RESPON IMUN SELULER TERHADAP INT0KSIKASI 2,3,7,8 TETRACHLORODIBENZO-p-DIOXIN PADA TIKUS (The Cellular Immune Respon on the Intoxication of the 2, 3,7, 8 Tetrachlorodibenzo-p-Dioxin in Rats) R. Susanti Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, Semarang
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) terhadap respon imun seluler khususnya aktivitas proliferasi limfosit terhadap stimulasi con-A. Enam belas ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley berumur 2-2,5 bulan dengan berat badan 170-200 g diadaptasikan dengan kondisi lingkungan penelitian selama 1 minggu. Semua tikus dibagi secara acak menjadi dua kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari 8 ekor. Kelompok pertama diberi 1 ml/kg bb/oral/hari PBS pH 7,2 sebagai placebo, selama 60 hari. Kelompok kedua diberi 2,3,7,8 TCDD secara oral dengan dosis 5 mg,/kg bb pada hari pertama dan 1 gg/kg bb/hari pada hari berikutnya selama 60 hari. Pada hari ke 30 dan 60, setiap kelompok diambil 4 ekor tikus secara acak untuk diambil darahnya melalui pleksus retroorbitalls. Sampel darah dengan antikoagulan selanjutnya diisolasi sel-sel limfosit dengan metode densitas gradien menggunakan histopaque-1077. Sel-sel limfosit selanjutnya diamati aktivitas proliferasinya dengan distimulasi Con-A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TCDD menurunkan respon imun seluler terutama indeks proliferasi limfosit (P<0.05) terhadap stimulasi Con-A. Penurunan aktivitas proliferasi secara signifikan (P<0.05) terlihat pada pemberian TCDD selama 30 hari. Kata kunci: 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin, respon imun seluler, limfosit ABSTRACT A research was conducted to evaluate the effects of the 2,3,7,8 tetracholorodibenzo-p-dioxin (TCDD) on the cellular immune respon, especially proliferation activities of lymphocytes by Con-A stimulation. Sixteen male Sprague Dawley rats, 2-2.5 months of age and 170-200 g of body weight were adapted to the research environment for one week. All rats were randomly allotted into 2 groups of 8 rats. The first group was given 1 ml/kg bw/oral./day of PBS pH 7,2 as placebo for 60 days. The second group was treated orally with 2,3,7,8 TCDD 5 mg/kg bw on the first day and followed by 1 mg TCDD/ kg bw/day for 60 days. On the day of 30 and 60, 4 rats in each group were randomly selected and blood samples were collected from retroorbital plexus. The lymphocytes were separated by the density gradient methods using Histopaque-1077 for the study of proliferation activities. The results of study indicated that the TCDD reduced the cellular immune respon, especially the proliferation activies of lymphocytes by Con-A stimulation (P<0.05). The proliferation activities were greatly reduced on the clay of 30 (P<0.05). Keywords: 2,3,7,8 tatraclorodibenzo-p-dioxin, cellular immune respon, lymphocytes
The Intoxicationof the 2,3,7,8 Tetrachlorodibenzo-p-Dioxin in Rats (Susanti)
21
PENDAHULUAN Pencemaran dioksin pada berbagai produk hewan seperti susu, produk yang mengandung susu, daging ayam, daging sapi, telur serta produk hewan lainnya terjadi pada awal tahun 1999 di Belgia, belanda dan Perancis. Indonesia, sebagai salah satu negara pengimpor beberapa. produk dari negaranegara tersebut terpaksa menghentikan impor dan menarik produk yang sudah terlanjur beredar. Percemaran tersebut berasal dari kontaminasi dioksin pada makanan ternak yang didistribusikan ke ratusan petemakan di negara-negara Eropa (Winarno, 1999). Pencemaran dioksin juga pernah terjadi di USA tahun 1949, 1971 dan 1977, di Vietnam tahun 1962, di Jepang dan Cina tahun 70-an dan di Seveso, Italia tahun 1976 (Murray dan Thomas, 1992). Dioksin merupakan produk samping senyawa berbagai proses yang dilakukan oleh manusia seperti pembuatan pestisida golongan tertentu dan pembakaran bahan-bahan mengandung hidrokarbon klorin. Proses pembuatan pestisida golongan fenoksi dan klorofenol akan membebaskan sejumlah kongener dioksin yang terkandung dalam pestisida. tersebut (Ray dan Prasad, 1992). Pembakaran bahanbahan mengandung hidrokarbon terklorinasi seperti polivinilklorida (PVC), poliklorobifenil (PCB), limbah rumah sakit, limbah rumah tangga dan pembakaran kertas yang diputihkan dengan klorofenol akan menghasilkan dioksin (Roeder et al., 1998; Feil dan Ellis, 1998). Dioksin adalah senyawa organik yang mengandung karbon, hidrogen dan klorin dengan nama umum polychlorodibenzo-p-dioxin (PCDD). Kongener dioksin tergantung pada jumlah dan letak ion Cl - pada inti struktur dioksin. Diantara 75 kongener PCDD, yang paling toksik adalah 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD). Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, TCDD termasuk karsinogenik paling berbahaya dan beracun (Osweller et al., 1985). Dioksin dapat memasuki tubuh melalui rantai makanan, kontak dengan kulit, inhalasi dan transplasenta (Roeder et al., 1998; Haschek dan Rouseaux, 1991). Rantai makanan merupakan jalur utama pemasukan dioksin ke dalam tubuh, baik secara langsung melalul dioksin yang terkandung
22
dalam makanan maupun secara tidak langsung oleh proses pengemasan/pengepakan jika menggunakan bahan chlorinated hidrocarbon. Makanan asal hewan lebih riskan terhadap dioksin karena sifat alami dioksin yang mudah larut dalam lemak (Roeder et al., 1998). Retensi dioksin tercatat pada jaringan hati, lemak, otot/karkas, telur, jantung, limpa, ginjal, paruparu dan air susu baik air susu sapi maupun air susu ibu (Roeder et al., 1998; Hascheck dan Rousseaux, 199 1; Feil dan Ellis, 1998). Hati dan lemak merupakan deposit utama dioksin. Akumulasi dioksin dalam hati berhubungan dengan induksi enzim spesifik hati, sedangkan akumulasi dalam lemak berhubungan dengan sifat lipofilik dioksin (Osweller et al., 1985). Keracunan dioksin dapat menyebabkan ganguan sistem saraf, kanker hati, ‘chloracne’, gangguan ginjal, gangguan hati, anemia dan imunosupresi. Namun karena keracunan dioksin ini bersifat akumulatif, maka efek toksik baru timbul setelah beberapa tahun (Osweiler et al., 1985; Anonimus, 1999). Efek transplasenta dioksin merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Induk yang terpapar dioksin, maka janin yang dikandungnya akan terkena dioksin juga, sehingga janin yang baru dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan akan mengalami gangguan pertumbuhan/perkembangan seperti ‘cleft palate’ (langit-langit atas bercelah), hidronefrosis, abnormalitas ginjal, abortus maupun mortalitas fetus (Osweiler et al., 1985; Hascheck dan Rousseaux, 1991; Ray dan Prasad, 1992; Anonimus, 1999). Sebagai senyawa produk samping, tanpa disadari, dioksin merupakan toksikan lingkungan yang dapat mencemari hewan dan manusia melalui rantai makanan (Roeder et al., 1998), sehingga perlu dikaji efek TCDD secara kronis dengan dosis rendah yang diberikan setiap hari. Imunosupresi merupakan salah satu efek toksik dioksin yang menarik untuk diteliti karena dioksin dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga manusia/hewan yang keracunan toksin ini akan mudah terinfeksi agen penyakit dan menimbulkan beberapa komplikasi penyakit-penyakit lain. Limfosit T merupakan sistem pertahanan tubuh spesifik seluler, yang berperan pada pertahanan terhadap bakteri intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan (Baratawidjaja, 2000). Proliferasi limfosit T oleh stimulasi mitogen
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (1) March 2004
merupakan teknik in vitro untuk melihat korelasi in vitro dan in vivo proses regulasi yang terjadi jika antigen bereaksi dengan limfosit hospes (Stites, 1984). Mekanisme proliferasi limfosit T diawal dengan pertemuan antigen dengan reseptor, yang selanjutnya mengaktivasi serangkaian reaksi yang mengaktivasi berbagai faktor sehingga sel-sel limfosit T mengalami mitosis (Bellanti, 1993). Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek sub kronis 2, 3, 7, 8 TCDD dengan dosis rendah yang diberikan setiap hari terhadap respon imun seluler terutama aktivitas proliferasi limfosit T terhadap stimulasi ‘Concanavalin-A’ (Con-A). Con-A merupakan mitogen lektin yang diekstrak dari tanaman Canavalia ensiformis, yang dapat berikatan dengan reseptor limfosit T dan menginduksi proliferasinya (Beffett, 1993).
MATERI DAN METODE Enam belas ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley umur 22,5 bulan, dengan berat badan 170-200 g (Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan/UHPHP, UGM) diadaptasi selama 1 minggu. Semua tikus dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 8 ekor. Setiap kelompok tikus dipelihara dalam kandang terpisah, diberi makan dan minum secara ad libitum. Kelompok I sebagai placebo diberi larutan salin yang disangga dengan fosfat (PBS) pH 7,2 secara oral dengan dosis 1 ml/kg bb/hari selama 60 hari. Kelompok II diberi 2, 3, 7, 8 tetrachlorodibenzop-dioxin (2, 3, 7, 8 TCDD; Promochem, Jerman) secara oral dengan dosis 35,0 mg/kg bb pada hari pertama dan 1,0 mg/kg bb/hari pada hari berikutnya selama 60 hari. Pada hari ke 30 dan 60, tiap kelompok diambil 4 ekor tikus secara acak untuk diambil darahnya. Pengambilan darah dilakukan melalui pleksus retroorbitalis dengan mikrohematokrit. Sampel darah diberi antikoagulan asam etilen diamina tetraasetat (EDTA; Merck) dengan dosis 0,5-2,0 mg/ml darah (Jain, 1986) untuk isolasi sel-sel limfosit. Isolasi sel-sel limfosit dilakukan dengan teknik densitas gradien, menggunakan Histopaque-1077 (Sigma) sesuai prosedur dari Barta (1993) dan Salasia et al. (1995). Sebanyak 3 ml darah yang mengandung
antikoagulan dialirkan melalui dinding tabung yang telah berisi 3 ml larutan Histopaque-1077. Tabung kemudian ditutup dan disentrifus dengan kecepatan 1800 rotation per minute (rpm) selama 30 menit pada suhu kamar, sehingga terbentuk empat lapisan berturut-turut dari bawah ke atas adalah eritrosit dan granulosit (polimorfonuklear), Histopaque-1077, ‘buffy coat’ dan cairan plasma. Cairan plasma dibuang dengan cara diaspirasi menggunakan pipet Pasteur, sedangkan sel-sel yang terdapat pada lapisan ‘buffy coat’ diambil dengan pipet Pasteur dimasukkan dalam tabung steril untuk diisolasi limfositnya. Sel-sel pada lapisan ‘buffy coat’ yang telah dipisahkan dalam tabung steril ditambah dengan 3 ml PBS pH 7,2 dan disentrifus dengan kecepatan 1600 rpm selama 10 menit pada suhu 18-200C. Supernatan hasil sentrifus dibuang, sedangkan endapannya ditambah lagi dengan PBS pH 7,2 dan disentrifus. dengan kecepatan yang sama. Pencucian endapan limfosit dengan PBS tersebut dilakukan tiga kali. Limfosit yang telah terpisah dilarutkan dalam medium kultur ‘rosewell park memorial institute-1640’ (RPMI-1640, Sigma). Larutan limfosit dihitung dengan menggunakan hemositometer (AO, Spencer, USA) sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi kira-kira 4x106 sel/ml (Chauvin et al., 1995). Viabilitas sel-sel limfosit dilihat dengan pewarnaan biru tripan (Sigma) 0,06% (Barta, 1993). Sel-sel yang hidup berwama transparan, dan sel yang mati akan menyerap warna biru. Sel-sel limfosit yang mempunyai viabilitas lebih dari 90% digunakan untuk uji aktivitas proliferasi terhadap stimulasi Con-A (Barta, 1993). Uji aktivitas proliferasi limfosit dilakukan dengan menggunakan plat mikrotiter 96 sumuran berdasar rata (Nunclon, Denmark), ke dalam setiap sumuran diisi 50 ml larutan limfosit. Stimulasi limfosit dilakukan dengan cara menambahkan 50 ml mitogen (1 mg/ml) ‘Concanavalin-A’ (Con-A; Sigma) ke dalam sumuran. Sebagai kontrol digunakan larutan limfosit yang ditambah dengan 50 ml medium kultur (RPMI1640). Plat mikrotiter kemudian ditutup dan diinkubasi dalam inkubator yang mengandung 5% C02 pada suhu 370C selama 72 jam. Setelah inkubasi, ke dalam setiap sumuran ditambah 20 ml reagen ‘celltiter 96 aqueous one solution’ (Promega), dan
The Intoxicationof the 2,3,7,8 Tetrachlorodibenzo-p-Dioxin in Rats (Susanti)
23
dimasukkan ke dalam inkubator kembali selama 4 jam. Aktivitas proliferasi limfosit ditentukan dengan cara membaca absorben larutan dengan menggunakan pembaca ELISA (Titertex, Finlandia, MCC/340, MK 11) pada panjang gelombang 490 nm (Anonimus, 1996; Chauvin et al., 1995). Parameter yang diukur menurut Barta (1993) adalah : Indeks proliferasi relatif : indeks stimulasi limfosit hewan yang diuji indek stimulasi hewan yang sehat
Hasil penghitungan indeks proliferasi relatif limfosit diolah secara statistik dengan analisis varians pola faktorial 2x2 dan dilanjutkan dengan uji T (Gill, 1978). HASIL DAN PEMBAHASAN Rerata indeks proliferasi limfosit tikus vang diberi TCDD tersaji pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian TCDD secara signifikan (P<0.05) menurunkan indeks proliferasi limfosit, tetapi lama waktu pemberian tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks proliferasi limfosit. Interaksi antara TCDD dan lama pemberian tidak memberikan pengaruh nyata. Dengan uji t menunjukkan bahwa indeks proliferasi limfosit kelompok tikus yang diberi TCDD selama 30 hari menurun (P<0.05) dibandingkan kelompok tikus nonTCDD (Tabel 1) Tetrachlorodibenzo-p-dioxin menginduksi imunotoksisitas melalui reseptor aryl hidrocarbon (Ah) (Dean dan Murray, 1991; Murray dan Thomas, 1992; Rosenthal dan Luster, 1994) dan tanpa melalui reseptor Ah (reseptor non Ah) (Rosenthal dan Luster, 1994). Target imunotoksisitas TCDD adalah epitel sel timus, sungsum tulang belakang, limfosit (Murray dan Thomas, 1992; Rosenthal dan Luster, 1994) dan makrofag (Rosenthal dan Luster, 1994). Efek imunotoksisitas TCDD pada limfosit adalah mengganggu proses maturisasi dan diferensiasi sel T (Dean dan Murray, 1991). Pemberian dosis tunggal 0,01 mg TCDD/kg bb/SC pada monyet akan menurunkan jumlah limfosit sel ‘helper T’ darah perifer (Pohjanvirta dan Tuomisto,
24
1994). Respon imunosupresif limfosit juga ditentukan oleh dosis pemberian. Pemberian 1,5 mg TCDD/kg bb/minggu pada monyet akan menurunkan persentase dan jumlah absolut sel ‘helper T’ darah perifer, tetapi dengan dosis 0,3 mg TCDD/kg bb/ minggu justru akan menginduksi peningkatan subpopulasi limfosit (Pohjanvirta dan Tuomisto, 1994). Senyawa TCDD berpengaruh menurunkan aktivitas proliferasi limfosit B dan limfosit T (Roeder et al., 1998; Pohjanvirta dan Tuomisto, 1994). Dua puluh anak dari 44 anak korban kecelakaan dioksin di Seveso, Italia menunjukkan penurunan respon proliferasi sel B dan sel T limfosit terhadap mitogen (Murray dan Thomas, 1992). Lebih lanjut, menurut Osweller et al. (1985), TCDD lebih berefek pada ‘cell mediated imunity’ (diperankan limfosit T) dari pada imunitas humoral (diperankan limfosit B). Pemberian TCDD akan menurunkan respon ‘cell mediated imunity’ seperti proliferasi limfosit terhadap stimuli mitogen, ‘delayed type hipersensitivity’, aktivitas TC dan aktivitas TH (Haschek dan Rouseaux, 1991). Mekanisme aksi TCDD pada penurunan respon proliferatif limfosit mungkin melalui reseptor Ah yang ditemukan pada limfosit (Rosenthal dan Luster, 1994). Salah satu produk komplek gen Ah adalah enzim ornitin dekarboksilase. Enzim tersebut menurunkan kecepatan sintesis poliamin yang sangat esensial untuk sintesis DNA, transkripsi dan translasi. TCDD akan menginduksi enzim tersebut, yang selanjutnya menurunkan kecepatan pertumbuhan dan diferensiasi limfosit (Haschek dan Rouseaux, 1991). Mekanisme penurunan aktivitas proliferasi limfosit kemungkinan juga secara reseptor non Ah, yaitu TCDD berefek langsung pada membran sel. Penurunan aktivitas proliferasi melalui mekanisme tersebut ditandai dengan menurunnya kadar dan aktivitas reseptor limfosit serta adanya gangguan ‘channel’ ion Ca2+ akibat TCDD (Landers dan Bunce, 1991). Pada penelitian ini, penurunan aktivitas proliferasi limfosit akibat TCDD mungkin dipengaruhi oleh adanya gangguan faktor-faktor yang berperan dalam proses proliferasi. Secara umum proses proliferasi terhadap stimulasi mitogen memerlukan dukungan beberapa faktor seperti reseptor antigen pada membran limfosit, channel ion Ca2+ membran,
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (1) March 2004
Tabel 1. Indeks proliferasi limfosit tikus yang diberi TCDD dengan dosis dan waktu yang berbeda terhadap stimulasi Con-A 0 µg TCDD/kg bb/p.o/hari (PBS) 5µg TCDD/kg bb/p.o/hari; 1 µg /kg bb/p.o/hari 30 hari 60 hari 30 hari 60 hari 0.7703 1.2099 0.1384 0,6179 0.9688 0.5999 0.0643 0,1184 2.0244 0.3699 0,0098 0.1996 0.2364 1.8200 0.1192 0.8175 0.9999±0.74 a 0.9899±0.65 a 0.0829±0.06 b Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0.05)
0.4384±0.33 ab
ab
dan aktivitas ‘mitogen activated protein’ (MAP) kinase (Pobjanvirta dan Tuomisto, 1994). Untuk mengetahui gangguan pada reseptor membran sel limfosit akibat TCDD perlu dikaji lebih lanjut. Penurunan aktivitas proliferasi kemungkinan juga disebabkan oleh induksi TCDD pada enzim ornitin dekarboksilase melalui reseptor Ah sehingga proliferasi limfosit terhambat (Haschek dan Rouseaux, 1991). Dari. uji t terlihat bahwa TCDD berpengaruh menurunkan aktivitas proliferasi (P<0.05) pada pemberian selama 30 hari, sedangkan pada pemberian selama 60 hari tidak berpengaruh. nyata (P>0.05) menurunkan proliferasi limfosit. Efek toksisitas TCDD selain ditentukan oleh dosis juga ditentukan oleh jangka waktu pemberian, cara pemberian dan pelarut TCDD (Pohjanvirta dan Tuomisto, 1994). KESIMPULAN Pemberian TCDD secara oral pada tikus dengan dosis permulaan 5mg/kg bb diikuti dengan 1 mg/kg bb/hari dapat menurunkan respon imun seluler terutama indeks proliferasi limfosit (P<0.05) terhadap stimulasi Con-A. Penurunan akfivitas proliferasi secara signifikan (P<0.05) terlihat pada pemberian TCDD selama 30 hari. Penurunan aktivitas proliferasi limfosit kemungkinan disebabkan oleh gangguan berbagai macam faktor yang terlibat dalam proses proliferasi, melalui reseptor Ah maupun reseptor non Ah. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof Dr. F. Grimm, LMU, Munchen, Germany dan Dr. drh.
Edi Boedi Santosa, yang telah membantu dalam pengadaan TCDD dan literatur. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1996. CellTiter 96 Aqueous One Solution Cell Proliferation Assay. Promega Corporation. USA.: 1 -10. Anonimus. 1999. Dioksin Ada di Sekitar Kita. Intisari. Edisi Agustus. PT. Intisari Meditama. Jakarta.: 22-30. Baratawidjaja, K.G. 2000. Imunologi Dasar. Edisi ke4. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Barrett, J.T. 1988. Textbook of Immunology. An Introduction to Immunochemistry and Immunobiology. 5 th Ed. Mosby Company. St. Louis. Missouri. Barta, 0. 1993. Monographs in Animal Immunology. Veterinary Clinical Immunology Laboratory. Vol 2. Bar-Lab. Inc. USA. Bellanti, J.A. 1993. Immunologi III. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh A. Samik Wahab). Chauvin, A., G. Bouvet and C. Boulard. 1995. Humoral and Cellular Immune Responses to Fasciola hepatica Experimental Primary and Secondary Infection in Sheep. Int. J. Parasitol. 25. : 12271241.
The Intoxicationof the 2,3,7,8 Tetrachlorodibenzo-p-Dioxin in Rats (Susanti)
25
Dean, J.H., and M.J. Murray. 199 1. Toxic Responses of the Immune System. In: Cassaret and Doull’s Toxicology. The Basic Science of Poison. M.O. Amdur, J. Doull, C.D. Klassen (eds). 4th Ed. Pergamon Press. Inc. New York.: 309-312 Feil, V.J. and R.L. Ellis. 1998. The USDA Perspective on Dioxin Concentrations in Dairy and Beef J. Anim. Sci. 76.: 152-159. Gill, B. D. 1978. Design and Analysis of Experiment in the Animals and Medical Sciencies. 1st Ed. Iowa States University Press. Ames. Hascheck, W.M. and C.G. Rousseaux. 1991. Handbook of Toxicology Pathology. Academic Press. Inc. San Diego. California. Jain, N.C. 1986. Schalm’s Veterinary Hematology. 4th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Landers, J.P. and N.J. Bunce. 1991. The Ah Receptor and the Mechanism of Dioxin Toxicity. Biochern J. 276.: 273-287. Murray, M.J. and P.T. Thomas. 1992. Toxic Consequence of Chemical Interaction with the Immune System. In: Principles and Practice of Immunotoxicology. K. Miller, J.L. Turk, S. Nickin and J.H. Dean (eds). Blackwell Scientific Publications. Boston.: 65-71.
Pohjanvirta, R. and J. Tuomisto. 1994. Short-Term Toxicity of 2,3,7,8 Tetrachlorodibenzo-pDioxin in Laboratory Animals: Effects, Mechanism and Animal Models. Pharmacol. Rev. 46.:483-532. Ray, RK. and A.K. Prasad. 1992. Immunotoxic and Other Health Effects of TCDD and Tocic Oil. In: Principles and Practice of Immunotoxicology. K. Miller, J.L. Turk, S. Nicklin, J.H. Dean. (eds). Blacwell Scientific Publications. Boston.: 251-256. Roeder, R.A., MJ. Garber and G.T. Schelling. 1998. Assessment of Dioxin in Foods from Animal Origin. J. Anim. Sci. 76.:142-15 1. Rosenthal, G.J. and M.I. Luster. 1994. Immunotoxicity and Inflammation. An Overview. In: Xenobiotics and Inflammation. L.B. Schook and D.L. Laskin. (eds). Academic Press. San Dieao. California.: 1-12, Salasia, S.I.O., C. Lammler and G. Herrmann. 1995. Properties of a Streplococcus suis Isolate of Serotype 2 and two Capsular Mutants. Vet. Microbiol. 45.: 151-1-56. Winarno, F.G. 1999. Ancaman Dioksin Bagi Keamanan Pangan dan Kesehatan Manusia. Seminar Nasional Dampak Pencemaran Dioksin Terhadap Produk Pangan. Fakultas Peternakan, Universitas Semarang. : 1- 13.
Osweiler, G.D., T.C. Carson, W.B. Buck and G.A. van Gelder. 1985. Clinical and Domestic Veterinary Toxicology. 3d Ed. Kendall/Hunt Publishing Company. Dubuque. Iowa.
26
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (1) March 2004