OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
QUO VADIS ARAH KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA? TANTANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEPENTINGAN NASIONAL (Bagian I)1 Oleh : HARI YULIANTO Arti Strategis Sumber Daya Perikanan Sumber daya ikan memiliki arti penting, baik sebagai sumber protein dan gizi pada makanan di banyak negara maupun kontribusinya yang semakin meningkat bagi keamanan pangan dunia.2 Sektor perikanan kiranya telah menjadi sumber protein utama bagi satu miliar umat manusia dan merupakan 5-10% persediaan pangan dunia.3 Dalam Deklarasi World Summit on Food Security November 2009, diprediksikan keharusan negara-negara untuk meningkatan output pertanian (termasuk ikan) sebesar 70% sampai dengan tahun 2050 guna menjamin pangan masyarakat dunia yang diperkirakan akan melebihi 9 miliar jiwa pada saat itu.4 Sumber daya ikan juga memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang sangat besar. FAO memperkirakan nilai perdagangan ekspor produk
perikanan pada 2009 sebesar 93,4 miliar sedangkan kegiatan Dollar AS5 penangkapan ikan dan aquaculture telah berperanan penting sebagai mata pencaharian langsung bagi sekitar 43,5 juta orang dan 4 juta orang secara tidak langsung (2006). Dari jumlah tersebut, diperkirakan 86 % dari nelayan-nelayan tersebut berada di kawasan Asia, terutama Cina yang menempati jumlah terbanyak terdiri atas 8,1 juta nelayan dan 4,5 juta petani ikan.6 Tantangan Pengelolaan Perikanan Dunia Terkait kegiatan penangkapan ikan, FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat kapal-kapal penangkap ikan bermesin sebanyak 2,1 juta, dimana 70%nya terkonsentrasi di Asia dan sisanya tersebar di Afrika, Eropa, Timur Dekat, Amerika Latin dan Karibia. 90% dari jumlah tersebut didominasi oleh kapal-kapal yang berukuran kurang dari 12 meter, khususnya
1. Materi tulisan dalam artikel ini merupakan Bagian Pertama dari keseluruhan Artikel “QUO VADIS ARAH KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA? TANTANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEPENTINGAN NASIONAL”, kelanjutan tulisan ini akan dimuat dalam edisi mendatang. 2. http://www.fao.org/fishery/topic/424/en 3. A Marine Environment and Tanker Safety Action Plan, G 8 Summit, Evian June 2003 4. Declaration of the World Summit on Food Security, Rome, 16-18 November 2009 5. FAO Food Outlook Global Market Analysis. http://www.fao.org/docrep/012/ak341e/ak341e01.htm#40 6. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008
5
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
di wilayah Asia, Afrika dan Timur Jauh, sedangkan kapal-kapal di kawasan Pasifik, Oceania, Eropa dan Amerika Utara umumnya terdiri dari kapal-kapal yang berukuran lebih besar.7 Kegiatan pengangkapan ikan yang telah dimulai secara global pada abad ke-20 didukung juga oleh penggunaan kapal bermotor, murahnya harga bahan bakar, penggunaan mesin pendingin, peningkatan pasar komoditas global, dan subsidi pemerintah bagi peningkatan armada kapal. Praktek-praktek penangkapan ikan secara negatif seperti penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) yang bersifat destruktif, serta pencemaran terhadap ekosistem laut, pada akhirnya telah mengubah lautan dunia dan memengaruhi sumber daya perikanan laut.8 Dalam kurun waktu 40 tahun, sejak 1950 – 1990, diperkirakan hasil tangkapan (total landings) perikanan laut meningkat lima kali lipat (Mace, 1997). Namun demikian, upaya penangkapan ikan tidak mampu mengimbangi permintaan yang semakin meningkat sementara banyak dari perikanan laut telah melampaui batas penangkapan (overfished). FAO memperkirakan dalam periode 1990 – 1997, konsumsi ikan meningkat sebesar 31% sementara pemenuhan dari tangkapan ikan hanya bertambah sebesar 9%. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan
OPINIO JURIS
tekanan pada usaha-usaha penangkapan ikan komersial. Diperkirakan bahwa hampir setengah dari seluruh perikanan laut telah tereksploitasi (FAO, 1999) dan 70% diantaranya membutuhkan pengelolaan segera.9 Ekosistem ikan juga mengalami krisis yang diakibatkan oleh polusi air dan degradasi habitat, dimana kapal-kapal melakukan pencemaran di laut dengan membuang sampah dan limbah serta terjadinya tumpahan minyak oleh kapal. Beberapa kasus penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang bersifat destruktif juga membawa akibat merugikan pada lingkungan laut. Penggunaan tropical shrimp trawling, misalnya, tidak hanya mampu menangkap ikan namun juga dapat mengakibatkan ikut terbawanya penyu laut sebagai bycatch.10 Para nelayan juga banyak menggunakan bottom trawling, yaitu penggunaan jaring besar yang ditebarkan hingga ke dasar laut sehingga menjaring tidak hanya ikan namun juga hewan laut dan organisme lainnya seperti terumbu karang dan mengancam keanekaragaman hayati (biodiversity) serta lingkungan laut.11 Selain masalah-masalah tersebut diatas, pengelolaan perikanan juga terkait dengan aspek politik dan keamanan negara, baik secara bilateral, regional, maupun internasional. Isu
7. Ibid. 8. The Future of Marine Fish Resources, December 2009 J. Emmett Duffy 9. James H. Tidwell & Geoff L. Allan, Ecological and economic impacts and contributions of fish farming and capture fisheries. http://www.nature.com/embor/journal/v2/n11/full/embor285.html 10. Global fisheries face the ecosystem challenge. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/aj982e/aj982e09.pdf 11. Conservation Science Institute. 2009. Destructive Fishing Practices. http://www.conservationinstitute.org/ocean_change/ Fisheries/destructivefishingpractices.htm.
6
OPINIO JURIS
keberlanjutan (sustainability) sumber daya kelautan kiranya telah menjadi tema geopolitik baru yang menjadi perhatian saat ini. Hal ini sejalan dengan meningkatnya Gross World Product dunia sebesar 60 triliun Dollar AS, yang tidak hanya membawa keuntungan berupa peningkatan harapan hidup (life expectancy) dan kesehatan publik secara keseluruhan, namun juga memiliki dampak negatif berupa berkurangnya/hilangnya biodiversity dunia dan sumber daya perikanan laut. Kecuali jika kita mengadaptasikan global politik dengan tantangan keberlanjutan, maka kita akan menisbikan harapan kesejahteraaan dan perdamaian di masa depan.12 Secara lebih luas, potensi konflik akan terjadi dalam hal persaingan atas sumber daya akibat perubahan iklim dan menipisnya sumber daya air baik secara kuantitas (digunakan untuk kebutuhan hidup) maupun secara kualitas (terkait kontaminasi sumber daya air, misalnya 80% perairan Cina tidak lagi aman bagi kehidupan ikan). Potensi ”wars over water” ini sejalan dengan meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, khususnya yang penghidupannya tergantung pada air, seperti di Asia Tenggara, India, dan Cina.13 Dalam konteks regional, pengelolaan perikanan dan lingkungan laut juga terkait dengan karakteristik geopolitik kawasan. Perdebatan
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
dan kepentingan atas Laut Cina Selatan, misalnya masih menjadi topik hangat hingga saat ini. Meskipun resiko terjadinya konflik telah menurun, namun demikian penetapan batas maritim dan klaim kedaulatan di kawasan ini masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Disetujuinya Philippines Baseline Bill oleh Kongres Filipina dan Presiden Arroyo pada 2009, misalnya, telah mendapat protes dari Cina, karena akan menutup Huangyan Island (Scarborough Shoal) dan memasukkan beberapa pulau Nansha (Spratly Islands) sebagai bagian wilayah Filipina. Cina dan Vietnam selanjutnya menyebut tindakan Filipina ini dapat mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan.14 Masih adanya tumpang tindih klaim batas maritim dari beberapa negara di kawasan Laut Cina Selatan, pada gilirannya telah mempengaruhi upaya pengelolaan laut, keselamatan dan keamanan pelayaran, perlindungan dan konservasi lingkungan laut, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan.15 Dalam ketiadaan batas maritim yang disetujui, upaya pengelolaan bersama (a cooperative management regime), dan dengan menghindarkan diri dari klaim yurisdiksi sepihak serta kepemilikan tunggal atas sumber daya kelautan, nampaknya menjadi solusi terbaik pada saat ini.16
12. Jeffrey Sachs, the New Geopolitics, Preventing wars and other strife will increasingly depend on facing the ecological consequences of our economic activities. 13. International Institute of Straregic Studies (IISS), 7th Global Strategic Review: "The New Geopolitics", written by: Brig. Gen. (rtd.) Dieter Farwick, Dr. Benedikt Franke, Philipp Hauenstein and Benedikt Wahler, 24-Sep-09 14. Sam Bateman, Commentary on Energy and Geopolitics in the South China Sea by Michael Richardson 15. Ibid. 16. Ibid.
7
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
Sehubungan dengan faktor keamanan pengelolaan perikanan, isu yang juga mengemuka dalam agenda kebijakan perikanan internasional adalah kegiatan illegal, unregulated and unreported fishing (IUU Fishing). Kegiatan IUU Fishing selain berdampak langsung pada biodiversity dan berkurangnya jumlah tangkapan ikan yang sah, juga berdampak tidak langsung terhadap keberlangsungan ekonomi dan sosial masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada perikanan serta merugikan industri perikanan yang menjalankan aturan yang ditetapkan oleh otoritas pengelolaan.17
waters under the jurisdiction of a State, without the permission of that State, or in contravention of its laws and regulations; conducted by vessels flying the flag of States that are parties to a relevant regional fisheries management organization but operate in contravention of the conservation and management measures adopted by that organization and by which the States are bound, or relevant provisions of the applicable international law; or in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating States to a relevant regional fisheries management organization.”20
Meningkatnya kegiatan IUU Fishing yang mengancam sumber daya perikanan dunia tersebut selanjutnya makin didorong oleh aktivitas kapal-kapal penangkap ikan yang menggunakan ”flags of convenience.18 19
Adapun Unreported fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang “which have not been reported, or have been misreported, to the relevant national authority, in contravention of national laws and regulations; or undertaken in the area of competence of a relevant regional fisheries management organization which have not been reported or have been misreported, in contravention of the reporting procedures of that organization”21
Dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate lllegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001 disebutkan bahwa Illegal fishing merupakan kegiatan yang “conducted by national or foreign vessels in
17. Carl-Christian Schmidt, Addressing Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing 18. The Rome Declaration on the Implementation of the Code of Conduct for Responsible Fisheries, adopted by the FAO Ministerial Meeting on Fisheries, Rome, 10-11 March 1999 19. Sebuah kapal dikatakan menggunakan “flag of convenience” jika ia terdaftar di suatu negara asing “dengan tujuan mengurangi biaya operasi atau menghindari peraturan pemerintah” The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition. Houghton Mifflin Company. 2004. http://dictionary.reference.com/browse/flag%20of%20convenience. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 menyatakan dalam Pasal 94 bahwa Negara Bendera memiliki yurisdiksi terkait masalah administrasi, teknis dan sosial kapal serta masalah kondisi perburuhan dan seaworthiness. Selanjutnya berdasarkan instrumeninstrumen internasional pasca UNCED, Negara bendera bertanggungjawab atas ketaatan kapal terhadap ketentuan manajemen dan konservasi perikanan internasional, termasuk di laut lepas. Namun demikian beberapa negara menggunakan “open registers” hanya demi menarik keuntungan, yaitu dengan tidak mengambil langkah positif untuk memenuhi tanggungjawab ketaatan Negara Benderanya terkait kapal perikanannya. Banyak dari negara-negara ini tidak menjadi anggota atau bekerjasama dengan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang telah mengadopsi ketentuan manajemen dan konservasi internasional. Hal ini telah menjadi faktor pendorong bagi kapal-kapal perikanan untuk membeli ”flag of convenience” dari negara open registry yang tidak melakukan tanggung jawab ketaatan negara Bendera atas kapal-kapal perikanannya. FAO Corporate Document Repository, Title : Fishing vessels operating under open registers and the exercise of flag state…. http://www.fao.org/docrep/005/Y3824E/y3824e04.htm
8
OPINIO JURIS
Sementara Unregulated fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan “in the area of application of a relevant regional fisheries management organization that are conducted by vessels without nationality, or by those flying the flag of a State not party to that organization, or by a fishing entity, in a manner that is not consistent with or contravenes the conservation and management measures of that organization; or in areas or for fish stocks in relation to which there are no applicable conservation or management measures and where such fishing activities are conducted in a manner inconsistent with State responsibilities for the conservation of living marine resources under international law”. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut, kegiatan penangkapan ikan unregulated tertentu dapat berlangsung “in a manner which is not in violation of applicable international law, and may not require the application of measures envisaged under the International Plan of Action”22 Guna menggambarkan besarnya akibat IUU Fishing, FAO memperkirakan bahwa pada beberapa sektor perikanan yang penting, IUU Fishing dapat mencapai 30% dari keseluruhan tangkapan perikanan. Dalam satu kesempatan, FAO pernah mengindikasikan bahwa tangkapan ikan dari IUU Fishing dapat mencapai tiga kali lebih banyak dari level tangkapan yang diperbolehkan.23
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Selanjutnya pada awal 2009, Bank Dunia dan FAO juga menerbitkan laporan yang berjudul “The Sunken Billions“ untuk menggambarkan inefisiensi sektor perikanan. Laporan tersebut menghitung selisih antara keuntungan ekonomi potensial dan aktual perikanan global sebesar 50 miliar Dollar AS per tahun, sehubungan dengan hilangnya keuntungan akibat IUU Fishing. Diperkirakan pula bahwa total kerugian ekonomi global sektor perikanan dalam 30 puluh tahun terakhir adalah sebesar 3 triliun Dollar AS, tidak termasuk kerugian “human security risks”.24 Perkembangan Instrumen Hukum dan Institusi Internasional Pengelolaan Perikanan Instrumen-instrumen hukum internasional terkait dengan pengelolaan perikanan tersebut di atas, kiranya perlu terlebih dahulu merujuk pada awal perkembangan hukum laut modern. Hugo Grotius (15831645) telah meletakkan prinsip Mare Liberum (freedom of the seas) yang menyatakan bahwa setiap negara bebas menggunakan laut, termasuk sebagai jalur perdagangan. Prinsip tersebut memperoleh perlawanan dari John Selden (1584-1654), yang berpendapat bahwa laut dapat menjadi dominion dan property dari suatu negara seperti halnya darat, atau yang dikenal dengan prinsip Mare Clausum. Dalam perkembangannya kemudian, konsep kebebasan di laut ini lebih mendapat
20. 21. 22. 23.
http://www.imcsnet.org/imcs/docs/international_poa.pdf Ibid Ibid. David J. Doulman, "A General Overview of some Aspects of Illegal, Unreported and Unregulated Fishing" (FAO Fisheries Report No. 666, FIPL/R666), FAO, Rome 2001. http://www.oecd.org/document/5/0,3343,en_2649_33901_21007109_1_1_1_37401,00.html 24. Edward H Allison, Ingrid Kelling, Fishy crimes: the societal costs of poorly governed marine fisheries.
9
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
tempat sebagai hukum kebiasaan internasional di bidang hukum laut.25
tekanan atas sediaan ikan akibat semakin intensifnya metode penangkapan ikan.27
Paska Perang Dunia II, terdapat kesadaran untuk melakukan pemutakhiran dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional. Guna maksud tersebut maka diadakan Konferensi Hukum Laut I pada 1958 yang kemudian menghasilkan empat Konvensi yang dikenal dengan “Konvensi Jenewa 1958”. Konvensi tersebut meliputi the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone; the Convention on the High Seas; the Convention on the Continental Shelf; dan the Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas.26
Dalam Konferensi III Hukum Laut, the Sea Bed Committee mengungkapkan tiga pendekatan terkait dengan perikanan. Pertama, negara-negara berkembang menginginkan yurisdiksi yang luas bagi negara pantai atas perikanan (suatu ide yang kemudian berkembang dalam proposal mengenai Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE). Kedua, Amerika Serikat dan Kanada, mengusulkan pendekatan manajemen perikanan berdasarkan karakteristik migrasi spesies yang berbeda, dimana spesies ikan yang bermigrasi jauh akan diatur oleh organisasi perikanan internasional. Ketiga, Jepang dan Uni Soviet memilih status quo, yaitu menginginkan sedikit perubahan dari rezim yang ada, dan berpendapat bahwa negaranegara pantai/berkembang seharusnya menikmati hak-hak preferensial dalam perairan yang dekat dengan pantainya.28
Dalam perkembangannya, Konvensi Jenewa 1958 mendapat pertentangan keras dari negara-negara pantai. Pada 1970an terdapat ketidakpuasan negara-negara berkembang atas rezim perikanan yang ada, sehubungan dengan fakta bahwa kapalkapal dari distant developed states, yang dilengkapi dengan teknologi terbaru, melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas yang jauh dari pantainya. Pada saat yang sama, beberapa negara maju menyuarakan hal yang sama, terkait dengan keinginan mereka untuk memperoleh akses yang lebih besar atas sumber daya perikanan dan ketidakpercayaan atas kemampuan komisi perikanan internasional untuk mengatur penangkapan ikan ditengah
Ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 mengenai perikanan memang pada akhirnya merefleksikan pendekatan yang pertama dari negara-negara berkembang, namun demikian elemen-elemen pendekatan spesies dapat pula ditemukan.29 ”Kompromi kepentingan” tersebut misalnya terdapat dalam Pasal 64 UNCLOS 1982 sebagai berikut:
25. William Tetley, International Maritime and Admiralty Law, International Shipping Publication, Les Editions Yvon Blais Inc, 2002, hal 630-631. 26. Ibid. 27. RR Churchill and A.V Lowe, the Law of the Sea, Juris Publishing Manchester University Press 1999, hal 288. 28. Ibid. 29. Ibid.
10
OPINIO JURIS
The coastal State and other States whose nationals fish in the region for the highly migratory species listed in Annex 1 shall cooperate directly or through appropriate international organizations with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such species throughout the region, both within and beyond the exclusive economic zone. In regions for which no appropriate international organization exists, the coastal State and other States whose nationals harvest these species in the region shall cooperate to establish such an organization and participate in its work.30 Prinsip kebebasan menangkap ikan di laut lepas memang diakui sebagai salah satu prinsip yang dijamin dalam kebiasaan hukum internasional, the Geneva Convention on the High Seas, dan Bagian VII UNCLOS 1982. Prinsip ini misalnya dapat dirujuk dalam putusan arbitrasi Behring Sea Fur Seals (1893) yang menolak klaim Inggris atas kapasitasnya untuk menahan kapal Amerika Serikat yang melakukan penangkapan fur seal di laut lepas, berdasarkan peraturan perlindungan dan konservasi.31 Namun demikian, tarik menarik antara kebebasan menangkap ikan dan kebutuhan penerapan aturan konservasi di laut lepas, sebagaimana diilustrasikan dalam kasus laut Behring tersebut, kiranya telah menjadi kunci dalam memahami dua perkembangan hukum
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
penting yang terjadi hingga saat ini. Pertama, adanya perubahan aturan mengenai perikanan di laut lepas oleh regional treaties untuk menjamin konservasi, pembangunan sediaan ikan (fish stocks), dan distribusi hasil laut yang lebih adil. Kedua, perluasan yurisdiksi perikanan nasional oleh negara pantai sampai dengan 200 mil dari garis batas laut teritorial, atau yang dikenal dengan zona ekonomi eksklusif.32 Bagi negara-negara berkembang yang berpantai, perluasan laut wilayah sejauh 200 mil laut merupakan reaksi atas prinsip kebebasan di laut dari kapal-kapal penangkap ikan negaranegara maritim besar yang mengarungi semua lautan dan samudera dan melakukan kegiatan-kegiatannya di laut-laut dekat perairan nasional negara-negara pantai. Selanjutnya, dikarenakan negara-negara pantai tersebut merasa lebih berhak dari negara-negara lain telah memutuskan untuk mencadangkan kekayaan-kekayaan laut yang berdekatan dengan perairannya untuk kesejahteraan rakyat mereka.33 Dengan demikian, konsepsi ZEE merupakan manifestasi dari usaha-usaha negara-negara pantai untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam sumber kekayaan yang terdapat di zona laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut wilayahnya.34
30. Article 64 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 31. Oppenheim’s International law, Ninth Edition 1996, Edited by Sir Robert Jennings QC and Sir Arthur Watts KCMG QC, Volume 1, Longman, hal 757. 32. Ibid. 33. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Edisi ke-2 , Penerbit PT Alumni, 2005 hal 359 34. Ibid.
11
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Pengaturan lebih lanjut upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas diatur dalam Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. Pengaturan ini bertujuan menjamin negara-negara bendera kapal untuk melakukan pengawasan atas kapal-kapalnya yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan mengharuskan kapal-kapal tersebut memiliki izin (authorized) untuk menangkap ikan dan mematuhi ketentuan konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi perikanan regional.35 Selanjutnya, isu konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan yang terkait dengan UNCLOS 1982, diatur dalam Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocsk and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement) 1995.36 Jenis ikan yang beruaya terbatas (Pasal 63 UNCLOS) merupakan jenis ikan yang beruaya antara ZEE suatu negara dan ZEE negara lain, sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Sementara jenis ikan yang beruaya jauh
OPINIO JURIS
(Pasal 64 UNCLOS) merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera. Oleh karenanya terdapat kemungkinan terjadinya konflik kepentingan antara negara pantai dengan negara penangkap ikan jarak jauh, khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di laut lepas yang berbatasan dengan ZEE. Dengan demikian, kerjasama internasional dianggap sebagai solusi paling baik untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik tersebut.37 Hingga saat ini, terdapat 13 Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) diseluruh dunia. Pada kawasan Samudera Atlantik terdapat North-West Atlantic Fisheries Organization (NAFO), North-East Atlantic Fisheries Convention (NEAFC), North Atlantic Salmon Conservation Organization (NASCO), International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Fishery Committee for the Eastern Central Atlantic (CECAF), Western Central Atlantic Fishery Commission (WECAFC), dan South-East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO). Pada kawasan Mediterania terdapat General Fisheries Council for the Mediterranean (GFCM), Samudera Hindia memiliki Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Blufin Tuna (CCSBT), serta Antartic mempunyai Commission for the Conservation
35. Pasal III 36. Pasal II 37. Naskah Urgensi dan Konsekuensi Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocsk and Highly Migratory Fish Stocks.
12
OPINIO JURIS
of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR). Sementara itu, di Samudera Pasifik dapat pula dijumpai Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). Masalah-masalah pengelolaan perikanan yang timbul di laut bebas, misalnya: overutilized, unregulated fishing, over-capitalization, excessive fleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear, dan unreliable databases. Langkah-langkah yang ditempuh RFMO misalnya memutuskan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan besarnya alokasi para pihak, kewajiban para pihak untuk memberikan informasi ilmiah dan data tangkapan (CCSBT),38 memperhatikan kondisi dan kecenderungan sediaan, mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan sediaan dan perikanan, mengadopsi langkahlangkah konservasi dan pengelolaan berdasarkan bukti ilmiah, memberikan salinan peraturan nasional yang berlaku terkait konservasi dan pengelolaan sediaan (IOTC),39 memelihara daftar kapal ikan yang sah melakukan kegiatan penangkapan, menilai dampak penangkapan ikan pada sediaan dan non-target spesies, serta mencegah terjadinya over fishing dan excess fishing (WCPFC).40
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Terkait dengan ancaman IUU Fishing, instrumen hukum internasional terkait diantaranya adalah International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001dan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2009.Salah satu aturan terpenting dalam instrumen tersebut adalah kewajiban negara pihak untuk menolak pelabuhannya digunakan untuk melayani kegiatan pendaratan, transshipping, pengepakan dan pemrosesan, refueling, dan resupplying, terhadap kapal yang diduga terlibat dalam kegiatan IUU Fishing.41 Selanjutnya, negara pihak juga harus mematuhi ketentuan minimal inspeksi atas kapal-kapal yang diduga melakukan kegiatan IUU Fishing.42 Quo Vadis Kebijakan Perikanan Indonesia: Tantangan Hukum dan Kepentingan Nasional Peranan sektor perikanan bagi bangsa Indonesia juga sangat besar. Indonesia adalah negara kepulauan, dengan 2/3 (dua pertiga) wilayahnya berupa laut. Lebih dari 60% masyarakat Indonesia hidup di wilayah pesisir dengan mata pencaharian dari laut. Mereka bukan saja para nelayan atau para pembudidaya ikan, tetapi juga yang berhubungan tidak langsung dengan laut seperti pedagang atau jasa-jasa lainnya. Pada wilayah pesisir dan pantai tersebut terdapat lebih dari 100 juta penduduk Indonesia bermukim.43
38. Pasal 5 dan Pasal 8 ayat 3 Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. 39. Pasal 5 dan Pasal 11 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission. 40. Pasal 5 dan Pasal 24 Convention on the Conservation and Management of High Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean 41. Pasal 11 Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2009 42. Ibid Pasal 12 dan Pasal 13 43. Menjaring Suara Dari Laut, Majalah Maritim Indonesia.
13
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Wilayah nusantara juga merupakan daerah yang cocok bagi kegiatan pemijahan ikan, salah satunya berada pada wilayah perairan ZEE Indonesia yaitu pada perairan selatan Jawa dan Bali (8º LS - 50ºLS), dimana ikan tuna sirip biru melakukan pemijahan pada bulan September – April.44 Secara geografis, wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan terbesar dan teragam di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km. Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang mengapit wilayah Indonesia, juga membawa pengaruh bagi biodiversity laut terluas di dunia dan terumbu karang yang menopang berlimpahnya sediaan ikan yang beragam.45 Dalam perspektif politis dan keamanan, wilayah Indonesia yang luas dan berada di jalur transportasi dunia membawa dampak bagi banyaknya kapal-kapal asing yang lalu lalang (atau bahkan melakukan pencurian sumber daya ikan) dan berpotensi melakukan pencemaran lingkungan. Perkiraan besarnya kerugian yang dialami Indonesia akibat kegiatan IUU Fishing adalah sebesar 2 (dua) miliar Dollar AS46 belum termasuk rusaknya sumber daya perikanan dan ekosistem biota laut. Kegiatan IUU Fishing ini pada gilirannya telah memengaruhi nelayan-nelayan lokal, skala kecil dan menengah, yang tidak mampu bersaing dengan operator IUU Fishing karena penggunaan teknologi yang 44. 45. 46. 47. 48.
14
OPINIO JURIS
lebih canggih. Dengan demikian, nelayan tidak mengalami peningkatan taraf hidup dan bahkan makin bertambah miskin.47 Industri perikanan nasional juga belum terlihat ”gregetnya” meskipun Pemerintah telah mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun kemajuan industri perikanan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum dapat meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan dan sistem penegakan hukum yang optimal.48 Sejumlah inisiatif telah diambil, diantaranya dengan mengadopsi sejumlah ketentuan internasional yang diharapkan dapat memperbaiki situasi pengelolaan dan pelestarian perikanan nasional. Saat ini, Indonesia telah menjadi pihak pada dua RFMO yang ada, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Blufin Tuna (CCSBT), serta menjadi cooperating nonmembers pada Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC). Dalam perkembangannya kemudian, Indonesia juga berperan aktif mengusulkan agar IUU Fishing juga masuk sebagai kejahatan lintas
Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. Aji Sularso, the Impacts of Illegal, Unreported Fishing, TIAMLEW II, Nusa Dua-Bali, 23 – 26 March 2010. SADC Marine Fisheries Ministerial Conference to Stop Illegal Fishing, Windhoek, Namibia, 2-4 July 2008. Ibid. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Bagian Menimbang butir b.
OPINIO JURIS
batas dalam kerangka United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, mengingat sifatnya sebagai kejahatan serius bersanding dengan money laundering, smuggling of migrants dan terorisme. Namun demikian, Pemerintah dan segenap stakeholders perikanan perlu tetap kritis terhadap perkembangan pengaturan internasional pasca penandatanganan UNCLOS 1982, sehubungan dengan pengelolaan dan
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
pemanfaatan sumber daya kelautan khususnya perikanan. Produk hukum serta institusi yang dihasilkan pada hakekatnya merupakan produk politik kepentingan banyak pihak, oleh karena itu titik tolak yang seharusnya digunakan adalah titik tolak yang bertumpu pada dan menguntungkan bagi kedaulatan hukum yang bermuara pada kepentingan nasional Indonesia. Masalahnya adalah titik tolak itu harus diterjemahkan pada kebijakan apa yang harus diambil Indonesia. Quo Vadis?
15