Puasa Sunah ‘Asyura: Waktu dan Keutamaannya Tidak Sedikit manusia bertanya, bagaimanakah puasa sunah ‘Asyura itu? Dan kapankah pelaksanaannya? Dalil-Dalilnya: Berikut ini adalah dalil-dalil puasa tersebut: 1.
Hadits Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu berpuasa tiga hari pada tiap bulannya dan berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu: “Diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” hingga firmanNya: “memberikan makanan kepada orang miskin” maka sejak itu barang siapa yang ingin berpuasa (puasa tiga hari tiap bulan dan ‘Asyura) maka silahkan dia berpuasa, dan barang siapa yang ingin berbuka maka silahkan dia berbuka, dan memberikan kepada orang miskin setiap hari yang demikian itu akan mendapatkan ganjaran.” (HR. Abu Daud No. 507. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 507) 2.
Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
“Hari ‘Asyura adalah hari yang pada masa jahiliyah orang-orang Quraisy melaksanakan puasa, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampa ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, dia meninggalkan puasa ‘Asyura. Maka, barang siapa yang mau silahkan dia puasa dan barang siapa yang tidak maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari No. 1794, 3619. Ad Darimi No. 1763. Abu Daud No. 2442. At Tirmidzi No. 753)
3.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
“Dahulu mereka berpuasa pada hari ‘Asyura sebelum diwajibkannya Ramadhan dan saat itu hari ditutupnya Ka’bah. Ketika Allah Ta’ala mewajibkan Ramadhan, bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang mau puasa (‘Asyura) silahkan, barang siapa yang mau meninggalkannya, silahkan.” (HR. Bukhari No. 1515, 1794, 1897, 1898, 3619, 4232, 4234) Dan lain-lain.
Dari tiga hadits di atas, kita dapat memahami bahwa dahulu puasa ‘Asyura adalah rutinitas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Lalu, puasa itu menjadi ‘opsi’ (pilihan) saja setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, bagi yang menghendakinya. Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menjelaskan, bahwa sebagaian ulama, yakni kalangan Hanafiyah mengatakan dahulu puasa ‘Asyura itu wajib, mereka berdalil dengan zahir hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan hal itu: “ …. ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampa ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu.” Lalu, ketika diwajibkan puasa Ramadhan, kewajiban puasa ‘Asyura di hapus (mansukh). Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada satu pun puasa yang wajib, sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, mereka berdalil dari hadits Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu secara marfu’: “Allah tidak mewajibkan berpuasa (‘Asyura) atas kalian.”. Ada pun perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hadits tersebut tidak menunjukkan kewajiban, tetapi anjuran saja. (Lihat Fathul Bari, 4/103. Darul Fikr) Yang shahih –Insya Allah- adalah pendapat jumhur ulama. Hadits yang dimaksud adalah dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya ini adalah hari ‘Asyura, dan kalian tidaklah diwajibkan berpuasa padanya, dan saya sedang puasa, jadi barangsiapa yang mau puasa silahkan, yang mau buka juga silahkan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih) Hadits ini diucapkan juga sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, maka jelaslah bahwa sebelum wajibnya puasa Ramadhan, tidak ada puasa wajib termasuk ‘Asyura.
Keutamaan ‘Asyura dan Puasanya 1.
Puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharam.” (HR. Muslim No. 1163. Ad Darimi No. 1758. Ibnu Khuzaimah No. 2076. Ahmad No. 8534, dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)
2.
Diampuni dosa setahun sebelumnya Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dan berpuasa ‘Asyura, sesungguhnya saya menduga atas Allah bahwa dihapuskannya dosa setahun sebelumnya.” (HR. Abu Daud No. 2425, Ibnu Majah No. 1738. Syaikh Al Albani mengatakan shahih dalam Al Irwa, 4/111, katanya: diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Al Bukhari dan At Tirmidzi. Shahihul Jami’ No. 3806) 3.
Hari ‘Asyura adalah Hari di mana Allah Ta’ala membebaskan Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun dan Bala tentaranya
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya: “Apa ini?” mereka menjawab: “Ini hari baik, Allah telah menyelamatkan pada hari ini Musa dan Bani Israel dari musuh mereka, maka Musa pun berpuasa.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya lebih berhak terhadap Musa dibanding kalian.” Maka, beliau pun beruasa dan memerintahkan untuk berpuasa (‘Asyura).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Kapankah Pelaksanaannya? Terjadi perselisihan pendapat para ulama. 1.
Pihak yang mengatakan 9 Muharam (Ini diistilah oleh sebagian ulama hari tasu’a). Dari Al Hakam bin Al A’raj, dia berkata kepada Ibnu Abbas:
“Kabarkan kepada aku tentang puasa ‘Asyura.” Ibnu Abbas berkata: “Jika kau melihat hilal muharam hitunglah dan jadikan hari ke-9 adalah berpuasa.” Aku berkata; “Demikiankah puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?” Ibnu Abbas menjawab: “Ya.” (HR. Muslim No. 1133, Ahmad No. 2135) Juga dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan dia memerintahkan manusia untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani ….,” Maka dia bersabda: “Jika datang tahun yang akan datang – Insya Allah- kita akan berpuasa pada hari ke-9.” Ibnu Abbas berkata: “Sebelum datangnya tahun yang akan datang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat.” (HR. Muslim No. 1134 dan Abu Daud No. 2445) Sementara dalam lafaz lainnya:
“Jika saya benar-benar masih sehat sampai tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari ke-9.” (HR. Muslim No. 1134. Ibnu Majah No. 1736. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 8185. Ahmad No. 1971) Dalam Shahih Muslim disebutkan tentang puasa hari ke-9:
“Dalam riwayat Abu Bakar, dia berkata: yakni hari ‘Asyura.” (HR. Muslim No. 1134) Dari Ibnu Abbas secara marfu’:
“Jika saya masih hidup sampai tahun depan, saya akan berpuasa pada hari ke -9, yakni ‘Asyura.” (HR. Ahmad No. 2106, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya qawwi. Musnad Ibnu Al Ja’d No. 2827) 2.
Pihak yang mengatakan 10 Muharam, dan ini pendapat mayoritas ulama. Puasa ‘Asyura, sesuai asal katanya – al ‘asyr – yang berarti sepuluh. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
“Telah berselisih pendapat para ahli syariat tentang waktu spesifiknya, kebanyakan mengatakan adalah hari ke sepuluh. Berkata Al Qurthubi ‘Asyura disetarakan dengan kesepuluh untuk menguatkan dan mengagungkannya. Pada asalnya dia adalah sifat bagi malam yang ke sepuluh, karena dia ambil dari kata al ‘asyr (sepuluh).” (Fathul Bari, 6/280) Lalu beliau melanjutkan:
“Oleh karena itu, hari ‘Asyura adalah ke sepuluh, inilah pendapat Al Khalil dan lainnya. Berkata Az Zain bin Al Munir, “ mayoritas mengatakan bahwa ‘Asyura adalah hari ke 10 dari bulan Allah, Al Muharram. (Ibid) Pendapat bersabda:
ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
“Kami diperintahkan puasa ‘Asyura oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hari ke sepuluh.” (HR. At Tirmidzi No. 755, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 755) Lalu, bagaimana dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak yang mengatakan ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharam?
Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan: “Zahirnya hadits ini menunjukkan hari ‘Asyura adalah hari ke-9, tetapi berkata Az Zain bin Al Munir: “Sabdanya jika datang hari ke sembilan” maka jadikanlah ke sepuluh, dengan maksud yang ke sepuluh karena janganlah seseorang berpuasa pada hari ke-9 kecuali setelah berniat pada malam yang akan datang yaitu malam ke sepuluh.” Lalu beliau mengatakan:
“Aku berkata: yang menguatkan tafsiran ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim juga dari jalan lain, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “jika saya masih ada sampai tahun depan saya akan berpuasa pada hari ke-9, dan dia wafat sebelum itu.” Pada zahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ke-10, dan meraka diperintah melakukannya pada hari ke-9 dan dia wafat sebelum itu. Kemudian apa yang mereka lakukan berupa puasa hari ke9, tidaklah bermakna membatasi, bahkan menambahkan hingga hari ke -10, baik karena kehati-hatian, atau demi untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Ibid) Sebenarnya kelompok ini tidaklah mengingkari puasa hari ke-9. Beliau mengutip dari para ulama:
“Berkata sebagian ulama: Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahih Muslim: Jika aku masih hidup sampai tahun depan maka aku akan berpuasa pada hari ke -9” bermakna dua hal; Pertama, yaitu perubahan dari hari ke-10 menjadi ke-9. Kedua, yaitu puasanya ditambahkan, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keburu meninggal sebelum menjelaskan hal itu, maka demi kehati-hatian puasa tersebut ada dua hari.” (Ibid) Berkata Ibnu Abbas secara mauquf:
“Berpuasalah pada hari ke 9 dan 10 dan berselisihlah dengan Yahudi.” (HR. Ahmad No. 3213, sanadnya shahih mauquf/sampai Ibnu Abbas saja) 3.
Pihak yang mengatakan puasa ‘Asyura itu adalah 9, 10, dan 11 Muharam. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis dalam kitab Fiqhus Sunnah sebuah sub bab berjudul :
“Puasa Muharam dan ditekankan puasa ‘Asyura, dan Puasa sehari sebelumnya, serta sehari sesudahnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/450. Darul Kitab ‘Arabi) Sama dengan kelompok kedua, hal ini demi kehati-hatian agar tidak menyerupai puasa Yahudi yang mereka lakukan pada hari ke-10, sebagai perayaan mereka atas bebasnya Nabi Musa ‘Alaihissalam dan bani Israel dari kejaran musuhnya. Dalilnya adalah dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Ahuma secara marfu’:
“Puasalah pada hari ‘Asyura dan berselisihlah dengan Yahudi, dan berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad No. 2154, namun Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan sanadnya dhaif) Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada:
“Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10). 2. Puasa hari ke-9 dan ke-10. 3. Paling tinggi puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” (Ibid. lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450) Wallahu A’lam
Oleh: Farid NH