Pelanggaran Tatanan Simbolik dalam Film Televisi Normal: Sebuah Kajian Psikoanalisis Lacan
Melissa BERLINA
ABSTRAK Makalah ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran terhadap Tatanan Simbolik dan konflik yang timbul sebagai akibatnya dalam Film Normal. Keinginan tokoh Roy untuk mengubah identitas gendernya melanggar Tatanan Simbolik sehingga menimbulkan sejumlah konflik. Konflik yang muncul antara lain adalah konflik di dalam ruang publik, ruang privat, dan di dalam diri Roy sendiri. Konflik pada ruang publik terbagi menjadi konflik di dalam tempat kerja Roy dan gereja, dan konflik pada ruang privat merupakan konflik di dalam keluarga Roy yang terbagi menjadi konflik di antara Roy dengan istrinya, ayahnya, dan anaknya. Konflik-konflik yang muncul sebagai akibat pelanggaran Tatanan Simbolik yang dilakukan Roy dengan mengganti identitas gendernya inilah yang akan menjadi akan menjadi fokus pada penelitian ini. Teori psikoanalisis Jacques Lacan akan digunakan untuk menganalisis fokus permasalahan tersebut. KATA KUNCI: Tatanan Simbolik, pelanggaran, konflik, identitas gender
Pendahuluan Jurnal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa di dalam film televisi Normal, keinginan Roy untuk mengganti identitas gender merupakan pelanggaran terhadap Tatanan Simbolik dan telah menimbulkan konflik. Ditulis dan disutradarai oleh Jane Anderson, Normal (2003) adalah film televisi yang ditayangkan pada saluran televisi kabel Home Box Office (HBO). Film ini dimulai dengan adegan perayaan ulang tahun pernikahan Roy Applewood dan istrinya, Irma Applewood, yang ke-25. Namun, selama 25 tahun pernikahan mereka, Roy sebenarnya menyimpan rahasia yang tidak diketahui semua orang, dan kemudian, memutuskan untuk mengungkapkan rahasia tersebut terhadap Irma di hadapan seorang pastur ketika mereka sedang melakukan konseling tentang pernikahan mereka dengan mengatakan, “I was born in a wrong body,” (Normal, 2003, 00:08:01). Ia kemudian juga mengungkapkan keinginannya untuk melakukan operasi untuk mengganti alat kelamin. Film ini kemudian berlanjut kepada kisah perjuangan Roy untuk mengganti identitas gendernya.
1 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Di dalam film ini, Roy berhadapan dengan Tatanan Simbolik (The Symbolic Order). Tatanan Simbolik adalah kekuatan yang mengerakkan manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. “The Symbolic Order, society‟s unwritten constitution, is the second nature of every speaking being; It is here, directing and controlling my acts; it is the sea I swim in, yet it remains ultimately impenetrable – I can never put it in front of me and grasp it” (Zizek, 2006: 8).
Kutipan ini menegaskan bahwa Tatanan Simbolik merupakan suatu konstitusi dalam masyarakat yang tidak tertulis namun sulit dipenetrasi dan mengarahkan serta mengontrol setiap tindakan manusia. Tatanan Simbolik adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia pada dunia Simbolik. Tiap manusia yang sudah masuk ke dunia Simbolik (The Symbolic) harus mengikuti Tatanan Simbolik. Salah satu aturan yang terdapat pada Tatanan Simbolik adalah menerima gender biologis yang kita peroleh sejak lahir dan berperilaku sesuai dengan gender tersebut. Dalam film Normal, Roy ingin mengganti identitas gendernya. Ia melakukan sejumlah usaha untuk melakukan transformasi gender tersebut. Pertama, ia mulai minum obat-obatan untuk menumbuhkan hormon perempuannya dan menghentikan hormon laki-lakinya. Alhasil, tubuhnya mulai mengalami beberapa perubahan seperti tumbuhnya payudara. Kemudian, ia mulai membeli baju-baju perempuan serta rambut palsu dan perhiasan untuk mulai dikenakannya. Bahkan ia berani untuk melakukan hal-hal yang menandakan transformasi gendernya di ruang publik, seperti mengenakan anting ke tempat kerjanya dan bernyanyi dengan menggunakan suara sopran (suara tinggi perempuan) dalam paduan suara gereja. Roy juga mengganti namanya dengan nama perempuan, yaitu Ruth. Ia lantas memperkenalkan dirinya sebagai Ruth kepada ayahnya dan anak-anaknya. Namun, usaha-usaha untuk mengganti identitas gendernya tersebut tersebut menimbulkan krisis dalam bentuk konflik yang terjadi baik di ruang privat, yakni dalam keluarganya, maupun publik, yakni dalam masyarakat. Konflik mengenai identitas Roy pertama muncul semenjak ia kecil. Ayahnya mengharapkan Roy, satu-satunya anak laki-laki yang dimilikinya, agar menjadi laki-laki yang maskulin. Ayah Roy berkata, “I had to go through all these girls to get you... and you turn out to be a hopeless case, moping around like a sissy.” (Normal, 2003, 00:47:10).
2 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Konflik-konflik lain juga mulai bermunculan di sekitar Roy ketika ia memutuskan untuk mengubah identitasnya dari laki-laki menjadi perempuan. Ketika pertama kali Roy mengungkapkan keinginannya untuk mengubah gendernya, Irma, istrinya, marah dan langsung mengajukan cerai. Walaupun pada akhirnya Irma mencabut gugatan cerainya, banyak konflik yang terjadi di antara Roy dan Irma, seperti konflik dalam kehidupan seksual mereka. Irma sempat berhubungan seksual dengan atasan Roy, yakni Frank. Hubungan ini dilakukan atas izin Roy, namun tetap saja peristiwa ini membebani pikiran Roy maupun Irma. Selain itu, konflik juga terjadi dalam hubungan Roy dengan anak sulungnya, Wayne. Wayne tidak menerima keputusan ayahnya untuk mengganti gendernya, dan konflik ini berujung pada perkelahian Roy dan Wayne. Selain konflik-konflik yang terjadi di ruang privat tersebut, terdapat juga konflik-konflik yang berlangsung di ruang publik. Usaha pendobrakan Roy terhadap Tatanan Simbolik menimbulkan gejolak di tempat kerjanya (sebuah pabrik alat berat) dan gereja. Tempat kerja Roy, yaitu sebuah pabrik yang didominasi oleh pekerja laki-laki dan gereja tempat Roy biasa beribadah menolak keberadaan Roy karena dianggap “melenceng” dari Tatanan Simbolik. Hal ini ditunjukkan oleh kekerasan yang dialami Roy di tempat kerjanya ketika suatu hari ia memakai anting-anting. Temannya menarik paksa anting tersebut dari telinga Roy. Selain itu, pastur yang biasa memberikan konseling kepada Roy dan Irma mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap Roy dengan berkata kepada Irma, “As your pastor and as your friend, I give you permission to separate your life from his without any guilt or regret. I give you permission to walk away.” (Normal, 2003, 01:22:43). Konflik juga berlangsung di dalam diri Roy sendiri. Konflik batin yang dialami Roy ini terkait dengan posisi dirinya di dalam Tatanan Simbolik yang ambivalen. Di satu sisi ia menolak peraturan di dalam Tatanan Simbolik, namun di sisi lain ia ingin mempertahankan posisinya dalam Tatanan Simbolik. Konflik-konflik yang diakibatkan oleh keinginan Roy untuk mengubah identitas gendernya inilah yang akan menjadi permulaan dari penelitian ini. Pada Normal, diperlihatkan bagaimana seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Tatanan Simbolik. Lalu apakah yang terjadi dengan orang yang melanggar hukum tersebut? Seberapa tegaskah Tatanan Simbolik tersebut? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, konsep Lacan mengenai Tatanan Simbolik akan sesuai. Selain pertanyaan-pertanyaan di atas, teori Lacan juga akan berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan utama yang muncul 3 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
pada penelitian ini, seperti bagaimana perilaku Roy yang dianggap melanggar Tatanan Simbolik? Kemudian, bagaimana konflik mulai bermunculan di ruang privat maupun publik di sekitar Roy? Bagaimanakah konflik-konflik yang ada tersebut membantu pemahaman akan Tatanan Simbolik yang berlaku? Apakah konflik-konflik tersebut menunjukkan bahwa pendobrakan Roy terhadap Tatanan Simbolik gagal? Ataukah berhasil melihat Roy yang pada akhirnya tetap akan melakukan transformasi gender? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan berusaha dijawab dalam penelitian ini.Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam kajian sastra dengan pendekatan psikoanalisa, khususnya konsep Jacques Lacan tentang pelanggaran Tatanan Simbolik dan konflik yang muncul sebagai akibatnya. Sebelumnya, telah ada beberapa penulis yang melakukan penelitian dengan menggunakan konsep Lacan. Banyak yang menggunakan Lacan untuk meneliti kasus neurosis maupun psikosis, salah satunya Ade Linna yang meneliti tokoh Nina Slayer sebagai kasus psikosis dalam film Black Swan (2012). Namun, penelitian tentang kasus transgender dalam karya fiksi menggunakan teori Lacan tanpa melihatnya sebagai sebuah kasus neurosis, namun sebuah kemungkinan untuk mengkaji kasus transgender dengan teori yang amat struktural. Makalah ini akan menunjukkan kemungkinan penggunaan teori Lacan untuk mengangkat kasus transgender tanpa membahas masalah neurosis.
Tatanan Simbolik Lacan Untuk meneliti pelanggaran Tatanan Simbolik yang dilakukan serta konflik yang muncul, akan digunakan teori psikoanalisis Jacques Lacan mengenai tahapan pembentukan manusia menjadi subjek, khususnya tahapan Simbolik. Menurut Jaques Lacan, ada tiga tahap yang membentuk manusia menjadi subjek; tahap-tahap tersebut adalah Nyata (Real), Imajiner (Imaginary), dan Simbolik (Symbolic) (Mellard, 1991: 15). Tahap yang pertama adalah tahap Nyata atau Real. Tahap ini terjadi ketika manusia baru dilahirkan (neonatal). Lacan menyebut tahap ini sebagai sesuatu yang sulit dipahami. Ia mengatakan dalam Evans, "Yang Nyata tidak mungkin dapat dibayangkan, tidak mungkin dapat disatukan dalam Tatanan Simbolik dan tidak mungkin dapat diraih dengan cara apapun" (1996: 160). Setelah Tahap Nyata, subjek mengalami tahap Imajiner. Tahap Imajiner dimulai sejak manusia masih bayi dan belum mengenal bahasa (praverbal). Pada tahap Imajiner, manusia mengandalkan imajinasinya sendiri tanpa ada campur tangan dari dunia luar. “Formasi ego yang memungkinkan anak membedakan bentuknya sendiri dengan orang lain belum terbentuk.” 4 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
(Sarup, 2003: 36). Pembentukan subjek pada tahap ini terjadi melalui fase cermin (mirror phase), ketika seorang bayi melihat bayangannya sendiri di cermin dan menemukan keutuhan pada bayangan tersebut atau yang ia persepsikan dengan “the other”. Subjek atau bayi tersebut melihat dirinya sendiri sebagai sebuah subjek yang menyatu pada bayangan the other (Mellard, 1991: 21). Objek imajiner (the other) hadir berulang-ulang tanpa terdefinisikan karena subjek tidak dapat membedakan dirinya dari objek tersebut. Sarup mengatakan bahwa Imajiner adalah istilah yang digunakan Lacan untuk menyebut struktur pengalaman subjek yang didominasi identifikasi dan dualitas berupa subjek dan the other (2003: 32). Pada tahap ini, terjadi reduplikasi pada cermin tersebut, oposisi antara kesadaran (consciousness) dan the other dalam permainan refleksi (Mellard, 1991: 16). Maka, bagi Lacan, identifikasi melalui bayangan diri subjek yang ada di cermin bersifat menyesatkan karena bayangan atau citra yang ditampilkan oleh cermin merupakan sesuatu yang eksternal, sehingga terjadi alienasi-diri (2003: 33). Pada tahap Imajiner, terjadi identifikasi subjek melalui tahap cermin. Subjek yang melihat bayangannya di dalam cermin merasa bayangan tersebut adalah bagian dari dirinya sehingga ia merasa utuh. Subjek juga merasakan keutuhan lewat sosok sang ibu. Ia ingin menyatu dengan ibu yang juga disebut sebagai the other. Kemudian, timbul hasrat di tahap Imajiner, yaitu hasrat ibu (the other); subjek menghasrati hasrat ibu atau ingin menjadi hasrat ibu. Menurut Lacan dalam Sarup, hasrat adalah apa yang tidak dapat dispesifikkan permintaan (2003: 28). Hasrat bersifat selamanya dan tidak akan pernah terpuaskan karena hasrat melampaui kebutuhan. Walaupun manusia selalu memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk makan, selalu ada kekosongan dalam diri mereka yang tidak akan terpenuhi. Lacan juga berkata dalam Sarup bahwa hasrat yang lebih manusiawi adalah hasrat bukan terhadap suatu benda spesifik melainkan pada hasrat orang lain. Dengan kata lain, kita menghasrati hasrat orang lain atau ingin dihasrati. (Sarup, 2003: 24). Selain itu, pada tahap Imajiner, subjek belum mengenal bahasa, dan perkenalan dengan bahasa pada tahap selanjutnya akan memisahkan subjek dengan objek-objek yang ia kira menyatu dengannya (2003: 8). Setelah mengalami tahap Imajiner, subjek memasuki tahapan Simbolik. Tahap Simbolik dimulai dengan mulai terlihatnya potensi anak untuk berbicara atau mengenal bahasa. Selain itu, tahap ini juga ditandai oleh perkenalan anak dengan sosok penguasa yang datang sebagai pihak ketiga, yaitu Ayah. Pada tahap Simbolik, Ayah adalah “the significant
5 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
other” bagi sang anak yang datang membawa Hukumnya, yang disebut dengan Law of The Father. Ayah menuntut anak untuk masuk ke dalam ranah Simbolik. While it is true that for Lacan the orders of the Real, the Imaginary and the Symbolic are always inmixed with each other, it is also true that the normative subject must eventually move from dependency on the Imaginary to an acceptance of the function and power of the Symbolic (Mellard, 1991: 28).
Anak diharuskan untuk melakukan perpindahan dari Imajiner ke Simbolik untuk dapat masuk di dunia yang penuh dengan kekuasaan dan fungsi walaupun tahap Imajiner, Simbolik, dan Nyata kerap kali tercampur aduk. Simbolik adalah dunia yang di dalamnya terdapat aturan dan hukum yang harus dipatuhi oleh subjek. Aturan dan hukum tersebut merupakan definisi dari Tatanan Simbolik (The Symbolic Order) yang hadir dalam wujud agama, masyarakat atau institusi lain yang berkuasa di mata subjek. Di rumah, sosok yang mewakili Tatanan Simbolik adalah Ayah. Perkenalan sang anak dengan kekuasaan pertama kali di ranah Simbolik terjadi melalui proses Oedipal, yaitu ketika anak dipisahkan dari the other, yaitu sang ibu oleh sosok Ayah atau yang kemudian menjadi The Other. Pada ranah Simbolik, terdapat Tatanan Simbolik yang mengatur dan mengarahkan tiap individu untuk bergerak, berbicara, mendengar, bahkan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri. Zizek mengatakan bahwa Tatanan Simbolik, merupakan peraturan tak tertulis yang ada di dalam masyarakat (2006: 8). Tatanan ini selalu ada di sekitar kita, mengarahkan dan mengontrol perilaku kita. Manusia seolah-olah adalah boneka kayu yang ucapan dan gerakgeriknya diatur oleh suatu kekuatan yang tidak terlihat maupun bernama. Walaupun kita tidak pernah tahu siapa yang menggerakkan kekuatan ini, kita tidak enggan untuk mengikuti aturanaturan yang berasal dari kekuatan tersebut. The Symbolic, like language, is the order that functions through the mediation of the third terms; it relies on the function of rules, laws, taboos, and beliefs. Its effect is to provide the third point on the graph plotted along x and y axes that confirms or disconfirms the duality of the two points adduced by the Imaginary (Mellard, 1991: 17).
Simbolik adalah suatu tatanan yang berfungsi sebagai pihak ketiga mengandalkan fungsifungsi dari aturan, hukum, hal-hal yang tabu, dan kepercayaan untuk mengukuhkan atau melemahkan dualitas pada struktur Imajiner. Pada struktur Imajiner, sudah terdapat grafik yang terdiri dari dua sumbu x dan y (subjek dan the other), namun, tidak ada pihak ketiga yang 6 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
membenarkan atau menyalahkan dualitas tersebut. Kemudian, pada struktur Simbolik, Tatanan Simbolik hadir untuk menjalankan fungsi tersebut (membenarkan dan menyalahkan). Tatanan simbolik, yang berdasar pada Hukum Ayah (Law of the Father), digunakan sebagai acuan untuk menjalani kehidupan; sebagai ukuran baik-buruknya seorang manusia. Oleh karena itu, Tatanan Simbolik seringkali dipadankan dengan Tuhan, yang mengawasi manusia dari „atas‟ (Zizek, 2006: 9). Manusia tidak pernah sendiri karena selalu ada Tatanan Simbolik. Karena merasa selalu diawasi oleh Tatanan Simbolik, tiap individu senantiasa mengontrol perilaku dan ucapan mereka. Mereka merasa bahwa mereka adalah bagian dari lingkup Tatanan Simbolik ini dan ingin terus menjadi bagian darinya. Untuk itu, mereka harus menjaga perilaku mereka sesuai yang diharuskan oleh Tatanan Simbolik. Pada struktur Simbolik, manusia pertama kali berkenalan dengan bahasa dan Hukum. Manusia dihadapkan dengan fakta bahwa bukan hanya ia dan the other (ibu) yang ada di dunia ini, namun juga pihak ketiga, yaitu The Other yang hadir dalam wujud Ayah. Ayah disini merupakan representasi dari Tatanan Simbolik berupa hukum. Dalam film Normal, tokoh utamanya, Roy, juga menghadapi The Other yang dalam wujud Ayahnya, Roy Senior dan The Bigger Other, yakni masyarakat dan gereja. Oleh karena itu, sangat menarik untuk melihat bagaimana reaksi dari masing-masing institusi tersebut saat Roy mengungkapkan niatnya untuk melakukan sesuatu yang dianggap tabu oleh Tatanan Simbolik, yaitu transformasi gender. Saat manusia telah memasuki tahap Simbolik, manusia tersebut sudah berhasil memenuhi fungsinya sebagai makhluk sosial yang dapat berkomunikasi dengan orang-orang lain dan melebur di dalam masyarakat. Namun, bukan berarti struktur Imajiner terlepas dan hilang begitu saja karena kita sudah berada di dunia Simbolik. “For Normality, one has to achieve the Symbolic, but it is not a place one can move into and therein live happily ever after.” (Mellard, 1991: 170). Untuk menjadi normal, subjek harus masuk ke dunia Simbolik. Namun, struktur Simbolik bukanlah tempat di mana subjek dapat hidup bahagia; sebaliknya, subjek malah harus merasakan kehilangan (lack). Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kastrasi adalah salah satu jalan untuk subjek menjadi “normal” menurut Tatanan Simbolik. Selain itu, subjek tidak dapat serta merta masuk dan hidup dengan tenang di dalam Simbolik hanya dengan merasakan kehilangan atau kastrasi dan mengenal bahasa saja. Ketika sudah masuk ke dunia Simbolik, subjek harus mengikuti Tatanan Simbolik. Jika melanggar Tatanan Simbolik, subjek akan menerima hukuman. Roy adalah contoh orang yang melanggar Tatanan Simbolik dengan 7 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
ingin mengganti identitas gendernya. Pelanggaran yang dilakukan Roy terbukti membuat hidupnya terganggu seiring dengan munculnya konflik di sekitarnya. Teori mengenai Tatanan Simbolik ini akan digunakan untuk meneliti konflik-konflik yang terjadi pada Roy tersebut. Dalam penulisan makalah ini, hal pertama yang akan penulis lakukan ialah menjabarkan perilaku Roy yang menunjukkan penolakan terhadap Tatanan Simbolik. Setelah penjabaran tersebut, penulis akan melakukan analisis menggunakan pendekatan psikoanalisis Lacan terhadap konflik yang ditimbulkan dari penolakan Roy terhadap Tatanan Simbolik tersebut.
Analisis Film Normal menceritakan perjuangan seorang transgender untuk mengubah jenis kelaminnya dan melawan Tatanan Simbolik. Keinginan Roy untuk mengubah identitas gendernya ini kemudian menimbulkan sejumlah konflik pada ruang privat (keluarga) dan ruang publik (tempat kerja dan gereja). Selain konflik antara dirinya dan orang lain atau dunia luar, terdapat juga konflik di dalam diri Roy tentang perubahan dirinya tersebut. Kedua poin tersebut, yaitu konflik di dalam keluarga, gereja, dan tempat kerja Roy, serta konflik di dalam diri Roy sendiri tersebut akan dianalisis pada bab ini.
Konflik di Tempat Kerja Konflik di tempat kerja Roy memuncak saat Roy dengan berani mengenakan sepasang anting ke tempat kerjanya tersebut. Teman-teman kerjanya melihat Roy yang memakai anting dengan heran. Dari kutipan dialog sebelumnya telah ditunjukkan bagaimana para laki-laki di tempat kerja Roy memandang perempuan, yakni seperti tidak berharga dan mudah didapatkan. Mereka marah melihat salah satu teman mereka malah ingin menjadi perempuan, atau dalam perspektif Lacan, melawan Law of the Father. Salah seorang teman Roy merebut paksa kedua anting dari telinga Roy dan membuangnya ke wastafel. Roy pun berusaha untuk melawan perlakuan kasar dari temannya tersebut dan memungut kembali sepasang anting tersebut. Teman Roy tidak terima melihat Roy memungut kembali anting tersebut dari wastafel. Ia pun kembali menyerang Roy dan berusaha untuk merebut anting tersebut dari tangan Roy, namun Roy bersikeras tidak mau melepaskan anting tersebut dari tangannya. Akhirnya, teman Roy mendorong Roy sehingga kepala Roy membentur pintu loker dan berdarah. Berikut ini adalah kutipan percakapan Roy dan temannya ketika sedang berselisih paham. 8 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Roy‟s friend: “Take those goddamn things off.” Roy: “Mind your own goddamn business.” Roy‟s friend: “Give them to me.” Bob: “Hey, what's going on?” Roy‟s friend: “Give me them. Give them to me.” Bob: “Get him off! Let go of him!” Roy‟s friend: “Christ! It's just a shitty pair of earrings.” Roy‟s other friends: “Freak. You were asking for that.” (00:36:32 - 00:37:20)
Konflik dalam bentuk penindasan terhadap Roy terjadi karena Roy berperilaku tidak sesuai dengan Tatanan Simbolik. Tempat kerjanya adalah representasi dari Tatanan Simbolik. Menurut aturan dan norma di dalam masyarakat, laki-laki tidak seharusnya berperilaku seperti perempuan. Di dunia Simbolik, di mana pakem-pakem tertentu tentang laki-laki dan perempuan sudah ditentukan, anting yang Roy kenakan adalah perhiasan yang seharusnya digunakan perempuan, bukan oleh laki-laki. Maka, ketika Roy memakai anting di depan publik yang merupakan representasi dari Tatanan Simbolik, ia secara tidak langsung menyatakan bahwa ia tidak mau mengikuti aturan Tatanan Simbolik. Dengan menggunakan anting hadapan temanteman kerjanya, ia menentang aturan tersebut. Perilaku Roy tersebut juga mengisyaratkan dirinya yang secara terang-terangan melanggar hukum yang ada pada Tatanan Simbolik. Karena telah melanggar hukum Tatanan Simbolik, Roy langsung terkena sanksi dalam bentuk penolakan dari masyarakat. Ketika Roy memasuki tempat kerjanya, ia langsung mendapatkan pandangan mengintimidasi dari rekan-rekan kerjanya. Hal ini juga pernah dialami Roy sebelumnya ketika ia membeli pakaian dan aksesoris perempuan. Si penjual memberikan tatapan yang mengintimidasi yang seolah-olah mempertanyakan kelakuan Roy. Penjual yang merupakan perempuan setengah baya tersebut mengawasi Roy dengan tatapan yang ganjil. Bagi penjual tersebut, pemandangan seorang laki-laki membeli perlengkapan perempuan ini tidak biasa. Pandangan mengintimidasi yang diberikan orang-orang kepada Roy mengisyaratkan pertanyaan, “Ada apa dengannya? Apakah ia tidak normal?” Kata-kata “tidak normal” yang tertuju pada Roy diperlihatkan di film ini sesaat setelah ia membeli pakaian perempuan; katakata tersebut terpampang di mobil Roy. Walaupun tidak ditunjukkan siapa yang menulis katakata tersebut, kata-kata “tidak normal” dimunculkan di film ini untuk menunjukkan bagaimana masyarakat melihat Roy yang membeli pakaian dan aksesoris perempuan. Setiap orang tidak hanya harus masuk ke dunia Simbolik, namun juga harus mematuhi segala hukum dan aturannya yang ada dalam wujud Tatanan Simbolik. Tatanan Simbolik merupakan hukum yang memiliki 9 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
aturan sendiri tentang definisi “normal” dan “tidak normal”. Jika seseorang mengikuti atau mematuhi Tatanan Simbolik, misalnya dengan berperilaku sesuai dengan kodratnya baik sebagai laki-laki atau perempuan, orang tersebut dapat dikatakan “normal”. Namun, jika seseorang melangar aturan dan norma Tatanan Simbolik dengan tidak berperilaku sesuai dengan kodratnya sebagai laki-laki atau perempuan, maka orang tersebut “tidak normal”. Peran Tatanan Simbolik adalah untuk menentukan mana yang “normal dan mana yang “tidak normal”. Berdasarkan Tatanan Simbolik, Roy yang ingin berdandan seperti perempuan sudah melampaui batas kenormalan, maka ia mendapatkan predikat “tidak normal”. Keinginan Roy untuk mengubah identitas gendernya tersebut menantang atau melawan Tatanan Simbolik. Sesaat setelah Roy melakukan hal-hal yang berada diluar batas “kenormalan” yang ditentukan oleh Tatanan Simbolik, ia langsung merasakan hukuman atau sanksi yang muncul lewat perlakuan masyarakat yang mengisyaratkan penolakan terhadap dirinya dan usaha Tatanan Simbolik untuk mengaturnya. Menghadapi sanksi masyarakat, Roy berusaha untuk bergeming. Ketika ia diberikan tatapan negatif sebagai peringatan karena telah melawan aturan dengan mengenakan anting, ia tidak menghiraukannya. Alhasil, kegigihan Roy ini kemudian melibatkannya kepada hukuman yang lebih berat, yakni kekerasan secara fisik yang terima dari rekan kerjanya. Pada akhirnya, Roy tidak diterima di tempat kerjanya tersebut. Walaupun ia masih bekerja di tempat tersebut, ia seperti dikucilkan di tempat kerjanya. Setelah aksi kekerasan fisik oleh temannya, tidak diperlihatkan kembali adegan Roy bersama dengan teman-teman kerjanya. Ia hanya diperlihatkan duduk seorang diri, di sebuah ruangan kecil, dan hanya berinteraksi dengan atasannya, Frank. Frank memindahkan Roy untuk bekerjadi kantor, bukan lagi di pabrik. Hal ini dapat dilihat sebagai hukuman dari masyarakat untuk Roy, yakni berupa pengasingan Ia tidak dapat lagi bekerja berdampingan dengan rekan-rekannya; ia harus dipisahkan dari pekerjapekerja yang lain karena ia berbeda atau “tidak normal”. Maka, simpati dan bantuan Frank tidak dapat dianggap sebagai solusi terhadap konflik di tempat kerja yang diakibatkan oleh perubahan identitas gender Roy karena pada akhirnya Roy diasingkan.
Konflik di Gereja Konflik antara Roy dengan gereja muncul seiring dengan perilaku Roy yang secara terang-terangan menentang aturan gereja. Pada salah satu adegan, diperlihatkan Irma sedang 10 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
tampil bernyanyi dalam paduan suara gereja, sedangkan Roy duduk di bangku jemaat bersama anaknya, Patty Ann. Roy ketika itu sudah berpenampilan perempuan dengan mengenakan pakaian dan atribut perempuan dan ingin memberikan sumbangan pada gereja seperti layaknya jemaat yang lain.Walaupun Roy dan Patty Ann duduk di bangku paling belakang, jemaat yang lain terlihat sesekali menengok ke belakang dan saling berbisik mengenai Roy yang berpakaian perempuan. Pada adegan tersebut juga diperlihatkan bahwa para jemaat sedang memberikan sumbangan berupa uang atau cek untuk gereja. Ketika tiba giliran Roy untuk memberikan sumbangan, seorang pria yang memegang wadah untuk menampung sumbangan seketika menolak sumbangan dari Roy. Kemudian, pria tersebut membisikkan sesuatu kepada Roy. Walaupun isi perkataan pria tersebut kepada Roy tidak diperdengarkan, penonton dapat memahami bahwa pria tersebut menolak kehadiran Roy di gereka tersebut. Dengan kata lain, pria tersebut mengusir Roy. Bahkan suara Roy tidak dimunculkan pada adegan tersebut, dan tertutup dengan suaranya nyanyian paduan suara. hal ini menunjukkan teknik sinema yang menyimbolkan bahwa Roy tidak memiliki suara di hadapan gereja. Roy pun mengangguk dengan raut wajah yang kecewa dan berdiri berjalan bersama Patty Ann menuju pintu keluar. Adegan ini mengisyaratkan bahwa keberadaan Roy yang tidak sesuai dengan Tatanan Simbolik telah ditolak oleh gereja. Gereja memiliki aturan-aturan yang merepresentasikan Tatanan Simbolik. Aturan-aturan tersebut secara tegas tidak memperbolehkan seorang laki-laki berpakaian seperti perempuan atau bernyanyi dengan suara perempuan. Perilaku Roy yang dengan berani memakai pakaian dan atribut perempuan dianggap melenceng dan menantang aturan tersebut. Para jemaat gereja juga tentunya paham betul tentang aturan-aturan tersebut. Inilah yang membuat jemaat lain heran dengan tingkah laku Roy. Roy adalah salah satu jemaat yang aktif di dalam kegiatan gereja, tentunya ia mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh ia lakukan sebagai seorang penganut Kristen Lutheran. Namun, ia malah secara terang-terangan menentang aturan gereja. Maka, konflik antara dirinya dan gereja adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan lagi. Selain hubungannya dengan anggota jemaat gereja yang memburuk, hubungan Roy dengan sang pastur juga mengalami hal yang sama. Di awal film, pastur terlihat menunjukkan kepeduliannya terhadap Roy. Namun, di akhir film, pastur mulai mengacuhkan Roy. Konflik dengan pastur terlihat pada saat ia berkunjung ke rumah Irma. Pada saat itu, baik Roy maupun Irma sudah tidak beribadah ke gereja lagi sejak kejadian pengusiran Roy dari gereja. Ketika Roy 11 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
diusir, Irma yang melihat kejadian ini dari barisan paduan suara seketika melangkah keluar menyusul Roy setelah lagu yang ia nyanyikan usai. Ini menandakan bahwa mereka (Roy dan Irma) memutuskan untuk keluar dari gereja. „Keluar‟ dalam hal ini tidak hanya berarti melangkah keluar, namun juga tidak kembali lagi ke gereja. Pastur berkunjung ke rumah Irma dengan maksud ingin menyampaikan bahwa kehadiran Irma masih ditunggu di gereja. Namun, pastur tidak menyebutkan hal yang sama mengenai Roy; ia bahkan tidak menganggap keberadaan Roy sama sekali, seakan-akan Roy adalah topik yang tabu. Ia juga memperlakukan Irma seperti seorang janda yang habis kehilangan suaminya, seperti seolah-olah Roy sudah meninggal. Lebih lagi, ia berkata kepada Irma bahwa ia mengizinkan Irma untuk memisahkan dirinya dari Roy dan untuk meninggalkan Roy. Irma pun tersinggung dengan perlakuan dan perkataan pastur terhadap dirinya. Irma yang saat itu sudah menerima Roy tentu menolak tawaran pastur untuk meninggalkan Roy. Pembicaraan pastur dan Irma dapat dilihat pada kutipan dialog di bawah ini. Pastor: “We sure do miss you at church, Irma.” Irma: “Well, I miss church, too.” Pastor: “Everyone's been asking after you. The tremendous sympathy people are feeling for you and Patty Ann. Everyone keeps coming up to me, saying, „Can I bring them over a pie? Is there anything around the house that needs fixing?‟” Irma: “Well, I am not a widow, Pastor.” Pastor: “Of course not. It's just… that you're one of our most... cherished members. Everyone keeps talking about all the great things... you've done for us over the years.” Irma: “Thank you, but Roy has put in a lot more time. You should be paying him a call instead of me.” Pastor: “Irma, I know in my effort to turn over every stone... I had suggested that you might have had a hand in this.” Irma: “Yes, you did.” Pastor: “I took a wrong turn. Forgive me. Let me assure you, you did not cause… or enable this problem of Roy's in any way. This is not your fauIt.” Irma: “I know it isn't.” Pastor: “Now I am going to tell you one more thing. As your pastor... and as your friend... I give you permission to separate your life from his... without guiIt or regret. I give you permission to walk away.” Irma: “To walk away?” Pastor: “Yes.” Irma: “But he's my heart.” (01:21:29 - 01:23:11)
Perubahan identitas gender Roy menyebabkan konflik di gereja. Konflik terdiri dari konflik antara Roy dengan jemaat gereja dan antara Roy dengan pastur. Perilaku Roy melanggar Tatanan Simbolik yang direpresentasikan lewat hukum aturan aturan gereja. Sebagai akibatnya,
12 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Roy lagi-lagi menerima hukuman alienasi atau dikeluarkan dari gereja. Ia tidak diperbolehkan untuk memasuki gereja dengan penampilan perempuan. Saat terakhir kali ia datang ke gereja sebelum akhirnya diusir, Roy duduk di barisan paling belakang tanpa ada satu orang pun yang duduk di barisan Roy tersebut kecuali Patty Ann. Roy dianggap sebagai seseorang yang ternoda dengan dosa. Selain itu, gereja juga tidak sudi menerima sumbangan dari Roy, seakan-akan uang Roy sama ternodanya dengan dirinya. Kemudian, pastur juga ikut mengasingkan Roy. Ia seperti tidak menganggap keberadaan Roy lagi saat terakhir kali ia mengunjungi Irma. Ia memperlakukan Irma seolah-olah Irma adalah janda yang telah kehilangan suaminya. Pastur juga menyarankan Irma untuk menceraikan atau ikut meninggalkan dan mengasingkan Roy, seperti yang ia dan masyarakat lakukan terhadap Roy. Walaupun sempat menjanjikan bahwa ia akan tetap menerima Roy, ternyata hal yang ia janjikan tersebut tidak dapat ia tepati karena sekali seseorang melanggar Tatanan Simbolik, masyarakat tidak akan dapat melihat orang tersebut dengan sama lagi. Di mata Tatanan Simbolik yang memiliki ukuran “normal atau tidaknya” seseorang, Roy sudah menjadi “tidak normal”. Seperti yang dijelaskan oleh Evans bahwa orangorang yang “tidak normal” tersebut, atau yang mengacuhkan Tatanan Simbolik akan masuk ke dalam limbo atau dibuang (1996: 204). Maka, melalui poin-poin tersebut, dapat disimpulkan bahwa karena telah melanggar Tatanan Simbolik, Roy menerima hukuman pengasingan dari gereja.
Konflik di ruang Keluarga Selain menimbulkan konflik pada ruang publik, yakni pada tempat kerja dan gereja, perubahan identitas gender Roy juga menimbulkan konflik pada ruang privat, yakni keluarganya. Namun, konflik dalam keluarganya sedikit berbeda karena di dalam keluarga intinya yang terdiri dari istri dan anak-anaknya, dirinya lah yang merupakan simbol kekuasaan. Sebagai ayah, ia adalah wakil dari Tatanan Simbolik di dalam rumahnya. Walaupun demikian, bukan berarti Roy terbebas dari hukum Tatanan Simbolik di dalam ruang keluarga karena Roy masih harus menghadapi ayahnya yang merupakan The Other baginya. Konflik pada ruang keluarga yang disebabkan oleh transformasi gender Roy dibagi menjadi tiga, yakni konflik antara Roy dan Irma, Roy dan ayahnya, dan Roy dan anaknya.
Roy dan Irma 13 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Hubungan antara Irma dengan Roy didasari dengan cinta. Awalnya, Irma menentang keras keputusan Roy untuk melakukan transformasi gender. Ia mengusir Roy dari rumah mereka dan langsung melakukan gugatan cerai. Irma akhirnya menerima Roy setelah melihat Roy yang mencoba untuk bunuh diri dengan menembak lehernya sendiri. Pada titik ini, Irma menyadari bahwa ia mencintai Roy dan tidak ingin kehilangan Roy. Akhirnya Irma pun mau menerima Roy dan keputusannya untuk mengubah gendernya. Ia mengatakan kepada Roy “I think for now you should come home” (00:51:02) setelah menyaksikan percobaan bunuh diri Roy. Diterimanya Roy oleh Irma tidak menjamin bahwa hubungan di antara keduanya akan berjalan mulus tanpa konflik. Konflik di antara Roy dan Irma mulai bermunculan bahkan setelah Irma menerima Roy. Hubungan antara Roy dan Irma di awal film merupakan hubungan antara subjek dan objek dalam Tatanan Simbolik Lacan. Konsep Lacan mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan menempatkan perempuan pada posisi objek hasrat, untuk melengkapi subjek. … that woman, in order to include herself in the sexual couple, must not so much desire as make someone else desire, by conforming to the conditions of the man's desire. The reciprocal is not true. For women, the agency of semblance is accentuated, even intensified by their place in the sexual couple, which obliges them structurally to dress themselves in the colors displayed by the desire of the Other (2003: 34).
Inti dari kutipan di atas adalah bahwa di dalam hubungannya dengan laki-laki, perempuan harus menjadi hasrat laki-laki. Perempuan harus membuat dirinya menjadi sesuatu yang diinginkan laki-laki, sesuatu untuk mengisi kekurangan (lack) laki-laki. Tadinya, Irma adalah objek hasrat Roy. Namun, karena Roy ingin berubah menjadi perempuan, terdapat kebingungan di antara mereka berdua tentang posisi subjek dan objek tersebut. Roy mengatakan bahwa ia sungguh mencintai Irma walalupun ia merasa bahwa dirinya adalah perempuan. Namun, Irma tidak percaya dengan kata-kata Roy tersebut. Ia berpikir bahwa jika Roy mencintai dirinya, ia tidak akan mengubah gendernya. Pertanyaan-pertanyaan di atas dilontarkan Irma untuk memastikan bahwa apakah Roy pernah menghasrati dirinya. Selain kutipan tersebut, terdapat kutipan percakapan lain yang menunjukkan kebingungan Irma akan hasrat seksual Roy. Irma: “Roy, can I ask you something?” Roy: “Yeah.” Irma: “Are you going to want to be with men?” Roy: “No, honey. You know I don't.” Irma: “Then, if you're not planning on having intercourse... what do you need a vagina for?” Roy: “That's a ridiculous question.” Irma: “No, it isn't.” Irma: “I mean, I had babies with mine.” Roy: “I used it to make love to you.”
14 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Irma: “What on earth are you going to do with yours?” Roy: “It's not a matter of what I'm going to do with it. I'm doing this to make myself complete.” Irma: “It's a sexual organ, honey. That's what it's made for. And as a long-time female, let me tell you... I haven't used mine for anything but to take in a penis, okay? Roy: “There are certainly other things you can do with it. Irma: “Like what?” Roy: “You ever masturbated? Well, haven't you?” Irma: “Good grief, Roy.” (01:08:40 - 01:09:52)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Roy menyatakan kepada Irma bahwa perempuan dapat terpuaskan secara seksual tanpa penis. Ketika Irma mengatakan bahwa fungsi vagina hanyalah untuk menerima penis, Roy malah berpendapat sebaliknya. Ia mengatakan bahwa perempuan dapat melakukan masturbasi; mereka tidak butuh laki-laki untuk mendapatkan kepuasan seksual. Namun, Irma yang merupakan bagian dari masyarakat konvensional berpikir bahwa masturbasi untuk memuaskan hasrat seksual bukanlah hal yang seharusnya dilakukan oleh perempuan; perempuan membutuhkan penis. Ini menunjukkan bahwa Irma memiliki pemikiran yang sangat Simbolik. Roy kemudian mengatakan, “Irma, if you need to have an affair, I understand” (01:10:03). Ia membebaskan Irma untuk melakukan apapun dengan vaginanya. Akhirnya, Irma pun berhubungan seksual dengan laki-laki lain, yaitu Frank, atasan Roy. Walaupun perubahan identitas gender Roy sempat menimbulkan konflik, pada akhirnya mereka berdamai dan kembali hidup bersama sebagai pasangan. Di akhir film, terdapat adegan Irma dan Roy yang merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Irma memberikan seutas kalung mutiara kepada Roy pada perayaan ulang tahun pernikahan mereka, yakni. Ia bahkan memakaikan kalung tersebut untuk Roy seraya berkata, “They look lovely” (01:47:32). Adegan terakhir pada film Normal menunjukkan Irma dan Roy yang sedang melakukan hubungan seksual terakhir kalinya sebelum Roy melaksanakan operasi penggantian alat kelaminnya. Irma menyatakan bahwa ia ingin melihat penis Roy sekali lagi sebelum dioperasi menjadi vagina, dan ia pun membuka selimut Roy untuk melihat penis Roy. Adegan ini menunjukkan bahwa Irma masih merasakan kehilangan (lack) akan penis Roy seperti yang dikatakan Lacan bahwa tingkat keutuhan tidak akan pernah dicapai (2003: 17). Irma kemudian berkata, “Sweet Roy. Sweet soul. What we do for love.” (01:48:51 - 01:49:00) yang menyimpulkan bahwa ia telah berkorban demi cintanya kepada Roy. Seperti yang dikatakannya sebelumnya, “… I‟m giving up everything I
15 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
believe in so you can feel complete” (01:02:15 - 01:02:22). Ia rela mengabaikan hal-hal yang ia yakini untuk dapat bersama Roy, seseorang yang telah melanggar Tatanan Simbolik dan mencapai perasaan complete dengan menjadi transgender (sesuatu tindakan yang justru menyimbolkan ranah Imajiner). Ia mau berkorban karena ia juga menghasrati cinta Roy. Seperti yang Irma katakan terhadap Wayne, anaknya dalam kutipan dialog di bawah ini. Wayne: “Jesus! Do you actually like him as a woman?” Irma: “I like having him alive.” Wayne: “What do you get out of him?” Irma: “I get his love, Wayne.” (01:37:11 - 01:37:24)
Dengan mendapatkan cinta Roy, Irma sudah merasa cukup, seperti pesan yang diterima penonton seusai menonton Normal, bagi Roy dan Irma, “love transcends gender”. Cinta tidak terpaku pada gender; gender di sini adalah baik gender biologis maupun gender yang merupakan konstruksi sosial. Irma masih mencintai Roy walaupun ia sebentar lagi akan memiliki vagina. Roy pun juga sebaliknya. Selain itu, walaupun Irma adalah anggota yang taat dari kongregasi gereja dan juga anggota dari masyarakat, ia bersedia untuk mengabaikan dan meninggalkan hal-hal yang ia percayai dan memilih terus hidup bersama Roy.
Roy dan Anaknya Konflik di antara Roy dan Wayne memanas ketika Wayne berkunjung ke rumah Roy. Ketika ia melihat ayahnya sudah menjadi perempuan dengan memiliki payudara, Wayne kesulitan untuk menerima hal tersebut. Bagi Wayne, Roy adalah sosok yang mengenalkannya kepada dunia Simbolik. Ia tidak habis pikir bagaimana orang yang mengajarkannya tentang aturan dan hukum yang ada pada Tatanan Simbolik melakukan hal yang sangat bertolak belakang dengan hal-hal yang ia ajarkan tersebut. Wayne juga tidak mengerti mengapa Irma masih mau menerima Roy. Ia mengungkapkannya melalui kutipan percakapan di bawah ini. Wayne: “I don't want any of his stuff. Jesus Christ!” Irma: “Look, Wayne, I'm sorry. I know this is hard on you.” Wayne: “Forget about me. What about you? Aren't you revolted? Aren't you pissed?” (01:37:03 - 01:36:50)
Dapat dilihat bahwa Wayne sangat prihatin dengan keadaan ibunya. Ia marah kepada Roy yang telah menyebabkan Irma berada di posisi yang tidak menguntungkan. Cara Wayne 16 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
memperlakukan ibunya ini mirip dengan cara Roy membela ibunya. Baik Wayne maupun Roy sama-sama ingin membela ibu mereka. Mereka menganggap bahwa Ayah adalah figur yang otoriter yang membuat ibu mereka sengsara. Namun, yang juga menarik adalah baik Irma maupun Em, ibu Roy, menerima hukum yang dicetuskan oleh suami mereka. hal ini sesuai dengan konsep Lacan tentang Oedipus kompleks ketika Ayah datang sebagai pihak ketiga yang hukumnya memisahkan dualitas anak dengan ibunya. “What is important is not that the real father step in and impose the law, but that this law be respected by the mother herself in both her words and her actions” (Evans, 1996: 132). Irma tunduk terhadap hukum Roy, namun hasratnya untuk melihat Roy kembali menjadi laki-laki menimbulkan konflik lain mengenai kekuasaan antara Roy dan Wayne. Wayne yang tidak bisa menerima fakta bahwa ayahnya akan menjadi perempuan berusaha untuk memberontak dan melawan ayahnya. Usaha ini ia lakukan dengan mengucapkan kata-kata kasar kepada Roy yang ditunjukkan melalui kutipan dialog di bawah ini. Wayne: “What's this about?” Roy: “What do you mean?” Wayne: “What am I supposed to do with your watch? Wear it with pride, and pass it on to the next generation? ''Here, son, this is your granddad's. He gave it to me when he switched to a Lady Timex.'' Fuck your watch, your watch is bogus. I don't want it near my fucking wrist.” Irma: “Don't use that language with your father.” Wayne: “Are you actually trying to defend him? This freak who kept you going for what, 25, 26 years? Shared your bed. Got you pregnant. Don't you feel scammed?” Roy: “You're way out of line.” Wayne: “No, you are. We can't even have Thanksgiving with Gran and Grandpa because of you.” Roy; „Get out now!” Wayne: “You half-baked cunt.You can't tell me what to do.” Roy: “Don't you ever use that word again.” Wayne: “Cunt.” Roy: “Stop it!” (01:38:07 - 01:38:52)
Wayne mengatakan kepada Roy bahwa Roy tidak berhak untuk mengatakan apa yang boleh dan tidak ia lakukan. Wayne menolak hukum dan aturan Roy. Baginya, Roy yang sudah melawan aturan Tatanan Simbolik tidak berhak untuk menetapkan hukum kepadanya. Wayne yang sudah masuk ke dunia Simbolik dan sudah mengenal Tatanan Simbolik paham betul bahwa Roy sudah melanggar Tatanan Simbolik. Ia bahkan memanggil Roy dengan sebutan “this freak” yang berarti orang yang aneh dan bahkan “cunt” yang merupakan kata-kata kasar yang sangat rendah dan menghina perempuan. Ini menunjukkan bahwa Wayne melihat Roy sebagai orang yang 17 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
“tidak normal”. Melihat perlakuan anaknya kepada dirinya, Roy pun berusaha untuk kembali menerapkan hukumnya. Ia pun membentak dan menampar Wayne. Namun, Wayne masih berusaha untuk menantang ayahnya. Akhirnya, Roy pun berkelahi dengan Wayne dan berakhir dengan adegan Roy memukul Wayne. Setelah adegan perkelahian antara keduanya, Wayne kembali berdamai dengan Roy, dan ia kembali melihat Roy sebagai ayahnya, sosok yang berkuasa dan harus ia hormati, bukan orang yang “tidak normal”. Hal ini ditunjukkan dengan adegan Wayne yang menangis di pelukan Roy. Roy pun balas memeluk Wayne sambil berkata, “I wouldn‟t hurt you for the world…Wayne, my precious boy” (01:39:59). Ini menandakan bahwa ia tidak akan melukai Wayne jika Wayne juga tidak melawan hukumnya. Wayne pun sadar bahwa “se-tidaknormal” apapun, Roy tetap ayahnya. Walaupun ayahnya sudah menjadi perempuan, Wayne tidak akan menang melawan ayahnya tersebut karena baginya, Roy tetap seseorang yang lebih berkuasa yang memiliki hukum. Seperti yang dikatakan Lacan dalam Evans, “it is no use competing with the real father, because he always wins (1996: 132). Jadi, apapun gender Roy, pada akhirnya, ia tetap ayah dari Wayne. Wayne tetap menganggap Roy sebagai ayahnya walaupun nantinya Roy akan memiliki vagina alih-alih penis seperti yang ditunjukkan pada kutipan pesan yang ditinggalkan Wayne berikut ini. Wayne: “Hi, Mom, Dad. I wanted to wish you guys a happy anniversary. Is it today? I think it's today. Anyway, happy whatever. I just wanted to call to wish Pop good luck with his surgery tomorrow. Let me know how it goes (01:45:57 - 01:46:16)
Melalui kutipan tersebut, kita dapat melihat dukungan Wayne terhadap operasi Roy. Ia menunjukkan perhatiannya terhadap Roy dengan mendoakan agar operasi penggantian kelamin Roy berjalan dengan lancar. Selain itu, ia juga masih mengganggap Roy sebagai ayahnya yang ditunjukkan dengan bagaimana ia masih memanggil Roy dengan “Pop” yang berarti ayah. Maka, dapat disimpulkan bahwa konflik di antara keduanya telah diselesaikan.
Roy dan Ayahnya Konflik antara Roy dengan ayahnya mengenai identitas gender sudah muncul sejak Roy dulu. Ayahnya adalah laki-laki yang sangat maskulin, dan ia mengharapkan Roy untuk menjadi seperti dirinya. Oleh karena itu, ia mendidik Roy dengan keras untuk membangun karakter maskulin pada anaknya tersebut. Hukuman keras yang dijatuhkan ayahnya terhadap dirinya membuat Roy 18 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
merasa kapok sehingga ia memilih untuk hidup sebagai laki-laki, sesuai dengan organ biologisnya, karena jika ia mencoba untuk melawan aturan ayahnya, yakni dengan tidak bersikap seperti layaknya laki-laki, ia akan mendapatkan hukuman yang keras lagi. Roy merasa sangat terintimidasi oleh ayahnya. Pada adegan perayaan ulang tahun ayah Roy, Roy merasa terluka oleh perkataan ayahnya yang tercantum pada percakapan yang dikutip sebelumnya. Ia pun menangis dan bahkan setelah itu, mencoba untuk bunuh diri dengan mengarahkan senapan ke lehernya. Sosok ayah dengan hukumnya merepresentasikan Tatanan Simbolik. Jika menurut ayahnya ia “tidak normal”, maka begitu juga menurut Tatanan Simbolik. Dapat dilihat bahwa ayah Roy masih memperlakukan Roy seperti anak kecil dengan selalu memarahinya. Roy seolah-olah adalah anak kecil yang tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ini menunjukkan bahwa ayah Roy menganggap bahwa Roy belum siap untuk berada di dunia Simbolik. Roy juga merasa bahwa ia tidak dapat menyanggupi standar yang ditetapkan sang ayah untuk menjadi laki-laki atau standar yang ditetapkan oleh Tatanan Simbolik untuk menjadi “normal”. Perlakuan yang ia dapatkan dari ayahnya merepresentasikan perlakuan yang akan ia dapatkan dari dunia Simbolik dengan hukum dan aturannya. Ayahnya memperlakukannya dengan keras agar anaknya menjadi “normal”, yakni berperilaku sesuai dengan identitas gender biologisnya seperti yang dikehendaki oleh dunia Simbolik. Di mata ayah Roy dan dunia Simbolik seorang laki-laki seharusnya tidak lemah seperti Roy. Menurut ayahnya, Roy lemah karena ia cengeng dan ia juga tidak berusaha untuk mengambil hak waris atas peternakannya dari kakak perempuannya, Becky. Maka, ketika ayah Roy melihat Roy menangis di hadapannya, ia semakin terlihat semakin kesal karena laki-laki tidak seharusnya bersikap cengeng. Sikap ayah Roy yang keras terhadap Roy ternyata juga merupakan wujud pelampiasan. Di akhir film diungkapkan bahwa ayah Roy juga memiliki konflik dengan ayahnya. Ia ternyata juga sering dihukum oleh ayahnya karena melanggar aturan ayahnya. Pada akhir film, ayah Roy yang sudah pikun mulai berbicara secara melantur. Pada saat itu, Roy mengunjungi ayahnya dengan berpenampilan perempuan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai perempuan kepada ayahnya. Ayahnya tidak melakukan perlawanan melihat sosok Roy yang berpenampilan perempuan; ia malah menunjukkan sikapnya yang seperti anak kecil. Ia mengatakan hal-hal seperti “I wet my pants” (01:44:31) dan “I want my mama” (01:44:37). Sangat menarik untuk melihat bahwa sosok ayah yang sangat menakutkan di mata Roy mengatakan hal-hal yang membuatnya terlihat seolah-olah ia kembali menjadi anak kecil yang lemah. Selain itu, ia juga 19 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
mengungkapkan ketakutannya terhadap sosok ayahnya. Berikut ini adalah kutipan percakapan antara Roy dan ayahnya. Roy‟s dad: “I better get out there, or I'll get my butt whipped.” Roy: “Who by? Becky?” Roy‟s dad: “No, my daddy.” (01:43:10 - 01:43:18)
Kutipan tersebut mengungkapkan hal yang menarik, yaitu bahwa ternyata ia dulu juga diperlakukan dengan keras oleh ayahnya sendiri. Ia sering dihukum dengan dipecut oleh ayahnya. Ayah Roy mendapatkan Hukum Ayah dari ayahnya dan memberikan Hukum Ayah kepada Roy. Ayah Roy yang sedemikian menakutkannya bagi Roy pun dulu takut terhadap ayahnya. Maka, Hukum Ayah berlaku pada semua orang; tidak ada satu orang pun yang dapat lepas dari Hukum Ayah. Dengan kata lain, Hukum Ayah adalah sesuatu yang diwariskan dari ayah kepada anaknya agar kemudian anaknya, sebagai ayah, dapat menerapkannya kembali kepada anaknya. Siklus Hukum Ayah ini akan terus berjalan secara demikian untuk memisahkan seorang anak dari ibunya yang menyatu di ranah Imajiner. Ketika ayah Roy mengalami kepikunan, ia secara tidak sadar mencari-cari sosok ibunya yang dipisahkan darinya oleh Hukum Ayah. Ayah Roy seperti mengatakan bahwa ia juga takut terhadap ayahnya. Ia seperti menyampaikan bahwa ia mengerti perasaan Roy dan ia juga mengalami hal yang sama dengan Roy, yakni harus menghadapi Hukum Ayah yang menakutkan. Ia seperti setuju dengan Roy bahwa Hukum Ayah terlalu mengekang; Roy dan ayahnya sama-sama ingin terbebas dari Hukum Ayah. Persamaan antara Roy dengan ayahnya yang terungkap di akhir film tersebut seakan bertindak sebagai solusi atas konflik di antara mereka.
Konflik di dalam diri Roy Dengan menolak untuk mengikuti Tatanan Simbolik, Roy juga menolak untuk berada di dunia Simbolik. Namun, di akhir film, ada sesuatu yang mengganjal dari sosok Roy. Roy mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ternyata dirinya tidak dapat lepas dari dunia Simbolik dan Tatanan Simbolik. Walaupun ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Tatanan Simbolik, ia tidak dapat memungkiri bahwa Tatanan Simbolik tanpa sadar telah menjadi bagian dari dirinya sendiri. Hal ini ditunjukkan dari sikap dan perkataannya saat ia merasa posisinya sebagai kepala keluarga terancam dengan kehadiran Wayne. Pada malam perayaan 20 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Thanksgiving, Wayne berkunjung ke rumah mereka. Roy terlihat kebingungan memilih baju untuk dikenakan pada malam itu. Ia mencoba beberapa pasang baju perempuannya, namun pada akhirnya ia memakai sweater dan celana laki-laki. Ia memiliki pilihan untuk benar-benar melawan The Law of the Father dengan memakai baju perempuan atau tetap hadir di Simbolik dan menjadi seorang ayah dengan tidak memakai baju perempuannya tersebut. Dapat dilihat bahwa Roy enggan untuk mengenakan pakaian perempuan yang feminin di depan anak lakilakinya, Wayne. Ini menunjukkan bahwa Roy memilih untuk tetap eksis di Simbolik dengan menjadi seorang ayah. Roy khawatir akan pendapat Wayne mengenai dirinya atau dengan kata lain, ia masih sadar akan keberadaan Tatanan Simbolik. Ia sangat peduli akan imejnya sebagai ayah yang berwibawa di depan Wayne. Wayne, Roy membicarakan mesin mobil yang merupakan pembicaraan yang sangat maskulin antara anak dan ayahnya. Kemudian, ia ingin minum minuman yang sama dengan Wayne, yakni bir. Ia bahkan juga menyuruh Irma untuk mengambilkannya bir dan membesarkan volume televisi untuknya. Padahal, kita masih ingat bagaimana Roy tidak ingin dibuatkan sarapan oleh Irma. Sebagai perempuan, ia tidak ingin dilayani. Namun, kali ini, ia ingin Irma melayaninya di depan Wayne agar dirinya terlihat berwibawa. Selain itu, ia juga marah dan tersinggung saat Irma meminta Wayne untuk memotong kalkun alih-alih dirinya. “I‟ll do it Irma” (01:29:52) ujar Roy. Namun, Irma kerap kali memberikan tugas-tugas yang dirasanya cocok untuk dilakukan seorang laki-laki kepada Wayne. Patty Ann pun melakukan hal yang sama dengan Irma. Ia meminta Wayne untuk membuka tutup toples yang keras, Roy bersikeras untuk melakukannya, dan ia terlihat kesulitan saat membuka tutup toples tersebut. Bahkan kulit Roy terkelupas akibat ia memaksakan diri untuk membuka tutup toples tersebut. Sikap Roy yang mencoba untuk terlihat maskulin dan berwibawa di depan Wayne menunjukkan bahwa sebagian dari Tatanan Simbolik memang sudah masuk dan melekat di dalam dirinya. Ia tidak bisa melepaskan norma-norma seperti seorang ayah harus berwibawa atau seorang ayah harus menjadi kepala keluarga yang dapat diandalkan untuk tugas-tugas yang maskulin seperti membuka toples atau memotong kalkun. Ia tidak sadar akan hal-hal ini. Irma menegurnya atas sikapnya yang ingin dilayani dengan berkata, “What kind of macho crap was that? You were putting it on” (01:31:17). Menurut Irma, Roy tidak menjadi dirinya sendiri pada malam itu; menurutnya, Roy bersikap sok macho. Namun, Roy tidak mengakui hal tersebut. Ia beralasan bahwa ia hanya ingin bersantai dan minum bir dengan anaknya. Namun, ia kemudian 21 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
marah karena Irma membuatnya terlihat lemah di depan Wayne dengan mengalihkan tugas memotong kalkun kepada Wayne. “What was that crap about carving the turkey? It was uncalled for. You were making him the head of the table…You're making me an outcast” (01:31:25 - 01:31:40) ujar Roy terhadap Irma. Ia tidak seharusnya marah karena Irma hanya memperlakukannya seperti perempuan seperti yang seharusnya ia inginkan. Namun, karena secara tidak sadar sebagian dari Tatanan Simbolik sudah melekat pada dirinya, ia merasa tersinggung atas perlakuan Irma terhadapnya. Irma membuatnya kehilangan wibawanya sebagai ayah dan kepala keluarga. Maka, konflik di dalam diri Roy terjadi akibat sebagian dari Tatanan Simbolik secara tidak sadar sudah menjadi bagian dari dirinya.
Kesimpulan Usaha Roy untuk mengubah identitas gendernya melanggar Tatanan Simbolik sehingga menimbulkan konflik di ruang publik, ruang privat, dan di dalam dirinya sendiri. Di ruang publik Roy yang telah melanggar Tatanan Simbolik menerima hukuman berupa alienasi, sedangkan konflik pada ruang privat yang melibatkan keluarganya pada akhirnya dapat diselesaikan. Hukuman alienasi tidak ia dapatkan dari keluarganya karena di dalam keluarganya, ia adalah sosok yang kuat. Di sini, terjadi adu kekuatan antara Roy melawan Tatanan Simbolik di ranah publik dan Roy melawan Tatanan Simbolik di keluarganya. Roy kalah melawan Tatanan Simbolik di publik karena ia bukan siapa-siapa di hadapan masyarakat. Ia hanyalah sosok yang kecil. Namun sebaliknya, di ruang keluarga, ia adalah ayah, sosok penguasa. Maka, dapat disimpulkan bahwa Roy kalah melawan masyarakat dan menang melawan keluarganya. Film Normal juga menunjukkan kelemahan pada teori Lacan tentang Tatanan Simbolik. Tatanan Simbolik di keluarga sebagai Tatanan Simbolik yang paling dasar seharusnya menjadi yang paling kuat dan tegas. Namun, film ini malah menunjukkan sebaliknya. Ruang keluarga justru terlihat lebih fleksibel dibandingkan dengan ruang publik, yakni masyarakat. Tatanan Simbolik di masyarakat malah lebih tegas daripada Tatanan Simbolik di dalam keluarga. Dapat disimpulkan juga bahwa film Normal menunjukkan dominasi laki-laki. Karena yang melanggar Tatanan Simbolik adalah Roy yang seorang laki-laki, ia mendapatkan akhir yang bahagia walau tidak sepenuhnya sesuai harapannya. Namun, jika yang melanggar Tatanan Simbolik adalah Irma, mungkin film ini akan memiliki akhir yang berbeda (bukan happy ending).
22 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Selain itu, Film Normal juga menunjukkan celah lain pada teori Lacan yang sangat struktural. Seseorang transgender atau seseorang yang menolak Simbolik tidak harus selalu dikategorikan sebagai neurosis. Roy adalah seorang transgender yang menolak Simbolik, namun ia tidak dapat dikatakan neurosis. Selain itu, ia juga mendapat dukungan penuh dari Irma dan keluarganya atas keputusannya untuk melakukan operasi penggantian alat kelamin. Normal justru mengisyaratkan sebuah akhir yang bahagia (happy ending) untuk Roy dan keluarganya.
Referensi Evans, Dylan. (1996). An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London: Routledge. Ghallop, Jane. (1985). Reading Lacan. New York: Cornell University Press. Tersedia pada http://books.google.co.id/books?id=dj12i69pd0cC&pg=PA136&dq=phallus+lacan&hl=id# v=onepage&q=phallus%20lacan&f=false Giles, J dan Middleton, T. (1999). Studying Culture: A Practical Introduction. London: Blackwell. Linna Dwi Jayanti, Ade. (2012). Kajian Analisis Karakter Nina Slayer dalam film Black Swan Melalui Perspektif Psikoanalisis Lacan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Maguire, Marie. (2004). Men, Women, Passion and Power: Gender Issues in Psychotherapy. East Sussex: Brunner-Routledge. Tersedia pada http://books.google.co.id/books?id=LPRHVq1KOr4C&pg=PA64&lpg=PA64&dq=penis+ph allic+power+freud&source=bl&ots=yCeGqvQr3U&sig=HANNR3yyRHt4rKpvBq4UiTB8 Qpg&hl=en&sa=X&ei=itMDT52tHIjTrQe9hnzDw&ved=0CEcQ6AEwBw#v=onepage&q=penis%20phallic%20power%20freud&f=fals e Mellard, James. (1991). Using Lacan, Reading Fiction. Urbana dan Chicago: University of Illinois Press. Ragland, Ellie. (2004). The Logic of Sexuation: From Aristotle to Lacan. Albany: State University of New York Press. Tersedia pada http://books.google.co.id/books?id=xZB3cUguXiEC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_ summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false
23 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013
Sarup, Madan. (2003). Posstrukturalisme Dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela. Soler, Colette. (2003). What Lacan Said about Women A Psychoanalytic Study. New York: Other Press. United Lutheran Church in America. (1956). “1956: Minutes, 20th Biennial Convention, ULCA, pp. 1145-46, 1188”. Diakses pada 20 Mei 2013 dari http://www.elca.org/Who-WeAre/History/ELCA-Archives/Archival-Documents/Predecessor-Body-Statements/UnitedLutheran-Church-in-America/Marriage-Family-and-Divorce.aspx Zizek, Slavoj. (2006). How to Read Lacan. New York dan London: W. W. Norton & Company.
24 Pelanggaran tatanan..., Melissa Berlina, FIB UI, 2013