Bambang Widiatmoko -- Puisi
Puisi Bambang Widiatmoko
MANTERA Telah kautiupkan mantera di kulit kendang Agar suaranya kencang berkumandang ke segenap ruang Telah kautiupkan mantera di bilah gambang Agar cuaca cerah mengundang penonton untuk datang. Tujuh macam rujak mengawali datangnya pandak Kau sajikan sebutir telur agar pertunjukan semarak Asap kemenyan menyebar mengusir lelah dan pilu Mantera gunung Selasih – tuntunlah aku menari rindu. 2015
DALANG SUKARLANA, 1 Di rumahmu di ujung gang buntu Engkau selalu setia menunggu Mungkin ada tamu mengetuk pintu Dan angin pun tak enggan bertamu. Lalu engkau pun berkisah Tentang wayang Betawi yang gelisah Namun perjuangan tak pernah patah Seperangkat wayang kian jauh menjelajah. Di teras rumahmu ada semangat perubahan Dari pakem pakeliran menuju tontonan mengasyikkan Mengikutimu mendalang setiap malam di perkampungan Tersirat dalam sabetan wayang.- tontonan dan tuntunan. 2015
DALANG SUKARLANA, 2 Tepat tengah malam giliran sinden menjadi pujaan Dalam alunan lagu mengajak penonton bergoyang Melempar saweran dengan pandangan mata binal Aku pun terpaku di sudut menatap bibirmu kenyal 2015 ISBN – 2206-0596 (Online)
74
Aksara, Vol. 1 No. 2
July 2016
KACRIT Di sanggarmu yang tak terbebas dari debu anak-anak berlatih tari tanpa merasa jemu menjaga tradisi yang mengalir dalam darahmu dan terpancar dari topeng yang terpajang di balik pintu. Topeng Betawi, dalam gerak sukma pun menggelegak Mengaduk-aduk rasa sampai ujung usia mendesak Topeng Betawi, dari panggung ke panggung Menjaga tradisi agar tak linglung 2015
LAUT MAKRIFAT Telah kuarungi tujuh lautan Untuk mencari kerahasiaan itu Dari laut merah sampai lautan mati Menjejakkan kaki di atas gelombang Menenggelamkan diri dari keruh pasirnya Setelah kulemparkan sauh jauh membuang keluh Tapi lautan tetap saja mengantarku ke tempat berlabuh. Barangkali laut ada di dalam kalbu Tempat memuja dan berpaling dari rindu Pelayaran tak habis dihitung dengan aturan waktu Segenap pencarian jatidiri yang terkubur di tanah pilu Tujuh lautan tak mampu menghantarkan perahu ke segala arah Karena kokok batu karang itu seolah mengeraskan urat langkah kaki Kita pun berkemas menghadapi kematian - bersiap menuju alam keabadian. 2015
TIKAMAN IKAN -
bersama Dhenok Kristianti
Rasa ikan yang dibakar di atas bara tersembunyi Lantas demikian cepat tersaji menghapus mimpi Seperti melihat ribuan ikan menari di samudera tak bertepi Rasa ikan pun berubah menjadi tikaman belati di ulu hati. Jika ikan-ikan dilempar dan terkapar di geladak kapal ISBN – 2206-0596
75
Bambang Widiatmoko -- Puisi
Sebelum maut memisahkan nyawa dari dagingnya yang kenyal Sungguh, aku tak tahu dosa sebesar apa jika memindahkannya Dari bara yang nyalanya mengerjap lantas tersaji di atas meja. 2014
EMBUN DI KACA Di atas geladak kapal Dorolonda Sisa embun menempel di kaca Entah mengapa, seperti airmata Meninggalkan rasa setia Tak seperti Lumba-Lumba Berlompatan di sisi kapal Mengeraskan hatiku terkepal Seperti penumpang yang berjejal Menanti ajal dengan mulut tersumpal Atau menggenggam kekal dan rasa bebal. Di tengah perairan Masalembo yang binal Gelombang mencabik perut hinggal mual Mengingatkan kapal bisa saja terjungkal Dan terbenam di dasar laut tanpa sesal Akhir pelayaran dan kematian awal. Aku selalu senang melihat embun di kaca Menuliskan sesuatu agar mudah terbaca Lalu menghapusnya dengan sisa airmata Hingga kaca kembali jernih memantulkan cahaya Sampai kapal berlabuh di pelabuhan tanpa nama. 2015
PARADOKS Perahu baru saja mendaratkan aku di tepi pulau Keasingan menjemput saat kaki menginjak lumut Lalu aku pun larut dalam perasaan yang kalut Seperti pesakitan yang menunggu ajal menjemput Di balik terali besi sampai saat giliran eksekusi. Betapa sebuah paradoks menjelma di dua sisi Di sisi timur, aku bersiap mendaki bukit Dan menelusuri lorong gelap benteng dan goa Namun di sisi barat, bernafas pun diawasi penjaga Apalagi berkata-kata, sesuatu yang akan sia-sia. ISBN – 2206-0596 (Online)
76
Aksara, Vol. 1 No. 2
July 2016
Aku membayangkan jantung ditembus peluru Lalu sukmanya melayang lepas dari penghalang Seperti kupu-kupu terbang ke luar pintu Di balik tembok aku tak pernah tahu Senapan mana yang berisi peluru. 2015
MANUSIA PERAHU Aku tergugu menyaksikan manusia perahu yang lugu Terusir dari lautan bersama perahu menyimpan kelu Tak pernah menghitung usia - tak kenal kalender waktu Hanya ribuan bintang yang dikenalnya tanpa rasa jemu. Dan tak merasa lelah untuk saling menunggu. Lalu rasa cemas pun menjemputmu Nyali tinggal setipis debu di lautan biru Ketika akhirnya engkau berumah di tanah baru Dengan lorong-lorong sempit menambatkan perahu Juga hatimu yang mungkin terasa beku. Aku merasakan telapak kakimu terasa menyentuh sembilu Di lantai rumahmu, rumah baru terbuat dari dinding batu Tapi terasa seperti terali penjara menjepit kalbu Tatapan matamu kosong seperti ikan kerapu Yang tergantung di atas pintu. Kerinduan kembali bebas mencari ikan dan kerang Terbelenggu oleh larangan merusak terumbu karang Betapa kearifan lokal teramat mudah untuk diterjang Harapanmu terombang-ambing seperti layang-layang Melihat tubuh-tubuh turun dari kapal pesiar dan menyelam. 2015
IRAMA BANGAU PUTIH - bersama Tan Lioe Ie Jika kau sedang menari dengan segenap kesungguhan hati Seperti kulihat bangau putih berdiri di atas dua kaki Dengan penuh keseimbangan menjaga kehidupan yang hakiki Menyegarkan langit dengan cuaca yang bersahabat di Bali. Aku melihat dirimu mengolah jiwa dengan segenap kesungguhan Seperti bangau putih yang tak pernah meninggalkan jejak
ISBN – 2206-0596
77
Bambang Widiatmoko -- Puisi
Apalagi merusak sawah tempat bumi dipijak Menemani Dewi Sri menjaga kesadaran hidup agar tak retak. Aku melihat dirimu menghirup nafas dan menghembuskannya Dengan irama hitungan waktu yang tak jemu menunggu Menghembuskan energi yang mengubah denyut nadi Sepanas api membakar segala rasa jahat di lubuk hati. Dengan gerak lambat bangau putih menyeberangi sungai Terbang menuju rumpun bambu menari mendekap rasa sunyi Melepas lelah dengan meditasi – menyerap energi matahari Lalu sayapnya mengembang dan terbang kembali mencari jatidiri. 2014
TOPENG - bersama A. Prayitno Ribuan topeng tiba-tiba menjelma di dadaku Usai terbangun di dalam kotak-kotak kaca kelu Ribuan topeng yang entah berasal dari mana Datang menampakkan muka, dari raja sampai raksasa. Kesepiankah topeng itu, dipajang untuk dikenang Sebagai potret panjang peradaban manusia Dalam kesejatian sejarah yang bisa diperdebatkan Penanda identitas yang lahir dari perut zaman. Tatapan topeng dingin membekukan langkahku Seolah ingin bertanya, atau malah menjawab tanya Seperti album raksasa warisan nenek moyang menampar muka Tak mungkin aku berlari mengejar asal muasal semesta. Topeng tak ingin menunjukkan wajah bopeng insani Topeng tak bisa mati meski berniat bunuh diri Topeng tak pernah berdiam diri meski disimpan di almari Topeng tak bisa dusta meski berabad ditikam sepi. 2014
ISBN – 2206-0596 (Online)
78
Aksara, Vol. 1 No. 2
July 2016
MENGENANG HAMZAH FANSURI Seolah membaca jatidiri di tengah rasa sepi Mengenang penyair sufi Melayu Hamzah Fansuri Mencoba menangkap makna simbolik yang dituliskannya Dalam susunan kata-kata yang berirama. Sebagaimana Hamzah Fansuri mengikuti Iraqi “Laut sedia; apabila berpalu menjadi ombak baharu Dikata orang ‘ombak”. tetapi pada hakikat laut jua”. Kembali mengingatkanku akan sangkan paraning dumadi. Demikian pula ketika Hamzah Fansuri menuliskan “Dari pada air itu jangan kaulari, Supaya jadi engkau matahari”. Betapa matahari telah menjadi cermin Memancarkan Nur Muhammad di alam semesta Pusat dari segala cahaya Cahaya yang menjadi cahaya di hati kita Penyair pencari cahaya di balik makna kata. 2015
TERJEPIT DI SURAU Sebuah surau terpencil di perkebunan karet Menjepitku dalam kesendirian dan rasa sunyi Aku mencarimu dalam rasa gelisah tak tentu arah Dalam pengembaraan pencarian jatidiri Tapi rasa sunyi demikian menyakitkan hati Seperti batang pohon karet yang ditoreh tubuhnya Meski berwarna putih dialah puncak dari segala perih. Sebuah surau terpencil di atas bukit Telah menahanku untuk berdiam diri Menunggu Idul Fitri esok sisa embun pagi Dengan segala keasingan dan bahasa tak kupahami Bahkan suara burung pun terasa mengganggu Sepanjang usia menemu lebaran dalam ruang dan waktu Di tangan tuhan aku selalu mengamini – dialah sejatinya rindu. 2015
Bambang Widiatmoko, penyair kelahiran Yogyakarta ini telah memiliki kumpulan puisi tunggal Pertempuran (1980), Anak Panah (1996), Agama Jam (2002), Kota Tanpa Bunga (2008), Hikayat Kata (2011), dan Jalan Tak Berumah (2014). Cerpennya terhimpun dalam
ISBN – 2206-0596
79
Bambang Widiatmoko -- Puisi
antologi Bupati Pedro, Laki-laki Kota Rembulan (DKS, 2002), dan Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002). Sajak-sajaknya terhimpun dalam antologi bersama penyair lain Puisi Indonesia 1987 (DKJ, 1987), Tonggak IV (Gramedia, 1987), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa, 1997antara lain. Kumpulan esainya Kata Ruang (Leksika, 2015). Kini tercatat sebagai Anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), staf pengajar ilmu komunikasi pada beberapa universitas di Jakarta, dan Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Pusat
ISBN – 2206-0596 (Online)
80