Edisi III September 2013
BERITA
Pusaka
Kompleks Rawa Bambu I, Jl. B No. 6 B, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. Telpon/Fax: 021 7892137
Berjuanglah, Sebelum Pagi ini Pergi Kami terus berjuang untuk menolak PT. Mayora dan PT. Astra, karena: 1. Perusahan ini tidak menghargai kami sebagai warga masyarakat adat Marind. 2. Perusahan ini telah mencap kami, separatis OPM. 3. Perusahan ini telah membuat kami mulai baku bunuh. 4. Perusahan ini telah menciptakan ketakutan dalam diri kami, sehingga setiap malam kami tidak bisa tidur.
Hutan dan Dusun Sagu Warumbua Rusak
Perkara tanah adalah perkara darah Bukan uang!
Aktifitas perusahaan pembalakan kayu PT. Wijaya Sentosa di kawasan hutan Warumbua, Kampung Dusner, Distrik Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama, telah menyebabkan hutan setempat rusak dan mengancam keberlanjutan hidup dusun sagu Warumbua. Menurut tuan dusun Amos Urbon, “Air kali Warumbua kabur dan berlumpur, apalagi pada musim hujan. Penyebabnya adalah pembukaan hutan dihulu dan sekitar kali Warumbua. Akibatnya tanaman sagu rusak, tanda-tandanya dilihat dari daunnya yang menguning, artinya tidak baik hidupnya dan terancam mati.” Dampak berarti lainnya, air kali Warumbua menjadi kabur sehingga kurang baik dan tidak dapat lagi digunakan untuk membuat meramas sagu. “Warga Dusner membawa sagu dengan perahu ke kampung dan memeras sagu di kampung,” ungkap Amos. Masyarakat adat di Kampung Dusner tergantung pada sagu sebagai makanan pokok. Rusaknya dusun sagu akan mempengaruhi pola dan kemampuan konsumsi pangan setempat. Tapi perusahaan PT. Wijaya Sentosa tidak perduli dan masih terus melakukan penebangan di kawasan Warumbua. Perusahaan PT. Wijaya Sentosa sudah melakukan penebangan kayu pada kawasan hutan di wilayah Kampung Dusner semenjak tahun 2012 lalu. Sebelumnya areal ini milik perusahaan pembalakan kayu PT. Wapoga Mutiara Timber, dengan luas areal 130.755 ha. Masyarakat Dusner pernah protes dan memberikan denda adat atas kegiatan perusahaan karena dilakukan tanpa ijin dan merusak hutan setempat. (Ank, Sept 2013)
Kini, tanah kami sedang dirampas. Ini wabah penyakit mematikan untuk kami, ketika jual tanah. Kami akan mati
Perusahaan HTI Plasma Nutfah Marind Datang, Masyarakat Kampung Sanggase Terbelah
Dan, dulu kami semangat dukung Romanus Mbaraka jadi Bupati supaya perhatikan kami. Tapi, kini Romanus Mbaraka tidak mau dengar kami warga yang sedang terancam punah ini. Untuk itu, kami ingin menitipkan pesan kepada mereka-mereka yang sedang berjuang bersama kami melawan mereka yang menindas kami, termasuk Bupati Merauke dan Perusahan Mayora dan Astra.
Ketika pagi mulai menjemput Gelap mulai pergi angin bertiup embun mulai meninggalkan bumi Siang sangat mendekat dan kami mulai mencari makan! Di atas tanah ini. Tanah tidak bisa kami jual Juga tidak untuk dikontrak. Tanah Tanah itu mama Tanah itu kami Tanah itu, saya dan engkau
Awo namek, juga namuk Mari pertahankan segera Berjuanglah, sebelum pagi ini pergi dari hidup kita. Woyu Maklew:
[email protected] (September 2013)
selamat hari tani (24 september 2013) laksanakan pembaruan agraria sejati dan keadilan untuk kaum tani
Perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT. Plasma Nutfah Marind, yang sudah mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk HTI dari Menteri Kehutanan Nomor SK.648/Menhut-II/2011, tanggal 14 November 2011, dengan luas areal 64.050 hektar, sedang melakukan negosiasi dengan warga kampung di Distrik Okaba dan Kaptel, Merauke. Menurut Marius Matiwen, tokoh masyarakat Kampung Sanggase, Distik Okaba, sudah ada dua kali pertemuan antara pihak perusahaan dengan masyarakat di Distrik Okaba pada tahun 2013 ini. Tetapi pertemuan tersebut dilakukan secara terbatas hanya melibatkan tokoh masyarakat tertentu dan membatasi warga untuk berbicara secara bebas. Masyarakat terbelah dalam kelompok yang menerima dan menolak perusahaan HTI. Mereka yang menolak mendapat tekanan. “Kita sudah tidak mau lagi menerima perusahaan karena tanah tidak ada lagi, tapi saya dilarang bicara dan diminta dengar saja”, kata Marius. Marius bercerita, perusahaan PT. Plasma Nutfah Marind menggunakan orang-orang tertentu di kampung untuk melakukan negosiasi dan mempengaruhi warga agar menyerahkan lahan. Mereka mendorong warga untuk mengambil kebutuhan sehari-hari dengan cara meminjam di kios dan menjanjikan akan dibayarkan perusahaan. (Ank, Sept 2013) 1
Berita Pusaka, Edisi III September 2013
Petani Korban PT. RAS Aksi Menginap di Kantor Bupati Kapuas (12/9/2013) Puluhan warga asal Desa Sei Ahas, Kalumpang dan Katimpung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, melakukan aksi menginap di Kantor Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah (12/9), mereka memprotes ketidakseriusan Bupati untuk menyelesaikan sengketa lahan warga yang dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit PT. Rezeki Alam Sejahtera (RAS). Dalam aksinya, warga menuntut lahan masyarakat yang dirampas perusahaan RAS seluas lebih dari 4.000 ha harus dikembalikan kepada masyarakat. Sebelumnya, Bupati Kapuas, Ben Brahim, menawarkan dan menjanjikan akan mempertemukan warga dengan pemimpin RAS untuk menyelesaikan sengketa lahan pada 7 September 2013. Namun belum ada realisasi. Tokoh Masyarakat Desa Sei Ahas, Misradi, mengatakan, “Tidak ada tanda-tanda dari Bupati Kapuas untuk menyelesaikan persoalan kami. Sebaliknya, pihak humas perusahaan RAS dan aparat kepolisian mengintimidasi warga di desa. Katanya mereka mencari warga yang protes dan akan menduduki lahan perusahaan”. Bupati Kapuas sudah menanggapi aksi warga dan menerbitkan berita acara yang intinya akan menyelesaikan permasalahan warga dan RAS. “Kami sejauh ini masih menghargai pemerintah, namun jika tak ada penyelesian, kami akan menduduki dan mengelola lahan-lahan perkebunan sawit yang dirampas perusahaan. Kita tunggu saja”, ujar Misradi. RAS merupakan salah satu dari 13 perusahaan di Kapuas yang bermasalah dan penguasaan lahannya masih belum clear and clean. Pada tahun 2010, Bupati Kapuas mencabut izin pembukaan lahan RAS karena berada di kawasan hutan produksi dan lahan gambut, yang belum mendapat izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Belakangan diketahui pula RAS tidak memiliki AMDAL tetapi sudah melakukan pembukaan lahan, penanaman hingga produksi buah sawit. (Ank, Sept 2013)
“Tidak ada tanda-tanda dari Bupati Kapuas untuk menyelesaikan persoalan kami. Sebaliknya pihak humas perusahaan RAS dan aparat kepolisian mengintimidasi warga desa” Masyarakat Yei Menolak Perusahaan Tebu Milik Wilmar Group Masyarakat Yei menyatakan menolak perusahaan perkebunan tebu milik Wilmar Group dihadapan manager lapangan perusahaan Wilmar saat hendak bernegosiasi dengan pemimpin marga Yei dan warga di Kampung Torai, Distrik Sota, pada Senin, 23 September 2013. Tokoh Masyarakat Yei, Pendeta Lambert Bakujai, menceritakan perusahaan Wilmar merencanakan akan mengembangkan perkebunan tebu di wilayah adat Yei di Torai hingga daerah Poo. Tetapi masyarakat sepakat menolak perusahaan Wilmar. “Kami Orang Yei sudah banyak memberikan tanah yang luas untuk program transmigrasi pemerintah di Bupul dan Jagebob, jadi tanah kami sudah kecil dan sisanya akan kami gunakan untuk masyarakat, tidak untuk perusahaan lagi”, ujar Pendeta Lambert Bakujai. “Saya juga sudah punya pengalaman dan melihat kehidupan Orang Marind yang tanah-tanahnya diambil perusahaan. Kehidupan Orang Marind tidak ada perubahan dan kelihatan semakin miskin. Karenanya, saya berkeputusan hari ini juga saya tidak menerima perusahaan yang ingin masuk di wilayah adat kami” kata Pendeta Lambert Bakujai, yang disambut setuju oleh warga. Hadir dalam pertemuan tersebut, anggota DPR RI asal Papua, Agustina Basik-basik, yang turut mendukung aspirasi masyarakat setempat. Perwakilan Wilmar, Budi, menjelaskan rencana perusahaan, tetapi masyarakat tetap menolak dan meminta perusahaan Wilmar untuk meninggalkan wilayah adat Yei. (Ank, Sept 2013)
Sambil menunggu terbangunnya infrastruktur dan industri pengolahan kayu bulat di areal IUPHHK-HA, maka peredaran hasil hutan kayu bulat/log dapat dilakukan keluar Provinsi Papua Barat/ antar provinsi dalam negeri. Pembangunan dan penyelesaian industri primer hasil hutan di Provinsi Papua Barat diberikan kesempatan sampai 31 Desember 2016. (Pergub Papua Barat No. 12 tahun 2013, Pasal 4 ayat 2-3) Pergub Papua Barat No.12 tahun 2013 Merugikan Rakyat Papua Gubernur Provinsi Papua Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat Nomor 12 tahun 2013, tentang Perubahan atas Pergub Papua Barat Nomor 2 tahun 2008 tentang Pengaturan Peredaran Hasil Hutan Kayu, yang ditetapkan pada tanggal 18 Juli 2013. Salah satu isinya (Pasal 4, ayat 2) membolehkan kembali peredaran hasil hutan kayu bulat/log keluar provinsi Papua Barat atau antar provinsi dalam negeri, yang sebelumnya dilarang berdasarkan Pergub Papua Barat No. 2 tahun 2008. Pergub Papua Barat No. 2 tahun 2008, sebelumnya dibayangkan akan memberikan tanda baik komitmen Pemda untuk penataan dan pengendalian usaha kehutanan, serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, tapi kebijakan tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan baik. Bustar Maitar, aktivis Greenpeace Indonesia menyayangkan pemerintah dan perusahaan pembalakan kayu yang tidak dapat menyiapkan dan mengembangkan pembangunan infrastruktur dan industri pengolahan kayu, sekarang peredaran kayu bulat benar-benar terbuka untuk dibawa keluar Papua. Para aktivis mencurigai, Pergub Papua Barat No. 12 tahun 2013 ini dikeluarkan sebagai hasil kompromi dan lobby perusahaan yang ingin mendapatkan untung besar dengan cara mudah dan murah. Abu Meridian, aktivis JPIK (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan), mengungkapkan bahwa perusahaan kayu semakin diuntungkan dengan Pergub 12 tersebut. Perusahaan tersebut semakin legal dan dilindungi untuk mengirimkan kayu yang mana sebelumnya sudah dilakukan dengan melanggar hukum (Pergub No. 2 tahun 2008) untuk melakukan perdagangan kayu log ke Surabaya dan tidak ada penegakan hukum, sebagaimana ditemukan dalam bisnis perdagangan kayu yang melibatkan Labora Sitorus. Selain itu, Pergub 12 tersebut dicurigai untuk kepentingan mengeluarkan dan memperdagangkan kayu non police line yang masih banyak didaerah hutan yang belum dikeluarkan. Pergub 12 tersebut dapat merugikan Orang Papua, beresiko meningkatkan kerusakan hutan, eksploitasi buruh murah dan mengurangi pendapatan daerah. Semestinya yang utama Pemda Papua Barat dan SKPD terkait melakukan evaluasi terhadap izin-izin perusahaan pengusahaan hutan dan dan industri kayu di Papua Barat, mengambil langkah-langkah tegas untuk menindak perusahaan yang tidak serius membangun industri pengolahan kayu di Papua dan memberikan sangsi terhadap perusahaan yang hanya ingin menikmati manfaat besar mengakumulasi kekayaan dengan cara yang merugikan dan tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan. (Ank, Sept 2013)
2
Berita Pusaka, Edisi III September 2013
Keberadaan Perusahaan Sawit PT. SUA Mengkhawatirkan Pemilik Handel
Hilangnya Identitas Malind (Sept 2013) Ketua Adat Kampung Kumbe, Distrik Malind, Yulianus Gebze, menyesalkan perubahan nama-nama tempat penting di Kampung Kumbe yang dihilangkan secara sengaja oleh proyek pembangunan dan kehadiran kampung transmigrasi. “Perubahan nama tempat penting ini mengakibatkan hilangnya identitas Orang Malind, utamanya penghargaan dan nilai-nilai hubungan masyarakat dengan tanah semakin merosot,” ujar Yulianus Gebze. Beberapa contoh nama tempat di Kumbe yang sudah berubah dan hilang diganti dengan sebutan baru, yaitu: Kumb diganti menjadi Kumbe, Matakanis diganti Kurik IV, Maibal Suba diganti Rawasari, Mbaepo diganti Harapan Makmur, Ndokapal diganti Telaga Sari, Selrti diganti Salor Indah. Tempat ini sudah berubah menjadi kampung transmigrasi dan lokasi persawahan penduduk transmigrasi yang berada di wilayah adat Orang Kumb. Tempat tersebut semestinya mempunyai cerita sejarah, akan tetapi perubahan nama tempat menghilangkan cerita sejarah. Keberadaan dan dasar Orang Malind untuk mempertahankan dan mengklaim hak atas tanah juga semakin dilemahkan. (Ank, Sept 2013)
Perkam untuk Penataan Kekayaan Kampung Peraturan Kampung bermanfaat dan menjadi alat masyarakat untuk menata kekayaan sumber daya alam dan perubahan sosial bagi masyarakat di Kampung. Hal ini disampaikan oleh Guntur Ohoyutun, pengacara hukum, saat memfasilitasi pelatihan pembuatan Peraturan Kampung di Kampung Onggari, Kamis, 19 September 2013, yang dilaksanakan oleh Pusaka. Guntur juga menceritakan pengalaman kampung lokal di Merauke, yaitu Kampung Nasem dan Kampung Wasur yang sudah membuat Perkam (Peraturan Kampung) dan mempunyai efek meningkatkan pendapatan asli kampung dan orang asli dapat mengelola sendiri kekayaan alamnya. Guntur menganjurkan agar Kepala Kampung, Baperkam dan Sekretaris Kampung yang menjadi peserta pelatihan dapat berpikir cerdas dan bertindak bijaksana untuk menghasilkan Perkam dan memanfaatkannya membangun kampung sesuai dengan kebijakan Otonomi Khusus Papua. Pada pelatihan pembuatan Perkam ini, peserta berhasil membuat dua contoh peraturan perundangan kampung, yaitu: Peraturan Kampung tentang Pendapatan Asli Kampung dan Peraturan Kepala Kampung tentang Waktu Belajar Bagi Pelajar Sekolah. Mengenai sikap Kepala Distrik Malind untuk menghentikan kegiatan pelatihan Perkam dan adanya isu melakukan kegiatan politik yang menyimpang, Guntur menganggap sikap tersebut salah kaprah dan semestinya kegiatan seperti ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebagai bagian dari program Gerakan Membangun Kampung (GERBANGKU) yang dicanangkan Bupati Merauke. Tokoh masyarakat Kampung Onggari, Paulinus Balagaize, menanggapi sikap Kepala Distrik Malind, “kita bukan bicara politik, kita bicara karena kita ini ada susah” ujar Paulinus. Pelatihan Perkam yang sebelumnya diancam untuk dibubarkan paksa oleh Kepala Distrik Malind, akhirnya dapat dilaksanakan hingga Sabtu, 21 September 2013. (Ank, Sept 2013)
Perwakilan masyarakat Handel Sei Nyamuk, Handel Sei Binjai, Handel Sei Haur dan Handel Sei Malang Sari, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mengaku sangat khawatir dengan keberadaan perusahan perkebunan sawit PT. Semangat Usaha Agro (PT. SUA), yang memiliki Izin Lokasi untuk beroperasi di daerah setempat dengan luas areal 15.900 hektar. Kekhawatiran warga terhadap dampak kegiatan perusahaan yang akan menghilangkan budaya gotong royong (bahandepan), kerusakan lingkungan, pencemaran air sungai dan kekeringan, sehingga menyebabkan menurunnya hasil padi rusak dan menurun. Warga kehilangan mata pencaharian, tidak bisa mencari ikan, berburu, mencari galam dan tidak ada lahan untuk menanam sayur. Peserta menyampaikan kekhawatiran tersebut dalam kegiatan Lokakarya dan Dialog dengan tema “Prakondisi dan Evaluasi atas Dampak dan Manfaat Perkebunan Kelapa Sawit bagi Lingkungan, Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Kabupaten Kapuas”, yang diadakan di Handel Sei Nyamuk, Kecamatan Kapuas Murung, Kapuas, pada 24 September 2013. Kegiatan ini diselenggarakan Yayasan Tahanjungan Tarung bekerjasama dengan PUSAKA, yang juga sudah dilaksanakan di kecamatan lainnya, yaitu: Kecamatan Kapuas Timur, Kapuas Hilir, Pulau Petak dan Dadahup. Daerah ini merupakan areal konsesi PT. SUA. Peserta pertemuan di Handel Sei Nyamuk, menghasilkan rencana tindak lanjut untuk membuat surat pernyataan penolakan terhadap ijin PT. SUA, melakukan pemetaan partisipatif, menginventarisasi potensi lahan masyarakat dan pengembangan organisasi serikat petani lahan gambut. (Ank, Sept 2013)
Lindungi Bahasa Dusner Tokoh masyarakat Kampung Dusner, Distrik Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama, sepakat dengan rancangan Peraturan Kampung tentang Perlindungan dan Pengembangan Bahasa Dusner, yang dibuat oleh peserta Pelatihan Pembuatan Peraturan Kampung di Kampung Dusner, 27-29 September 2013. Maria Urbon, tokoh perempuan Dusner, mengatakan, “Saya mendukung Perlindungan dan Pengembangan Bahasa Dusner karena sudah semakin langka warga Dusner yang dapat berbahasa Dusner, hanya ada empat orang tua saja. Padahal bahasa Dusner melambangkan jati diri kita sebagai masyarakat asli Dusner”, ujarnya. Bahasa asli Dusner tergusur oleh bahasa Wondama yang banyak digunakan oleh warga kampung di pesisir hingga kota Wasior. Yohan Nelwan, Ketua Baperkam Dusner, yang menjadi peserta pelatihan mengungkapkan, ada empat cara untuk mengembangkan bahasa Dusner, yaitu: mengajarkan, mempelajari, mempraktikkan dan mendokumentasikan bahasa Dusner. “Orang tua yang mengetahui bahasa Dusner mesti menjadi guru di rumah dan di sekolah, mengajarkan bahasa Dusner melalui cerita rakyat. Setiap siswa sekolah dan orang dewasa wajib membaca dan bercakap-cakap dalam bahasa Dusner pada jam tertentu,” ujar Yohan Nelwan. Pemerintah daerah perlu memperhatikan gagasan ini, sebagaimana diamanatkan dalam UU Otsus Papua. (Ank, Sept 2013)
3
Berita Pusaka, Edisi III September 2013
Tokoh Masyarakat Dayak Membahas Rancangan Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kapuas
Hari Tani: Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960
Kapuas (Sept 2013), Yayasan Petak Danum bekerjasama dengan PUSAKA, menyelenggarakan Lokakarya Pembahasan Rancangan Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Kapuas, yang dilaksanakan di Hotel Raudah, Kota Kuala Kapuas, pada 19 – 20 September 2013. Peserta Lokakarya adalah tokoh-tokoh masyarakat yang ada di hilir dan hulu Kapuas di 13 Kecamatan, seperti: para Damang, Mantir, Tokoh Agama, Pemuda dan Perempuan, serta LSM di Kapuas. Pertemuan ini juga menghadirkan narasumber dari Pemda Kabupaten Kapuas dan Yando Zakaria, anggota tim perancang Undang-Undang Desa. Peserta berharap rancangan Perda tersebut dapat memperkuat keberadaan dan otoritas kelembagaan adat Dayak. Wawan, staf Biro Hukum Pemda Kapuas, mendukung Tim Inti dan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap rancangan Perda Kapuas tentang Kelembagaan Adat Dayak. Yando Zakaria, memandang rancangan Perda tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kapuas, masih banyak bolongnya dan kesulitan peserta untuk merekonstruksi unit sosial masyarakat adat di Kapuas yang disebut ‘lewo’, tapi saat ini sudah hampit tidak ada lagi dan struktur kelembagaan adatnya juga sudah banyak perubahan. “Damang kan bentukan kolonial Belanda dan rujukannya pada orang atau pribadi dengan penugasan tertentu, juga terjadi pada Temenggung, Mantir dan Let Perdamaian, yang sekedar mengurus peradilan adat. Dalam situasi kurang jelas, pemerintah mengambil jalan tengah dengan memasukkan dan mengukuhkan MADN, DAD dan BATAMAD menjadi bagian dari Kelembagaan Adat Dayak, yang berlangsung dari nasional hingga desa”, ujar Yando, mengkritisi Perda Kelembagaan Adat di Kalteng dan rancangan Perda Kelembagaan Adat di Kapuas. Masukan masyarakat terhadap rancangan Perda Kelembagaan Adat Dayak di Kapuas tersebut, rencananya akan diserahkan kepada DPRD Kapuas secepatnya. (AP&ANK, Sept 2013)
Setiap tanggal 24 September, rakyat Indonesia memperingati sebagai Hari Tani. Tanggal 24 September yang bersejarah tersebut diambil dari waktu berlakunya Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960). Pada tahun 1963, Presiden Soekarno membuat keputusan Nomor 169 tahun 1963, menetapkan tanggal 24 September sebagai Hari Tani. UUPA 1960 yang dihasilkan dimaksudkan untuk menggantikan hukum agraria pemerintah kolonial Belanda yang menindas dan merugikan bangsa Indonesia. Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidatonya saat Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong untuk pembahasan Rancangan UUPA 1960, menyatakan: “…rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak-puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing dan aparat-aparat pemerintahan dengan rakyat sendiri…” UUPA 1960 dihasilkan melalui proses politik yang panjang. Pemerintah mulai menyusun dasar-dasar hukum agraria untuk menggantikan produk hukum kolonial Belanda pada tahun 1948. Presiden menetapkan Panitia Agraria Yogya pada Mei 1948, diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri. Panitia Agraria Yogya beranggotakan, terdiri dari: pejabat dari berbagai kementerian, Badan Pekerja KNIP yang mewakili organisasi tani, ahli hukum adat dan wakil serikat buruh perkebunan. Tugas Panitia Agraria Yogya, antara lain: merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik Indonesia, merancang perubahan, penggantian dan pencabutan peraturan lama. Hasil kerja Panitia Agraria Yogya, yakni: dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat; memungkinkan adanya hak perseorangan; diadakannya penetapan luas minimum tanah bagi petani kecil untuk hidup layak, di pulau Jawa diusulkan 2 hektar; penetapan luas maksimum, untuk Jawa 10 ha; diadakan registrasi tanah milik. Pada tahun 1951, terjadi peralihan bentuk pemerintahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI dan ibukota negara dipindah ke Jakarta, Presiden RI mengeluarkan keputusan Nomor 36 tahun 1951, yang membubarkan Panitia Yogya dan membentuk Panitia Agraria Jakarta. Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, lalu digantikan oleh Singgih Praptodihardjo pada tahun 1953 dan beranggotakan pejabat kemeterian dan wakil organisasi tani. Hasil kerja Panitia Agraria Jakarta adalah batas luas minimum adalah 2 ha; pembatasan maksimum 25 ha untuk satu keluarga; yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga negara Indonesia; skema hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai; diakuinya hak ulayat. Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria yang salah satu tugasnya untuk mempersiapkan pembentukan perundang-undangan agraria nasional. Pada tahun 1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di Jakarta. Panitia tersebut diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo dan beranggotakan pejabat kementerian, ahli hukum adat, wakil organisasi tani. Tugas pokoknya adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria. Pada tahun 1957, Panitia Negara Urusan Agraria berhasil merancang undang-undang, yang isinya antara lain: menghapus asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara; mengakui hak ulayat; dihapusnya dualism hukum agraria; diadakannya penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah; asas tanah pertanian harus dikerjakan dan disuahakan sendiri oleh pemiliknya; perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah. Pada tahun 1958, rancangan undang-undang tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada 14 Maret 1958 dan disetujui oleh Dewan Menteri pada 1 April 1958. Akhirnya pada tanggal 14 September 1960, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menerima rancangan Undang-undang Pokok Agraria yang diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Rancangan tersebut telah disesuaikan dengan UndangUndang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Presiden Soekarno mengesahkan rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Mengadukan Pelanggaran HAM ke Komnas HAM Prosedur Penanganan Pengaduan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diberlakukan di Komnas HAM, sebagai berikut: Pengaduan disampaikan secara tertulis yang memuat dan dilengkapi: alamat rumah, alamat surat, nomor telepon tempat kerja atau rumah, nomor faximili apabila ada. Rincian pengaduan, yaitu: apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang terlibat dan nama-nama saksi. Fotocopy berbagai dokumen pendukung yang berhubungan dengan peristiwa yang diadukan. Fotocopy identitas pengadu yang berlaku (KTP, SIM, Paspor). Bukti-bukti lain yang menguatkan pengaduan. Apakah sudah ada upaya hukum yang dilakukan. Dalam hal pengaduan disampaikan pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang merasa menjadi korban pelanggaran suatu HAM (misalnya surat kuasa atau surat pernyataan). Jangan lupa membubuhkan tanda tangan dan nama jelas pengadu atau yang diberi kuasa. Keterangan dan bahan tersebut pengaduan dapat dikirimkan melalui berbagai cara, yakni: Diantar langsung ke Komnas HAM, beralamat di Jl. Latuharhari No. 4B, Menteng, Jakarta Pusat. Dikirim melalui jasa pos atau kurir, atau dikirim melalui faximile ke nomor: 021 – 3925227. Dikirim melalui email ke:
[email protected] Setiap pengadu di Komnas HAM mempunyai hak: mendapat tanda terima, nomor agenda dan Surat Tanda Penerimaan Laporan. menanyakan perkembangan penanganan pengaduan baik melalui telepon atau datang langsung. mendapat jaminan akan kerahasiaan identitas pengadu dan bukti lain serta pihak yang terkait dengan materi pengaduan. mendapat pelayanan penerimaan pengaduan tanpa diminta biaya atau pungutan dalam bentuk apapun.
4
Berita Pusaka, Edisi III September 2013
KPA Mengutuk Tindakan Kekerasan Terhadap Petani Indramayu Ratusan petani dari Serikat Petani Indramayu (STI), Jawa Barat, yang melakukan aksi penolakan pembangunan Waduk Bubur Gadung, mendapatkan intimidasi dan serangan fisik, lemparan batu, kayu dan pukulan oleh para preman yang mengaku sebagai petani, pada minggu 25 Agustus 2013. Puluhan preman juga melakukan aksi penyisiran hingga ke rumahrumah penduduk hingga menimbulkan ketakutan warga. Mereka memukuli dan menyeret membabi buta para petani tepat di depan Kantor Kepala Desa Loyang. Sementara aparat kepolisian yang berjaga di lokasi melakukan pembiaran atas kekerasan yang dilakukan preman. Para petani yang geram mendengar perlakuan para preman lalu membakar 1 eskavator di lokasi kejadian. Kemudian ratusan Polisi menyerbu petani dengan peluru karet dan gas air mata. Puluhan petani berlarian dipukuli dan diseret sehingga mengalami luka-luka. Setidaknya 49 sepeda motor petani juga turut dirusak oleh preman dan aparat kepolisian. Polisi menangkap dan menetapkan 5 orang petani sebagai tersangka. Iwan Nurdin, Sekjen KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), melalui Siaran Pers (27/8/2013) menyatakan mengutuk keras tindakan kekerasan dan intimidasi preman dan aparat kamanan terhadap petani di Indramayu yang selama ini mempertahankan tanah garapannya. KPA juga menyatakan segera membebaskan 5 orang aktivis agraria dan petani karena bentuk kriminalisasi kaum tani tidak akan mampu meredam konflik agraria yang terjadi di seluruh penjuru tanah air. KPA juga menolak pembangunan waduk Bubur Gadung karena merampas lahan garapan petani yang selama ini menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam dan kegiatan pertanian lainnya. Mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh melalui pelaksanaan reforma agraria dan pembentukan peradilan pertanahan sebagai jalan terwujudnya keadilan atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. (Ank, Agst 2013)
Warga Podi Tidak Berani Memandikan Jenazah Karena Air Tercemar (Palu, 8/9/2013) Pemerintah Desa Podi menyampaikan kepada Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan bahwa warga Podi kini tidak berani memandikan jenazah kerabatnya dengan menggunakan air sungai Kave Kai. Menyusul kejadian massal gatal-gatal yang menimpa 60 orang warga setempat sejak sepekan terakhir. Menurut pemerintah desa setempat dan warga yang mengalami gatal-gatal, mereka tidak menyangka akan mendapat musibah semacam ini. Mereka kini bersepakat bahwa, bahkan jenazah sekalipun tidak layak lagi dimandikan dengan air yang bersumber dari Sungai Kave Kai. Sungai ini satu-satunya sumber air yang tersisa bagi warga Podi. Setelah limbah penggalian material biji besi dialirkan ke sungai oleh pihak Arthaindo Jaya Abadi, warna air menjadi cokelat dan kuning. Untuk minum dan mandi, warga terpaksa menyaring air itu hingga tidak terlalu keruh. Kemudian dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga. Di sungai itu pula, mereka mencuci dan mandi. Kekhawatiran soal dampak tambang di Podi kini benar-benar telah terbukti. Ini baru kejadian wabah penyakit. Kita belum tahu kejadian apa lagi yang akan menimpa kampung dan warga setempat di kemudian hari. Setelah satu tahun lebih Arthaindo Jaya Abadi menggali dan menambang biji besi di wilayah bencana tersebut. Dalam Siaran Pers, Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan mendesak Gubernur Sulawesi Tengah untuk mencabut izin lingkungan yang telah diberikan kepada perusahaan, melalui SK Gubernur No.6601/ 658/BLHD-G.ST/2012, tertanggal 21 Desember 2012. Serta mendesak Kapolda Sulteng untuk segera menemukan dan menahan Direktur Arthaindo Jaya Abadi yang telah ditetapkan sebagai tersangka. (Ank, Sept 2013). Sambungan Kriminalitas ...
Kriminalitas Meningkat Menunjukkan Ketidakseriusan Pemerintah Urus Orang Papua Yasanto menggelar diskusi dan dengar pendapat tentang Keamanan dan Penegakan Hukum di Kabupaten Merauke, yang dilaksanakan di Ruang Pertemuan Yasanto, Merauke, 22 Agustus 2013. Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari Kapolres, Kepala Pengadilan Negeri dan Kepala Lapas Merauke, serta diikuti oleh peserta sekitar 30 orang, terdiri dari: tokoh masyarakat di Kota Merauke, pendeta, pastor, organisasi masyarakat, aktivis perempuan dan LSM di Kota Merauke. Jago Bukit, pimpinan BPSE Yasanto, mengatakan kegiatan tersebut digagas untuk menanggapi meningkatnya kasus kriminal dan masalah social di Kota Merauke serta kematian tahanan di Lapas Merauke. “Kami ingin gaungan Merauke sebagai istana damai yang menjadi idaman masyarakat bisa terwujud. Semua orang ingin hidup dalam situasi aman, tertib dan damai, bebas beraktifitas, bebas berpergian kemana saja, saling menghargai satu sama lainnya dan ada jaminan atas hak-hak individu,” kata Jago Bukit.
Terungkap kasus kriminal sebanyak185 kasus pada Juli 2013 dan laka lantas 24 kasus, perzinahan 1 kasus, penganiayaan 1 kasus, temu mayat 1 kasus, perlindungan anak 1 kasus yang terjadi sepanjang Agustus 2013. Viktor, mewakili Kalapas Merauke, mengungkapkan penghuni Lapas Merauke sebanyak 324 orang narapidana dan sebagian besar diantaranya adalah anak-anak muda. Mereka terlibat kasus pidana perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan, umumnya berlatar belakang mabuk minuman beralkohol. Viktor juga mengklarifikasi meninggalnya tiga narapidana asal Zanegi bukan disebabkan kekerasan di penjara tetapi disebabkan oleh medis dan adat. Menurut Pdt. Wansior, tindakan kriminal tersebut menunjukkan ketidak seriusan pemerintah mengurus Orang Papua yang sangat lemah dan sangat miskin, sehingga menggiring mereka harus banyak tinggal di Lapas. Kita mestinya membawa perubahan, tetapi saya khawatir perubahan sulit dicapai. Terungkap dalam kesaksian Pdt. Silwalus Awete, bahwa oknum polisi ikut berbisnis miras dan bahkan ikut mabukan. Merauke yang aman dan tenang harus dibangun dan kerjasama semua komponen masyarakat dan pemerintah, tegas Silwalus Awate. (Ank, Agst 2013) 5
Berita Pusaka, Edisi III September 2013
Selamatkan Orang Malind dan Hutan Papua: Hentikan Mega Proyek MIFEE Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia terhadap Kebijakan MIFEE MIFEE Turun dari Langit MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) adalah proyek nasional untuk pembangunan pangan dan energy skala luas yang dilakukan secara terpadu dan berlokasi di Merauke, Provinsi Papua. Pemerintah menetapkan Merauke sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dan kawasan andalan sector pertanian untuk lumbung pangan dan energy skala luas. Kawasan ini dicitrakan sebagai lahan datar yang potensial dan subur terluas di Papua. Kawasan hutan alam dan padang luas tersebut dianggap sebagai tanah kosong yang penghuninya jarang dan ‘tidak produktif’, sehingga harus diolah untuk mendukung pengembangan pangan dan energy skala luas. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung percepatan pembangunan MIFEE, menyediakan dana triliunan rupiah, mendisain tata ruang yang mendukung proyek, pemberian izin lokasi dan pelepasan kawasan hutan, standar kompensasi yang rendah, pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, irigasi melalui proyek MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), memperkenankan TNI dalam percepatan pembangunan infrastruktur, kemudahan finansial dan sebagainya. Pada tahun 2010, pemerintah mempublikasi dokumen Grand Design Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas di Merauke, yang menunjukkan lahan cadangan potensial untuk pengembangan lahan pertanian seluas 2,5 juta hektar (sekitar 55 % dari luas wilayah Merauke sebesar 4,5 juta hektar). Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merekomendasikan lahan yang efektif untuk program MIFEE seluas 1.282.833 hektar. Sebagian besar dari kawasan MIFEE tersebut adalah hutan alam, rawa dan padang. Pemerintah membagi status dan peruntukkan kawasan MIFEE tersebut menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 1.128.042,7 hektar dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 154.790,3 hektar. Berbeda dengan pengetahuan Orang Asli Papua setempat, utamanya Orang Malind yang mendiami sebagian besar wilayah Merauke. Orang Malind berpandangan tanah hutan, rawa dan padang, memiliki beragam nilai fungsi social, budaya, ekonomi dan lingkungan. Pemerintah memetakan dan membagi-bagikan kawasan ini kedalam Kluster Sentra Produksi Pertanian (KSPP) menjadi sebanyak 10 Kluster. Realitasnya hari ini, pemerintah telah menerbitkan Izin Lokasi kepada lebih dari 80 investor yang luasnya melebih 2,5 juta hektar. Menteri Kehutanan juga telah setuju melapaskan kawasan hutan untuk digunakan oleh 10 perusahaan dan lainnya sedang dalam proses. Kementerian Pertanian terus mengundang investor untuk menggarap lahan perkebunan tebu yang dicanangkan seluas 500.000 hektar. Hal ini juga menggambarkan terjadinya ketimpangan penguasaan sumber daya alam dan cenderung berpihak para perusahaan. Masyarakat Merauke berpandangan kebijakan proyek MIFEE turun dari langit. Tidak ada yang berubah dari sistem pembangunan yang sentralistik. Pemerintah membuat dan menentukan kebijakan dan tidak pernah melakukan konsultasi dan sosialisasi. Pemerintah tidak pernah memberikan informasi yang memadai tentang MIFEE. Orang Malind, penguasa dan pemilik hak atas tanah di Merauke, merasa bingung dan resah karena tanah-tanah mereka dicaplok oleh pemerintah tanpa persetujuan. Masyarakat tidak diberikan kebebasan memilih menentukan pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alamnya. Mereka tidak berdaya menghadapi perusahaan-perusahaan yang bermodalkan izin, uang dan pengaruh kuasa, serta didukung aparat militer, mendesak masyarakat menyerahkan tanah. Aktivitas proyek MIFEE yang berbasiskan dan digerakkan oleh perusahaan-perusahaan telah merobohkan pohon-pohon di hutan, menggusur tanah lapang dan padang, menimbun dusun sagu, tanah rawa dan sungai-sungai dalam hutan. Sebagian besar telah berubah menjadi lahan perkebunan tebu, kelapa sawit dan hutan tanaman untuk industri bubuk kertas, yang dimiliki perusahaan bermodal besar berskala asia dan internasional yang berjejaring dengan perusahaan lokal, seperti: Medco Group, Wilmar International Group, Agro Mandiri Semesta Group, Rajawali Group, Central Cipta Murdaya Group, Astra Group, Mayora Group, Texmaco Group, Korindo Group, Daewoo International, Moorim Group, Artha Graha Group, Kertas Nusantara, dan sebagainya. Dampak MIFEE Proyek raksasa MIFEE yang dilakukan tanpa ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis telah menimbulkan dampat berarti bagi masyarakat dan lingkungan. Dampak penting tersebut, yakni: Dampak Sosial Ekonomi, Orang Malind yang hidup dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan terpaksa kehilangan sumber mata pencaharian, semakin sulit untuk mendapatkan hewan dan sumber pangan dari hutan, sehingga menurunkan pendapatan dan kwalitas hidup masyarakat. Mereka kehilangan alat produksi dan kemandirian dalam berusaha,
berubah menjadi tergantung pada kebutuhan pokok yang dibeli pada kios dan toko, yang nilainya mahal dan tidak terjangkau dari upah rendah sebagai buruh perusahaan. Dampak Sosial Budaya, tempat penting bernilai sejarah, keramat dan tempat ritual kepercayaan Orang Malind, tergusur dan terbatasnya akses ke tempat penting tersebut sehingga mereka kehilangan identitas dan ketidakseimbangan hubungan social budaya. Migrasi penduduk yang baru datang sebagai pekerja dengan membawa sistem nilai sosial budaya dan ekonomi kota sangat dominan dan mempengaruhi relasi sosial budaya dan ekonomi setempat. Terjadi diskriminasi, ketimpangan penguasaan asset produksi dan ekonomi yang dikendalikan orang pendatang, meningkatkan ketegangan sosial dan disharmoni diantara Orang Malind dan dengan masyarakat pendatang. Dampak Lingkungan, meningkatnya alih fungsi kawasan hutan dan tidak terkontrolnya aktifitas penebangan hutan, penggusuran rawa, padang dan sungai, merubah fungsi-fungsi ekologi, hidrologi dan terganggungnya kehidupan habitat, pencemaran air sungai dan rawa, pada gilirannya menurunkan daya dukung lingkungan dan merugikan masyarakat. Dampak penting lainnya adalah meningkatnya kasus kesulitan mengakses pangan, air bersih dan kasus busung lapar. Buruknya pelayanan kesehatan memperparah meningkatnya kasus kematian, utamanya dialami oleh anak-anak di perkampungan Orang Malind. Pada tahun 2013 saja, teridentifikasi sudah ada 5 orang anak yang meninggal di Kampung Zanegi, Distrik Animha, yang diduga karena busung lapar. Intimidasi dan Kekerasan, demikian pula, meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan TNI dalam memaksakan masyarakat untuk melepaskan tanah bagi kepentingan perusahaan dan pembangunan infrastruktur pendukung proyek MIFEE. Apa yang Harus Dilakukan Berdasarkan situasi tersebut, kami berpandangan bahwa proyek MIFEE telah melanggar hak-hak konstitusional Orang Malind, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa negara dibentuk “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” dan disebutkan juga pada Sila Kelima Pancasila untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula yang disebutkan pada Pasal 33 UUD 1945. Bahwa proyek MIFEE yang mencaplok dan mengalihkan hak atas tanah Orang Malind secara terpaksa melalui kompensasi yang rendah tanpa pilihan dan merusak kawasan hutan, padang, dusun sagu, rawa, tempat penting dan sebagainya telah melanggar hak masyarakat atas pembangunan, hak untuk memberikan persetujuan secara bebas terhadap pembangunan, hak untuk meningkatkan taraf hidup yang layak, hak atas rasa aman, hak atas perlindungan hukum dan keadilan, serta hak atas lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, UndangUndang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan Konvensi Internasional tentang Hak Sosial Ekonomi dan Budaya, yang sudah diratifikasi. Karenanya kami memandang perlu mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan dengan segera setiap bagian proyek MIFEE yang mengancam kelangsungan hidup Orang Marind, mereview dan mencabut izin-izin perusahaan yang mengakibatkan kerusakan hutan dan menurunkan daya dukung lingkungan hidup. Selanjutnya mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kebijakan untuk menyelamatkan Orang Malind dan Hutan di Merauke, sebagai berikut: 1. Mendesak pemerintah Indonesia untuk menghormati hak-hak Orang Malind dan melindungi alat-alat produksi untuk memperta2. hankan dan mengembangkan hidupnya. Mendesak dan mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memberdayakan dan mengembangkan kemampuan Orang Marind dalam berbagai bidang social budaya, sosial ekonomi dan hukum, serta pengelolaan hutan yang lestari. 3. Mendesak pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam dialog resmi dengan perwakilan Orang Marind yang dipilih secara bebas mengenai cara-cara terbaik untuk menyikapi situasi ini dan dengan memprioritaskan dialog yang konstruktif serta pendekatan tanpa kekerasan. 4. Merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia meminta atau mengabulkan permintaan untuk kunjungan lapangan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak atas Pangan dan Bentuk-bentuk Kontemporer Perbudakan agar mendukung pemenuhan kewajiban internasional, termasuk yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di Papua. Terima Kasih
6