Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
PERBAIKAN MANAJEMEN USAHA AYAM KAMPUNG SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN KELUARGA PETANI DI PEDESAAN (Management Improvement of Native Chicken Farming as One of Family Income Sources in Rural Areas) ROOSGANDA ELIZABETH dan S. RUSDIANA 1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A.Yani. No. 70. Bogor
[email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
ABSTRACT Native chicken of Indonesia is a potential animal genetic resources to be developed. Opportunities for raising chicken is very large based on agro-ecosystems and environment. This is also due to rising incomes and improve awareness of the importance of quantity, quality and safety of the food. This paper aims to describe raising native chickens comprehensively in rural areas based on several management systems to achieve optimal benefit. Raising native chicken is considered valuable to do.The need for increased technology, animal health, capital assistance, as well as marketing aspect may improve native chicken performance at the farmer’s level. Key Words: Improved Management, Native Chicken, Income, Rural, Farmers ABSTRAK Ayam Kampung merupakan plasma nutfah Indonesia yang sangat potensial untuk dikembangkan. Peluang usaha ternak ayam Kampung sangat luas ditinjau dari agroekosistem dan lingkungan hidup, seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kuantitas dan kualitas bahan pangan yang bergizi dan aman dikonsumsi. Makalah ini bertujuan untuk menyajikan secara komprehensif usaha pemeliharaan ternak ayam Kampung di pedesaan dengan berbagai manejemen usaha untuk mencapai keuntungan yang optimal. Pemeliharaan ternak ayam Kampung dinyatakan layak untuk diusahakan. Masih diperlukan adanya peningkatan teknologi pemeliharaan, kesehatan ternak, bantuan permodalan dan pemasaran guna meningkatkan produksi dalam usaha ternak ayam Kampung. Kata Kunci: Perbaikan Manajemen, Ayam Kampung, Pendapatan, Petani, Pedesaan
PENDAHULUAN Pembangunan peternakan terus dilanjutkan melalui peningkatan usaha diversifikasi, intensifikasi ternak, didukung oleh usaha pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi. Perhatian khusus perlu diberikan pada pengembangan peternakan rakyat secara berkesinambungan. Ayam Kampung merupakan plasma nutfah Indonesia yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena secara geografis sangat mendukung dengan penyebaran populasi hampir di seluruh pedesaan di Indonesia. Tujuan petani dalam pemeliharaan ayam Kampung di pedesaan hingga saat ini masih beragam, bergantung
kepada keadaan sosial ekonomi pemelihara serta keadaan lingkungan sekitarnya. Peluang usaha ternak ayam Kampung sangat luas ditinjau dari agroekosistem dan lingkungan hidup, seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kuantitas dan kualitas bahan pangan yang bergizi dan aman dikonsumsi. Keadaan tersebut berpengaruh pada peningkatan konsumsi produk ternak berupa daging, telur dan susu yang aman, sehat, unggul dan halal (ASUH), mendukung pemenuhan gizi dan kesehatan masyarakat menuju sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Ketersediaan dan terpenuhinya berbagai produk ternak merupakan kontribusi
93
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
nyata subsektor peternakan dalam pembangunan pertanian nasional. Produksi ayam Kampung yang masih jauh dibawah permintaan juga merupakan peluang bagi peningkatan dan pengembangan pengusahaannya, dimana sebagian besar (72,5%) ketersediaannya masih berasal dari ayam ras. Kontribusi daging ayam Kampung (tahun 2008) sekitar 16,1% dibandingkan dengan daging ayam ras sekitar 42,4% terhadap penyediaan daging nasional (DITJENNAK, 2008), yang menurun menjadi sekitar 11% pada tahun 2010 (DITJENNAK, 2010). Daging ayam Kampung lebih disukai konsumen karena dinilai lebih baik mutunya dan lebih padat, rasanya lebih gurih, kandungan lemak dan kolestrol lebih rendah, dan kandungan protein tinggi (WELSH, 1995). Selain tingginya permintaan konsumen, beberapa keunggulan dari ayam Kampung adalah tingginya preferensi konsumen terhadap daging dan telurnya karena dapat dikonsumsi semua lapisan masyarakat, telurnya dapat dibuat sebagai campuran obat dan jamu kesehatan. Harga produk ayam Kampung relatif stabil, pemasaran mudah, daya adaptasinya tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan dan mampu hidup dengan kondisi pakan yang rendah kandungan nutrisinya. Dari berbagai pengalaman dan hasil penelitian selama ini tercermin bahwa berbagai pengaruh lingkungan melakukan interaksi membentuk kreativitas, sikap dan motivasi pemeliharaan ayam Kampung. Produktivitas ayam Kampung dalam kondisi pedesaan pada umumnya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat dan teknik pemeliharaan masih sederhana dan belum memperhatikan cara beternak yang baik. Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan secara lebih komprehensif usaha pemeliharaan ternak ayam Kampung di pedesaan berdasarkan manjemen usaha untuk mencapai keuntungan yang optimal. AKTUALISASI, DESKRIPSI RINGKAS, KERAGAAN DAN NILAI SOSIAL EKONOMI TERNAK AYAM KAMPUNG Ayam Kampung dapat ditemukan di seluruh Indonesia dan merupakan salah satu jenis ternak unggas lokal yang umumnya dipelihara petani di pedesaan sebagai penghasil
94
telur tetas, telur konsumsi, dan daging. Selain itu, usaha ini dapat dilakukan secara sambilan, mudah dipelihara dengan teknologi sederhana, dan sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi keperluan ekonomi keluarga yang mendesak (RASYID, 2002). Jenis ternak unggas ini mempunyai prospek yang menjanjikan, baik secara ekonomi maupun sosial, karena merupakan bahan pangan bergizi tinggi serta permintaannya cukup tinggi. Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam Kampung masing-masing mencapai 40 dan 30%, diyakini dapat mendorong peternak kecil dan menengah untuk mengusahakan ayam Kampung sebagai penghasil daging dan telur. Asal usul ayam Kampung menurut HUTT dan JULL dalam (MANSJOER, 1989) adalah terdapatnya 4 spesies ayam hutan (digolongkan genus Gallus) yaitu: ayam hutan merah, ayam hutan Ceylon, ayam hutan abu-abu, dan ayam hutan hijau, yang dijinakkan lalu dipelihara dan dikembangbiakkan menjadi ayam piaraan yang kemudian disebut ayam Kampung. Ayam Kampung di masa sekarang adalah ternak unggas yang sangat bervariasi jenisnya antara lain ayam Nunukan, ayam Kedu, ayam Pelung, ayam Bangkok dan lain-lain yang semuanya dapat dipelihara dengan sistem tradisional. Jenis ayam Kampung yang diusahakan sebagai penghasil telur adalah ayam Kampung asli ayam Nunukan, ayam Kedu putih, ayam Kedu hitam, ayam Pelung dan jenis lainnya. Dari jenis tersebut produksi telur tertinggi adalah yang dihasilkan oleh ayam Kedu hitam, Kedu putih, Nunukan, Pelung dan ayam sayur. Terdapat tiga sistem pemeliharaan usaha ayam Kampung, yaitu: 1. Sistem ekstensif (tradisional) yang umum dilakukan rumahtangga petani di pedesaan, tidak dikandangkan, keseimbangan kebutuhan nutrisi pakan dicukupi secara alami dengan sumber daya yang tersedia di lingkungan sekitarnya, belum memperhatikan aspek teknis dan perhitungan ekonomis. 2. Sistem semi intensif, sudah disediakan kandang/pagar di sekitar ayam berkeliaran, dilakukan penyapihan anak dan induk ayam, diberi pakan tambahan 3. Sistem intensif, dimana ayam sudah dikandangkan sepanjang hari, diberi pakan dan pencegahan penyakit dilakukan teratur dan intensif.
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Pemeliharaan secara intensif lebih menguntungkan dibandingkan dengan secara ekstensif, yang mencerminkan pemeliharaan ayam Kampung dapat dikembangkan sebagai usaha ekonomi (RASYID, 2002). Faktor penghambat adalah relatif kecilnya skala usaha dan kemampuan serta rendahnya investasi sehingga peternak tidak mampu bersaing dengan usaha lain yang berbahan baku sama. Pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas membuat peternak hanya melakukan usaha budidaya, sehingga sangat lemah dalam perolehan bahan baku pakan, pengembangan usaha dan pemasaran. Merosotnya pengusahaan dan produksi ayam Kampung antara lain disebabkan oleh: tujuan pemeliharaan belum spesifik sebagai petelur atau pedaging, potensi genetik yang relatih rendah, pemeliharaan dan pemberian makan masih tradisional; berkembangnya pengusahaan ayam ras sebagai ternak introduksi yang bersifat sistem usaha intensif; semakin sempitnya lahan untuk tempat pemeliharan; makin pesatnya pengembangan lahan untuk pemukiman; pengembangannya sangat tergantung pada profit margin yang diperoleh peternak; serta adanya larangan pemerintah karena merebaknya bahaya virus penyakit ayam (flu burung/Avian Influenza) bagi manusia bila dipelihara di pemukiman padat penduduk (BIYATMOKO, 2003). MANAJEMEN USAHA AYAM KAMPUNG Untuk memulai usaha ternak ayam Kampung dapat dimulai dengan membeli DOC dan melakukan seleksi sampai dengan ayam mulai bertelur. Hal lain dapat juga dilakukan dengan membeli ayam dara (umur sekitar 20 minggu), dan membeli ayam yang sudah berproduksi (sekitar 7 bulan). Manajemen pakan yang diberikan untuk pakan ternak ayam Kampung tidak sesulit memelihara ayam broiler, layer, itik/bebek atau juga burung puyuh (AHMAD, 2011). Untuk mencapai produksi maksimal harus memperhatikan dan menjaga pakan yang diberikan. Pakan untuk ayam Kampung yang sudah berproduksi setidaknya mengandung protein 15% dan energi metabolis antara 2.800 – 2.900 kkal/kg (AHMAD, 2011). Dengan menggunakan komposisi campuran konsentrat
ayam layer dan dedak halus dengan perbandingan 1:4 sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ayam Kampung yang sedang berproduksi. Sangat dianjurkan dalam pemeliharaan induk untuk memberikan hijauan yang dicacah/dicincang kecil-kecil seperti tauge/kecambah, kangkung, bayam, selada air dan rumput-rumputan sebagai sumber vitamin dan mineral. Pemberian hijauan yang dianjurkan 0,75 – 1,5 kg/100 ekor. Permasalahan dalam pengembangan ayam Kampung di pedesaan antara lain masih rendahnya produksi dan produktivitas ayam Kampung, yang disebabkan karena masih kecilnya skala usaha (pemilikan induk betina kurang dari 10 ekor), mortalitas tinggi, pertumbuhan lambat, produktivitas ayam buras rendah akibat produksi telur rendah, berkisar antara 30 − 40 butir/tahun, dan biaya pakan tinggi (ZAKARIA, 2004). Produksi telur ayam Kampung yang dipelihara secara tradisional berkisar antara 40 − 45 butir/ekor/tahun, karena adanya aktivitas mengeram dan mengasuh anak yang lama, yakni 107 hari (BIYATMOKO, 2003; SARTIKA, 2005; SULANDARI et al., 2007). Untuk meningkatkan populasi, produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha ayam Kampung, pemeliharaannya perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (ZAKARIA, 2004). Pengembangan ayam Kampung secara semi intensif dan intensif dengan pemberian pakan yang berkualitas serta pencegahan dan pengendalian penyakit, terutama tetelo (ND), cacingan, dan kutu, cukup menguntungkan (USMAN, 2007). Perbaikan tata laksana pemeliharaan dari tradisional ke intensif dapat meningkatkan daya tetas sampai 80%, frekuensi bertelur menjadi 7 kali/tahun, dan menurunkan kematian hingga 19% (SARTIKA, 2005). Usaha ternak ayam Kampung skala mikro di pedesaan Pada masa sekarang ini, dimana kondisi perekonomian dan bisnis yang tidak menentu, keinginan untuk merintis suatu jenis usaha umumnya terkendala oleh keterbatasan modal dan ketiadaan kepemilikan aset yang dapat dijadikan agunan. Usaha peternakan ayam Kampung dapat dipertimbangkan untuk
95
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
menjadi salah satu alternatif usaha sebagai penerimaan pendapatan keluarga. Beberapa kelebihan yang dapat diperoleh dengan memulai usaha peternakan ayam Kampung, seperti: 1. Modal kecil 2. Cara pemeliharaan mudah 3. Dapat dilakukan sebagai usaha sambilan. Beberapa langkah dalam usaha beternak ayam Kampung secara sederhana, antara lain: 1. Mengawali dengan memelihara jenis ayam Kampung yang sudah cukup umur (6 bulan) sebaiknya dua ekor (jantan dan betina). Bila hanya mampu satu ekor, sebaiknya memilih ayam betina karena ayam pejantannya dapat ditemukan di peternak di lingkungan sekitar 2. Menyediakan kandang sederhana, selain untuk tempat ayam berteduh dan istirahat di malam hari juga untuk tempat bertelur dan mengerami (sekitar 3 minggu) bila sudah waktunya bertelur 3. Jika telurnya sudah menetas, memisahkan anak ayam dari induknya, supaya induk ayam di alam bebas agar cepat bertelur kembali 4. Memelihara anak ayam dengan intensif terpisah dari induk dan diberi tempat makan dan tempat minum yang dicampur dengan serbuk vitamin ayam, serta diberi penghangat (cukup dengan lampu listrik sekitar 5 watt) 5. Memandikan, induk ayam dari kepala sampai kakim cepat bertelur (untuk merangsang supaya cepat subur kembali) 6. Menjual ayam dan hasilnya dipakai sebagai modal untuk membuat kandang yang layak (ukuran 70 cm x 140 cm dengan empat ruang bertingkat dua membutuhkan biaya sekitar Rp. 200 – 300 ribu/kandang (BIYATMOKO, 2003). Dalam beternak sangat dianjurkan untuk memilih sistem pemeliharaan secara semi intensif atau intensif. SURYANA dan ROHAENI. (2006) melaporkan bahwa pemeliharaan ayam Kampung secara intensif memberikan keuntungan terbesar bagi peternak. Setelah produksi berjalan, beberapa pertimbangan dalam menjual dalam bentuk telur atau DOC meliputi:
96
1.
2.
Menjual dalam bentuk telur tidak ada risiko, karena tidak perlu menunggu dalam waktu yang lama Menjual dalam bentuk DOC memang nilai jualnya jauh lebih tinggi (bahkan bisa tiga kali lipat dari harga telur), tetapi memiliki risiko dari gagal menetas, kualitas DOC, pemasaran DOC, dan membutuhkan waktu dan perawatan sekitar 3 minggu. PRODUKTIVITAS DAN REPRODUKTIVITAS AYAM KAMPUNG DI PEDESAAN
Sistem perkawinan dan peran ayam Kampung Pemberian pakan yang tidak seimbang baik kualitas maupun kuantitasnya akan menurunkan produktivitas dan reproduktivitas ayam Kampung. Tingkat produktivitas dan reproduktivitas ayam Kampung beragam, bergantung pada sistem pemeliharaan dan keragaman individu (SARTIKA, 2005). Ayam Kampung umumnya memiliki kebiasaan berkeliaran sepanjang hari di alam bebas dan mencari makan pada timbunan sampah, selokan, tepi saluran air dan jalan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kinerja reproduksi yang menurun secara nyata akibat perkawinan in breeding secara terus-menerus. Ayam Kampung memiliki peran cukup penting bagi masyarakat pedesaan, yaitu sebagai penghasil telur, daging, anak, kotoran (untuk pupuk), dan bulu, serta sumber tambahan penghasilan dan sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat dijual (SAPURIA, 2006). Usaha beternak ayam Kampung di daerah transmigrasi Provinsi Jambi dapat memberikan tambahan pendapatan rumah tangga petani, walaupuan dilakukan secara tradisional. Pemeliharaan ayam Kampung dalam kandang secara terbatas, dengan menerapkan teknologi perbaikan pakan, perlakuan fisik, inseminasi buatan, dan penetasan baterai dan diumbar mampu meningkatkan keuntungan 2 − 2,70 kali lebih tinggi dibandingkan dengan model pemeliharaan yang hanya memproduksi telur konsumsi.
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Ayam Kampung dapat berkembang dengan baik pada berbagai tipologi lahan, seperti lahan gambut dan pasang surut, karena pada lahan tersebut tersedia pakan berupa serangga dan cacing sebagai sumber protein (GUNAWAN dan SUNDARI, 2003). Produktivitas ayam Kampung tidak berbeda pada berbagai tipologi lahan, karena lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Produksi telur ratarata berkisar antara 6 − 14 butir/periode bertelur (clutch) dan daya tetas 20 − 100% (SULANDARI, 2007). Seperti halnya ayam Kampung yang dipelihara petani di Pulau Jawa, produksi telur masih rendah, berkisar antara 30 − 50 butir/tahun. Rendahnya produksi disebabkan oleh lamanya periode mengasuh anak dan istirahat bertelur (BIYATMOKO, 2003). Periode istirahat bertelur sekitar 3 − 4 kali/tahun, dengan produksi telur tiap periode bertelur 10 − 15 butir. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, pemeliharaan ayam Kampung secara intensif pada kandang baterai, skala pemeliharaan 50 − 100 ekor, dan dengan tata laksana pemberian pakan yang baik, mampu menghasilkan telur 20 − 30 butir/periode bertelur. Ketinggian tempat atau topografi juga mempengaruhi produktivitas ayam Kampung. Pada dataran rendah dengan suhu lingkungan tinggi, produksi telur dan konsumsi pakan menurun. Produksi telur tertinggi dicapai pada suhu lingkungan yang optimal, karena energi yang dikeluarkan untuk pengaturan panas menjadi minimal. Produksi telur ayam Kampung di dataran tinggi rata-rata mencapai 607,60 butir/tahun, bobot telur 42,70 g, daya tetas 76,80%, bobot badan 197,90 g, dan bobot karkas 60,40% (NATAAMIDJAJA et al., 1990). Produktivitasnya di dataran rendah lebih rendah. Produksi telur rata-rata 455,50 butir/tahun, bobot telur 38,80 g, daya tetas 79,20%, bobot badan sampai umur 6 minggu 177,29 g, dan persentase karkas 53,70%. Di dataran tinggi (680 m dpl.) ayam Kampung mampu menghasilkan telur 10,15 butir/periode bertelur, dengan daya tetas 92,20%, bobot badan anak 108,71 g, serta bobot badan jantan dan betina muda masing-masing 530,06 g dan 470,09 g. Pada dataran rendah (190 m dpl.), produksi telur 10,22 butir/ periode bertelur, daya tetas 78%, bobot badan anak 91,26 g,
serta bobot badan jantan dan betina muda masing-masing 508,07 g dan 496,56 g. (GUNAWAN dan SUNDARI, 2003). Pemeliharaan secara intensif memberikan hasil lebih baik dimana bobot badan jantan dan betina umur 5 bulan, produksi telur, frekuensi bertelur, daya tunas, dan daya tetas yang lebih tinggi, sementara konversi pakan dan mortalitas lebih rendah dibandingkan dengan cara tradisional dan semi intensif. Pemeliharaan ayam Kampung secara intensif di Desa Bollangi, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan oleh 30 peternak dengan skala pemeliharaan 125 ekor, dan 50 peternak semi intensif dengan jumlah 150 ekor, lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara tradisional. Keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah Rp. 1.118.625 dan Rp. 872.912 (RASYID, 2002). Pada pemeliharaan ayam Kampung sistem eram asuh dan eram pisah selama 6 bulan, keuntungan yang diperoleh dapat mencapai sebesar Rp. 16.887,90. Jalur pemasaran ayam Kampung Telur dan daging ayam Kampung memiliki pangsa pasar tersendiri. Hal ini ditunjukkan oleh harganya yang melebihi telur dan daging ayam ras serta banyak konsumennya. Ayam Kampung yang diperdagangkan sebagian besar (70 − 90%) merupakan ayam Kampung muda (ZAKARIA, 2004). Pemasaran anak ayam Kampung di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat hanya dilakukan bila ada pemesanan, dengan harga telur dan ayam di tingkat peternak masing-masing 10 − 20% dan 5 − 10% lebih murah dari harga pasar (GUNAWAN dan SUNDARI, 2003). Jalur pemasaran ayam Kampung adalah: dari peternak, pedagang keliling, pedagang pengumpul, pedagang besar/poultry shop dan konsumen (JUARINI et al. dalam GUNAWAN dan SUNDARI, 2003). Sementara itu, PRAHMADIYA (1999) menyatakan, jalur pemasaran ayam Kampung di Desa Wangunjaya, Kecamatan Cisaga, Kabupaten Ciamis dimulai dari peternak (100%), pengumpul desa (70%), pengumpul wilayah (49%), pengumpul antar wilayah (49%) dan pengecer atau pengumpul desa (30%).
97
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
PERAN TEKNOLOGI GUNA PERBAIKAN MANAJEMEN Peningkatan kualitas dalam usaha ternak ayam Kampung Teknologi pemeliharaan merupakan faktor yang menentukan dalam usaha ayam Kampung. Teknologi ini meliputi: teknologi perbibitan, pakan, dan pengendalian penyakit. Teknologi perbibitan usaha peningkatan produktivitas ayam Kampung dapat dilakukan melalui perbaikan sistem pemeliharaan, pakan, pengendalian penyakit, dan perbaikan mutu genetik. Secara sederhana, perbaikan mutu genetik dapat dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap sifat-sifat yang dikehendaki dan kawin silang (crossing). Pemanfaatan keragaman genetik dilakukan untuk meningkatkan produksi telur dan mengurangi sifat mengeram (SARTIKA, 2005), sedangkan persilangan dapat meningkatkan produksi telur dan mempercepat pertumbuhan daging. Ketersediaan dan dukungan teknologi spesifik lokasi, antara lain teknologi perbibitan, pakan, dan pengendalian penyakit, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ayam Kampung. Untuk meningkatkan efisiensi usaha tani ayam Kampung, sebaiknya pemeliharaannya dilakukan secara semi intensif atau intensif, perbaikan kualitas dan kuantitas pakan, dengan skala pemeliharaan ditingkatkan, vaksinasi ND dan pencegahan penyakit lainnya secara teratur, serta sanitasi kandang dan lingkungan. Sanitasi kandang dan lingkungan dapat dilakukan dengan desinfeksi dan fumigasi secara teratur untuk mencegah timbulnya penyakit yang dapat merugikan dan menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi. Persilangan antara ayam Pelung jantan (G2) dan ayam Kampung betina umur 15 minggu menghasilkan bobot badan 1.700 g/ekor, lebih tinggi dibandingkan dengan ayam Kampung dan Pelung pada umur yang sama, masing-masing 875 g dan 1.460 g/ekor. (GUNAWAN dan SARTIKA, 2000). Menurut IRIYANTI et al. (2007), tolok ukur keberhasilan usaha perbibitan ayam buras adalah fertilitas, daya tetas telur, dan kualitas anak ayam yang dihasilkan. Kualitas telur yang baik akan menghasilkan daya dan kualitas tetas yang tinggi. YUWANTA (1997) mengemukakan bahwa keberhasilan perbibitan ayam
98
Kampung, selain ditentukan oleh kualitas induk, telur tetas yang dihasilkan, dan gizi yang dikonsumsi induk, juga oleh nilai gravitasi spesifik. Nilai gravitasi spesifik diharapkan dapat menjadi parameter seleksi terhadap telur sebelum ditetaskan, sehingga daya tetasnya tinggi dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Telur yang tidak menetas dapat digunakan sebagai telur konsumsi. Nilai gravitasi spesifik yang tinggi meningkatkan daya tetas telur ratarata menjadi 91,67%, sedangkan pada nilai gravitasi spesifik yang rendah, daya tetas telur rata-rata hanya 53,05% (YUWANTA, 1997). SURYANA dan ROHAENI (2006) membandingkan perkawinan alami dan IB pada ayam Kampung yang dipelihara secara semi intensif dan intensif di Desa Rumintin Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Hasil kajian menunjukkan bahwa produksi telur, fertilitas, daya tetas, dan mortalitas DOC hasil lB berturut-turut mencapai 23,35; 80,90; 45,94 dan 13,70%, sedangkan melalui perkawinan alami produksi telur, fertilitas, daya tetas dan mortalitas DOC, masing-masing 21,73; 76,30; 27,28 dan 27,10%. Penggunaan IB pada ayam Merawang dengan ulangan waktu IB yang berbeda dilaporkan RAHAYU et al. (2007), dimana ulangan waktu IB yang lebih cepat (4 hari) menghasilkan fertilitas dan daya tetas rata-rata masing-masing 85,02 dan 79,27%, lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan waktu IB 7 dan 10 hari. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan SURYANA dan ROHAENI (2007), bahwa fertilitas telur hasil IB lebih tinggi dibandingkan dengan perkawinan alami. Teknologi pakan Faktor utama penyebab kegagalan model pengembangan ternak ayam Kampung adalah rendahnya kandungan protein pakan dan kurangnya kesadaran peternak dalam melaksanakan pengendalian penyakit, terutama ND, cacingan, dan kutu (GUNAWAN, 2003). Upaya optimalisasi produksi ayam Kampung salah satunya dapat dilakukan dengan perbaikan pakan dan membuat pakan murah dengan tetap memperhatikan kandungan zatzat nutrien di dalamnya (MURYANTO et al., 1994). Penyusunan pakan ayam Kampung pada prinsipnya sama dengan pakan ayam ras, yaitu
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
membuat pakan dengan kandungan gizi sesuai dengan kebutuhan ayam agar pertumbuhan daging dan produksi telur sesuai dengan yang diharapkan (SINURAT, 1999). Pemberian pakan dengan tingkat protein kasar 17% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg, menghasilkan konsumsi pakan 64,629 g/ekor/90 hari, pertambahan bobot badan 92,25 g/ekor, bobot telur 40,02 g, konversi pakan 6,43, dan hen day production 30,64%, dengan Income Over Feed Cost (IOFC ) Rp. 18.068,196, serta Rp. 14.770 – Rp. 25.094. Penggunaan probiotik dalam pakan menghasilkan tingkat produksi telur 1.089 butir/50 ekor/10 minggu, konsumsi ransum 286 kg 150 ekor/10 minggu, konversi pakan 6,10 − 7,30, dan pendapatan atas biaya pakan Rp. 153.000 (GUNAWAN dan SUNDARI, 2003). Ayam Kampung tergolong efisien dalam menggunakan imbangan energi metabolis, masing-masing 3.200 kkal/kg dan protein kasar 17%. Pemberian pakan dengan kandungan protein kasar 14,60 dan 18% tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur. Pemberian pakan dengan energi metabolis 2.800 − 2.900 kkal/ kg dan protein kasar 17% pada ayam buras umur 16 − 18 bulan selama pemeliharaan 90 hari, menghasilkan konsumsi pakan 63.717 − 64.692 g/ekor, bobot telur 40,02 − 41,57 g, konversi pakan 4,87 − 6,43, hen day production 30,69 − 35,47%, dan IOFC Rp. 18.068 − Rp48.899 (ISKANDAR et al. (2000) dalam GUNAWAN (2003). Pemberian campuran pollard 5% dan duckweed 15% dalam pakan ayam buras umur 6 − 12 minggu dapat meningkatkan bobot badan akhir (780,44 − 906,53 g), bobot karkas (501,67 − 563,33 g), dan persentase karkas 66,49 – 69,35% (ARIEF, 2000). Penelitian terdahulu oleh RUSMANA et al. (2002) dengan suplementasi 4% minyak ikan dan 2% minyak jagung dengan 200 ppm ZnCO3 dalam pakan memberikan efek terbaik terhadap produksi dan imbangan asam omega 3 dan 6 dalam telur. Pemberian ampas sagu dan eceng gondok yang difermentasi dengan Trichoderma harzianum sebanyak 7,50 − 30% dalam pakan ayam Kampung betina umur 14 minggu, menghasilkan pertambahan bobot badan 425,99 − 514,60 g, konversi pakan 9,11 − 9,84, bobot hidup 807,67 − 898,21g, dan persentase karkas 52,77 − 62,67% mengemukakan bahwa pemberian ampas sagu
dan eceng gondok yang difermentasi dengan Trichoderma harzianum sebanyak 7,50 − 30% dalam akan pakan ayam buras betina umur 14 minggu, menghasilkan pertambahan bobot badan 425,99 − 514,60 g; konversi pakan 9,11 − 9,84, bobot hidup 807,67 – 898,21 g; dan persentase karkas 52,77 − 62,67%. Penggunaan ampas tahu kering 5 − 10% menghasilkan bobot badan akhir 1.370 − 1.380 g, pertambahan bobot badan 99,28 − 113,75 g/ekor/minggu; konsumsi pakan 454,87 − 468,07 g/ekor/ minggu; konversi pakan 4,41 − 4,70; dan mortalitas 6,67 − 13,33% (USMAN, 2007). UHI dan USMAN (2007) mengemukakan bahwa paket teknologi integrasi ayam buras dan jagung dalam rangka meningkatkan ketersediaan pakan di Koya Tengah, Kecamatan Muaratami, Kota Jayapura lebih menguntungkan dibandingkan dengan paket teknologi nonintegrasi. ANALISA USAHA PEMELIHARAAN INDUK AYAM KAMPUNG Analisis ekonomi dilakukan sebagai gambaran usaha ternak ayam Kampung yang dihitung berdasarkan usaha selama satu tahun. Estimasi untuk mendapatkan keuntungan yang optimal di arahkan untuk menghasilkan telur dan induk afkir. Beberapa asumsi kematian induk diperkirakan 2% dan telur busuk atau rusak 5% 1. Bibit ayam Kampung yang dipelihara terdiri dari 100 ekor induk betina dengan 13 induk pejantan 2. Biaya pembuatan kandang diabaikan karena bahan kandang cukup tersedia dan murah 3. Tenaga kerja diabaikan karena sifat usaha ini adalah usaha sampingan, sehingga menggunakan tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa jumlah pendapatan yang diperoleh mencapai Rp. 18.401.400 dengan biaya produksi sebesar Rp. 15.818.600. Keuntungan yang diperoleh mencapai Rp. 2.582.800 selama setahun, dengan nisbah R/C sebesar 1,16. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ternak ayam Kampung layak untuk diusahakan. Setiap penambahan biaya sebesar Rp. 1 akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp. 1,16.
99
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Tabel 1. Analisis ekonomi usaha ayam Kampung untuk produksi telur (Rp./tahun) Uraian
Volume
Jumlah (Rp.)
Bibit ayam betina umur rata-rata 4 – 6 bulan bobot badan 0,7/kg @ Rp. 35.000/ekor
100 ekor
3.500.000
Bibit ayam jantan umur rata-rata 4 – 7 bulan bulan bobot 0,8 kg @ Rp. 50.000/ekor
13 ekor
650.000
Biaya pakan 0,4 gram/hari @ Rp. 700
6.498 kg
11.548.600
Pembelian obat-obatan
1 paket
120.000
Biaya produksi
Jumlah biaya produksi
15.818.600
Pendapatan Produksi telur 120 butir/ekor/tahun @Rp. 1.200./butir
11.172 butir
13.406.400
Penjualan ayam betina afkir rata-rata umur 10 – 12 @ Rp. 40.000/ekor
98 ekor
3.920.000
Penjualan ayam jantan rata-rata umur 10 – 12 @ Rp. 75.000/ekor
13 ekor
975.000
Hasil penjualan kotoran ayam
1 paket
100.000
Jumlah pendapatan
18.401.400
Keuntungan bersih/tahun
2.582.800
Keuntungan bersih/bulan
215.233,33
R/C rasio
1,16
KESIMPULAN Peluang untuk usaha ternak ayam Kampung sangat luas ditinjau dari agroekosistem dan lingkungan hidup, seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kuantitas dan kualitas bahan pangan yang bergizi dan aman di konsumsi. Usaha pemeliharaan ternak ayam Kampung dinilai layak untuk diusahakan oleh peternak. DAFTAR PUSTAKA AHMAD, M. 2011. Peluang Usaha Ayam Kampung penghasil telur tetas. Akubelajarbisnis.blog spot.com/.../usaha-ternak-ayam-kampung.html (6 Juni 2012). ARIEF, D.A. 2000. Evaluasi Ransum yang Menggunakan Kombinasi Pollard dan Duckweed terhadap Persentase Berat Karkas, Bulu, Organ dalam, Lemak Abdominal, Panjang Usus dan Sekum Ayam Kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
100
BIYATMOKO. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam buras dan upaya perbaikannya di pedesaan. Makalah Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 8 – 9 Desember 2003. BPTP Kalimantan Selatan, Banjarbaru. hlm. 1 − 10. DITJENNAK. 2008. Statistik Peternakan Departemen Pertanian RI. hlm. 119. DITJENNAK. 2010. Statistik Peternakan Kementerian Pertanian RI. hlm. 123. GUNAWAN dan M.M.S. SUNDARI. 2003. Pengaruh penggunaan probiotik dalam ransum terhadap produktivitas ayam. Wartazoa 13(3): 92 − 98. GUNAWAN, B. dan T. SARTIKA. 2000. Persilangan ayam Pelung jantan x kampung betina hasil seleksi generasi kedua (G2). JITV 6(1): 21 – 27. IRIYANTI, N. ZUPRIZAL, T. YUWANTA dan D.S. KEMAN. 2007. Penggunaan vitamin e dalam pakan terhadap fertilitas daya tetas dan bobot tetas telur ayam Kampung. J. Anim. Prod. 9(1): 36 − 39.
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
MANSJOER, S.S. 1989. Pengkajian Sifat-sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangannya. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanain Bogor, Bogor. NATAAMIDJAJA, G., H. RESNAWATI, T. ANTAWIDJAYA, I. BAREHILLA dan D. ZAINUDDIN. 1990. Produktivitas ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. J. Ilmu dan Peternakan 4(3): 283 − 286. PRAHMADIJA, D. 1999. Analisis Pemasaran Ayam Buras di Kabupaten Ciamis. Studi Kasus di Kelompok Peternak “Wangi Saluyu” Desa Wangunjaya Kecamatan Cisaga. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. RAHAYU, I.H. SUHERLAN dan I. SUPRIYATNA. 2007. Kualitas telur tetas ayam Merawang dengan waktu pengulangan inseminasi buatan yang Berbeda. J. lndon. Trop. Anim. Agric. 30(3): 142 − 150. RASYID, T.G. 2002. Analisis perbandingan keuntungan peternak ayam buras dengan sistem pemeliharaan yang berbeda. Bull. Nutrisi dan Makanan Ternak 3(1): 15 − 22. RUSMANA, D.A., BUDIMAN dan D. LATIFUDIN. 2002. Pengaruh suplementasi minyak ikan, minyak jagung dan ZnCO3 dalam ransum terhadap produksi telur dan kandungan asam omega 3 dan 6 PUFA telur ayam Kampung. J. Ilmu Ternak 2(1): 1 − 7. SAPURIA. A. 2006. Evaluasi Program Intensifikasi Penangkaran Bibit Ternak Ayam Buras di Kabupaten Pandeglang. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. SARTIKA. T. 2005. Peningkatan Mutu Bibit Ayam Kampung melalui Seleksi dan Pengkajian Penggunaan Penanda Genetik Promotor Pralaktin dalam Mas Market Assiated Selection untuk Mempercepat Proses Seleksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SINURAT, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum ayam Buras. Wartazoa 9(1): 12 − 20. SULANDARI, S., M.S.A. ZEIN, S. PRIYANTI, T. SARTIKA, M. ASTUTI, T. WIDJASTUTI, E. SUJANA, I. SETIAWAN dan G. GARNIDA. 2007. Sumber Daya Genetik Ayam Lokal Indonesia. dalam Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia, Bogor. hlm. 45 − 104. SURYANA dan E.S. ROHAENI. 2006. Upaya perbaikan sistem usaha tani ayam buras dengan teknologi inseminasi buatan di lahan kering (Desa Rumintin, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan). Pros. Seminar Nasional Lahan Kering. BPTP Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. hlm. 65 − 70. USMAN. 2007. Potensi ampas tahu sebagai pakan ternak pada usaha pembesaran ayam buras berorientasi agribisnis. Pros. Seminar Nasional dan Ekspose. Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Jayapura, 5 − 6 Juni 2007. hlm. 253 − 261. WELSH, J.L. 1995. Combaining technology and management to establish a modern animal husbandry industry. Makalah Seminar Nasional Industri Peternakan. Jakarta, 12 Oktober 1995. YUWANTA, T. 1997. Hubungan nilai gravitasi spesifik terhadap kualitas dan daya tetas telur ayam Kampung. Bull. Peternakan 21(2): 88 − 95. ZAKARIA, S. 2004. Pengaruh luas kandang terhadap produksi dan kualitas telur ayam buras yang dipelihara dengan sistem litter. Bull. Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1): 1 − 11.
101