erga omnes
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
Editorial Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
DAFTAR ISI Editorial 1 Publikasi 2 Advokasi HAM Internasional 3 HRWG dan Advokasi HAM PBB: Bertindak Global, Bermanfaat Lokal 3 Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya 4 Advokasi UPR Indonesia oleh Masyarakat Sipil 5 Mengapa Harus Meratifikasi? 5 Perlindungan Pengungsi dan Pengaturannya: Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Penyusunan Protokol Tetap Pengungsi 6
Advokasi HAM ASEAN 7 Pertemuan Informal ACWC dengan Masyarakat Sipil 7 Rethinking Human Rights and Rule of Law: Peranan Perguruan Tinggi dalam Advokasi HAM 7 Diskusi Kelompok Terfokus tentang Konstitusionalisme di Deklarasi HAM ASEAN 8 Pertemuan Strategis Masyarakat Sipil ASEAN untuk ASEAN Forum on Migrant Labour Ke - 4 8 Hasil Pertemuan ASEAN Forum on Migrant Workers Ke - 4 9 Intrumen Perlindungan ASEAN Terhadap Buruh Migran 9
Kegiatan 10 Pelatihan Mekanisme HAM PBB, ASEAN dan OKI untuk Masyarakat Sipil 10 Release HRWG 10
Advokasi HAM OKI 11 Pandangan atas Badan HAM OKI: Independent Permanent Human Rights Commission 11 Perlindungan dan Pemberdayaan Hak-hak Perempuan: Prospek dan Peluang Advokasi Negara-negara Muslim 12 HRWG dan Advokasi HAM OKI 13
Capture Kegiatan 14 Informasi 15 Sosok 16 Redaksi 16
Selama periode satu tahun ini Indonesia bersinggungan dengan sejumlah isu penting terkait hak asasi manusia pada tataran internasional, baik dalam mekanisme PBB, mekanisme ASEAN dan pada mekanisme Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Keterlibatan Indonesia tersebut menjadi agenda penting bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan citranya di hadapan komunitas internasional, karena hak asasi manusia menjadi salah satu tolok ukur penting dalam politik dan diplomasi luar negeri. Atas dasar tersebut, telah menjadi keharusan pula bagi Pemerintah Indonesia untuk memastikan perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia juga diimplementasikan pada tataran nasional, sehingga politik diplomasi secara makro ini dapat pula bermanfaat secara mikro di tingkat Nasional. Dalam upaya memaksimalkan tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia telah menjadi sebuah keniscayaan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam segala level dan sektor advokasi. Dalam banyak pengalaman, masyarakat sipil yang mampu menjadi agen pendorong bagi Negara untuk mengimplementasikan hak asasi manusia, baik dalam hal perlindungan, penghormatan atau pemajuan. Dari sini, advokasi HAM pada wilayah makro harus pula dilakukan oleh masyarakat sipil untuk mendapatkan manfaat di tingkat Nasional. Dalam suatu istilah pendek dapat disebutkan Bertindak Global, Bermanfaat Lokal. Buletin HRWG edisi pertama ini mengulas kegiatan dan keterlibatan masyarakat sipil Indonesia dalam mekanisme HAM internasional, regional dan cross-regional, dengan fokus advokasi pada masing-masing level. Di tingkat PBB, ada dua tema penting terkait advokasi HAM, yaitu berdasarkan Charter dan Treaty. Pada mekanisme Charter Based, Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan laporan Universal Periodic Review (UPR) yang akan dibahas pada Juli 2012. Atas Laporan ini, sesuai dengan kesempatan yang diberikan oleh Dewan HAM PBB, masyarakat sipil juga menyiapkan laporan alternatif UPR sebagai upaya untuk mengimbangi obyektifitas laporan Pemerintah. Dalam advokasi Treaty Bodies, masyarakat sipil masih bergiat mendorong ratifikasi beberapa Konvensi Internasional yang telah dijanjian oleh Pemerintah Indonesia dan hingga kini belum juga terlaksana, di antaranya adalah Konvensi Perlindungan Buruh Migran, selain dari monitoring pelaksanaan rekomendasi Komite-komite PBB. Pada tingkat ASEAN, HRWG tengah mengadvokasi pembentukan Deklarasi HAM ASEAN dan penguatan AICHR, memperkuat mekanisme ACWC, advokai buruh migran ASEAN, serta melakukan pertemuan-pertemuan tingkat national dan regional dalam upaya menyampaikan masukan dan gagasan dari masyarakat sipil terhadap mekanisme HAM ASEAN secara keseluruhan. Selain dua mekanisme di atas, salah satu mekanisme HAM yang penting mendapatkan perhatian masyarakat sipil adalah mekanisme HAM OKI yang baru saja mendirikan IPHRC OKI. Salah satu aspek advokasi HAM OKI juga terkait tentang hak-hak perempuan, karena pada 2008 OKI telah memiliki suatu standard pemajuan perempuan di komunitas (Negara-negara) Muslim (OPAAW).
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
1
PUBLIKASI Pelanggaran Hak-hak Buruh Migran Indonesia di ASEAN Tim Peneliti, Human Rights Working Group (HRWG), 2010
Rafendi Djamin Direktur Eksekutif HRWG 2010 - 2014
ADA banyak pelanggaran yang terjadi terhadap buruh migran Indonesia di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), namun sayangnya dokumentasi secara utuh tentang fenomena tersebut abai untuk diperhatikan. Tim Peneliti HRWG telah menjawab kekosongan tersebut dengan menghadirkan sebuah buku yang berangkat dari hasil penelitian terhadap tiga Negara ASEAN yang memiliki tingkat pelanggaran buruh migran cukup tinggi, baik berdasarkan kebijakan Nasional sebuah negara atau pelanggaranpelanggaran akibat dari lemahnya pengawasan dan perlindungan dari Negara. Lebih dari itu, buku ini juga memotret kebijakan-kebijakan tiga Negara terhadap buruh migran, termasuk pula aspek perlindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya.
Menuntut Hak-hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Muhammad Choirul Anam Plt. Direktur Eksekutif HRWG
Yuyun Wahyuningrum Senior Adviser Advokasi ASEAN
2 erga omnes
Choirul Anam, dkk., HRWG, 2011
Laporan Pemantauan Pelaksanaan Rekomendasi Komite oleh Pemerintah RI Tim Pemantauan, HRWG dan Komnas HAM, 2011 BUKU ini berisi tentang hasil pemantauan Komnas HAM dan HRWG terkait dengan pelaksanaan Rekomendasi Komitekomite PBB (mekanisme Treaty Bodies) dalam Concluding Observation setelah Indonesia menyampaikan Laporannya kepada Komite. Ada empat rekomendasi mekanisme yang dievaluasi, yaitu Komite Anti Penyiksaan (CAT), Komite Penghapusan Segala Bentul Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Komite Anti Diskriminasi Rasial (CERD) dan Komite Hak Anak (CRC). Buku ini menjadi satu-satunya buku yang secara komprehensif memotret kebijakan dan implementasi Indonesia terhadap rekomendasi mekanisme HAM internasional, bahkan dalam konteks global belum ada evaluasi serupa yang dilakukan.
Goldstone Report : Pelanggaran HAM di Palestina HRWG dan Dompet Dhuafa, 2011
HINGGA saat ini, para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih diperlakukan diskriminatif oleh Negara, meskipun keberadaannya dapat dikatakan lebih tua dibandingkan agamaagama import di Indonesia. Kebijakan Negara yang melanjutkan politik diskriminasi sejak masa Orde Baru, dengan diakuinya 6 agama resmi, menjadikan para Penghayat tidak mendapatkan hak-haknya dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Ada banyak contoh yang dimuat dalam buku ini, seperti hak untuk mendapatkan identitas agama dan dokumen kependudukan yang laik seperti halnya warga negara lain, yang sampai saat ini tidak terpenuhi.
Buku yang berangkat dari laporan Tim Investigasi Dewan HAM PBB yang dipimpin oleh Goldstone ini merupakan manifestasi dari upaya untuk memberikan keadilan kepada para korban kejahatan kemanusiaan, serta untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan umat manusia yang beradab.
Hal ini berimplikasi pula kepada hak-hak lain, seperti hak atas pendidikan, hak pengakuan anak secara resmi, hak untuk mendapatkan pengakuan dalam perkawinan, dan hak atas jaminan sosial. Buku ini berusaha untuk merangkum pelanggaran-pelanggaran hak yang terjadi pada kelompok penghayat yang diterbitkan HRWG dengan beberapa lembaga lain, seperti MADIA, HPK, dan BKOK.
Obyektifitas inilah yang hendak dikemukakan di sini, dengan meletakkan permasalahan Palestina Israel sebagai permasalahan kemanusiaan dan hak asasi manusia yang tidak boleh terjadi di manapun. Tidak hanya di Palestina yang berpenduduk muslim, tetapi juga di Negara lain, bahkan tatkala Negara-negara Muslim yang melakukan pelanggaran tersebut harus pula dilihat secara obyektif.
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
Laporan aslinya berjudul Human Rights in Palestine and other Accuied Arab Territories Report of the United Nations fact Finding Mission on The Gaza Conflict diterjemahkan oleh HRWG dan Dompet Dhuafa sebagai upaya untuk menjelaskan faktafakta terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Palestina, baik dilakukan oleh Israel, Hamas ataupun Pemerintah Palestina.
ADVOKASI HAM INTERNASIONAL HRWG dan Advokasi HAM PBB:
Bertindak Global, Bermanfaat Lokal HRWG diberikan mandat oleh Anggotanya dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk menjalankan advokasi hak asasi manusia pada tingkatan internasional, salah satunya adalah advokasi di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), baik dalam ranah Charter Based atau Treaty Based. Peranan ini tetap dijalankan oleh HRWG sampai sekarang, selain dari advokasi di tingkat regional ASEAN dan OKI. Dengan klasifikasi sistem HAM PBB tersebut, HRWG membagi bidang advokasi internasional PBB menjadi dua, yaitu yang berkonsentrasi pada Dewan HAM (sebelum tahun 2006 masih Komisi HAM di bawah Dewan Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan mekanisme Komite-komite PBB yang merupakan pengejawantahan dari terbentuknya Konvensi-konvensi HAM. Untuk yang pertama dikenal dengan mekanisme Charter Based dan kedua adalah Treaty Based. Untuk advokasi Charter Based ada tiga komponen penting yang menjadi fokus advokasi, yaitu proses Universal Periodik Review (UPR), Prosedur Khusus, dan Dewan HAM. UPR adalah sebuah mekanisme pemantauan negara-negara Anggota PBB terkait dengan kepatuhan mereka menjalankan norma-norma yang terdapat di dalam Deklarasi HAM (DUHAM) 1948. Setiap negara, terlepas dari status ratifikasi Konvensi yang ada, harus melaporkan kondisi HAM di Negaranya paling tidak dalam periode 4 tahun sekali. Aspek advokasi yang dapat diperankan berada pada dua sisi, secara mikro dan makro. Secara mikro, mekanisme UPR dapat digunakan oleh masyarakat sipil dalam mendorong implementasi HAM pada level nasional, karena selain signifikannya performance Dewan HAM PBB untuk mendorong pemajuan HAM Nasional, keterlibatan masyarakat sipil dalam proses persidangan atau penyampaian laporan alternatif juga menjadi penting untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya terkait implementasi HAM itu sendiri. Sampai tahun 2011, HRWG bersama-sama dengan Anggota dan Jaringan advokasi telah menyampaikan Laporan alternatif untuk 2 periode persidangan, yaitu pada tahun 2008 dan tahun 2010. Secara makro, mekanisme Charter Based dapat digunakan untuk mendorong perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia yang ada di luar negeri, terutama dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di suatu Negara. Dalam suatu contoh adalah perlindungan bagi buruh migran Indonesia di banyak Negara yang sampai saat ini masih berada pada titik nadir.
Dalam kasus buruh migran tersebut, mekanisme UPR dapat dimanfaatkan untuk mendorong Negara-negara tujuan buruh migran, seperti Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura, untuk menjalankan standard HAM internasional yang ada sebagai suatu komitmen mereka terhadap komunitas internasional. Dalam hal inilah, masyarakat sipil harus memantau proses mekanisme UPR dan Negara-negara mana saja yang sedang di-review pelaksanaan HAM-nya (State under review). Untuk mekanisme special prosedure, HRWG berperan dalam penyampaian laporan atau pengaduan kepada Pelapor Khusus terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dalam 3 bulan terakhir, HRWG setidaknya telah menyampaikan 15 pengaduan, seperti dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama, pembela HAM, dan penyiksaan. Kedua aspek advokasi tersebut di atas (UPR dan SP) berada di ranah Dewan HAM PBB, namun secara khusus ada aspek advokasi lain yang juga termasuk di Badan ini, di antaranya adalah monitoring komponen Dewan HAM sebagai analisa politik HAM internasional, keanggotaan Indonesia di Dewan HAM, serta sikap dan komitmen Indonesia terhadap HAM di ranah internasional dalam resolusi-resolusi. Pada ranah treaty bodies advokasi yang dilakukan sangat terkait dengan mandat sebuah Komite. Sejauh mana sebuah Komite memiliki mekanisme dan apakah Indonesia menyetujui mekanisme tersebut. Pada hampir semua Konvensi, melalui reservasi Pasal-pasal tertentu Indonesia menolak mekanisme pengaduan yang ada di Komite. Untuk itu, yang menjadi fokus utama mekanisme treaty bodies tersebut adalah dalam proses pelaporan dan penyampaian laporan alternatif kepada suatu Komite. Di samping itu, laporan-laporan juga dilakukan terhadap mekanisme yang dimungkinkan, seperti prosedur Urgent Action dan Early Warning dalam Komite CERD. Untuk advokasi mekanisme CEDAW, HRWG bekerjasama dengan CWGI (Cedaw Working Group), sebuah konsorsium organisasi masyarakat sipil Indonesia untuk advokasi CEDAW dan dalam advokasi mekanisme CAT, HRWG bekerjasama dengan WGAT, jaringan advokasi CAT. Advokasi treaty based juga dilakukan di tingkat nasional, yaitu dengan melakukan pemantauan terhadap implementasi Rekomendasi Komitekomite (Concluding Observation) dalam setiap
Ali Akbar Tanjung Program Manajer Advokasi PBB
Rizka Agradianti Program Officer Advokasi PBB
sesi persidangan. Setidaknya, Indonesia telah menerima 4 rekomendasi, yaitu dari CEDAW, CRC, CERD dan CAT yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia. Hasil pemantauan rekomendasi Komite tersebut dikompilasi dalam suatu buku yang diterbitkan oleh HRWG dan diharapkan menjadi tolok ukur bagi Pemerintah dan masyarakat sipil dalam pelaksanaan Konvensi internasional yang telah diratifikasi. Dari gambaran advokasi di atas, dapat dimengerti bahwa advokasi hak asasi manusia internasional tidak dapat dilepaskan dari akarnya di tingkat nasional, sehingga cukup relevan jika dikatakan Bertindak Global, Bermanfaat Lokal.
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
3
ADVOKASI HAM INTERNASIONAL DAFTAR SINGKATAN ACMW
Ratifikasi Konvensi Perlindungan
Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Sebagai salah satu negara pengirim buruh migran, Indonesia harus memiliki mekanisme perlindungan warga negaranya yang bekerja di luar negeri, mencakup pada saat pra keberangkatan, di negara tujuan, dan saat kepulangan. Harapan ideal tersebut sayangnya tidak seiring dengan peraturan perundangan di Indonesia, terutama yang diatur dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. UU ini belum cukup memadai mengatasi seluruh permasalahan buruh migran, sehingga mereka selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang rentan kekerasan dan pelanggaran hak. Untuk itu, ratifikasi Konvensi Buruh Migran merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan bagi pemerintah Indonesia yang mendapatkan keuntungan devisa dari setiap buruh migran. Indonesia telah menandatangi Konvensi ini pada 22 September 2004, namun hingga sekarang belum juga diratifikasi. Ratifikasi selalu terhenti pada tataran normatif yang dicatatkan di dalam RANHAM, bahkan dimasukkan dalam 3 periode RANHAM sejak 1998 sampai 2014. Ratifikasi sebagai upaya perlindungan warga negara di Negara tujuan selalu dikalahkan dengan arogansi dan sikap resisten pejabat Pemerintahan di tingkat nasional mengenai posisi, peran dan tanggungjawab Indonesia jika meratifikasi konvensi tersebut. Suatu sikap yang sangat tidak fair jika dibandingkan dengan devisa sekaligus pula keringat darah dan air mata yang telah diberikan buruh migran.
Capaian dan Hambatan Dalam rentang waktu tujuh tahun terakhir telah ada pelbagai pertemuan antar kementerian, Komnas HAM, maupun
4 erga omnes
Committee on the Protection and Promotion of the Right of Migrant Workers ACWC ASEAN Commission for the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children ADHR ASEAN Declaration on Human Rights AICHR ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights ACSC ASEAN Civil Society Conference APF ASEAN People Forum CAT Committee against Torture CEDAW Committee on the Elimination of Discrimination against Women CERD Committee on the Elimination of Racial Discrimination CRC Committee on the Rights of the Child IPHRC Independent Permanent Human Rights Commission KTM Konferensi Tingkat Menteri KTT Konferensi Tingkat Tinggi OIC Organization of the Islamic Cooperation SP Special Procedures SR Special Rapporteur UDHR Universal Declaration on Human Rights UPR Universal Periodic Review CMW Committee on Migrant Workers CRDP Committee on the Rights of Persons with Disabilities
masyarakat sipil untuk mempersiapkan rencana ratifikasi konvensi yang pada prinsipnya menyetujui ratifikasi konvensi tersebut. Pada sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula bahwa masih terdapat sikap resisten dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI untuk ratifikasi dengan alasan yang tidak masuk akal. Pertama, Menakertrans beranggapan bahwa ratifikasi Konvensi berarti Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja asing dan keluarganya yang bekerja di Indonesia, termasuk kewajiban untuk memberikan tunjangan pengangguran setelah PHK. Kedua, ratifikasi konvensi tidak memberikan perlindungan kepada TKI yang bekerja di luar negeri secara otomatis, karena Negara penerima belum ada yang meratifikasi. Ketiga, Konvensi bertentangan dengan substansi UU Ketenagakerjaan (UU No.13/2003), yaitu tentang hak berserikat buruh migran; tidak boleh mem-PHK buruh migran; akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan. Menjawab resistensi dan keraguan tersebut, HRWG telah menyusun Kertas Posisi tentang ratifikasi Konvensi Buruh Migran dengan mengambil contoh Meksiko. Secara praktis, Meksiko tidak pernah dirugikan dengan ratifikasi Konvensi, justru sebaliknya, ratifikasi menjadi modalitas bagi Meksiko untuk melakukan perjanjian-perjanjian bilateral dengan negara tujuan dan memastikan bahwa standar perlindungan HAM di dalam Konvensi dapat diimplementasikan oleh Negara Penerima. Pada tahun 2011, Kementerian Luar Negeri kembali menginisiasi pertemuan untuk
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
menyusun ulang Naskah Akademik ratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Draft naskah akademik tersebut sudah dibahas sebanyak dua kali dalam lokakarya antar departeman dan masyarakat sipil. Dalam dua pertemuan ini, mayoritas perwakilan dari pelbagai Kementerian menyetujui dan mengusulkan pembahasan ratifikasi konvensi di DPR paling lambat tahun 2011, sekalipun dalam pertemuan tersebut masih terlihat resistensi dari Menakertrans. Saat ini, Naskah Akademik serta draft RUU Ratifikasi telah disampaikan ke Direktorat Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM untuk selanjutnya menunggu Amanat Presiden agar diajukan pembahasan kepada DPR. Dengan ratifikasi Konvensi tersebut Indonesia tidak hanya menjadi Negara yang memandang buruh migran sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperjualbelikan, tetapi menghargai mereka sebagai manusia utuh laiknya manusia-manusia yang lain. Sikap Pemerintah Indonesia secara lebih khusus Menakertrans yang menolak ratifikasi Konvensi merupakan cerminan suatu rezim politik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok, tidak meletakkan prinsip-prinsip universal laiknya seorang negarawan, serta membiarkan warga negaranya menderita tanpa perlindungan.
ADVOKASI HAM INTERNASIONAL Advokasi UPR Indonesia oleh
Masyarakat Sipil
Putaran pertama UPR telah dilalui selama periode 2008 sampai 2011 dan setiap Negara PBB yang berjumlah 192 telah direview implementasi HAM-nya sesuai dengan DUHAM. Putaran kedua UPR dilaksanakan mulai 2012 sampai 2014 dan untuk kali kedua ini Indonesia mendapatkan giliran direview pada Juni 2011. Berbeda dengan sidang sebelumnya (2008) yang mengulas seluruh permasalahan HAM di Indonesia, putaran kedua ini hanya terfokus pada pelaksanaan Rekomendasi UPR pada 2008. Pemerintah Indonesia menyampaikan Laporan implementasi Rekomendasi UPR 2008 pada Februari 2012 untuk dibahas pada pertemuan Juni 2012, sementara masyarakat sipil, sebagaimana dalam Panduan yang dibuat oleh Dewan HAM PBB, deadline penyampaian laporan pada 21 November 2011. Untuk menyiapkan laporan tersebut, sebagai perkumpulan organisasi-organisasi HAM di Indonesia HRWG mengkoordinasikan penulisan laporan dengan perimbangan isu dan sebaran wilayah. Untuk melibatkan semua elemen organisasi CSO di Indonesia, HRWG menginisiasi pertemuan awal pada tanggal 16 Agustus 2011 yang merumuskan rencana penulisan Laporan Alternatif dan menginventarisasi bidang hak yang dimasukkan ke dalam laporan alternatif. Pertemuan pertama ini melibatkan tim ahli dan penulis yang telah terlibat pada penulisan laporan periode pertama 2008.
7th Session of the UPR, 8-19 February 2010
Setelah menentukan isu-isu tersebut HRWG mengundang semua stakeholder masyarakat sipil yang secara langsung terlibat dalam advokasi, seperti kelompok HRD, kebebasan beragama, hak anak, hak perempuan, masyarakat adat, dan buruh migran. Dengan rangkaian pertemuan tersebut, sejumlah lembaga menyepakati untuk menyusun suatu laporan isu masing-masing dan atas draft tersebut Tim HRWG mengkompilasinya menjadi laporan utuh. Tidak banyak yang dapat dimasukkan ke dalam Laporan, karena untuk satu laporan masyarakat sipil hanya memiliki 5 halaman saja dan 10 halaman jika disampaikan lebih dari satu lembaga, sehingga dalam 10 halaman tersebut CSO harus memaksimalkan perkembangan terkini HAM di Indonesia dan sesuai dengan Rekomendasi UPR 2008.
Mengapa Harus Meratifikasi? Ratifikasi Konvensi Perlindungan Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya telah menjadi mandat Nasional dan internasional, sehingga tidak ada lagi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi Konvensi tersebut sebagai upaya konkret perlindungan buruh migran. Secara nasional, komitmen Indonesia terhadap perlindungan seluruh warga negaranya termasuk di dalamnya buruh migran dapat dirujuk kepada Konstitusi dan undangundang yang menjamin perlindungan, pemenuhan dan peningkatan HAM. Dalam konteks kebijakan, Pemerintah telah memasukkan agenda ratifikasi tersebut dalam RANHAM, bahkan sejak 1998 sampai 2014 untuk 3 periode RANHAM. Di samping itu, Indonesia juga telah menandatangani Konvensi tersebut sebagai suatu pertanda bahwa Indonesia telah menyetujui prinsip-prinsip yang ada di
dalamnya. Terakhir, yang tidak kalah pentingnya adalah aspek sosiologis, bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengirim buruh migran ke luar negeri dan sangat ironis bila sampai sekarang Indonesia masih enggan meratifikasi.
Penyusunan Laporan dirampungkan pada awal November 2011 dan untuk mensosialisasikan, menjaring aspirasi dan memperkuat data dalam dokumen tersebut, HRWG menyelenggarakan Workhsop Nasional Penyempurnaan UPR di Hotel Akmani pada tanggal 11 12 November 2011 yang dihadiri oleh para penggiat HAM dari pelbagai bidang advokasi dan wilayah. Dalam Workhsop yang berlangsung 2 hari ini, para peserta memberikan pandangan dan masukan kritis terhadap draft yang sudah tersusun, sekaligus pula menambahkan datadata update terkait isu masing-masing. Disamping Laporan yang bersifat umum, HRWG dan beberapa CSO yang lain juga menyusun laporan khusus untuk isu tertentu, seperti tentang implementasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, pembela HAM, penyiksaan, dan untuk hak perempuan dan anak. Rekomendasi Komite CAT 2008 juga menggarisbawahi perlakukan buruk yang sering terjadi pada buruh migran, terutama perempuan, dan menghimbau agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi.
Komunitas internasional juga telah memberikan perhatian kepada pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Hal ini dapat ditelusuri dari pelbagai rekomendasi badan-badan PBB kepada Pemerintah Indonesia, seperti CERD, CEDAW, CAT dan Pelapor Khusus PBB untuk buruh migran.
Pada 2008 pula Komite CEDAW mengeluarkan sebuah rekomendasi khusus No. 26 yang menghinmbau kepada negaranegara yang telah meratifikasi CEDAW untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Bahkan, permasalahan buruh migran juga selalu disampaikan dalam Rekomendasi Umum Sidang Komite CEDAW kepada Pemerintah Indonesia, dengan dorongan ratifikasi.
Komite CERD menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi HAM di Indonesia, secara lebih khusus terhadap buruh migran dan merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran.
Pada tahun 2006, Pelapor Khusus Dewan HAM PBB untuk Hak Asasi Buruh Migran, Jorge A. Bustamante, dalam laporan kunjungannya ke Indonesia merekomendasikan agar Indonesia segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran.[]
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
5
ADVOKASI HAM INTERNASIONAL Perlindungan Pengungsi dan Pengaturannya:
Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Penyusunan Protokol Tetap Pengungsi Pertama kali Indonesia bersinggungan dengan permasalahan pengungsi adalah tatkala masuknya pengungsi Vietnam pada tahun 1980-an di perairan Indonesia melalui laut Cina Selatan. Atas peristiwa tersebut, Soeharto menempatkan Pulau Galang sebagai pulau alternatif bagi para pengungsi dan mengundang UNHCR untuk berkantor di Indonesia. Sampai saat ini, UNHCR menjadi aktor utama dalam pengurusan pengungsi di Indonesia, karena Indonesia belum meratifikasi Protokol 1951 tentang Pengungsi. Permasalahan pengungsi (refugee) atau pencari suaka (asylum seeker) adalah isu yang menjadi perhatian seluruh komunitas internasional dan meletakkannya dalam aspek kemanusiaan, sehingga desakan untuk memberikan perlindungan kepada kelompok ini mendapatkan dorongan moral dan legalnya dari seluruh bangsa di dunia. Atas dasar ini pula, hukum kebiasaan internasional menerapkan prinsip non-refoulment, yaitu sebuah prinsip yang melarang pendeportasian seseorang ke negara asalnya bila di negaranya tersebut ia terancam mengalami penyiksaan. Bagi yang telah meratifikasi Protokol 1951, Negara diberikan kewenangan untuk mengurus sendiri para pencari suaka yang datang ke negaranya, termasuk pula memberikan status pencari suaka dan pengungsi, serta menerima status kependudukannya. Sementara Negara yang belum meratifikasi, urusan pengungsi dikembalikan kepada kantor UNHCR di negara tersebut. Indonesia termasuk kategori kedua dan karenanya pula kantor UNHCR masih ada di Indonesia. Secara konstitusional, Indonesia mengakui para pencari suaka dan pengungsi di dalam UUD 1945 atau di sejumlah Undang-undang, walaupun secara praktis Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang jelas. Kekosongan hukum dan aturan teknis ini menjadikan Pemerintah Indonesia gamang tatkala kelompok pengungsi/ pencari suaka tiba-tiba masuk ke perairan Indonesia, terutama melalui jalur laut.
Perahu pengungsi Srilanka (Tamil) yang terdampar di perairan Indonesia (Merak) tahun 2010. Sumber gambar: matanews.com
Atas permasalahan tersebut, melalui Direktorat HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, HRWG meminta agar Pemerintah membuat Prosedur Tetap (Protap) penanganan pengungsi, minimal setiap kementerian mengetahui tugas dan peranan masing-masing tatkala pengungsi datang ataupun mereka yang telah ditempatkan di Detensi. Selain itu, Protap ini penting untuk dibuat oleh Pemerintah sebagai amanat dari UUD RI dan UU Keimigrasian, yang memandatkan kepada Presiden untuk mengatur permasalahan pengungsi secara lebih detil dan rinci melalui Peraturan Pemerintah.
Pucuk dicinta, ulampun tiba. Beberapa hari setelah pertemuan dengan Dit. HAM dan Kemanusiaan ini, masyarakat sipil yang diwakili oleh HRWG, LBH Jakarta dan Jaringan Advokat Pengungsi, diundang untuk menghadiri workhsop penyusunan Protap Pengungsi, dengan melibatkan seluruh stakeholder pemerintahan yang terkait. Pertemuan ini diselenggarakan pada pertengahan November 2011 yang menghasilkan draft Protap Pengungsi, meliputi penanganan pengungsi saat kedatangan (melalui jalur laut dan darat) dan penanganan pada saat di detensi.
Absennya regulasi dan kurangnya pemahaman para petugas/aparat di lapangan menyebabkan kedatangan pengungsi dimaknai dan diperlakukan secara berbedabeda, bahkan dalam beberapa kasus terjadi kriminalisasi terhadap mereka yang datang, karena dipandang sebagai imigran illegal gelap.
6 erga omnes
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
Draft ini juga menggarisbawahi pentingnya perlindungan khusus bagi anak-anak dan perempuan. Di dalam draft tersebut, masyarakat sipil berhasil memasukkan beberapa komponen hak yang terdapat di dalam Protokol 1951, meskipun beberapa hak masih diperdebatkan, seperti hak atas bantuan hukum. Penyempurnaan draft dilanjutkan pada pertemuan kedua, yaitu pada tanggal 6 7 Desember 2011 dan dalam kesempatan ini kembali masyarakat sipil mendorong dimasukkannya beberapa komponen hak yang harus dijamin di dalam Protap. Finalnya, sejumlah komponen hak pengungsi yang berhasil masuk dalam Draft tersebut di antaranya adalah akses kepada pendidikan, baik formal atau informal, hak untuk bekerja demi kelaikan hidup, dan hak kebebasan beragama/berkeyakinan. Masih muncul perdebatan tentang komponen hak yang harus dimasukkan, selain dari hak mendapatkan bantuan hukum yang menunggu keputusan dari rapat Pimpinan, hak untuk berserikat bagi pengungsi juga tidak berhasil dimasukkan. Setelah dirampungkan, Kemlu RI akan mendikusikan Draft Protap ini dengan organisasi internasional yang bertanggung jawab untuk pengungsi, seperti UNHCR dan IOM, dan setelah lembaga-lembaga ini menyampaikan pendapat yang dijadwalkan pada Januari 2012, Kemlu akan menggelar rapat di tingkat pimpinan untuk disetujui dan disahkan sesuai peraturan perundangundangan. []
ADVOKASI HAM ASEAN Pertemuan Informal ACWC dengan Masyarakat Sipil Atas kerjasama dengan Kalyanamitra, HRWG mengadakan Forum Masyarakat Sipil Asia Tenggara untuk ACWC di Solo, pada tanggal 6 7 September 2011, beriringan dengan Pertemuan Ketiga ACWC yang diadakan di tempat yang sama pada tanggal 6 8 September 2011. Sebagai lembaga yang diberikan mandat dalam permasalahan perempuan dan anak, sejak berdirinya pada 2010, Badan regional ini dirasakan masih banyak menghadapi tantangan dan kendala dalam melaksanakan tugas-tugasnya, seperti belum adanya dukungan sekretariat ACWC, proses penyelarasan dengan AICHR dan badan-badan sektoral ASEAN lainnya, serta adanya kendala internal terkait keterbukaan informasi. Dari sekilas latar belakang ini, Forum Masyarakat Sipil di Solo ini merupakan dukungan masyarakat sipil terhadap proses pembangunan ACWC untuk lebih efektif dan maksimal.
Secara mendasar, Forum ini bertujuan untuk menyediakan landasan (framework) bagi organisasi-organisasi yang bekerja untuk isu perempuan dan anak di ASEAN, di samping juga untuk mendiskusikan dan berbagi informasi mengenai tantangan-tantangan dan praktikpraktik terbaik dalam implementasi Konvensi Hak Anak (CRC) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW). Pertemuan ini juga berupaya mendorong serta meningkatkan dialog dan kerjasama antara ACWC dan masyarakat sipil, serta proses di mana masyarakat sipil dapat berkontribusi pada pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak di ASEAN. Pertemuan ini dihadiri oleh peserta dari Indonesia, Kamboja, Malaysia, Vietnam dan Thailand, serta 2 lembaga regional. Dari rangkaian diskusi yang dilakukan, salah satu permasalahan yang mengemuka adalah adanya kesamaan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara anggota ASEAN dalam urusan perempuan dan anak, baik secara kualitas atau kuantitas. Tidak dapat dipungkiri permasalahan terkait hak anak dan perempuan ini masih tinggi di setiap negara, dengan permasalahan yang mencolok mengenai perdagangan orang (perempuan dan anak) dan pengungsi. Untuk menyampaikan hasil rekomendasi pertemuan CSO tersebut, pada sesi akhir pertemuan ini dilakukan pula pertemuan informal
Hirim Nurliana Program Manajer Advokasi ASEAN
dengan ACWC di tanggal 8 September 2011, walaupun tidak semua Anggota ACWC hadir. Perwakilan masyarakat sipil diterima secara resmi oleh ACSC, dengan agenda pertemuan di antaranya adalah dialog antara masyarakat sipil dan Anggota ACSC, menyampaikan masukan dan kritik, dan mengajukan permasalahan-permasalahan yang perlu mendapat perhatian khusus dari ACWC. Tatap muka dengan Komite ini dipandang berhasil melibatkan masyarakat sipil dan menjadi salah satu perhatian dalam Statement kedua ACWC. []
Rethinking Human Rights & Rule of Law:
Peranan Perguruan Tinggi dalam Advokasi HAM DENGAN melibatkan para akademisi dan praktisi kampus yang concern di bidang HAM, HRWG menyelenggarakan sebuah Konferensi mengenai Rethinking Human Rights and Rule of Law. Acara ini terlaksana atas kerjasama HRWG, Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) dan Pusat Studi HAM Universitas Surabaya. Konferensi ini terdiri dari serangkaian diskusi panel mengenai topik-topik HAM dengan narasumber dan peserta dari Pengajar-pengajar HAM seluruh Indonesia. Dalam Konferensi ini, HRWG secara khusus memasukkan 2 tema diskusi, yaitu mengenai Changing Context on Human Rights Mechanisms and its Challenges dan Constitution and ASEAN Human Rights Declaration. Pada sesi Changing Context dihadirkan narasumber dari perwakilan Indonesia untuk mekanisme-mekanisme HAM regional, di antaranya adalah Rafendi Djamin (Perwakilan Indonesia dan Ketua AICHR), Ahmad Taufan Damanik dan Rita Serena Kolibonso (Perwakilan Indonesia untuk ACWC) dan Siti
Ruhaini Dzuhayatin (Komisioner IPHRC OKI). Diskusi Constitution and ASEAN Human Rights Declaration menghadirkan narasumber yang ahli di bidang HAM dan konstitusionalisme, yaitu Herlambang Perdana dan Muchamad Ali Syafaat, yang sekaligus pula sebagai Tim Peneliti HRWG untuk Konstitusi, Konstitusionalisme dan ASEAN Human Rights Declaration. Kedua tema diskusi tersebut bertujuan untuk mensosialisasikan mekanisme HAM ASEAN dan OKI, serta Deklarasi HAM ASEAN yang masih dalam proses pembentukan. Diskusidiskusi ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan menambah dukungan advokasi dari para pengajar HAM di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, yang secara lebih luas dapat disampaikan kepada seluruh komunitas civitas akademika. Setidaknya, diskusi singkat tersebut telah mampu meningkatkan antusiasme peserta Konferensi dan ketertarikan mereka untuk lebih
Jane Aileen Program Officer Advokasi ASEAN
banyak mengenal mekanisme HAM regional. Lebih dari itu, sosialisasi ini telah pula menyentuh perwakilan peserta yang berasal dari pelbagai daerah di Indonesia yang secara praktis sulit mendapatkan akses terhadap informasi baru tentang mekanismemekanisme tersebut. []
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
7
ADVOKASI HAM ASEAN Diskusi Kelompok Terfokus tentang Konstitusionalisme di Deklarasi HAM ASEAN Secara politik, mekanisme HAM ASEAN cukup berbeda dengan Dewan Eropa, InterAmerika dan Afrika. Jika di Eropa dan Amerika konsep HAM dan demokrasi telah dikenal seiring dengan berdirinya Negaranegara di kawasan tersebut, serta di Afrika HAM menjadi tuntutan hampir seluruh komunitas Afrika pasca peristiwa apartheid yang banyak terjadi di kawasan tersebut, maka pembangunan HAM di ASEAN sedikit lebih terkendala secara sosiologis dan cultural. Apalagi, sebelumnya Negara-negara di Asia Tenggara sempat menolak adanya HAM versi Barat dan mengajukan regional value sebagai antisipasi ekspansi norma HAM internasional. Terlepas dari beragam faktor yang mendorong sikap pemimpin-pemimpin ASEAN era 90an terhadap HAM, sikap defensif ini dirasa masih memengaruhi perkembangan dan kemajuan HAM di kawasan tersebut. Dengan kata lain, pembangunan HAM di ASEAN tidak semulus seperti di kawasan-kawasan lain, tetapi sangat sarat dengan kepentingan politik masing-masing Negara, ditambah lagi belum meratanya sistem demokrasi yang diterapkan di setiap negara. Tantangan dan kendala ini dapat terlihat ketika komunitas ASEAN hendak merumuskan Deklarasi HAM ASEAN. Kondisi politik Nasional yang belum seiring dengan standard demokrasi dan HAM mengarahkan komunitas ASEAN pada pilihan-pilihan yang tidak jarang berseberangan dengan standard HAM
internasional. Bahkan, terkesan Negara-negara di kawasan ini belum begitu siap untuk berkomitmen membangun sistem HAM yang efektif dalam perlindungan, pemenuhan dan pemajuan. Hal ini pula yang menyebabkan kuatnya dorongan Pertemuan ACSC/APF tahun 2011. Jakarta, 3 - 5 Mei 2011 masyarakat sipil di kawasan tersebut dan mengupayakan segala strategi terdapat di dalam Konstitusi dapat untuk memastikan bahwa Deklarasi yang termanifestasi di dalam Deklarasi HAM dihasilkan nantinya sesuai dengan standard ASEAN. Untuk itu pula, penelitian yang internasional dan menjamin baiknya dibahas dalam Diskusi Kelompok Terfokus peradaban HAM di ASEAN ke depan. Lebih pada 11 November 2011, pukul 13.00 17.00 penting lagi, instrumen tersebut dapat WIB di Jakarta, merupakan modalitas utama diejawantahkan pada tataran Nasional. bagi masyarakat sipil untuk menagih komitmen Konstitusi mereka. Dalam konteks pembangunan dan penguatan HAM di kawasan tersebut, keterlibatan Policy Paper yang berjudul Konstitusi, masyarakat sipil secara luas menjadi sangat Konstitusionalisme, dan Deklarasi HAM penting, terutama dalam memastikan ASEAN ini diharapkan dapat menjadi komitmen Negara/Pemerintah terhadap rujukan bagi Negara-negara ASEAN, HAM, baik dalam forum, nasional, regional sekaligus pula menekankan komitmen atau internasional. Untuk itu pula, mereka terhadap HAM sebagaimana terdapat dibutuhkan advokasi pada semua level di dalam Konstitusi. Lebih jauh lagi, strategi tersebut, dengan memanfaatkan peluangtersebut tidak hanya terpaku pada Konstitusi peluang yang ada dan memaksimalkan saja, tetapi juga mendorong kepada prinsip beragam strategi untuk mendapatkan hasil dan nilai universal konstitusionalisme yang yang lebih maksimal. diakui oleh masyarakat internasional. Salah satu strategi untuk mendorong Negaranegara ASEAN dalam perumusan Deklarasi HAM ASEAN yang sesuai dengan standard internasional, HRWG berupaya mengembalikan komitmen tersebut ke masing-masing Konstitusi Negara, dengan harapan bahwa norma-norma HAM yang
Pertemuan Strategis Masyarakat Sipil ASEAN untuk ASEAN Forum on Migrant Labour Ke - 4 Bersama Indonesian Working Group on Migrant Workers (IWGMW), HRWG menginisiasi pertemuan strategis masyarakat sipil ASEAN pada 22 23 Oktober 2011. Pertemuan ini antara lain bertujuan untuk: Pertama, membangun platform organisasi yang bekerja pada hak buruh migran di kawasan ASEAN dan mendiskusikan tantangan dalam mekanime ASEAN mengenai buruh migran. Kedua, membangun strategi bersama masyarakat sipil dalam pertemuan ASEAN Forum on Migrant Labour. Ketiga, meningkatkan kerjasama antara masyarakat sipil dan berkontribusi untuk membangun perlindungan hak-hak buruh migran di ASEAN. Ada beberapa isu penting terkait buruh migran yang menjadi perhatian dan akan disampaikan pada pertemuan ASEAN Forum
8 erga omnes
on Migrant Labour (AFML) pada 24 25 Oktober 2011. AFML merupakan pertemuan regional tahunan yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, masyarakat sipil, serikat buruh dan pihak-pihak terkait mengenai penempatan buruh migran dari negara-negara anggota ASEAN. Pada AFML ke-4 2011 mengambil tema Efektifitas implementasi Deklarasi ASEAN Perlindungan dan Promosi Hak Buruh Migran. Pertemuan masyarakat sipil ASEAN ini menghasilkan sejumlah rekomendasi prioritas untuk pertemuan AFML, di antaranya adalah tentang perlindungan HAM dan mengutamakan sensitifitas gender terhadap buruh migran, sosialisasi ketentuan hukum dan prosedur sesuai dengan bahasa yang dapat dipahami buruh migran di negara tujuan, dan kesempatan kepada buruh
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
Acara ini dibuka oleh Pjs. Ketua Dewan Pembina HRWG, Anton Pradjasto. Dihadirkan pula Penanggap penelitian, yaitu Irfan Hutagalung dari PSHK (Indonesian Centre of Law and policy Studies), yang menggarisbawahi pentingnya melihat pelaksanaan hak di masing-masing Negara, selain sisi normatifnya. [] migran untuk bergabung dalam serikat buruh atau asosiasi pemberdayaan kolektif di Negara tujuan. Dalam konteks pemulangan dan reintegrasi buruh migran, masyarakat sipil merekomendasikan antara lain tentang pemberian upah sebelum mereka kembali, meminimalisasi penangkapan, penahanan, dan deportasi bagi imigran tidak berdokumen di mana pun berada, pengawasan AICHR, ACWC, ACMW dan Pemerintah dalam proses deportasi (bila terjadi), perlindungan hak-hak buruh migran pada tingkat nasional, baik di negara asal atau negara tujuan, pembangunan mekanisme yang menyediakan akses keadilan bagi buruh migran, lintas dan antar batas Negara, dan terakhir mendorong semua negara ASEAN untuk memastikan masuknya para buruh migran tidak berdokumen dan keluarganya di kawasan Asia Tenggara. []
ADVOKASI HAM ASEAN Hasil Pertemuan ASEAN Forum on Migrant Workers Ke-4 Bali-Indonesia, 24 - 25 Oktober 2011 PERTEMUAN Ke-4 ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML) diikuti oleh perwakilan dari 10 negara-negara ASEAN yang terdiri dari masyarakat sipil, serikat buruh, asosiasi pengusaha, Sekretariat ASEAN, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Organisasi Imigrasi Internasional (IOM). Pertemuan ini menghasilan sejumlah rekomendasi yang seharusnya ditindaklanjuti oleh negara-negara ASEAN secara serius. Sekalipun dalam beberapa hal terdapat resistensi dari sejumlah negara ASEAN dalam pembahasan penyusunan rekomendasi, namun pada akhirnya peserta forum secara bulat menyepakati beberapa rekomendasi penting bagi Negara asal dan Negara tujuan buruh migran, serta tanggung jawab bersama oleh masing-masing Negara anggota ASEAN. Di antara rekomendasi tersebut adalah: Pertama, mempercepat lahirnya Instrumen ASEAN Perlindungan dan Pemajuan hak-hak asasi semua buruh migran dan anggota keluarganya. Instrumen tersebut harus mengikat (legally binding) dan sesuai dengan standard internasional HAM dan perburuhan. Kedua, menyusun panduan untuk Pemulangan dan Reintergrasi yang efektif di ASEAN (ASEAN Guidelines on Effective Return and Reintegration).
Ketiga, negara-negara ASEAN, khususnya negara tempat bekerja buruh migran, menyediakan bantuan hukum, pelayanan dasar dan konsular bagi buruh migran dan anggota keluarganya. Keempat, merekomendasikan tidak ada deportasi massal buruh migran. Kelima, perusahaan dan kedutaan harus membuat rencana tanggap darurat (emergency response) bila terjadi pemulangan yang tidak dapat terhindar akibat situasi krisis dan bencana. Untuk tujuan ini dukungan pembiayaan harus dibuat di tingkat nasional yang melingkupi program repatriasi melalui konsultasi dengan buruh migran dan organisasi masyarakat sipil. Keenam, melaksanakan program orientasi paska kedatangan di negara tujuan dengan mengadopsi pendekatan HAM, yang dilakukan oleh pemerintah dan melibatkan serikat pekerja, serta masyarakat sipil. Ketujuh, negara asal bertanggung jawab membuat strategi untuk menangani pemulangan buruh migran serta membangun sistem monitoring pada proses reintegrasi dan kelayakan hidup buruh migran yang kembali ke negara asalnya. Kedelapan, Negara tujuan bertanggung jawab untuk memastikan gaji yang layak bagi buruh migran tanpa pemotongan yang illegal, kondisi dan lingkungan kerja yang aman dan sesuai dengan standard HAM internasional dan perburuhan. Kesembilan, Negara tujuan harus menyediakan sertifikat kerja kepada buruh migran.
Selamet Didi Santoso Manager Keuangan HRWG
Khusus bagi pemerintah Indonesia, rekomendasi tersebut seharusnya ditindaklanjuti secara serius dengan pelbagai komponen masyarakat lainnya, terutama dengan membuat plan of action untuk memastikan rekomendasi tersebut bisa terlaksana dengan baik. Memastikan rekomendasi ini bisa terlaksana dengan baik dibutuhkan keseriusan dari pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, dengan mengedepankan prinsipprinsip HAM. Selain itu, sebagai salah satu negara asal terbesar buruh migran di Asia Tenggara sudah semestinya Indonesia bersikap aktif dalam menindaklanjuti berbagai kesepakatan dan rekomendasi yang telah dihasilkan dalam AFML ini. []
Intrumen Perlindungan ASEAN
Terhadap Buruh Migran
PERTEMUAN Ke-4 ASEAN AFML (24 - 25 Oktober 2011) juga membahas tentang proses perumusan instrumen perlindungan ASEAN terhadap buruh migran, terutama tentang besarnya kendala dari negara-negara penerima buruh migran. Pertemuan Drafting Team penyusunan instrumen yang terdiri dari dua negara asal (Indonesia dan Filipina) dan dua negara penerima buruh migran (Malaysia dan Thailand) sudah berjalan selama kurun waktu empat tahun, tetapi sampai sekarang belum mampu menghasilkan sebuah instrumen ASEAN perlindungan buruh migran, sebagaimana dimandatkan oleh Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Buruh Migran (Deklarasi Chebu) tahun 2007. Kegagalan menciptakan instrumen ASEAN ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain:
Pertama, lemahnya dukungan politik pemerintah negara-negara ASEAN kepada drafting team (ACMW) dalam menyelesaikan pembahasan instrumen ASEAN perlindungan buruh migran tersebut. Kedua, sikap politik negara penerima buruh migran yang tidak mendukung adanya instrumen perlindungan, karena melihat keberadaan buruh migran dari paradigma ekonomi semata bukan dari perspektif HAM. Ketiga, lemahnya posisi tawar negara-negara pengirim dikarenakan buruknya sistem perlindungan buruh migran di dalam negeri. Hal ini berimplikasi pada banyaknya buruh migran yang mengalami tindakan kekerasan, bahkan kematian, termasuk ancaman hukuman mati di negara-negara Asean (Malaysia, dan Singapura) tidak tertangani dengan baik.
Keempat, lambatnya proses penyusunan instrumen selama empat tahun dipenuhi relasi antar Negara yang anti buruh migran, tarik ulur kepentingan dan berkutat pada masalah integrasi ekonomi dan keamanan. Persoalan-persoalan ini setidaknya telah mempengaruhi proses pembahasan dan penyusunan instrumen ASEAN yang dalam kurun waktu empat tahun ini mendapatkan resistensi dari negara-negara penerima buruh migrant. Hal utama yang menjadi perdebatan utama adalah apakah instrumen tersebut legally binding atau tidak dan penolakan mengakui buruh migran yang tidak berdokumen. []
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
9
KEGIATAN Pelatihan Mekanisme HAM
PBB, ASEAN, dan OKI untuk Masyarakat Sipil
Dian Anshar Peneliti Senior ASEAN
RELEASE HRWG 1. 30 Desember 2011: Delegasi DPR RI Menyalahi 2. 18 November 2011: Terlalu Dini Burma di Dukung Menjadi Ketua ASEAN 2014: Belum Terlihat Perubahan yang Signifikan dan Substansial. 3. Bali, 25 Oktober 2011: ASEAN sepakat mempercepat finalisasi instrument perlindungan hak Buruh Migran (Siaran Pers Bersama: IWGAMW dan TFAMW mengenai AFML Ke-4) 4. 23 Oktober 2011: Asean Gagal Melindungi Buruh Migran, Keketuaan Indonesia Sia-Sia (Indonesia Working Group on ASEAN Migrant Workers) 5. 10 Oktober 2011: Memperingati Hari Internasional Penghapusan Hukuman Mati se Dunia: Diplomasi Buruh Migran Terganjal Hukuman Mati 6. 28 Juli 2011: Respon atas Vonis Korban Penyerangan Massa di Cikeusik, Banten (Tim Advokasi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara) 7. 23 Juli 2011: Memperingati Hari Anak Nasional : Puluhan Anak Indonesia Masih Ditahan di Penjara Australia (Komnas HAM, HRWG, LBH Jakarta, CDS, SAPA Indonesia)
10 erga omnes
SALAH satu strategi perlindungan dan pemajuan HAM dalam konteks nasional adalah memanfaatkan mekanisme supra nasional sebagai sarana advokasi, baik pada tingkat regional atau internasional. Pada tataran internasional HAM, keterlibatan masyarakat sipil telah menjadi suatu keharusan dalam setiap mekanisme yang ada, baik di bawah Charter Based atau Treaty Based. Demikian halnya pada tataran regional, seperti mekanisme HAM ASEAN dan OKI, keterlibatan masyarakat sipil di dalamnya dapat memastikan agar mekanisme tersebut berdampak positif di tingkat nasional, selain juga terwujudnya mekanisme HAM yang sejalan dengan prinsip-prinsip HAM universal. Harapan ideal tersebut jauh panggang dari api bila gambaran mekanisme-mekanisme tersebut saja belum terbayang pada jalinan advokasi masyarakat sipil, sehingga kebutuhan untuk menyebarluaskan informasi, sekaligus pula membekali para pembela HAM pelbagai keterampilan advokasi internasional, yang terkadang relatif berbeda dengan konteks advokasi nasional, menjadi sangat penting.
badan HAM. Kedua, penguatan strategi advokasi HAM pada tataran internasional dan regional melalui mekanisme HAM yang ada, baik secara prosedural ataupun melalui lobby-lobby antar negara dan organisasi. Ketiga, membangun kesadaran masyarakat sipil dalam memanfaatkan mekanisme di luar prosedur Nasional. Untuk memaksimalkan sebaran informasi terkait mekanisme HAM internasional dan regional tersebut, peserta Pelatihan dipilih melalui perimbangan wilayah di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan dari Indonesia bagian timur. Pelatihan ini terdiri dari tiga pokok bahasan, mekanisme HAM PBB, ASEAN dan OKI, dengan materi keterampilan advokasi
Untuk menjawab permasalahan tersebut, HRWG telah menyelenggarakan Pelatihan Mekanisme Konsultasi Publik Masyarakat Sipil dan Komisioner Indonesia di Mekanisme HAM (PBB, ASEAN dan OKI) HAM PBB, ASEAN Jakarta, 5 Oktober 2011 dan OKI untuk Masyarakat Sipil 2011, dengan melibatkan para internasional, seperti pembuatan pengaduan pembela HAM dari pelbagai sektor advokasi, kepada prosedur khusus PBB dan melakukan lobi seperti kelompok isu HAM, perempuan, anak, kepada Komisioner, Pelapor Khusus PBB dan masyarakat adat, kebebasan stakeholder HAM internasional lainnya. Di beragama/berkeyakinan, jurnalis, lembaga samping itu, peserta pelatihan juga diberikan bantuan hukum, LGBT,disabilitas, kelompok kesempatan untuk bertatap muka langsung minoritas dan korban. Dengan pelatihan ini, dengan para perwakilan Indonesia untuk tiga masyarakat sipil diharapkan dapat mendorong mekanisme tersebut, seperti Marzuki Darusman Pemerintah Indonesia memaksimalkan kembali (Anggota Working Group Dewan HAM PBB perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM untuk Korea Utara), Taufan Damanik (perwakilan di tingkat Nasional, melalui mekanisme HAM Indonesia untuk ASEAN Commitee on Women and internasional dan regional. Pelatihan ini Children), Rafendi Djamin (perwakilan Indonesia dilaksanakan pada 1 5 Oktober 2011 di Bogor, untuk Komisi HAM ASEAN), dan Siti Ruhaini Jawa Barat, dengan peserta berjumlah 22 orang. Dzuhayatin (perwakilan Indonesia untuk Komisi Secara praktis, pelatihan ini bertujuan untuk: HAM OKI). Tatap muka ini diharapkan mampu Pertama, peningkatan kapasitas pengetahuan memberikan gambaran jelas kepada peserta peserta terhadap mekanisme hak asasi manusia pelatihan terkait masing-masing mekanisme, serta PBB, ASEAN dan OKI, terutama pada prosedur- memungkinkan mereka untuk mengadvokasi prosedur yang menjadi mandat masing-masing setiap proses yang sedang berlangsung. []
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
ADVOKASI HAM ORGANISASI KERJASAMA ISLAM Pandangan atas Badan HAM OKI:
Independent Permanent Human Rights Commission SEIRING dengan proses reformasi yang dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) memasuki tahun 2000, Organisasi terbesar kedua setelah PBB ini telah memiliki badan HAM tersendiri dengan nama Independent Permanent Human Rights Commission (IPHRC). Badan HAM ini dibentuk pada Konferensi Dewan Menteri Luar Negeri OKI ke-38 di Kazakhstan pada tanggal 28 30 Juni 2011. Dalam Konferensi ini, telah diadopsi Resolusi No. 2/38-LEG Tentang The Establishment of the OIC Independent Permanent Human Rights Commission (Statute of IPHRC), sekaligus pula memilih 18 orang Komisionernya. Para Komisioner yang telah dipilih tersebut mewakili 3 kawasan; Asia, Arab dan Afrika; yaitu:
Luar Negeri masing-masing negara, untuk masa waktu tiga tahun secara bergantian. Bila mengacu kepada Statuta IPHRC (Pasal 12 17), Badan HAM ini memiliki sejumlah tujuan, di antaranya adalah: Pertama, memajukan HAM dan melayani kepentingan umat Islam di ranah ini, mengkonsolidasikan dan menghormati budaya Islam dan nilai-nilai luhur, serta mempromosikan dialog antarperadaban yang konsisten dengan prinsip dan tujuan Piagam OKI. Kedua, mendukung upaya negara-negara anggota untuk mengkonsolidasikan hak-hak sipil, politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk pula memantau kepatuhan terhadap hak asasi manusia dari masyarakat Muslim dan minoritas.
yang aktif di bidang hak asasi manusia sesuai dengan Piagam OKI dan prosedur kerja, selain meningkatkan kerja sama antara Organisasi (OKI), dan organisasi internasional dan regional hak asasi manusia.
Ketiga, mendukung upaya Negara Anggota dalam hal kebijakan yang bertujuan meningkatkan legislasi dan kebijakan yang mendukung memajukan hak-hak perempuan, kaum muda dan mereka dengan kebutuhan khusus, di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya serta menghilangkan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Kelima, melakukan studi dan penelitian tentang isu-isu prioritas hak asasi manusia, termasuk isu-isu yang disebut dengan Dewan, dan mengkoordinasikan upaya dan bertukar informasi dengan kelompok Negara-negara Anggota sedang bekerja pada isu-isu hak asasi manusia di forum internasional.
Dalam menjalankan tugastugasnya, Statuta memberikan Sosialisasi Komisi HAM OKI (IPHRC) dan Penguatan Keterlibatan mandat kepada IPHRC untuk Masyarakat Sipil. Jakarta, 12 Juli 2011. Dari kiri; Muhammad melakukan: Pertama, Choirul Anam (Deputi Direktur HRWG), Muhammad Anshor (Dit. HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI), dan Siti Ruhaini melaksanakan tugas Dzuhayatin (Komisioner Indonesia untuk IPHRC) konsultatif untuk Dewan dan menyampaikan rekomendasi kepadanya. Hal ini juga (dimaksudkan) harus Mr. Wael Attiya (Mesir), Mr. Mohammed melaksanakan tugas-tugas lain yang mungkin Raisouni (Maroko), Saleh bin M. Al-Khatlan (Saudi Arabia), Mahmoud al-Aker (Palestina), ditugaskan oleh KTT atau Dewan. Elham Ibrahim Ahmed (Sudan), Adel Issa AlKedua, mendukung posisi OKI dalam bidang Mahry (UEA), Ousman Diao Balde (Guinea), hak asasi manusia di tingkat internasional dan Mohamed Kawu Ibrahim (Nigeria), Med. S.K. mengkonsolidasikan kerjasama antar Negara Kaggwa (Uganda), Moh. Lamine Timbo (Sierra Anggota di bidang ini. Leone), Mohammad al-Bashir Ibrahim (Chad), Ketiga, menyediakan kerja sama teknis di bidang Oumar Abiu Abba (Cameroon), Siti Ruhaini hak asasi manusia dan peningkatan kesadaran (Indonesia), Raihana Abdullah (Malaysia), tentang hak-hak di Negara Anggota, serta Abdul Wahab (Pakistan), Zuhtu Arslan (Turkey), Mostafa Alaei (Iran) dan Asila Wardak menawarkan pengakuan Negara Anggota secara konsultatif pada isu-isu hak asasi manusia. (Afghanistan). Tujuan dan Mandat IPHRC IPHRC didirikan dalam lingkup OKI, dengan anggota yang diajukan oleh para Departemen
Hafiz Muhammad Program Officer Advokasi OKI
Keenam, bekerja sama dengan Negara Anggota, atas permintaan mereka, dalam pengembangan instrumen hak asasi manusia. Hal ini juga (termasuk) dapat mengajukan rekomendasi tentang penyempurnaan dari Deklarasi dan Konvensi hak asasi manusia OKI, serta menunjukkan ratifikasi perjanjian hak asasi manusia dan instrumen dalam kerangka OKI dan selaras dengan nilainilai Islam dan disepakati standard internasional. []
Keempat, mempromosikan dan mendukung peran lembaga Negara Anggota yang terakreditasi dan organisasi masyarakat sipil
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
11
ADVOKASI HAM ORGANISASI KERJASAMA ISLAM Perlindungan dan Pemberdayaan Hak-hak Perempuan:
Prospek dan Peluang Advokasi Negara-negara Muslim Islam merupakan agama yang sarat dengan tuduhan pelanggaran dan diskriminasi terhadap perempuan, karena secara normatif khazanah hukum Islam klasik meletakkan perempuan pada status yang subordinat dan inferior. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah permasalahan, seperti bolehnya poligami, keistimewaan laki-laki dalam warisan, otoritasi perceraian bagi laki-laki, serta larangan perempuan terlibat di dunia public tanpa disertai dengan pendampingnya. Lebih dari itu, ketentuan-ketentuan yang hampir disepakati oleh seluruh pandangan ahli hukum Islam ini telah menjadi pandangan mainstream bagi masyarakat muslim dan berimplikasi pada kehidupan sehari-hari kaum perempuan. Tidak jarang suatu komunitas muslim cenderung meletakkan perempuan sebagai makhluk kedua yang tidak lebih penting dari kaum laki-laki. Melihat kepada fenomena tersebut, apa yang telah dilakukan oleh OKI telah mampu membawa perubahan dan perbaikan, meskipun masih berada pada tataran normatif. Kemajuan ini tergambar dari keberhasilan OKI membangun komunikasi dan kerjasama antar kementerian pemberdayaan perempuan OKI sejak 2005 pada pertemuan Tingkat Tinggi Luar Biasa, di Mekah, 7 8 Desember 2005. Secara resmi, pertemuan ini dibakukan pada November 2006 di Turki dalam forum First Ministerial Conference on Womens Role in the Development of OIC. Selain menindaklanjuti hasil Sidang KTT OKI 2005, pertemuan ini sebagai implementasi dari Resolusi Kementerian Luar Negeri OKI pada Juni 2005 di Sanaa, Yaman, dalam bidang Budaya dan Sosial, yang menyinggung tentang pemberdayaan perempuan Muslim di masyarakat Islam, serta mengajak negaranegara OKI untuk membuka peluang sebesarbesarnya bagi perempuan dan membuat rencana aksi untuk meningkatkan peranan perempuan dalam perkembangan masyarakat. Pertemuan pertama ini menyiapkan forum bagi negara-negara anggota OKI untuk mendiskusikan upaya dan cara bersama dalam pembangunan strategi, standard, program, dan tujuan peningkatan kedudukan perempuan di setiap Negara. Secara spesifik, ada beberapa isu yang digarisbawahi dalam konferensi ini, di antaranya adalah: kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan pekerjaan dan penghapusan kemiskinan perempuan; keterlibatan perempuan dalam pengambilan
12 erga omnes
keputusan, baik di tingkat pusat atau daerah; meningkatkan partisipasi dan akses perempuan dalam pendidikan sebagai manifestasi pada masa yang akan datang; menghilangkan segala bentu kekerasan terhadap perempuan. Rencana Aksi Pemberdayaan Perempuan Pertemuan ini secara rutin dilakukan 2 tahun sekali. Pertemuan kedua dilakukan di Kairo,Mesir, pada 24 25 November 2008 yang merumuskan aspek-aspek penting pedoman bagi perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat, sekaligus sebagai dasar pendidikan bagi anak, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pada pertemuan ini ini pula, OKI membentuk suatu Program Aksi Bersama sebagai pedoman dan landasan perlindungan perempuan di negara-negara muslim (OIC Plan of Action for the Advancement of Women/OPAAW) dan telah dievaluasi pada pertemuan tahun 2010 di Teheran-Iran, pada 19 20 Desember 2010. OPAAW terdiri dari beberapa bagian pembahasan, yaitu: visi untuk perempuan di negara-negara anggota OKI, tujuan OPAAW, langkah-langkah dan target implementasi, studi indikator pembangunan dan orientasi aksi, Rencana Aksi dan Evaluasi, dan Rekomendasi. Secara strategis, OPAAW memiliki empat tujuan untuk dicapai, yaitu: pertama, penghapusan kemelaratan, pencapaian pembangunan dan ketersediaan sumbersumber yang memadai, serta mendorong komponen inti dalam pencapaian kesetaraan gender dan pembangunan perempuan dalam setiap level dan sektor. Kedua, meningkatkan partisipasi perempuan dalam mekanisme pengambilan kebijakan, baik tingkat lokal atau nasional. Ketiga, menyiapkan kesempatan yang setara untuk perempuan dalam akses pendidikan, kesehatan, peningkatan partisipasi. Keempat, menghapuskan segala bentuk diskriminasi, termasuk menghapuskan segala tindak kekerasan terhadap perempuan. Keterlibatan Masyarakat Sipil Mengacu kepada diskusi yang dilakukan oleh HRWG dengan masyarakat sipil lainnya, bila dilihat dari sisi substantif, OPAAW merupakan salah satu instrumen politik antar negara yang memiliki kemajuan bila dibandingkan dengan instrumen-instrumen lain, seperti Deklarasi Beijing, karena OPAAW merekam secara detil kondisi perempuan di negara-negara Muslim dan
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
memberikan jawaban terhadap kondisikondisi tersebut. Dengan mencakup seluruh permasalahan esensial perempuan di negara-negara Muslim, OPAAW patut menjadi salah satu pedoman untuk mendukung pemajuan dan pemberdayaan perempuan, meskipun dalam praktik dan pelaksanaannya masih terdapat kekurangan. Secara konseptual, upaya OKI tersebut sudah cukup mapan dibandingkan masa-masa sebelumnya, namun secara praktik implementasi di Negara-negara OKI cukup sulit menerapkan apa yang telah disepakati tersebut. Berdasarkan informasi dari utusan Indonesia dalam Pertemuan Ketiga (2010) di Teheran-Iran, dapat diketahui bahwa secara struktur kelembagaan OKI masih sangat lemah, termasuk pula ikatan dan komitmen di antara negara-negara Anggota, sehingga pertemuan yang diselenggarakan oleh OKI, secara lebih khusus dalam pertemuan Menteri Pemberdayaan Perempuan, masih terbatas pada forum konsultasi dan berbagi informasi di antara negara-negara Anggota. Bila dibandingkan dengan pertemuan dalam forum Cedaw PBB atau forum-forum internasional lainnya tentang perempuan, OKI masih cukup jauh tertinggal, terutama pada antusiasme Negara-negara Anggota untuk mengikuti forum dan menindaklanjuti agenda-agenda yang telah ditetapkan oleh forum. Dari sini pula, ikatan dan komitmen di antara negara-negara OKI hanya sebatas moral dan tidak mengikat secara ketat, termasuk pula dalam implementasi OPAAW hanya sebatas forum konsultasi dan berbagi informasi tentang best-practice di masing-masing Negara. Forum belum mengarah kepada evaluasi terhadap kondisi pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan di suatu Negara sebagaimana yang dimandatkan oleh OPAAW. Untuk itu, keterlibatan masyarakat sipil, baik di Indonesia atau di Negara-negara OKI, sangat dibutuhkan untuk mendorong progresifitas dan keseriusan setiap Negara. Di samping dengan komitmen untuk mengintegrasikan dokumen tersebut pada tataran nasional, termasuk pula mengevaluasi capaian-capaian di dalamnya, upaya untuk membentuk komunitas yang lebih solid juga menjadi agenda penting bagi setiap Negara agar dokumen ini dapat hidup dan diterapkan secara maksimal.
ADVOKASI HAM ORGANISASI KERJASAMA ISLAM HRWG dan Advokasi HAM OKI Sejak pertengahan 2010, HRWG telah melakukan pemantauan terhadap perkembangan HAM OKI, yang difokuskan kepada dua aspek, yaitu: 1) pembentukan Komisi HAM OKI, dan; 2) pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang mekanisme OKI, pertama kalinya HRWG melakukan diskusi terbatas tentang HAM OKI dengan melibatkan Direktur HAM Kementrian Luar Negeri RI dan mengundang beberapa elemen masyarakat sipil. Advokasi HAM OKI dianggap penting oleh HRWG karena selain sebagai organisasi terbesar kedua setelah PBB, secara strategis OKI cukup mampu mendorong pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Negara-negara Muslim, di samping juga dominasi Negara-negara OKI di mekanisme Dewan HAM sangat memengaruhi politik dan standardisasi HAM internasional. HRWG juga melakukan sosialisasi perkembangan HAM OKI kepada masyarakat sipil di Indonesia dengan merangkul organisasi-organisasi dari pelbagai latar belakang, yang secara garis besar terdiri dari elemen organisasi HAM secara umum dan organisasi keagamaan. Pertemuan juga dilakukan di tataran internasional bersama dengan CSO dari negara-negara Anggota OKI di Istanbul, Turki, pada Oktober 2010. Pertemuan ini berupaya membangun komunikasi awal dalam advokasi HAM OKI dan merancang strategi bersama di tingkat Nasional. Selama setahun terakhir, HRWG juga melakukan monitoring terhadap instrumen dan dokumen HAM OKI, serta penulisan kertas posisi dan paper yang mengurai perkembangan dan kondisi HAM di OKI. Dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan, selain memonitoring perkembangan OIC Plan of Action for the Advancement of Women/OPAAW, HRWG juga telah melakukan pembicaraan dengan Kementerian Pemberdayaan Masyarakat sipil di beberapa negara Muslim telah cukup aktif mendorong aspek hak-hak perempuan pada tataran internasional dan regional, bahkan lebih maju bila dibandingkan dengan komponen hak-hak lain. Namun secara institusional, OKI nampaknya luput dari perhatian, sehingga secara strategis OKI tidak masuk dalam agenda advokasi. Terlepas dari kecenderungan negara-negara yang mendominasi dalam forum-forum OKI, sebagai sebuah mekanisme yang baru dan
Perempuan dan Perlindungan Anak RI (KPPPA) untuk membangun suatu mekanisme advokasi bersama dalam implementasi OPAAW, karena dalam perkembangannya Sidang Inisiatif dan Orientasi Komisi HAM OKI (IPHRC). Jedah, Saudi Arabia, 7 - 8 Desember 2011. Terlibat dalam Indonesia cukup mampu pertemuan ini adalah Siti Ruhaini Dzuhayatin, mewarnai diskursus hak-hak sebagai perwakilan Indonesia untuk IPHRC perempuan dalam forum Menteri Pemberdayaan Perempuan OKI. pengaruh besar dalam politik hak asasi manusia di PBB, baik di Dewan HAM atau Karena forum tersebut masih sangat baru General Assambly. Hal ini pula yang menjadi dan belum terlalu efektif jika dibandingkan faktor kurangnya ketersediaan bahan dan dengan mekanisme internasional/regional modal untuk melihat perkembangan HAM lainnya, HRWG sedang mendorong KPPPA di OKI, karena OKI yang secara institusi RI menjadi salah satu vocal point dalam forum masih bersifat normatif juga tidak didukung ini, apalagi pada pertemuan Kedua forum dan dibesarkan oleh masyarakat sipil. ini (22 Desember 2010 di Teheran, Iran) Indonesia mampu mengusulkan prioritas isu Barunya wacana tentang hak asasi manusia untuk penghapusan segala bentuk kekerasan di OKI, setelah populer pada tahun 1990dalam rumah tangga. an dengan Deklarasi HAM Islam Kairo dan pudar, menyebabkan belum adanya jaringan Dari proses advokasi yang dilakukan oleh nasional yang kuat dan solid dalam advokasi HRWG selama ini, HRWG melihat masih HAM OKI, baik dari organisasi HAM banyak kelemahan-kelemahan dibandingkan ataupun organisasi keagamaan, padahal dengan jaringan-jaringan isu yang lain, baik mainstream hak asasi manusia dewasa ini pada tataran nasional ataupun internasional. telah melihat adanya kesempatan besar untuk Secara nasional, OKI masih menjadi salah mendorong OKI sebagai salah satu organisasi internasional yang hampir tidak organisasi multilateral yang mampu diperhatikan oleh institusi masyarakat sipil, mendorong, memajukan dan melindungi sehingga untuk tidak mengatakan tidak hak asasi manusia dan membangun sistem ada lembaga yang berkonsentrasi terhadap masyarakat demokratis. OKI masih sangat sedikit. Selama ini, OKI Tidak hanya pada tataran nasional, selalu dilihat dalam konteks konflik Israelkurangnya perhatian masyarakat sipil juga Palestina, sehingga kemajuan-kemajuan yang terjadi pada tataran internasional. Hal ini seharusnya dikedepankan justru tidak terbukti dari pertemuan perdana yang tercapai. HRWG hadiri bersama dengan organisasiAkibat kurangnya perhatian tersebut, pada organisasi masyarakat sipil dari pelbagai tataran nasional tidak ada satu lembaga yang Neagra OKI, di Istanbul, pada Oktober 2010, secara khusus memonitoring dan lembaga-lembaga tersebut ternyata tidak mengadvokasi HAM OKI, padahal secara memiliki informasi yang cukup banyak faktual OKI merupakan organisasi terbesar tentang perkembangan OKI. Bahkan, kedua setelah PBB dan memberikan HRWG menjadi satu-satunya lembaga yang telah menyiapkan Kertas Posisi terkait perkembangan terakhir hak asasi manusia prospektif, advokasi hak-hak perempuan di OKI. OKI dapat menjadi suatu program advokasi masyarakat sipil, terutama dalam Di samping itu, pada tataran internasional, isu-isu yang secara langsung bersinggungan kendala CSO dalam mengadvokasi OKI dengan aspek-aspek keagamaan. Apalagi, adalah ketertutupuan Pemerintah di beberapa OKI telah memiliki sturktur informal Negara Muslim lainnya kepada CSO, seperti pertemuan tingkat kementerian halnya yang terjadi di Malaysia, sehingga Pemberdayaan Perempuan dan dokumen masyarakat sipil sangat sulit mengakses resmi OPAAW yang dapat dijadikan informasi terkait dengan OKI, ditambah lagi langkah awal advokasi dan memberikan belum solidnya jaringan internasional yang perhatian bagi pembangunan HAM dan mampu mewakili di setiap negara/wilayah. HAP di negara-negara Muslim. [] []
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
13
CAPTURE KEGIATAN Civil Society Strategic Meeting to the 4th ASEAN Forum on Migrant Labor. Bali, Indonesia, 22 - 23 Oktober 2011
Human Rights Working Group Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
Civil Society Forum to the Meeting of the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Women and Children (ACWC)
ASEAN Refugee Legal Aid Network (ARLAN): 3rd Regional Meeting and 1st Indonesia National Refugee Law Training Jakarta, 20 - 24 September 2011
Human Rights Working Group Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
Workshop Nasional Masyarakat Sipil: Penulisan Laporan Alternatif Rekomendasi UPR dan Diskusi Tematik Konstitusionalisme dan Deklarasi HAM ASEAN
14 erga omnes
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
CAPTURE KEGIATAN Diskusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Hate Speech: Antara Kebebasan dan Potensi Kekerasan. Choirul Anam, Asfinawati dan Sidney Jones. Komunitas Salihara, 16 Maret 2011. Foto diambil dari Salihara
Direktur Eksekuif, Wakil Direktur HRWG, dan Direktur ILRC, Uli Parulian, saat menyampaikan keterangan tentang kasus kekerasan kepada wartawan, di Jakarta, Senin, 7 Maret 2011 di HRWG. (Sumber foto ANTARA/Ujang Zaelani) Rafendi Djamin, Joan (Direktur Pusham UBAYA), Manunggal K. Wardaya (Koordinator SEPAHAM) dalam Closing Ceremony Konferensi Nasional HAM I di Universitas Surabaya, 20-21 September 2011 Pertemuan Masyarakat Sipil ASEAN (ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People Forum) 2012". Jakarta, 3 - 5 Mei 2011.
INFORMASI KONGRES HRWG Sebagai kumpulan organisasi masyakarat sipil untuk advokasi HAM internasional, HRWG akan menyelenggarakan Kongres Regular Dua Tahunan pada bulan Fenruari 2012 (jadwal dan tempat masih tentatif). Untuk Kongres tersebut, HRWG akan mengundang Anggota-anggota HRWG yang ada di seluruh Indonesia.
Pelatihan HAM ASEAN di 3 Wilayah Indonesia Sebagai program lanjutan dari tahun sebelumnya, HRWG akan melaksanakan Workshop Training tentang mekanisme HAM ASEAN pada periode Februari - Maret 2012 di 3 (tiga) wilayah di Indonesia, meliputi Indonesia Timur, Indonesia Tengah, dan Indonesia Barat.
Workshop HAM bagi Jurnalis Untuk meningkatkan kapasitas para jurnalis terhadap mekanisme HAM internasional dan regional, HRWG akan melaksanakan Workshop Training Mekanisme HAM Internasional dan Regional bagi para Jurnalis pada bulan April 2012 di Jakarta.
ACSC/APF 2012 Salah satu kegiatan masyarakat sipil yang secara regular dilakukan adalah ACSC/APF yang pada tahun 2012 akan diselenggarakan di Kamboja, pada 29 - 31 Maret 2012.
Kedatangan Pelapor Khusus PBB Pada tahun 2012 Pemerintah Indonesia berencana untuk menghadirkan 3 (tiga) Pelapor Khusus Dewan HAM PBB, yaitu: Pelapor Khusus Hak Kebebesan Berekspresi dan Berpendapat, Pelapor Khusus Hak Atas Kesehatan, dan Pelapor Khusus Hak atas Perumahan yang Layak. Dalam menyambut Pelapor Khusus ini, untuk memaksimalkan laporan di sela-sela aktifitas advokasi, masyarakat sipil dapat mempersiapkan laporan tematik sebelum kedatangan pelapor khusus.
Sidang Perdana IPHRC OKI Menindaklanjuti Pertemuan Inisiatif IPHRC OKI di Jedah pada 7-8 Desember 2011, IPHRC OKI akan melaksanakan Sidang Perdana di Jakarta, Indonesia, pada bulan Februari 2012. Dalam agenda ini, masyarakat sipil di Indonesia mengusulkan agar Indonesia menjadi Markas Besar IPHRC OKI.
Sidang Universal Periodik Review Indonesia Setelah di review Kondisi penegakan dan implementasi HAM-nya pada tahun 2008, kali ini Indonesia juga direview untuk putaran kedua di Dewan HAM dalam mekanisme Universal Periodic Review Dewan HAM PBB. Setelah menyampaikan Laporan kepada Dewan HAM pada awal tahun 2012, termasuk pula laporan alternatif yang disampaikan oleh masyarakat sipil Indonesia, Pemerintah Indonesia akan bersidang di Dewan HAM pada bulan Juni 2012. Persidangan ini juga dapat diakses secara online melalui broadcast di www.ohchr.org
Sidang CEDAW: Pembahasan Indonesia Sesuai dengan jadual Komite CEDAW dan hasil laporan yang telah disampaikan oleh Pemerintah dan CSO, Indonesia akan bersidang dengan Komite CEDAW pada Sesi ke-52, pada periode 9 - 27 Juli 2012 di Genewa.
Human Rights Working Group: Indonesias Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy
15
SOSOK MUNIR: PEJUANG KEMANUSIAAN YANG TAK PERNAH MATI Adakah lagi orang lain yang dengan tubuh kecilnya mampu menyimpan keberanian sedemikian besar untuk menjadi suara dan telinga orang lain? Mungkin dialah sosok pejuang HAM yang nyaris paling komplit dalam segala hal. Ketika kesederhanaan menjadi barang mewah di Indonesia, dia berani tampil dengan segala kebersahajaannya. Selama ini Munir telah menjadi ikon perjuangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Bahkan peziarahan dan karya Munir telah melampaui batas? Batas wilayah disiplin profesi maupun ilmu melalui pembelaannya bagi kaum tertindas. Demikian rangkaian petikan kalimat yang dituliskan oleh Willy Pramudya dalam bukunya Cak Munir, Engkau Tidak Pernah Mati. Munir Said Thalib, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Malang, Jawa Timur, pada tanggal 8 Desember 1965. Seorang lelaki keturunan Arab ini menyelesaikan pendidikannya dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan mengabdikan hidup sepenuhnya dalam perjuangan penegakan HAM maupun para korban kekerasan oleh rezim yang berkuasa saat itu. Namanya mencuat sejak dia menangani kasus Marsinah di Jawa Timur di akhir tahun 80-an dan awal 90-an, dalam kapasitasnya sebagai anggota LBH Surabaya, yang saat itu merupakan pekerjaan pertamanya sejak lulus dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Munir pernah menjadi Direktur LBH Semarang selama tiga bulan pada tahun 1995, lalu ditarik ke YLBHI, Jakarta. Pada 1998 ia menjadi Koordinator Kontras dan kemudian Direktur Imparsial. Keberanian Munir untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM maupun kasus kekerasan pada zaman Orde Baru membuat dirinya menjadi target operasional intelijen atau pihak-pihak yang tidak senang dengan perjuangannya. Untuk menghalangi perjuangan Munir ini cara yang harus dilakukan adalah menghilangkan nyawanya dengan berbagai cara, termasuk pula membubuhkan racun arsenik di makanan cak Munir ketika ia hendak melakukan perjalanan ke Belanda untuk menempuh S2. Walaupun telah berlalu tujuh tahun, kospirasi pembunuhan Munir hanya menyentuh satu tersangka saja, yaitu pilot Garuda Polycarpus sebagai terdakwa, sementara aktor utamanya sampai hari ini tidak tersentuh sama sekali. Tidak hanya seluruh bangsa Indonesia, terutama mereka para korban pelanggaran HAM dan keganasan Pemerintah, sosok kharismatis sekelas alm. Abdurrahman Wahid, yang dikenal dengan Gus Dur, pun turut berduka cita atas wafatnya cak Munir. Sesaat setelah kematian Munir, Gus Dur menyampaikan: Terus terang, di antara para pejuang HAM, dia yag paling terkemuka. Dia tidak tergoda kemewahan hidup dan sebagainya. Teman-temannya yang lain sudah pada mewah, dia tidak. Yang dia lakukan hanya menolong orang. Demikian sosok sederhana ini dicatat dalam ingatan peradaban bangsa Indonesia. Untuk mengenang perjuangan dan pengabdiannya terhadap kemanusiaan, Pemerintah Belanda bahkan menjadikan nama Munir sebagai salah satu nama jalan di Den Haag, Belanda, sebagaimana 2 tokoh Indonesia lain yang telah menorehkan sejarah di Indonesia, Mohammad Hatta sang founding father dan R. A. Kartini salah satu pejuang HAM perempuan di Indonesia pada era pra-kemerdekaan. Bila bangsa lain dengan bangganya memberikan penghormatan kepada sosok ini, mengapa kita tidak malu sebagai bangsa Indonesia untuk juga mengakui Munir sebagai pahlawan bangsa yang telah membangun Indonesia menuju suatu peradaban kemanusiaan dan hak asasi manusia. []
16 erga omnes
HRWG Buletin No. 1 Volume III Tahun 2011
Human Rights Working Group Bulletin
Bertindak Global, Bermanfaat Lokal Diterbitkan oleh :
Human Rights Working Group
Indonesias NGO Coalition for International Human Rights Advocacy
Pelindung dan Penanggung Jawab
Direktur HRWG Wakil Direktur HRWG
Penanggung Jawab Program
Ali Akbar Tanjung
Pimpinan Redaksi Muhammad Hafiz
Tim Redaksi
Rafendi Djamin Muhammad Choirul Anam Yuyun Wahyuningrum Hirim Nurliana Jane Aileen Rizka Agradianti
Layout dan Design
Saiful Bahri Muhammad Hafiz
Sekretaris Redaksi
Astrid
Bendahara
Nurul Lulu
Alamat Redaksi Sekretariat Human Rights Working Group (HRWG) Gedung Jiwasraya Lantai Dasar Jl. R. P Soeroso No. 41 Gondangdia, Menteng Jakarta 10350 Indonesia Telp. +62-21-3143015 +62-21-70733505 Faks. +62-21-3143058 E-mail:
[email protected] Website: www.hrwg.org