebruariJuli)
LSM Javlec dan DFID
pembentukan dan legalisasi Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD), penggalangan dana, prakondisi di lingkungan pemerintah kabupaten Wonosobo dan sekitarnya.
Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
54
Tabel 17 (lanjutan) Kegiatan
Waktu
Penyelenggara
Hasil yang Dicapai
Pihak yang Terlibat Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Prakondisi dan survei awal masyarakat Kejajar sebagai pemilik wilayah Dieng
2007
APBD Kabupaten Wonosobo
Adanya desa percontohan pertanian terpadu ramah lingkungan, yaitu Desa Sembungan, Sikunang, Tieng dan Tambi.
Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan Dieng
2008
APBD Propinsi Jawa Tengah Tahun dan APBD Kabupaten Wonosobo
implementasi di empat desa percontohan, penyadaran isu pemulihan dieng, berbagai bentuk kampanye, dan fasilitasi kegiatan penguatan kelembagaan khususnya Forum Peduli Dieng.
Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Kegiatan fisik di wilayah DAS
2008
APBN, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo
pembuatan demplot wanatani terpadu berupa penanaman pohon/tanaman keras di lahan milik di empat desa yaitu Serang, Kreo, Igirmranak dan Buntu
Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Bantuan gubernur untuk kabupaten/kota sub program rehabilitasi dan konservasi Dieng
2009
APBD Propinsi Jawa Tengah
implementasi demplot usaha wanatani terpadu di 10 desa percontohan dan fasilitasi bagi proses perencanaan partisipatif desa yang mengadopsi prinsip pemulihan lingkungan.
Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Lokakarya penyusunan roadmap penyelamatan Dieng 20102015
2009
APBD Kabupaten Wonosobo
Roadmap sedang dalam tahap finalisasi sebagai landasan bagi semua aktivitas terkait pemulihan/penyelamatan Kawasan Dieng
pemerintah pusat,propinsi, kabupaten, pelaku, pakar, LSM,lembaga donor
Fasilitasi peningkatan kapasitas kelembagaan bagi Forum Peduli Dieng
2009
APBD Kabupaten Wonosobo
peningkatan kemampuan anggoat Forum, publikasi aktivitas lokal yang mendukung pemulihan Dieng serta bentuk-bentuk pengembangan kemampuan yang diperlukan para pengelola FPD
Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Forum Peduli Dieng
Sumber: TKPD 2009.
Pelaksanaan Program Pemulihan Dieng (PPD) masih terus berlanjut dan memasuki tahap yang lebih sulit. Setelah merumuskan ide dan konsep dasar pada tahun 2006 dan 2007, kemudian memasuki tahap prakondisi dan sosialisasi awal pada tahun 2008, maka tahun 2009 TKPD mulai melaksanakan kegiatan teknis di lapangan. Beberapa argumentasi dan asumsi awal dari konsep program juga perlu
55
dikaji ulang setelah ada pembelajaran dari beberapa pembuatan demplot, salah satunya tentang pembangunan model (modelling) pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan sehingga replikasi dan pengembangan rehabilitasi hutan dan lahan dapat lebih efektif. Sejak tahun 2007 hingga 2009, rencana program peningkatan kapasitas bagi TKPD sudah dilaksanakan. Disamping itu, sudah terbentuk kelembagaan sosial diantaranya: lembaga pengelola demplot, kader perencana desa berbasis lingkungan maupun forum inisiatif masyarakat desa yang peduli kondisi Dieng yaitu Forum Peduli Dieng.
Proses Kegiatan Program pembangunan model (modelling) pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan merupakan bagian dari aktivitas Program Pemulihan Dieng, yang secara legal merupakan program dan kebijakan pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk melakukan rehabilitasi dan konservasi di Kawasan Dieng. Sehingga dibentuk Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) Kabupaten Wonosobo berdasar SK Bupati Wonosobo Nomor 180/25/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Pembentukan Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) Kabupaten Wonosobo. Tugas utama TKPD adalah melakukan percepatan upaya pemulihan lingkungan di Kawasan Dieng. Secara kelembagaan, TKPD juga melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan Tim Penataan Kawasan hutan (TPKD) Provinsi Jawa Tengah, yang salah satu misinya juga melakukan penataan dan rehabilitasi fungsi Dieng sebagai kawasan lindung. Selain itu, TPKD juga menjalin koordinasi dengan kebijakan departemen dan kementerian pada tingkat pusat pada aspek-aspek kebijakan yang saling berkaitan. Beberapa kebijakan yang mendukung implementasi program: 1. SK Bupati Wonosobo Nomor 661/13/2006 – 2871/044.3/hukamas/I tentang MoU Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari di Kabupaten Wonosobo antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan Perhutani 2. SK Bupati Wonosobo Nomor 180/25/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Pembentukan Tim Kerja Pemulihan Dieng
56
3. SK Bupati Wonosobo Nomor 188.4/362/2009 tanggal 18 Mei 2009 tentang Tim Koordinasi Kawasan Dieng 4. Kebijakan lokal Bupati yang terkait: a. pemanfaatan tanah bekas bengkok Kades yang menjadi lurah untuk digunakan sebagai demplot dalam rangka Program Pemulihan Dieng; b. kelanjutan gerakan menanam; c. percepatan pencapaian tujuan pembangunan
milenium (Millennium
Development Goals) di Kabupaten Wonosobo. 5. Kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk tetap melanjutkan skema Rehabilitasi dan Konservasi Lahan di Kawasan Dieng melalui Bantuan Gubernur untuk kabupaten/kota, termasuk untuk Kabupaten Wonosobo 6. Kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dalam bentuk Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Program rehabilitasi hutan dan lahan yang sedang berlangsung memiliki beberapa tujuan. Tujuan utama dari program yang diusulkan dalam program ini adalah mendorong penyelamatan lingkungan di Kawasan Dieng melalui model pengelolaan hutan dan lahan terpadu dan berkelanjutan, sebagai salah satu bagian dari program Pemulihan Dieng. Tujuan ini sangat penting, mengingat konsep model ideal berbasis desa yang akan direplikasi dalam Program Pemulihan Dieng belum ada. Di sisi lain, salah satu pilar tujuan besar dalam PPD adalah membangun model rehabilitasi dan konservasi yang disepakati bersama antara negara dan masyarakat, bisa direplikasi atau diperluas skalanya, dan mampu memberikan nilai tambah pada aspek ekonomi, ekologi dan sosial masyarakat. Hasil yang ingin dicapai dari tujuan itu antara lain: 1. Adanya kelembagaan masyarakat dan perencanaan dalam pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Target yang ingin dicapai adalah kelembagaan masyarakat dan dokumen perencanaan desa (RPJMDesa) di dua desa lokasi. Kelembagaan masyarakat inilah
yang
akan
melakukan
fungsi
perencanaan partisipatif
sehingga
menghasilkan RPJMDesa dan di dalamnya juga mengatur pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Total jumlah warga yang terlibat dalam proses ini
57
sekitar 100 KK dan diharapkan menghasilkan kelembagaan perencanaan desa dalam bentuk dokumen sampai RPJMDes. Untuk mencapai kelembagaan masyarakat dan perencanaan dalam pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Tim Teknis TKPD melaksanakan tahap kegiatan berupa: 1) Fasilitasi pembentukan kelembagaan, 2) FGD dan Pertemuan desa, 3) Fasilitasi pelatihan untuk perencanaan partisipatif, 4) Penyusunan perencanaan partisipatif, 5) Rembug desa untuk integrasi hasil perencanaan partisipatif ke dalam RPJMDes dan 6) Asistensi penyusunan RPJMDes 2. Adanya model pengelolaan lahan pertanian yang ramah lingkungan. Target yang ingin dicapai adalah 2 demplot pertanian ramah lingkungan di 2 desa, masing-masing 1 hektar. Demplot ini merupakan salah satu sarana dari Program Pemulihan Dieng untuk melakukan replikasi dan perluasan skala dalam hal pelaksanaan teknis di lahan milik. Total jumlah warga yang terlibat dalam proses ini sekitar 60 KK dari kedua desa, dan diharapkan dari demplot itu akan didapatkan data tingkat erosi dan produktivitas. Data ini penting juga sebagai alat untuk melakukan replikasi dan perluasan skala demplot, dengan asumsi bahwa teknik pertanian ramah lingkungan tidak mengurangi hasil secara signifikan, atau justru setara dibandingkan dengan metode pertanian yang selama ini dipraktekkan penduduk. Tim Teknis TKPD melaksanakan tahap kegiatan berupa: 1) Diskusi untuk penentuan lokasi demplot dan bentuk kerjasama, 2) Pelatihan dan asistensi teknis budidaya pertanian ramah lingkungan, 3) Studi perubahan tingkat erosi lahan pertanian ramah lingkungan, 4) Studi produktivitas dan kualitas produk pertanian ramah lingkungan. 3. Adanya
model
kolaborasi rehabilitasi
kawasan
hutan
negara
yang
berkelanjutan. Target yang ingin dicapai adalah nota kesepahaman (MoU) antara Perhutani dengan masyarakat yang bisa didorong ke arah kesepakatan kerjasama dengan masyarakat tentang model kolaborasi rehabilitasi kawasan hutan negara. Ke depan, adanya MoU tentang model ini diharapkan memberikan arah bagi kolaborasi nyata antara TKPD, masyarakat dan Perhutani terkait aktivitas dalam hutan negara, untuk mendorong percepatan tujuan Program Pemulihan Dieng. Proses yang dilakukan antara lain: 1) FGD di tingkat LMDH untuk menjaring
58
aspirasi anggota (pilihan komoditas, model kerjasama yang akan diusulkan), 2) Komunikasi Intensif dengan Perhutani dan FHW berkaitan dengan model kolaborasi, 3) Serial negosiasi dengan Perhutani. 4. Adanya pengembangan ekonomi produktif berbasis potensi lokal. Target yang ingin dicapai adalah dua kelembagaan ekonomi produktif lokal di dua desa. Tim Teknis TKPD memfasilitasi kegiatan diantaranya: 1) FGD Dalam Rangka Identifikasi Potensi ekonomi produktif lokal, 2) Feasibility Study, 3) Pelatihan kewirausahaan, 4) Pelatihan teknis, 5) Pembentukan dan pendampingan unit usaha ekonomi.
Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program Persepsi masyarakat terhadap indikator terpenting yang mempengaruhi keberlanjutan Program pemulihan Dieng. Keberlanjutan hanya bisa dicapai melalui
pembangunan
dengan
rakyat
sebagai
sentral.
Untuk
menjaga
keberlanjutan program, maka pelaksanaannya harus dilandasi oleh konsep-konsep tertentu yang dapat menjamin bahwa program ini dapat dan harus sampai pada kelompok sasaran (target group) untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan kesejahteraan dan sekaligus membawa peningkatan sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial (social capital) dari kelompok sasaran. Indikator-indikator persepsi yang mempengaruhi keberlanjutan program rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng dibedakan kedalam 2 hal pengamatan, di dalam kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat. Indikator tersebut mencakup aspek-aspek, diantaranya aspek teknis, kelembagaan, pengelolaan dan ekonomi. Secara lengkap data persepsi masyarakat tentang keberlanjutan program disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program Pemulihan Dieng No 1. 2. 1.
2.
Di dalam kawasan hutan Aspek Teknis Penanaman pohon Pemeliharaan pohon Aspek Kelembagaan Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan
SP
P
KP
(%)
(%)
(%)
68 72
32 28
68
84
SP
P
KP
(%)
(%)
(%)
Penanaman pohon Pemeliharaan pohon
0 0
76 92
24 8
2,24 2,08
Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan
24
48
28
2,04
12
68
20
2,08
Nilai
No
Di lahan milik
0 0
1,32 1,28
1. 2.
32
0
1,36
1.
16
0
1,16
2.
Nilai
59
Tabel 18 (lanjutan) No 3.
4. 5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
Di dalam kawasan hutan Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah Adanya saling kesepahaman Hubungan baik antara staf program dan masyarakat Konflik lahan harus diselesaikan dengan tuntas Tersedianya lahan untuk dikelola masyarakat Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat Pembentukan lembaga baru Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam Aturan main yang jelas
SP
P
KP
(%)
(%)
(%)
88
12
80
SP
P
(%)
(%)
(%)
Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah
84
16
0
1,16
4.
Hubungan baik antara staf program dan masyarakat
88
12
0
1,12
5.
Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat
24
76
0
1,76
1,16
6.
24
48
28
2,04
1,72
7.
Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam Aturan main yang jelas
0
48
52
2,52
Pemberdayaan organisasi Inovasi pada aspek teknis dan kelembagaan
24
76
0
1,76
64
36
0
1,36
Transparansi Pengembangan perencanaan partisipatif Penurunan tingkat penebangan/perambahan
68 88
32 12
0 0
1,32 1,12
76
24
0
1,24
Dukungan pemerintah yang jelas Proses peningkatan kesadaran masyarakat Penyuluhan kehutanan
72
28
0
1,28
24
76
0
1,76
36
28
36
1,96
Nilai
No
Di lahan milik
0
1,12
3.
20
0
1,20
84
16
0
1,16
88
12
0
1,12
84
16
0
1,16
0
68
32
2,32
4
68
28
2,24
84
16
0
32
64
4
8. 9.
1.
Aspek Pengelolaan Transparansi
80
20
0
1,20
1. 2. 3.
2.
3. 4. 5. 6.
1.
2.
Desa sekitar hutan dilibatkan dalam pengelolaan hutan dan pengamanan Dukungan pemerintah yang jelas Proses peningkatan kesadaran masyarakat Penyuluhan kehutanan Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi Aspek ekonomi Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi
KP
Nilai
92
8
0
1,08
84
16
0
1,16
4.
16
76
8
1,92
5.
32
36
32
2,00
6.
72
28
0
1,28
7.
Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi
0
12
88
2,88
4
76
20
2,16
1.
76
24
0
1,24
8
72
20
2,12
2.
Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi
80
20
0
1,20
Keterangan: SP = Sangat Penting; P = Penting; KP = Kurang Penting. Sumber: Data Primer (diolah)
Persepsi masyarakat terhadap indikator yang mempengaruhi keberlanjutan Program Pemulihan Dieng dalam aspek teknis penanaman dan pemeliharaan pohon di dalam kawasan hutan dipandang lebih penting dari pada di lahan milik. Hal ini dikarenakan masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktivitas lahan pertaniannya.
60
Dalam aspek kelembagaan, masyarakat kurang memandang bahwa pembentukan lembaga baru dalam pengelolaan hutan negara itu penting, sedangkan peningkatan kapasitas instansi pelaksana dianggap lebih penting. Hal ini sejalan dengan keterbatasan jumlah staf Perhutani RPH Dieng yang merupakan salah satu akar permasalahan pengelolaan hutan negara di Dieng. Masyarakat memandang aspek-aspek kelembagaan yang bersifat sosial sangat penting. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang mengedepankan kekerabatan yang baik. Masyarakat juga memandang bahwa konsep PHBM yang diterapkan oleh Perhutani memiliki sisi positif yang sangat penting bagi masyarakat yaitu kolaborasi pengelolaan hutan seharusnya mempunyai kesepamahaman antar pihak. Masyarakat mulai menyadari bahwa pengembangan perencanaan partisipatif sangat penting bagi mereka. Dalam aspek pengelolaan lahan milik, hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula.
BAB VII PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Dimensi Pembelajaran Sosial Pembelajaran sosial saat ini telah menjadi hal yang penting dalam pengelolaan hutan dan lahan yang melibatkan berbagai aktor dengan berbagai latar belakang dan tingkat kepentingan yang berbeda. Pengelolaan hutan dan lahan di Kecamatan Kejajar, Kawasan Pegunungan Dieng secara garis besar merupakan bentuk penyelarasan antara kepentingan petani dengan kepentingan pemerintah daerah serta Perhutani. Petani berkepentingan memanfaatkan lahan miliknya dan memanfaatkan hasil hutan di hutan negara. Perhutani selain mengharapkan bagian dari pengelolaan yang dilakukan petani juga terkait dengan evaluasi terhadap kinerja mereka selama ini. Pemerintah berkepentingan sangat besar dalam kesejahteraan aspek ekonomi, sosial dan ekologis di lingkungan masyarakat Kawasan Dieng terutama kelestarian Kawasan Dieng sebagai daerah resapan air. Kepentingan
petani,
pemerintah
dan
Perhutani
dipenuhi
dengan
mewujudkan bentuk hubungan terbaik antar kedua belah pihak. Pada saat hubungan ini telah mencapai bentuk saling tergantung, saling percaya dan saling menghargai maka pembelajaran sosial telah berhasil membawa masing-masing pihak mencapai tujuannya. Hubungan saling tergantung, saling percaya dan saling menghargai antar petani dengan Perhutani dan Pemerintah dilihat dari interaksi antar keduanya, dimana petani, Perhutani atau pemerintah merasa bahwa satu pihak adalah mitra bagi pihak yang lain, bahwa Program Pemulihan Dieng akan mencapai tujuannya jika ada kerjasama walaupun dilatarbelakangi kepentingan yang berbeda. Pada situasi ini selain tujuan Program Pemulihan Dieng dapat tercapai, hutan dan lahan sebagai ekosistem juga dapat terjaga kelestariannya. Pencapaian tujuan diindikasikan dengan terpenuhinya kepentingan-kepentingan pihak yang terlibat. Namun untuk mencapai keadaan yang ideal, dimana setiap kepentingan terpenuhi, maka perlu proses yang sifatnya kontinu dan mengikutsertakan semua pihak dalam Program Pemulihan Dieng. Proses menarik ini terselenggara berkat
62
kesadaran masing-masing pihak untuk mengambil jeda dan melakukan resolusi terhadap konflik yang sekian lama mewarnai hubungan pihak-pihak tersebut. Penelitian ini berupaya mengkaji proses pembelajaran sosial yang terjadi di Kawasan Pegunungan Dieng dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan. Realitas yang menjadi kajian adalah realitas antara petani, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan LSM/TKPD di hutan negara dan lahan milik masyarakat dalam Program Pemulihan Dieng. Pembelajaran sosial difokuskan pada empat kegiatan utama yang sedang berlangsung, yaitu
pembentukan model kelembagaan masyarakat dan
perencanaan dalam pengelolaan hutan dan lahan, model pengelolaan lahan pertanian yang ramah lingkungan, model kolaborasi rehabilitasi kawasan hutan negara dan pengembangan ekonomi produktif berbasis potensi lokal yang berkelanjutan. Pembelajaran sosial di lapangan dibagi menjadi empat dimensi menurut Wollenberg et al. (2001) yaitu sebagai berikut: Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan politik terkait dengan penggunaan kekuatankekuatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya memaksakan. Berdasarkan hasil Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng 2009 yang diadakan pada tanggal 22 Desember 2009, selama program berlangsung TKPD menyimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam upaya rehabilitasi kawasan masih cukup rendah. Ada anggapan di masyarakat bahwa program rehabilitasi merupakan kewajiban pemerintah saja. Hal ini dikarenakan tingkat pemahaman masyarakat tentang upaya konservasi dan rehabilitasi yang masih rendah dan sebagian masyarakat melihat bahwa tanaman keras sebaiknya hanya ditanam di kawasan hutan negara dan bukan di lahan milik. Dari kenyataan tersebut dipandang sangat perlu lebih melibatkan masyarakat dalam berbagai tahap upaya rehabilitasi Kawasan Dieng mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng melalui program pembangunan model (modeling) pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan, pertemuan warga dusun dan desa, diskusi terfokus, forum
63
mediasi dan audiensi dengan berbagai pihak digunakan sebagai sarana mencapai tujuan. Meskipun TKPD merupakan lembaga pemerintah, namun dalam pelaksanaan di lapangan menghindari model-model pendekatan top down, formal dan searah yang sering dipakai oleh institusi negara. Berdasarkan perkembangan dan usaha yang telah dicapai sebelumnya, seperti adanya hubungan sinergis dengan lembaga masyarakat di Kawasan Dieng, TKPD yakin bahwa metode partisipatif, dialogis, berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati dan saling menguatkan tetap merupakan pilihan terbaik untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan partisipatif terlihat dari berbagai upaya yang telah dilakukan seperti upaya dalam pembentukan kelembagaan masyarakat dan perencanaan dalam pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan di dua desa model yaitu Desa Buntu dan Kreo. Kelembagaan masyarakat desa diarahkan untuk merencanakan pembangunan desa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). RPJMDes merupakan rencana pembangunan dalam berbagai sektor di desa yang saling berkaitan secara sinergis, seperti perencanaan pembangunan infrastruktur, lembaga dan sosial ekonomi masyarakat desa. Perencaan ini perlu dilakukan untuk mewujudkan desa berbasis lingkungan yang dalam pelaksanaanya sangat erat kaitannya terhadap bidang ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam mewujudkan pengelolaan lahan pertanian yang berbasis lingkungan, pemerintah pusat mempunyai kebijakan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006, tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Isi kebijakan ini berupa 1) Pemilihan berbagai komoditi pertanian untuk berbagai kondisi tanah, ketinggian tempat, dan curah hujan, 2) Variasi teknik konservasi tanah dan air yang memungkinkan di daerah pegunungan serta, 3) Pemilihan teknik konservasi tanah dan air yang dianjurkan pada berbagai jenis dan kedalaman tanah, lereng, dan kelompok tanaman. Namun substansi yang disampaikan masih bersifat umum, sebagai landasan bagi penyusunan petunjuk teknis oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat dan daerah. Dalam pelaksanaan di lapangan, kebijakan ini kurang diperhatikan oleh masyarakat karena masyarakat menganggap bahwa lahan milik adalah
64
sepenuhnya dikelola menurut keinginan pemilik lahan. Sehingga kaidah-kaidah konservasi yang tertuang dalam kebijakan pemerintah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam pembuatan model kolaborasi rehabilitasi kawasan hutan negara yang berkelanjutan, kesepahaman antara Perhutani dengan masyarakat diarahkan untuk mencapai kesepakatan kerjasama dengan masyarakat. Ketika konsep PHBM digulirkan oleh pemerintah provinsi melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 24 tahun 2001 dan kemudian diteruskan ketingkat daerah, maka diperlukan perubahan pendekatan dalam masalah pengelolaan hutan negara. Pendekatan selama ini bersifat top down. Pendekatan ini tidak berorientasi pada kebutuhan petani. Perhutani memutuskan apa yang diperlukan oleh petani tanpa melihat realitas sesungguhnya. Pendekatan ini tidak sesuai karenanya diganti pendekatan baru yang bersifat bottom up, yaitu pendekatan yang berdasarkan pada kebutuhan petani, dimana petani diikutsertakan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Melihat kondisi di Desa Sigedang Kecamatan Kejajar yang merupakan bagian dari RPH Sigedang, setelah PHBM berjalan tidak ada perubahan berarti terkait dengan hubungan antara petani dan Perhutani. Dalam tingkatannya, mantri dan mandor yang menempati RPH adalah aparat perhutani yang sering berinteraksi dengan petani. Dapat dikatakan bahwa mantri dan mandor adalah aparat perhutani yang menjadi penentu dalam membangun kesan Perhutani di mata petani. Penilaian petani terhadap perhutani diciptakan oleh sikap yang diperlihatkan oleh mantri dan mandor. Berbeda dengan kondisi di RPH Dieng, walaupun pola partisipatif PHBM belum menghasilkan manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat, namun upaya partisipatif mantri dan mandor di RPH Dieng cukup diterima dengan baik oleh masyarakat. Masyarakat melihat mandor dan mantri aktif menjaga hutan dan patroli serta menghadiri pertemuan-pertemuan desa sehingga dianggap menjadi bagian dari masyarakat desa. Analisis pembelajaran. Pendekatan dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sudah berubah kearah pendekatan yang bersifat partisipatif. Namun, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan
65
evaluasi masih terbatas karena pemahaman tentang upaya konservasi dan rehabilitasi cukup rendah . Namun dalam pelaksanaan teknis di lapangan melalui kader-kader desa yang telah terbentuk, berada pada posisi yang lebih baik dan terlibat dalam berbagai perencanaan dan pelaksanaan. Mereka juga mendapatkan bagian dari hasil kegiatan rehabilitasi namun dalam pengelolaan lahan negara belum masyarakat belum merasakan manfaat ekonominya secara nyata. Peran masyarakat setempat masih lemah dibanding dengan pemerintah kabupaten dalam pengambilan keputusan politik. Petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten, Provinsi, maupun Perhutani perlu meningkatkan pemahaman mengenai kehutanan sosial yang lebih partisipatif agar pengelolaan kehutanan dengan strategi kehutanan sosial dapat diwujudkan. Proses perubahan pendekatan partisipatif antar pelaku pusat hingga lokal dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan disajikan dalam Gambar 4. Kewenangan tidak terpusat: Berperan sebagai regulator, fasilitator, pengendali dan penyedia bantuan teknis.
Pelaku Pusat Pelaku Daerah
Mewakili kepentingan kabupaten dalam: perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Berperan lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan mendapatkanbagian hasil dari beragam produk rehabilitasi.
Pelaku Lokal
Keterangan: …..… : Proses perubahan _____ : Perubahan
Gambar 4 Proses Perubahan Pendekatan Partisipatif
Inovasi dan Pemecahan Masalah Berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng melalui program pembangunan model (modeling) pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan berarti diperkenalkannya pola baru dalam pengelolaan hutan dan lahan. Hal ini merupakan wujud inovasi yang diintroduksikan oleh pemerintah melalui Tim Teknis TKPD dan Perhutani. Inovasi tersebut mencakup ide dan nilai baru dalam pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan.
66
Dalam pengelolaan lahan negara melalui introduksi program PHBM, antara petani dan Perhutani mempunyai latar belakang ide dan nilai mereka sendiri yang telah melekat dan menjadi basis dalam mengambil berbagai tindakan yang terkait dengan hutan. Perhutani telah menjadi pelopor mulai dari sistem tumpang sari sejak tahun 1970-an sampai PHBM diperkenalkan tahun 2001. Bukan proses yang mudah untuk beralih dari satu sistem ke sistem berikutnya. Oleh karena itu Perhutani perlu memahami lebih dalam apa dan bagaimana PHBM tersebut sesungguhnya. Begitu pula petani, pengelolaan yang mereka lakukan selama ini tidak bisa secepatnya digantikan sistem pengelolaan yang baru. Pada situasi seperti ini kedua belah pihak hendaknya mau dan mampu berbagi informasi dan saling bertukar pandangan. Kedua pihak terlibat dalam proses belajar yang tujuannya untuk mencapai kesamaan persepsi yang terkandung dalam memahami ide dan nilai dalam PHBM dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan. Akan tetapi proses belajar ini belum sepenuhnya terjadi di Kecamatan Kejajar. Masih ada anggapan bahwa PHBM sama saja dengan program-program terdahulu. Akibatnya, kesepahaman yang menjadi syarat penting dalam implementasi PHBM masih berada pada tataran teori. Kedua pihak berjalan sendiri-sendiri, sehingga pelaksanaan PHBM di Kecamatan Kejajar kurang berjalan dengan lancar. Terlihat dari belum adanya kerjasama dan kesamaan posisi antara petani dengan Perhutani. Pihak KPH sudah berupaya merubah keadaan di atas. Sosialisasi dan semiloka yang telah dilakukan dengan difasilitasi oleh TKPD dan FHW. Permasalahan komunikasi antara petani dan Perhutani menjadi akar permasalahan tidak berjalannya program PHBM di hampir sebagian besar wilayah Kecamatan Kejajar sehingga ide dan nilai program PHBM belum bisa diterapkan. Upaya yang sedang berjalan masih berada pada tahap pencapaian kesepahaman antara petani dan Perhutani. Berbeda halnya dalam upaya rehabilitasi pada lahan milik masyarakat yang hampir sebagian besar diusahakan tanaman pertanian semusim. Berdasarkan pemaparan Direktorat Jenderal Hortikultura dalam Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng 2009, permasalahan pola pertanian yang kurang memperhatikan
67
kaidah konservasi menjadi fokus utama dalam introduksi inovasi upaya rehabilitasi yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena petani sulit merubah komoditas selain kentang yang sudah menjadi tradisi di dataran tinggi Dieng. Kentang juga merupakan komoditas andalan dan bernilai ekonomis tinggi. Rendahnya pelaksanaan konservasi di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) adanya keyakinan dari sebagian petani, bahwa penerapan teknik konservasi tanah akan memicu terjadinya serangan penyakit, 2) produksi/hasil sayur akan menurun karena berkurangnya areal tanam, 3) tidak memiliki tenaga dan modal yang cukup untuk membuat ataupun memelihara bangunan konservasi yang sudah ada walaupun secara finansial usahatani sayuran menguntungkan, 4) status pemilikan lahan. Rendahnya pelaksanaan konservasi dalam pengelolaan lahan milik tersebut sangat perlu adanya introduksi ide dan nilai baru. Namun hal tersebut tidak mudah karena melihat alasan berbagai kondisi yang ada. Ide langkah-langkah yang dilakukan diantaranya: 1) Petani diarahkan untuk melaksanakan cara budidaya kentang yang ramah lingkungan dengan menerapkan teknik konservasi lahan, 2) Diupayakan pengembangan budidaya kentang dataran medium, 3) Penerapan GAP (Good Agriculture Practices) pada budidaya hortikultura, 4) Mengganti dengan tanaman holtikultura lainnya yang menguntungkan, 5) Pemulihan lahan dilakukan melalui program rehabilitasi lahan, dengan melibatkan kelompok tani dan instansi terkait di lingkungan pertanian dan kehutanan, serta aktivis penyuluh swadaya. TKPD melihat ide langkah-langkah tersebut belum bisa diterapkan oleh masyarakat secara luas. Untuk itu TKPD telah membuat demplot usaha tani konservasi melalui dana dari APBD dan BP-DAS SOP tahun 2008 di 8 desa, yaitu Desa Kreo, Buntu, Tambi, Sembungan, Igirmranak, Tieng, Sikunang dan Serang. Demplot usaha tani tersebut disesuaikan berdasarkan letak ketinggiannya yaitu daerah tertinggi, atas, tengah dan bawah. Selama penelitian ini dilaksanakan, upaya pembuatan demplot pertanian belum terlihat cukup nyata dalam penurunan tingkat erosi karena demplot pertanian belum lama berjalan. Namun dalam pembangunan fisik seperti pembuatan dan perbaikan teras, perlindungan tebing
68
sungai, sumur resapan, gully plug, dan dam penahan, sudah terealisasi di lapangan. Upaya untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dari bidang sosial ekonomi masyarakat juga telah dilakukan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama petani, menjadi target utama yang ingin dicapai. TKPD melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta koperasi dan UKM mengupayakan adanya dua kelembagaan ekonomi produktif lokal di dua desa sebagai contoh. Kelembagaan ekonomi produktif lokal tersebut merupakan usaha peningkatan nilai tambah ekonomi melalui pemberdayaan yang melibatkan masyarakat sebagai perencana, pelaksana yang berbasis potensi lokal, seperti carica, kentang, jamur, dan singkong. Analisis pembelajaran. Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu. TKPD memfasilitasi dalam pertukaran konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode antar berbagai pihak dengan melihat berbagai kendala dan peluang pelaksanaan upayaupaya sebelumnya. Faktor ekonomi masyarakat menjadi hal paling penting untuk diatasi dengan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan yang memperhatikan potensi dan kondisi masyarakat. Menyinergiskan fungsi perlindungan untuk kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan pada akhirnya akan berdampak positif pada kelestarian hutan sekaligus tidak menghilangkan fungsi perlindungan secara keseluruhan. Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktivitas lahan pertaniannya. Dalam aspek pengelolaan lahan milik, hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan dalam hal diplomasi. TKPD
69
berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan. Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan Dalam pembelajaran sosial, semua pihak berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu. Komunikasi antar keduanya terjadi dalam ruang lingkup interaktif dan saling menghargai pendapat masing-masing. Petani dengan praktek pengelolaanya harus dihargai oleh pemerintah ataupun Perhutani demikian juga sebaliknya. Antara petani dan pemerintah saling bertukar pengetahuan sehingga terlihat hal-hal apa saja yang perlu dikolaborasikan. Ketika proses komunikasi terjadi, ada informasi yang dipertukarkan, sehingga diperoleh kesamaan makna atas apa yang dikomunikasikan. Informasi yang dipertukarkan adalah informasi seputar upaya rehabilitasi yang bersifat konservatif dan informasi mengenai pengelolaan hutan dan lahan yang mereka praktekkan. Hal ini belum nampak di beberapa tempat di Kecamatan Kejajar. Komunikasi yang tercipta di antara para petani dengan pemerintah belum maksimal. Hanya sebagian petani yang menerima akses terhadap informasi dari pemerintah. Sebagian besar petani merupakan pengikut dalam jalinan hubungan kedua belah pihak. Arus informasi dari berbagai pihak seperti dari Pemerintah dan TKPD/LSM ke petani, mengalir dalam pola dan jaringan yang spesifik. Informasi saling dipertukarkan antara pemerintah/Perhutani dan LSM/TKPD, antara petani dan pemerintah/Perhutani, antara petani dan LSM/TKPD, antara sesama petani aktif serta petani aktif dengan petani pengikut. Seperti dibahas sebelumnya, bahwa sosialisasi upaya konservasi hanya melibatkan kalangan petani tertentu. Begitu juga dengan informasi lain dan pelatihan-pelatihan, hanya beberapa petani yang notabene adalah pengurus kelompok tani ataupun LMDH. Dari merekalah informasi diteruskan ke petani lain. Hal tersebut digambarkan pada Gambar 4.
70
Konsep Rehabilitasi Hutan dan Lahan
1
2
Keterangan: 1 2
Pemerintah Daerah (Dishutbun dan Perhutani)
Petani Aktif (Opinion leader)
LSM (TKPD)
Petani Pengikut
Arah informasi
Gambar 4 Arus Informasi di Kecamatan Kejajar.
Petani yang dikategorikan sebagai petani aktif adalah mereka yang memiliki akses informasi lebih besar dibandingkan dengan petani lain, terutama informasi yang bersumber dari pihak luar desa. Petani aktif merupakan pihak masyarakat yang berhubungan langsung dengan pihak pemerintah/Perhutani dan LSM/TKPD. Hubungan tersebut dilihat dari interaksi yang intens dengan pihak-pihak tadi. Informasi yang diperoleh selanjutnya disampaikan kepada petani-petani lain dan begitu seterusnya sehingga petani aktif disebut juga sebagai opinion leader. Dalam penelitian ini, petani aktif diamati dari beberapa karakteristik, yaitu umur, pendidikan, tingkat kosmopolitan, tingkat keterbedahan terhadap media massa dan status atau jabatan desa. Dari segi umur, petani aktif di Kecamatan Kejajar bervariasi umurnya. Ada yang lajang hingga usia tua. Hal ini menunjukkan bahwa usia tidak menunjukkan tingkat keaktifan terhadap akses informasi. Tingkat pendidikan juga bervariasi, mulai dari sarjana hingga tamat SD. Dalam tingkat kekosmopolitan, hampir semua petani aktif memiliki hubungan luas dengan pihak di luar desa seperti pemerintah kabupaten maupun dalam hubungan bisnis. Pada tingkat keterbedahan terhadap media massa, hampir
71
semua petani aktif juga merupakan pengurus organisasi maupun menjabat struktur kepengurusan desa. Petani pengikut adalah petani yang mendapatkan informasi dari petani aktif. Keterlibatan mereka dalam program pemulihan Dieng hanya dikarenakan mereka bermata pencaharian sebagai petani dan tergabung dalam kelompok tani ataupun LMDH. Dilihat dari karakteristiknya, tingkat pendidikan petani pengikut sebagian besar tergolong rendah, yaitu mayoritas tamatan SD dan beberapa diantaranya tamatan SMP atau tidak sekolah. Tingkat keterbedahan terhadap media massa juga masih kurang walaupun hampir sebagian besar memiliki pesawat televisi. Latar belakang kehidupan masyarakat desa pegunungan yang memegang kuat adat dan tradisi menjadi penyebab utama kekurangaktifan mereka dalam berinteraksi dengan pihak luar. Sikap menunggu mencirikan watak mereka dalam aktivitas sehari-hari. Hal ini menyebabkan kurang mampu mengambil inisiatif sehubungan dengan usaha peningkatan kesejahteraan. Masyarakat petani tidak mudah percaya kepada pihak lain sehingga sulit untuk membina hubungan baik dengan Perhutani atau pemerintah. Pertemuan-pertemuan dalam kegiatan rutin di desa sangat strategis sebagai sarana meningkatkan jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan terutama antar petani aktif dan petani pengikut. Hal ini didasari atas seringnya pertemuan rutin dilaksanakan seperti dalam kegiatan-kegiatan rutin keagaamaan. Kondisi keagamaan masyarakat Kecamatan Kejajar sebagai basis Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi sarana saluran informasi yang strategis. Disamping itu, karakter masyarakat yang patuh terhadap pemimpin agama menjadi modal utama dalam mendorong masyarakat melakukan upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Analisis pembelajaran. Jalinan komunikasi yang baik dalam masyarakat memfasilitasi pembelajaran sosial yang efektif. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, sebagian besar komunikasi masyarakat terjadi melalui sarana-sarana informal. Obrolan harian saat silaturahmi atau pertemuan rutin mingguan dalam kegiatan masyarakat dan keagamaan telah meningkatkan aliran informasi lebih cepat. Hal ini terlihat dari fasilitator (TKPD), yang aktif menghadiri pertemuan-pertemuan informal tersebut sebagai sarana
72
sosialisasi program. Komunikasi melalui sarana informal menjadi solusi atas kesenjangan informasi antara petani aktif dan petani pengikut dalam penerimaan ide dan nilai-nilai yang diusung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu. Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat Merujuk pada ketiga dimensi dari pembelajaran sosial sebelumnya, telah terlihat indikasi bahwa sebagian petani mau dan mampu berperan dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng. Pemerintah Daerah bersama Perhutani telah saling berusaha memperbaiki hubungan dengan pihak petani. Tidak semuanya menunjukkan sikap kontra terhadap upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang mementingkan kaidah-kaidah konservasi. Ada sebagian petani yang menganggap bahwa Pemerintah Daerah bersama Perhutani menunjukkan keseriusannya untuk menjadi mitra bagi petani. Begitu juga dengan ide dan nilai dalam konsep rehabilitasi hutan dan lahan, perlu lebih lama agar petani dapat memahami semua makna di dalamnya. Pengurus kelompok tani dan LMDH menjadi aktor penting dalam hal ini. Arus informasi yang tercipta menunjukkan kemampuan petani dalam mengorganisir diri. Meskipun hanya beberapa petani yang berada pada posisi kunci sebagai sumber informasi, namun informasi telah dapat diterima oleh sebagian besar petani. Petani mulai menyadari bahwa untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan semua petani harus dilibatkan dan hal itu harus diawali dengan penyebaran informasi yang akurat dan relevan. Usaha pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat terlihat dari berbagai realisasi yang telah dicapai selama ini antara lain terbentuknya lembaga Forum Peduli Dieng dan kader perencanaan desa partisipatif serta terlaksananya kegiatan-kegiatan pelatihan dan diskusi. Disamping itu pendidikan lingkungan pada berbagai tingkatan usia serta Diklat KPTI juga telah dilaksanakan. Ketika dihadapkan pada permasalahan seperti penyamaan kesepahaman dengan Perhutani, maka dilakukan diskusi dan semiloka. Dalam diskusi-diskusi yang dilakukan,
berbagai
pihak
mempunyai
kedudukan
yang
sama
dalam
73
menyampaikan pendapat dan tanpa ada pihak yang berusaha mendominasi alur diskusi. Analisis
pembelajaran.
Pada
tataran
pembangunan
kapasitas
dan
pengembangan masyarakat yang melibatkan berbagai stakeholder, lokakarya menjadi sarana yang cukup efektif dalam memfasilitasi pembelajaran kolaboratif untuk pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Lokakarya yang telah dilakukan bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar kolaborasi dengan cara mengembangkan pemahaman bersama di antara para peserta yang hadir serta mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi untuk dikolaborasikan. Peluang utama dalam lokakarya adalah sarana memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk bertemu yang mungkin tidak akan terjadi jika lokakarya tidak ada. Pembangunan kapasitas menjadi lebih besar dibandingkan masing-masing pihak bekerja sendiri. TKPD menjadi wadah utama dalam memadukan implementasi program dalam penanganan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan pegunungan Dieng.
Sangat
penting
adanya
pelibatan
masyarakat
terutama
dalam
mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan.
Jawaban Hipotesis Penelitian Pelajaran penting yang diperoleh dari upaya rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan Pegunungan Dieng melalui program pembangunan model (modelling) pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan adalah pengelolaan hutan dan lahan secara kolaboratif dimana peran strategis TKPD (staf program) dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. Tim Teknis TKPD telah mengambil peran penyelenggara pertemuan dan berperan pula dalam diplomasi. Mereka menarik semua mitra dalam proses rehabilitasi hutan dan lahan dengan cara mendengarkan semua pihak dan memberikan umpan balik. Tim Teknis TKPD mengadakan pertemuan formal dan informal serta memfasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok. TKPD mengawali berbagai diskusi dan aksi dimulai dari kelompok yang lebih kecil (sub kelompok) kemudian menyelenggarakan pertemuan dalam kelompok yang lebih besar dengan kombinasi yang berbeda. Dengan melakukan
74
hal ini, peran fasilitasi masuk ke berbagai unsur yang ada sehingga muncul nilainilai bersama di antara para stakeholder. Program tersebut memfasilitasi berbagai ide dan mengarahkan pada rencana dan aksi bersama. Peran fasilitasi telah mengarahkan pada jalan tengah di antara perbedaan pandangan dan tujuan rehabilitasi pemerintah dengan pandangan dan tujuan pengelolaan lahan masyarakat lokal. Ketika upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan sebelumnya melalui berbagai bantuan tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, permasalahan utama bukan pada stakeholder namun pada strategi pengelolaan program tersebut. Kemudian TKPD mengubah peran sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. TKPD belajar dari pengalaman di lapangan serta belajar dari berbagai pengamatan sikap para aktor. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa upaya fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serta analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam budidaya pertanian semusim bernilai ekonomi tinggi dengan pembuatan guludan searah lereng menyebabkan laju erosi semakin tinggi. Pola pertanian yang dilakukan oleh penduduk di Kawasan Pegunungan Dieng biasanya monokultur secara intensif. Pola pertanian yang intensif tersebut memerlukan biaya pengelolaan cukup besar serta dampak ekologis yang besar pula. Sangat jarang masyarakat yang menanam tanaman kayu penghasil kayu bakar dan kayu pertukangan. Kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, pakan ternak dan kayu bakar tidak dapat terpenuhi dari kegiatan masyarakat dan pembangunan wilayah. Upaya introduksi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan telah mendorong penyelamatan lingkungan di Kawasan Dieng melalui model pengelolaan hutan dan lahan terpadu serta berkelanjutan. Model pengelolaan mengedepankan prinsip partisipatif, dialogis, berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati dan saling menguatkan. 2. Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan diplomasi. TKPD berperan sebagai penasehat
sehingga
mendorong para aktor
untuk
menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Persepsi responden terhadap keberlanjutan kegiatan rehabilitasi dalam aspek teknis penanaman dan pemeliharaan pohon di dalam kawasan hutan dipandang lebih penting dari pada di lahan milik. Hal ini dikarenakan masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktivitas lahan pertaniannya. Dalam aspek pengelolaan lahan milik, hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini
76
dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Masyarakat mulai menyadari bahwa pengembangan perencanaan partisipatif serta memperhatikan kaidah konservasi sangat penting bagi mereka. Saran 1. Petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten, Provinsi, maupun Perhutani perlu meningkatkan pemahaman mengenai kehutanan sosial agar pengelolaan kehutanan dengan strategi kehutanan sosial dapat diwujudkan. 2. Pemerintah Kabupaten dan Provinsi perlu mengkaji ulang regulasi yang mengatur adanya hutan lindung yang melarang adanya pemanfaatan bersifat ekonomis, meskipun untuk masyarakat sekitar hutan. Menyinergiskan fungsi perlindungan untuk kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan pada akhirnya akan berdampak positif pada kelestarian hutan sekaligus tidak menghilangkan fungsi perlindungan secara keseluruhan. 3. Untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat mengenai pertanian yang lebih ramah lingkungan, perlu dibuat percontohan pertanian dengan pola agroforestry agar masyarakat mengetahui alternatif lain selain pertanian yang monokultur. Dalam rangka pelaksanaan kehutanan sosial, pembuatan percontohan dapat memanfaatkan kawasan hutan yang relatif datar. Tanaman pokok pada jalur kehutanan disesuaikan dengan kelas hutan sedangkan pada jalur pertanian dapat dimanfaatkan untuk tanaman pertanian sampai lahan ternaungi oleh tanaman pokok dan setelahnya ditanami kopi arabika, pohon suren dan tanaman kayu bakar. Manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat diharapkan mampu mengurangi permasalahan sosial yang ada yaitu dalam memenuhi kebutuhan pangan, kayu bakar dan pakan ternak sehingga dapat meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan. 4. Perlu adanya kajian lebih lanjut tentang perancangan mekanisme insentif ekonomi untuk menghindari ketergantungan masyarakat dari bantuan langsung proyek, seperti perancangan mekanisme insentif ternak yang memanfaatkan jejaring sosial stakeholder terkait sehingga dapat menjadi pengganti sumber pendapatan masyarakat dari usaha pertanian yang kurang ramah lingkungan.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Tabel Penggolongan Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Desa Buntu Sigedang Tambi Kreo Serang Kejajar Igirmranak Surengede Tieng Parikesit Sembungan Jojogan Patakbanteng Dieng Sikunang Campursari Jumlah
Kelompok Umur 0-4 206 292 487 158 438 372 75 337 345 172 127 136 245 132 204 176 3.902
5-9 215 293 505 156 576 320 72 379 405 185 123 129 281 173 172 292 4.276
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008.
10-14 211 292 528 200 561 294 53 398 388 202 94 163 276 195 217 249 4.321
15-19 255 336 612 197 564 363 73 425 506 264 152 218 293 230 273 308 5.069
20-24 248 275 561 139 419 353 73 360 455 219 131 165 286 232 201 221 4.338
25-29 195 273 478 125 370 337 74 312 335 183 108 131 244 180 188 205 3.738
30-34 187 237 432 133 319 292 38 263 278 135 65 114 165 201 149 176 3.184
35-39 196 235 374 113 331 271 46 271 328 153 80 132 184 184 144 138 3.180
40-44 168 180 314 105 272 185 42 250 309 130 70 82 141 172 138 176 2.734
45-49 119 161 260 42 192 151 36 173 218 84 64 58 106 109 92 154 2.019
50-54 86 110 236 70 138 119 22 135 148 69 38 44 99 76 73 98 1.561
55-59 74 97 116 28 135 111 18 112 151 57 24 30 74 83 74 81 1.265
60-64 65> 89 120 59 69 111 117 55 77 133 195 93 180 19 35 105 98 139 207 46 60 16 35 25 32 60 71 60 112 51 65 77 95 1.138 1.568
79
Lampiran 2 Tabel Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Kejajar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Desa Buntu Sigedang Tambi Kreo Serang Kejajar Igirmranak Surengede Tieng Parikesit Sembungan Jojogan Patakbanteng Dieng Sikunang Campursari Jumlah
Jml KK
Petani
Buruh Tani
Ternak
Pengga lian
Indus tri
Bangun an
Pedag ang
Transp ortasi
PNS
TNI
Polisi
Pensiun
Lain nya
Jumlah
692 847 1.510 425 1.202 968 199 1.021 1.261 573 331 408 652 649 698 715
567 616 748 487 1.056 672 199 551 1.175 469 521 925 868 671 673 653
383 362 942 550 1.560 726 256 738 632 71 101 205 121 133 101 204
-
6 1
10 181 378 51 10 16 30 8 1 1 10 -
31 89 82 31 198 66 9 81 37 18 10 8 44 49 31 31
57 146 162 52 234 259 13 96 109 23 17 28 47 66 61 101
28 24 56 4 76 47 6 17 14 8 5 11 9 32 21 31
14 13 28 8 61 51 3 8 54 7 8 7 9 28 9 8
-
1 2 -
9 2 3 4 18 15 1 2 1 4 2 9 2
67 34 86 82 110 201 23 38 75 78 34 124 273 174 82 34
1.166 1.467 2.485 1.269 3.324 2.055 509 1.530 2.128 682 698 1.313 1.373 1.162 988 1.064
12.151
10.851
7.085
0
7
696
815
1.471
389
316
0
3
72
1.515
23.213
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008.
80
Lampiran 3. Tabel Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program Pemulihan Dieng No
Responden
Indikator di dalam kawasan hutan
Nilai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Aspek Teknis 1.
Penanaman pohon
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
2
2
1
1
2
1
1
1
1
1
2
2
1
2
1
1,32
2.
Pemeliharaan pohon
2
1
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1
1
2
2
1,28
1.
2
2
2
1
1
2
1
1
1
1
1
2
2
1
2
1
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1,36
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1,16
3.
Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk keperasi Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1,12
4.
Adanya kesepahaman satu sama lain
1
1
1
2
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
2
1
1
1,20
5.
Hubungan baik antara staf program dan masyarakat
2
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1,16
6.
Konflik lahan harus diselesaikan dengan tuntas
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1,12
7.
Tersedianya lahan untuk dikelola masyarakat
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
1,16
8.
Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat Pembentukan lembaga baru
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
3
2
3
2
3
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2,32
2
2
2
1
2
2
2
2
3
2
2
3
2
3
2
3
2
2
3
2
3
3
2
2
2
2,24
Transparansi
1
2
1
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1
1,20
2.
Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam
1
2
2
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1,16
3.
Desa sekitar hutan dilibatkan dalam pengelolaan hutan dan pengamanan Dukungan pemerintah yang jelas
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
1,08
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
1
2
1
1,16
5.
Proses peningkatan kesadaran masyarakat
1
1
2
2
1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
2
1,92
6.
Aturan main yang jelas
2
2
2
1
2
1
1
1
1
2
2
1
2
2
1
2
1
3
2
2
2
2
2
2
2
1,72
7.
Penyuluhan kehutanan
1
1
2
1
1
1
1
1
1
2
3
3
2
2
3
2
3
3
2
3
2
3
2
3
2
2,00
Aspek Kelembagaan
2.
9.
Aspek Pengelolaan 1.
4.
81
No 8.
Responden
Indikator di dalam kawasan hutan Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi
Nilai
1 2
2 1
3 1
4 2
5 2
6 1
7 2
8 1
9 1
10 1
11 1
12 1
13 1
14 1
15 1
16 1
17 1
18 1
19 1
20 2
21 2
22 1
23 2
24 1
25 1
1,28
Aspek ekonomi 1.
Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas
2
2
2
2
2
3
3
2
2
2
3
2
2
2
2
2
2
1
3
2
2
2
2
2
3
2,16
2.
Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi
2
2
1
2
2
2
2
3
2
2
3
2
2
2
1
2
2
2
2
3
2
2
3
2
3
2,12
No
Responden
Indikator di lahan milik
Nilai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Aspek Teknis 1.
Penanaman pohon
2
2
3
3
3
2
2
2
3
2
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2,24
2.
Pemeliharaan pohon
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2,08
1
2
2
1
2
2
3
2
3
3
2
2
2
3
2
3
2
3
2
2
3
1
1
1
1
2,04
Aspek Kelembagaan 1.
2
2
2
2
2
1
2
2
3
2
2
2
2
2
2
1
2
3
2
3
2
2
3
3
1
2,08
3.
Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk keperasi Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah
1
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1,16
4.
Hubungan baik antara staf program dan masyarakat
1
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1,12
5.
Kerekatan antar anggota organisasi masyarakat
2
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
1
2
2
2
1
2
2
1
2
2
2
1
2
2
1,76
1.
Transparansi
2
2
2
2
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1
1,32
2.
Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam
2
2
1
1
2
1
1
1
1
2
2
3
2
3
3
2
2
2
3
2
2
3
2
3
3
2,04
3.
Pengembangan perencanaan partisipatif
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1,12
4.
Penurunan tingkat penebangan/perambahan
1
1
1
2
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
2
1
1
1,24
5.
Dukungan pemerintah yang jelas
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
2
1
1
2
1
2
1
1,28
2.
Aspek Pengelolaan
82
No
Responden
Indikator di lahan milik
Nilai
Proses peningkatan kesadaran masyarakat
1 1
2 2
3 1
4 2
5 1
6 2
7 1
8 2
9 2
10 2
11 2
12 2
13 2
14 2
15 2
16 1
17 2
18 1
19 2
20 2
21 2
22 2
23 2
24 2
25 2
1,76
7.
Aturan main yang jelas
2
3
2
3
2
3
3
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
3
2
3
3
3
2
3
3
2,52
8.
Penyuluhan kehutanan
2
1
1
1
2
3
3
2
3
2
1
1
1
1
1
1
3
3
2
3
2
3
2
3
2
1,96
9.
3
3
2
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2,88
10.
Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi Pemberdayaan organisasi
2
2
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
1,76
11.
Inovasi pada aspek teknis dan kelembagaan
2
2
2
2
2
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
2
1
1
1,36
1.
Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
2
2
1
1
1
1
1
2
2
1,24
2.
Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
2
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1,2
6.
Aspek ekonomi
Sumber: Data Primer (diolah)
83
Lampiran 4 Tabel Jumlah Kepala Keluarga Petani Desa 01. Buntu 02. Sigedang 03. Tambi 04. Kreo 05. Serang 06. Kejajar 07. Igirmranak 08. Surengede 09. Tieng 10. Parikesit 11. Sembungan 12. Jojogan 13. Patakbanteng 14. Dieng 15. Sikunang 16. Campursari Jumlah
KK Bekerja 692 847 1.510 425 1.202 968 199 1.021 1.261 573 331 408 652 649 698 715 12.151
Jumlah Bekerja 1.166 1.467 2.485 1.269 3.324 2.055 509 1.530 2.128 682 698 1.313 1.373 1.162 988 1.064 23.213
Petani 950 978 1.690 1.037 2.616 1.398 455 1.289 1.807 540 622 1.130 989 804 774 857 17.936
KK Petani 564 565 1.027 347 946 659 178 860 1.071 454 295 351 470 449 547 576 9.357
Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008 (diolah)
Lampiran 5 Tabel Jumlah Responden dalam Penelitian No 1.
Responden dan Narasumber Pemerintah Daerah - Bappeda - Dishutbun -
2.
Perhutani
Masyarakat - Kepala desa
Jumlah
Keterangan
2 3
Bappeda Bidang IV Bagian Rehabilitasi Hutan dan Lahan Penyuluh Lapang Mantri RPH Dieng
1 4
-
Pengurus Kelembagaan Desa
9
-
Anggota Masyarakat
14
Kades Buntu Kades Kreo Kades Patak Banteng Kades Sigedang Forum Peduli Dieng Kader Perencana Desa Berbasis Lingkungan Gapoktan Petani, peternak, pemuka agama (tokoh masyarakat)
3.
LSM
5
Sekretaris Tim Teknis TKPD Java Learning Center (JAVLEC) Forum Hutan Wonosobo LSM SEPKUBA, Bhineka Karya
4.
Perguruan Tinggi (Akademisi)
1
Dosen Fakultas Kehutanan IPB
Jumlah
39
Sumber: Data Primer.
84
Lampiran 6 Tabel Responden Persepsi Keberlanjutan Program RHL No
Nama Responden
Desa
Umur
N Klg
Pendidikan
Pekerjaan Utama
Luas Tegalan (Ha)
Sampingan
Milik
Sewa
1
Nur Hakim
Buntu
56
4
SD
Tani
Per. Desa
1,25
1,5
2
Untung
Buntu
44
4
SD
Tani
Ternak
1,5
0,5
3
Suroto
Buntu
33
5
SD
Ternak
Tani
0,5
4
Joko
Buntu
45
5
SMA
Tani
Ternak
0,5
5
Wasidi
Buntu
44
4
SD
Tani
Tani
0,45
6
Jumardi
Buntu
69
4
SD
Tani
7
Ciptadi
Buntu
49
5
SMA
Per. Desa
0,25 Tani
8
Ahmad
Buntu
57
3
SD
Tani
Ahmadin
Kreo
60
5
SD
Tani
Ternak
1,5
10
Marsyaid
Kreo
45
5
SD
Per. Desa
Tani
1
11
Syawaludin
Kreo
58
4
SD
Tani
12
Supriyadi
Kreo
27
3
SMA
Tani
13
Nuryazid
Kreo
32
4
SMA
Tani
14
Musliman
Kreo
57
6
SD
Tani
15
S. Hidayat
Kreo
45
4
SMP
Tani
16
Mustaqim
Patak Btg
48
4
SD
Tani
Ternak
17
Muh. Ali
Patak Btg
46
3
SD
Tani
Ternak
18
Taufik
Patak Btg
40
4
SMP
Per. Desa
Tani
19
Humam
Patak Btg
57
4
SMP
Tani
0,5
0,25
0,5
Ternak
0,25
0.5
Ternak
0,25
Dagang
1 0,75 1,25 0,5 1,5 0,5
20
Ja'far
Patak Btg
62
4
SD
Tani
Ternak
21
Fatkhurohman
Sigedang
41
5
SMA
Tani
Dagang
0,25
22
Makmurohim
Sigedang
40
4
SMA
Tani
Ternak
0,5
23
Mudatsir
Sigedang
58
5
SD
Tani
Ternak
0,5
24
Sirmudi
Ternak
0,25
Sigedang
49
5
SD
Tani
Sigedang
53
4
SD
Tani
0,5
0,5
Lampiran 7 Tabel Perbandingan Berbagai Pertanaman yang Dilakukan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pertanaman yang dilakukan Penanaman Kentang Searah Lereng Bertanaman Penutup Rumput Penanaman Kentang Menurut Kontur Penanaman Bawang Sop daun Penanaman Bawang Sop pada tanah yang diteras Ditumbuhi hutan lebat Ditumbuhi pohon tanah dicangkul Pohon-pohonan dicangkul disertakan pemulasaan
0,25
1
9
25 Abidarin Sumber: Data Primer
1,5
Tanah Tererosi (Ton/Ha/Tahun) 136,1 0,2 43,5 11,0 3,1 0 27,1 6,8
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura dalam Lokakarya Rehabilitasi Kawasan Dieng 2009
0,25
85
Lampiran 8 Matrik Triangulasi Dimensi Pembelajaran Sosial Pendapat
Dimensi Pembelajaran Sosial
Masyarakat
LSM
Pemerintah
Wacana
Analisis
“TKPD perlu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, pemulihan lingkungan, dan rehabilitasi lahan. Petani atau penduduk menjadi sentral program, tidak sekedar menanam atau mengurangi lahan kritis” (Bupati Wonosobo Kholiq Arif dalam Kompas, 24 Desember 2008)
Pendekatan dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sudah berubah kearah pendekatan yang bersifat partisipatif. Namun, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi masih terbatas karena pemahaman tentang upaya konservasi dan rehabilitasi cukup rendah . Namun dalam pelaksanaan teknis di lapangan melalui kader-kader desa yang telah terbentuk, berada pada posisi yang lebih baik dan terlibat dalam berbagai perencanaan dan pelaksanaan. Mereka juga mendapatkan bagian dari hasil kegiatan rehabilitasi namun dalam pengelolaan lahan negara belum masyarakat belum merasakan manfaat ekonominya secara nyata. Peran masyarakat setempat masih lemah dibanding dengan pemerintah kabupaten dalam pengambilan keputusan politik. Petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten, Provinsi, maupun Perhutani perlu meningkatkan pemahaman mengenai kehutanan sosial agar pengelolaan kehutanan dengan strategi kehutanan sosial dapat diwujudkan.
1. Pengambilan keputusan politik a. Bagaimana penetapan kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan hutan dan lahan pertanian bernilai ekonomi tinggi, sepihak atau bersama masyarakat?
Kewajiban pemerintah saja.
Menghindari pendekatan yang bersifat top down, formal dan searah.
Keterlibatan masyarakat masih sangat rendah karena pemahaman tentang upaya konservasi dan rehabilitasi cukup rendah.
b. Bagaimana sejarah kepemilikan dan status lahan garapan petani?
Lahan milik berhak dikelola sesuai keinginan pemilik.
Pemerintah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam pengelolaan lahan milik.
Lahan milik berhak dikelola sesuai keinginan pemilik.
Pembibrikan hutan negara untuk ditanami tanaman semusim biasa terjadi pada era reformasi. c. Bagaimana konflik hak pengelolaan lahan, adakah ketidaksamaan akses antar pihak dalam pengelolaan lahan?
d. Bagaimana kesesuaian kebijakan pemerintah dengan pelaksana kerja fasilitator di lapangan?
Tanaman keras sebaiknya hanya ditanam di lahan negara
Pasca reformasi Perhutani lebih bersifat represif. Perambahan hutan pada saat era reformasi masih dirasakan dampak fisik yang cukup traumatis terutama bagi Perhutani.
Substansi isi Peraturan Menteri Pertanian tentang pedoman budidaya pada lahan pertanian pegunungan masih bersifat umum. Perambahan hutan pada saat era reformasi masih dirasakan dampak fisiknya.
Perhutani masih ragu-ragu menempatkan posisi petani dalam pengelolaan lahan negara
Perencekan dan pencurian kayu untuk dijadikan kayu bakar merupakan permasalahan yang cukup mengganggu dalam pertumbuhan tanaman.
Penyuluh lapang kurang bekerja dengan maksimal terutama didaerah yang jauh dari pusat kota kecamatan.
Tidak cukup jika hanya mengandalkan penyuluh dari dinas Kabupaten yang terkesan berjalan sendirisendiri
Karakter masyarakat yang sulit diarahkan untuk usaha pertanian yang memperhatikan kaidah konservasi
Di desa Sigedang, Perhutani dianggap kurang membaur dengan masyarakat
Karakter masyarakat yang sulit diarahkan untuk usaha pertanian yang memperhatikan kaidah konservasi
86
Pendapat
Dimensi Pembelajaran Sosial
Masyarakat
LSM
Pemerintah
Wacana
Analisis
“Perhutani berhasil menerapkan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Hutan tanaman campuran bisa ditanami kopi, albasia dan salak sebagai tanaman tumpang sari yang memberi hasil bagi petani desa hutan.” (Ngabidin, Ketua LSM Setkuba)
Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu. TKPD memfasilitasi dalam pertukaran konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode antar berbagai pihak dengan melihat berbagai kendala dan peluang pelaksanaan upaya-upaya sebelumnya. Faktor ekonomi masyarakat menjadi hal paling penting untuk diatasi dengan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan yang memperhatikan potensi dan kondisi masyarakat. Mensinergiskan fungsi perlindungan untuk kepentingan ekonomi masyarakat sekitar hutan pada akhirnya akan berdampak positif pada kelestarian hutan sekaligus tidak menghilangkan fungsi perlindungan secara keseluruhan.
2. Inovasi dan Pemecahan Masalah a. Bagaimana pemahaman tentang konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode, dan pengalaman sejarah dalam proses pembelajaran sosial program Rehabilitasi Hutan dan Lahan?
Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu
Upaya rehabilitasi dianggap oleh sebagian masyarakat sama halnya seperti program-program terdahulu
Daya tarik ekonomi sektor pertanian kentang dianggap belum bisa tergantikan kecuali ada solusi usaha yang lebih tinggi nilai ekonomisnya.
Daya tarik ekonomi sektor pertanian kentang dianggap belum bisa tergantikan kecuali ada solusi usaha yang lebih tinggi nilai ekonomisnya
Produksi/hasil sayur akan menurun karena berkurangnya areal tanam.
Modal selalu menjadi alasan utama tidak berjalannya upaya konservasi
Modal selalu menjadi alasan utama kurang berjalannya upaya konservasi b. Bagaimana kesesuaian nilai-nilai dan pengetahuan lokal masyarakat dengan adanya introduksi program Rehabilitasi Hutan dan Lahan?
Daya tarik ekonomi sektor pertanian kentang dianggap belum bisa tergantikan kecuali ada solusi usaha yang lebih tinggi nilai ekonomisnya Modal selalu menjadi alasan utama tidak berjalannya upaya konservasi Penerapan teknik konservasi tanah akan memicu terjadinya serangan penyakit.
Hanya sebagian masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi untuk memperhatikan kaidah konservasi dalam pengelolaan lahan milik.
Masyarakat dan pemerintah (Perhutani) masih bekerja secara sendiri-sendiri.
Perhutani masih ragu-ragu menempatkan posisi petani dalam pengelolaan lahan negara
Perlu diupayakan adanya kelembagaan ekonomi produktif lokal.
Perlu mengganti dengan tanaman holtikultura lainnya yang menguntungkan
Perlu mengganti dengan tanaman holtikultura lainnya yang menguntungkan
Ada kekhawatiran jika bantuan program telah diberikan, petani tidak melanjutkan usaha setelah bantuan tidak lagi diberikan
Perlu diupayakan adanya kelembagaan ekonomi produktif lokal
Penerapan teknik konservasi tanah akan memicu terjadinya serangan penyakit
Lahan kentang semakin keras seiring jamur tanah yang cukup tinggi. Karakter masyarakat yang sulit diarahkan untuk usaha pertanian yang memperhatikan kaidah konservasi.
Tarsono, petani di Tieng mengaku telah mengubah pola terasering (guludan) searah kontur. Demplot seperempat hektar lahan kentang guludan nyabuk gunung, yakni setengah melingkar dengan saluran air di tiap ujung. Hasilnya bisa mencapai 3 ton, dengan tingkat erosi hanya 12 cm saat hujan deras. Petani lain di Desa Melandi Garung, Supriyadi, mengatakan, “Kesalahan pemakaian pupuk kimia yang berlebihan guna mendongkrak hasil panen kentang kini membalikkan kesuburan tanah. Lahan kini hanyalah tak lebih dari humus kompos yang ditanami kentang. Alhasil, produksi kentang merosot terus selama empat tahun. Kalau 2004 per hektar maish menghasilkan 17,6 ton, tahun 2007 bisa 15,4 ton, ternyata tahun 2008 panen tertinggi hanya 10-13,5 ton per hektar. Biaya produksi tanaman pun naik. Kalau 2004 per hektar
Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktifitas lahan pertaniannya. Dalam aspek pengelolaan lahan milik, hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktifitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan dalam hal diplomasi.
87
Dimensi Pembelajaran Sosial c. Bagaimana peran fasilitator menjembatani kepentingan-kepentingan dalam pertukaran pandangan berbagai pihak?
Pendapat Masyarakat Fasilitator dipandang sebagai pihak yang pro masyarakat.
Wacana
LSM
Pemerintah
Pada pengelolaan lahan negara, kerjasama masyarakat dan Perhutani belum berjalan dan masih pada tahap penyamaan kesepahaman.
Pemulihan lahan dilakukan melalui program rehabilitasi lahan, dengan melibatkan kelompok tani dan instansi terkait di lingkungan pertanian dan kehutanan, serta aktivis penyuluh swadaya
cukup 25 juta rupiah, ternyata saat ini kisarannya 40-48 juta per hektar untuk sekali musim tanam.” (Dalam Kompas, 24 Desember 2008)
Pelibatan seluruh anggota masyarakat dalam berbagai sosialisasi dirasa kurang efektif dan membutuhkan biaya yang besar
SK Bupati Wonosobo Nomor 188.4/362/2009 tanggal 18 Mei 2009 tentang Tim Koordinasi Kawasan Dieng.
Petani perlu diarahkan untuk melaksanakan cara budidaya kentang yang ramah lingkungan dengan menerapkan teknik konservasi lahan
“Ketika krisis 1998-1999, hampir 90% kawasan hutan di Sindoro-Sumbing termasuk Dieng, habis dibabat tidak terkecuali hutan lindung.” (Wakil Kepala Perum Perhutani I Jawa Tengah, Bambang Setia Budi dalam Kompas, 24 Desember 2008)
Analisis TKPD berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.
3. Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan a. Bagaimana arus informasi pelaksanaan program antara petani aktif, petani pengikut, Pemerintah dan LSM?
Sosialisasi dan pelatihanpelatihan, hanya mengikutsertakan beberapa petani yang notabene adalah pengurus kelompok tani ataupun LMDH
Tokoh masyarakat terutama ulama menjadi sarana strategis dalam penyampaian informasi
b. Bagaimana karakteristik petani aktif dan petani pengikut?
Petani aktif lebih maju dalam pengelolaan lahan pertaniannya. Tingkat pendidikan petani pengikut sebagian besar tergolong rendah.
Petani aktif terdiri dari berbagai tingkat usia dan tingkat pendidikan
Hampir semua petani aktif juga merupakan pengurus organisasi struktur desa..
Hampir semua petani aktif juga merupakan pengurus organisasi maupun menjabat struktur kepengurusan desa.
c. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan tindakan antara petani aktif dan petani pengikut?
Latar belakang kehidupan masyarakat desa pegunungan yang memegang kuat adat dan tradisi, yaitu sikap menunggu sehingga kurang bisa mengambil inisiatif.
Akses informasi petani pengikut cukup rendah.
Petani aktif memiliki hubungan luas dengan pihak di luar desa seperti pemerintah kabupaten maupun dalam hubungan bisnis
SK Bupati Wonosobo Nomor 661/13/2006 – 2871/044.3/hukamas/I tentang MoU Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari di Kabupaten Wonosobo antara Pemerintah Kabupaten Wonosobo dengan Perhutani
Jalinan komunikasi yang baik dalam masyarakat memfasilitasi pembelajaran sosial yang efektif. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, sebagian besar komunikasi masyarakat terjadi melalui sarana-sarana informal. Obrolan harian saat silaturahmi atau pertemuan rutin mingguan dalam kegiatan masyarakat dan keagamaan telah meningkatkan aliran informasi lebih cepat. Hal ini terlihat dari fasilitator (TKPD), yang aktif menghadiri pertemuan-pertemuan informal tersebut sebagai sarana sosialisasi program. Komunikasi melalui sarana informal menjadi solusi atas kesenjangan informasi antara petani aktif dan petani pengikut dalam penerimaan ide dan nilai-nilai yang diusung dalam program rehabilitasi hutan dan lahan. Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu
88
Dimensi Pembelajaran Sosial d. Bagaimana dominansi interaksi yang terjalin antara berbagai pihak?
Pendapat Masyarakat
LSM
Pemerintah
Bagi petani pengikut, interaksi hubungan dengan pemerintah maupun LSM dipandang hanya didominasi oleh warga masyarakat tertentu
Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu
Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama. Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu
Wacana
Analisis
Terbentukny Forum Kader Perencana Desa Berbasis Lingkungan dan Forum Peduli Dieng atas inisiasi masyarakat serta disahkan melalui SK Bupati. (SK Bupati Wonosobo Nomor 180/25/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Pembentukan Tim Kerja Pemulihan Dieng)
Pada tataran pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat yang melibatkan berbagai stakeholder, lokakarya menjadi sarana yang cukup efektif dalam memfasilitasi pembelajaran kolaboratif untuk pengelolaan hutan dan lahan yang berkelanjutan. Lokakarya yang telah dilakukan bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar kolaborasi dengan cara mengembangkan pemahaman bersama di antara para peserta yang hadir serta mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi untuk dikolaborasikan. Peluang utama dalam lokakarya adalah sarana memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk bertemu yang mungkin tidak akan terjadi jika lokakarya tidak ada. Pembangunan kapasitas menjadi lebih besar dibandingkan masing-masing pihak bekerja sendiri. TKPD menjadi wadah utama dalam memadukan implementasi program dalam penanganan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan pegunungan Dieng. Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan.
4. Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat a. Bagaimana keikutsertaan masyarakat (Kelompok tani dan LMDH) dalam berbagai program dan penyuluhan tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan?
Upaya pelibatan masyarakat disambut baik.
Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan
Sangat penting adanya pelibatan masyarakat terutama dalam mengoptimalkan keterlibatan tokoh masyarakat yang strategis dan memiliki kesadaran lingkungan
b. Bagaimana peran pihakpihak yang terkait dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?
Pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat secara aktif akan diikuti jika memberikan manfaat bagi masyarakat terutama manfaat ekonomi.
Perlu adanya dukungan fisik dan kebijakan dalam upaya pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat
Pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat harusnya diterima sebagai perangsang upaya rehabilitasi yang berkelanjutan.
c. Bagaimana proses musyawarah dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?
Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama
Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama
Semua pihak harusnya berada pada posisi yang sama
Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu
Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu
Keberadaan antara pihak satu dengan yang lain tidak atas dasar paksaan dan dominasi dari pihak tertentu
Sumber: Data Primer (diolah)
Kepala Bagian Tata Pemerintahah Kabupaten Wonosobo Fahmi Hidayat menilai keberadaan FPD amat penting sebagai penyelaras akselerasi program pemulihan lahan tandus. Upaya penyadaran petani untuk mengurangi eksploitasi lahan kentang gagal terus dalam lima tahun terakhir karena kurang didukung tokoh-tokoh masyarakat, di dalamnya kepala desa. (Dalam Kompas, 24 Desember 2008)