BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur terletak di antara 1110 0' dan 114 0 4' Bujur Timur serta 7 012' dan 8 0 48' Lintang Selatan. Provinsi berpenduduk sekitar 37 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010) ini mempunyai luas 147.130,15 km2 yang terbagi atas kawasan hutan 12.261,64 km2 (26,02%), persawahan seluas 12.286,71 km2 (26,07%),
pertanian
tanah
kering
mencapai
11.449,15
km2
(24,29%),
pemukiman/kampung seluas 5.712,15 km2 (12,12%), perkebunan seluas 1.581,94 km2 (3,36%), tanah tandus/rusak seluas 1.293,78 km2 (2,75%), tambak/kolam mencapai 737,71 km2 (1,57%), kebun campuran seluas 605,65 km2 (1,29%), selebihnya terdiri dari rawa/danau, padang rumput dan lain-lain seluas 1.201,42 km2 (2,55%). Jawa Timur memiliki 60 buah pulau (termasuk Pulau Madura yang merupakan pulau terbesar) serta 48 gunung. Gunung yang tertinggi adalah Gunung Semeru yang mencapai ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut dan Gunung Lamongan yang merupakan gunung berapi yang terendah dengan tinggi 1.668 m. Secara administratif, provinsi ini terbagi menjadi 29 kabupaten dan 9 kota. Provinsi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa; sebelah timur dengan Pulau Bali; sebelah selatan dengan Samudera Indonesia; dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah.
49
23 22
26
27
24
25 78 76 15 19 18 17 16 75 20 77 71 06 79 14 02 73 72 01 03 04 05 07
28
29
21
74 08
13
11
12 N
09 10
W
E S
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011 Keterangan: : Kabupaten : Kota Kabupaten: 01. Pacitan 02. Ponorogo 03. Trenggalek 04. Tulungagung 05. Blitar 06. Kediri 07. Malang 08. Lumajang 09. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
Kota: 71. Kediri 72. Blitar 73. Malang 74. Probolinggo 75. Pasuruan 76. Mojokerto 77. Madiun 78. Surabaya 79. Batu
Gambar 4.1 Peta Jawa Timur Berdasarkan Wilayah Administratif Dalam beberapa kurun waktu terakhir, perekonomian Jawa Timur menunjukkan kinerja yang cukup membanggakan. Hal ini bisa dilihat dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi yang secara rata-rata berada di atas angka 5 persen selama periode 2005 hingga 2010 yang merupakan indikasi adanya peningkatan produksi barang dan jasa secara progresif. Krisis global yang
50
melanda dunia pada akhir 2008 hingga pertengahan 2009, tidak memberikan pengaruh cukup berarti bagi perekonomian di provinsi ini. Terbukti di tahun tersebut, Jawa Timur mampu meraih pertumbuhan ekonomi masing-masing sebesar 5,94 dan 5,01 persen serta mencapai pertumbuhan tertinggi di tahun 2010 sebesar 6,67 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6,10 persen. Kondisi ini didukung dengan semakin membaiknya PDRB perkapita yang mencapai Rp. 20.771,69 juta rupiah pada tahun 2010 atau meningkat sebesar 86,89 persen jika dibandingkan pada tahun 2005. Tabel 4.1 Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Jawa Timur Tahun 2005-2010 Indikator
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
5,84
5,80
6,11
5,94
5,01
6,68
Pertumbuhan Ekonomi (persen) PDRB Perkapita (ribu rupiah)
11.114 12.861 14.629 16.807 18.446 20.772
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Hingga tahun 2010, perekonomian Jawa Timur masih ditopang oleh tiga sektor utama, yaitu perdagangan, hotel dan restoran, kemudian industri pengolahan serta sektor pertanian. Namun seiring berjalannya waktu, peranan sektor pertanian terus mengalami degradasi. Jika pada tahun 2005 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap perekonomian sebesar 19,20 persen, di tahun 2010 sektor ini mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 15,75 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yang terus mengalami peningkatan kontribusi dari 26,45 persen pada
51
tahun 2005 menjadi 29,47 persen di tahun 2010. Struktur perekonomian Jawa Timur secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.2: Tabel 4.2 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2010 (Persen) No Sektor/Subsektor (1) (2) 1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Konstruksi 6 Perdag, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persew. dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa Produk Domestik Regional Bruto
2005 (3) 17,20 2,07
2006 (4) 17,13 2,13
2007 (5) 16,69 2,17
2008 (6) 16,55 2,22
2009 (7) 16,34 2,22
2010 (8) 15,75 2,19
29,94 1,50
29,21 1,49
28,75 1,59
28,47 1,58
28,14 1,55
27,49 1,51
4,22 26,45
4,05 27,25
3,93 28,07
3,89 28,49
4,01 28,42
4,50 29,47
5,34
5,35
5,32
5,25
5,50
5,52
4,62
4,61
4,70
4,79
4,83
4,89
8,67 8,78 8,78 8,77 9,00 8,68 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Jika kesembilan sektor pada Tabel 4.2 dikelompokkan menjadi tiga sektor utama yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder (industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih serta konstruksi) dan sektor tersier (perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa), dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Jawa Timur didominasi oleh sektor tersier dengan sumbangan terhadap PDRB dalam kurun lima tahun terakhir rata-rata sebesar 46,92 persen. Jumlah penduduk yang begitu besar serta letak geografis yang cukup strategis, mendorong sektor perdagangan, hotel dan restoran berkembang pesat yang pada akhirnya menjadi pelopor dominasi tersebut.
52
Sementara itu, sektor yang sebenarnya dianggap sebagai “intisari” ekonomi Jawa Timur adalah sektor sekunder dengan industri pengolahan sebagai ikonnya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh banyaknya usaha industri manufaktur di provinsi ini. Bahkan Jawa Timur merupakan provinsi ketiga yang dijuluki “episentrum” industri Indonesia setelah Jawa Barat dan Jabotabek. Meskipun terus mengalami penurunan kontribusi dari tahun 2005 hingga tahun 2010, sektor ini masih menjadi tulang punggung bagi perekonomian Jawa Timur, khususnya subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau, yang didominasi oleh industri rokok. Hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor ini terhadap penciptaan PDRB yang jauh di atas sektor listrik, gas dan air serta konstruksi.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011, diolah. Gambar 4.2 Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2010 (Persen) Uraian diatas memberikan gambaran bahwa secara agregat, terjadi transformasi sektoral dari perekonomian berbasis primer (tradisional) menuju ekonomi modern, seperti sekunder dan terutama tersier sebagaimana yang
53
telah diungkapkan oleh Hollis B Chenery (Tambunan, 2011). Kondisi ini cukup menggembirakan mengingat sektor sekunder dan tersier dibangun dari sektor-sektor yang tidak tergantung pada sumberdaya alam. Di samping itu, salah satu ciri daerah yang maju adalah jika daerah itu lebih didominasi oleh sektor yang sudah terlepas dari keberadaan sumber daya alam (tertiary sector). Namun begitu, transformasi struktural ekonomi akan lebih bermakna jika didukung oleh transformasi sektoral tenaga kerja. Ditinjau dari segi pembangunan sumberdaya manusia, dapat dikatakan bahwa kualitas sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan sudah cukup membanggakan. Tingginya Angka Melek Huruf (AMH) yang mencapai 88,02 persen mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat sudah baik. Hal ini didukung dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 dan 13-15 sebagai cerminan pendidikan dasar sembilan tahun yang masingmasing sebesar 98,74 persen dan 88,87 persen serta rata-rata lama sekolah yang mencapai 7,32 tahun. Dengan tingginya tingkat pengetahuan tersebut, pada akhirnya mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, salah satu di antaranya adalah pola hidup sehat. Angka Harapan Hidup (AHH) yang mencapai 69,58 persen serta Angka Kematian Bayi (AKB) 29,99 persen memberikan gambaran bahwa sebagian besar masyarakat di provinsi ini sudah memiliki kesadaran untuk melaksanakan pola hidup sehat. Ketimpangan atau ketidaksetaraan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan ternyata masih tinggi. Hal ini tercermin dari rendahnya persentase desa yang memiliki prasarana untuk menunjang kegiatan perekonomiannya.
54
Banyaknya desa yang memiliki pasar merupakan contoh, yang hanya sebesar 23,81 persen dari jumlah seluruh desa yang ada di provinsi ini. Begitu juga persentase banyaknya desa yang terlayani internet serta sumber air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang rata-rata juga masih relatif kecil, yaitu 8,82 persen dan 12,69 persen. Walaupun begitu, pembangunan prasarana pendidikan, perumahan, serta komunikasi bisa dikatakan sudah baik. Hal ini tercermin dari persentase desa yang memiliki SD, persentase desa yang dialiri jaringan listrik PLN dan jaringan telepon seluler, yang masing-masing sebesar 99,27 persen, 95,32 persen dan 86,28 persen. Pembangunan prasarana transportasi dan sanitasi di provinsi ini juga sudah cukup baik yang ditunjukkan dengan persentase desa dengan jalan dapat dilalui kendaraan roda empat, persentase banyaknya desa dengan jalan aspal, serta persentase desa yang memiliki prasarana sanitasi (jamban sendiri) yaitu masing-masing sebesar 98,62 persen, 78,50 dan 69,81 persen. Adanya perbedaan sumberdaya alam, kondisi geografis, maupun kebijakan pembangunan antara kabupaten/kota yang satu dengan lainnya, menyebabkan karakteristik ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana yang ada pada masing-masing kabupaten/kota tersebut juga bervariasi. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 1-3 yang memuat berbagai karakterisik ekonomi, sumberdaya manusia serta prasarana seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur yang dicerminkan melalui berbagai indikator sebagaimana yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini.
55
4.2 Analisis Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Kinerja pembangunan daerah dicerminkan oleh tiga peubah yaitu pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana di mana masingmasing peubah diukur oleh indikator-indikator yang sesuai. Adanya perbedaan satuan dari data yang digunakan akan menyebabkan bias dalam Analisis Komponen Utama maupun Analisis Faktor. Oleh karena itu, data asli harus distandardisasi terlebih dahulu dengan cara melakukan transformasi data ke dalam bentuk Z-score. Kemudian dengan melakukan analisis terhadap masingmasing kinerja pembangunan, akan diperoleh hasil analisis untuk Kinerja Pembangunan Ekonomi, Kinerja Pembangunan sumberdaya manusia, dan Kinerja Pembangunan Prasarana. 4.2.1 Kinerja Pembangunan Ekonomi Berdasarkan hasil pengolahan AKU dan Analisis Faktor Kinerja Pembangunan Ekonomi pada Lampiran 7, diketahui bahwa nilai uji KMO adalah 0,528 dengan nilai signifikansi 0,00. Oleh karena nilai KMO sudah di atas 0,5 dan nilai signifikansi berada di bawah 0,05 berarti data cukup untuk melakukan Analisis Faktor. Tabel Communalities memberi gambaran tentang persentase keragaman dari suatu peubah asal yang dapat dijelaskan oleh faktor yang ada. Semakin besar communalities sebuah variabel, semakin besar pula korelasinya dengan faktor yang terbentuk. Dari Tabel Communalities dapat dilihat persentase terbesar dimiliki oleh peubah Z-score Persentase PDRB per kapita, yaitu 0,947.
56
Hal ini berarti sekitar 94,7 persen keragaman dari peubah tersebut dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Pada Tabel Total Variance Explained, pada label initial eigenvalues menunjukkan nilai eigenvalue untuk masing-masing faktor, yang semula terdiri atas 8 faktor atau sebanyak variabel aslinya. Kemudian dipilih faktor-faktor dengan nilai eigenvalue di atas 1 dan ternyata terdapat 4 faktor atau komponen yang nilai eigenvalue-nya di atas 1 (Tabel 4.3). Keempat faktor tersebut secara bersama-sama menerangkan keragaman total sebesar 88,178 persen. Tabel 4.3 Faktor, Akar Ciri, dan Persentase Keragaman Kinerja Pembangunan Ekonomi Faktor (1) 1 2 3 4
Akar Ciri (2) 2,074 2,018 1,869 1,093
Persentase Keragaman (3) 25,925 25,229 23,367 13,.657
Persentase Keragaman Kumulatif (4) 25,925 51,154 74,521 88,178
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS. Setelah empat faktor merupakan jumlah yang paling optimal, maka distribusi kedelapan variabel pada empat faktor tersebut (loading factor) dapat dilihat pada Tabel Component Matrix. Untuk memperjelas hasil interpretasi, maka dilakukan Rotasi Varimax yang hasilnya ditampilkan pada Tabel Rotated Component Matrix dengan interprestasi sebagai berikut: 1.
Faktor 1, berkorelasi positif yang tinggi dengan peubah Z-score Nilai Investasi PMA dan Z-score Nilai Investasi PMDN
2.
Faktor 2, berkorelasi positif yang tinggi dengan peubah Z-score Pendapatan Asli Daerah (PAD), Z-score Kontribusi Sektor Tersier dan Z-score Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap PDRB Provinsi
57
3.
Faktor 3, berkorelasi positif yang tinggi dengan peubah Z-score PDRB Perkapita dan Z-score Kontribusi Sektor Sekunder
4.
Faktor 4, berkorelasi positif yang tinggi dengan peubah Z-score Pertumbuhan Ekonomi. Dari Component Transformation Matrix, angka-angka yang terdapat
pada diagonal utama berada di atas 0,5, yaitu 0,631, 0,728, 0,507 dan 0,899. Hal ini membuktikan bahwa ketiga faktor yang terbentuk sudah tepat karena memiliki korelasi yang cukup tinggi. Kemudian dari keempat faktor tersebut diperoleh skor faktor yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Keempatnya dirata-rata dengan menggunakan bobot persentase keragaman masing-masing, dengan rumus sebagai berikut: Skor faktor ekonomi = {(skor faktor ekonomi_1 x 25,925) + (skor faktor ekonomi_2 x 25,229) + (skor faktor ekonomi_3 x 23,367 + skor faktor ekonomi_4 x 13,657)} : 88,178 4.2.2 Kinerja Pembangunan Sumberdaya Manusia Pada lampiran 8, ditampilkan hasil AKU dan Analisis Faktor Kinerja Pembangunan Sumberdaya Manusia. Nilai KMO Test pada analisis ini sebesar 0,764 dengan nilai signifikansi 0,00. Hal ini mengindikasikan bahwa data masuk dalam kategori agak baik untuk melakukan Analisis Faktor. Nilai communalities masing-masing peubah rata-rata berada di atas 0,5, hanya nilai Z-score Jumlah penduduk dan Z-score Pengeluaran Perkapita yang berada di bawah 0,5 (0,380 dan 0,472). Persentase terbesar terdapat pada peubah Zscore Angka Melek Huruf yaitu sebesar 91,0 persen. Dengan menyeleksi nilai
58
eigenvalue yang berada di atas 1, diperoleh dua faktor atau komponen utama dalam analisis ini yang keduanya mampu menjelaskan keragaman total sebesar 73,847 persen, yaitu: Tabel 4.4 Faktor, Akar Ciri, dan Persentase Keragaman Kinerja Pembangunan Sumberdaya Manusia Faktor (1) 1 2
Akar Ciri (2) 4,650 1,257
Persentase Keragaman (3) 58,131 15,716
Persentase Keragaman Kumulatif (4) 58,131 73,847
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS. Rotasi Varimax yang dilakukan menghasilkan keluaran (output) yang lebih jelas dari faktor yang terbentuk dengan interprestasi: 1.
Faktor 1, berkorelasi positif yang tinggi dengan peubah Z-score Angka Harapan Hidup, Z-score Angka Melek Huruf, Z-score Rata-rata Lama Sekolah, Z-score Pengeluaran Perkapita dan berkorelasi negatif yang tinggi dengan Z-score Angka Kematian Bayi dan Z-score Persentase Tingkat Kemiskinan
2.
Faktor 2, berkorelasi positif yang cukup tinggi dengan peubah Z-score Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan berkorelasi negatif yang cukup tinggi dengan Z-score Jumlah Penduduk. Pada Tabel Component Transformation Matrix dapat dilihat bahwa
faktor yang terbentuk sudah tepat. Hal ini ditunjukkan nilai pada diagonal utama yang jauh di atas 0,5 yaitu sebesar 1,00. Untuk memperoleh skor faktor kinerja pembangunan sumberdaya manusia, dua skor faktor yang ada (Lampiran 10) dihitung dengan menggunakan rata-rata berbobot, yang rumusnya:
59
Skor faktor sumberdaya manusia = {(skor faktor sumberdaya manusia_1) x 58,131 + (skor faktor sumberdaya manusia_2 x 15,716)} : 73,847 4.2.3 Kinerja Pembangunan Prasarana Hasil analisis Kinerja Pembangunan Prasarana ditampilkan pada Lampiran 9. Berdasarkan nilai uji KMO sebesar 0,774 dan nilai signifikansi 0,00, diketahui
bahwa data agak baik untuk dilakukan Analisis Faktor.
Persentase keragaman terbesar yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk dimiliki oleh peubah Z-score Persentase desa yang terlayani internet, yaitu sebesar 0,918. Setelah diseleksi nilai eigenvalue yang berada di atas 1, diperoleh tiga faktor yang ketiganya mampu menjelaskan keragaman total sebesar 68,374 persen sebagaimana yang tertera pada tabel berikut ini: Tabel 4.5 Faktor, Akar Ciri, dan Persentase Keragaman Kinerja Pembangunan Prasarana Faktor (1) 1 2 3
Akar Ciri (2) 3,481 2,815 1,225
Persentase Keragaman (3) 31,646 25,592 11,136
Persentase Keragaman Kumulatif Kumulatif (4) 31,646 57,238 68,374
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS. Hasil Rotasi Varimax mengasilkan interpretasi sebagai berikut: 1. Faktor 1, berkorelasi positif yang tinggi dengan peubah Z-score Persentase desa terlayani internet, Z-score Persentase desa terdapat pasar, Z-score Persentase desa terdapat puskesmas pembantu, Z-score Persentase desa terdapat tenaga kesehatan, dan Z-score Persentase desa yang terlayani PDAM.
60
2. Faktor 2, berkorelasi positif yang cukup tinggi dengan Z-score Persentase desa dengan jalan aspal, Z-score Persentase desa dengan jalan dapat dilalui kendaraan roda empat, Z-score Persentase desa terdapat jaringan telepon seluler, Z-score Persentase desa terlayani listrik PLN dan Z-score Persentase desa terdapat prasarana sanitasi 3. Faktor 3, berkorelasi negatif yang tinggi dengan Z-score Persentase desa terdapat bangunan Sekolah Dasar. Angka-angka
pada
diagonal
utama
dari
Tabel
Component
Transformation Matrix yang berada jauh di atas 0,5 yaitu 0,917, 0,857 dan 0,939 membuktikan bahwa faktor yang terbentuk sudah tepat. Hasil penghitungan rata-rata berbobot terhadap ketiga skor faktor (Lampiran 10) adalah: Skor faktor prasarana = {(skor faktor prasarana_1 x 31,646 + skor faktor prasarana_2 x 25,592) + (skor faktor prasarana_3 x 11,136)} : 68,374 4.2.4 Gambaran Kondisi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Kinerja Pembangunan Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Prasarana Untuk mengetahui gambaran kondisi seluruh kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur berdasarkan Kinerja Pembangunan Ekonomi, Sumberdaya Manusia serta Prasarana, dapat menggunakan angka-angka yang merupakan hasil penghitungan rata-rata berbobot dari ketiga skor faktor tersebut (skor faktor ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana) sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.6:
61
Tabel 4.6 Skor Faktor Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Prasarana Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Kabupaten/kota
Skor Faktor Ekonomi
Skor Faktor SDM
Skor Faktor Prasarana
(1)
(2)
(3)
(4)
Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Rata-rata Standar deviasi
-0,23 -0,33 -0,28 -0,12 -0,25 -0,05 0,05 -0,16 -0,08 -0,14 -0,21 -0,29 -0,14 0,15 0,79 0,25 0,04 -0,24 -0,32 -0,27 -0,28 0,53 0,24 -0,10 1,28 -0,35 -0,38 -0,30 -0,29 1,00 -0,31 0,08 -0,32 -0,30 -0,33 -0,17 2,06 -0,27 0,00 0,51
0,55 0,19 0,61 0,61 0,54 0,06 -0,24 -0,46 -1,30 -0,28 -1,16 -0,96 -1,49 -0,72 0,71 0,47 0,30 -0,01 0,03 0,67 -0,10 -0,62 -0,40 -0,25 0,49 -1,27 -1,81 -0,98 -0,90 0,95 1,24 0,96 0,51 0,36 1,20 1,12 0,58 0,80 0,00 0,82
-0,46 -0,36 -0,46 -0,14 -0,35 -0,13 -0,05 -0,25 -0,20 0,06 -0,61 -0,39 -0,41 -0,44 0,15 -0,30 -0,17 -0,18 -0,10 0,08 -0,39 -0,60 -0,19 -0,25 0,06 -0,29 -0,97 -0,45 -0,97 1,08 0,70 1,36 0,65 0,87 0,95 1,24 1,46 0,43 0,00 0,62
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS.
62
Berdasarkan Tabel 4.6, skor faktor ekonomi tertinggi pada tahun 2010 dimiliki oleh Kota Surabaya yaitu 2,06, kemudian disusul oleh Kabupaten Gresik dan Kota Kediri yang masing-masing memiliki skor faktor ekonomi 1,28 dan 1,00. Tingginya skor faktor ekonomi ini dapat memberikan gambaran bahwa kinerja perekonomian di ketiga daerah tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan daerah lain. Kondisi sebaliknya terjadi pada Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Kedua kabupaten tersebut memiliki kinerja perekonomian yang relatif lebih buruk jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain. Hal ini bisa dilihat dari skor faktor ekonomi Kabupaten Sampang yang merupakan skor faktor ekonomi paling rendah di provinsi ini, yaitu -0,38. Sedangkan peringkat di atasnya ditempati oleh Kabupaten Bangkalan yang memiliki skor faktor ekonomi sebesar -0,35. Kinerja pembangunan sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Timur menempatkan Blitar sebagai kota yang paling berhasil. Skor faktor sumberdaya manusia yang mencapai 1,24 merupakan indikatornya. Disusul Kota Mojokerto dengan skor faktor 1,20 serta Kota Madiun dengan skor faktor 1,12. Ini artinya, ketiga kota tersebut kualitas sumberdaya manusianya lebih baik jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di provinsi ini. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki skor faktor sumberdaya manusia terendah adalah Kabupaten Sampang dengan skor faktor sebesar -1,81. Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Jember secara berurutan berada di atasnya dengan skor faktor masing-masing -1,49 dan -1,30.
63
Predikat kota metropolis secara otomatis juga membuat Surabaya sebagai kota yang paling berhasil dalam melaksanakan pembangunan prasarana. Hal ini terbukti pada nilai skor faktor prasarana yang sebesar 1,46. Dibawahnya ada Kota Malang dan Madiun dengan skor faktor prasarana masing-masing sebesar 1,36 dan 1,24. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan prasarana perdesaan di ketiga kota tersebut lebih baik jika dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur. Kabupaten yang tergolong kurang berhasil dalam melaksanakan pembangunan prasarana perdesaan adalah Kabupaten Bojonegoro. Skor faktor prasarana yang hanya sebesar -0,60 merupakan bukti bahwa kesenjangan pembangunan prasarana antara perkotaan dan perdesaan di kabupaten ini masih besar. Kabupaten Bondowoso berada satu tingkat di bawah Kabupaten Bojonegoro dengan skor faktor prasarana sebesar -0,61. Kondisi yang paling buruk terjadi pada Kabupaten Sampang dan Sumenep dengan skor faktor prasarana hanya sebesar -0,97.
4.3 Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Kinerja Pembangunan Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Prasarana Berdasarkan kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana, selanjutnya dilakukan klasifikasi terhadap kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Timur, menjadi lima kelompok. Pembentukan menjadi lima kelompok ini dilakukan untuk mendapatkan karakteristik kelompok yang lebih detail. Sebagaimana
yang
telah
diuraikan
sebelumnya,
penelitian
ini
menggunakan Analisis Cluster dengan metode K-Means Cluster di mana
64
informasi mengenai jumlah kelompok yang dapat dibentuk tidak tersedia. Berdasarkan matriks korelasi (lampiran 11), diketahui bahwa persentase korelasi sedang dan besar peubah-peubah kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia serta prasarana adalah 40,74 persen, 67,86 persen, dan 50,91 persen. Hal ini dapat diartikan bahwa data skor faktor memberikan hasil pengamatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan data asal, sehingga untuk selanjutnya proses klasifikasi kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur dalam penelitian ini menggunakan data skor faktor. Karena korelasi antara skor faktor ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana berada di bawah 0,8 (lampiran 11), maka asumsi tidak terjadi multikolinieritas dapat terpenuhi. Tabel Initial Cluster Centers pada lampiran 12 adalah tampilan pertama dari proses Analisis Cluster. Selanjutnya dilakukan proses iterasi (pengulangan dengan ketepatan lebih tinggi dari sebelumnya) sebagaimana yang tertera pada Tabel Iteration History. Angka-angka dalam Tabel Final Cluster Centers merupakan hasil akhir setelah terjadi lima tahapan iterasi yang menggambarkan rata-rata masing-masing peubah pada setiap kelompok yang telah terbentuk. Dengan menggunakan selang pengkategorian berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi, didapat batas selang atas dan bawah serta kategori nilai rata-rata peubah pada setiap kelompok sebagaimana pada Tabel 4.7 dan 4.8:
65
Tabel 4.7 Nilai Batas Selang Skor Faktor (SF) Berdasarkan Peubah Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Prasarana
Kategori
Skor Faktor Ekonomi
Skor Faktor Sumberdaya Manusia
Skor Faktor Prasarana
(1)
(2)
(3)
(4)
Sangat Tinggi
0,77 < SF
1,22 < SF
0,93 < SF
Tinggi
0,26 < SF ≤ 0,77
0,41 < SF ≤ 1,22
0,31 < SF ≤ 0,93
Sedang
-0,26< SF ≤ 0,26
-0,41 < SF ≤ 0,41
-0,31 < SF ≤ 0,31
Rendah
-0,77 < SF ≤ -0,26
-1,22 < SF ≤ -41
-0,93 < SF ≤ -0,31
Sangat Rendah
SF ≤ -0,77
SF ≤ -1,22
SF ≤ -0,93
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS. Tabel 4.8 Nilai dan Kategori Rata-rata Peubah Pada Masing-masing Kelompok
Kelompok
Skor Faktor Ekonomi
(1)
1 2 3 4 5
Skor Faktor Sumberdaya Manusia
(2)
2,06 (ST) -0,13 (S) -0,13 (S) -0,23 (S) 1,02 (ST)
(3)
0,58 -1,12 0,13 0,88 0,72
(T) (R) (S) (T) (T)
Skor Faktor Prasarana (4)
1,46 (ST) -0,53 (R) -0,21 (S) 0,89 (T) 0,43 (T)
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS. Keterangan: ST = Sangat Tinggi T = Tinggi S = Sedang R= Rendah SR = Sangat Rendah Untuk mengidentifikasi apakah peubah-peubah pembangunan tersebut dapat membedakan antara kelompok yang satu dengan yang lain, dilakukan Uji Anova dengan hipotesis: H0 : peubah tidak membedakan karakteristik kelompok H1 : peubah membedakan karakteristik kelompok Jika nilai signifikansi kurang dari 0,05, maka keputusannya adalah tolak H 0. pada Tabel Anova (lampiran 12) dapat dilihat bahwa nilai signifikansi pada
66
semua skor faktor sebesar 0,00, berarti skor faktor ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana dapat membedakan karakteristik masing-masing kelompok yang terbentuk. Angka F terbesar ada pada skor faktor sumberdaya manusia yang mencapai 45,482. Ini artinya, skor faktor sumberdaya manusia sangat membedakan karakteristik kelima kelompok kabupaten/kota. Hasil klasifikasi kabupaten/kota di Jawa Timur selengkapnya adalah sebagai berikut: Kelompok 1, memiliki ciri-ciri faktor ekonomi sangat tinggi, sumberdaya manusia tinggi, dan prasarana sangat tinggi dengan anggota Kota Surabaya. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Sebagai pusat bisnis, industri, perdagangan, dan pendidikan di kawasan timur Indonesia, daerah yang mendapat julukan sebagai Kota Pahlawan ini menjadi pusat akselerasi perekonomian bagi daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Berdirinya perusahaan-perusahaan ternama seperti PT Sampoerna Tbk, Wing’s Group, Maspion, Unilever maupun PT PAL mengindikasikan bahwa Surabaya memiliki corak industri yang cukup dominan. Belum lagi perusahaan Rokok Sampoerna, UBM Biskuit, Viva Cosmetics, Industri Emas UBS, serta Bogasari yang telah terlebih dahulu dikenal sebagai produk Kota Surabaya. Secara spasial, persebaran industri juga semakin pesat. Di daerah selatan kota, terdapat kawasan industri Rungkut atau Brebek Industri, SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut PT. Persero). Sementara di bagian utara telah dibangun kawasan industri dan pergudangan Tambak Langon-Kalianak-Margamulyo yang berintegrasi dengan pelabuhan Tanjung Perak dan jalan tol dan pusat grosir (Kembang Jepun dan Pasar Turi).
67
Sektor lain yang juga tidak kalah penting dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian Surabaya adalah sektor tersier, khususnya sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang sering disebut sebagai motor penyelamat ekonomi ini, sampai saat ini masih menunjukkan eksistensinya dalam meningkatkan pertumbuhan. Dalam kurun waktu 2008 hingga 2010, sektor ini memberikan kontribusi rata-rata sebesar 42,96 persen bagi penciptaan PDRB Kota Surabaya. Letak geografis yang sangat strategis serta dukungan jumlah penduduk yang begitu besar, menjadikan sektor ini berkembang sangat pesat. Kurang lebih belasan mal besar dan puluhan supermarket serta pusat perbelanjaan modern ternama terdapat di kota ini seperti Tunjungan Plaza, Pakuwon Trade Center, Supermall Pakuwon Indah, Mal Galaxy, Surabaya Town Square (Sutos), Hi Tech Mall, Maspion Square, dan lain-lain. Bahkan baru-baru ini telah dibangun Empire Palace, yang merupakan wedding mal pertama di Indonesia. Sedangkan pusat perbelanjaan tradisional yang terkenal diantaranya Pasar Turi, Pasar Atom, dan Darmo Trade Center (DTC). Kebijakan baru Kota Surabaya untuk menciptakan kota perdagangan semakin membuka jalan sektor ini untuk terus berkembang. Prestasi gemilang dalam perekonomian tersebut, semakin lengkap dengan pencapaian pembangunan sumberdaya manusia Kota Surabaya yang optimal. Data dari BPS Provinsi Jawa Timur menggambarkan bahwa kualitas sumberdaya manusia di daerah ini secara umum masih jauh lebih baik dari rata-rata Jawa Timur sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4.3. Bahkan jika ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Kota Surabaya berada di urutan ke-2
68
setelah Kota Blitar. Kondisi ini menjadi modal penting untuk mempertahankan kemajuan
daerah
serta
menjadikan pembangunan yang berjalan bisa terus
berlanjut dan mampu memberikan dampak positif bagi keseluruhan rakyat di provinsi ini.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Gambar 4.3 Indikator Makro Sosial Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Keterangan: AHH : Angka Harapan Hidup (tahun) AKB : Angka Kematian Bayi (persen) AMH : Angka Melek Huruf (persen) RLS : Rata-rata Lama Sekolah (tahun) AKB : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen) Kemiskinan : Persentase Jumlah Penduduk Miskin (persen)
Pembangunan prasarana yang memadai hingga ke seluruh pelosok wilayah kota, menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang. Berdasarkan data Potensi Desa Tahun 2008, tercatat bahwa ketersediaan prasarana di tingkat desa/kelurahan di Kota Surabaya hampir merata. Prasarana telekomunikasi, transportasi, air, kesehatan maupun pendidikan sudah terbangun di sebagian besar wilayah kota ini, dengan rasio secara rata-rata sebesar 98,57
69
persen. Hal ini menjadi bukti bahwa Kota Surabaya layak untuk dijadikan teladan dalam rangka mencapai kemajuan pembangunan daerah. Kelompok 2, dengan ciri-ciri faktor ekonomi sedang, faktor sumberdaya manusia rendah, dan faktor prasarana rendah, memiliki 10 anggota, yaitu: Kabupaten
Jember,
Bondowoso,
Situbondo,
Probolinggo,
Pasuruan,
Bojonegoro, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Jika diperhatikan, Kabupaten Bondowoso, Situbondo dan Probolinggo adalah kabupaten yang berada di Kawasan Tapal Kuda. Disebut demikian karena dalam peta bentuknya mirip tapal kuda. Kuatnya pengaruh kultur Madura merupakan ciri dari kawasan ini. Hal tersebut dinilai wajar karena mayoritas penduduknya adalah suku Madura. Sedangkan Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep merupakan kabupaten yang berada di wilayah Pulau Madura. Pegunungan kapur yang sama-sama terdapat di ketujuh kabupaten ini menyebabkan aktivitas perekonomian wilayahnya kurang bisa berkembang dengan baik. Areal persawahan sering dilanda kekeringan sehingga sebagian besar penduduknya lebih memilih untuk menjadi nelayan. Prasarana
pendidikan
maupun
kesehatan
yang
masih
terbatas
menyebabkan kualitas sumberdaya manusia kelompok ini masih kalah jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Hal ini tercermin pada rendahnya nilai skor faktor sumberdaya manusia yaitu -1,12. Akan tetapi kabupatenkabupaten tersebut mempunyai potensi untuk berkembang, seperti Bangkalan. Kabupaten ini masuk dalam wilayah pengembangan spasial Provinsi Jawa Timur yang sering disebut wilayah Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan,
70
Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Bahkan, saat ini telah terbangun Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Madura dengan Kota Surabaya. Kondisi ini tentu bisa mendukung proses pembangunan kabupaten ini dan mengatasi kesenjangan antara Pulau Madura dengan wilayah di Jawa Timur yang lain. Hal yang sama juga terjadi pada Kabupaten Bojonegoro. Temuan sumur minyak yang sangat melimpah bisa menjadi peluang bagi pengembangan daerah. Di Kabupaten Jember, yang menjadi sentra industri berbasis perkebunan khususnya tembakau, diyakini bisa terus berkembang pesat. Sebagai salah satu wilayah penghasil tembakau di Jawa Timur (di samping Kabupaten Probolinggo, Bojonegoro, Pamekasan dan Sumenep), kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah kabupaten ini cukup besar. Hal yang terpenting adalah adanya dukungan infrastruktur yang memadai khususnya yang mampu menjangkau wilayah perdesaan sehingga mampu mengurangi ekonomi biaya tinggi. Bencana lumpur yang terjadi di Sidoarjo dan sebagian kecil wilayah Kabupaten
Pasuruan,
cukup
memberikan
tekanan
yang
berarti
bagi
pembangunan di Kabupaten Pasuruan. Terbukti kabupaten yang merupakan salah satu basis industri di Jawa Timur ini, harus bergabung dengan kelompok yang bercirikan kinerja prasarana rendah, padahal kabupaten ini memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Luasnya daerah ditambah munculnya semburan lumpur tersebut, pada akhirnya membuat pembangunan prasarana perdesaan di Kabupaten Pasuruan menjadi terhambat.
71
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Gambar 4.4 Indikator Makro Sosial 10 Kabupaten dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Keterangan: AHH : Angka Harapan Hidup (tahun) AKB : Angka Kematian Bayi (persen) AMH : Angka Melek Huruf (persen) RLS : Rata-rata Lama Sekolah (tahun) AKB : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen) Kemiskinan : Persentase Jumlah Penduduk Miskin (persen)
Satu ciri yang identik dari kelompok ini adalah rendahnya pencapaian kinerja pembangunan manusia yang direpresentasikan oleh angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Timur, di Tahun 2010, kabupaten-kabupaten yang tergabung dalam kelompok ini menduduki peringkat 10 besar dari bawah, termasuk Kabupaten Jember yang berada di urutan 32. Hal ini ironis mengingat di kabupaten ini terdapat universitas negeri yang cukup terkenal, yaitu Universitas Negeri Jember, juga Kabupaten Pasuruan yang berada pada peringkat 29, cukup jauh dari daerah tetangganya, Kota Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo yang
masing-masing
72
berada pada urutan 12 dan 6. Sementara jika ditinjau dari indikator makro sosial, secara rata-rata pencapaian dari ke 10 kabupaten tersebut masih berada di bawah Provinsi Jawa Timur. Kelompok 3 terdiri dari 17 anggota, dengan ciri-ciri faktor ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana sedang. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kelompok ini adalah Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Banyuwangi, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Tuban dan Lamongan. Ciri dari kabupaten/kota yang masuk dalam kelompok ini adalah ketergantungan perekonomian pada sektor primer. Bahkan, berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2010, daerah-daerah seperti Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Banyuwangi, Tuban dan Lamongan tergolong daerah dengan kontribusi sektor primer yang cukup tinggi (rata-rata 40,37 persen) terhadap perekonomian daerahnya.
Dari 17 daerah
tersebut, terdapat beberapa kabupaten yang berpotensi menjadi daerah industri khususnya industri kecil dan sedang serta industri berbasis perkebunan, seperti di Kabupaten Banyuwangi. Di wilayah yang didominasi sektor pertanian ini, telah berkembang industri souvenir yang merupakan pendukung bagi sektor pariwisata di Bali. Di Tulungagung, kota yang berada di wilayah selatan, telah berkembang industri garmen dan bahkan menjadi komoditas ekspor khususnya ke Afrika. Di samping itu, juga terdapat industri kerajinan marmer yang hingga saat ini menjadi sektor unggulan di kabupaten ini. Sedangkan industri gula (tebu), yang merupakan
73
salah satu “ciri” perindustrian Jawa Timur terpusat di Kabupaten Kediri dan Malang. Salah satu daerah yang diprediksi akan mengalami perkembangan cukup pesat adalah Kabupaten Lamongan. Ditetapkannya Lamongan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, memberikan jalan bagi daerah ini untuk melakukan ekspansi ekonomi. Kondisi tersebut juga didukung oleh letak geografis yang cukup strategis yaitu di jalur pantura. Berdirinya kawasan wisata terpadu “Wisata Bahari Lamongan” yang menggabungkan konsep wisata bahari dengan aneka wahana wisata (dunia wisata), semakin memperkaya potensi ekonomi di daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik ini. Kekayaan laut yang melimpah, salah satunya adalah komoditi ekspor teri nasi, serta cadangan minyak dan gas yang juga siap dieksploitasi, menjadikan Kabupaten Tuban sebagai salah satu daerah yang patut diperhitungkan. Besarnya potensi alam tersebut, pada akhirnya mengundang sejumlah industri untuk berinvestasi di Tuban. Bahkan pemerintah daerah setempat telah menyediakan zona industri seluas 49.210 hektar atau 26,74 persen dari luas seluruh wilayah Kabupaten Tuban. Pembangunan industri hilir seyogyanya memang harus terus ditingkatkan sehingga kekayaan alam yang telah diekspolitasi akan memberikan nilai tambah yang lebih besar. Dari sisi pembangunan manusia, wilayah yang tergabung dalam kelompok ini secara rata-rata memiliki kinerja standar. Berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Timur, nilai indikator makro sosial dari ke 17 kabupaten/kota tersebut hampir sama dengan angka pencapaian provinsi. Fasilitas kesehatan maupun
74
pendidikan yang belum begitu memadai dan mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah, disinyalir sebagai penyebab kurang optimalnya upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Gambar 4.4 Indikator Makro Sosial 17 Kabupaten dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Keterangan: AHH : Angka Harapan Hidup (tahun) AKB : Angka Kematian Bayi (persen) AMH : Angka Melek Huruf (persen) RLS : Rata-rata Lama Sekolah (tahun) AKB : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen) Kemiskinan : Persentase Jumlah Penduduk Miskin (persen)
Sementara itu, pembangunan infrastruktur mulai diupayakan di beberapa wilayah pada kelompok ini. Pada tahun 2001, 8 kabupaten yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi telah
menandatangani
sebuah
MoU
(Memorandum
of
Understanding)
pembangunan jalur selatan Jawa Timur. Diharapkan, pembangunan tersebut segera terealisasi sehingga ketimpangan pembangunan antardaerah bisa diminimalisir.
75
Kelompok 4, dengan ciri-ciri faktor ekonomi sedang, faktor sumberdaya manusia dan faktor prasarana tinggi, memiliki 7 anggota, yaitu: Kota Blitar, Malang, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Madiun dan Batu. Jika diperhatikan, daerah yang masuk dalam kelompok ini merupakan daerah perkotaan. Sektor tersier menjadi ciri utama perekonomian kelompok ini. Satu daerah yang cukup berpotensi untuk berkembang khususnya di sektor tersier (hotel dan perdagangan) adalah Kota Batu. Sebagai wilayah pemekaran dari Kabupaten Malang, kota ini memang memiliki kondisi geografis yang mendukung. Udara yang sejuk serta terletak di dataran tinggi, ditambah berdirinya area wisata Jatim Park dan Batu Night Square, semakin menarik para wisatawan baik manca maupun domestik untuk berkunjung ke Batu. Kontribusi sektor hotel dan perdagangan wilayah yang pernah disebut sebagai “Switzerland”-nya Jawa Timur ini cukup besar bahkan paling besar jika dibandingkan dengan sektor lain, yaitu sebesar 48,55 persen (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011). Berkembangnya industri berbasis agro, seperti pembuatan minuman sari apel, menjadikan Batu sebagai salah satu daerah yang dianggap berhasil dalam membangun industri pengolahan berbasis sumberdaya alam. Kondisi geografis yang berdekatan dengan laut, memberikan keuntungan bagi Kota Pasuruan. Berbagai pengembangan potensi ekonomi pesisir seperti industri jasa pemeliharaan kapal rakyat dan komponen perlengkapan kapal rakyat, industri kecil pengolahan ikan yaitu, pengeringan dan pengasinan ikan dan tepung ikan untuk komponen pakan ternak, pengembangan/pembangunan pelayanan jasa Unit Pelayan Teknik (UPT) logam berupa fasilitas UPT, teknologi pengecoran
76
logam, Elektric Welding, Forging Machine, industri pengolahan hasil perikanan seperti pengeringan/pengasapan, peridangan dan pengasinan serta industri tepung ikan menjadikan Kota Pasuruan sebagai wilayah yang cukup berhasil dalam perekonomian. Di samping itu, Pasuruan termasuk wilayah yang disebut sebagai “Segitiga Emas” (bersama Surabaya, Kediri, Probolinggo dan Malang) karena kelima wilayah tersebut merupakan wilayah tersubur dan penyumbang pajak terbesar dari Jawa Timur (Mackie, 1997). Sebagai daerah yang memiliki keterbatasan sumberdaya alam, tidak menjadikan perekonomian Kota Mojokerto kurang berkembang. Daerah yang terdiri atas dua kecamatan dan 18 kelurahan ini, berupaya mengakselerasi perekonomian daerah melalui pemberdayaan sektor industri khususnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta industri kecil dan menengah (IKM) , perdagangan, maupun jasa. Bahkan untuk merealisasikan program tersebut, pemerintah daerah setempat memfasilitasi proses penguatan kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam komunitas atau lembaga yang sedang dalam proses menjadi koperasi alias prakoperasi dengan jalan menyediakan fasilitasi akses permodalan. Di sisi lain, besarnya potensi perdagangan kota ini, disinyalir jauh meninggalkan dua wilayah di sekitarnya yaitu Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto sehingga Kota Mojokerto berpeluang untuk menjadi pusat perputaran uang bagi penduduk di kedua daerah tersebut. Kota Malang, wilayah yang berada di ketinggian antara 440-667 m di atas permukaan laut, merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Jawa Timur setelah Surabaya. Dengan semboyan Tri Bina Cita yang berarti Kota Pendidikan, Kota
77
Industri serta Kota Pariwisata, kota ini tumbuh dan berkembang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama di luar lingkar Kota Surabaya (Surabaya, Gresik, Sidoarjo). Sesuai dengan semboyannya, Kota Malang ditopang oleh sektor industri dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 33,48 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang menyumbang 38,06 persen. Beberapa industri besar sedang yang beroperasi di wilayah ini seperti PT. Bentoel (rokok), PT. Beiersdorf Indonesia (kosmetik), PT. Adiputro (karoseri dan perakitan mobil), PT. Phillip Morris (rokok), PT. Indomarine (konstruksi), dan lain-lain, menjadi lokomotif bagi perekonomian daerah. Bahkan sektor industri Kota Malang, merupakan penyumbang terbesar ke lima (setelah Kota Surabaya, Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik) bagi industri di Jawa Timur. Pesona wisata yang dimiliki oleh Kota Malang, seperti pemandangan alam yang indah dengan hawa yang sejuk dan asri, bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda, menjadikan daerah ini sebagai salah satu destinasi wisata di Jawa Timur. Dukungan fasilitas tempat perbelanjaan, dari tradisional sampai modern yang tersebar hampir di seluruh penjuru kota, semakin memperkuat daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah ini. Peningkatan citra, posisi, maupun peran Kota Malang terus diupayakan pemerintah daerah setempat dalam hubungan antarkota, antarprovinsi maupun antarbangsa sehingga pada akhirnya mampu memberikan manfaat bagi masyarakatnya. Berdirinya sejumlah perguruan tinggi ternama baik negeri maupun swasta seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Islam Negeri Malang (UIN MALANG), Politeknik Negeri Malang (POLINEMA), Sekolah Tinggi Akuntansi
78
Negara (STAN, pendidikan diploma I), , Universitas Muhammadiyah Malang (UNMUH), Universitas Islam Malang, Universitas Kanjuruhan, Universitas Wisnu Wardhana, STIE Malangkucecwara dan lain-lain, memberikan stimulus bagi masyarakat, tidak hanya di Jawa Timur tetapi dari seluruh Indonesia untuk menuntut ilmu di kota ini yang pada akhirnya semakin memperkokoh dinamisasi perekonomian wilayah. Ketersediaan prasarana transportasi, seperti kereta api yang menghubungkan Kota Malang dengan Kota Surabaya, Bandung dan Jakarta, serta Bandara Abdulrahman Saleh memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses kota yang terkenal dengan bakwannya ini. Letaknya yang strategis, berada di jalur yang menghubungkan Kota Surabaya dengan Yogyakarta, memberikan peluang tersendiri bagi Kota Madiun. Dengan sumbangan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 43,27 persen (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011), kota ini menjadi pusat perekonomian bagi Provinsi Jawa Timur bagian barat dan selatan yang selama ini relatif kurang berkembang. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota, Madiun disiapkan sebagai daerah hinterland dari Kota Surabaya. Bahkan pemerintah Provinsi Jawa Timur berencana membangun jalan bebas hambatan dari Kota Surakarta (tanpa lewat Sragen dan Ngawi) melewati Maospati, Magetan sampai Kota Madiun dan diteruskan ke Nganjuk hingga berujung di Waru, Sidoarjo untuk mewujudkan Kota Madiun sebagai kota metropolitan kedua di Jawa Timur. Di balik kesunyian dan keteduhannya, Kota Blitar menyimpan prestasi yang luar biasa. Kota kelahiran presiden pertama RI tersebut, dinobatkan sebagai kota yang paling berhasil dalam penataan ruang yang berkelanjutan pada 2010
79
oleh Kementerian Pekerjaan Umum yang meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam
menjalankan
roda
perekonomiannya,
Kota
Blitar
menggunakan sistem ekonomi mikro yaitu memfasilitasi para pedagang kaki lima maupun pelaku usaha mikro lainnya dengan kemudahan fasilitas maupun permodalan. Di saat kota-kota lain gencar membangun pusat perbelanjaan modern, Kota Blitar justru membatasi masuknya investor di bidang perdagangan dan lebih memilih menyediakan kios bagi pedagang kecil. Dengan cara tersebut, sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi 30,64 persen (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011) terhadap perekonomian wilayah, dapat tumbuh dengan pesat sekaligus bisa memberikan manfaat langsung bagi masyarakatnya. Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Pemerintah Kota Probolinggo, yang memberdayakan ekonomi lokal dengan jalan mendukung dan melakukan penataan pedagang kaki lima, di mana sekitar enam ratusan pedagang kaki lima tersebut didistribusikan ke sembilan kawasan strategis, kemudian memberikan mereka Kartu Kendali Pedagang Kaki Lima (KKPKL) sehingga para pedagang tersebut tidak bisa pindah ke tempat lain di luar yang telah ditentukan. Fasilitas permodalan juga disediakan untuk meningkatkan skala usaha. Dengan kebijakan ini, pemandangan kota yang indah dan teratur tetap terjaga, ekonomi rakyat juga bisa semakin berkembang, sehingga tidak salah jika The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) di tahun 2009 pernah menganugerahi Kota Probolinggo sebagai kota yang sukses dalam pemberdayaan ekonomi. Keunggulan dari kelompok ini adalah pencapaian kinerja pembangunan manusia yang juga tergolong tinggi. Menurut data dari BPS Provinsi Jawa Timur,
80
ketujuh kota tersebut masuk ke dalam 12 besar peraih Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di Jawa Timur. Bahkan, Kota Blitar menduduki peringkat pertama dengan nilai IPM tahun 2010 sebesar 77,42 disusul Kota Malang di peringkat ketiga dengan nilai IPM di tahun yang sama 77,20. Tabel 4.9 Indikator Makro Sosial 7 Kota dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Kota (1) Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Batu Jawa Timur
AHH (2) 72,23 70,32 70,17 66,37 71,56 71,01 69,44 69,58
AKB (3) 20,94 27,85 28,35 41,97 22,80 24,27 30,52 29,99
AMH (4) 97,24 97,20 92,49 96,41 97,12 97,79 98,26 88,02
RLS (5) 9,84 11,12 8,46 8,90 9,76 10,50 8,51 7,32
TPAK Kemiskinan (6) (7) 66,16 7,63 63,81 5,90 63,00 19,03 63,29 9,00 68,26 7,42 66,63 6,11 68,24 5,11 69,08 15,26
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011. Keterangan: AHH : Angka Harapan Hidup (tahun) AKB : Angka Kematian Bayi (persen) AMH : Angka Melek Huruf (persen) RLS : Rata-rata Lama Sekolah (tahun) AKB : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen) Kemiskinan : Persentase Jumlah Penduduk Miskin (persen)
Sementara itu, berdasarkan indikator makro sosial tahun 2010, pembangunan sumberdaya manusia di ketujuh kota tersebut secara umum juga lebih baik dari Jawa Timur, walaupun masih ada beberapa wilayah yang kurang optimal. Hal ini menjadi modal berharga untuk senantiasa mewujudkan keselarasan antara pembangunan ekonomi dan manusia. Kelompok 5, dengan ciri-ciri faktor ekonomi sangat tinggi, faktor sumberdaya manusia tinggi, dan faktor prasarana tinggi, memiliki 3 anggota, yaitu: Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik merupakan
81
kabupaten/kota yang menjadi basis industri di Jawa Timur di samping Kota Surabaya dan Kota Malang. Sebesar 45,65 persen (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011) kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Jawa Timur berasal dari kabupaten/kota tersebut. Perkembangan industri ini tidak terlepas dari pola spasial yang semula hanya di sepanjang koridor Surabaya-Malang atau disebut sebagai Pita Pembangunan, kini mulai melebar di kawasan Gresik dan Sidoarjo (SUGRESID) serta Kediri. Seiring dengan meningkatnya kuantitas maupun kualitas pembangunan dalam berbagai aspek, perkembangan Kota Kediri juga semakin pesat. Kota yang hampir 70 persen perekonomiannya ditopang dari sektor industri, khususnya industri rokok (PT Gudang Garam) ini, dalam beberapa kurun waktu terakhir mampu sejajar dengan Kota Surabaya, Kabupaten Gresik maupun Kabupaten Sidoarjo, sebagai daerah kantong penyangga utama perekonomian Jawa Timur. Sektor UMKM seperti industri kecil dan kerajinan rumah tangga, yang menjadi tumpuan masyarakat kecil terus didorong untuk turut serta berkontribusi bagi perekonomian daerah. Hal ini dibuktikan dengan produk Tahu Pong, jajanan khas Kota Kediri yang dihasilkan oleh industri rumahan. Beragam fasilitas perdagangan dan pariwisata, semakin memperluas diversifikasi ekonomi kota yang terkenal dengan wisata Selomangleng-nya ini. Kondisi tersebut didukung dengan banyaknya perguruan tinggi swasta dan pondok pesantren yang menarik pendatang sehingga meningkatkan tingkat konsumtif dari masyarakatnya. Di bidang pendidikan, pembangunan prasarana
82
sekolah baik dari level sekolah dasar hingga menengah atas terus diupayakan. Bahkan di tahun 2009, Universitas Brawijaya yang berbasis di Malang membuka kampus di kota ini dan diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat Kota Kediri dan sekitarnya. Berdekatan dengan pusat bisnis kawasan Indonesia Timur (Surabaya), kemudahan akses ke Pelabuhan Laut Tanjung Perak maupun Bandar Udara Juanda, didukung sumberdaya manusia yang produktif menjadikan perkembangan ekonomi Sidoarjo begitu pesat. Gangguan bencana lumpur lapindo yang melanda mulai tahun 2006 hingga saat ini, tidak secara mutlak menjadikan kabupaten ini begitu terpuruk. Tercatat kurang lebih 16 ribu unit usaha (Dinas Koperasi UMKM Kabupaten Sidoarjo, 2011) beroperasi di daerah ini. Iklim sosial politik yang kondusif semakin menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Timur Tahun 2011, struktur perekonomian daerah yang terkenal dengan krupuk udangnya ini didominasi oleh sektor industri pengolahan dengan kontribusi 48,68 persen. Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di wilayah ini di antaranya adalah PT. Charoen Pokphand Indonesia, Tjiwi Kimia, JAPFA dan Langgeng Makmur Industri. Sedangkan industri mikro kecil yang cukup berkembang adalah sentra industri kerajinan tas dan koper di Tanggulangin, sentra industri sandal dan sepatu di Wedoro-Waru dan Tebel-Gedangan, serta sentra industri kerupuk di TelasihTulangan. Besarnya potensi sektor industri tersebut, menjadi landasan bagi pemerintah daerah setempat untuk terus melakukan ekspansi, salah satunya
83
dengan cara mengembangkan kawasan industri Siborian (Sidoarjo, Jabon, Krian). Sesuai dengan namanya, kawasan industri tersebut berada di tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Sidoarjo, yaitu Kecamatan Sidoarjo, Kecamatan Jabon serta Kecamatan Krian. Dengan adanya industri yang terkonsentrasi ini, diharapkan dapat memberikan stimulus bagi perkembangan sektor lain. Sementara di sektor perdagangan, saat ini telah dibangun Puspa Agro, pasar induk terbesar dan terlengkap di Indonesia, yang mengintegrasikan berbagai produk agro dalam satu kawasan yang tertata rapi. Dengan dukungan fasilitas yang lengkap dan memadai, Puspa Agro menjadi ikon baru sektor perdagangan di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini tentu semakin meningkatkan perekonomian daerah. Sebagaimana dengan Kabupaten Sidoarjo, Gresik juga tumbuh menjadi daerah industri terkemuka. Beberapa industri di Gresik antara lain Petrokimia Gresik, Semen Gresik, BHS-Tex, Nippon Paint, Industri perkayuan/Plywood serta Maspion. Tingginya kontribusi sektor industri yang mencapai 49,98 persen (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011) menjadi bukti empiris bahwa Kabupaten Gresik sangat bergantung pada sektor tersebut. Di daerah yang terkenal dengan sebutan kota pelabuhan ini, juga terdapat sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap berkapasitas 2.200 MW. Dibangunnya infrastruktur jalan tol Surabaya-Manyar, yang menghubungkan Gresik dan Surabaya, semakin membuka akses untuk mengembangkan perekonomian. Di sisi lain, sektor wiraswasta juga menjadi salah satu sumber ekonomi bagi masyarakatnya di antaranya industri songkok, pengrajin tas, pengrajin perhiasan emas dan perak, industri garment (konveksi). Pengembangan infrastruktur fisik seperti Bandara Juanda, revitalisasi
84
Terminal
Bis
Bungurasih
serta
pembangunan
jalan
layang
yang
menghubungkan Sidoarjo, Gresik dan daerah lain di sekitarnya, semakin memperkokoh jalannya roda perekonomian di wilayah ini. Kondisi tersebut pada akhirnya juga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan maupun
ketenagakerjaan
bagi
penduduk.
Dengan
kata
lain,
proses
pembangunan ekonomi bisa sejalan dengan pembangunan manusia sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri. Menurut data BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2010, kondisi pembangunan sumberdaya manusia Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik bisa dikatakan cukup berhasil. Hal ini diindikasikan dengan pencapaian beberapa indikator makro sosial dari ketiga daerah tersebut (Tabel 4.10), yang secara umum (kecuali tingkat kemiskinan Kabupaten Gresik) lebih baik dibandingkan kondisi Jawa Timur. Tabel 4.10 Indikator Makro Sosial Kota Kediri, Kabupaten Kabupaten Gresik serta Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Wilayah
AHH
AKB
AMH
(1)
(2)
(3)
(4)
Kota Kediri 70,40 27,29 97,61 Kabupaten Sidoarjo 70,57 25,43 97,41 Kabupaten Gresik 70,98 24,29 94,47 Jawa Timur 69,58 29,99 88,02 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011.
RLS
TPAK
Sidoarjo,
Kemiskinan
(5)
(6)
(7)
10,19 9,87 8,63 7,32
66,54 68,81 67,07 69,08
9,31 7,45 16,42 15,26
Keterangan: AHH : Angka Harapan Hidup (tahun) AKB : Angka Kematian Bayi (persen) AMH : Angka Melek Huruf (persen) RLS : Rata-rata Lama Sekolah (tahun) AKB : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (persen) Kemiskinan : Persentase Jumlah Penduduk Miskin (persen)
Uraian tersebut dapat memberikan gambaran bahwa sinergi yang
85
berjalan baik antara pembangunan ekonomi (dengan didukung pembangunan prasarana) dan pembangunan manusia, merupakan kunci untuk menciptakan kemajuan suatu daerah. Dari hasil klasifikasi dan pencapaian kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka didapat nilai konversi kategori skor faktor dari masingmasing kelompok seperti yang terlihat pada Tabel 4.11: Tabel 4.11 Nilai Konversi Kategori Skor Faktor Pada Masing-masing Kelompok Jumlah Nilai
Kategori dan Nilai Skor Faktor Kelompok Ekonomi
Nilai
Sumberdaya Nilai Prasarana Manusia
Nilai (3)+(5)+(7)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Kelompok 1
ST
5
T
4
ST
5
14
Kelompok 2
S
3
R
2
R
2
7
Kelompok 3
S
3
S
3
S
3
9
Kelompok 4
S
3
T
4
T
4
11
Kelompok 5
ST
5
T
4
T
4
13
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS. Keterangan: ST = Sangat Tinggi T = Tinggi S = Sedang R= Rendah SR = Sangat Rendah Berdasarkan jumlah nilai yang tertera pada kolom 8 Tabel 4.11 tersebut,
selanjutnya
dapat
dilakukan
pengurutan
pencapaian
kinerja
pembangunan daerah dari lima kelompok yang terbentuk sebagai berikut: Peringkat I diduduki oleh Kelompok 1 dengan anggota Kota Surabaya, disusul kelompok 5 di peringkat II yang beranggotakan Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Peringkat III ditempati oleh Kelompok 4 yang memiliki 7 anggota, yaitu: Kota Blitar, Malang, Probolinggo, Pasuruan,
86
Mojokerto, Madiun, dan Batu. Kelompok 3 yang berjumlah 17 anggota, yaitu Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Banyuwangi, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Tuban dan Lamongan berada di urutan ke IV. Sedangkan peringkat ke V diraih oleh kelompok 2 yang terdiri dari Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Bojonegoro, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Peta hasil klasifikasi dan pengurutan bisa dilihat pada Gambar 4.5:
23
21 20
19 77
18 71
02 01
03
26
24
22
04
25 78 76 15 17 16 75 06 79 14 73 72 05
07
27
74 08
28
13
29
11
12
09 10
N W
E S
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011, diolah. Gambar 4.5 Peta Hasil Klasifikasi dan Pengurutan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Keterangan: : Peringkat I (kelompok 1) : Peringkat II (kelompok 5) : Peringkat III (kelompok 4) : Peringkat IV (kelompok 3) : Peringkat V (kelompok 2)