Mengenang Salim Kancil Kaum Tani, Menuju Bangkit dari Keterpurukan! 05-12-2016 - 11:02 | Views: 35.21k
TIMESINDONESIA, MALANG – NASIB kaum tani di negeri ini nyaris lekat dengan keterpurukan. Tak hanya profesi petani sering didiskriminasi dengan citra peyoratif: Dicap tak menjanjikan dan prospektif, miskin, tak berpendidikan. Citra-citra yang ditelorkan oleh alam pikir pembangunan neoliberalistik di Indonesia, tapi ironisnya dienyam oleh kaum terdidik kita. Tetapi juga ruang hidup mereka, lahan-lahan pertanian produktif mereka dirampas, dan kelangsungan kerja mereka terancam, dikorbankan demi mantra “Pembangunan” itu sendiri. Tidakkah orang yang berpikiran dengan citra peyoratif itu sadar bahwa kaum tani terjebak dalam situasi demikian bukan karena tiba-tiba? Juga bukan karena dari sono-nya kaum tani itu miskin dan tak berpendidikan? Tetapi, terdapat sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Faktor-faktor yang secara sistematis dan bertahap memberi landasan bagi penghancuran kaum tani di Indonesia dan budaya agraris yang dibangun dan dirawat dari budaya pertanian. Pertama, faktor politik. Setelah tragedi kemanusiaan 1965-1966, kaum tani mengalami penghancuran sebagai suatu kelas politik yang berdikari dan berdaulat atas tanahnya sendiri.
1
(Foto: okezone) Hal ini terjadi seiring dengan penghancuran basis massa partai yang saat itu aktif menyuarakan perbaikan nasib kaum tani, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan organ afiliasi taninya, Barisan Tani Indonesia (BTI). Dari ratusan ribu korban tragedi 1965-1966 yang menimpa kaum komunis dan tertuduh komunis, terdapat ribuan kaum tani yang mulai memiliki kesadaran kelasnya untuk bersatu membangun identitasnya sebagai kaum yang tertindas. Tragedi ini turut menyapu juga kaum tani dari organisasi-organisasi lain yang progresif, yang terpengaruh ajaran Marhaenisme Bung Karno. Tragedi ini memporakporandakan banyak hal, utamanya di pedesaan, mengoyak hubungan sosial di antara sesama warga pedesaan yang rata-rata agraris. Setelah tidak lagi menjadi suatu kelas politik yang memiliki kesadaran maju, kaum tani tercerai-berai menjadi satuan-satuan profesi yang tidak lagi memiliki kesadaran bersama untuk mempersatukan identitasnya. Kedua, faktor kebijakan. Penghancuran kaum tani sebagai kelas segera diikuti oleh pelemahan agenda-agenda kebijakan agraris. Dimulai dari dimacetkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) 1960 sebagai poros kebijakan yang revolusioner warisan pemerintahan Soekarno.
(Foto: kompasiana) 2
Undang-undang itu bersemangatkan sosialisme Indonesia, hendak mewujudkan kondisikondisi yang bertahap mendukung kebijakan nasional bagi terwujudnya kesejahteraan bagi kaum tani, namun dalam praktiknya, tidak lagi diterapkan secara holistik tetapi sepotong-potong dan dipelintir sedemikian rupa. Kebijakan nasional Orde Baru Soeharto, alih-alih mendukung kesejahteraan petani, justru bergerak ke arah lain, yaitu rezim "pembangunanisme" (developmentalism). Di dalam rezim ini ekonomi bergerak ke arah industri yang berlawanan dengan budaya agraris. Maka, pemerintah pun getol membangun infrastruktur, mengakibatkan penggusuran secara bertahap lahan-lahan pertanian oleh proyek pembangunan. "Revolusi Hijau" yang dicanangkan Soeharto turut melemahkan kaum tani. Itu berlangsung dari tahun 1970 hingga 1984. Selama periode itu, Orde Baru mendongkrak pertanian dari sistem tradisional ke sistem modern dengan menginjeksikan sistem pasar yang membuat petani bergantung kepada bibit dan pupuk impor. Petani dipaksa membeli bibit dan pupuk impor yang mempercepat produk pertanian, namun dengan risiko jangka panjang perusakan kualitas tanah dan ketidaksuburan di mana-mana. Kaum tani diasingkan dari kedaulatannya mencipta bibit dan pupuk sendiri; dengan iming-iming efisiensi dan kemajuan teknologi, mereka dipaksa membeli bibit dan pupuk buatan korporasi-korporasi besar yang menangguk untung dari kebijakan Orde Baru ini. Puncak "Revolusi Hijau" ini adalah penggerusan sistem pasar ke dalam politik agraris. Setelah 1984, Indonesia dipaksa membuka kerannya kepada pasar dunia. Impor bertambah, Indonesia gagal swasembada beras dan ironisnya dikenal sebagai importir beras, dan kaum tani semakin miskin karena produknya tidak terbeli tinggi. Kebijakan yang membuka keran lebar-lebar bagi kapitalisme berlanjut parah di era Reformasi. Hingga kini, liberalisasi produk pangan terus berlangsung melalui WTO yang menjerat Indonesia tunduk kepada sistem pasar global. Membanjirnya pangan impor menciptakan pasar pangan dalam negeri tidak stabil dan petani merugi. Ketiga, faktor politik tata ruang. Salah urus dan salah kelola pertanian diperparah oleh perkembangan kapitalisme yang tidak saja menghisap melalui sistem pasar global yang tidak adil dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia,
3
melainkan juga berkembang dengan dinamika ruangnya yang eksploitatif dan serakah. Wajah kapitalisme abad ke-21 diubah secara mendasar oleh kebutuhan modal pada ruang-ruang baru untuk investasi. Hal ini seiring munculnya kebutuhan pemodal pada lahan-lahan yang meningkat. Pergerakan modal yang masuk ke dalam negeri memaksa pemerintah menyetujui liberalisasi pada sektor-sektor lain, seperti sumber daya alam, infrastruktur, perhotelan, dan lain-lain.
(Foto: tempo) Bidang-bidang ini terbuka kepada investasi asing maupun dalam negeri, yang mengakibatkan kebutuhan pada ruang melonjak tinggi. Harga sepetak tanah menjadi semakin bernilai. Setelah kota-kota mengalami ledakan pembangunan di bawah Orde Baru, ideologi "pembangunanisme" itu berkembang merasuk ke pedesaan, di mana lahan-lahan kosong nan perawan menjadi sasaran empuk investor. Dalam perubahan tata ruang yang dahsyat ini, neoliberalisme mengajarkan mantra bahwa tiap ruang adalah bernilai, dan kekayaan diukur dari akumulasi ruang yang mungkin untuk dikapitalisasi. Semakin banyak lahan yang dikuasai, semakin kayalah ia. Semangat feodalisme dan kolonialisme menciptakan racikan mematikan pada kapitalisme. Penguasaan lahan yang timpang pada Orde Baru semakin mengalami ketimpangan di bawah Reformasi. Perburuan lahan oleh pemodal tidak hanya mengancam kaum tani yang semakin terpinggirkan, tetapi juga menghancurkan budaya agraris itu sendiri. Terjadilah
4
peningkatan konflik agraria di mana kaum tani semakin keras berhadapan dengan pemodal dalam mempertahankan lahan dan ruang hidupnya.
(Foto: baranewsaceh) Pergerakan pemodal yang difasilitasi oleh negara itu sebenarnya diam-diam akan mengubur neoliberalisme itu sendiri, karena kaum tani semakin muncul sebagai aktor yang sadar atas harga diri dan eksistensinya. Mulai terdapat tanda-tanda kebangkitan di mana-mana pada kaum tani, yang semakin merasakan kebutuhan untuk bangkit melawan sistem yang tidak adil. Pertumbuhan serikat-serikat politik kaum tani meningkat. Kreativitas kaum tani untuk berinovasi dan menciptakan benih dan pupuk sendiri mulai bermunculan. Di sisi lain, kaum tani semakin aktif terlibat perlawanan atas kekuatan-kekuatan pemodal dalam berbagai skala, dari lokal hingga nasional, bahkan global. Di suatu siang yang kelabu, seorang petani mati mempertahankan sepetak sawahnya yang dibuldozer oleh alat-alat berat para penambang pasir di pesisir selatan Lumajang. Namanya Salim Kancil. Ia mati tragis setelah dikeroyok oleh mafia penambang yang bekerja menguntungkan sebuah perusahaan tambang pasir dari China. Keterpurukan petani dilambangkan oleh matinya petani di tanahnya sendiri. Namun, Pak Salim tidak mati untuk kesia-siaan. Kematiannya adalah tanda kebangkitan kaum tani. "Petani itulah penolong negeri", ujar suatu saat ulama besar KH Hasyim Asy’ari. Kita sadar bahwa petani hanya akan menjadi penolong negeri, bila ia mampu menolong nasibnya sendiri dan membangun kedaulatannya sendiri sebagai kelas politik yang bangkit merebut lagi tanahnya dan hak-haknya yang puluhan tahun tergadaikan. (*)
5
* Penulis adalah Muhammad Al-Fayyadl adalah Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). --
6