(PSLK) 2016, MODEL KEMAH ANAK CINTA LINGKUNGAN (KANCIL) SEBAGAI PENDIDIKAN INFORMAL ANAK BERETIKA LINGKUNGAN

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

MODEL KEMAH ANAK CINTA LINGKUNGAN (KANCIL) SEBAGAI PENDIDIKAN INFORMAL ANAK BERETIKA LINGKUNGAN Camp Model Of Child Love The Environment As An Informal Education Of Children Have Environmental Ethics Tiara Rahmania Martharini Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No. 5 Malang, HP.085641425625; email: [email protected] Abstrak Materi lingkungan hidup yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal tingkat sekolah dasar mengisyaratkan akan pentingnya anak mulai menyadari isu dan problematika lingkungan lokal maupun global sejak dini. Dengan kurikulum yang memusatkan anak untuk aktif menggali, mencoba, menemukan, dan mencipta saat pembelajaran, diharapkan anak memiliki etika lingkungan dengan cara yang paling sederhana. Namun, dalam implementasinya, kurikulum tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga tidak didapatkan tujuan yang diharapkan. Hal tersebut terjadi karena guru yang kurang tepat melaksanakan model pembelajaran. Berdasarkan permasalahan tersebut ditawarkan gagasan konseptual sebagai alternatif menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak untuk memiliki mindset etika lingkungan dalam setting pendidikan informal. Pendidikan informal dalam konteks ini dilakukan oleh kelompok maupun organisasi berbentuk kegiatan belajar secara mandiri di luar sistem persekolahan. Model yang ditawarkan berupa kemah anak cinta lingkungan (Kancil) yakni kemah singkat tentang simulasi kehidupan yang ramah lingkungan. Kegiatan yang ditawarkan meliputi aktivitas sehari-hari yang hemat air dan listrik, mengenal sampah, menonton film, diskusi, praktek membuat pupuk organik, penanaman, serta outbound yang bermuara pada refleksi kritis akan etika lingkungan. Semua pembelajaran yang diberikan tidak hanya memberikan ketrampilan dan informasi kognitif, tetapi juga perubahan mindset anak untuk melestarikan lingkungan sehingga berujung pada tindakan sebagai aspek evaluasi pembelajaran. Gagasan ini nantinya bisa ditindaklanjuti untuk dijadikan suatu penelitian hingga program massal yang berkelanjutan dengan dukungan instansi terkait yang sarat dengan berbagai ahli pendidikan dan lingkungan hidup. Kata kunci: pembelajaran anak, etika lingkungan, pendidikan informal Abstract Environmental subjects included in the formal education curriculum of primary school level implies the importance of children begin to realize local and global issues early. With a curriculum that focuses the child to be active during learning, children are expected to have an ethical environment in the most simple way. However, in implementation of the curriculum didn‘t go well. This occurs because teachers are less appropriate in executing learning model. Based on these problems, offered a conceptual idea as an alternative to creating a fun learning environment for children to have a mindset of environmental ethics in informal education settings. Informal education in this context is carried out by the group in the form of self-learning activities outside the school system. The model offered is a brief camp about the simulation of life tune with nature. The activities offered include day-to-day activities of saving water and electricity, garbage recognize, watching movies, discussions, practice makes organic fertilizer, planting, and outbound which leads to the critical reflection of environmental ethics. All lessons was given not only provide skills and cognitive information, but also changes the mindset of children to preserve the environment so that the leads to action as aspects of evaluation. This idea will be followed 622


up for an study to mass continuous program with the support of institutions concerned were loaded with various educational and environmental experts. Key words: children's learning, environmental ethics, informal education PENDAHULUAN Pendidikan lingkungan hidup pada anak merupakan salah satu kebutuhan yang sedang dipenuhi oleh dunia pendidikan saat ini. Karena pendidikan lingkungan hidup yang diberikan sejak usia dini akan menjadi pedoman sepanjang hayat berperilaku baik terhadap alam. Perilaku baik terhadap alam harus melekat dalam diri dengan harapan dapat turut berkontribusi memperbaiki maupun mengurangi kondisi lingkungan yang terus mengalami krisis. Keraf (dalam Awatara, 2011:105) menyebutkan bahwa krisis lingkungan tersebut berupa: (1) kerusakan hutan, tanah, lapisan ozon; (2) pencemaran: udara, air, tanah, laut; (3) kepunahan: sumber daya energy dan mineral, keanekaragaman hayati (darat, laut, udara), mata air; (4) perubahan iklim global dan bencana lingkungan: banjir, longsor, kekeringan, badai, kenaikan permukaan laut; (5) masalah sosial terkait: kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan, kekerasan, konflik sosial, pelanggaran hak asasi manusia, penyakit, kematian. Gambaran krisis lingkungan yang terus terjadi dari tahun ke tahun pada tataran lokal maupun global diatas menjadi dasar dalam mengembangan materi pendidikan lingkungan hidup untuk mempersiapkan anak menjadi sumber daya manusia yang dapat bijak mengelola sumber daya alam. Pada jalur pendidikan formal, khususnya dalam kajian ini adalah sekolah dasar, dikembangkan pembelajaran tematik dengan tema-tema seputar lingkungan hidup seperti lingkungan bersih, sehat dan asri pada kelas satu; air, bumi dan matahari pada kelas dua; menjaga kelestarian lingkungan pada kelas tiga; peduli terhadap mahkluk hidup pada kelas iv; dan selamatkan mahkluk hidup pada kelas vi. Materi lingkungan hidup yang diwujudkan pada tema-tema tersebut terintegrasi dari semua mata pelajaran dan mengkondisikan anak untuk aktif mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan alam sekitar, flora, fauna, isu, problematika, hingga inovasi lingkungan. Sehingga pembelajaran menjadi lebih kontekstual dengan kehidupan nyata. Potensi anak selaku siswa diharapkan tidak hanya berkembang pada sisi pengetahuan kognitif saja, tetapi memiliki sikap, dan ketrampilan ketika berinteraksi dengan lingkungan dan alam sekitar atau dengan kata lain memiliki etika lingkungan. Namun, dalam perjalanannya, harapan pendidikan formal pada tingkat sekolah dasar untuk mampu mengembangkan etika lingkungan pada siswanya tidak dapat tercapai dengan baik. Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab, seperti tidak adanya dukungan dari keluarga untuk turut menjadi role model beretika lingkungan serta permasalahan umum pelaksanaan kurikulum itu sendiri. Seperti kenyataannya belum semua guru memperoleh pelatihan pembelajaran tematik dan kurikulum 13 serta ketika buku siswa sebagai sumber belajar tidak dikembangkan oleh guru (Handiko, 2015). Masalah tersebut bisa menjadi sebab dari hasil pengamatan yang dilakukan pada beberapa siswa SD di Kota Malang banyak siswa SD yang belum memiliki etika lingkungan seperti membuang sampah disembarang tempat. Berbagai fakta lain menunjukkan, perilaku siswa yang mengarah pada perusakan lingkungan masih mudah ditemukan. Dengan kata lain, kesadaran lingkungan siswa masih perlu ditingkatkan (Adawiyah,2013:64). Apa yang 623


mereka pelajari di sekolah belum mampu mengubah sikap dan perilaku sehari-hari dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ketika jalur pendidikan formal yakni sekolah dasar tidak cukup berhasil dalam membentuk etika lingkungan pada anak, jalur pendidikan informal dapat menjadi alternatif solusi. UU Sisdiknas tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Artinya baik lingkungan hidup, sosial, budaya dan semua aspek lingkungan di sekeliling manusia dapat menjadi garapan jalur pendidikan informal. ―Pendidikan informal adalah all forms of nonorganized learning opportunity―(Faisal, 2009:4). Pendidikan informal dapat dilakukan oleh individu, kelompok, maupun organisasi dengan belajar secara mandiri berdasarkan kebutuhan yang diinginkan dengan membentuk sebuah program yang tidak terorganisir secara ketat dan tidak berjenjang. Dalam usaha menjadi alternatif solusi membentuk etika lingkungan pada anak, pendidikan informal menjadi sebuah penambah maupun pengganti dari pendidikan lingkungan hidup yang diberikan di sekolah dasar. Sehingga dibutuhkan model yang lebih solutif dan inovatif dari pembelajaran lingkungan hidup pada pendidikan formal. Gagasan model pembelajaran pendidikan informal yang diwarkan adalah kemah anak cinta lingkungan (Kancil). Pada model ini anak pada usia sekolah dasar berada pada usia 7-12 tahun dimana menurut Piaget usia tersebut berada pada tahap operasional konkrit. Menurut Syaodih (2013: 20) anak-anak ini lebih pesat melampaui anak-anak praoperasional dalam penalaran, pemecahan masalah dan logika. Namun, pemikiran mereka masih terbatas pada operasi konkrit. Sehingga pembelajaran yang baik untuk mereka tidak bisa hanya secara abstrak, tetapi harus menunjukan atau melakukan sesuatu hal yang konkrit. Menjawab konsekuensi tersebut, model kemah anak cinta lingkungan mendesain kegiatan yang ada di dalamnya dengan mengedepankan prinsip melihat dan melakukan berbagai aktivitas secara konkrit seperti membuang sampah pada tempatnya, hemat air, pengelolaan sampah organik dan nonorganik, dan penanaman pohon. Semua pembelajaranyang diberikan yang mengarah pada aktivitas sehari-hari yang cinta lingkungan. Penulisan gagasan model Kancil ini adalah sebagai kontribusi disiplin ilmu pendidikan luar sekolah khususnya pada pendidikan informal terhadap usaha pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup. Gagasan ini bertujuan menjelaskan model pembelajaran kemah anak cinta lingkungan sebagai pendidikan informal dapat membentuk anak untuk memiliki etika lingkungan sejak dini. Manfaat dari gagasan ini adalah agar dapat dilanjutkan dalam bentuk penelitian pengembangan atau dilaksanakan langsung pada skala kecil maupun besar oleh kelompok yang berkepentingan, instansi terkait, atau individu yang memiliki ketertarikan dalam usaha kelestarian lingkungan melalui bidang pendidikan. KAJIAN PUSTAKA Etika Lingkungan dan Pendidikan Lingkungan Hidup Etika merupakan panduan hidup baik buruknya berperilaku. Etika memberi orientasi, petunjuk, dan arah bagaimana harus hidup dengan kesusilaan yang baik. Definisi etika yang demikian terkadang tipis dengan definisi moral. Yang membedakan etika dari segenap cara pendekatan mengenai masalah kesusilaan ialah, etika membahas masalah kesusilaan secara ilmiah (De Vos, 1987:6). Artinya, etika lebih kepada sebuah ilmu yang 624


menuntut manusia untuk memiliki kesadaran mempelajari dan terus meningkatkan apa yang ia pelajari tersebut. Sehubungan dengan pemahaman diatas, maka etika lingkungan pada dasarnya membicarakan tentang kesadaran manusia berpengetahuan dan terus meningkatkan pengetahuannya tentang bagaimana berhubungan dalam alam atau lingkungan hidupnya. Etika lingkungan adalah tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidupnya (Wardono, 2001:57). Etika lingkungan yang didalamnya memuat pengetahuan cara pandang dan perilaku, berpengaruh terhadap kondisi lingkungan di bumi ini, karena manusia sebagai pemilik etika tersebut adalah pelaku utama di bumi ini. Sehingga sangat tepat sekali dengan apa yang dikatakan Naess bahwa krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam semesta secara fundamental dan radikal. Manusia membutuhkan sebuah pola atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut kepentingan atau kebutuhan perorangan, namun juga budaya masyarakat secara keseluruhan (Mulyana, 2009:175). Mengubah cara pandang dan perilaku sebagai aspek psikologis manusia harus menggunakan sarana yang tepat, yakni melalui pendidikan. Sehingga pendidikan lingkungan merupakan konsekuensi sarana dalam rangka membentuk warga negara yang berwawasan dan beretika lingkungan. Pedoman pengembangan garis besar isi materi (GBIM) pendidikan lingkungan hidup di Indonesia merumuskan beberapa kurikulum pendidikan lingkungan hidup formal maupun non formal sebagai tanggapan terhadap salah satu tujuan program aksi agenda 21. Yakni untuk meningkatkan kesadaran publik secara luas sebagai suatu bagian dari upaya pendidikan global dalam rangka memperkuat sikap, nilai-nilai, dan aksi (actions) yang sesuai dengan sustainable development (GBIM, 2012). Dengan demikian, pendidikan lingkungan hidup merupakan salah satu sarana untuk membentuk anak sebagai bagian dari warga negara memiliki etika lingkungan yang dapat diperoleh melalui berbagai jalur pendidikan nasional. Hubungannya Pendidikan Informal dengan Pendidikan Lingkungan Hidup Pendidikan informal merupakan salah satu jalur pendidikan nasional sebagai bagian dari bidang studi pendidikan luar sekolah. Jika dalam pendidikan formal komponen berupa kurikulum yang berisi materi dengan tujuan yang telah ditetapkan. Maka dalam pendidikan luar sekolah komponen tersebut termplementasi dalam bentuk program-program kegiatan. Karena program yang diselenggarakan pendidikan luar sekolah yang lebih luas dengan pendidikan sekolah, maka sasaran program tersebut melibatkan banyak unsur untuk dianalisis. Dalam gagasan ini pendidikan informal sebagai pendidikan luar sekolah memiliki sasaran manusia dan lingkungan alam. Maka dalam menganalisis sasaran dan lingkungan tersebut, pendidikan ini memperoleh dukungan dari ilmu pengetahuan alam khususnya pendidikan lingkungan hidup. Ilmu pengetahuan alam (natural science), khususnya biologi dan ilmu alamiah, digunakan untuk mempelajari mahkluk hidup dan benda-benda alam yang terdapat dalam wilayah sasaran pendidikan luar sekolah. Lingkungan hidup dan fisik itu dipelajari untuk dimanfaatkan dalam program pendidikan luar sekolah. (Sudjana, 1991:126). Kesimpulannya, ilmu pengetahuan dalam pendidikan lingkungan hidup menjadi pokok materi pembelajaran di jalur pendidikan informal (sebagai bagian 625


pendidikan luar sekolah) dengan karakteristik pendekatan, metode, dan teknik yang tentunya berbeda dengan pendidikan formal. Implementasi Pendidikan Informal untuk Anak Pendidikan informal merupakan bagian dari bidang pendidikan luar sekolah yang biasanya mencakup pendidikan di luar sistem persekolahan. Meskipun saat ini, di Indonesia studi pendidikan luar sekolah berganti nama dengan pendidikan non formal, tetapi kajian pendidikan informal tetap masuk di dalamnya. Pembagian sistem pendidikan dengan istilah formal, informal, dan nonformal sendiri sebelumnya berasal dari Philips Coombs. Coombs dan Ahmed (dalam Marzuki, 2012:145) menjelaskan bahwa pendidikan informal adalah betul-betul proses sepanjang hayat, dimana setiap individu memperoleh sikap, nilai ketrampilan, dan pengetahuan, dari pengalaman sehari-hari dan dari pengaruh pendidikan dan sumber-sumber di lingkungannya. Sementara pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan yang terorganisir di luar sistem sekolah formal. Meskipun antara pendidikan informal dan nonformal sedikit memiliki kerancuan secara administratif, tetapi definisi tersebut tidak selamanya bersifat kaku. Dalam gagasan ini, model yang dikembangkan berada pada jalur pendidikan informal karena berkaitan dengan teknis pelaksanaanya yang bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus terorganisir dengan ketat, dan tidak berjenjang. Karena dalam pendidikan nonformal terkadang masih terbuka untuk melakukan penjenjangan tingkat pendidikan dan memiliki aturan yang sedikit ketat. Meskipun demikian, gagasan model pembelajaran ini memiliki kemungkinan atau terbuka untuk dilaksanakan secara nonformal. Pendidikan informal dapat diimplementasikan kepada seluruh masyarakat, dari anak usia dini hingga usia lanjut (manula). Karena sebagaimana diungkapkan diatas bahwa pendidikan informal adalah semua kesempatan belajar yang tidak terorganisir. Pendidikan informal adalah penerusan dari konsep life long education yang digerakan UNESCO. Karena ketika sistem pendidikan formal terhenti karena waktu dan usia seseorang, maka otomatis dia akan berhenti belajar (secara formal). Inilah yang menjadi ruang yang akan dipenuhi oleh pendidikan informal. Ketika anak tidak lagi mendapatkan pembelajaran lingkungan hidup akibat keterbatasan waktu yang telah disusun, maka melalui pendidikan informal anak akan mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana itu berinteraksi dengan lingkungan dengan pendekatan yang tentunya akan disesuaikan dengan sasaran, yakni anak. Pendekatan pendidikan informal yang diberikan kepada anak, akan memiliki perbedaan dengan pendidikan informal yang diberikan kepada orang dewasa. Dalam pendidikan informal, pendekatan pembelajaran memperhatikan beberapa prinsip serta teori psikologi perkembangan anak sebagai usaha menunjang tercapainya target pembelajaran. Pertama hal yang diperhatikan dalam pengembangan model pembelajaran ini adalah psikologi perkembangan anak ditinjau dari usia yakni usia 7-12 tahun sebagai usia operasional konkret Operasi konkret hanyalah menunjukkan kenyataan adanya hubungan dengan pengalaman empirik-konkret yang lampau. Siswa masih terikat kepada pengalaman pribadi yang masih konkret dan belum formal (Suparno, 2001:87). Sehingga konsekuensi dari teknik pembelajaran yang akan diberikan adalah harus secara konkret melihat atau melakukan dengan langsung. Kedua, berkaitan dengan membentuk etika lingkungan maka 626


konsekuensinya harus menggunakan pendekatan pembelajaran yang mengutamakan proses perubahan mendasar dalam diri anak. Ketiga, pendidikan informal yang diberikan adalah sebagai solusi dari pendidikan sekolah yang tidak maksimal. Illich dan Freire mengritik proses dan akibat pendidikan sekolah telah membatasi perkembangan peserta didik untuk mengaktualisasi diri dan untuk berperan secara penuh dalam proses pendidikan (Sudjana, 1991:70). Dengan demikian, konsekuensi pembelajaran yang dilakukan harus bersifat mengaktualisasi anak secara dan dialogis. Kesimpulannya, model pembelajaran yang diberikan kepada anak pada gagasan pendidikan informal ini harus memiliki prinsipprinsip yakni pembelajaran dengan konkrit yakni melakukan praktek langsung, pembelajaran yang berujung pada perubahan yang mendasar dalam diri anak, dan pembelajaran yang dialogis. PEMBAHASAN Gagasan model pembelajaran ini berangkat dari permasalahan kurang maksimalnya pembelajaran pendidikan lingkungan hidup yang diberikan pada pendidikan formal tingkat sekolah dasar. Sehingga gagasan model pembelajaran pada jalur informal ini mencoba menjadi solusi pendidikan lingkungan hidup yang dapat lebih menanamkan etika lingkungan pada anak. Setelah mengkaji beberapa kajian pustaka yang berhubungan dengan pendidikan lingkungan hidup, etika lingkungan, dan pendidikan informal maka didapatkan beberapa prinsip yang harus dipenuhi untuk mengembangkan gagasan model. Sasaran model pembelajaran adalah anak usia sekolah dasar yakni antara 7 hingga 12 tahun. Dalam psikologi perkembangan, usia tersebut dikategorikan sebagai tahap operasional konkrit. Dimana pemikiran mereka masih terbatas pada sesuatu hal yang konkrit dengan kata lain pembelajaran yang menunjukan contoh dan berkegiatan langsung. Sehingga konsekuensi dari teknik pembelajaran yang akan diberikan adalah harus secara konkrit melihat atau melakukan dengan langsung. Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini. Teknik pembelajaran yang akan diterapkan adalah demonstrasi, diskusi, simulasi, dan outbound. Semua teknik-teknik kegiatan tersebut akan dikemas dalam sebuah kegiatan kemah. Berkemah menunjang pembelajaran yang konkrit, pembelajaran konkrit tersebut berupa simulasi kegiatan dari bangun tidur, makan, mandi dan beraktivitas sehari-hari. Dari simulasi-simulasi itu para anak akan dikondisikan oleh fasilitator untuk melakukan setiap tahap aktivitas kehidupan yang beretika lingkungan. Berkaitan dengan membentuk etika lingkungan maka konsekuensinya harus menggunakan pendekatan pembelajaran yang mengutamakan proses perubahan mendasar dalam diri anak. Karena etika adalah sesuatu yang melekat dalam diri. Dengan demikian pendekatan pembelajaran yang diberikan adalah transformative learning. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa transformasi pada dasarnya adalah suatu upaya atau proses perubahan yang mendasar dalam diri manusia (Moedzakir, 2010:110). Seorang fasilitator dituntut untut dapat mengetahui mindset anak dalam kasus ini adalah mindset dasar saat berinteraksi dengan lingkungan, kemudian mengembangkan pembelajaran agar anak mengalami pembentukan etika, dan menggali seluruh potensi anak dalam kaitannya berhubungan dengan alam. Karena dalam pembelajaran transformatif fasilitator berperan sebagai pembimbing dari pada instruktur. 627


Dengan memperhatikan prinsip pembelajaran diatas maka dihasilkan sebuah model kemah anak cinta lingkungan (Kancil) sebagai pendidikan informal anak agar beretika lingkungan. Model ini menjelaskan bagaimana melaksanakan kegiatan pendidikan lingkungan hidup dari penerapan suatu pendekatan, strategi, metode, teknik, dan gaya pembelajaran yang telah disusun sesuai karakteristik pendidikan informal. Model akan menjelaskan bentuk pembelajaran dari awal sampai akhir yang dipimpin oleh fasilitator. Peserta Kancil adalah anak usia sekolah dasar 7 hingga 11 tahun, disarankan kegiatan dilakukan dengan jumlah peserta tidak lebih dari 50 anak. Lebih baik jika disesuaikan dengan tingkatan kelas. Karena proses evaluasi adalah melalui refleksi kritis yang akan membutuhkan perhatian ekstra ketika mengadakan dialog refleksi. Model Kancil secara umum terdiri dari tiga komponen kegiatan, yaitu: persiapan, pelaksanaan, serta evaluasi dan refleksi kritis. Komponen pembelajaran model ini terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan dari awal sampai akhir yang terintegrasi menjadi sebuah pembelajaran holistik yang bersifat memorable experience untuk anak. Rangkaian kegiatan tersebut terdiri dari berbagai teknik kegiatan yang dapat dilakukan, yakni : A. Perencanaan Perencanaan merupakan pendahuluan sebelum pelaksanaan kegiatan lapangan, langkah awal ketua fasilitator melakukan asesmen dengan cara mewawancara guru tentang kondisi anak didik berkaitan dengan pembelajaran lingkungan hidup dan etika lingkungan anak di sekolah. Selanjutnya ketua fasilitator mengorganisir anggota fasilitator yang lain berkaitan rencana kegiatan yang akan dilakukan. Rencana berkaitan dengan rangkaian kegiatan yang akan dilakukan, sarana dan prasarana yang akan digunakan, pembagian tugas, serta prinsip-prinsip yang harus dimiliki fasilitator. B. Pelaksanaan Pelaksanaan merupakan inti model, berupa rangkaian kegiatan yang dilakukan anak selama kemah yakni berupa : 1) Pendekatan awal, tahap ini adalah untuk menciptakan hubungan awal dengan anak sebagai peserta kemah. Anak akan dijelaskan maksud dan tujuan kegiatan dengan jujur dan jelas. Tahap ini merupakan tahap peningkatan pengetahuan kognitif tentang lingkungan hidup. Dilakukan kegiatan diskusi termodifikasi berupa ―nonton bareng‖ film kondisi isu lingkungan, problematikan lingkungan dan kondisi bumi, serta inovasi-inovali lingkungan baik yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari maupun inovasi teknologi ramah lingkungan. Setelah film selesai, dilakukan diskusi tanya jawab setelah melihat hal-hal konkrit dalam film. 2) Simulasi kehidupan ramah lingkungan di dalam perkemahan. Sebelum berkemah anak diminta untuk mematuhi beberapa peraturan yang harus dilakukan.  Saat berkemah anak diminta untuk makan atau minum tanpa menggunakan bungkus yang akan dibuang kembali. Konsekuensinya anak diberi botol minuman, gelas, piring, dan sendok yang akan dipakai selama berkemah dengan ditandai angka sebagai tanggung jawab hingga akhir kegiatan.  Saat mencuci piring anak akan diarahkan untuk menghemat air, tidak mengalirkan air terlalu banyak.  Anak dikondisikan untuk membuang sampah pada tempat sampah yang disediakan selama kegiatan. 628


3) Pelaksanaan aktivitas konkrit. Setelah memiliki pengetahuan dasar yang diberikan di pendekatan awal, anak akan di-setting untuk melakukan aktivitas yang bertujuan membentuk sikap dan ketrampilan, kegiatan tersebut meliputi :  Mengenal sampah organik anorganik. Pada kegiatan ini anak yang telah memiliki pengetahuan dasar dibagi kedalam beberapa kelompok terdiri dari 5-7 anak yang akan diberikan dua kantong sampah dengan tulisan pada masingmasing kantong adalah organik dan anorganik. Kemudian anak diajak berkeliling sekolah dan lingkungan tempat tinggal sekitar untuk memungut sampah dan dimasukan kedalam kantong yang sesuai. Untuk sampah organik yang begitu banyak akan dibatasi dengan dedaunan basah yang akan digunakan untuk membuat pupuk.  Demonstrasi pembuatan pupuk organik. Pada kegiatan ini anak diharapkan untuk memiliki ketrampilan memanfaatkan sampah organik, anak akan diajarkan untuk membuat pupuk organik dengan berbagai macam cara.  Demonstrasi ketrampilan memanfaatkan sampah anorganik. Pada kegiatan ini anak diharapkan untuk memiliki ketrampilan memanfaatkan sampah anorganik. Seperti membuat tas, pot, dan barang-barang lain.  Penanaman pohon. Anak dibimbing untuk melakukan penanaman dengan baik serta pemberian tanggung jawab dalam perawatan. Setiap anak memiliki satu pohon yang akan dicek oleh fasilitator setelah penanaman. C. Evaluasi dan Refleksi Kritis Evaluasi dari seluruh rangkaian kegiatan dikemas dalam kegiatan refleksi kritis berupa permainan outbound. Jenis permainan outbound adalah yang memiliki tujuan refleksi kritis tentang kesadaran beretika lingkungan. Contoh jenis permainan bisa berupa tupai dan pemburu, jaring kehidupan, dan grass in the wind. Keberhasilan model kemah anak cinta lingkungan ini diukur melalui beberapa tujuan yang ingin dicapai. Pada umumnya tujuan kemah anak cinta lingkungan adalah agar anak memiliki etika lingkungan yang baik dalam pikiran maupun perbuatan (perilaku). Tujuan kemah anak cinta lingkungan tersebut diukur dari pemahaman dan perilaku anak yang terlihat ketika refleksi kritis serta evaluasi setelah selesai kegiatan, berupa: 1) Perspektif baru tentang isu, problematika, inovasi, dan pentingnya melestarikan lingkungan 2) Perilaku-perilaku ramah lingkungan: Membuang sampah pada tempatnya, hemat air, hemat listrik. 3) Ketrampilan-ketrampilan pengelolaan sampah. 4) Percaya diri untuk berbagi cerita/diskusi berkaitan isu, problematika, dan inovasi lingkungan. 5) Mengajak teman lain untuk melakukan hal yang sama dengan kebiasaan yang ia miliki.

629


Agar mempermudah memahami model Kancil, maka disusun sebuah gambar model berikut ini : INPUT Anak Usia 7-12 tahun

PROSES Perencanaan Asesmen dan Persiapan

Pelaksanaan memorable experience 1. Pendekatan pemahaman awal 2. Simulasi kehidupan ramah lingkungan (kemah) 3. Kegiatan konkrit  Nonton bareng  Mengenal sampah organik anorganik  Demonstrasi pembuatan pupuk organik  Demonstrasi ketrampilan memanfaatkan sampah anorganik Evaluasi  Penanaman pohon Refleksi kritis outbound. Evaluasi Pasca Kegiatan

Gambar 1.Model Kemah Anak Cinta Lingkungan (Kancil) Tahun 2016

Secara umum: anak memiliki etika lingkungan. Secara khusus: 1) Perspektif baru pentingnya melestarikan lingkungan 2) Perilaku-perilaku ramah lingkungan 3) Ketrampilan pengelolaan sampah. 4) Percaya diri untuk berbagi cerita berkaitan isu, problematika, dan inovasi lingkungan. INPUT BERHASIL 5) Mengajak teman lain untuk INPUT GAGAL melakukan haletika Belum memiliki lingkungan (pemahaman, yang sama dengan sikap, dan perilaku) kebiasaan yang dmiliki.

PENUTUP Kesimpulan Model kemah anak cinta lingkungan (Kancil) pada dasamya mirip dengan kemah dan liburan di alam bebas berupa aktivitas mengalami dan menemukan pengetahuan tentang lingkungan hidup. Model ini memungkinkan anak untuk memiliki perubahan mendasar untuk berperilaku berdasarkan etika lingkungan. Rancangan model Kancil terdiri dari tiga komponen kegiatan utama, yaitu perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi dan refleksi kritis. Tahap perencanaan meliputi persiapan asesmen dan persiapan kegiatan (sarana prasarana, fasilitator, raundown acara). Tahap pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu pendekatan pemahaman awal, simulasi kehidupan ramah lingkungan (kemah), kegiatan konkrit, nonton bareng, mengenal sampah organik anorganik, demonstrasi pembuatan pupuk organik, demonstrasi ketrampilan memanfaatkan sampah anorganik, dan penanaman pohon. Tahap evaluasi dari seluruh rangkaian kegiatan dikemas dalam kegiatan refleksi kritis diakhir permainan outbound. Model Kancil potensial untuk menjadi alternatif solusi pembelajaran lingkungan hidup di jalur pendidikan informal dengan argumen dasar bahwa model Kancil memberikan pengalaman langsung dan konkrit sehingga belajar merupakan proses aktif anak dalam membangun pengetahuannya sendiri. Di perkemahan anak seakan-akan seperti menjalani kehidupan yang dianggap akan turut mempengaruhi kelestarian alam. Dalam konteks ini tidak hanya pengetahuan tentang lingkungan hidup saja yang bisa 630


dikembangkan, tapi juga beberapa aspek sikap dan keterampilan tentang bagaimana menjadi manusia yang beretika lingkungan. Saran Disarankan untuk dilakukan penelitian pengembangan dan penelitian efektivitas model oleh para akademisi untuk mengetahui seberapa besar peran model Kancil sebagai pembelajaran lingkungan hidup pendidikan informal dapat menanamkan etika lingkungan pada anak. Dukungan institusi, lembaga swadaya masyarakat, dan individu yang memiliki ketertarikan pada bidang lingkungan hidup sangat diperlukan dalam mengembangkan dan memfasilitasi pelaksanaan model Kancil ini. DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, Rabiatul. 2013. Pengembangan Kearifan Sikap & Perilaku Melalui Pendidikan Lingkungan Berbasis Lahan Basah. Jurnal Ilmiah Kependidikan (LENTERA), 8 (2): 63-75. Awatara , I Gusti Putu Diva. 2011. Peran Etika Lingkungan Dalam Memoderasi Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Berwawasan Lingkungan Terhadap Kinerja Karyawan Berwawasan Lingkungan. Jurnal Ekosains, 3 (2): 105-120. Faisal, Sanapiah. 2009. Merancang Sosok PNFI yang Kokoh ke Depan: Hajatkan Gerakan dan Proses Profesonalisasi. Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional PNFI, Dirjen PNFI dan Universitas Negeri Malang, Malang, 21-23 Juli 2009. Handiko,Qowi. 2015. Permasalahan dan Solusi Pembelajaran Tematik: Refleksi atas Pelaksanaan Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013 Jenjang SD/ MI. (Online). (http://bdksemarang.kemenag.go.id/permasalahan-dan-solusipembelajaran-tematik-refleksi-atas-pelaksanaan-pendampingan-implementasikurikulum-2013-jenjang-sd-mi/, diakses tanggal 3 Maret 2016) Marzuki, Saleh. 2012. Pendidikan Non Formal: Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan, dan Andragogi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moedzakir, M.Djauzi. 2010. Metode Pembelajaran unruk Program-Program Pendidikan Luar Sekolah. Malang: UM Press Mulyana, Rachmat. 2009. Penanaman Etika Lingkungan Melalui Sekolah Perduli dan Berbudaya Lingkungan. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, 6(2): 175-180. Pedoman Pengembangan Garis Besar Isi Materi (GBIM). Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup. (Online), (www.menlh.go.id), diakses 1 Maret 2016. Sudjana, H.D. 1992. Pendidikan Luar Sekolah: Konsep, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Faktor Pendukung, Asas. Bandung: Nusantara Press Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta : Kanisius. Syaodih, Ernawulan. 2013. Psikologi Perkembangan.(Online). (http://file.upi.edu/Direktori/fip/jur._pgtk/196510011998022ernawulan_syaodih/psikologi_perk_anak.pdf/, diakses tanggal 2 Maret 2016) Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud 631


Vos, H De. 1969. Pengantar Etika. Terjemahan. Terjemahan Soemargono, Soejono. 1987. Yogyakarta: Tiara Wacana Wardono, Seto. 2001. Lingkungan Hidup. Surabaya: Pilar Bambu Kuning.

632

(PSLK) 2016, MODEL KEMAH ANAK CINTA LINGKUNGAN (KANCIL) SEBAGAI PENDIDIKAN INFORMAL ANAK BERETIKA LINGKUNGAN

Recommend Documents