PUBLIKASI ILMIAH
PERBEDAAN KECEMASAN TERHADAP MALPRAKTEK DOKTER DI TINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN
Oleh : A yunita Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S.Psi.,M.Si
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006
NASKAH PUBLIKASI
PERBEDAAN KECEMASAN TERHADAP MALPRAKTEK DOKTER DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN
Telah Disetujui Pada Tanggal
------------------------------------
Dosen Pembimbing Utama
(Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S.Psi.,M.Si)
PERBEDAAN KECEMASAN TERHADAP MALPRAKTEK DOKTER DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN
Ayunita Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana,S.Psi.,M.Si
INTISARI Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan. Dugaan awal dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan. Subjek penelitian ini adalah masyarakat Desa Umbul Martani, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman Yogyakarta. Teknik pengambilan subjek adalah dengan teknik random sampling. Adapun skala yang dipakai adalah skala kecemasan terhadap malpraktek dokter sejumlah 27 item mengacu pada teori kecemasan Taylor. Analisis data penelitian ini dilakukan dengan jalan menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dan diinterpretasikan. Sehingga teknik analisis yang dipakai adalah t-test untuk menguji perbedaan antar tingkat pendidikan sebagai variabel independen dengan kecemasan terhadap malpraktek dokter sebagai variabel dependen. Uji t-test dilakukan untuk menguji hipotesis dengan syarat nilai p? 0,05 (p=0,743) maka 0,743 ? 0,05. hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kecemasan terhadap malpraktek dokter pada subyek yang berpendidikan Dasar dengan yang berpendidikan menengah atas, artinya hipotesis ditolak. Kata kunci: Kecemasan, Malpraktek, Tingkat Pendidikan
Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan harapan dan keinginan yang selalu diharapkan oleh setiap orang. Pada tahun 1947 ‘World Health Organization’ mencoba untuk menggambarkan kesehatan secara luas tidak hanya meliputi aspek medis tetapi juga aspek mental dan sosial. ‘Kesehatan’ diartikan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Manusia terkadang tidak luput dari rasa sakit, baik jasmani maupun rohani. Gejala-gejala penyakit yang timbul dapat membuat atau menimbulkan rasa cemas (Efendi dan Tjahjono, 1999). Individu yang menggunakan emosinya dengan mengatasi kecemasannya menjadi kurang rasional, cenderung hanya menduga-duga tentang permasalahan yang dihadapinya tanpa ada penyelesaian yang nyata. Dugaan-dugaan yang belum jelas yang ada ditimbulkan sendiri oleh individu dalam menghadapi kecemasannya membuat emosi individu semakin meningkat karena besarnya ketidakjelasan dan hal ini akhirnya dapat meningkatkan kecemasan. Saat ini Indonesia telah memasuki era krisis malpraktek, seperti terjadi di Amerika 2-3 dekade yang lalu, dengan dampak yang berat baik bagi dokter, rumah sakit, namun juga bagi masyarakat karena meningkatnya biaya pengobatan (Hadianto, 2005). Ini dapat dilihat dari kasus-kasus dan data-data empirik dugaan malpraktek oleh dunia medis. Selama 2004, telah terjadi sepuluh kasus kelalaian menyangkut profesi dokter dan kesehatan yang dilaporkan ke kepolisian daerah. Hal ini tercatat dalam data yang dikeluarkan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan. Semakin banyak masyarakat yang berobat ke luar negeri untuk memeriksakan kesehatannya, seperti fenomena yang terjadi di Sumatra Utara masyarakatnya lebih memilih berobat ke Penang Malaysia. Negri jiran itu menjadi tujuan tempat berobat dan cek kesehatan. Data menunjukkan bahwa setiap tahun sedikitnya 250.000 orang berobat ke Penang. Hal ini disebabkan karena rendahnya mutu pelayanan kesehatan rumah sakit yang ada di daerah tersebut. Selaian itu persoalan lain yang dihadapi pasien yang berobat ke rumah sakit adalah minimnya peralatan operasional. Pelayanan di rumah sakit Medan ini kurang memanusiakan manusia sehingga banyak pasien yang merasa diterlantarkan oleh dokter. Ini juga membuktikan dan menguatkan dugaan terhadap makin maraknya malpraktek dokter di negeri ini.
Dari data, fakta dan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dapat dipastikan gejala-gejala ini dapat lebih bertambah intensitasnya apabila tidak ada penanganan yang serius dari berbagai pihak yang bertanggungjawab terhadap permasalahan tersebut. Banyak orang sakit yang menyandarkan harapannya pada dokter, tapi tidak ada yang ingin dijadikan kelinci percobaan dokter. Menurut Hanafiah, 1999 seorang dokter seharusnya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan. Malpraktek merupakan suatu tindakan yang dilakukan dokter, padahal dokter tersebut tahu bahwa tindakan tersebut dilarang atau tidak diperbolehkan. Selain itu ada juga yang disebut dugaan malpraktek, yakni ketika pasien menjelang operasi ternyata terjadi komplikasi. Sehingga diduga dokter tersebut melakukan malpraktek. Malpraktek bisa terjadi atas permintaan pasien atau ketidaksengajaan karena motivasi kealpaan. Resikonya jika ada bukti dan saksi, meski malpratek tersebut merupakan tuntutan pasien, dokter tetap dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman sesuai undang-undang yang berlaku. (Nova, Mei 2004) Makin marak dan berkembangnya gugatan dan polemik tentang malpraktek dan peradilan profesi dokter, masyarakat akan mengalami kecemasan yang bersifat kekhawatiran dan takut menjadi korban malpraktek. Banyak dan tingginya angka kasus kesalahan obat-obat dan penanganan oleh tenaga medis yang tidak terampil atau disebut dengan malpraktek membuat masyarakat menjadi was-was dan merasa khawatir sehingga timbulnya kecemasan untuk menjalani pengobatan ke rumah sakit karena takut akan menjadi korban malpraktek. Sama halnya yang disampaikan Kartono (1986), objek kecemasan bersifat samar-samar sehingga menimbulkan semacam kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, was-was, dan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Kecemasan juga dapat dipengaruhi oleh cara berpikir pasien terhadap pengalaman rawat inap, yang dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dan tingkat pendidikan (Nuralita dan Hadjam, 2002). Pengaruh tingkat pendidikan terhadap perkembangan sikap seseorang sangat besar sehingga dari tingkat pendidikan yang berbeda akan memunculkan sikap yang berbeda pula terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk dan
dipelajari, berarti sikap dapat dipengaruhi oleh pendidikan yang dapat dicapai seseorang, terutama pendidikan formal yang diperoleh seseorang dari lembaga tertentu. Menurut Muhadjir (1972) pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas diri individu yang akan menghasilkan perubahan-perubahan atas kebiasaan, tingkah laku, pikiran dan sikap seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin banyak pengalaman sehingga akan berbeda dalam cara berfikir, bersikap dan bertingkah laku bila dibandingkan dengan individu yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan proses yang disadari dalam membentuk suatu pengalaman dari hasil belajar. Dengan demikian seseorang yang mengalami pendidikan akan menginteraksikan antara pengalaman, perhatian dan kecerdasan yang kemudian dinyatakan dalam sikapnya, sehingga seseorang yang berpendidikan tinggi akan mengetahui hak dan kewajibannya dan lebih berhati-hati dalam bersikap. Sebaliknya, semakin rendah pendidikan seseorang akan semakin terbatas pula pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dalam menentukan sikap sangat tergantung dari apa yang sudah diketahui saja. Cara berpikirnya kurang luas dan kadangkadang terkesan pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maraknya malpraktek, terutama oleh seorang dokter dengan segala macam permasalahannya, ditambah dengan dampak psikologis (kecemasan) yang dialami seorang pasien akibat fenomena-fenomena tersebut, dan searah dengan itu bahwa ternyata faktor kognitif dan tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat kesadaran seseorang.
Tinjauan Pustaka Kecemasan Terhadap Malpraktek 1. Pengertian Kecemasan Johston 1971 (Khasanah, 2001) mengungkapkan bahwa kecemasan adalah bentuk perasaan yang biasanya diiringi oleh suasana hati yang kurang menyenangkan sebagai reaksi terhadap adanya pengalaman atau situasi yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial, serta menghambat keinginan pribadi atau adanya perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan kecewa, rasa tidak puas, tidak aman atau sikap bermusuhan dengan orang lain
Objek kecemasan bersifat samar-samar sehingga menimbulkan semacam kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, was-was, dan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang (Kartono, 1986), sehingga individu mengalami suatu kebingungan sebelum suatu peristiwa atau masalah benar-benar terjadi (Iskandar, 1984). Dalam hal ini kecemasan merupakan faktor emosional sehingga faktor emosi lebih dominan dibanding rasio karena adanya prasangka dalam berfikir. Sama halnya dengan Colis & Beauf, 1995 (Khasanah, 2001) mengemukakan bahwa rasa cemas bukan disebabkan oleh perasaan gelisah mengenai masa lalu, tapi disebabkan oleh perasaan tentang segala sesuatu yang mengerikan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang, sehingga muncul perasaan tidak ada satupun pekerjaan berharga yang dapat dikerjakan pada kini. Selain itu, individu yang cemas akan melihat dirinya kurang kompoten dibanding orang lain ketika harus menghadapi situasi yang menekan, ia akan meragukan kemampuannya sehingga dapat menghambat aktivitas sehari-hari. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul karena menghadapi tekanan, ancaman ataupun bahaya dan akan mengganggu intregritas aspek fisiologis dan psikologis, kelangsungan aktivitas kehidupan sehari-hari serta penyesuaian diri terhadap lingkungannya. a. Jenis-jenis Kecemasan Menurut Corey (2003), ada tiga macam kecemasan : 1.
Kecemasan realistis adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada.
2.
Kecemasan neurotic adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi dirinya.
3.
Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nuraninya sendiri, orang yang hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
b. Respon Terhadap Kecemasan Menurut Sue,dkk. (1986) dan Rosenhan (1989) kecemasan mempunyai empat elemen untuk merespon, yaitu : 1.
Kognitif,
respon
terhadap
kecemasan
dalam
pikiran
manusia
misalnya:
ketidakmampuan berkonsentrasi atau membuat keputusan, dan susah tidur. 2.
Somatik, yaitu reaksi tubuh terhadap bahaya, misalnya; tangan dan kaki dingin, diare, sering buang air kecil, bedebar-debar, keringat berlebihan, pernapasan dangkal, mulut kering, pingsan, tekanan darah tinggi, otot tegang, sakit pencernaan.
3.
Emosi, yaitu reaksi perasaan manusia, di mana individu secara terus-menerus kuatir, merasa takut terhadap bahaya yang mengancam.
4.
Perilaku motorik, yaitu reaksi dan bentuk perilaku manusia terhadap ancaman dengan menghindar atau menyerang, misalnya; gelisah, melangkah tak tentu, menggeliat, menggigit bibir, gugup, dan menggigit kuku jari. c. Gejala Kecemasan Hurlock 1993 menyatakan bahwa kecemasan meliputi beberapa aspek yaitu:
a.
Adanya rasa khawatir dan gelisah
b.
Adanya perasaan yang tidak menyenangkan
c.
Rasa kurang percaya diri
d.
Rasa rendah diri
e.
Merasa tidak mampu menghadapi masalah yang ada. Hal tersebut berbeda dengan pendapat dari Taylor yang telah menyusun skala
kecemasan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Skala ini disusun berdasarkan 2 aspek yaitu : a.
Aspek fisiologis, meliputi gejala-gejala fisik yang menyertai kecemasan. Gejalagejala ini seperti berkeringat, nafsu makan berkurang, jantung berdebar-debar, ujung jari terasa dingin, merasa akan buang air kecil, otot leher kaku, kepala pusing, mual dan mulas.
b.
Aspek psikologis meliputi gejala-gejala psikologis yang menyertai kecemasan. Gejala-gejala ini seperti sulit konsentrasi, bingung, was-was, tidak tenang, tertekan, tidak tentram, takut, mudah tersinggung, gelisah, cepat marah, tidak puas, khawatir akan ditimpa suatu bahaya, tampak bodoh, ingin lari dari kenyataan, dan sulit tidur.
2. Defenisi Malpraktek Malpraktek atau malpraktik, dalam bahasa Inggris disebut “Malpractice” yang berarti “wrongdoing” atau “nelect of duty” (dari “The Advence learner’s Dictionary of Current English). Jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran, maka dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek, jika ia melakukan tindakan medik yang salah (wrong doing), atau tidak cukup mengurus pengobatan atau perawatan (nelect the pasient by giving or not enough care to the patient) (Amin, 1987). Malpraktek dalam dunia kedokteran menurut Budi Hartono (2004), adalah; perbuatan atau tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang tenaga medis (dokter) atau paramedik (perawat), akan tetapi tidak dilakukan menurut prosedur atau standar medis yang telah dibakukan. a. Jenis-jenis Malpraktek Menurut Dahlan (2000), malpraktek istilah yang sifatnya sangat umum dan tidak harus selalu berkonotasi yuridis, dimana malpraktek berasal dari kata “mal” yang berarti salah dan “praktek” yang berarti pelaksanaan atau tindakan sehingga arti harfiyahnya adalah “pelaksanaan atau tindakan yang salah. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Untuk yuridical malpractice dapat dibagi lagi menjadi tiga kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu: 1. Criminal Malpractice Suatu perbuatan dapat dikategorikan criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan tersebut (baik positive act ataupun negative act) harus merupakan perbuatan tercela (actus reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesenjangan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence). 2. Civil Malpractice Disebut Civil Malpractice jika dokter tersebut tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. 3. Administrative Malpractice Dikatakan Administrative Malprakctice jika seorang dokter melaggar hukum administrasi negara. Dalam rangka melaksanakan police power (the power of the state to
protect the health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang menjadi kewenangannya, pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan dibidang kesehatan.
3. Defenisi Kecemasan Terhadap malpraktek Kecemasan terhadap malpraktek dokter merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan dari dokter merupakan kelalaian berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar. Hal ini timbul karena menghadapi tekanan, ancaman ataupun bahaya dan akan mengganggu intregritas aspek fisiologis dan psikologis, kelangsungan aktivitas kehidupan sehari-hari serta penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Kecemasan terhadap malpraktek merupakan bentuk perasaan takut terhadap kesalahan dalam menentukan diagnosis maupun manipulasi dari proses pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya. Kecemasan terhadap malpraktek ini diiringi oleh suasana hati yang kurang menyenangkan sebagai reaksi terhadap adanya pengalaman yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial dan adanya perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan kecewa, tidak puas, tidak aman. Jadi kecemasan terhadap malpraktek dimana seseorang takut dan merasa was-was ketika melakukan maupun saat memeriksaan ataupun cek kesehatan, operasi, dan lainnya yang bersentuhan dengan dokter.
Ketakutan dan kecemasan disini adalah adanya
kesalahan baik disengaja maupun tidak yang dilakukan oleh seorang dokter, ataupun takut melakukan pemeriksaan ketika sakit.
Tingkat Pendidikan Pengertian Pendidikan Jenjang atau tingkat pendidikan yang termasuk dalam jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menyadari akan pentingnya peranan pendidikan menyebabkan semua orang ingin mendapatkan pendidikan yang layak karena pendidikan dianggap suatu modal yang berharga dalam kehidupan. Menurut Santoso (1979), pendidikan adalah sebagai usaha untuk memperkembangkan tiap
manusia sesuai dengan kodratnya dan sampai batas kemampuannya untuk dididik kearah itu. Proses pendidikan itu akan terjadi suatu perubahan tingkah laku manusia dan perubahan itu merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana (Napitulu, 1980). Hal lain dikatakan oleh Vaizey (1974) mengartikan pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam/diluar sekolah yang berlansung seumur hidup. PP No. 30 tahun 1990 pasal 2, menyebutkan bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah agar peserta didik memiliki kemampuan akademik dan atau professional yang dapat menerapkan pengembangan atau menciptakan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan kesenian. Sedangkan dalam PP No. 29 tahun 1990 pasal, tujuan pendidikan menegah adalah meningkatkan pengetahuan siswa dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya dan alam sekitarnya serta melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Hakekat pendidikan pada dasarnya bertugas mengembangkan potensi individu dalam batas-batas kemampuannya sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemampuan dan batas kemampuannya mempunyai kehormatan diri (Santoso, 1979)
Dinamika Psikologis Kecemasan Terhadap Malpraktek Dokter Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan Malpraktek Dokter saat ini banyak terjadi diseantero bangsa ini, bahkan telah mencuat dan menjadi bahan pembicaraan yang marak di publik. Malpraktek terjadi salah satu penyebabnya karena ketidak profesionalan seorang dokter ataupun terjadi karena maraknya dokter-dokter palsu. Dengan adanya fenomena ini tentunya memunculkan kecemasan ditingkat masyarakat awam, bagaimana tidak karena memang kebanyakan yang menjadi korban adalah masyarakat awam. Rasa cemas ini juga terjadi di daerah dimana masyarakat yang tingkat pendidikannya relatif homogen seperti halnya di desa Umbul Martani, Ngemplak Sleman.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan adalah adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan.
Metode Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian Variabel Dependen
: Kecemasan Terhadap Malpraktek Dokter
Variabel Independen : Tingkat Pendidikan
Defenisi Operasional Variabel Penelitian 1. Kecemasan Terhadap Malpraktek Dokter Kecemasan terhadap malpraktek merupakan bentuk perasaan takut terhadap kesalahan dalam menentukan diagnosis maupun manipulasi dari proses pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya. Kecemasan terhadap malpraktek ini diiringi oleh suasana hati yang kurang menyenangkan sebagai reaksi terhadap adanya pengalaman yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial dan adanya perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh perasaan kecewa, tidak puas, tidak aman. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan terhadap malpraktek dimana seseorang takut dan merasa was-was ketika melakukan maupun saat memeriksaan ataupun cek kesehatan, operasi, dan
lainnya yang bersentuhan dengan dokter.
Ketakutan dan kecemasan disini adalah adanya kesalahan baik disengaja maupun tidak yang dilakukan oleh seorang dokter, ataupun takut melakukan pemeriksaan ketika sakit. Pada penelitian ini, kecemasan terhadap malpraktek akan diungkap dengan skala kecemasan terhadap malpraktek yang terdiri dari dua aspek, yakni aspek Fisiologis dan aspek Psikologis. Skala kecemasan terhadap malpraktek ini memakai teori yang diuraikan oleh Taylor. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan semakin tinggi tingkat kecemasan subjek terhadap malpraktek tersebut. Setiap jawaban dari subjek akan diberi nilai mulai dari 1 sampai 4 dengan empat alternatif jawaban.
2. Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan proses yang disadari dalam membentuk suatu pengalaman dari hasil belajar. Dengan demikian seseorang yang mengalami pendidikan akan memadukan antara pengalaman, perhatian dan kecerdasan yang kemudian dinyatakan dalam sikap, sehingga seseorang berpendidikan tinggi akan mengetahui hak dan kewajiban dan lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Pada akhirnya, tingginya tingkat pendidikan maka akan bisa membedakan apakah seseorang bisa memilih tindakan yang tepat dan benar atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin pintar dalam menempatkan sikap dan perilaku, begitu pula sebaliknya, semakin rendah pendidikan seseorang maka akan cenderung kurang mampu dalam menempatkan dirinya dalam hal bertindak dan berperilaku. Pada penelitian ini tingkat pendidikan akan diketahui dengan cara subjek mengisi pendidikan terakhir pada lembaran angket yang telah disediakan oleh penulis.
Subjek Penelitian Subyek penelitian adalah masyarakat Desa Umbul Martani, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman Yogyakarta Metode Analisis Data Analisis data penelitian ini dilakukan dengan jalan menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dan diinterpretasikan. Sehingga teknik analisis yang dipakai adalah t-test untuk menguji perbedaan antar tingkat pendidikan sebagai variabel independen dengan kecemasan terhadap malpraktek dokter sebagai variabel dependen.
Hasil Penelitian Deskripsi Data Penelitian Tabel 1 Deskripsi Kategori Data Hipotetik Skor yang dimungkinkan (hipotetik) Skala Max Min Mean SD Kecemasan Terhadap Malpraktek 4 1 67,5 13,5 Dokter
Tabel 2 Deskripsi Kategori Data Empirik Masing-masing variabel Skor yang Empirik Variabel Max Min Mean Pendidikan Dasar 93 59 81,7750 Pendidikan Menengah 90 69 81,3500
SD 6,28995 5,22101
Hasil Uji Asumsi a. Hasil Uji Asumsi Normalitas Uji normalitas terhadap variabel kecemasan terhadap malpraktek dokter. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah distribusinya normal atau tidak. Normal atau tidaknya distribusi ditentukan oleh nilai p. Dikatakan normal jika p ? 0,05. hasil uji normalitas skala kecemasan terhadap malpraktek dokter dengan teknik two sample kolmogorov-smirnov test, menunjukkan bahwa skala kecemasan terhadap malpraktek dokter yang digunakan mengikuti distribusi normal (K-sZ = 0,447; p = 0,988 atau p ? 0,05). Berikut hasil uji normalitas dengan uji kolmogorov-smirnov. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah variannya identik atau tidak, yang dilakukan dengan uji level. Hasil uji homogenitas sebaran menunjukkan bahwa sebaran untuk variabel kecemasan terhadap malpraktek dokter adalah homogen. Ini ditunjukkan sig lebih dari 0,05 dengan syarat sig ? 0,05 (0,669 ? 0,05) jadi sebaran aitem relatif homogen. Berikut ini rangkuman hasil uji hogenitas: c. Hasil Uji t-test Uji t-test dilakukan untuk menguji hipotesis dengan syarat nilai p? 0,05 (p=0,743) maka 0,743 ? 0,05. hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kecemasan terhadap malpraktek dokter pada subyek yang berpendidikan Dasar dengan yang berpendidikan menengah atas, artinya hipotesis ditolak.
D. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan, ditolak. Dalam hal ini diperoleh hasil analisis data bahwa kecemasan
terhadap malpraktek dokter pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah atas sama hasilnya. Artinya tidak ada perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter. Hal ini dapat ditunjukkan dengan data mean pada pendidikan dasar 81,7750 dan pada pendidikan menengah atas 81.3500. Dari hasil hipotesa yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi tingkat kecemasannya, hal ini sesuai dengan teorinya Muhadjir (1972) dimana mengatakan bahwa pendidikan merupakan pengaruh lingkungan atas diri individu yang akan menghasilkan perubahan-perubahan atas kebiasaan, tingkah laku, pikiran dan sikap seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin banyak pengalaman sehingga akan berbeda dalam cara berfikir. Senada dengan yang diungkapkan Nuralita dan Hadjam (2002), kecemasan dapat dipengaruhi oleh cara berpikir pasien terhadap pengalaman rawat inap, yang dipengaruhi oleh kemampuan kognitif dan tingkat pendidikan. Dengan demikian tidaklah aneh jika seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi maka akan semakin tinggi pula tingkat kecemasannya dalam menghadapi sesuatu, sama halnya dalam menghadapi kecemasan terhadap malpraktek yang makin banyak sekarang ini. Dengan semakin cemas seseorang maka akan semakin berhati-hati dalam memilih dokter untuk melakukan cek kesehatan. Hasil analisis data dari hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek ditinjau dari tingkat pendidikan ditolak atau hasilnya ternyata tingkat kecemasannya pun tinggi. Hal ini sesuai dengan teori Bandura tentang belajar, dimana bahwa seseorang dapat belajar dari lingkungannya dimana dia berada (Paulo Feire, 2001). Teori ini memperkuat hasil penelitian ini di mana seseorang dapat belajar dengan baik ketika dia melakukan interaksi dengan sesama di lingkungan di mana dia berada. Dari hasil interaksi ini maka seseorang dapat belajar dari apa yang dilihat sehingga dapat mengambil sebuah keputusan dengan baik, dengan kata lain akan berhati hati pula ketika mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Malpraktek saat ini banyak terjadi diseantero bangsa ini, bahkan telah mencuat dan menjadi bahan pembicaraan yang marak di publik. Malpraktek terjadi salah satu penyebabnya karena ketidak profesianalan seorang dokter ataupun terjadi karena maraknya dokter-dokter palsu. Dengan adanya fenomena ini tentunya memunculkan kecemasan ditingkat masyarakat awam, bagaimana tidak karena memang kebanyakan
yang menjadi korban adalah masyarakat awam. Rasa cemas ini juga terjadi didaerah dimana masyarakat yang tingkat pendidikannya relatif homogen seperti halnya di desa Umbul Martani, Ngentak Sleman. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan, ditolak. karena tidak adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek ditinjau dari tingkat pendidikan yang berarti masyarakat mengalami kecemasan. Hal ini dapat terjadi salah satu penyebabnya adalah semakin mudahnya seseorang untuk mendapatkan informasi tentang berbagai hal, tidak terkecuali tentang malpraktek. Bagaimana tidak, seseorang diera sekarang dengan menyalakan layar televisi saja bisa mendapatkan informasi tanpa batas (informasi yang jauh dari lingkungan dimana kita berada). Di samping itu juga karena trasnparannya media dalam mentrasformasikan informasi yang diperoleh, disampaikan kepada masyarakat. Maka masyarakat awampun juga mudah mengerti dan memahami apa yang terjadi di sekelilingnya, tidak terkecuali kasus-kasus yang berkaitan dengan malpraktek.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian beserta pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: Adanya perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan ditolak, dimana hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kecemasan terhadap malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan
Saran-saran Berkaitan dengan hasil penemuan ilmiah yang terbatas, penulis mencoba memberikan beberapa saran sebagai berikut. 1.
Untuk Dokter Sebagai seorang dokter agar tidak semata-mata menjalankan profesinya dengan
logika komersial, tetapi juga mengemban predikat sebagai profesi mulia (officium
nobile). Dengan kata lain, ada fungsi kemanusiaan yang bersanding dengan profit oriented pada profesi dokter. Profesi kedokteran Indonesia agar segera menyusun satu pedoman perilaku profesi dokter (Kode Etik Kedokteran Indonesia) yang benar-benar mengatur secara rigid permasalahan malpraktek. Dengan kata lain mencantumkan secara tegas apa dan bagaimana sanksi bagi pelanggar. Diberlakukan baru sebatas sanksi etika dan sanksi moral. 2.
Untuk Pasien Mencari informasi, pengetahuan dan pemahaman tentang malpraktek medik agar
meminimalisir kasuistik tersebut. Mendesak secepatnya kehadiran UU Profesi Kedokteran demi terciptanya prinsip-prinsip kepastian hukum baik bagi masyarakat (perlindungan hukum sebagai konsumen jasa medik) maupun bagi dokter sendiri (tanggung jawab hukum profesi) serta berdayanya organisasi profesi dokter. 4.
Untuk Masyarakat Dari data penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan kecemasan terhadap
malpraktek dokter ditinjau dari tingkat pendidikan, namun jika dilihat dari tingkat kecemasannya semuanya merasa sangat cemas, itu berarti masyarakat harus selalu menjaga kehati-hatian dalam melakukan pemeriksaan pada petugas kesehatan dimanapun. Terlepas dari itu sikap jeli dan teliti dalam memilih tempat periksa juga menjadi bagian yang sangat penting untuk menjaga dari hal-hal yang tidak di inginkan. 5.
Untuk Pemerintah Infomasi sederhana ini bermanfaat bagi pemerintah daerah dalam rangka
mengantisipasi dan meminimalisasikan malpraktek didaerahnya. Sehingga korban dari malpraktek ini juga bisa berkurang. Disamping itu juga perlunya diperketat berkaitan dengan perijinan praktek bagi petugas kesehatan. Hal ini menjadi perlu guna meningkatkan kualitas petugas kesehatan. Dengan adanya penanganan seperti itu maka gejolak ataupun rasa ketidak percayaan masyarakat ketika akan melakukan pemeriksaan kesehatan tidak lagi digentayangi dengan rasa cemas dan was-was jika dimana tempat mereka perik a merupakan tempat malpraktek dokter.
6.
Untuk Peneliti Selanjutnya Untuk peneliti selanjutnya atau dalam pengembangan penelitian selanjutnya,
perlu diperhatikan variabel-variabel sertaan lainnya, yang berkaitan dengan kecemasan terhadap malpraktek dan tingkat pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa dalam penelitian ini masih banyak variabel-variabel utama lain yang masih belum terkontrol dan belum mendapatkan ulasan yang komfrehensif mengenai kecemasan terhadap malpraktek. Variabel tersebut diantaranya, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan beberapa variabel lainnya. Meskipun dari hasil uji coba alat ukur yang dibuat, menunjukkan alat ukur sudah cukup valid dan reliabel, tetapi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang kecemasan terhadap malpraktek dan menggunakan alat ini, sebaiknya perlu untuk disempurnakan lagi dengan membuat aitem-aitem yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi subjek penelitian maupun lokasi penelitian.