ISSN 1410-1939
VARIASI SOMAKLONAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KERAGAMAN GENETIK UNTUK PERBAIKAN SIFAT TANAMAN [SOMACLONAL VARIATION AS A SOURCE OF GENETIC VARIABILITY FOR THE IMPROVEMENT OF PLANT CHARACTERISTICS]
Ahmad Riduan Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 Abstract Somaclonal variation is a tool used by plant breeders in their breeding program especially in vitro plant breeding. Major factors affecting the variation within progenies regenerated from tissue culture are: 1) organ growth stage, 2) plant genotype, 3) growth regulators, and 4) explant source. New varieties have been developed through somaclonal variation, but a number variants can not be chosen due to a number of factors: 1) all variants are negative, 2) positive properties turn into negative, 3) resulted variation is not novelties, or 4) resulted variation is not stable upon selfing or crossing. Somaclonal variation is found to be cheaper compared to other methods of genetic modification. Today this technique is widely used and needs no specific procedure. Somaclonal variation is more successful to be applied on plants with limited and/or narrow genetic base because this technique may provide genetic variability in short time. Key words: plant breeding, tissue culture, in vitro culture, plant genetic improvement.
PENDAHULUAN Kultur jaringan tanaman merupakan teknologi yang memungkinkan membantu para pemulia tanaman dalam memperbanyak tanaman (Karp, 1995). Teknik ini juga digunakan untuk meningkatkan kecepatan atau efisiensi proses pemuliaan, meningkatkan aksesibilitas terhadap plasma nutfah, dan mengkreasi variasi baru untuk perbaikan tanaman (Scowcroft et al., 1985). Hal tersebut termasuk mikropropagasi, kultur anther (Karp, 1995), seleksi in vitro (Moon et al., 1997), penyelamatan embrio (embryo rescue), variasi somaklonal (Maralappanavar et al., 2000), hibridisasi somatik (Thrope, 1990), dan transformasi (Walden dan Wingender, 1995). Dalam hal ini, variasi somaklonal menduduki posisi yang unik, karena keuntungan dan kerugiannya dalam sistem kultur jaringan. Tanaman yang diregenerasikan secara kultur in vitro melalui sel somatik sering berbeda fenotip dengan tanaman awal. Fenomena ini akhirnya disebut variasi somaklonal (Larkin, 1987). Analisis turunan menunjukkan bahwa variasi somaklonal adalah perubahan genetik walaupun perubahan DNA somaklon sampai sekarang masih terus dipelajari. Perubahan variasi genetik merupakan komponen yang esensial dalam program pemuliaan tanaman. Variasi somaklonal digunakan untuk memperoleh tanaman potensial dengan sifat-
sifat yang diinginkan, tetapi variasi ini justru tidak dikehendaki dalam kultur jaringan (sebagai perbanyakan aseksual) karena dapat meningkatkan variabilitas terutama untuk tanaman transgenik (Utomo et al., 1996). Sejak tahun 1961 telah dilaporkan adanya ketidakstabilan galur yang diregenerasikan dengan kultur jaringan, yang diekspresikan oleh keragaman morfologi, kariotipe, biokimia, dan taraf molekuler (Scowcroft, 1984). Basis variasi somaklonal belum sepenuhnya dimengerti dengan baik, meskipun rearensemen kromosom, aktifitas tronsposon endogenus, perubahan status metilasi DNA, dan mutasi mungkin merupakan faktor-faktor yang berkontribusi (Thrope, 1990). Keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan diperkirakan sebagai penyebab variasi somaklonal (Heinze dan Schmidt, 1995). Dengan demikian perubahan genetik tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi gen seperti biasa terjadi akibat proses persilangan (crossing). Keragaman pada eksplan disebabkan adanya sel-sel bermuatan maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu. Variasi somaklonal tidak muncul sebagai fenomena yang sederhana, dan mungkin merefleksikan perbedaan-perbedaan pre-existing cellular genetic atau keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan (Thrope, 1990). Keragaman genetik yang ter-
107
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
jadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusi, endomitosis), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan perubahan sitoplasma (Griffiths et al., 1993). Melalui teknik kultur jaringan ini terdapat dua hal yang berbeda kepentingannya bagi pamuliaan tanaman yaitu mempertahankan kestabilan genetik dan merangsang keragaman genetik. Kestabilan genetik dapat dicapai dengan mendorong sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi (fase kalus sel bebas), sedangkan keragaman genefik dapat dicapai dengan fase tak berdiferensiasi yang relatif panjang (Wattimena dan Mattjik, 1992). Khusus untuk keperluan transformasi genetik, variasi somaklonal dihindari selain dengan periode singkat pengkalusan sel bebas, juga dengan menggunakan jaringannya semi-organized, misalnya eksplan dan dengan introduksi DNA secara langsung ke dalam jaringan meristimatik atau kalus yang dihasilkan dari kultur antera (Walden dan Wingender, 1995) Variasi somaklonal pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu perubahan suatu karakter yang diwariskan yang disebabkan oleh berubahnya pembawa sifat menurun (inherited trait) baik pada tingkat DNA atau gen yang disebut juga mutasi kecil atau mutasi titik, maupun pada tingkat kromosom yang disebut juga mutasi besar. Oleh karena itu, mekanisme kejadiannya hampir sama dengan efek mutagenesis konvensional (radiasi) (Maluszynski et al., 1995), yakni bersifat acak dan keragaman yang dihasilkan nya dapat bermanfaat atau kurang bermanfaat, bahkan mungkin rnerugikan. Dugaan variasi somaklonal ini diketahui dari variasi tanaman yang luas yang dihasilkan dari protoplas dan kultur eksplan kentang, tebu, padi, dan jagung (Karp, 1995). Pada tahun 1983, Ahloowalia (1985) melaporkan bahwa pada beberapa tanaman terjadi keragaman sifat kuantitatif seperti hasil biji, tinggi tanaman, resistensi, fertilitas polen, dan kandungan protein. Bentuk-bentuk variasi somaklonal pada tanaman dapat digunakan untuk mengetahui perubahan sifat secara genetik. Fenomena variasi somaklonal tersebut dapat ditunjukkan oleh daun tanaman yang mengalami albino, tanaman menjadi kerdil (pendek), male sterility, perubahan bentuk dan warna daun. batang, bunga. ukuran umbi, ketajaman dan varigasi daun, dan lain-lain (Norton dan Skirvin, 1997; Sinaga, 1998). Dengan demikian, variasi somaklonal adalah sebuah teknik yang dapat digunakan oleh pemulia tanaman. Pertanyaannya adalah di mana teknik ini dapat diaplikasikan dengan lebih efektif dan apa faktor penghambat serta pendukungnya sehingga
108
dapat berhasil. Lebih lanjut akan dibicarakan penggunaan variasi somaklonal terhadap introgresi hibrid dan untuk seleksi in vitro dari tanaman yang mengekpresikan peningkatan toleransi terhadap cekaman lingkungan.
SEBERAPA JAUH VARIASI SOMAKLONAL SEBAGAI ALAT (TEKNIK) DAPAT DIANDALKAN? Pertanyaan ini dapat dibagi menjadi tiga pertanyaan: 1) apakah kultur in vitro selalu meningkatkan variasi?, 2) apakah variasi yang berguna selalu berubah (recovered)?, dan 3) apakah variasi somaklonal dapat dimanfaatkan untuk semua spesies tanaman? Apakah kultur in vitro selalu meningkatkan variasi? Tidak selalu dapat dikatakan bahwa kultur in vitro akan meningkatkan variasi. Kanyataannya, sejumlah faktor dapat diidentifikasi apakah berpengaruh atau tidak terhadap variasi yang dihasilkan dan seberapa banyak variasi yang dihasilkan. Faktor-faktor tersebut adalah: 1) tingkat pertumbuhan awal organ meristematik, 2) konstitusi genetik material awal, 3) zat pengatur tumbuh di dalam medium kultur, dan 4) sumber jaringan atau eksplan (Karp, 1995). Tingkat pertumbuhan awal organ meristematik. Pertumbuhan di dalam kultur dapat terjadi dari meristem yang sudah dibentuk atau dari bentuk yang tidak teratur sebagai kalus yang dihasilkan, dari embriogenesis somatik atau organogenesis. Tingkat pertumbuhan awal organ merupakan elemen kunci dalam variasi somaklonal, diduga bahwa dalam pertumbuhan yang tidak teratur, terjadi penahanan (pengurangan) pembatasan yang bertindak untuk mengeleminasi variasi genetik dalam meristem normal atau karena adanya mekanisme induksi ketidakstabilan genetik. Di pihak lain, semakin besar tingkat pertumbuhan organ dan semakin lama waktu yang digunakan tumbuh di media, maka semakin besar perubahan yang terjadi sebagai hasil variasi somaklonal. Konstitusi genetik material awal. Banyak bukti mengindikasikan bahwa variasi somaklonal tergantung pada genotipe tanaman darimana eksplan berasal. Pada tahun 1982, McCoy telah meneliti pengaruh faktor genetik eksplan pada dua kultivar oat, dimana salah satu kultivar memberikan frekuensi keragaman jumlah kromosom yang lebih tinggi dibanding dengan kultivar lainnya (Larkin, 1987). Genotipe merupakan faktor penting di da-
Ahmad Riduan: Variasi Somaklonal sebagai Salah Satu Sumber Keragaman Genetik.
lam menimbulkan variasi somaklonal, karena genotipe dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi dan frekuensi variasi somaklonal yang terjadi (Karp, 1995). Elemen genotipik merupakan aspek penting untuk identifikasi, karena pemulia tanaman yang menggunakan variasi somaklonal sebagai alat dalam galur atau kultivar tertentu dan untuk mengetahui apakah genotipe sebagai penentu variabilitas. Ploidi material awal merupakan salah satu faktor variasi somaklona1, Shepard et al. sebagaimana diacu oleh Sutjahjo (1994), mencatat terjadinya frekuensi keragaman genotipe yang tinggi dari kultivar kentang Russet Burbank. Diperoleh ketidakstabilan kromosom pada regeneran yang poliploid dibandingkan dengan diploid atau haploid. Sun et al. sebagaimana diacu oleh Sutjahjo (1994), membandingkan besarnya frekuensi ploidi tanaman regenerasi in vitro dari 18 varietas padi. Ditemukan adanya multiploidi pada varietas indica sedangkan pada varietas japonika tidak ditemukan. Menurut Karp (1995), Mutasi gen akan mempunyai ekspresi yang lebih baik pada tanaman haploid dan diploid. Beberapa genom dapat lebih tidak stabil dibanding tanaman yang lainnya. Perbandingan suspensi sel diploid, tetraploid, hexaploid gandum memperlihatkan bahwa sel yang diploid lebih stabil dan yang heksaploid paling rendah kestabilannya (Winfield et al., 1993). Selanjutnya genom yang membawa elemen loncat (transposable elements) diperkirakan lebih tidak stabil dalam kultur dibanding yang tidak membawa elemen tersebut. Bukti tentang perubahan aktivitas transposon sebagai hasil kultur jaringan telah dilaporkan oleh Peschke et al. (1991), tetapi tidak semua perubahan yang terjadi pada kultur jaringan tanaman (yang mempunyai transposon) dicirikan oleh perpindahan transposon (Williams et al., 1991). Lingkungan kultur (zat pengatur tumbuh di medium kultur). Menurut Karp (1995), banyak bukti menunjukkan bahwa variasi somaklonal dipengaruhi oleh pemilihan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh di dalam media. Kemungkinan zat pengatur tumbuh tersebut bertindak seperti mutagen. Konsentrasi garam-garam nutrien yang tinggi seperti kalsium dan EDTA pada media kultur tampaknya meningkatkan ketidaknormalan kromosom pada kultur sel. Selanjutnya, konsentrasi sukrosa yang tinggi (10 atau 20 sampai 30 g L-1) dapat menginduksi poliploidisasi sel kalus yang dihasilkan dari lini dihaploid dan tetraploid. Auksin sintetik, 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) mampu meningkatkan mutasi sistem stamen pada Tradescantia dan erat kaitannya dengan keragaman tanaman regenerasi pada Hordeum (Dolezel and
Novak, 1984). Demikian pula penggunaan 2,4-D dan NAA dalam media kultur kentang juga meningkatkan frekuensi tanaman abnormal (Shepard et al. sebagaimana diacu oleh Sutjahjo, 1994). Bayliss (1980), menyatakan bahwa kondisi kultur dengan media yang mengandung auksin kuat dapat mengimbas proses dedifirensiasi, sehingga kromosom menjadi tidak stabil dan mengganggu siklus mitosis serta replikasi DNA. Ketidakstabilan ini diduga karena benang-benang (spindle) kromosom tidak normal sehingga terjadi keragaman kromosom dalam jenis tanaman yang sama (Peloquin, 1981). Zat pengstur tumbuh mempengaruhi variasi somaklonal selama fase kultur melalui efeknya pada pembelahan sel (Bayliss, 1980; Gould, 1984), tingkat pertumbuhan yang tidak beraturan (fase pengkalusan) (Karp, 1995), dan proliferasi selektif sel spesifik (Ghosh dan Gadgil, 1979). Dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara keberadaan zat pengatur tumbuh dengan lamanya periode kultur, yaitu fase kalus (Ahloowalia, 1985). Sumber jaringan atau eksplan (the tissue source). Sumber eksplan merupakan sumber yang sangat penting dalam menginduksi variasi somaklonal. Karena jaringan yang berbeda dapat menimbulkan frekuensi variasi somaklonal. Semakin tua atau semakin khusus suatu jaringan, maka akan semakin besar variasi yang diperoleh dari tanaman yang diregenerasikan. Penggunaan daun, tangkai daun atau batang kentang melalui fase kalus dapat meningkatkan keragaman somaklonal (Scowcroft, 1984). Osifo et al. sebagaimana diacu oleh Karp (1995) pada tanaman Solanum brevidens mendapatkan 70% tanaman yang diregenerasikan dari kotiledon dan 20% dari potongan daun adalah tetraploid. Pada Chrysanthemum, tanaman yang diregenerasikan dari petal lebih mampu berbunga dan lebih tinggi ketidaknormalannya daripada tanaman yang dihasilkan dari pedikel (Bush et al. sebagaimana diacu oleh Karp, 1995). Roest dan Sokelman sebagaimana diacu oleh Sutjahjo (1994), menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari daun atau bagian daun memberikan keragaman genetik yang lebih besar daripada eksplan dari bagian tanaman lainnya. Sihachakr et al. (1997), melaporkan dari pengujian lapang pendahuluan di Gabon menunjukkan bahwa tanaman ubi rambat (Ipomoea batatas L.) yang berasal dari kultur protoplas menghasilkan variabilitas genetik yang besar dalam pertumbuhan dan pembentukan umbinya dibandingkan tanaman hasil kultur eksplan. Ramulu (1986), menyatakan bahwa bagian tanaman kentang yang berbeda mempunyai tingkat ploidi yang berbeda pula. Perbedaan tersebut ter-
109
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
jadi karena enderoduplikasi pada beberapa bagian tanaman sehingga menghasilkan polisomatik. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi mutasi pada tanaman kentang yang diregenerasikan tanpa mutagen dari eksplan tangkai dan daun mencapai sekitar 12,3% sampai 50,3% (Van Harten et al., 1981). Selain keempat faktor di atas, faktor kelima yang juga penting dalam induksi variasi somaklonal adalah lamanya dalam kultur in vitro. Telah diyakini secara luas bahwa masa kultur in vitro yang lama dapat menyebabkan jumlah kromosom beragam. Selanjutnya Bayliss (1980), menyatakan bahwa semakin lama periode kultur akan menyebabkan frekuensi aberasi kromosom akan semakin meningkat. Meningkatnya abnormalitas kromosom tersebut karena tidak terorganisasinya pertumbuhan kalus. Mc Coy et al., (1982), melaporkan bahwa tanaman Avena sativa mengalami peningkatan frekuensi tanaman yang abnormal sitogenetik secara dramatis dengan bertambahnya periode kultur, karena terjadi pematahan kromosom, kehilangan kromosom, perubahan dalam kromosom, dan aneuploidi. Korelasi antara lamanya kultur in vitro dan akumulasi perubahan kromosom pertama kali ditemukan pada Daucus carota (Smith dan Street sebagaimana diacu oleh Sutjahjo, 1994), di mana kultur sel berisi banyak sel-sel abnormal dan dapat beregenerasi menjadi tanaman. Fukui (1983) memonitor terjadinya mutasi ganda pada tanaman regenerasi asal kultur kalus dari padi. Mutasi yang terjadi tidak bersamaan selama dalam kultur dari galur kalus tunggal. Barbier and Dulieu (1983) menyatakan bahwa kebanyakan perubahan genetik terjadi pada periode mitosis pertama dalam kultur dan beberapa perubahan genetik meningkat sejalan dengan lamanya dalam kultur. Apakah variasi yang berguna selalu berubah (recovered)? Dari percobaan lapang ekstensif yang dilakukan terhadap somaklon hasil regeneran dapat diketahui bahwa perubahan sifat-sifat agronomi yang terjadi merupakan hasil dari kultur in vitro. Namun tidak semua varian-varian yang dihasilkan diseleksi untuk tujuan pemuliaan tanaman dengan salah satu atau kombinasi alasan-alasan berikut: 1) variasi yang didapatkan ke arah yang salah (negatif) (Baillie et al., 1992), 2) perubahan positif yang terjadi tetapi diikuti sifat negatif (Qureshi et al., 1992), 3) tidak semua sifat yang didapatkan bersifat unik (noveltis) (Vuylsteke dan Swennen, 1990), dan 4) tidak semua perubahan genetik bersifat stabil atau perubahan genetik dan fenotip yang
110
unpredictable (Seman dan Lepoivre, 1990), perubahan yang terjadi dapat bersifat non heritable atau epigenetic atau heritable tetapi dapat berubah kembali ke sifat awal (reversible change) (Karp, 1995). Mutasi gen atau kromosom yang terjadi karena, misalnya amplifikasi dan transposisi dapat bersifat tidak stabil. Harus diakui hal ini menjadi "batu sandungan" dalam penggunaan variasi somaklonal untuk perbaikan sifat tanaman. Untuk mengimbanginya Karp (1989) sebagaimana diacu oleh Seman and Lepoivre (1990), menyarankan dengan laju variabilitas yang sangat tinggi, pengembangan teknik kultur yang sesuai, dan penggunaan metode seleksi yang sesuai untuk mengurangi material yang tidak dikehendaki atau dengan penggunaan metode seleksi awal. Apakah variasi somaklonal dapat dimanfaatkan untuk semua spesies tanaman? Dapat dikatakan bahwa variasi somaklonal telah berhasil memperbaiki sifat produksi beberapa tanaman seperti tomat, tebu, seledri, jagung, padi, dan sorgum Tetapi juga harus dikatakan tentang ketidaksuksesan beberapa percobaan dengan pendekatan ini, misalnya pada tanaman gandum, jagung, dan barley meskipun diusahakan dengan skala yang besar dan ekstensif (Maralappanavar et al., 2000). Pada evaluasi dengan menggunakan variasi somaklonal sebagai alat pemuliaan untuk memperbaiki kopi, Sondahl and Bragin (1991), menyimpulkan bahwa variasi sornaklonal adalah metode yang terbaik untuk memperpendek program pemuliaan kopi, sejak terbukti adanya akses untuk mendapatkan mutan baru dengan genotipe hasil tinggi disertai umur yang lebih genjah. Dari berbagai literatur yang ada, dapat disimpulkan variasi somaklonal akan lebih berhasil jika dilakukan pada tanaman dengan sistem genetik terbatas dan atau yang berdasarkan genetik dalam arti sempit. Untuk tanaman hias, eksploitasi variabilitas dengan menggunakan teknik in vitro sudah merupakan pekerjaan rutin program pemuliaan tanaman hias komersial. Hal ini bertolak belakang dengan tanaman-tanaman serealia seperti barley dan jagung di mana pendekatan variasi somaklonal belum berhasil dilakukan pada beberapa kasus (Baillie et al., 1992). Maskipun hasil (regeneran) dari variasi somaklonal tidak dapat diprediksi, beberapa kelebihannya dibandingkan dengan alat (teknik) lainnya adalah: 1) lebih murah dibandingkan dengan pendekatan bioteknologi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik, 2) sistem kultur jaringan dapat menggunakan lebih banyak spesies tanaman
Ahmad Riduan: Variasi Somaklonal sebagai Salah Satu Sumber Keragaman Genetik.
daripada manipulasi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik, 3) tidak perlu identifikasi sifat (trait) berdasarkan sifat genetik dibanding dengan transformasi yang memerlukan identifikasi genetik untuk isolasi dan kloning gen dimaksud, dan 4) dilaporkan varian-varian noveltis telah banyak dihasilkan di antara somaklon yang dihasilkan variasi somaklonal. Bukti genetik dan sitogenetik mengindikasikan bahwa frekuensi dan distribusi terjadinya rekombinasi genetik dapat diubah dengan jalan lintas melatui kultur jaringan (Duncan dan Widholm, 1990; Karp, 1995).
KESIMPULAN Variasi somaklonal dapat digunakan oleh para pemulia tanaman dalam rangka perbaikan sifat tanaman. Alat (teknik) ini bukan alat yang teliti tetapi dalam penggunaannya dilakukan dengan kontrol minimal. Pendekatan ini menawarkan secara cepat dan lebih mudah diakses untuk mendapatkan sumber keragaman genetik yang dapat digunakan pada program-program pemuliaan tanaman. Variasi somaklonal merupakan pilihan yang sangat mungkin untuk digunakan sebagai alat perbaikan tanaman dengan sistem genetik terbatas dan atau berdasarkan sifat genetik sempit (narrow genetic bases).
DAFTAR PUSTAKA Ahloowalia, B. S. 185. Limitations to The Use of Somaclonal Variation in Crop Improvement, pp. 1427. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publication, USA. Ahloowalia, B. S. 1985. Limitations to The Use of Somaclonal Variation in Crop Improvement, pp. 1427. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publication, USA. Baillie, A. M. R., B. G. Rosnagel dan K. K. Kartha. 1992. Field evaluation of barley (Hordeum vulgare L.) genotypes derived from tissue culture. Canadian Journal of Plant Science 72: 725-733. Barbier, M. dan H. L. Dulieu. 1983. Genetic changes observed in tobacco (Nicotiana tabacum) plants regenerated from cotyledon by in vitro culture. Annual Amelior. Plant 30: 321-344. Bayliss, M. W. 1980. Chromosomal variation in plant tissue culture. International Review of Cytology (Supplement) IA: 113-143. Duncan, D. R. dan J. M. Widholm. 1990. Techniques for selecting mutans from plant tissue cultures. Plant Cell and Tissue Culture 6: 443-453.
Fukui, K. 1983. Sequential occurance of mutations in a growing rice callus. Theoretical and Applied Genetics 65: 225-230. Ghosh, A. dan V. N. Gadgil. 1979. Shift in ploidy level of callus tissue: a function of growth substances. Indian Journal of Experimental Biology 17: 562564. Gould, A. R. 1984. Control of the cell cycle in cultured plant cells. Critical Review of Plant Science 1: 315344. Griffiths, A. J., F. Suzuki, J. H. Miller dan R. C. Lewontin. 1993. An Introduction to Genetic Analysis (Fifth Edition). W.H. Freeman and Co, New York. Heinze, B. dan J. Schmidt. 1995. Monitoring genetic fidelity vs somaclonal variation in Norwey Spruce (Picea abies) somatic embryogenesis by RAPD analysis. Euphytica 85: 341-345. Karp, A. 1995. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85: 295-302. Larkin, P. J. 1987. Somaclonal variation: history, method and meaning. lowa State Journal of Research 61: 393-4343. Maluszynski, M., B. S. Ahloowalia dan B. Sigurbjornsson. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation technique for crop improvement. Euphytica 85: 301-331. Maralappanavar, M. S., M. S. Kuruvinashefti dan C. C. Harti. 2000. Regeneration, establishment and evaluation of somaclones in Sorghum bicolor (L.) Moench. Euphytica 115: 173-180. McCoy, T. J., R. L. Phillips dan H. W. Rines. 1982. Cytogenetic analysis of plant regenerated from oat (Avena sativa) tissue cultures: high frequency of partial chromosome loss. Canadian Journal of Genetic Cytology 24: 37-50. Moon, D. H., L. M. M. Oftoboni, A. P. Souza, S. T. Silbov, M. Gaspar dan P. Arruda. 1997. Somaclonalvariation-induced aluminum-sensitive mutant from an aluminum-inbreed maize tolerant line. Plant Cell Reports 16. Norton, M. A. dan R. M. Skirvin. 1997. Somaclonal variation among ex vitro 'Thornless Evergreen' trailing blackberries: the morphological status of selected clones after seven years of field growth. Journal of American Society for Horticultural Science 122: 152-157. Peloquin, S. J. 1981. Manipulation of Chromosome and Cytoplasmic, pp. 117-150. Dalam J. F. Kenneth [ed.]. Plant Breeding. Iowa University Press, Ames. Peschke, V. M., R. L. Phillips dan B. G. Gengenbach. 1991. Genetic and molecular analysis of tissue cufture-derived AG element. Theoretical and Applied Genetics 82: 121-129. Qureshi, J. A., P. Huci dan K. K. Kartha. 1992. Is somaclonal variation a riable tool for spring wheat improvement? Euphytica 60: 221-228.
111
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2007
Ramulu, K. S. 1986. Origin and Nature of Somaclonal Variation in Potato, pp. 188-201. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publishing, USA. Scowcroft, W. R. 1984. Genetic Variability in Tissue Culture Impact on Germplasm Conservation and Utilization. IBPGR, Rome. Scowcroft, W. R., S. A. Ryan, R. I. S. Brettel dan P. J. Larkin. 1985. Somaclonal Variation in Crop improvement, p. 99-109. In Biotechnology in International Agricultural Research (Proceedings). International Rice Research Institute, Manila. Seman, J. dan P. Lepoivre. 1990. Application of Tissue Culture Variability to Crop Improvement, pp. 301315. Dalam S. S. Bhojwani [ed.]. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Elsevier Science Publisher, Amsterdam. Sihachakr, D., R. Haircour, J. M. C. Alves, I. Umboh, O. Nzoghe, A. Servaes dan G. Ducreux. 1997. Plant regeneration in sweet potato (Ipomoea batatas L., Convolvulaceae). Euphytica 96: 143-152. Sinaga, S. 1998. Somaclonal Variation among Tissue Culture-Derived Planting Material of Peanut (Arachys hypogaea L.,) cv. Gajah. Magister Sains Thesis. Bogor University of Agricuclture, Bogor. Sondahl, M. R. dan A. Bragin. 1991. Somaclonal Variation as A Breeding Tool for Coffee Improvement. ASIC, San Francisco. Sutjahjo, S. H. 1994. Induksi Keragaman Somaklon ke Arah Ketenggangan terhadap Keracunan Aluminium pada Tanaman Jagung. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
112
Thrope, T. A. 1990. The Current Status of Plant Tissue Culture, pp. 1-33. Dalam S. S. Bhojwani [ed.]. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. Utomo, S. D., A. K. Weissinger dan T. G. lsleib. 1996. High efficiency peanut regeneration using a nonimbibed immature leaflet culture method. Peanut Science 23: 71-75. Van Harten, A. M., H. Bouter dan C. Broertjes. 1981. In vitro adventitous bud technique for vegetative propagation and mutation breeding of potato (Solanum tuberosum L.). II. Significance for mutation breeding. Euphytica 30: 1-8. Vuylsteke, D. dan R. Swennen. 1990. Somaclonal variation in African plantain. IITA Research 1: 4-10. Walden, R. dan R. Wingender. 1995. Gene-transfer and plant-regeneration technique. Tibtech 13: 324-331. Wattimena, A. G. dan N. A. Mattjik. 1992. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, pp. 105=168. Dalam A.S. Abidin [ed.]. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Williams, M. E., A. G. Hepburn dan J. M. Windholm. 1991. Somaclonal variation in maize inbred lines is not associated with changes in the number or lacation Ae- homologous sequence. Theoretical and Applied Genetics 81: 272-276. Winfield, M., M. R. Davey dan A. Karp. 1993. A comparison of chromosome instability in cell supension of diploid, tetraploid, and hexaploid wheats. Heredity 70: 187-194.