Ultimart, Desember 2011, hal 155-165 ISSN 1979-0716
Vol. IV, Nomor 2
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine MARGARETHA MARGAWATI B. SOETRISNO-VAN EYMEREN
Abstract: This article explores the thoughts of Jacques Lacan (1901-1981) especially on Steven Z. Levine’s book titled Lacan Reframed: A Guide for the Art Student (2008). As a Freudian, Lacan assumes that great artists have similarities with psychoanalysts who are aware about the lost object that has been searched by human being in their life. As a Saussurean, Lacan identify the structure of language in the human mind, The enigmatic question from a subject to”the liĴle other”–visible people around such as parent, teacher, spiritual leader, friend, lover, even enemy–:”What do you want of me?” always open to ”the Big Other”–the invisible social structure. The social structure, represented by language, is more likely a blank page which must be there before and for visual shapes of leĴers and their verbal meanings of words stand out in their fragile consistency constitutes a necessary ground. This blank page itself can neither be fully visualized nor verbalized, like that of the body and world prior to the mappings and markings of language, is ”the Big Other”, or ”the Real”. The leĴer is referred to what Lacan called the Imaginary, or the signified(s), and the meaning of words shaped by the leĴers is the Symbolic or the signifier(s)–both are among the world of ”the liĴle other”. The enigmatic questions can be never fully answered and will become a never ending searched of a lost object, or of a desire. For Lacan, the principle of artistic creation is that the world we see in art is the world of our desire. As psychoanalysts understand their patient’s desire to the lost object and asking desperately:”Show it to me,” so do great artists knew the same desire of their spectators, and they both are aware that the desire will never got its fulfillment. But, at least, a great artist can creatively sublimating and transferring the enigmatic question or desire into a great work of art, so it has a power to be a temporary sanctuary at any one time. My critic to Lacan’s psychoanalyze is about the way he put a person as a subject as well as object of social structures symbolized by language, so that the identity is determined merely from the external dimension of consciousness. Meanwhile, a person always experience two dimensions of consciousness, internally and externally. So within this horizon, she or he never merely be a subject but instead a person who has freedom to define his or her very own becoming identity.
Keywords: psikoanalisis, Lacan, Levine, manusia, karya
Pendahuluan Mengapa Lacan? Levine mengatakan bahwa mempelajari psikoanalisis Jacques Lacan terhadap karya seni dapat mencerahkan bahkan membebaskan (Levine, 2008: xi-xvii). Pencerahan seperti apa dan pembebasan dari apa serta bagaimana hal tersebut dapat membebaskan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diberikan dalam bentuk pemaparan atas pemikiran Lacan yang terangkum dalam buku Levine berjudul Lacan Reframed: A Guide for the Art Student (2008).
07-livine.indd 155
Sebelum sampai pada pokok-pokok pemikiran Lacan, akan diberikan penjelasan secara singkat mengenai sejarah dan fungsi psikoanalisis dalam seni serta siapa Lacan dan hubungannya dengan dunia seni. Pada bagian penutup akan diberikan tanggapan terhadap pandangan Lacan.
1. Pengertian, Sejarah Singkat, dan Fungsi Psikoanalisis dalam Seni Psikoanalisis adalah cabang psikologi yang mempelajari penyebab gangguan kejiwaan dan
2/29/2012 8:36:43 PM
156
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
cara-cara penanganannya tidak mengunakan obat-obatan atau terapi kejut listrik serta cenderung memandang penyakit-penyakit mental terkait dengan faktor-faktor yang bersifat fisik. Psikoanalisis mulai dikenal sejak dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) yang mencoba menyelami fenomena dunia batin manusia. Freud terkenal di dunia seni karena tulisannya mengenai karya Leonardo da Vinci dan Michaelangelo Buonaro i di awal abad ke-20. Freud sangat terkesima oleh senyum seorang perempuan dalam lukisan Mona Lisa yang dibuat oleh da Vinci, dan ia melontarkan pertanyaan yang sekarang tidak lagi populer: ”Apa yang diidamkan oleh perempuan?” Pertanyaan tersebut dijawab dalam karyanya berjudul Leonardo da Vinci and a Memory of His Childhood (1910). Freud menafsirkan, selagi melukis seorang perempuan dari Florentine, Leonardo terkenang akan masa kecil dan senyum ibunya. Lewat senyum ambigu perempuan dalam Mona Lisa tersebut, Leonardo menemukan dirinya sebagai yang tidak lengkap. Bagi Freud, dalam bahasa seorang psikoanalis, ada sesuatu yang hilang (the lost object) dari diri manusia yang disimbolkan lewat senyum Mona Lisa. Adanya objek yang hilang merupakan salah satu prinsip utama dari psikoanalisis1 yang sangat dirindukan oleh subjek, yaitu si pelukis, dan hal tersebut merupakan tindakan yang bersifat psikologis yang disebut sublimasi.2 Sublimasi dalam dunia seni adalah transformasi keinginan pribadi yang sangat kuat ke dalam sebuah ekspresi kebudayaan yang diakui secara luas atau ke dalam sebuah karya yang monumental (Levine, 2008: 4). Konsep tersebut merupakan inti pemikiran Freud dan belakangan Lacan. Gambar 1 Lukisan Mona Lisa oleh Leonardo da Vinci Sumber: www. allartclassic.com
VOL IV, 2011
Freud melanjutkan teorinya mengenai kebutuhan terdalam dari Leonardo untuk menatap dan ditatap dengan penuh cinta yang tak pernah terpenuhi. Dalam bukunya berjudul Three Essays on the Theory of Sexuality (1905), Freud menyimpulkan bahwa dalam kehidupan, manusia tak pernah mendapatkan apa yang paling dibutuhkan oleh jiwanya, tetapi dalam membuat dan menikmati karya seni, ia boleh mendapatkan sedikit kepuasan. Hal tersebut berlaku dalam dunia seni apa pun, termasuk musik. Lewat analogi dengan kisah mitologis tentang Narcissus yang tak pernah puas memandangi pantulan dirinya di telaga jernih, Freud mengatakan bahwa mata seorang ibu, seperti halnya telaga, merupakan cermin bagi anaknya. Manusia mengenal dirinya, atau Akunya, dalam gambar di luar dirinya, atau lewat diri yang lain. Gambar 2 Narcissus dalam Sebuah Lukisan
Sumber: pep-web.org
Lewat lukisan Leonardo berjudul The Madonna and Child with Saint Anne (150810), Freud kemudian menafsirkan keinginan yang tak terpuaskan tersebut dan dituangkan dalam karya secara berbeda. Dalam lukisan tersebut terdapat gambar burung yang mengganggu penampilan keseluruhan, dan Freud menafsirkannya sebagai pengalihan pengalaman yang tidak enak yang dialami
1 Freud mengembangkannya dalam karyanya berjudul The Interpretation of Dreams (1900) 2 Berdasarkan Kamus Kecil dalam Appignanesi dan Zarate (1999), sublimasi merupakan perkembangan psikis lewat mana energi-energi yang bersifat instingtif dilepaskan ke dalam bentuk-bentuk perilaku yang tidak bersifat instingtif.
07-livine.indd 156
2/29/2012 8:36:43 PM
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
MARGARETHA MARGAWATI B. SOETRISNO-VAN EYMEREN
Leonardo di masa kecil. Pengalaman tidak enak di masa kecil tersebut merupakan sebuah tahap perkembangan ketika manusia yang sedang merasakan pengalaman nikmat dan senang bersama ibunya, tiba-tiba harus berhadapan dengan peraturan yang disimbolkan dalam kehadiran Ayah. Kepribadiannya terbentuk, bukan hanya terdiri dari dorongan-dorongan yang bersifat naluriah dari dalam dirinya (id), dan aku yang dikenalnya lewat diri ibu dengan keibuannya (ego), melainkan juga berbagai peraturan yang harus diikutinya lewat simbol ayah dan kebapakannya (superego). Gambar 3 Lukisan The Madonna and Child with Saint Anne oleh Leonardo da Vinci
Sumber: artlex.com
Pada intinya, lewat psikoanalisis terhadap karya seni dan senimannya, Freud memberikan gambaran mengenai dunia bawah sadar manusia. Psikoanalisis dalam dunia seni memperlihatkan bagaimana pengalaman kegelisahan manusia yang sadar akan keterbatasannya dan pengalaman yang tidak enak karena keterbatasan tersebut dapat disublimasikan ke dalam karya kreatif.
2. Siapa Jacques Lacan? Jacques Lacan (1901-1981) mengadaptasi model struktural dalam bahasa yang dikembangkan
157
oleh Ferdinand de Saussure1 ke berbagai wilayah kajian antropologis dan digunakan untuk menafsirkan kembali psikoanalisis Freudian (Kearney dan Rainwater, Eds.: 1996: 328). Karya-karyanya dapat diikuti dalam: The Language of the Self: The Function of Language in Psychoanalysis (1963), Ecrits: A Selection (1977), The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis (1977), dan beberapa lainnya. Bagi Levine, Lacan dapat membantu kita untuk mampu secara produktif mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu tentang bagaimana kita harus menjalani hidup (Levine, 2008: xiii). Karena, sebagai makhluk yang bukan hanya merupakan bagian strategis dari alam, manusia mengalami situasi kebudayaan yang sangat kompleks. Bagi Lacan, kunci bagi pertanyaan mendasar manusia adalah mengenali kepada siapa pertanyaan tersebut dialamatkan dan dari siapa jawabannya diharapkan? Pertanyaan hendaknya selalu dilontarkan kepada ”yang lain” yang kita anggap dapat memberi jawaban, siapa pun dia, entah orang tua, guru, dokter, pemuka agama, teman, kekasih, bahkan musuh. Setelah kita mampu menganalisisnya, pertanyaan kita harus ditujukan kepada yang lebih dari sekadar ”yang lain” yang khusus tersebut. Kita harus mengajukannya kepada ”Yang Lain” yang tergeneralisasi dalam tatanan kultural di mana kita dilahirkan, dibesarkan serta mau atau tidak mau kita akan dididik di dalamnya. Pertanyaan tersebut adalah: ”Apa yang kamu kehendaki dari diriku?” dan ”Menjadi pribadi semacam apa yang diharapkan dari diriku?” Pertanyaan eksistensial semacam itu bersifat enigmatis,2 yaitu selalu muncul sepanjang zaman dalam berbagai bentuk dan tak pernah terjawab tuntas karena sifat misterinya. Lewat pengamatan Freud, hal tersebut menunjukkan gejala penderitaan manusia yang tidak puas karena keinginan terdalamnya tak pernah terpuaskan.
1 Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli bahasa yang mengawali strukturalisme lewat filsafat bahasa dan mengembangkan teori baru tentang simbol yang disebut semiologi. Ia membedakan bahasa dan ujaran (langue and parole), dan menunjukkan pengaruh bahasa sebagai sebuah sistem sosial yang menentukan ujaran setiap individu yang berada di bawahnya. Bahasa merupakan struktur yang sudah tersedia dan manusia hanya berpartisipasi di dalamnya, bukan yang menentukannya. 2 Enigma adalah sesuatu yang bersifat misteri dan sulit untuk dipahami, karenanya selalu dapat dijadikan bahan kajian sepanjang masa.
07-livine.indd 157
2/29/2012 8:36:43 PM
158
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
Pertanyaan semacam itu merupakan ungkapan pengalaman yang menyakitkan dan sangat nyata. Seperti halnya kesakitan seorang penderita histeria berlebihan, yang dengan gigih menolak patuh pada pembakuan peran oleh masyarakat bagi perempuan dan laki-laki, kemudian muncul dalam pertanyaan eksistensialnya: ”Apakah aku ini laki-laki atau perempuan?” Atau seorang penderita obsesif yang berteriak: ”Aku ini mati atau hidup?” karena ia sungguh enggan menjalani ketentuan umum seperti yang diharuskan masyarakat dalam berbagai peraturan sosialnya, tetapi ia merasa diharuskan menjalaninya seperti robot. Setiap individu sangat ingin mengetahui apa yang diharapkan oleh ”Yang Lain” terhadap dirinya. Reaksi dan tanggapan subjek yang histeris terhadap kecemasan yang dialaminya, lewat penolakan terhadap apa yang diimajinasikan sebagai yang dikehendaki ”Yang Lain” bagi dirinya, mirip dengan reaksi seorang seniman ternama (avant garde) yang menolak untuk mematuhi aturan baku artistis di zamannya. Subjek yang obsesif, dalam kebudayaan visual sekarang ini, yaitu seniman akademis, bereaksi terhadap keinginan yang diimajinasikan sebagai keinginan ”Yang Lain” lewat bersikukuh dengan pendapat bahwa tatanan yang normal harus dijaga dan dipatuhi dengan pertaruhan nyawanya sekalipun. Psikoanalisis telah membuktikan, lewat metodenya dalam menangani para penderita kecemasan berlebihan dan histeria dengan menuntunnya untuk memahami bahwa mereka dapat menjadi pribadi-pribadi bebas dalam menentukan dirinya sendiri. Sebagaimana para penderita gangguan kejiwaan mampu, meskipun lewat krisis yang menyakitkan ketika diminta untuk menghancurkan imajinasinya, para seniman besar pun mengetahui bahwa mereka telah menjalani proses menyakitkan yang sama untuk menjadi dirinya sendiri yang bebas.
VOL IV, 2011
Dalam kaitannya dengan teori Saussure, Chandler memperlihatkan bahwa Lacan menggunakan prinsip konsep (signified) dan pola suara (signifier) untuk menjelaskan fenomena ketidaksadaran (Chandler, 2002:9). Untuk diterapkan pada fenomena tersebut Lacan membalik teori Saussure dengan menekankan pola suara berada dalam posisi lebih utama daripada konsep.1 Menurut Levine, sekarang ini kita berada dalam era visual (Levine, 2008: xvi). Mata secara visual memindai dan secara mental menguraikan sandi atas berbagai tanda hitam yang disebut aksara (leĴer) yang berderet teratur di atas halaman kosong. Hal yang sama terjadi ketika kita tenggelam dalam pengalaman tiga dimensi yang disebut Lacan sebagai yang terSawang (the Real), yang Simbolis (the Symbolic), dan yang Angancipta (the Imaginary). Bentuk gambaran grafis dari deretan huruf adalah berbagai pola suara (signifiers) yang menggerakkan proses pengenalan secara visual disebut Lacan sebagai Angancipta. Makna dari kata-kata dan kalimat merupakan gambaran mental, atau berbagai konsep (signifieds) yang mengambil bagian dalam keterjalinan berbagai makna yang berbeda ke dalam pemahaman secara verbal yang disebutnya sebagai yang Simbolis. Sementara bidang kosong di antara deretan huruf berada dalam posisi lawan atas posisi bentuk-bentuk huruf yang visual dan berbagai makna kata yang dibentuknya. Sebagaimana pandangan Marxis mengenai struktur sosial, pemahaman Lacan atas struktur ketidaksadaran memperlihatkan bahwa deretan huruf dan makna kata yang dibentuknya secara verbal sangat rapuh dan bergantung pada bidang kosong. Padahal, bidang kosong tersebut tak dapat sepenuhnya tervisualkan ataupun terverbalkan. Kekosongan pada halaman dianalogikan seperti tubuh dan dunia yang mendahului pemetaan dan penandaan bahasa. Kekosongan harus ada demi adanya deretan huruf dan pe-
1 Penempatan pola suara (signifier) di atas konsep (signified) sekaligus merupakan strateginya untuk membalik pandangan Marxist yang ortodoks yang sering kali menggambarkan kekuatan struktur yang dominan, yaitu struktur [tekno-ekonomis] basis berada secara logis di bawah struktur atas [yang ideologis] (Chandler, 2002:28). Dengan demikian, Lacan menempatkan ketaksadaran di atas kesadaran.
07-livine.indd 158
2/29/2012 8:36:43 PM
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
MARGARETHA MARGAWATI B. SOETRISNO-VAN EYMEREN
maknaan verbalnya, sekaligus tak terlihat dan tak terbahasakan. Kekosongan semacam itu diindekskan secara enigmatis oleh Lacan sebagai yang terSawang. Kadang-kadang, manusia mengalami saatsaat di mana yang terSawang menginterupsi dan menerobos masuk ke kesadaran dan mengobrak-abrik tatanan stabil dari struktur yang Simbolis dan Angancipta yang telah diakrabi oleh manusia. Pengalaman seperti itu membuat manusia cemas karena sadar betapa rapuhnya konfigurasi kebudayaan tempat kita berjuang untuk hidup. Yang terSawang bersifat tidak manusiawi (inhuman) dan tak terpahami, dan merupakan pengalaman primordial yang berada jauh di bawah kesadaran. Ibarat halaman kosong yang harus ada demi adanya huruf-huruf yang membentuk makna, yang primordial dan berada di bawah kesadaran itulah yang memungkinkan adanya kesadaran. Padahal, yang terSawang itu tak terpahami dan bisu, atau pengalaman primordial tersebut, sekarang ini, merupakan dunia yang hilang di bawah tatapan gambaran visual dengan kompensasi kebudayaan. Pengalaman dalam dunia berkebudayaan yang penuh tatanan dan terpahami disertai pengalaman yang sangat menyakitkan dan mencemaskan bagi manusia karena kehilangan akses langsung ke dalam setiap pengalaman instingtif tentang kepenuhan berada di dunia. Dalam bingkai pokok-pokok pemikiran Lacan di atas, Levine mengajak kita untuk memahami kode da Vinci yang enigmatis. Lacan melanjutkan Freud dalam menafsirkan senyum Mona Lisa lewat psikoanalisis yang membuka dunia bawah sadar ke alam sadar dan realitas sosial. Singkatnya, Lacan membantu kita memahami bagaimana manusia mengalami tahaptahap perkembangan kesadaran lewat relasinya dengan sesama dan mengalami krisis di setiap peralihan tahapnya. Lebih lagi, ia membantu kita memahami fungsi krisis dalam pentahapan perkembangan kesadaran bagi kreativitas. Berikut ini paparannya.
07-livine.indd 159
159
3. Perkembangan Tahap-Tahap Kesadaran dalam Berkreativitas Hampir lima puluh tahun sesudah Freud menerbitkan karya-karyanya mengenai psikoanalisis terhadap da Vinci, Lacan melanjutkan penafsiran senyum para perempuan dalam lukisan-lukisan da Vinci (Levine, 2008: 7-8). Berbeda dengan Freud, pertanyaan yang diajukan seharusnya: ”Apa yang diinginkan Ibu?” Dalam gambaran imajinernya sebagai anak, Leonardo melukiskan ibu yang mengalami kehilangan objek, yaitu phalus keibuan (maternal phallus). Ada pendapat bahwa phalus keibuan adalah simbol dari penis yang tidak dimilikinya. Ada juga yang berpendapat bahwa simbol tersebut mewakili status sosial kaum perempuan yang secara tradisional berada di bawah kaum lelaki dalam masyarakat patriarkalis. Akan tetapi, bagi Lacan, sebagai simbol objek yang hilang, phalus keibuan dapat berarti apa pun yang berada di luar kondisinya sebagai ibu dan yang sangat diidamkannya dari lubuk hatinya yang paling dalam. Yang penting adalah, seorang anak mendapatkan gambaran dirinya lewat cermin, yaitu lewat sosok ibunya. Tahap tersebut oleh Lacan dinamakan sebagai tahap Angancipta. Freud pernah melakukan psikoanalisis terhadap seorang anak berusia lima tahun yang dikenal sebagai Hans kecil. Hans kecil memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap kuda, dan lewat psikoanalisis, Freud menetapkan Hans kecil memiliki imajinasi yang sukar dipatahkan bahwa semua orang, termasuk ibunya dan kakak perempuannya memiliki penis. Hanya saja, menurut Hans kecil, penis ibu dan kakak perempuannya belum tumbuh, atau mungkin karena dipotong akibat kecelakaan atau hukuman. Fobia terhadap kuda yang dialami Hans kecil merupakan pengalihan atas ketakutannya mengalami kastrasi. Terhadap kasus Hans kecil, Lacan meyakini bahwa apa yang dialami Hans kecil merupakan negasi Simbolis terhadap pengalaman visual Angancipta (Levine, 2008:11). Hal tersebut merupakan sebuah krisis tahapan dari Angancipta
2/29/2012 8:36:43 PM
160
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
ke tahap perkembangan kepribadian manusia selanjutnya, yaitu tahap Simbolis. Pada intinya, Hans kecil sedang mengalami gegar kepribadian, yaitu ia mulai tidak percaya terhadap apa yang dilihat lewat penglihatan inderawi, dan mulai meyakini apa yang dikatakan gagasan sesuai dengan penglihatan mata batin terhadap keinginan terdalamnya. Kecemasan yang dialami Hans kecil dalam tahap peralihan merupakan kecemasan setiap manusia dalam tahap peralihan dari tahap Angancipta ke tahap Simbolis. Penafsiran Lacan terhadap karya Leonardo da Vinci berjudul The Virgin and Child with Saint Anne and Saint John the Baptist (1499-1500) menjelaskan juga hal yang sama. Bukti adanya perubahan tahap dari relasi Angancipta bersama ibu ke relasi Simbolis bersama bapak terlihat dalam karya tersebut. Para perempuan harus rela melepas anaknya untuk menghadapi panggilannya sebagai anak manusia. Demikian juga analisis Lacan terhadap berbagai karya da Vinci dan lambang-lambangnya, seperti jari yang menunjuk ke suatu tempat tanpa objek merupakan pertanyaan enigmatis: ”Apakah saya melihatnya atau saya tidak melihatnya?” (Levine, 2008: 27). Anak manusia harus meninggalkan apa yang dilihat secara visual dalam tahap Angancipta dan menggunakan mata batinnya untuk ”melihat” yang tak terlihat dalam tahap Simbolis. Gambar 4 Lukisan The Virgin and Child with Saint Anne and Saint John the Baptist (1499-1500)
Sumber: my-art-prints.co.uk
07-livine.indd 160
VOL IV, 2011
Tahap Simbolis diawali dengan masuknya bahasa ke dalam kesadaran. Freud menganggap bahwa alam bawah sadar adalah situasi kegelapan yang tersembunyi, seperti naluri kebinatangan yang disupresi lewat pembudayaan, dan ”kebocoran” alam bawah sadar membuat manusia cemas. Sementara menurut Lacan, pembudayaan adalah masuknya struktur bahasa yang tak terelakkan. Sebenarnya, manusia mengalami semacam ”pencerahan batin” karena bahasa memungkinkan perkembangan inteligensi. Akan tetapi, sekaligus ia menyadari bahwa bahasa merupakan simbol dari segala peraturan sosial masyarakat yang diwakili oleh phalus kebapakan, dan ia tak berdaya di bawah struktur bahasa. Selain itu, ia mulai mengalami sesuatu yang hilang dari dirinya dan objek yang hilang tersebut berada di luar jangkauannya. Segala pengalaman instingtif ketika ia masih merasa berada dalam kesatuan dengan ibunya dan anggapan diri sebagai cermin ibunya harus hilang demi pembudayaan dan berkembangnya kesadaran ke tahap Simbolis. Lacan menunjukkan kesamaan, sekaligus perbedaan, antara teorinya dan teori Freud tentang struktur kesadaran. Struktur tersebut terdiri dari tiga unsur, yaitu apa yang disebut Ego oleh Freud adalah Angancipta menurut Lacan, Superego bagi Freud adalah yang Simbolis menurut Lacan, dan naluri-naluri dasar primordial yang disebut Id oleh Freud disebut terSawang oleh Lacan. Perbedaannya, naluri-naluri dasar primordial dipandang sebagai hal yang negatif oleh Freud dan harus ditundukkan demi humanisasi, sedangkan Lacan menganggapnya positif ibarat halaman kosong yang perlu bagi deretan huruf dan makna verbalnya meskipun tak terpahami karenanya dapat membuat cemas. a. Keinginan Ilutif dan Imajinatif Menurut Lacan, terdapat prinsip dalam kreasi yang bersifat artistik, yaitu dunia yang kita lihat di dalam karya seni adalah dunia yang kita idamkan (Levine, 2008: 31). Kita ingin agar karya seni meneguhkan harapan kita untuk merasa dipersatukan dalam keberadaan kita. Kita ingin agar
2/29/2012 8:36:43 PM
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
MARGARETHA MARGAWATI B. SOETRISNO-VAN EYMEREN
ketika karya seni tampil, karya tersebut membuat kita menjadi pengamat yang ideal. Akan tetapi, semua itu merupakan ilusi Angancipta belaka. Tatapan mata dalam lukisan tertuju pada tempat ”Yang Lain” ke tempat kosong yang Simbolis di mana kita melihat diri kita direngkuh oleh tatapan tersebut sekaligus mata dan diri kita sebagai Aku (I) diabaikan. Tempat kosong adalah tempat dari yang tak bernama dari dunia lain (the Thing) yang pernah dialami manusia sebelum kesadarannya muncul. Tempat kosong selalu diidamkan manusia untuk dapat kembali ke sana sekaligus ia tahu bahwa ia tak mungkin kembali ke sana. Karya seni merupakan sublimasi, atau pengalihan rasa sakit akibat merindukan pengalaman tersebut dan orang mendapat penikmatan dalam membuat serta menikmati karya seni. Lewat tindakan sublimasi, terjadi peneguhan kembali lewat fantasi terhadap karya seni, atau semacam transformasi objek dari penampilan keseharian menjadi sebuah manifestasi yang tak bernama dari dunia lain (the Thing) yang luar biasa. Lacan menunjukkan banyak sekali contoh karya seni yang memperlihatkan tindakan sublimasi. Salah satunya adalah lukisan karya Paul Cézanne berjudul Apples (1878). Gambar 5 Lukisan Apples oleh Paul Cezanne (1877-1878)
Sumber: oceansbridge.com
161
bagai sesuatu yang baru dan menggantikan yang lama yang sudah sangat rutin menghadirkan objek pengalaman kekosongan (the Thing) sehingga yang lama kehilangan ”greget” penikmatan dari tindakan sublimasi artistik. Lewat Apples, Cézanne berpetualang memindahkan benda biasa yang kasatmata, yang Angancipta, ke tahap Simbolis yang luar biasa, yaitu yang tak bernama dari dunia lain yang tidak kasatmata (invisible Thing). Keberanian Cézanne untuk meninggalkan keinginan ilutif yang tidak lagi kreatif karena tidak lagi menghadirkan misteri lewat tindakan sublimasi artistik, merupakan pemenuhan keinginan imajinatif yang kreatif. Hal tersebut merupakan prinsip kreatif artistik, yaitu bagi seorang seniman, ketika berhadapan dengan keinginan yang tak pernah terpuaskan dari ”Yang Lain”, dan demi mendapatkan atau menjadi bagian dari objek yang hilang, dia akan menghadirkan fantasi. Fantasi diperlukan agar diri tidak tersedot ke dalam daya kekuatan yang mematikan dari aturan baku artistik ”Yang Lain” sehingga lewat fantasi, ketika orang melakukan tindakan sublimasi artistik secara berbeda, dia menurunkan sedapat-dapatnya ’kondisi’ sesuatu yang tak bernama dari dunia lain yang tak teraih dan tak tervisualkan serta tak terverbalkan ke ”kondisi” sesuatu yang memateri. Tepatnya, ia berani ”merasuk” ke yang terSawang dalam cakrawala kreatif tak terbatas dan menghadirkannya, meskipun tak sempurna, dalam cakrawala kreatif terbatas, dan menyandingkannya bersama yang Simbolis dan Angancipta. Objek yang hilang disublimasikan ke dalam sesuatu yang terlihat sekaligus tak terlihat karena hanya lewat mata batin sajalah penikmatannya terpenuhi.
Karya Cézanne merupakan manifestasi b. Objek Yang Hilang dan Terpisahnya Mata sebuah hubungan dari sesuatu yang secaInderawi (the Eye) dari Mata Batin (the ra objektif diyakini sebagai yang memiliki Gaze) nilai tak terperikan dengan tatanan yang Di atas sudah dijelaskan sedikit mengenai objek Simbolis dari pola suara. Karyanya lahir se- yang hilang dan hanya dapat dihadirkan secara
07-livine.indd 161
2/29/2012 8:36:43 PM
162
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
tidak lengkap lewat bahasa artistik yang tersedia. Selain itu, dalam berbagai seminar yang dilakukan Lacan mengenai psikoanalisis karya seni, didiskusikan apa yang disebut transferensi (transference). Transferensi, menurut Lacan, mencerminkan keinginan terdalam dari seorang penderita gangguan jiwa, yang meskipun tidak tepat, untuk dibantu oleh psikoanalis yang berbekal pengetahuan untuk meringankan penderitaannya. Ia ingin melampiaskan perasaanperasaan terdalamnya kepada terapis padahal seharusnya ditujukan kepada orang lain. Terapis memberikan kesempatan bagi pasien untuk melepaskan berbagai pola suara yang selama ini direpresinya dan membebaskan berbagai fantasinya. Dalam relasi penandaan yang bersifat trihubung (triadic), terdapat hubungan antara yang Simbolis yang bersifat impersonal, Angancipta yang merupakan rekan dalam tahap cermin, dan yang terSawang sebagai ”yang Lain” yang bersifat mutlak sekaligus tak terbahasakan. Sang psikoanalis harus menempatkan diri di hadapan penderita sebagai yang terSawang karena ”Yang Lain yang terSawang” sama di hadapan setiap orang. Demikian pula yang dilakukan seorang seniman. Ia akan menempatkan posisinya sebagaimana seorang psikoanalis menempatkan diri. Ia mencoba memahami yangTersawang yang berada dalam cakrawala kreatif tak terbatas yang tersedia dalam relasi trihubung antara dirinya, sesamanya, dan realitas terbatas. Dia sadar bahwa dalam relasi trihubung tersebut selalu ada objek yang hilang yang hanya dapat menghasilkan penikmatan ketika dia melakukan kastrasi Angancipta dan Simbolis. Kastrasi Angancipta dan Simbolis terwujud dalam ketidaksempurnaan dalam karya seninya yang berfungsi sebagai substitusi kata-kata yang tersedia dalam tindakan kreatif proses penandaan. Fungsi kastrasi baik yang Angancipta maupun yang Simbolis adalah mengatasi kecemasan yang abadi. Kecemasan mulai muncul pada setiap peralihan tahap perkembangan kepribadian. Pada tahap Angancipta, seorang anak akan mengalami pertentangan antara dirinya sebagai
07-livine.indd 162
VOL IV, 2011
Aku pengganti (alter Ego) dan gambaran tentang Aku ideal (ideal Ego) ibunya. Pada tahap ini ia masih mengalami diri berada dalam kesatuan dengan tubuh ibu, dan bercermin pada gambaran ideal Aku sang ibu. Ia harus keluar dari kesatuan intim dengan tubuh ibunya dan pelanpelan bercermin pada yang lain, yaitu Aku ideal sang Ibu. Ia melihat langsung gambaran dirinya lewat ibunya. Pada saat-saat itu, ia merasa cemas karena kehilangan sebagian dari dirinya dan mulai bertanya: ”Apa yang ibu inginkan?” Setelah masuknya bahasa ke kesadaran, ia mengalami kecemasan karena ia harus memisahkan diri sama sekali dari keintimannya dengan ibu untuk mengindentifikasikan diri dengan Ego ideal paternalistik yang bersifat publik (bdk. Kearney & Rainwater, Eds., 1996: 331-335). Kastrasi Simbolis adalah pemisahan antara apa yang kita lihat langsung (the eye) dan apa yang secara tidak langsung kita ujarkan lewat segala pembakuan pola suara yang terdapat dalam bahasa. Kecemasan dalam kastrasi Simbolis bukan hanya merupakan rasa cemas karena keterpisahan, melainkan sekaligus rasa cemas karena seluruh pengalaman yang mendukung keberadaannya tak lagi terpahami dan terbahasakan. Pengalaman tersebut tak pernah teraih lagi, dan menjadi objek yang hilang yang berada dalam dunia yang terSawang. Sementara dalam kesekarangannya, ia merasa berada di bawah tatapan mata batin yang tak kasatmata (the gaze) yang mengundangnya untuk bertanya: ”Apa yang kau inginkan dari diriku?” Pada saat itu, seperti yang diujarkan Hamlet, tokoh dalam karya Shakespeare (1600), orang mulai harus memutuskan: ”To be or not to be.” Karya seni yang mampu mewujudkan kastrasi, baik Angancipta maupun Simbolis akan menghasilkan penikmatan. Hal yang sama terjadi oleh pasien yang mendapat penikmatan ketika sang psikoanalis membiarkan dirinya dijadikan pelampiasan lewat kata-kata bagi semua rasa perasaan serta fantasi terdalam si pasien yang selama ini direpresi. Menurut Lacan, ketika berada dalam cermin, manusia mengalami keberlangsungan ruang dan waktu, dan ketika bahasa masuk, yang dialami adalah ketidak-
2/29/2012 8:36:43 PM
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
MARGARETHA MARGAWATI B. SOETRISNO-VAN EYMEREN
berlangsungan ruang dan waktu (Levine, 2008: 69). Selalu ada jeda antara kata satu dan yang lain, bahkan selalu ada ruang kosong antara huruf satu dan yang lain, selalu terdapat interval antara, misalnya, sentuhan kuas berisi cat satu dan lainnya. Dalam tahap Simbolis, dunia yang dialami sebagai yang berkesinambungan, dipatahkan dengan peraturan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan dunia dialami sebagai yang tidakberkesinambungan. Pengalaman yang mendistorsi disebut sebagai anamorfosis. Dalam pengalaman yang merobek-robek kedirian tersebut, orang mendapati dirinya berada dalam konflik berkelanjutan antara dorongan untuk mati dan hidup. Sebagai manusia yang merasa diri sebagai makhluk yang tidak utuh, ia mengimbanginya dengan pemahaman bahwa saya makhluk yang mengidamkan (desire). Keinginan untuk mendapatkan kembali keutuhan dirinya, sekaligus karena adanya objek yang hilang, tak akan pernah terpuaskan. Lewat karya seni, tepatnya dalam proses pencarian apa yang hilang tersebut manusia mendapatkan penikmatan sesaat, baik bagi seniman yang berkarya maupun bagi pengamat karyanya. Pemuasan sesaat bukan pencapaian yang selesai dalam sebuah karya, dan bukan pula menjadi tujuan akhir, keinginan tersebut terpuaskan dalam proses tanpa akhir pemenuhan diri (Levine, 2008: 74). Karya Marcel Duchamp dalam serial seni produksi barang jadi berjudul Bicycle Wheel (1913), dan karya Fransisco de Goya berjudul The Maja and the Masked Men (1777) mewakili lingkaran pemuasan kebutuhan keinginan terdalam yang tak pernah terpuaskan. Claude Cahun, seorang fotografer dengan orientasi surealis dan karya-karyanya bertemakan topeng mengatakan: ”di bawah sebuah topeng, terdapat topeng lain. Saya tak pernah selesai mengangkat semua wajah bertopeng tersebut.” (Levine, 2008: 75). Topeng yang dimaksud adalah upaya manusia yang tak pernah selesai untuk menghindar dari tatapan mata batin yang menelanjangi jati dirinya. Topeng, sebagaimana lukisan, bagi Lacan adalah sebuah upaya untuk ”menjebak” sesaat tatapan lapar mata batin ”Yang Lain” di tengah kungkungan kekosongan.
07-livine.indd 163
163
Gambar 6 Kiri: Bicycle Wheel karya Marcel Duchamp (1913) Kanan: The Maja and the Masked Men karya Francisco de Goya (1777)
Sumber: shafe.co.uk
Sumber: artclon.com
c. Apakah Manusia dan Karyanya Manusia dapat mencoba menantang takdirnya sebagai pribadi terbelah yang berada dalam tatapan mata batin yang tak pernah puas dan selalu mengidamkan objek yang hilang. Lacan menunjuk contoh lukisan Diego Velázquez berjudul Las Meninas (1656). Pada lukisan tersebut, pelukis menempatkan dirinya di antara tokohtokoh yang terdapat dalam karyanya sendiri. Akan tetapi, Lacan menegaskan bahwa manusia sebagai subjek tak akan pernah mampu mengontrol situasi yang dialaminya (Levine, 2008: 94). Gambar Putri Margarita, tokoh dalam lukisan tersebut dapat ditafsirkan sedang menantang balik takdirnya sebagai putri yang harus meneruskan takhta kerajaan dengan [seakan] berkata: ”Tunjukan pada diriku!” Hal yang sama akan
2/29/2012 8:36:43 PM
164
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
dilontarkan oleh pasien terhadap psikoanalis. Psikoanalis, sama seperti Velázquez, hanya akan menjawab (Levine, 2008: 100): ”Engkau tidak melihat diriku dari tempat saya melihat dirimu. Engkau melihat diriku dengan mata Angancipta yang penuh harap untuk mendapat jawaban, sementara saya melihatmu dengan tatapan mata batin Simbolis yang nonilutif di tengah terperangkapnya pola-pola suara yang menyuarakan keinginanmu. Apa pun yang mungkin yang dapat saya perlihatkan kepadamu adalah sesuatu yang palsu yang tidak ingin kau lihat.” Intinya, setiap orang harus mencari sendiri jawabannya dan seniman, seperti halnya psikoanalis, hanya membantunya menemukan sendiri apa yang hilang. Tugas tersebut tak akan pernah selesai. Gambar 7 Lukisan Las Meninas karya Diego Velázquez (1656)
VOL IV, 2011
membuat lukisan panorama di luar jendela yang bertirai, dan menempatkan kanvas di ambang jendela. Di kanvas tersebut terlukis potongan panorama di luar jendela, dan garis batas antara pepohonan dan langit dalam lukisan tersebut seakan menyatu dengan garis batas panorama ”sesungguhnya” di luar jendela. Singkatnya, terdapat lukisan sepotong panorama dalam kanvas di atas kanvas yang melukiskan panorama di luar jendela. Bagaimanapun, upaya pelukis tidak berhasil dalam membuat kesatuan−antara gambar pemandangan di kanvas yang berada di ambang jendela pada lukisan sesungguhnya dan gambar pemandangan luar jendela dalam lukisan tersebutnya. Kontinuitas hanya seakanakan terjadi, ketika dipandang lewat mata batin, tetapi tetap terpisah ketika ditatap lewat penglihatan inderawi. Terdapat jarak (gap) yang tak dapat direduksikan antara mata inderawi dan mata batin, antara representasi Angancipta atas pemandangan lewat jendela dan representatif yang Simbolis atas permukaan kanvas yang dilukis. Jarak tersebut membuat kepedihan, dan dalam kondisi kemanusiaan, hal itu merupakan tempat yang hilang dari objek diriku semasa aku belum sadar. Gambar 8 Karya René Margritte berjudul The Human Condition (1933) Sumber: friendsofart.net
Sumber: ibiblio.org
Pencarian objek yang hilang, dan upaya seniman dalam mencoba memerangkap sesaat objek hilang tersebut agar manusia dapat sejenak berhenti dan mendapatkan penikmatan yang dipaparkan lewat Las Meninas, merupakan pencarian yang disebut keintiman (intimate). Keintiman adalah suatu kebersatuan yang lebih banyak dialami di ruang batin manusia. Lacan memperkenalkan juga situasi keterpisahan yang bersifat ”extimate”, yaitu yang berada di dimensi luar kesadaran. Karya René Margri e berjudul The Human Condition (1933) digunakan untuk menjelaskan pengalaman tersebut. Margri e
07-livine.indd 164
Manusia sebagai subjek yang tak pernah lengkap justru sangat kreatif berkarya dalam rangka memahami jati dirinya dan memenuhi kebutuhan terdalamnya untuk merasa sebagai
2/29/2012 8:36:44 PM
Psikoanalisis Lacan dalam Pembacaan Levine
MARGARETHA MARGAWATI B. SOETRISNO-VAN EYMEREN
pribadi yang terintegrasi. Karya seni dapat sejenak memenuhi keinginan terdalam tersebut.
Penutup Lacan menunjukkan bahwa wajah seni, yang bersifat enigmatis dalam memahami diri dan realitas, selalu merupakan misteri dan tak pernah habis direfleksikan. Pemetaan mengenai penyebab penderitaan yang tersembunyi, dan yang selalu dihindari oleh pasien harus dikuasai oleh psikoanalis, demikian juga oleh seniman. Dengan demikian, jeritan eksistensial: ”Tunjukkan pada diriku” dalam pencarian objek yang hilang, baik di dalam dimensi kesadaran batin maupun di luarnya, dapat sedikit diredakan lewat karya seni. Pencerahan dan pembebasan atas penderitaan dimungkinkan lewat penikmatan karya seni−baik oleh seniman dan pengamat−meskipun tak pernah terlaksana secara tuntas. Psikoanalisis Lacan, sebagaimana Freud, menempatkan manusia sebagai subjek yang seluruh kediriannya tersubjekkan oleh struktur sosial sehingga ia mengalami diri sebagai objek sekaligus. Karena objek tak pernah lengkap dipahami seluruhnya, ia mengalami diri yang selalu kehilangan sesuatu yang diidamkan yang dikira dapat melengkapinya. Dalam hal ini, sublimasi merupakan upaya kreatif pemaknaan diri lewat ruang sosial di dimensi kesadaran lahir. Hanya saja, identitas diri tidak ditentukan semata-mata dari ruang sosial kesadaran lahir. Filsafat personalis dapat menunjukkan bahwa manusia dapat mengalami diri sebagai individu sekaligus subjek dan memiliki dua dimensi kesadaran, yaitu lahir dan batin. Serta dari pertemuannya dengan yang lain, seorang Aku dapat
07-livine.indd 165
165
mengalami diri sekaligus sebagai Aku-Engkau. Di ruang subjek, atau ruang sosial, ia mengalami diri yang ditentukan oleh yang lain dan disebut Engkau. Akan tetapi, sebagai individu ia dapat mengundang Aku-Engkau yang lain ke ruang batinnya. Lalu, dalam pertemuan di loronglorong rahasia dimensi batinnya, ia mengalami bahwa dirinya adalah individu istimewa yang tak pernah tersubjekkan seluruhnya. Aku yang individu sekaligus subjek, yang memiliki dua ruang kesadaran−lahir dan batin−, dapat mengalami diri sebagai Aku-Engkau yang berkomunikasi dengan Aku-Engkau lainnya melalui karya seni sebagai ”benda itu”, dan mendapati diri sedang berelasi dalam kekitaan. Lewat kekitaan, dan dalam kedalaman dan keintiman pertemuan antar Aku-Engkau, benarkah yang terSawang−yang berada dalam cakrawala kreatif tak terbatas- benar-benar tak teraih? Atau justru Aku yang kusebut Engkau dari dunia yang terSawang−atau dunia Yang Lain−sering menyelinap masuk, hadir dan bersatu dalam kekitaan, di dalam pengalaman keseharian lewat kehadiran yang meneguhkan serta mewujudkan identitas baru dalam kekitaan tersebut?
DaĞar Pustaka Appignanesi, Richard, Oscar Zarate. [1979] 1999. Introducing Freud. Cambridge: Icon Books. Chandler, Daniel. [2002] 2004. Semiotics: The Basics. London: Routledge. Kearney, Richard, Mara Rainwater (Eds.). 1996. The Continental Philosophy Reader. New York: Routledge. Levine, Steven Z. Lacan Reframed: A Guide for the Arts Student. New York: I.B. Tauris.
2/29/2012 8:36:44 PM