Puasa 'Arafah Abu Al-Jauzaa' Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
ﻲ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ْ ﺴ َﻨ َﺔ اَّﻟ ِﺘ َّ َو اﻟ،ُﻲ َﻗ ْﺒَﻠﻪ ْ ﺴ َﻨ َﺔ اَّﻟ ِﺘ َّ ن ُﻳ َﻜ ِّﻔ َﺮ اﻟ ْ ﷲ َأ ِ ﻋﻠَﻰ ا َ ﺐ ُ ﺴ ِ ﺣ َﺘ ْ َأ،َﻋ َﺮ َﻓﺔ َ ﺻﻴَﺎ ُم َﻳ ْﻮ ِم ِ “Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.( HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah) - An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata : Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil” [Syarh Shahih Muslim, 8/50-51]. Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hari ‘Arafah : ‘dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang’ ; - berkata Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy bahwasannya hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’ala mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’ala menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun. - As-Sarkhaasiy berkata : ‘Adapun tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan : ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari ‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya adalah Allah ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan” [Al-Majmu’ SyarhulMuhadzdzab, 6/381]. - Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata : “Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diveri taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya” [Subulus-Salaam, 2/461]. Mengenai jenis dosa yang dihapuskan Allah ta’ala dari amalan puasa ‘Arafah, An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Aku katakan : hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran : Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, - dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengetiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullahu ta’ala : ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah ta’ala” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382]. Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan sebagaimana atsar:
ﺣﺠﺠﺖ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ وﻣﻊ: ﻋﻦ أﺑﻲ ﻧﺠﻴﺢ ﻗﺎل ﺳﺌﻞ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﺻﻮم ﻳﻮم ﻋﺮﻓﺔ ﺑﻌﺮﻓﺔ ﻓﻘﺎل أﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ وﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ وﻣﻊ ﻋﺜﻤﺎن ﻓﻠﻢ ﻳﺼﻤﻪ وأﻧﺎ ﻻ أﺻﻮﻣﻪ وﻻ ﺁﻣﺮ ﺑﻪ وﻻ أﻧﻬﻰ ﻋﻨﻪ Dari Abu Najiih ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 751,
Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no. 1772, Abu Ya’laa no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no. 1792; shahih].[2]
ُه َﻮ: ﻀ ُﻬ ْﻢ ُ ل ﺑَﻌ َ َﻓﻘَﺎ،ﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ِّ ﺻ ْﻮ ِم اﻟ َّﻨ ِﺒ َ ﻋ َﺮ َﻓ َﺔ ﻓِﻲ َ ﻋ ْﻨ َﺪهَﺎ َﻳ ْﻮ َم ِ ن ﻧَﺎﺳًﺎ َﺗﻤَﺎرَوا َّ َأ: ﻋﻦ أم اﻟﻔﻀﻞ ﺑﻨﺖ اﻟﺤﺎرث .ﺸ ِﺮ َﺑ ُﻪ َ ﻋﻠَﻰ َﺑ ِﻌ ْﻴ ِﺮ ِﻩ َﻓ َ ﻒ ٌ ﻦ َو ُه َﻮ وَا ِﻗ ٍ ح َﻟ َﺒ ِ ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ِﺑ َﻘ َﺪ ُ ﺳَﻠ َ َﻓَﺄ ْر.ﺲ ِﺑﺼَﺎ ِﺋ ٍﻢ َ َﻟ ْﻴ: ﻀ ُﻬ ْﻢ ُ ل َﺑ ْﻌ َ َوﻗَﺎ،ٌﺻَﺎ ِﺋﻢ Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].
،َﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ِﺑ َﻌ َﺮ َﻓﺔ ِ لا ُ ﻄ َﺮ َرﺳُﻮ َ َأ ْﻓ: ل َ َﻓﻘَﺎ،ًﻞ ُر َﻣّﺎﻧﺎ ُ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺄ ُآ،َس ِﺑ َﻌ َﺮ َﻓﺔ ٍ ﻋ َﺒّﺎ َ ﻦ َ ﺖ ا ْﺑ ُ َأ َﺗ ْﻴ: ل َ ﻗَﺎ،ٍﺟﺒَﻴﺮ ُ ﻦ ِ ﺳﻌِﻴ ِﺪ ْﺑ َ ﻋﻦ .ﺸ ِﺮ َﺑ ُﻪ َ َﻓ،ٍﻞ ِﺑَﻠ َﺒﻦ ِ ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َأ ُّم ا ْﻟﻔَﻀ ْ َﻓ َﺒ َﻌ َﺜ Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbaas di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan buah delima. Lalu ia berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2828 dengan sanad shahih]. Inilah pendapat shahih dari jumhur ulama. - At-Tirmidziy rahimahullah berkata : “Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/116]. -
An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Adapun bagi orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata AsySyafi’iy dan murid-muridnya dalam Al-Mukhtashar : ‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul-Fadhl. Dan berkata sekelompok dari shahabat kami : Dimakruhkan baginya untuk berpuasa” [Al-Majmu’, 6/380].
-
Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : “Apa hukum puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah ?”. Maka beliau rahimahullah menjawab : “(Puasa di) hari kesembilan adalah sunnah. Hari ‘Arafah adalah sunnah bagi seluruh kaum muslimin untuk berpuasa di dalamnya. Nabi pernah ditanya mengenai hari ‘Arafah, maka beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam menjawab : ‘Allah mengampuni dengannya dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’. Oleh karena itu, pada hari ‘Arafah disunnahkan untuk berpuasa bagi laki-laki dan wanita kecuali bagi mereka yang melaksaksanakan haji, maka ia tidak berpuasa. Barangsiapa yang melaksanakan haji, maka pada hari ‘Arafah itu ia berbuka pada tahun ini. Adapun selain orang-orang yang berhaji, maka yang sunnah bagi mereka adalah berpuasa jika merasa ringan/mudah melaksanakannya” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/19016].
Namun ada keterangan dari beberapa pendahulu ummat ini yang tetap berpuasa walaupun mereka berada di ‘Arafah melakukan wuquf.
"ﻂ ِإَﻟّﺎ َو ُه َﻮ ﺻَﺎ ِﺋ ٌﻢ ُّ ﻋ َﺮ َﻓ َﺔ َﻗ َ ﺷ ِﻬ َﺪ َأﺑِﻲ َ "ﻣَﺎ: ﻗﺎل، ﻋﻦ أﺑﻴﻪ، ﻋﻦ هﺸﺎم ﺑﻦ ﻋﺮوة Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, ia berkata : “Tidaklah aku menyaksikan ayahku (‘Urwah bin Zubair)di ‘Arafah, kecuali ia sedang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1057; shahih].
ﻓﺘﻘﻒ ﺑﻌﺪ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﺼﻰ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﺎ وﺑﻴﻦ اﻟﻨﺎس ﻣﻦ، " رأﻳﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻋﺸﻴﺔ ﻋﺮﻓﺔ ﻳﺪﻓﻊ اﻹﻣﺎم: ﻗﺎل، ﻋﻦ اﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ " ﺛﻢ ﺗﺪﻋﻮ ﺑﺎﻟﺸﺮاب ﻓﺘﻔﻄﺮ، اﻷرض Dari Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : “Aku pernah melihat ‘Aisyah pada waktu sore di ‘Arafah meninggalkan (memisahkan diri dari) imam (rombongan haji). Ia berhenti sebentar hingga orang-orang jauh darinya, lalu minta dibawakan minuman dan mulai berbuka puasa” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Tahdziibul-Aatsaar no. 1059; shahih].
Hal itu sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah : “Kebanyakan ulama menyenangi berbuka pada hari ‘Arafah ketika berada di ‘Arafah. Adalah ‘Aisyah dan Ibnu Zubair tetap berpuasa (saat di ‘Arafah). Qataadah berkata : ‘Tidak mengapa dengannya jika tidak menyebabkan lemah untuk berdoa’. ‘Athaa’ berkata : ‘Aku berpuasa saat musim dingin, dan aku tidak berpuasa saat musim panas’. Kemakruhan berpuasa di waktu itu dikarenakan akan menyebabkan kelemahan untuk berdoa. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang” [Al-Mughniy, 3/58]. Puasa ‘Arafah Menurut Negeri Masing-Masing atau Menurut Saudi (tempat dilaksanakannya wukuf di Arafah) ? Permasalahan ini menjadi khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama’. Sebagian ulama memahami bahwa ibadah ini (dan juga ‘Iedul-Adlha)[3] tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah, sebagaimana hal yang sama untuk permulaan Ramadlan dan Syawal. Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas pada para hujjaj. Dan dalam hal ini, kami (penulis artikel ini – pen.) mengikuti tarjih ulama pada pendapat kedua. Hal itu didasari oleh beberapa alasan berikut : 1. Telah berlalu penjelasan bahwasannya puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika para hujjaj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji. 2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik :
ﺣﻴﻦ ﺻﺎم رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻮم ﻋﺎﺷﻮراء وأﻣﺮ:ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻳﻘﻮل "ﻓﺈذا آﺎن: ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ. ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ! إﻧﻪ ﻳﻮم ﺗﻌﻈﻤﻪ اﻟﻴﻬﻮد واﻟﻨﺼﺎرى: ﻗﺎﻟﻮا،ﺑﺼﻴﺎﻣﻪ . ﺣﺘﻰ ﺗﻮﻓﻲ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ، ﻓﻠﻢ ﻳﺄت اﻟﻌﺎم اﻟﻤﻘﺒﻞ: ﻗﺎل. ﺻﻤﻨﺎ اﻟﻴﻮم اﻟﺘﺎﺳﻊ،اﻟﻌﺎم اﻟﻤﻘﺒﻞ إن ﺷﺎء اﷲ Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ;anhumaa, ia berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Aasyuuraa dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1134].
ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻳﻘﻮل ﻓﻲ ﻳﻮم ﻋﺎﺷﻮراء ﺧﺎﻟﻔﻮا اﻟﻴﻬﻮد وﺻﻮﻣﻮا اﻟﺘﺎﺳﻊ واﻟﻌﺎﺷﺮ Dari Ibnu ‘Abbaas ia berkata tentang (puasa) hari ‘Aasyuuraa’ : “Selisihilah orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7839 dan AlBaihaqiy dalam Al-Kubraa 4/287; shahih]. Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah :
ﻲ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ْ ﺴ َﻨ َﺔ اَّﻟ ِﺘ َّ َو اﻟ،ُﻲ َﻗ ْﺒَﻠﻪ ْ ﺴ َﻨ َﺔ اَّﻟ ِﺘ َّ ن ُﻳ َﻜ ِّﻔ َﺮ اﻟ ْ ﷲ َأ ِ ﻋﻠَﻰ ا َ ﺐ ُ ﺴ ِ ﺣ َﺘ ْ َأ،َﻋ َﺮ َﻓﺔ َ ﺻﻴَﺎ ُم َﻳ ْﻮ ِم ِ “Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”. Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah. 3. Telah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻓﻄﺮآﻢ ﻳﻮم ﺗﻔﻄﺮون وأﺿﺤﺎآﻢ ﻳﻮم ﺗﻀﺤﻮن “Berbuka kalian adalah hari kalian berbuka dan penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2324, Al-Baihaqiy 1/251, Ad-Daaruquthniy 2/163; shahih. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4225].
ﻓﻄﺮآﻢ ﻳﻮم ﺗﻔﻄﺮون وأﺿﺤﺎآﻢ ﻳﻮم ﺗﻀﺤﻮن وﻋﺮﻓﺔ ﻳﻮم ﺗﻌﺮﻓﻮن “Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224]. ﻳﻮم ﻋﺮﻓﺔ وﻳﻮم اﻟﻨﺤﺮ وأﻳﺎم اﻟﺘﺸﺮﻳﻖ ﻋﻴﺪﻧﺎ أهﻞ اﻹﺳﻼم وهﻲ أﻳﺎم أآﻞ وﺷﺮب “Hari ‘Arafah, hari penyembelihan (‘Iedul-Adlhaa), dan hari-hari tasyriiq adalah hari raya kita orangorang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2419 dan AtTirmidziy no. 773; shahih]. Makna ’ penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih’ dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaikan pelaksanakaan hari menyembelih dan pelaksanaan wuquf orang-orang yang melaksanakan haji di Makkah. An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Telah berkata shahabat-shahabat kami (fuqahaa’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka (‘Iedul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’IedulAdlhaa). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..” [AlMajmu’’, 5/26]. Hari yang nampak sebagai hari ‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibdah haji wuquf di ‘Arafah. 4. Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata : “Bahwasannya amir kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2338; shahih]. Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah hilal penduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.[4] Wallaahu a’lam. Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya. (http://abul-jauzaa.blogspot.com].
Mestikah Puasa Arofah Ikut Hari Wukuf di Arofah? Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak bertepatan dengan wukuf di Arofah? Syaikh Muhammad bin Sholih ‘Utsamin (ulama Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Kami khususnya dalam puasa Ramadhan mubarok dan puasa hari Arofah, di antara saudara-saudara kami di sini terpecah menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama: kami berpuasa bersama Saudi Arabia dan juga berhari Raya bersama Saudi Arabia. Pendapat kedua: kami berpuasa bersama negeri kami tinggal dan juga berhari raya bersama negeri kami. Pendapat ketiga: kami berpuasa Ramadhan bersama negeri kami tinggal, namun untuk puasa Arofah kami mengikuti Saudi Arabia. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai puasa bulan Ramadhan dan puasa Hari Arofah. Kami memberikan sedikit informasi bahwa lima tahun belakangan ini, kami tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia ketika melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa Arofah. Biasanya kami di negeri ini memulai puasa Ramadhan dan puasa Arofah setelah pengumuman di Saudi Arabia. Kami biasa telat satu atau dua hari dari Saudi, bahkan terkadang sampai tiga hari. Semoga Allah senantiasa menjaga antum. Syaikh menjawab: Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru’yah hilal apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya. Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas. Dalil dari Al Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala, “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185). Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa. Adapun dalil dari As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Dipahami dari hadits ini, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya. Adapun dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah hal yang disepakati. Engkau dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.
Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada. Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian. [Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 19/24-25, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?” Syaikh rahimahullah menjawab: “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah. Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim). Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya. Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H] *** Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Intinya (pendapat penulis artikel ini – pen.), kita tetap berpuasa Ramadhan, berhari raya dan berpuasa Arofah sesuai dengan penetapan hilal yang ada di negeri ini, walaupun nantinya berbeda dengan puasa, hari raya atau wukuf yang ada di Saudi Arabia. Hanya Allah yang memberi taufik. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel http://rumaysho.com Panggang, Gunung Kidul, 1 Dzulhijah 1430 H