http://contoh.in
PROTES PILKADES: PERLAWANAN RAKYAT TERHADAPHEGEMONINEGARA M. Syahbudin Latief'
Latar Belakang
"Jumari (28) terkapar bersimbah darah. Warga Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Pati (Jateng) ini menjadi korban peluru nyasar yang ditembakkan petugas, saat pengamanan amukan massa berkaitan dengan penyelenggaraan pemi/ihan kepala desa (pi/kades) di Desa Sundoluhur, Keeamatan Kayen, Kabupaten Patio Gedung balai desa dibakar, mobil petugas pun sempat dirusak oleh amukan massa, yang diduga datang dari para pendukung salah satu eakades (ealon kepala desa) yang tak lulus ujian" (Kompas, 14 Desember 1997)1 Kutipan berita di atas adalah sekelumit gambaran penyelenggaraan 2 Pilkades di Jawa, pada masa pemerintahan Orde Baru Petugas yang melakukan penembakan, gedung balai desa yang dibakar dan mobil petugas yang dirusak adalah simbol-simbol yang mewakili kepentingan negara. Adapun massa yang mengamuk adalah rakyat desa, pendukung salah seorang calon kepala desa, yang merasa kecewa dan tidak puas terhadap penyelenggaraan Pilkades yang dianggap tidakjujur. Pada era Orde Baru Pilkades telah berlangsung dalam dua gelombang, gelombang 1 dilaksanakan pada periode 1988-1989 dan gelombang II pada periode 1996-1997. Baik pelaksanaan Pilkades pada gelombang I maupun II menimbulkan berbagai macam gejolak dalam masyarakat desa.' Studi
• Pengarnat MasalahPolitikLokal, StafPusat StudiKependudukan dan Kebijakan UGM.
74
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 210212002
http://contoh.in
Douglas Kammen (2000) menunjukkan bahwa terjadi banyak protes dalam pelaksanaan Pilkades di Jawa." Protes Pilkades muncul dalam berbagai bentuk dan dipicu oleh banyak alasan. Tabel berikut memperlihatkan macam-macam a1asan dan bentuk protes dalam pelaksanaan Pilkades di Jawa,
L Panitia Korupsi 2. Calon ditolak 3. Calon diijinkan 4. Calon tidak disukai 5. Calon tunggal 6. Calon memalsu dokumen
1 15 2 10 3
4 1
9. 10. 1L 12. 13. 14.
Menghalangi pemberian suara Pemilih tidak memenuhi syarat Pembelian suara Penghitungan suara Intimidasi Menolak hasil Pilkades/kades terpi/ill Tidak diketahui Total Persentase (%)
10 1
31 8,1
5 1,3
21 21 6 1 1
2 2
1
7
1
7. Campur tangan pejabat 8.
3 11 3 1
1 3
1 2
4 8
4
2
15
2 11 2 39
1 8 2 32
33 114 29,8
1 2 2
4
24 23 4 22
4
2 4 1 2
23
58
2
4
82 21,5
215 56,3
12 3,1
22 5,8
Somber: Douglas Kanunen, Pilkades: Democracy, Village Elections andProtest in Indonesia, 2000 Ket: J = Jumlah kejadian K = Ada kekerasan selama prates berlangsung Lain-lain = Kirim sural kepada pemerintah, pengaduan ke LSM, laporanlpendekatan kemedia massa; semuanya dilakukan secara kolektif DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
75
http://contoh.in
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dalam waktu 17 bulan telah terjadi prates sebanyak 382 kali dalam rangkaian penyelenggaraan Pilkades di desa-desa di Jawa. Ini artinya dalam satu bulan rata-rata terjadi 22 kali prates. JumIah protes itu tentu amat fenomenal. Apalagi, sebanyak 99 kasus dari keseluruhan prates yang terjadi disertai dengan tindak kekerasan (25,9 %). Protes dalam bentuk demonstrasi untuk menolak hasil Pilkades (menolak kepala desa terpilih) tampaknya telah menjadi suatu kecenderungan umum di desa. Hal itu ditunjukkan oleh besarnya jumlah kejadian, yaitu sebanyak 39 kali. Ini berarti dalam sebulan terjadi antara 2 hingga 3 kali protes dalam bentuk demonstrasi menentang hasil Pilkades di desa-desa di Jawa, selama penyelenggaraan Pilkades gelombang II. Bahkan, sebanyak 32 kejadian (82 %) disertai dengan tindak kekerasan. Pertanyaannya kemudian ialah mengapa timbul protes. Apakah dalam setiap penye1enggaraan Pilkades kerap terjadi kecurangan-kecurangan, yang akhimya menerbitkan ketidakpuasan, kekecewaan dan protes dari masyarakat. Studi Pilkades di Jawa Studi tentang Pilkades di Jawa oleh Sartono Kartodirdjo (1992), Frans Husken (1994), Enny Nurbaningsih (1994), Douglas Kammen (2000), dan Nico L. Kana (2000) memperlihatkan perbedaan dalam fokus perhatian dan sudut pandang. Studi Sartono lebih menekankan pada cara-cara yang digunakan oleh para calon kepala desa untuk menarik simpati masyarakat dalam pemilihan (melalui berbagai taktik, trik, intrik, kasak-kusuk, dan intimidasi), sedangkan Husken melihat peristiwa Pilkades dalam kaitannya dengan kedudukan dan peran negara (baik pada masa kolonial maupun Orde Baru). Dari perspektif hukum, Enny Nurbaningsih menemukan adanya kelemahan dalam aturan pelaksanaan Pilkades khususnya ketentuan tentang pemilihan ulangan, baik oleh karena tidak tercapainya kuorum ataupun tidak terpenuhinya jumlah suara terbanyak mutlak (Permendagri No. 6/1981). Dalam praktik, ketentuan itu tidak dapat dijalankan antara lain karena kesulitan dalam penyediaan anggaran (yang dibebankan kepada panitia tingkat desa dan cakades). Kelemahan dalam aspek yuridis ini 76
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
http://contoh.in
juga memicu terjadinya protes dari penduduk desa, sebagaimana yang terjadi di Desa Ngestiharjo, Ku10n Progo, pada 16 Januari 1993 (Enny N. 1994). Sementara itu Kammen menyoroti terjadinya banyak protes, yang sering disertai dengan kekerasan, pada penyelenggaraan Pilkades di Jawa (khususnya di Jawa Tengah) baik pada periode 1988-1989 maupun 19961997. Dari hasil telaahnya Kammen berpendapat bahwa protes Pilkades merupakan cerminan dari terjadinya persaingan yang sengit di antara warga desa untuk memiliki kewenangan mengawasi dan "mernanfaatkan" sumberdaya desa (terutama tanah rnilik desa yang subur, terrnasuk tanah bengkok). Adapun studi Nico 1. Kana di 3 desa di wilayah Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang cukup berarti dalam strategi persaingan Pilkades, baik pada masa Orde Baru maupun pada awal reforrnasi. Faktor adanya garis keturunan dari sesepuh desa atau kepala desa terdahulu baik secara langsung maupun tidak (trah lurah, Faktor genealogis), masih menjadi penentu kemenangan seorang cakades.Disarnping itu adanya dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat desa (terrnasuk "tokoh hitam" - dalam kasus penelitian Nico ditemukan adanya tokoh preman atau tokoh "kelompok terminal") dan tentu saja praktik "politik uang"tetap berperan besar. Namun, Nico mencatat bahwa persaingan dalam Pilkades pada masa awal reforrnasi menunjukkan adanya tanda-tanda pergeseran dari strategi mobilisasi massa yang berlandaskan pada solidaritas tradisional ke arah solidaritas asosiasional. Hal itu ditunjukkan oleh adanya pengorganisasian para pemilih yang berasal atau bekerja di luar kota (kelompok perantau atau boro), yang didukung oleh (tampilnya) seseorang penyandang dana yang kuat, Selain itu, dalam kampanye "panitia pemenangan" diperlengkapi dengan perangkat komputer dan alat komunikasi HT (handy talkie). Berdasarkan studi kasus Pilkades di 10 desa di Jawa Tengah, Sartono berpendapat bahwa proses demokratisasi di desa berlangsung secara wajar dan bahkan kesadaran partisipasi politik rakyat sudah sangat maju (1992). Hal itu terjadi karena masyarakat desa tengah mengalami proses perubahan perilaku, sikap dan cara berpikir, Perubahan masyarakat desa antara lain terjadi karena dampak pembangunan (modernisasi desa) yang ditandai oleh adanya perbaikan infrastruktur, masuknya sarana transportasi, elektriDINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
77
http://contoh.in
fikasi, sarana komunikasi, monetisasi, dan komersialisasi. Akibat lebih lanjut dari terjadinya perubahan sosial di desa ialah melemahnya ikatan komunal, ikatan primordial dan ikatan patron-client. Hal ini berarti ada perluasan ruang sosial budaya untuk pertumbuhan pribadi ke arah individualisasi, akumulasi hasil kerja, kreativitas dan semangat kewiraswastaan (entrepreneurship). Perekonomian desa yang semula mengacu pada nilainilai moral bergeser ke nilai-nilai yang bersifat rasional (1990). Partisipasi rakyat yang tampil dalam Pilkades tidak lagi sepenuhnya berdasarkan ikatan moral atau paksaan (coercive), tetapi mulai muncul partisipasi yang bersifat rasional-kalkulatif karena digerakkan oleh pemberian imbalan (remunerasi). Solidaritas komunal masyarakat bergeser ke arah pembentukan solidaritas asosiasional (1992). Dengan kata lain telah terjadi transfonnasi struktural di desa, yang mengakibatkan diferensiasi kelompok beserta kepemimpinannya (1990). Jika dari perspektif transfonnasi struktural Sartono optimis terhadap masa depan perkembangan politik dan proses demokratisasi di desa (antara lain melalui media Pilkades), maka Husken melihat bahwa pelaksanaan Pilkades pada masa Orde Baru sesungguhnya merupakan upaya pemerintah pusat mengintegrasikan administrasi desa ke dalam satu garis komando sistem birokrasi pusat. Upaya itu antara lain dilakukan melalui penyeragaman stnuktur, fungsi, tugas dan bahkan nama "desa" sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979. Hal itu dapat dilakukan setelah pemerintah Orde Baru memiliki sumber keuangan yang memadai, yang didapat dari rezeki minyak (economic boom pada awal I 970-an). Oleh karena itu, Husken justnu mempertanyakan apakah Pilkades benar-benar dapat menjadi sarana untuk melahirkan tipe kepemimpinan (kepala desa) banu yang diharapkan oleh pemerintah Orba, yang memegang prinsip efisiensi, efektivitas dan rasionalitas sebagaimana tuntutan pembangunan (1994). Dari kajian terhadap Pilkades di 10 desa di Pati, Husken berpendapat negara telah gagal mendapatkan tipe kepala desa yang diidealkan itu. Pilkades yang diperkenalkan sejak pemerintahan Raffles (1811-1816), lebih menupakan sarana kontrol negara terhadap perkembangan politik rakyat desa ketimbang perwujudan demokrasi di tingkat desa. Raffles dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda melakukan kebijakan Pilkades (dengan sistem gaji benupa pemberian tanah bengkok), karena peme78
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 210212002
http://contoh.in
rintah tidak mampu membayar besarnya biaya gaji untuk ribuan kepala desa beserta birokrasinya di seluruh Indonesia (Hindia Belanda), khususnya di Jawa. Tindakan ini merupakan implementasi dari politik kolonial Belanda yang dikenal dengan kebijakan indirect rule. Menurut Kammen, ada dua alasan mengapa seorang warga desa ingin menjadi kepala desa, Pertama, kepala desa memiliki kewenangan untuk mengontrol sumberdaya desa (termasuk tanah dan hutan), sehingga memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya itu untuk kepentingan pribadi. Kedua, kepala desa adalah "pintu masuk" bagi orang dari luar desa untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumberdaya desa (baik rnanusia maupun alamnya). Oleh karena itu, protes Pilkades mencerminkan adanya persaingan antar warga desa untuk mendapatkan kewenangan mengontrol sumberdaya desa. Di samping itu protes Pilkades juga berkaitan dengan peran negara dalam fungsinya mejembatani hubungan atau kepentingan antar kelas agraris desa. Kammen melihat peristiwa Pilkades menyingkapkan adanya dua kelompok sosial di pedesaan Jawa yang sebagian saling tumpang tindih. Di satu pihak ada kelompok elit pemilik tanah (the landed elite), sementara di pihak lain terdapat petani-petani rniskin dan tidak merniliki tanah. Seorang calon kades yang kebetulan kaya dapat memobilisasi baik sumberdaya material maupun manusia untuk memenangkan Pilkades. Dalam pandangan petani rniskin tindakan itu tidak menjadi masalah. Pertanyaannya, apakah mobilisasi sumberdaya dan/atau penggunaan jabatan oleh si kaya itu akan membawa keuntungan bagi si miskin. Jika menguntungkan bagi si rniskin, sang cakades akan diterima dan mendapat dukungan. Akan tetapi, jika sang cajon dianggap telah menggunakan sumberdaya desa untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya, maka penduduk miskin desa akan marah dan meJakukan prates. Hubungan Negara - Rakyat Studi ini ingin mengkaji munculnya prates Pilkades dalam perspektif hubungan negara dengan rakyat (negara vis-a-vis rakyat di desa).' Studi Husken (1994) dan Kammen (2000) sesungguhnya juga menyinggung kehadiran negara dalam peristiwa Pilkades. Hiisken melihat negara dalarn perannya sebagai penyeJenggara birokrasi modem (bersifat legal-rasional). DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
79
http://contoh.in
Penataan birokrasi di tingkat desa oleh pemerintah Orde Baru (diantaranya melalui penyelenggaraan Pilkades berdasarkan UU No. 5/1979), 6 menurut pengamatan Hiisken, telah gagal menghasilkan elit desa yang modern (efisien dan rasional) yang dibayangkan akan dapat mengikuti gaya birokrasi pusat, demi memacu gerak pembangunan, Yang terjadi adalah munculnya para kepaia desa yang tetap berorientasi kepada nilai-nilai primordial dan menjunjung nilai-nilai lama (tradisionai), Sementara itu Kammen (2000) melihat negara dalam fungsinya sebagai mediator dan regulator kepentingan atau hubungan antara petani pemilik tanah (petani kaya) dan petani tuna kisma (petani miskin), yang dapat diduga bias kepada petani kaya (kebijakan betting on the strongy? Munculnya protes Pilkades, menurut Karnmen, lebih disebabkan karena perebutan faktor ekonomis (tanah bondho desa dan bengkokv. Dari perspektif ekonorni politik dapat dikatakan bahwa kebijakan Pilkades sesungguhnya hanya menguntungkan penduduk desa yang mampu (petani kaya), yang memang "dikehendaki" oleh negara, DaJam pelaksanaan Pilkades, kepentingan negara tampak dalam keterlibatan aparatnya sebagai panitia Pilkades di tingkat kabupaten, yang memiliki "hak veto" untuk meluluskan atau menggugurkan seorang cakades tanpa kriteria yang jelas (melalui mekanisme litsus, ujian lisan dan tertulis)." Dalam kajian tentang hubungan antara negara dengan rakyat desa, kebijakan pembangunan masyarakat desa (pMD) dipandang sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan kedua unit politik itu 9 Sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, kebijakan PMD juga dikonseptualisasikan sebagai cara pengkonsolidasian wilayah teritorial dan pengintegrasian kehidupan masyarakat desa ke dalam kehidupan nasional (M. Mas'oed, 1994). Dalam perspektif ini, program PMD yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru mengandung dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif 10 Pertama, PMD merupakan proses "mernasukkan desa ke dalam negara" (the village becomes part of the state), yaitu melibatkan rakyat desa agar berperanserta dalam aktivitas masyarakat yang lebih luas (process of citizen partisipationj. Hal ini dilakukan melalui pengenalan lembaga-lembaga baru dalam kehidupan desa dan penyebaran gagasan modernitas. Kedua, PMD juga merupakan proses "rnemasukkan negara ke dalam desa" (the state becomes part of the village). Ini adalah 80
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 210212002
http://contoh.in
proses memperluas kekuasaan dan hegemoni negara sehingga merasuk ke dalam kehidupan masyarakat desa, yang mengakibatkan peningkatan ketergantungan desa terhadap negara (process of extended domination). Proses pertama membuka peluang bagi rakyat desa untuk terlibat dalam aktivitas pembangunan nasional. Melalui program PMD warga desa dapat . memperoleh akses ke berbagai jenis sumberdaya pembangunan yang dimiliki negara (material maupun politik). Berbagai jenis proyek pembangunan telah berfungsi sebagai penyalur banyak sumberdaya ke pedesaan. Sebagian besar kebijakan publik itu telah berhasil memobilisasi penduduk desa sehingga bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggungjawab sebagai warga negara. Dengan demikian, proses ini telah membuka jalan menuju partisipasi, modernisasi, dan demokratisasi. Dalam proses kedua (penetrasi negara ke dalam desa), warga desa akan punya akses ke sumberdaya negara jika negara juga memiliki akses ke kehidupan desa. Melalui berbagai aturan main yang mendukung program PMD, negara menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang disusunnya, yang tentu akan mempengaruhi corak kehidupan seharihari warga desa." Penetrasi itu dilakukan antara lain melalui kooptasi atau pembentukan lembaga baru yang didominasi negara (misal: LKMD), atau melalui pejabat negara yang ditugaskan di desa. Akibatnya, lembaga desa yang berbeda dengan bentuk yang ditentukan oleh negara kehilangan keabsahannya (Hirsch, 1989; M. Mas'oed, 1994). Bagaimana posisi dan peranan pemerintah desa (terutama kepala desa) dalam proses penetrasi negara ke dalam desa. Untuk memaharni posisi dan peran pemerintah desa ada dua hal yang harus dicermati, yaitu: proses rekrutmen kepala desa dan fungsi perangkat desa. Bukan rahasia lagi bahwa keberhasilan seseorang untuk terpilih menjadi kepala desa, lebih ditentukan oleh wewenang di atas desa daripada oleh para pemilih dari dalam desa. Akibatnya, tanggungjawab dan ketergantungan kepala desa kepada pejabat negara di atas desa lebih besar ketimbang kepada warganya sendiri.F Kecenderungan orientasi keluar dari kepala desa beserta perangkatnya dapat pula dipahami dari begitu banyak dan beragarnnya fungsi yang harus ditangani oleh kepala desa. Hal itu berlaku sejak pemerintah Orde Baru menilai prestasi seorang kepala desa atas dasar kemampuannya melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pusat, DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
81
http://contoh.in
bukan kemampuannya mengembangkan dan mengelola surnberdaya lokal.!' Sementara itu, hampir semua departemen memiliki proyek pembangunan yang pelaksanaannya memerlukan kepala desa sebagai pelaksanr lapangan. Konsekuensinya, sebagian besar waktu dan tenaga kepala des, tercurah kepada proses penerapan kebijakan dari atas. Sebaliknya, kesernpatan untuk memperhatikan hubungannya dengan warga desa menjad amat kurang. Akibatnya lebih lanjut ia!ah kepala desa menempati posis kunci dalam relasi negara-desa. OIeh karena negara adalah pemilik sum berdaya yang sangat besar, maka posisi kunci itu membuka kesempatar besar bagi kepala desa untuk memanfaatkannya demi memperkuat kedu dukannya (baik secara ekonomis maupun politis) di hadapan warga desanya. Penetrasi negara ke dalam kehidupan rakyat desa dapat berjalan efekti selama Orde Baru karena dua alasan. Pertama, adanya dukungan jaringai administrasi tentorial militer yang berjalan sejajar dengan jaringan admi nistrasi teritoria! sipil. Di tingkat desa kehadiran negara direpresentasikai oleh lembaga pemerintah desa dan institusi keamanan negara, yang terdir dan aparat kepolisian (Bimmas= Bimbingan Masyarakat Desa) dan milite (Babinsa= Bintara Pembina Desa). Kedua, adanya sistem perwakilai kepentingan, yang menghubungkan negara dengan rakyat desa melalu jaringan organisasi-organisasi fungsional non-ideologis (model "korpora tisme negara"). Dalam sistem perwakilan kepentingan model "korpora tisme negara" (state corporatism), partisipasi spontan rakyat menjad lemah karena digantikan oleh organisasi-organisasi yang dibentuk olel negara untuk memobilisasi rakyat untuk melaksanakan policy pemerintah Ciri organisasi yang bersifat state corporatism ialah: unit konstituenny berjumlah terbatas, tunggal, keanggotaan bersifat wajib, tidak satin bersaing, diatur secara hirarkis, rekrutmen anggota berdasarkan fungi atau profesinya, memperoleh monopoli dalam mewakilkan kepentinga pada bidang tertentu, mendapat pengakuan/ijin dari (atau bahkan dicipta kan sendiri oleh) pemerintah dan pemilihan kepemimpinan serta artikula: kepentingannya dikendalikan oleh pemerintah. Sistem ini dirancang untu meniadakan konflik antar kelas dan antar kelompok kepentingan, sert untuk menciptakan hubungan antara negara dan rakyat yang bersifa serasi, penuh solidaritas dan kerjasama. Penerapan model "korporatis:n negara" oleh pemerintah Orde Baru telah menghilangkan kemajemuka 82
OINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/021200
http://contoh.in
dalam kehidupan sosial dan politik pedesaan, selain itu memunculkan pengorganisasian kepentingan masyarakat dalam wadah-wadah yang serba tunggal. Petani rnisalnya diwadahi dalam HKTI, nelayan dan HNSI kaum ibu dalam PKK, pemuda dalam Karang Taruna, kegiatan koperasi dalam KUD dan seterusnya. Pemerintah berusaha sungguh-sungguh agar ormasonnas inilah yang menjadi satu-satunya jembatan antara negara dengan rakyat, karena cara ini diyakini dapat meminimalkan konflik sosial dan memaksimalkan produktivitas ekonomi. Namun, dalam praktiknya organisasi-organisasi itu lebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alat untuk mengendalikan perilaku (politik) warga desa. Ormas-onnas itu hampir tidak pernah memperjuangkan kepentingan anggotanya secara sungguh-sungguh (M. Mas'oed, 1994; Isbonoini S, 1996).
Hegemoni Kekuasaan'"
Di atas telah disinggung kecenderungan meluasnya kekuasaan negara yang bersifat hegemonik, seiring dengan masuknya negara ke dalam desa (the state becomes part of the village). Studi ini hendak mernanfaatkan konsep hegemoni dari Antonio Gramsci (1891-1937); seorang tokoh pernikir, aktivis, jurnalis dan politisi partai komunis Italia. 15 Hegemoni ialah sebuah istilah yang digunakan oleh Gramsci dan para pengikutnya untuk menunjukkan aspek-aspek non-kekerasan dari tindakan penguasa, yaitu kemampuan kelas dominan menguasai rakyat melalui agen-agennya dengan menyiasati nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat (Miller, 1987). "Masyarakat yang ditindas (oleh negara) tetapi merasa 'bahagia' dalam ketertindasannya", itulah hegemoni. Dengan kata lain, hegemoni ialah ideologi yang berhasil mendorninasi kesadaran masyarakat, yang tanpa sadar te1ah digiring masuk ke dalam cengkeraman suatu sistem kekuasaan negara (D. Kristanto, 2000). Dalam hubungan yang bersifat hegemonik, "kepemimpinan intelektual dan moral" suatu kelompok sosial terhadap kelompok sosiallain amat menonjol (A. Irwan, 1995).16 Telaah Gramsci tentang hegemoni berpusat pada persoalan tertindasnya kesadaran masyarakat oleh negara. Hubungan negara dengan rakyat merupakan tempat bersemayamnya hegemoni kekuasaan, dimana kehidupan rakyat mengalarni penjajahan oleh kekuasaan negara. Akibatnya, masyarakat tidak berdaya, karena tidak ada ruang bagi rakyat untuk DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
83
http://contoh.in
mengembangkan kesadarannya secara mandiri. Segala aspek kehidupan rakyat diatur oleh negara dan "anehnya" penindasan itu tidak disadari oleh rakyat. Hegemoni merupakan suatu kemenangan yang diperoleh bukan melalui suatu perebutan kekuasaan secara fisik (peperangan), namun lebih merupakan suatu kemenangan lewat konsensus. Kemenangan konsensus bisa diperoleh melalui lembaga-Iembaga yang ada dalam masyarakat. Lewat lembaga-lembaga itu diciptakan suatu struktur kekuasaan yang kuat, dimana masyarakat digiring untuk menilai dan memandang persoalan sosial-politik dalam kerangka tertentu yang seakan sudah diatur sedemikian rupa, sehingga mau tidak mau masyarakat tunduk untuk melihat realitas sosial dan politik sebagimana yang sudah digariskan oleh negara lewat lembaga-lembaganya. Negara yang bersifat hegemonik selalu berusaha untuk mengorganisasi massa, yang dibarengi dengan usaha untuk menebarkan paham-paham ideologi yang dominan kepada rnasyarakat.!" Jadi, ideologi merupakan salah satu faktor penting dalam proses hegemonisasi. Ideologi adalah bagaikan jerat yang bisa mematahkan kesadaran massa rakyat sehingga takluk pada dominasi kekuasaan. Dalam masyarakat modem dimana kapitalisme menjadi pilar utamanya, peranan ideologi lebih berupa "jaringan aktivitas perekonomian". Ada kecenderungan kuat bahwa manusia harus tunduk pada "logika ekonomi". Martabat manusia diukur dari sumbangannya pada proses produksi barang dan jasa, secara sempit. Jerat-jerat ideologi yang memunculkan aturan hegemonik mempunyai tingkatan-· tingkatan tertentu. Ada pengandaian bahwa seorang buruh, petani atau pedagang kecil mempunyai tingkat hegemoni tersendiri. Seorang sarjana, ulama dan para ahli juga berada pada tingkat hegemoninya sendiri. Seorang konglomerat dan para pejabat tinggi negara mempunyai tingkat hegemoni tertentu. Tingkatan-tingkatan itu didasarkan pada pemahaman dan kepentingan mereka terhadap negara. Itulah yang menjadi alasan mengapa seorang warga negara rnelakukan penyesuaian diri (conformity) terhadap negara. Ada tiga alasan mengapa orang melakukan konformitas terhadap negara. Pertama, karena takut akan konsekuensi atau resiko. Di sini konformitas ditempuh melalui tekanan dan sangsi yang menakutkan yang dilakukan oleh aparat negara. Kedua, karena terbiasa mengikuti cara84
DINAMlKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 210212002
http://contoh.in
cara tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Konformitas tipe kedua sesungguhnya merupakan bentuk partisipasi rakyat, namun tidak diwujudkan secara wajar sebab orang tidak memiliki kemampuan dan keberanian untuk menolak. Ketiga, konformitas yang muncul karena kesadaran dan persetujuan dengan unsur tertentu dalam masyarakat. Menurut Gramsci, hegemoni ditandai dengan ripe konformitas yang terakhir. Dengan demikian, konsep hegemoni Gramsci memiliki dua pengertian yang saling terkait. Pertama, terbentuknya konsensus di tingkat rakyat bawah. Tahap ini terjadi ketika rekayasa hegemoni negara memunculkan sosok negara yang kuat, sedangkan rakyat digiring pada persetujuan sukare1a terhadap aturan yang ada. Proses hegemoni terjadi ketika cara hidup, cara berpikir dan pandangan atau pemikiran rakyat bawah telah menerima dan meniru cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Ini berarti ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh golongan yang didominasi (M. Fakih, 2000). Kedua, hegemoni tampil secara kuat lewat aturan yang tercipta dari sistem ekonomi korporatif Dalam negara yang bersifat hegemonik, ideologi ekonomi menempati posisi superior. Institusi ekonomi menjadi andalan untuk menundukkan rakyat. Para penguasa berusaha mencari iegitimasi kekuasaannya melalui wibawa ekonomi. Penguasa yang sukses ialah penguasa yang berhasil membangun ekonomi masyarakatnya. Hal itu penting bagi pemegang kekuasaan untuk merebut hati rakyat agar tetap memberikan kepercayaan kepadanya. Oleh karena itu, etika politik selalu mendasarkan diri pada aspek ekonomi sebagai tolok ukur segala tingkah laku politik.
DINAMlKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
85
http://contoh.in
Referensi Alexander Irwan dan Edriana, Pemilu Pelanggaran Asas Luber: Hegemon, Tak Sampai. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995
Analisis lsi Surat Kabar
1.1'11 Sentral Bulan Juni 1988 di D.l. Yogyakartc dan Jawa Tengah: Pemilihan Kepala Desa. Laporan Penelitian Yogyakarta, Balai Penelitian Pers dan Pendapat Umum (BP3U), 1988
Dedy Kristanto, Negara dan Hegemoni. Konsep Hegemoni Kekuasaai. menurut Antonio Gramsci dalam Pemikiran Walter L. Adamsor dan Norberto Bobbio serta Kritik Atasnya dalam Pemikiran Jame: C. Scoll. Skripsi. Jakarta, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2000. ------------------, "Menertawakan Kekuasaan ala Antonio Gramsci". Basis No. 09-10, Sept-Okt 2001,59-64. Enny Nurbaningsih, Laporan Penelitian Pelaksanaan Pemilihan Ulangar Kepala Desa: Studi Kasus di Desa Ngestiharjo Kabupaten Kuloi Progo, di Desa Timbulharjo Kabupaten Bantu! dan di Desc Kalinanas Kabupaten Boyolali, FH UGM, 1994. Hirsch, Philip, "The State in the Village: Interpreting Rural Developmen in Thailand" Development and Change, Vol. 20 (I), 1989, 35-56. Husken, Frans, Negara dan Petani di Jawa. Sebuah Perbandingan Tigc Zaman (Peasants and Policy in Colonial and Postcolonial Java. Thr Underlying Continuity). Seri Bacaan Dunia Berkembang. Frant: Fanon Foundation, 1982. -----------------, "Village Elections in Central Java. State Control or Loea Democracy?", dalam Hans Antlov and Sven Cederroth (ed.) Leadership on Java: Gentle Hints, Authoritarian Rule. London Curzon Press, 1994.
-----------------, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarai Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta, Grasindo, 1998.
86
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/021200:
http://contoh.in
Isbonoini Suyanto, "Negara dan Desa: Dampak Politik Birokratisasi Pemerintahan Desa".Makalah Seminar Nasional Pembangunan, Polilik don Pemerinlahan Desa. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI),. Jember, 8 Juli 1996. Kammen, Douglas, "Pilkades: Democracy, Village Elections and Protest . in Indonesia". Makalah Seminar Intemasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan dan Harapan. Yayasan Percik-Ford Foundation. Yogyakarta, 3-7 Juli 2000. Laitin, David D., "Hegemony and Religious Conflict: British Imperial Control and Political Cleavages in Yorubaland", dalam Peter B. Evans, et.al. (ed.), Bringing the State Back In. Cambridge, Cambridge University Press, 1987. Lambang Triyono, "Negara dan Petani di Masa Orde Baru". Prisma, No. 12, Desember 1994, 73-84. Mansour Fakih, "Grarnsci di Indonesia: Pengantar", dalam Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Gramsci's Political Thought). Yogyakarta, Insist dan Pustaka Pelajar, 2000. Miller, D., "Hegemony", dalam David Miller (ed.), The Blackwell Encyclopaedia 0/ Political Thought, Blackwell Reference. Oxford, Basil Blackwell Ltd., 1987, p. 200 Mohtar Mas'oed, "Korporatisme dan Birokrasi Desa", dalam Politik, Birokrasi don Pembangunan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994. Nico L. Kana, "Strategi PengeloJaan Persaingan Politik Elit Desa di Wilayah Kecamatan Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa''. Makalah Seminar Intemasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan, dan Harapan. Percik-Ford Foundation. Yogyakana, 3-7 Juli 2000. Parsudi Suparlan (ed.), Pembangunan Yang Terpadu dan Berkesinambungan. Keterpaduan Pemanfaatan Sumber-sumber don Potensi Masyarakat untuk Peningkatan dan Pengembangan Pembangunan Masyarakat Pedesaan yang Berkesinambungan. Jakarta, Balitbang Depsos, 1994 DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 210212002
87
http://contoh.in
"Pemilihan Kepala Desa: Kepentingan Birokrasi atau Pengernbangan Demokrasi". Kompas, 14 Desember 1997. Pratikno, Beberapa Masalah Dalam Penerapan Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No. 5/1979. Laporan Penelitian. Fisipol UGM, 1988. ----------, "Pergeseran Negara dan Masyarakat Dalam 'Desa'", dalam Dadang J (peny), Arus Bawah Demokrasi: Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yogyakarta, LPU, 2000 Sartono Kartodirdjo,"Beberapa Segi Perubahan Struktural Dalam Perkembangan Masyarakat Pedesaan", Prospek Pedesaan 1986. P3 PK UGM,1986.
------------------------, "Transforrnasi Struktural di Pedesaan. Beberapa Pokok Permasalahan". Prospek Pedesaan 1987. P3PK UGM, 1987a. ------------------------, Faktor-faktor Endogin Masyarakat Pedesaan. Kepemimpinan, Kaderisasi, Komunikasi dan Lembaga-lembaga. P3PK UGM,1987b. ------------------------, "Kepemimpinan dan Pilkades Dalam Proses Demokratisasi". Prospek Pedesaan 1990. P3PK UGM, 1990. ------------------------ (ed.), Pesta Demokrasi di Pedesaan: Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa di Jawa Tengah dan DIY. Yogyakarta, Aditya Media, 1992.
88
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
Catatan kaki
http://contoh.in
Kejadian itu dipicu oleh rasa sakit hati para pendukung salah seorang calon kepala desa alas serangkaian dugaan kecurangan yang terjadi selarna proses Pilkades berlangsung, yang mengakibatkansang calon gagal ikul daiam pemilihan. Kecurangan-kecurangan itu antara lain: banyakpendukungsang cakadestidal< mendapatkankartu suara, adanya pernbelian suara, penyelenggaraan ujian tidak transparan. Lihat "Pemilihan Kepala Desa: Kcpentingan Birokrasi atau PengembanganDemokrasi". Kompas, 14 Desember 1997. I
2 Pilkades pada masa Orde Bam diselenggarakan berdasarkan UU No. 511979 tentang Pemerintahan Desa. Pasa!7 undang-undangitu mcnycbutkan: "Masajabatan kepala desa adalah 8 (delapan) tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk I (satu) kali masa jabatan berikutnya". UU No. 511979 dikeluarkan pada I Desember 1979.
, Penyebabnya: jumlah pemilih tidal< memenuhi kuorum, calon tunggal tidal< terpilih, calon favorit tidak Iulus ujian tulis, calon tersangkut OT (organisasi terlarang), penghitungan suara dilakukan dua kali (secara terbuka dan secara tertutup), kelcbihan suara pemilih (ada pemilih tidak sah), aksi boikot (sebagianpemilih sengaja tidak memberikan suaranya). Lihat Laporan PenelitianAnalisis lsi Sural Kabar lsu Sentral Bulan Juni 1988 di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah: Pemilihan Kepala Desa. Balai Penelitian Pers dan Pendapal Umum (BP3U) Yogyakana, hal 13 dan Kompas, op.cit. Menurut Kanunen, pada gelombang I terjadi 109 kasus protes, sedangkan pada gelombang 11 lerjadi 410 kasus (393 kasus atau 97 % terjadi di Jawa). Lihat Douglas Kammen. "Pilkades: Democracy, Village Elections and Protest In Indonesia". MakaJah Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan, dan Harapan, Pcrcik-Ford Foundation, Yogyakarta, 3-7 Juli 2000. 4
Ada dua paradigma dalam studi tentang hubungan antara negara dengan dcsa. Pertama, paradigma masuknya desa ke dalam negara (the entry of vii/age into state). Kedua, paradigma perluasan kekuasaan dan hegemoni negara ke dalam desa (extension ofstate power and hegemony into the Village). Lihat Hirsch (1989). 5
• Tujuan pemerintah mengeluarkan UUNo. 5/I979 ialah menggerakkan masyarakaldesa menjadi dinamisdan berpartisipasidaiam gerak pembangunan.Lihat Isbodroini S (19%). 7
Lihat HUsken (1982).
8 Titik kritis dalam prosedur Pilkades adalah pada proses penyaringan yang dilakukan .oleh pejabat kabupaten, Pada tahap penyaringandi tingkat kabupaten, kriteria penentuan lulus atau tidak daiam ujian awal tidak begitu jelas. Sulit diketahui apakah yang Iulus ujian itu memang dinilai memiliki kemampuan yang diperlukan dalam jabatan itu. Oleh karena ini, tidak heran jika banyak calon berusaha melakukan berbagai cara untuk mendapat vrestu" dari pejabatkabupaten. Lihat M. Mas'oed, 1994,127-128.
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
89
http://contoh.in
, Kebijakan pembangunan masyarakat desa (PMD) adalah sebuah produk kebijakar publik. Kebijakan publik adalah bagian dari mekanisme yang digunakan oleh pemerintal untuk menyelesaikan persoalan politik. Pada umumnya kebijakan publik dimanfaatkar oleh pemerintah sebagai sarana untuk mencapai tujuan polilik paling dasar, yain mempertahankan kekuasaan. Hal itu dilakukan dengan cara memobilisasi pendukung dar melemahkan penentang politiknya. Kebijakan yang tampak sangat teknis, seperti pro. gram penanggulangan kemiskinan, juga tidak lepas dari upaya pencapaian tujuan politik itu. Lihat M. Mas'oed, ibid. Penyelenggaraan Pilkades adalah bagian dari kebijakar PMD. Karena Pilkades diadakan alas dasar UU No. 5/1979 yang merupakan salah san produk kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah. 10
Lihat Hirsch, op.cil.
II Birokratisasi pernerintahan desa berarti mendudukkan pemerintahan desa sebagai perpanjangan tangan negara, UU No. 5/1979 dan Kepmendagri No. 27/1984 (tentang Susunan Organisasi dan Tata KeIja LKMD) telah mengubah mekanisme pemerintahan desa. Undang-undang itu yang direncanakan dapat mendinamiskan masyarakat dalarr memacu pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan, lelah menggeser mekanisme pemerintahan desa yang telah mereka warisi dari generasi ke generasi. Melalui LMD, LKMD serta organisasi lainnya seperti Karang Taruna atau PKK, desa sekarang berwajah etatis, birokratis dan sangat dependen. Dapat dikatakan desa telah kehilangan sifatnya yang populis ataupun demokratis. Lilia I Isbonoini S, op.cit.
12 Kecenderungan ini tampaknya memang "diinginkan" oleh negara, Pasal 3 sarnpai dengan pasal 20 UU No. 5/1979 mengukuhkan watak otoritarianisme dan outward oriented dari kepala desa. Pasal-pasal itu mendudukkan desa merupakan bagian yang lekat dengan pemerintah di atasnya. UU No. 511979 dan Kepmendagri No. 2711984 telah menobatkan kepala kepala desa sebagai "penguasa tunggal", karena kepala desa rnemegang kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Dari segi pertanggungjawaban pun undang-undang itu telah "rnerusak" desa, yakni desa tidak lagi mempunyai kekuasaan yang otonom karena kepala desa bukan bertanggungjawab kepada rakyatnya tetapi kepada instansi di atasnya yaitu kepada BupatiIWalikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Setelah itu kepala desa hanya menyampaikan keterangan pertanggungjawabannya kepada LMD. Kepala desa juga bukan dicopot oleh rakyat yang memilihnya tetapi oleh BupatilWalikotamadya Kepala Daerah Tingkat II alas nama Gubemur Kepala Daerah Tingkat I. Jelas bahwa UU No. 5/1979 telah mengubah pola mekanisme kepemimpinan dan struktur kekuasaan desa. Lihat Isbonoini S, ibid. 13 Menurut pendapat penulis, perubahan kriteria penilaian prestasi dan keabsahan kepala desa ini menunjukkan penurunan derajat atau kualitas figur kepala desa, dari seorang "perencana atau pemikir" menjadi sekedar seorang "pelaksana lapangan". Pergeseran itu terjadi seiring dengan diambilnya kekuasaan-kekuasaan adat desa untuk rnengelola ber-
90
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 210212002
http://contoh.in
bagai sumberdaya lokal untuk diserahkan kepada pernerintah di atasnya. Sebelum UU No. 5/19791ahir, desa telah kehilangan sebagian besar sumber penghasilannya, seperti: kekuasaan atas tanah yang didasarkan atas hak ulayat, kekuasaan untuk menggali pasir dan kerikil dari dasar kali atau danau, kekuasaan atas butan desa, kekuasaan atas pasar desa dan sumber-sumber lain yang menurut adat ada pada desa. Lihat Selo Soemardjan, "Potensi Desa Untuk Membangun", dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1994, 94-95. \4
Topik ini mendapat inspirasi antara lain dari tulisan Dedy Kristanto (2000, 2001)
is Teori hegemoni Gramsei termasuk dalam teori strukturalis semi-otonom (SSo). Teori SSo memandang negara sebagai lembaga politik yang bersifat semi-otonom. Teori ini memfokuskan pada soal bagaimana negara berperan menghadapi konflik berbagai kelas dan kelompok dalam masyarakat. Negara lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelas dan kelompok dalam masyarakat. Ditinjau dari teori ini, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara dunia ketiga adalah upaya menggalang sumberdaya untuk menengahi konflik yang teIjadi di antara kelas dan kelompok yang ada; terutama di antara kapital asing, kapital domestik dan kelompok-kelompok miskin. Lihat Lambang T (1994). is Gramsei berpendapat bahwa keunggulan sebuah kelompok sosial dapat dicapai melalui dna eara yaitu: "dominasi" atau pemaksaan kehendak, dan "kepemimpinan intelektual dan moral". Supremasi dalam bentuk kedua itulah yang dimaksud Gramsci sebagai hegemoni. Grarnsci menyadari bahwa pada kenyataannya dalam masyarakat selalu ada yang memerintah dan yang diperintah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar penguasa dapat memerintah dengan efektif, yaitu menearijalan yang meminimalkan perlawanan dan menciptakan ketaatan spontan di pihak yang diperintah. Pendek kala, bagaimana caranya menciptakan hegemoni, Lihat A. Irwan (1995). 17 Dalam kasus di Yoruba, Nigeria, praktik hegemoni ditandai oleh adanya penyiasatan terhadap kekuatan masyarakat loka! (manipulasi sumberdaya) dan "indoktrinasi" ideologi yang dilakukan oleh aparat adrninistrasi kolonial. Dengan menggunakan model kontrol hegemonik, pemerintah kolonial Inggris berhasil memanfaatkan elit lokal Yoruba yang memiliki legitimasi kuat untuk mengembangkan suatu masyarakat yang terstruktur dalam pelapisan keagamaan yang bersifat non-politis. Dengan melakukan kooptasi terhadap clit lokal yang legitimate ini, pemerintah kolonial Inggris berhasil mengontrol/rnempolitisasi masyarakat Yoruba yang berbeda agama dan membangun konsensus. Lihat Laitin (1987).
DINAMIKA Pedesaan dan Kawasan Vol. 2/0212002
91