PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropa Curcas) PADA BERBAGAI ORDER TANAH DI PULAU LOMBOK Novrizal1 dan Suwardji2 Mahasiswa dan Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jalan Majapahit No. 62 Mataram 83125; Telp. 0370-628143 1
2
ABSTRAK Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) sampai saat ini masih belum dibudidayakan secara khusus oleh masyaraka di Pulau Lombokt. Masyarakat umumnya menjadikan tanaman jarak pagar hanya sebagai pagar pembatas lahan. Potensi pengembangan tanaman jarak pagar sangat besar bila dibudidayakan di lahan yang ideal untuk pertumbuhannya. Disamping menghasilkan minyak yang dapat diolah menjadi bahan bakar, seluruh bagian tanamannya juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan obat-obatan. Pada saat ini belum ada kajian untuk menilai kesesuaian tanaman Jarak Pagar pada berbagai ordo tanah yang ada di Pulau Lombok. Informasi semacam ini sangat penting untuk mengetahui kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok untuk prospek pengembangan tanaman ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperiment yang dilakukan di rumah kaca. Ordo tanah yang digunakan yaitu ordo tanah Vertisol diambildari daerah Batujai, ordo tanah Entisol diambil ari daerah Mataram, ordo tanah Alfisol diambil dari daerah Masbagik, dan ordo tanah Inceptisol diambil dari daerah Kuripan. Parameter tanah yang diukur meliputi sifat fisik dan kima tana, sedangkan parameter tanaman yang diukur meliputi wakktu kecambah, tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun. Hasil penelitian menunjukkan ordo tanah vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 29.36 persen, tekstur tanahnya liat berpasir, memiliki pH netral (6,69), nilai C-Organik rendah (1,38%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,004%),pada ordo tanah Inceptisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34.09 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak masam (6,26), nilai C-Organik rendah (1,13%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,009%), pada ordo tanah Entisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.18 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak masam (6,12), nilai C-Organik rendah (1,33%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0051%), pada ordo tanah Alfisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35.89 persen, tekstur tanahnya lempung liat berpasir, memiliki pH agak masam (6,25), nilai C-Organik rendah (1,4%) dan nilai N total yang sangat rendah (0,0059%). Dari hasil pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang ordo tanah Alfisol menunjukan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dan diikuti oleh ordo tanah Entisol, ordo tanah Inceptisol dan ordo Vertisol. Dalam hal ini ordo tanah Alfisol dan Entisol merupakan ordo tanah yang paling sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar di Pulau Lombok. Kata kunci : Jarakpagar (Jatropha curcas), ordo tanah di Pulau Lombok, pengembangan tanaman jarak pagar
PENDAHULUAN Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti oleh meningkatnya harga BBM dunia telah berdampak langsung pada rakyat Indonesia. Meningkatnya harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah pada bulan Oktober tahun 2005 merupakan kenaikan harga BBM yang paling tinggi yaitu sebesar 108% (Pambudy, 2006). Harga BBM yang sangat tinggi menyebabkan inflasi dan membuat rakyat Indonesia akan semakin menderita. Terkait hal tersebut sudah saatnya sektor pertanian di Indonesia berfokus pada pengembangan tanaman yang dapat diproses menjadi bahan bakar alternatif pengganti BBM yang berasal dari minyak bumi. Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Tanaman ini memiliki potensi yang sangat menjanjikan, disamping kandungan minyaknya yang mencapai 30 – 50%, hampir seluruh bagian tanamannya juga dapat dimanfaatkan, diantaranya sebagai insektisida, pupuk, sampai kemungkinan memiliki bahan anti kanker (Pambudy, 2006). Tanaman Jarak Pagar mulai berbunga setelah berumur 3 – 4 bulan dan pembentukan buah mulai pada umur 4 – 5 bulan. Secara agronomis, tanaman ini dapat beradaptasi pada lahan maupun agroklimat di Indonesia, bahkan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering dengan tingkat curah hujan antara 300 – 1300 mm pertahun maupun pada lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah (Irfan, 2005). Salah satu daerah yang mempunyai lahan kritis yang sangat luas di Indonesia adalah daerah Nusa Tenggara Barat, dengan luas total lahan kritisnya mencapai 524.000 hektar yang tersebar di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Khusus di Pulau Lombok lahan kritis tersebar di Lombok Barat (92.925,409 ha) Lombok Tengah (92.225,794 ha), dan Lombok Timur (87.958,754 ha) (Suwardji dan Priyono, 2003). Berdasarkan data dari peta tanah tinjau NTB (BAPPEDA, 1988) Pulau Lombok juga memiliki empat ordo tanah yang paling dominan yaitu Entisol, Vertisol, Inceptisol, dan Alfisol. Untuk mengembangkan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran perlu dinilai tingkat kecocokkan tanah yang ada.
23
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan tanaman Jarak Pagar pada berbagai order tanah di Pulau Lombok yang sampai saat ini belum pernah dilakukan. Setiap ordo tanah memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda, Pulau Lombok memiliki empat ordo tanah yang paling dominan yaitu: Ordo Entisol, Ordo Vertisol, Ordo Alfisol, dan Ordo Inceptisol. Tingkat kecocokan tanaman jarak pagar pada berbagai ordo tanah di Pulau Lombok belum pernah diketahui. Hal ini penting untuk program pengembangan tanaman Jarak Pagar secara besar-besaran di Pulau Lombok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kecocokan ordo tanah yang ada di Pulau Lombok untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Manfaat dari program penelitian ini adalah (1), Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menanam tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang baik, (2) Dapat berguna bagi masyarakat dan instansi yang terkait dalam mengembangkan dan membudidayakan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) pada berbagai ordo tanah yang ada di Pulau Lombok.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2007 di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah, laboratorium Kimia dan Biologi Tanah, dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Metode yang digunakan pada program penelitian ini adalah metode eksperiment yang meliputi pengambilan contoh tanah dan percobaan penanaman tanaman jarak pagar di rumah kaca. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancanagan acak lengkap (RAL), dengan empat perlakuan yaitu: 1) Ordo Inceptisol, 2) Ordo Entisol, 3) Ordo Vertisol, dan 4) Ordo Alfisol. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak lima kali, semua pot percobaan akan diletakkan secara acak dan mendapatkan kondisi yang seragam. Pengambilan contoh tanah. Dalam penelitian ini contoh tanah yang diambil antara lain; (1) Contoh tanah agregat utuh yang digunakan untuk analisis struktur tanah, dan (2) Contoh tanah terusik yang digunakan untuk analisis tekstur, kadar lengas kering angin, kadar lengas kapasitas lapang, pH tanah, Corganik, dan N-total tanah. Pengambilan contoh tanah agregat utuh dan contoh tanah terusik diambil pada empat lokasi ordo tanah yang tersebar di Pulau Lombok antara lain: Ordo Vertisol diambil didaerah Batujai, Ordo Alfisol diambil didaerah Masbagik, Ordo Inceptisol diambil di daerah Kuripan, dan Ordo Entisol diambil di daerah Mataram pada kedalaman 0 – 20 cm, diambil secara acak sistematis dan contoh tanah terusik dari masing-masing daerah dikompositkan. Selanjutnya contoh tanah dimasukkan kedalam kantong plastik, diberi label, dan dipersiapkan untuk keperluan analisis sifat fisika dan kimia tanah. Persiapan contoh tanah. Contoh tanah yang telah diambil kemudian dikering anginkan selama 1 – 2 minggu. Selanjutnya di ayak menggunakan ayakan 0,5 mm untuk analisis fisika, kimia tanah, dan untuk penanaman menggunakan ayakan 2 mm. Percobaan Rumah Kaca meliputi persiapan Media Tanam. Masing-masing contoh ordo tanah yang telah diayak menggunakan ayakan 2 mm sebanyak 7 kg akan dimasukkan kedalam pot-pot percobaan yang berukuran 8 kg. Masing-masing pot pecobaan diulang sebanyak lima kali, kemudian disiram hingga mencapai kadar lengas kapasitas lapang. Persiapan Benih. Benih jarak pagar yang digunakan dipilih dari biji yang telah cukup tua yaitu dari buah yang telah masak, biasanya berwarna hitam dan diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi NTB. Sebelum ditanam, benih direndam dulu dalam air selama satu malam. Selain bertujuan untuk meningkatkan kadar air benih agar cepat berkecambah, perendaman juga bertujuan untuk mengadakan seleksi benih. Sebelum ditanam, benih juga dicelupkan kedalam larutan insektisida 2 cc per satu liter air. Pencelupan dilakukan setelah benih direndam dalam air, tujuannya untuk mencegah serangan serangga tanah, seperti rayap atau semut sewaktu benih berada di dalam tanah (Sujatmaka, 1992). Penanaman. Penanaman dilakukan dengan cara benih dimasukkan kedalam lubang tanam. Setiap lubang diisi dengan 3 – 5 benih. Hal ini bertujuan untuk menjaga kalau diantara benih ada yang tidak bisa berkecambah. Penyiraman. Penyiraman dilakukan secara rutin yaitu pada pagi atau sore hari, dan untuk mengetahui jumlah air yang harus ditambahkan maka dibuat pot sebagai control untuk masing-masing ordo tanah. Tujuannya untuk mempertahankan keadaan kadar lengas pada kondisi sekitar kapasitas lapang. Penjarangan. Penjarangan dilakukan pada umur delapan hari setelah tanam (HST). Tujuan dari penjarangan ini adalah untuk menyeleksi tanaman sehingga mendapatkan tanaman yang seragam. Penyiangan. Penyiangan dilakukan untuk membersihkan tanaman pengganggu yang tumbuh disekitar tanaman utama dengan cara manual yaitu mencabut dengan tangan. Parameter tanah, Parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas tanah meliputi parameter sifat fisik dan kimia tanah yaitu kadar lengas (kering angin, kapasitas lapang), tekstur tanah, struktur tanah
24
(bj tanah, bv tanah), pH tanah, C-organik, dan N-total tanah. Parameter tanaman, waktu Kecambah (hari). Pengamatan dilakukan pada waktu biji mulai di tanam sampai dengan 7 HST. Tinggi Tanaman (cm). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman berumur 93 hari setelah tanam (hst) dengan menggunakan penggaris dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi tanaman. Jumlah Daun (helai). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HST sampai dengan tanaman berumur 93 HST dengan cara menghitung jumlah daun yang terdapat pada setiap tanaman. Diameter Batang (cm). Pengukuran dilakukan pada waktu tanaman berumur 9 HSTsampai dengan tanaman berumur 93 HST dengan mengunakan jangka sorong.
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Pengambilana Contoh Tanah Beberapa ordo tanah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tanah yang digunakan untuk penelitian No
Ordo Tanah
Lokasi
Penggunaan Lahan
1. 2. 3. 4.
Vertisol Inceptisol Alfisol Entisol
Batujai/Praya Barat/Loteng Kuripan/Lobar Masbagik/Lotim Mataram/Kodya Mataram
Kebun Tegalan Tegalan Kebun
B.
Sifat Fisik dan Kimia Berbagai Ordo Tanah
Kadar Lengas Tanah Kadar lengas tanah menunjukkan jumlah kandungan air didalam tanah. Berdasarkan analisis di Laboratorium didapatkan hasil kadar lengas yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis kadar lengas kapasitas lapang No
Ordo Tanah
Kadar Lengas Kapsitas Lapang (%)
1. 2. 3. 4.
Vertisol Inceptisol Alfisol Entisol
29.36 34.09 35.89 35.18
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada ordo tanah Vertisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 29,36%, untuk tanah Inceptisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 34,09% pada tanah Alfisol memiliki kadar lengas kapasistas lapang sebesar 35,89%, dan pada tanah Entisol memiliki kadar lengas kapasitas lapang sebesar 35,18%. Pada keadaan ini menunjukkan bahwa pengikatan antara partikelpartikel tanah cukup kuat yang menyebabkan tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada ke-empat ordo tanah tersebut. Secara berurutan kadar lengas kapasitas lapang tertinggi pada ordo tanah Alfisol diikuti oleh ordo tanah Entisol, Inceptisol dan Vertisol. Tingginya kadar lengas kapasitas lapang pada berbagai ordo tanah di atas dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman Jarak pagar yang diketahui tidak terlalu membutuhkan air (Jones dan Miller (1992) dalam Prastiwi dkk., 2006). Tekstur Tanah Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif halus kasarnya fraksi tanah, karena terdiri dari berbagi ukuran butir-butir tanah maka dibedakan menjadi tanah bertekstur pasir, debu, dan liat. Hasil analisis tekstur tanah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis tekstur tanah No
Ordo Tanah
1. 2. 3. 4.
Vertisol Entisol Inceptisol Alfisol
Pasir (%) 57 66,5 63 69,5
Debu (%) 5 6,5 1,2 2,5
Liat (%) 38 27 25 28
Harkat Liat Berpasir Lempung Liat Berpasir Lempung Liat Berpasir Lempung Liat Berpasir
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tanah Vertisol memiliki persen pasir yang lebih dominan yaitu sebesar 57% dan diikuti oleh persen liat sebesar 38% dan 5% untuk debu, dari jumlah persen pasir, debu dan
25
liat tanah Vertisol yang digunakan memiliki kelas tekstur liat berpasir (Suwardji dkk., 2006). Seperti dijelaskan juga oleh Yasin (2004), tanah Vertisol memiliki kadar liat yang tinggi ( > 35%). Pada tanah Entisol memiliki 66,5% fraksi pasir, 6,5% fraksi debu dan 27% fraksi liat sehingga menurut Suwardji (2006), menyatakan tanah ini termasuk dalam kelas lempung liat berpasir yang hampir sama dengan lempung berliat hanya sedikit lebih kasar karena dominan fraksi pasir. Pada tanah dengan dominan pasir memiliki ruang pori makro yang lebih banyak dibandingkan pori mikro sehingga jumlah air yang diikat lebih sedikit, hal ini disebabkan oleh daya ikat antar partikel tanah lemah. Pada tanah Inceptisol memiliki 65% fraksi pasir, 1,2% fraksi debu dan 25% fraksi liat, menurut Suwardji, (2006), tanah ini termasuk dalam kelas tekstur lempung liat berpasir. bila dibandingkan dengan tanah Entisol tanah Inceptisol telah memiliki horizon meski masih lemah. Sedangkan pada tanah Alfisol memiliki 69,5% fraksi pasir, 2,5% fraksi debu dan 28% fraksi pasir, tanah ini tergolong dalam kelas tekstur lempung liat berpasir. Dari ke-empat ordo tanah diatas Alfisol memiliki kandungan fraksi pasir yang lebih tinggi. Perbedaan jumlah kandungan fraksi pasir, debu dan liat dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan pada tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Hal ini sesuai dengan pernyataan Prastiwi dkk., 2006 bahwa untuk pertumbuhan tanaman Jarak Pagar yang terbaik dapat dijumpai pada tanah-tanah yang ringan atau pada tanah yang mengandung pasir antara 60-90%. Menurut Okabe dan Somabhi 1989 dalam Prastiwi dkk., 2006 tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada tanah yang bertekstur lempung berpasir dapat memberikan hasil tertinggi dari pada tanah yang bertekstur lainnya. Kemasaman (pH) Tanah Reaksi tanah menunjukkan tingkat keasaman atau kealkalinitas tanah. Berdasarkan analisis pH tanah didapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis pH tanah No
Ordo Tanah
pH H2O
Harkat
1. Vertisol 6,69 Netral 2. Entisol 6,12 Agak Masam 3. Inceptisol 6,26 Agak Masam 4. Alfisol 6,25 Agak Masam Keterangan : Agak Masam = pH 5.6 – 6.5 ; Netral pH 6.5 – 7.5; Agak Alkalis = pH 7.6 8.5; dan Alkalis = pH > 8.5 (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).
C-Organik Karbon (C) merupakan unsur utama penyusun bahan organik, sehingga jumlah karbon merupakan gambaran kandungan bahan organik dalam tanah. Hasil analisis C-Organik disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis C- Organik Tanah No
Ordo Tanah
1. Vertisol 2. Entisol 3. Inceptisol 4. Alfisol Keterangan : C = Karbon
C- Organik (%)
Harkat
1.38 1.33 1.13 1.4
Rendah Rendah Rendah Rendah
N total Jumlah N total didalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman khususnya pada fase vegetatif. Sumber N total di dalam tanah dapat berasal dari bahan organik sehingga tanaman yang diusahakan dilokasi pengambilan contoh tanah juga dapat mempengaruhi jumlah N total. Hasil analisis N total tanah disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis N total tanah No
Ordo Tanah
N total (%)
Harkat
1. 2. 3. 4.
Vertisol Entisol Inceptisol Alfisol
0.004 0.0051 0.009 0.0059
Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah
26
C.
Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)
Waktu Kecambah (Hari)
Waktu Kecambah 7.2 7 6.8 6.6
Vertisol
6.4 6.2
Inceptisol Entisol
6 5.8
Afisol
5.6 5.4 Vertisol
Inceptisol
Entisol
Afisol
Ordo Tanah
Gambar 1. Hasil Pegukuran Waktu Kecambah Tanaman Jarak Pagar (Jatropha Curcas) Pada Berbagai Ordo Tanah di Pulau Lombok.
Berdasarkan grafik di atas waktu kecambah untuk tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Vertisol rata-rata selama enam hari setelah tanam, hal ini juga terjadi pada ordo tanah Inceptisol dan pada tanah Alfisol. Sedangkan pada ordo tanah Entisol waktu berkecambah rata-rata lebih lambat yaitu pada hari ketujuh setelah tanam. Dilihat dari hasil diatas maka untuk pembibitan tanaman Jarak Pagar cocok dilakukan pada ordo tanah Vertisol Incepisol, dan alfisol.
Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi Tanaman Jarak Pagar 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Vertisol Inceptisol Entisol Afisol
9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93 Hari Setelah Tanam Gambar 2. Hasil Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order Tanah di Pulau Lombok (cm). Tabel 7. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Tinggi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (cm). No 1 2 3 4
Ordo Tanah Vertisol Entisol Inceptisol Alfisol BNT 5 %
Hari Setelah Tanam (HST) 39
45
51
57
34,8 a 38 a 29,7 b 34,8 a 3,63
41,8 a 45,8 a 34,8 b 43,4 a 3,70
45,7 b 53 a 42,6 b 51,8 a 4,66
50,6 b 56 a 47,8 b 60,2 a 4,99
63 54,6 bc 58,4 b 51,4 c 67,2 a 5,65
69
75
81
87
58,4 b 61,8 b 58,6 b 72,2 a 7,51
63,4 b 64,4 b 64,6 b 75,2 a 7,54
66 b 65,8 b 68,8 b 77,8 a 7,13
67,8 b 67 b 71,6 b 79 a 7,25
93 70,8 b 68,8 b 75,8 ab 79,8 a 7,24
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran tinggi tanaman Jarak Pagar di atas, pada awal pertumbuhan yaitu pada umur 9 – 33 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada keempat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Setelah umur tanaman mencapai 39 dan 45 hari
27
setelah tanam tinggi tanaman pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol yang secara statistik tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Alfisol dan Vertisol lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Jarak pagar yang ditanam pada ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 dan 57 hari setelah tanam tinggi tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol yang secara statistik tinggi tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol lebih tinggi dari pada tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Vertisol dan Inceptisol.. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ke-empat ordo tanah menunjukan tinggi tanaman yang berbeda nyata, yang secara statistik ordo tanah Alfisol lebih tinggi dan diikuti berturut-turut oleh tanaman yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol dan Inceptisol. Pada umur tanaman 69, 75 81 dan 87 hari setelah tanam ketinggian tanaman pada ordo tanah Alfisol berbada nyata dengan ordo Inceptisol, Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 93 hari setelah tanam ketinggian tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Entisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada tinggi tanaman Jarak Pagar. Jumlah Daun
Jumlah Daun (Helai)
70 60 50
Vertisol
40
Inceptisol
30
Entisol Afisol
20 10 0 9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93 Hari Setelah Tanam
Gambar 3. Hasil Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order Tanah di Pulau Lombok Tabel 8. Hasil Sidik Ragam Perhitungan Jumlah Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai). No
Ordo Tanah
Hari Setelah Tanam (HST) 15
33
39
45
51
57
63
1 2 3 4
Vertisol 4a 15,4 ab 22,4 a 27,6 a 32,2 ab 36,2 b 40,2 b Entisol 3,26 ab 16,4 a 23 a 30,6 a 36 a 40,4 ab 43,2 b Inceptisol 3,2 b 10,6 b 12,4 b 15,6 b 22 b 29,4 b 34,8 b Alfisol 4a 13 ab 19,4 a 26,6 a 39,2 a 50 a 54,8 a BNT 5 % 0,47 3,96 5,84 8,73 10,27 11,2 11,55 Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam perhitungan jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada umur 9 hari setelah tanam, tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Setelah umur 15 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ordo tanah Vertisol dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur 21 – 27 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur tanaman 33 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan ordo tanah Alfisol. Pada umur tanaman 39 dan 45 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Entisol, Vertisol, dan Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur 57 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol, dan
28
ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur tanaman 63 – 93 hari setelah tanam jumlah daun tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Vertisol, dan Entisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada jumlah daun tanaman Jarak Pagar. Diameter Batang Tabel 9. Hasil Sidik Ragam Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) (Helai). No 1 2 3 4
Hari Setelah Tanam (HST)
Ordo Tanah
33
39
45
Vertisol Entisol Inceptisol Alfisol BNT 5 %
1.03 a 1.07 a 0.88 b 1.07 a 0.11
1.28 a 1.32 a 1.08 b 1.33 a 0.12
1.44 a 1.49 a 1.27 b 1.53 a 0.16
51 1.63 ab 1.74 a 1.46 b 1.81 a 0.18
57 1.77 ab 1.9 ab 1.67 b 1.99 a 0.19
63 1.9 bc 2.1 ab 1.8 c 2.22 a 0.2
69 2.1 b 2.25 ab 1.97 b 2.4 a 0.24
75
81
2.26 b 2.42 ab 2.25 b 2.6 a 0.24
2.4 b 2.6 ab 2.4 b 2.8 a 0.22
87 2.53 b 2.74 ab 2.55 b 2.92 a 0.22
93 2.65 b 2.87 b 2.68 b 3.1 a 0.19
Keterangan : Anggka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
Diameter Batang (cm)
3.50 3.00 2.50
Vertisol
2.00
Inceptisol
1.50
Entisol
1.00
Afisol
0.50 0.00 9 15 21 27 33 39 45 51 57 63 69 75 81 87 93 Hari Setelah Tanam
Gambar 4. Hasil Pengukuran Diameter Batang Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) Pada Berbagai Order Tanah di Pulau Lombok
Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam pengukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar pada awal pertumbuhan yaitu pada umur 9 – 27 hari setelah tanam diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ke-empat ordo tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada umur 33, 39 dan 45 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol, dan Vertisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol. Pada umur tanaman 51 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol dan Entisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol. Pada umur tanaman 57 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol dan Vertisol. Pada umur tanaman 63 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang ditanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur tanaman 69, 75, 81, dan 87 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Vertisol dan Inceptisol, namun tidak terlalu berbeda nyata dengan ordo tanah Entisol. Pada umur tanaman 93 hari setelah tanam ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar yang di tanam pada ordo tanah Alfisol berbeda nyata dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan Vertisol. Berdasarkan grafik dan hasil sidik ragam menujukan bahwa perbedaan ordo tanah dapat memberikan pengaruh pada ukuran diameter batang tanaman Jarak Pagar. D.
Hubungan Karakteristik Tanah dengan Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jarak Pagar
Tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman. Sifat dan karakteristik dari tanah sangat menentukan baik atau tidaknya pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Menurut Prihandana, (2006) menyatakan bahwa tanaman Jarak Pagar dapat tumbuh pada lahan marjinal yang miskin hara, namun mempunyai drainase dan airase yang baik. Produksi optimal akan diperoleh pada lahan yang subur, dan untuk
29
pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak pagar terbaik pada tanah yang mengandung pasir 60 – 90 persen. Berdasarkan hasil analisis tekstur tanah, ordo tanah Alfisol menunjukan jumlah kandungan fraksi pasir yang lebih tinggi yaitu sebesar 69.5 %. Ketersediaan air tidak terlalu memberikan pengaruh yang berarti bagi pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar, Tapi jumlah dari kandungan fraksi pasir pada tiap-tiap ordo tanah dapat menentukan tinggkat kecepatan pertumbuhan vegetatif tanaman Jarak Pagar. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman Jarak Pagar, ordo tanah Alfisol ratarata menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan ordo tanah Inceptisol, Entisol, dan Vertisol. Dilihat dari sifat ordo Vertisol yang dapat menyimpan air dalam jumlah yang lebih besar bila dibandingkan dengan ordo tanah Alfisol, Entisol dan ordo tanah Inceptisol maka ordo tanah Vertisol sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak Pagar yang termasuk dalam golongan klas kesesuaian S-2 (sesuai) yang hanya memiliki hambatan ketersediaan air yang besar akibat pengikatan antar partikel tanah yang kuat, sedang untuk ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol sangat sesuai untuk pengembangan tanaman Jarak pagar karena tidak terdapat hambatan dalam pengembangan tanaman jarak Pagar. Namun ordo tanah Vertisol dapat termasuk dalam golongan klas kesesuaian lahan S-1 (sangat sesuai) apabila hambatan ketersedian air dapat diatasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pengukuran tinggi tanaman, diameter batang dan perhitungan jumlah daun tanaman Jarak Pagar, ordo tanah Alfisol menunjukan hasil yang lebih baik dari tiga ordo lainnya yaitu ordo tanah Entisol, Inceptisol dan Vertisol. Tanaman Jarak Pagar sesuai ditanam pada ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol karena tidak memiliki faktor pembatas untuk pengembngan tanaman Jarak Pagar dibandingkan pada ordo tanah Vertisol yang memiliki faktor pembatas berupa ketersediaan air yang cukup besar. Tanaman Jarak Pagar tumbuh dengan baik pada ordo tanah yang banyak mengandung fraksi pasir, dari hasil analisis tanah ordo tanah Alfisol, Entisol dan Inceptisol memiliki kandungan pasir lebih banyak bila dibandingkan dengan ordo tanah Vertisol. Dari pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan di sarankan kepada instansi dan petani di Pulau Lombok untuk mengembangkan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) secara besar-basaran pada ordo tanah Alfisol, selanjutnya diikuti oleh ordo tanah entisol, dan Inceptisol.
DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), (1989). Peta Tanah Tinjau Pulau Lombok. BAPPEDA Propinsi NTB. Hardjowigeno. S., (2003). Ilmu Tanah. Akademi Presindo. Jakarta Irfan, (2005). Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas) Sebagai Sumber Bahan Alternatif Biofuel. http;//www.iptek.net.id/ind/img/050260504/005 jarak pagar.1.jpg Pambudy.M.N., (2006). Bahan Bakar Alternatif, Tarik Investor Kompas:21(3).34 h. Prastiwi. N., Siti. S., Zaenal. M., Irmia. N., Djoko. P., Hadi. S., (2006). Budidaya Jarak Pagar Sebagai Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (Biodisel). Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. Sujatmaka, (1992). Prospek Pasar dan Budidaya Jarak. Penebar Swadaya. Jakarta. Suwardji, dan Joko.P., (2003) Inventarisasi Luas Lahan Kritis Propinsi Nusa Tenggarara Barat. Mataram. Yasin, (2004). Pengantar Klasifikasi Tanah. Bahan Ajar MK Klasifikasi Tanah. Fakultas Pertanian. Unram. Mataram.
30
POTENSI PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA PADA BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK Muhammad Sarjan Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UniversitasMataram Jl. Pendidikan Mataram-Lombok-NTB
ABSTRAK Hama merupakan salah satu masalah yang penting diperhatikan dalam usaha produksi tanaman secara umum karena hama mampu menurunkan produksi secara signifikan baik kualitatif maupun kuantitatif. Demikian juga halnya pada tanaman sayuran yang sebagaian besar produknya dikonsumsi dalam keadaan segar, masih mengandalkan insektisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama. Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan terhadap mahluk hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Oleh karena itu harus dicari cara alternatif yang lebih aman dalam pengendalian hama antara lain dengan mengusahakan budidaya pertanioan organik yang pada prinsipnya menminimalkan input produksi seperti pupuk dan pestisida dari senyawa kimia sintetis. Salah satu komponen dalam budidaya organik adalah pemanfaatan pestisida non-kimiawi sintetis baik berupa insektisida hayati maupun nabati untuk mengendaliklan hama. Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik. Kata kunci: Insektisida nabati, sayuran organik
PENDAHULUAN Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis, terutama pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di satu pihak dengan digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder, terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan (Prijono, 1994). Sedangkan di lain pihak tanpa pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang diakibatkan OPT (Kardinan, 2001). Untuk mengatasi masalah tersebut dan menciptakan tanaman holtikultura terutama sayuran yang ramah lingkungan untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi maka penerapan usaha tani berbasis organik (pertanian organik) merupakan keharusan (Anonim,2004). Saat ini petani menerapkan budidaya sayuran organik sebagai respon terhadap semakin perlunya kesehatan konsumen dan produsen, dan juga sebagai upaya untuk membuat pertanian yang berwawasan lingkungan (Riza dan Tahjadi, 2001). Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi menyebabkan bertambahnya permintaan sayuran, dan jenis sayurannya pun semakin bervariasi. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan produksi tanaman sayuran antara lain dengan cara mengembangkan pertanian organik yang diharapkan dapat menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasaran, karena pertanian organik selain mempunyai biaya produksi rendah, juga hasil panen umumnya mengandung residu bahan kimia yang relatif rendah, sehingga hasilnya digemari oleh masyarakat. Saat ini banyak konsumen yang menuntut kualitas produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi, sehingga pengembangan pertanian organik ke depan mempunyai prospek yang bagus, jika dikelola dengan baik, dan menerapkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan (Sustainable Agricultural Development) (Anonim, 2004). Beberapa tindakan pengendalian yang dapat digunakan untuk mecegah serangan hama pada tanaman sayuran antara lain dengan teknik bercocok tanam (rotasi tanaman, sanitasi), penggunaan varietas yang tahan, pengendalian hayati dengan memanfaatkan predator dan parasitoid, pengendalian dengan menggunakan pestisida botani dari ekstrak tumbuhan serta pengendalian secara kimia dengan menggunakan insektisida. Budidaya sayuran organik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada berupa pestisida hayati dan botani serta pengunaan pupuk organik diharapkan dapat menekan populasi dan intensitas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ekosistem sayuran organik. Sementara ini sudah banyak dilakukan ujicoba pemanfaatan insektisida nabati sebagai alat pengendali hama daeri berbagai spesies dengan
31
hasil yang beragam. Namun dalam impelmentasinya terutama untuk mendukung usaha pengembangan sayuran organik masih belum memadai baik mengenai jenis dan cara pembuatannya. Dengan mempertimbangkan keragaman jenis dan hasil dari insektisida nabati tersebut maka pada tulisan ini akan dipaparkan bagaimana potensi pemanfaatan insektisida nabati untuk mengendalikan hama pada sistem budidaya sayuran organik.
POTENSI TUMBUHAN TROPIS SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI Sebagai daerah trofis, Indonesia memiliki flora yang sangat beragam, mengandung cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Dewasa ini penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida botani dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan. Dilaporkan bahwa lebih dari 1500 jenis tumbuhan dapat berpengaruh buruk terhadap serangga (Grainge & Ahmed, 1988). Di Filipina, tidak kurang dari 100 jenis tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus, 1987). Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman, 1995), namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat. Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss) dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur). Ekstrak biji tanaman mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman ini memiliki aktivitas insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan (Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial dengan formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al. 1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida. Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang akhir-akhir ini banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik. Di Indonesia tumbuhan dapat ditemui tumbuh di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Philipina, Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan, pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang disebutkan terakhir tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat perkembangan. Beberapa spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang disebutkan di atas umum dijumpai di Indonesia. Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona squamosa) dan nona seberang (A. glabra) mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana & Prijono, 1994; Prijono et al., 1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A. deliciosa dan Polyalthia littoralis efektif terhadap serangga gudang Callosobruchus chinensis. Senyawa aktif utama dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin yang termasuk golongan asetogenin (Mitsui et al., 1991). Di samping itu mungkin masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang belum dilaporkan berpotensi sebagai pestisida nabati yang perlu dieksplorasi dan diujicoba.
32
HASIL UJI COBA DAN IMPLEMENTASI INSEKTISIDA NABATI PADA BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK Penggunaan pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan hama mempunyai dampak negatif terhadap komponen ekosistem lainnya seperti terbunuhnya musuh alami, resurgensi dan resistensi hama serta pencemaran lingkungan karena residu yang ditinggalkan. Alternatif lain untuk pengendalian hama yaitu dengan memanfaatkan senyawa beracun yang terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu, mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti alkoloid, terpenoid dan fenolik (Anonim, 1994). Efektivitas suatu bahan-bahan alami yang digunakan sebagai insektisida nabati sangat tergantung dari bahan tumbuhan yang dipakai, karena satu jenis tumbuhan yang sama tetapi berasal dari daerah yang berbeda akan menghasilkan efek yang berbeda pula, ini dikarenakan sifat bioaktif atau sifat racunnya tergantung pada kondisi tumbuh, umur tanaman dan jenis dari tumbuhan tersebut (Grainge and Ahmed 1987 cit Wasiati 2003). Menurut Sarjan dan Astam (1997), penggunaan insektisida non kimiawi sintetis nimba (Azadirachta indica) dan Bt memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai agen pengendali hama ulat kubis Plutella xylostella yang dalam prakteknya hampir sama dengan insektisida kimia Sumithion 50 EC mampu menekan intensitas serangan sekitar 80%. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tumbuhan dan tanaman yang berpotensi sebagai pestisida yang aman bagi lingkungan. Namun sampai saat ini pemanfaatan belum dilakukan secara maksimal dan di bawah ini hasil penelitian yang telah dilakukan pada budidaya sayuran organik Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 2,000 jenis tanaman yang telah dikenal memiliki kemampuan sebagai pestisida. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) di Bogor memiliki koleksi puluhan jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai insektisida. Penelitian tentang tanaman-tanaman beracun botani di Indonesia dimulai sejak didirikannya Pusat Ilmu Pengetahuan Botani oleh Belanda pada tahun 1888. Sementara itu, penelitian tentang pemanfaatan tanaman tuba (Derris sp.), bunga krisan liar (Pyrethrum), dan bengkuang sebagai pestisida botani dimulai sejak tahun 1950 an di Bogor (Novizan, 2002). Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensi insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, dan Rutaceae (Arnoson et al., 1993 ; Isman, 1995 dalam Sarjan 2005). Potensi insektisida nabati yang berasal dari famili Meliaceae terutama ekstrak biji memiliki aktifitas penghambat makan dan penghambat perkembangan yang kuat terhadap serangga, seperti nimba memiliki senyawa azadirachtin yang bersifat racun perut. Selain dari famuli Meliaceae, tanaman dari famili Annonaceae yang potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber insektisida nabati adalah srikaya. Senyawa aktif utama yang terkandung dalam srikaya adalah squamosin yang termasuk senyawa asetogenin, yang memiliki efek kontak cukup baik terhadap serangga (Djoko, 1994). Seperti dilaporkan oleh Sarjan (2004) menyakan bahwa penggunaan insektisida non kimia sintetis dari nimba, dan srikaya mempunyai kemampuan untuk menekan populasi Spodoptera litura F. dan melestarikan populasi musuh alami berupa predator pada tanaman kedelai. Selain mampu menekan populasi S. litura, insektisida non kimia sintetis nimba memiliki potensi yang cukup tinggi yaitu mampu menekan intensitas serangan yang hampir sama dengan insektisida kimia. Sedangkan insektisida non kimia sintetis dari srikaya memiliki kemampuan yang paling rendah dalam mengendalikan hama ulat kubis Plutella xylostella (Sarjan dan Wiresyamsi, 1997). Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana keberadaan hama pengisap daun, Thrips parvispinus dan Myzus persicae pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata- rata populasi Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 137,59 ekor/tanaman untuk nimfa, dan 41,01 ekor/tanaman untuk imago dibandingkan dengan kondisi organik berturut-turut sebesar 74,89% dan 23,05%. Sedangkan intensitas serangan kedua hama pengisap daun tersebut tidak berbeda antara tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dibandingkan dengan konvensional. Tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik berproduksi lebih tinggi yaitu 125 kw/ha dari pada tanaman secara konvensional sebesar 120 kw/ ha.
33
Tabel 1. Uji Statistik T-Test Untuk Populasi dan Intensitas Serangan Hama Pengisap Daun Tomat yang Diperlakukan Secara Konvensional dan Organik. Uraian
Organik
Konvensional
Populasi Hama (ekor/ 8tanaman) Imago Myzus persicae 0,65 Imago Thrips parvispinus 23,05 Nimfa Thrips parvispinus 74,89 Intensitas serangan (%/8 tanaman) Myzus persicae 0,05 Thrips parvispinus 3,01 Sumber : Data Primer diolah
F. hitung
F. tabel
t.hitung
t. tabel
ket
0,53 41,01 1376,59
2,086815 2,694896 2,636344
1,860811 1,860811 1,860811
0,67818 2,408404 2,27959
2,006646 2,010635 2,010635
NS S S
0,04 3,69
1,3682203 1,060862
1,860611 1,860811
0,6760154 1,747459
2,001717 2,001717
NS NS
Besarnya populasi dan intensitas serangan serta pola fluktuasi hama Myzus persicae pada kondisi organik dan konvensional hampir sama pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Rata- rata populasi dan intensitas serangan Thrips parvispinus lebih tinggi terdapat pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional dibandingkan dengan kondisi organik. Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangan pada kedua kondisi tanaman tomat yang dibudidayakan secara konvensional dan organik adalah sama yaitu mulai meningkat sejak tanaman berumur 22 hari setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur tanaman antara 32 dan 37 hari setelah tanam untuk Thrips parvispinus dan 42 hari setelah tanam untuk Myzus persicae. Perlakuan secara organik dapat menghasilkan tomat lebih tinggi dari pada tanaman tomat yang diperlakukan secara konvensional yaitu 125 kw/ ha untuk organik dan 120 kw/ ha untuk konvensional.
intensitas serangan
3,5
populasi
3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 7
12
17
22
27
32
37
42
47
52
0,14% 0,12% 0,10% 0,08% 0,06% 0,04% 0,02% 0,00% 7
12
17
27
32
37
42
47
52
umur tanaman
umur tanaman konvensional
22
konvensional
organik
A
organik
B
Gambar 1. Fluktuasi populasi imago (A) dan Intensitas Serangan (B) Myzus persicae yang menyerang tanaman tomat pada dua sistem budidaya yang berbeda.
Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi dan intensitas serangan hama Thrips parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara organik maupun secara konvensional . Pola fluktuasi populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan juga hampir sama yaitu menncapai puncakya pada saat tanaman berumur 87 – 97 hari. Namun berdasarkan hasil yang dicapai menunjukkan bahwa produksi cabe pada kondisi organik lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional yaitu , tanaman cabai merah yang dibudidayakan secara organik mampu menghasilkan buah dua kali lipat dibandingkan dengan hasil budidaya secara konvensional, sehinga budidaya cabai merah secara organik mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Tabel 2. Data hasil analisis rata-rata populasi dan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik. No.
Analisis
1 F hitung 2 F tabel 3 T hitung 4 T tabel Keterangan
Pengamatan Populasi
Intensitas Serangan
1,617566 1,860811 1,347937 2,001716 NS
1,386460 1,860812 1,618329 2,001716 NS
34
populasi
15 10 5 0 7
17
27
37
47
57
67
77
87
97
umur tanaman konvensional
organik
int ensitas serangan
Gambar 2. Perkembangan populasi hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.
5.00% 4.00% 3.00% 2.00% 1.00% 0.00% 7
17
27
37
47
57
67
77
87
97
umur tanaman konvensional
Gambar 3.
organik
Perkembangan intensitas serangan hama T. parvispinus pada tanaman cabai merah yang diperlakukan secara konvensional dan organik.
Perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman mengahsilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa hasil cabe merah yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama pengisdap daun, maupun untuk tujuan peningkatan produksi. Pada tanaman kubis, untuk mengetahui fluktuasi intensitas serangan ulat S. litura pada kondisi yang berbeda yaitu pada sisitem budidaya organik dan konvensional telah dilakukan penelitian yang menunjukan bahwa tidak terdapat berbedaan intensitas serangan ulat S. litura pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik dan konvensional dengan pola fluktuasi yang berbeda. Intensitas serangan S. litura mencapai puncaknya pada umur tanaman 27 hari setelah tanam pada kondisi organik , sedangkan pada kondisi konvensinal pada 42 hari setelah tanam. Tabel 3. Uji statistik t-test intensitas serangan ulat Spodoptera litura pada tanaman kubis yang diperlakukan secara organik.dan konvensional Parameter Intensitas serangan
Organik
Konvensional
F. hitung
F. tabel
t. hitung
t. tabel
ket
2,561
2,900
2,207
3,179
- 0,642
2,101
NS
Sumber : Data Primer Diolah
35
Intensitas serangan (%)
Rata-rata intensitas serangan hama Spodoptera litura tidak berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun konvensional . Pola fluktuasi intensitas serangan hama Spodoptera litura cendrung berbeda pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik maupun konvensional.Intensitas serangan hama Spodoptera litura mencapai puncaknya lebih awal pada tanaman kubis yang dibudidayakan secara organik yaitu pada umur tanaman 35 hari, sedangkan pada kondisi konvensional pada saat tanaman berumur 56 hari setelah tanam. 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pengamatan ke-
Keterangan : : Konvensional : Organik Gambar 4. Perkembangan Intensitas Hama S. litura pada Tanaman Kubis yang dibudidayakan Konvensional dan Organik dari Pengamatan ke-1 -ke-10.
secara
PENUTUP Produksi pestisida nabati secara masal untuk keperluan komersial masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya ketersediaan jumlah bahan baku yang tidak mencukupi. Rendahnya kandungan metobolik sekunder dalam tanaman, sehingga diperlukan pasokan bahan baku yang sangat besar. Jika untuk keperluan sendiri, kebutuhan bahan baku cukup melimpah dan sangat murah. Oleh karena itu perlu menggalakkan dan mengembangkan teknik ekstraksi sederhana yang dapat dilakukan oleh petani untuk mengendalikan hama secara individu dan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan sosialisasi baik melalui penyuluhan maupun pelatihan dan demplot sebagai upaya untuk menyebarkan informasi tentang potensi suatu bahan ekstrak tumbuhan sebagai pestisida nabati. Demikian juga dari pihak pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengarah kepada pemanfaatan pestisida nabati untuk keperluan pengendalian hama, terutama pada sistem pertanian organik. Dari beberapa laporan menyatakan bahwa sebenarnya efektivitas pestisida nabati tidak kalah dibandingkan pestisida kimia sintetis, namun karena petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia sebagai cara yang ampuh dengan alasan antara lain mudah didapat, cepat bekerja membunuh hama sasaran serta relatif murah (subsidi), maka pemanfaatan insektisida nabati masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil penelitian pada sayuran organik (Cabe, tomat dan kubis) dapat disimpulkan bahwa rata-rata populasi dan intensitas serangan hama hama penting pada tanaman tersebut relatif sama pada tanaman yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. Demikian juga dengan perkembangan populasi dan intensitas serangannya selama pengamatan menunjukkan pola yang sama, dimana hama ini akan mencapai puncaknya pada saat fase tanaman menghasilkan tunas-tunas muda dan menurun pada saat bagian tanaman sudah mulai menua serta sangat tergantung pada waktu penggunaan insektisida (baik kimiawi sintetis maupun non sintetis) yang cenderung menekan populasi hama. Walaupun demikian terlihat bahwa hasil cabe merah maupun tomat yang dibudidayakan secara organik lebih tinggi dari pada konvensional. Oleh karena itu budidaya cabae merah ,tomat dan kubis secara organik mempunyai prospek untuk dikembangkan baik untuk tujuan perlindungan tanaman dari hama maupun untuk tujuan peningkatan produksi.
36
Dengan mengetahui pola perkembangan hama pada tanaman, maka hasil penelitian ini diharapkan akan berguna untuk kegiatan monitoring hama dalam rangka penerapan pengelolaan hama secara terpadu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pedoman dalam upaya pengelolaan hama sayuran organik ( cabe, tomat dan kubis), terutama program monitoring untuk menentukan saat yang tepat dalam pengendalian hama.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Buku Pedoman Non Kimia. Departemen Pertanian. Jakarta. 13 h. Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press. Basana, I.R., D. Prijono. 1994. Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four Species of Annona (Annonaceae) against Cabbage Head Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60. Kardinan, A. dan Ruhnayat, A., 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta. 7-9 h. Kardinan,A., 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. 2 h. Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta. Parnata, A.S., 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Manfaatnya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 62 h. Prijono, D., dan Hasan E., 1993. Pengaruh Ekstrak Nimba Terhadap Perkembangan dan Mortalitas Croccidolonia binotalis. Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1 – 2 Desember 1993. ________1994. Pedoman Praktikum Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riza,V. dan Tahjadi, 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia. Jakarta. 63 h. Sarjan, M., 2004a. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Era Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. _______, 2004b. Potensi Insektisida Non Kimia Sintetik Dalam Konservasi Predator Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kedelai. Agroteksos. Majalah Ilmiah Pertanian (Agronomi, dan Sosial Ekonomi) Volume 13 No 4. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. ________, dan Astam Wiresyamsi, 1997. Laporan Penelitian Potensi Insektisida Non Kimiawi Sintetis Sebagai Pengendali Ulat Kubis Plutella xylostella. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. ________, 2006a. Intensitas Serangan Ulat Spodoptera litura pada Tanaman Kubis yang Dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional ( Jurnal HAPETE, Vol 3:1. April 2006) ________, 2006 b. Pengelolaan hama Pengisap daun Thrips parvispinus Karny Pada Tanaman cabe Yang dibudidayakan Secara Organik dan Konvensional (Jurnal Penenltian Universitas Mataram, Edisi A: Sains dan Teknologi. Vol 2:10. Agustus 2006) ________, 2007. Perkembangan ulat grayak (Spodoptera litura Hbn) pada tanaman tomat yang dibudidayakan secara organik dan konvensional. (Jurnal PARTNER Politeknik Pertanian Kupang NTT tahun 14.No periode januari 2007)
37
IDENTIFIKASI PENERAPAN TEKNOLOGI JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI PROPINSI SULAWESI SELATAN Bahtiar dan A. Tenrirawe Balitsereal Maros – Sulawesi Selatan
ABSTRACT Identification to maize production systems on rainfed lowland in South Sulawesi. The study aimed to explore the potency of rainfed lowland and its utilization, and maize production systems on it land. In relation with that purpose, a survey was conducted to farmers and other information sources related to maize development. Data and information were collected through individual and group interview based on questionaire prepared. In two regencies surveyed, rainfed lowland availabeled was large enough but was not utilized maximally yet, due to many factors. On regions were maize areas not developed (Pangkep), maize production could be increased through extensification. Technology applied in maize production systems in these regencies were still modestly, even though technology information such as hybrid seeds had been known. Technology production needed to be disseminated to increase maize production including openpollinate maize varieties, high quality seeds, land preparation, plantation, irrigation, fertilizer and fertilization, pest control, and harvesting. Besides it, post harvest technologies and marketing channels also need to be informed. In these region production inputs were difficult to obtain and their prices were expensive. On region where maize areas developed (Takalar), maize production could be increased through increase planting intensity, cropping pattern adjustment, besides extensification. Maize production technology applied in these region were quite advance but improvement were still needed. Fertilizers applied were excessive, irrigation not efficient, and cropping pattern needed to be adjusted. In several places, high quality open-pollinated seed were required. Production inputs were availabled but their prices were still expensive. Key Words : Identification, rainfed lowland, maize production systems.
PENDAHULUAN Indonesia pada masa datang dihadapkan kepada masalah persediaan jagung, seiring dengan meningkatnya permintaan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun bahan baku pakan ternak dan industri pengolahan makanan (Damardjati et al., 2005). Hal ini tampak pada peningkatan jumlah impor jagung dalam kurun waktu 1997-2001 yang mencapai 0,96 juta ton dan diperkirakan meningkat menjadi 1,80 juta ton pada tahun 2005 (Subandi dan Hermanto, 2002). Selama sepuluh tahun terakhir komoditas jagung memperlihatkan peningkatan produksi yang lebih tinggi dibanding dengan produksi tanaman pangan lainnya. Dari sudut pandang agribisnis kecenderungan tersebut menunjukkan tanaman jagung memberikan pendapatan memadai kepada semua yang terkait dalam pengembangan jagung, khususnya petani sebagai produsen. Program penciptaan teknologi budidaya jagung hendaknya mengacu kepada kebutuhan pengguna atau user oriented (Badan Litbang Pertanian, 1994). Dalam hubungan dengan arahan tersebut Balitsereal memerlukan informasi dasar tentang sistem produksi jagung, oleh karena itu, mulai tahun anggaran 2005 dilakukan studi tentang karakterisasi sistem produksi pada berbagai tipe lahan potensil untuk jagung (Balitsereal, 2004). Salah satu tipe lahan yang sangat sesuai untuk pertanaman jagung adalah lahan sawah tadah hujan. Pada tahun 1991 luas pertanaman jagung di Indonesia mencapai 3,0 juta hektar dan sekitar 10% luas areal tersebut berada pada lahan sawah tadah hujan (Sudjana dan Setiyono, 1993). Jika kisaran tersebut digunakan untuk melihat luas panen pertanaman jagung pada tahun 2004 yang sudah mencapai 3,3 juta hektar (Deptan, 2004) maka terdapat sekitar 300 ribu hektar pertanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan. Angka tersebut dinilai masih sangat kecil jika dibandingkan dengan luas lahan tersedia. Potensi lahan sawah tadah hujan di Indonesia mencapai 2,15 juta ha, dan 1,37 juta ha (63,73 %) diantaranya berada di luar pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, 244.902 ha (17,85 %) berada di Provinsi Sulawesi Selatan (BPS, 2003). Pada lahan sawah tadah hujan, jagung dapat ditanam sebelum dan sesudah padi. Jagung kedua lebih sering berhasil walaupun tidak jarang mengalami ancaman kekeringan (Subandi dan Manwan, 1990).
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi jagung pada lahan sawah tadah hujan dan faktor-faktro yang mempengaruhinya dalam rangka pengembangan jagung dimasa datang.
38
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan survei. Survei pada tingkat petani dilakukan secara intensif dengan berpedoman kepada kata-kata kunci yang telah disiapkan sebelumnya. Di laksanakan pada 2 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Takalar dan Pangkep. Kabupaten Takalar mewakili daerah sentra produksi yang sudah maju penerapan teknologi budidayanya, sedang Kabupaten Pangkep mewakili daerah yang potensil lahannya tetapi belum berkembang perjagungannya. Secara rinci lokasi yang dipilih pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Lokasi Penelitian Identifikasi Penerapan Teknologi Jagung, Sulsel, 2005 Kabupaten
Kecamatan
Desa
Takalar Pangkep
Galessong Utara Mandalle Sigeri Labakkang
Pa‟rasangan Beru Coppotompong Manggalung Parenreng
Penentuan Responden Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok responden, yaitu: (1) Petani yang telah menanam jagung. Penentuannya dilakukan secara purposif sampling pada setiap kabupaten. Untuk mendapatkan responden yang representatif, dilakukan kordinasi dengan Petugas Lapangan dan Pemerintah Desa, (2) Tokoh masyarakat yang terdiri atas aparat desa, tokoh-tokoh adat, ketua-ketua kelompok tani, pedagang saprodi dan pedagang hasil pertanian, Petugas Pertanian Lapangan (PPL), dan staf Dinas Pertanian Kabupaten setempat. Pengumpulan Data Pengumpulan data disesuaikan dengan jenis responden. Untuk petani jagung, metode yang digunakan adalah wawancara perorangan untuk menggali cara petani menanam jagung mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai kepada panen dan prosesing, serta alokasi hasil. Selain itu, pemilikan asset dan modal yang digunakan juga digali jumlah dan sumbernya. Wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mewawancarai petani yang menananm jagung. Wawancara dilakukan baik di rumah petani, di lahan usahatani petani ataupun di pos ronda. Untuk menghindari informasi yang bias, wawancara diusahakan sedemikian rupa agar petani dalam keadaan siap memberikan informasi yang diperlukan. Untuk responden tokoh masyarakat, pengumpulan data dilakukan dengan diskusi kelompok guna mendapatkan informasi umum seperti, varietas jagung yang beredar, ketersediaan saprodi terutama pupuk dan benih, insektisida dan herbisida, harga hasil jagung, dan tanggapan petani terhadap tanaman jagung dalam meningkatkan pendapatannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan dan tantangannya untuk pengembangan jagung ke depan. Selain data primer tersebut, juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui kegiatan studi literatur ke dinas-dinas pemerintah terkait untuk mendapatkan gambaran umum mengenai perkembangan dan rencana pengembangan jagung. Analisisa Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua model yaitu, untuk data kuantitatif analisisnya diarahkan kepada biaya dan pendapatan usahatani, sedang data kualitatif dianalisa secara deskriptif dengan penekanan kepada budidaya tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
a.
Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan
Potensi lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian cukup luas, namum belum seluruhnya dimanfaatkan untuk pertanaman jagung karena berbagai faktor, antara lain: animo masyarakat yang rendah terhadap jagung. Misalnya di Pangkep petani masih trauma dengan pengalaman pahit menanam jagung kuning yang tidak ada pasarnya. Padahal sesungguhnya secara fisik teknis jagung lebih menguntungkan
39
dibanding dengan padi musim gadu. Oleh karena itu, petani di Pangkep masih lebih tertarik menanam kacang tanah setelah padi rendengan. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah tadah hujan hanya dimanfaatkan satu kali padi setahun (Tabel 2). Hal ini memberi gambaran bahwa lahan tersebut mempunyai peluang untuk penanaman jagung setelah padi. Tabel 2. Potensi dan pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di wilayah penelitian. Kabupaten
Luas penanaman padi (ha)
Potensi lahan sawah tadah hujan (ha)1)
Takalar Pangkep Sulsel Sumber : BPS tahun 2003.
Ditanami 1 kali
Ditanami 2 kali
6.682 5.794 209.545
1.675 1.199 35.357
8.357 6.993 244.902
b. Potensi dan ketersediaan tenaga kerja pertanian Data sumberdaya manusia menunjukkan bahwa penduduk yang berprofesi sebagai petani telah mengenal cara bercocok tanam jagung dengan tingkat penerapan teknologi budidaya yang sangat beragam, mulai dari yang membudidayakan seadanya/sampingan sampai kepada yang maju. Diantaranya bahkan ada yang menjadikan jagung sebagai komoditi utamanya pada lahan sawah tadah hujan menggerser padi. Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani rata-rata di atas 50% dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan tetap, kecuali di Kabupaten Gowa yang hanya 44,7% (Tabel 3). Tabel 3. Potensi sumberdaya manusia di wilayah penelitian. Kabupaten
Jumlah penduduk (org)
Jumlah usia produktif (org)
Yang sudah bekerja (org)
Jumlah petani (org)
Persentase petani (%)
241.973 279.887
129.249 191.698
106.571 92.161
56.074 52.963
52,6 57,5
Takalar Pangkep
Sumber: BPS (2004) Kabupaten Takalar dan Pangkep
c.
Perkembangan komoditas jagung
Perkembangan komoditas jagung lebih menonjol di kabupaten sentra produksi yang telah mengadopsi penggunaan benih jagung hibrida (Kabupaten Takalar). Tingkat produksi yang dicapai selama lima tahun menunjukkan angka yang lebih besar dibanding dengan pada daerah yang belum maju (Kabupaten Pangkep). Pada tahun 2003-2004, tingkat produksi di Takalar, 83.850 ton, sedang produksi yang dicapai di Kabupaten Pangkep masih sangat rendah, yaitu: hanya 704 ton. Penyebabnya adalah tingkat produktivitas yang lebih tinggi pada daerah maju, yaitu 4,9-5,3 t/ha, sementara pada daerah belum maju hanya 3,2-3,4 t/ha (Tabel 4). Tabel 4. Perkembangan luas pertanaman jagung di wilayah penelitian. Kabupaten Takalar
Tahun 99/00
00/01
01/02
02/03
03/04
: Luas tanam (ha) 6.483 6.457 4.920 5.547 15.916 Produksi (t) 32.079 32.214 24.095 27.325 83.580 Produktivitas (t/ha) 4,95 4,99 5,06 4,93 5,25 Pangkep : Luas tanam (ha) 707 310 229 227 210 Produksi (t) 2.436 1.006 762 757 704 Produktivitas (t/ha) 3,45 3,25 3,33 3,33 3,35 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Takalar (tahun 2000-2004) dan Pangkep adalah tahun 1999 - 2003.
Pertumbuhan (%) 43,87 48,62 1,53 -22,66 -22,65 -0,68
Lima tahun yang lalu jagung pernah dikembangkan secara luas di Kabupaten Pangkep dan mampu menghasilkan biji kering yang memadai, namun tidak dapat diserap oleh pasar sehingga petani trauma dan tidak lagi tertarik menanam jagung. Hal tersebut nampak dalam perubahan pertanaman dari tahun 1999 ke tahun 2000 drastis menurun, yaitu lebih dari 50% akibat pengalaman buruk tersebut. Kondisi itu menyebabkan pertumbuhan produksi minus yang rata-rata selama tahun 1999 sampai 2003 adalah menurun sebesar 23%.
40
d. Ketersediaan Sarana Produksi Kesan petani terhadap ketersediaan sarana produksi dapat dilihat dari banyak faktor antara lain: sumber, ketersediaan, kemudahan mendapatkan, dan keterjangkauan harga. Petani di Takalar yang menggunakan benih hibrida menyatakan bahwa ketersediaan dan kualitas benih yang ditanam baik, mudah didapatkan; tetapi harganya yang terasa mahal, yaitu berada pada kisaran Rp.23.000-Rp.32.000/kg tergantung jenis dan cara bayar. Pioneer lebih mahal dibanding dengan BISI dan di bayar tunai lebih murah dibanding dengan yarnen (Tabel 5). Petani dikabupaten Pangkep masih menggunakan jagung komposit, selain merasakan kualitas jelek, juga memperolehnya sulit karena tidak diketahui dimana sumbernya. Biasanya benih varietas komposit berasal dari petugas pertanian (PPL), yang kualitasnya jelek dan tersedianya terlambat, sehingga menambah kesan jelek terhadap citra varietas jagung komposit. Fakta ini perlu menjadi perhatian khusus kalau ingin berusaha mengembangkan varietas komposit di tingkat petani. Upaya yang sangat mungkin dilakukan adalah bekerjasama dengan Dinas Pertanian memperbanyak penangkaran. Tabel 5. Ketersediaan sarana produksi jagung di wilayah penelitian, 2005 Ketersediaan sarana produksi pada tingkat petani
Uraian Takalar- Persentase petani (%) - Sumber - Ketrsediaan - Jumlah Kebutuhan (kg,l/ha) - Kemudahan Memperoleh - Harga (Rp/kg, l) - Cara Pembayaran Pangkep - Persentase petani (%) - Sumber - Ketrsediaan - Jumlah Kebutuhan(kg,l/ha) - Kemudahan Memperoleh - Harga (Rp/kg,l) - Cara Pembayaran
Benih
Herbisida
Urea
SP36 28,6 Kios Tersedia 50 Mudah 1.800 Tunai
100,0 Kios Tersedia 15,8 Mudah 23.000 Tunai
50,0 Kios Tersedia 1,5 Mudah 45.000 Tunia
100,0 Kios Tersedia 290,00 Mudah 1.200 Tunai
100 PPL Sulit 20,6 Sulit 7.000 Tunai
100 Pasar Tersedia 1,0 Mudah 45.000 Tunai
100 Kios Tersedia 228 Mudah 1.200 Tunai
KCl 5,0 Kios Tersedia 36,0 Mudah 2.000 Tunai
0,0 -
0 -
ZA 0 0 -
Sarana produksi lainnya seperti pupuk dan herbisida dinilai petani sudah tersedia cukup baik, karena pada tingkat kelompokpun sudah ada yang melayani kebutuhan petani, sehingga petani merasakan selalu tersedia, mudah memperolehnya, dan kualitasnya baik, hanya saja harganya terasa mahal. Jika dibayar tunai harga urea misalnya hanya Rp.55.000-65.000/sak, sedang kalau dibayar setelah panen (yarnen) harganya meningkat mencapai Rp.70.000-Rp.80.000/sak. 2.
Identitas Responden
Identitas petani perlu diketahui dalam hubungannya dengan penerapan inovasi teknologi. Faktorfaktor demografi yang banyak menentukan adalah umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, dan ketersediaan tenaga keluarga. Semua faktor demografi tersebut di wilayah penelitian mendukung penerapan teknologi. Umur petani masih dalam batasan usia produktif yang biasanya sangat respon dengan inovasi baru, pendidikan rata-rata tammat SD, bahkan beberapa diantaranya telah melanjutkan ke SLTP (Tabel 6). Tabel 6. Identitas Petani Responden di Wilayah Penelitian, 2005 Uraian Identitas Responden Umur (thn) Pendidikan (thn) Pekerjaan pokok Pengalaman bertani jagung (thn) Jumlah anggora keluarga (org) Jumlah yang aktif membantu (org) Sumber: Data primer setelah diolah, 2005
Kabupaten Takalar 40,6 7,1 Tani 14,9 3,6 1,5
Pangkep 44,6 6,8 Tani 6,3 3,7 1,7
41
3.
Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Jagung
a.
Kabupaten Takalar
Luas lahan sawah tadah hujan di Takalar mencapai 7.395 ha. Lahan yang banyak dimanfaatkan untuk pertanaman jagung adalah di Kecamatan Galessong Utara. Pemanfaatannya cukup intensif, yaitu mencapai Indeks Pertanaman (IP) 300% dengan penanaman padi yang diikuti jagung dua kali dalam setahun (Gambar 1). C.hujan (mm/bln)
H.Hujan (hari/bln)
500
20 C.hujan
400
15
H.hujan 300
10 200 5
100 0
0 Nop
Des
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Padi
Jun
Jagung
Jul
Ags
Sep
Okt
Jagung II/ Jagung Manis
Gambar 1. Pola curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Galesong Utara, 2005
Teknologi yang diterapkan dalam budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan adalah menggunakan benih jagung hibrida, menggunakan pupuk urea yang banyak, memanfaatkan air tanah dengan pompa jika tanaman jagung memerlukan irigasi, menggunakan herbisida dalam persiapan lahan (Tabel 7). Tabel 7. Keragaan penerapan Teknologi Budidaya Jagung pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Kecamatan Galesong Utara, Takalar, 2005 Uraian Periode Tanam Pengolahan Varietas Jarak tanam Pemupukan Penyiangan Pengairan Pengendalian hama/penyakit Panen dan prosessing
Jagung hibrida April – Desember Traktor 2 kali, sewa Rp.700.000/ha Bisi-2, P21, P11, P7 70cmx20cm, 1biji/lubang atau 70cmx40cm, 2 biji/lubang 2 kali pada umur 10 hst 200 kg urea/ha, pada umur 30-35 hst 300 kg urea, ditugal Cangkul atau herbisda Gramoxon jika rumput banyak Curah hujan dan dibantu pompa dari sumur bor, kedalaman 4-6m Belalang, dikendalikan dengan Regent
Jagung Manis Juni – Oktober Herbisida Gramoxone 1,5 l/ha Jagung manis 60cm x 40 cm, 3 biji/lubang 1 kali pada umur 10 hst dengan urea saja 200 kg/ha ditugal Manual cangkul 1 kali pada umur 30 hst Diairi 2 kali saja sudah dapat dipanen Belalang, serangan ringan, dibiarkan
Tebang, kupas klobot, angkut kerumah Petik dan jual ke penjual jagung rebus atau ke (Rp.2000/karung pupuk), pipil, jemur 2 hari, pasar terdekat jual Produksi 4-5 t/ha biji kering 300.000 – 500.000 tongkol/ha Harga jual Rp.1.100/kg ditempat petani oleh pedagang Terjual 80 % dari hasil dengan harga 250-300/ desa. Rp.1.200/kg jika diantar. tongkol, sisanya untuk keluarga Sumber: Hasil wawancara dengan petani di Desa Pa‟rasangan Beru, Takalar, 2005.
42
b. Kabupaten Pangkep Untuk merespon permintaan pasar terhadap jagung yang terus meningkat, pemerintah Kabupaten Pangkep dalam tahun 2006, memprogramkan pengembangan jagung seluas 5000 hektar yang tersebar pada 9 kecamatan, tetapi paling luas adalah di Kecamatan Sigeri dan Mandalle yaitu masing-masing 500 dan 825 ha (Diperta Pangkep 2004). Preferensi petani terhadap pengembangan jagung ke depan agak beragam tergantung dari pengalaman mereka. Petani yang ikut dalam penanaman jagung komposit tahun 2004 yang lalu terkesan jelek karena dua alasan pokok yaitu : (1) benih terlambat datang dan daya tumbuhnyapun rendah (45%) sehingga banyak petani menanam dua kali dan itu pun kurang berhasil, (2) kesulitan air menjelang pembungaan (bulan Agustus), karena pada saat itu hujan sudah minim sementara air saluran irigasi juga sudah terbatas, bahkan sebagian petani mengatakan air sungai ketika itu kadar garamnya sudah tinggi akibat air permukaan di laut naik dan mengalir masuk ke tambak-tambak nelayan. Meskipun demikian, sebagian besar petani masih sangat optimis dapat mengembangkan jagung setelah padi asal saja dipenuhi tiga syarat yaitu: tersedia benih yang baik, ada sumber air untuk mengairi saat pembungaan, dan ada jaminan pasar. Pola pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di Pangkep adalah penanaman padi rendengan pada bulan Nopember dan tanam palawija pada bulan Mei/Juni Gambar 2.
C.hujan
800
20
C.hujan (mm/bln)
H.hujan 600
15
400
10
200
5
0
0 Nop
Des
Jan
Peb
Mar
Padi Rendengan
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
H.Hujan (hari/bln)
25
1000
Okt
Jagung
Gambar 2. Rata-rata curah hujan, hari hujan selama 11 tahun (1994-2004) dan pola tanam pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Mandalle, 2005
Beberapa permasalahan penanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan setelah padi rendengan antara lain: (1) Curah hujan sering berlangsung lama sehingga di bulan Juni pun masih sering ada hujan lebat dan banjir terutama pada sawah-sawah yang tidak baik pembuangannya seperti di Desa Manggalung, (2) Penanaman yang tertunda sampai akhir Juni dikhawatirkan mengalami kekeringan pada periode pembungaan di bulan September, (3) Pemilik lahan enggan mengijinkan lahannya ditanami jagung karena batang jagung sulit dibersihkan dan membahayakan bagi buruh tanam pada penanaman padi berikutnya, sementara buruh tanam sangat terbatas di daerah ini, (4) Penanaman jagung yang tidak serempak pada satu kawasan/hamparan menjadi ancaman terhadap ternak sapi yang pada priode tersebut sapi masih dilepas liar pada lahan sawah tadah hujan. Teknologi budidaya jagung yang diterapkan pada lahan sawah tadah hujan tersebut dinilai cukup memadai terutama dalam persiapan lahan yang telah memperhitungkan faktor efisiensi, sedang pemupukannya dan penggunaan varietas masih perlu diperbaiki (Tabel 8).
43
Tabel 8. Keragaan penerapan teknologi budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Mandalle, Pangkep, 2005 Uraian Periode Tanam Penyiapan lahan
Keterangan Mei/Juni - Agustus/September TOT Basmillang diberikan 1 hari sebelum tanam, atau Round Up diaplikasikan minggu sebelum tanam atau olah sempurna dengan bajak atau traktor Varietas Lokal, Lamuru tahun 2004, dulu ada jagung kuning (Bisma) Perlakuan benih Ada sebagian kecil petani yang merendam dengan karbon batrei 1 batrei/2 kg benih untuk menghindari semut. Penggunaan Saromil/Ridomil belum umum dilakukan Jarak tanam 75-100 cmx 25-30cm, 1-2 biji/lubang dilakukan oleh anggota keluarga. Pemupukan Hanya menggunakan Urea dan ZA dengan dosis 2 sak urea dan 1 sak ZA/ha. Alasan menggunakan ZA adalah cepat kelihatan pengaruhnya. Diantaranya ada yang sudah mencoba pupuk tersebut dilarutkan kemudian disiramkan ke pangkal tanaman pada umur 10-15 hari. Penyiangan Manual dengan cangkul atau herbisda Gramoxone jika rumput banyak. Menggunakan handsprayer yang dilengkapi dengan pembatas di nonselnya Pengairan Mengandalkan curah hujan, sebagian petani tetap memanfaatkan pompa dari sumur bor, kedalamannya 4-6 m Pengendalian hama Belum ada hama yang berat serangannya. Hama yang sering muncul adalah penggerek tongkol yang nampak gejala serangannya pada rambut tongkol. Panen dan prosessing Kupas klobot, petik, angkut kerumah, pipil dengan alat tradisionil (pisau atau lempengan besi, tancapan paku/besi pada kayu) dilakukan oleh anggota keluarga. Produksi 0 - 3 t/ha biji kering. Harga jual Rp.700/kg, Harga yang diinginkan petani Rp.1.500/kg. Sumber : Hasil wawancara kelompok dengan petani di Coppo Tompong, Parenreng, dan Manggalung, Kecamatan Mandalle, Pangkep, 2005
Berdasarkan fakta tersebut, perlu upaya pembuatan drainase yang baik untuk mempercepat penanaman jagung, dan teknologi pengolahan tanah untuk lahan sawah yang dapat menghancurkan bongkahan tungkul akar jagung, atau perlu diperkenalkan sistem penanaman padi secara tabela, serta perlunya dibangun kesepakatan untuk penanganan ternak dengan memanfaatkan teknologi integrasi tanaman pangan dan ternak. Produksi jagung pada periode pertanaman tersebut sangat baik kualitasnya karena panen berlangsung pada saat musim kemarau, sehingga petani memungkinkan mendapatkan harga yang lebih baik. Apalagi dalam periode tersebut tidak ada pasokan jagung dari sentra produksi bagian selatan Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, Kabupaten Pangkep mempunyai peluang yang sangat besar untuk dijadikan sentra produksi benih jagung komposit mendukung Celebes Corn Belt yang permintaannya besar dan berkesinambungan.
KESIMPULAN 1. Perluasan areal tanam tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan masih terbuka luas di Kabupaten Pangkep. Sedang di Takalar, perluasan areal tanam dapat ditempuh dengan mengatur pola tanam dari padi-padi-jagung menjadi padi – jagung – jagung. Hal ini sangat memungkinkan karena telah terbukti jagung dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding padi gadu yang sering kekeringan pada akhir pertumbuhannya. 2. Ketersediaan sarana produksi berupa benih, pupuk dan herbisida dinilai cukup baik, terutama di wilayah yang sudah maju, sedang di wilayah yang belum maju ketersediaan masih perlu terus diupayakan agar dapat dengan mudah terakses petani 3. Keragaman penerapan teknologi budiaya jagung sangat nampak terutama di daerah yang belum maju perjagungannya (Pangkep) 4. Teknologi yang diperlukan petani pada daerah belum maju adalah penangkaran untuk penyediaan benih komposit, sedang pada daerah maju adalah penentuan dosis pemupukan yang efisien dan penyiapan lahan termasuk sistem drainase untuk menetapkan pola tanam yang tepat.
44
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian., 1994. Renstra Badan Litbang Pertanian Tahun 2005-2009. Balitsereal. 2004. Rencana Strategis Balai Penelitian Tanaman Serealia 2005-2009 (Belum dipublikasikan). BPS. 2003. Luas lahan menurut penggunaannya di Indonesia. Survei Pertanian. Badan Pusat StatistikJakarta BPS Kabupaten Pangkep. 2004. Kabupaten Pangkep dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep, Pangkep BPS Kabupaten Takalar, 2004. Kabupaten Takalar dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar. Takalar. Damardjati, Subandi. I.K.Kariasa, Zubachtirodin, dan Sania Saenong, 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta, 51 halaman. Deptan, 2004. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Dinas Pertanian Kabupaten Pangkep, 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Pangkep. Pangkajene Kepulauan. Dinas Pertanian Kabupaten Takalar, 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Takalar, Takalar. Subandi dan Hermanto. 2002. Inovasi Teknologi Jagung. Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Puslitbangtan. Bogor. Subandi dan I.Manwan, 1990. Penelitian dan teknologi peningkatan produksi jagung di Indonesia. Laporan Khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor, 67 halaman. Sudjana dan R. Setiyono, 1993. Jagung untuk lahan sawah tadah hujan. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4. Jagung, Sorgum, Ubikayu, dan Ubi Jalar. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan II, Jakarta/Bogor 23-25 Agustus, 2003, Bogor. Hal. 1023-1031.
45
PREFERENSI PANELIS PRODUK SIROP BUAH ANGGUR SELAMA PENYIMPANAN Wayan Trisnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jln. By Pass Ngurah Rai Pesanggran Denpasar Tlp. (0361) 720498
ABSTRAK Pertumbuhan tanaman anggur di Indonesia sangat sesuai karena kondisi agroekologi yang cocok, lahan yang tersedia sangat luas dan memiliki varietas anggur yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lingkungan tropis. Buah anggur merupakan salah satu jenis buah yang mudah rusak. Salah satu pemanfaatan buah anggur Bali selain dikonsumsi segar sebagai buah meja, dapat diolah menjadi produk olahan, salah satunya berupa sirop anggur. Sirop adalah cairan berkadar gula tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi panelis produk sirop anggur selama penyimpanan. Penelitian dilakukan pada kelompok Wanita Tani Sawitra Harapan Kita di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng dengan anggota 20 orang. Untuk mengetahui preferensi panelis selama penyimpanan dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik skala hedonik menggunakan 15 orang panelis. Perlakuan teridiri dari penyimpanan bulan ke-0, 1, 2, dan 3 dengan panelis sebagai ulangan (15 ulangan). Analisa kimia dilakukan terhadap vitamin C, pH, total gula, total asam, dan TSS yang bertujuan untuk mengetahui mutu sirop anggur selama penyimpanan. Data organoleptik dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Setelah dilakukan analisa data diperoleh bahwa berdasarkan sifat sensorik berbeda nyata terhadap warna, flavor, rasa manis dan penerimaan secara keseluruhan sedangkan terhadap rasa dimulut tidak berbeda nyata. Selama 3 bulan penyimpanan produk sirop anggur terjadi penururnan penerimaan panelis dan penurunan mutu produk berdasarkan kandungan vitamin C, pH, total gula, total asam dan TSS. Penilaian berdasarkan sifat sensorik (uji organoleptik) sesuai dengan hasil penilaian secara obyektif (analisa kimia) dimana terjadi penurunan mutu produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan Kata Kunci : Sirop anggur, preferensi panelis dan penyimpanan
PENDAHULUAN Tingginya pendapatan dan kesadaran akan pentingnya gizi, maka peluang pemasaran buah-buahan baik dalam bentuk segar maupun olahan semakin terbuka lebar. Selain itu dampak permintaan buah-buahan dari luar negeri juga semakin meningkat, dan ada kecenderungan bahwa konsumen luar negeri semakin menyukai buah-buahan tropis. Semakin meningkatnya permintaan dan akan adanya pasar bebas, maka peran pasca panen menjadi sangat penting. Penanganan pasca panen yang baik akan menghasilkan buah bermutu prima sampai di tangan konsumen, sehingga dapat mendukung keberhasilan persaingan perdagangan buah-buahan. Pertumbuhan tanaman anggur di Indonesia sangat sesuai karena kondisi agroekologi yang cocok, lahan yang tersedia sangat luas dan memiliki varietas anggur yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lingkungan tropis. Pertumbuhan tanaman anggur sangat tergantung pada faktor iklim yaitu ketinggian tempat (elevasi) yang berkaitan dengan suhu, kelembaban udara, curah hujan dan sinar matahari. Kondisi pertanaman yang sangat cocok untuk pembudidayaan adalah dataran rendah beriklim kering pada ketinggian 0-300 meter diatas permukaan laut (m dpl) dengan suhu 25ºC-31ºC, kelembaban udara 40%-80%, intensitas sinar matahari 50%-80%, memupnyai 3-4 bulan kering dan curah hujan 800 mm/tahun (Rukmana 2005). Kondisi iklim seperti ini sangat cocok dengan kondisi iklim di Desa Patas Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng yang merupakan daerah dataran rendah beriklim kering. Buah-buahan merupakan salah satu sumber makanan berserat yang dianjurkan untuk dikonsumsi, minimal 300-400 g per hari. Saat ini hampir semua orang menggemari buah anggur karena rasanya enak, manis, segar, disamping mengandung gizi tinggi terutama vitamin C dan vitamin A. Mengkonsumsi buah anggur sangat baik untuk memperbaiki sistem kardiovaskuler, (melindungi pembuluh darah arteri), menjaga kerja ginjal kandung kencing dan menenangkan sistem syaraf (Rukmana, 2005). Buah anggur Bali selain dikonsumsi segar sebagai buah meja, dapat diolah menjadi produk olahan. Buah anggur merupakan salah satu jenis buah yang mudah rusak, untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan mengolah menjadi, antara lain juice, jam, kismis, dan lain-lain. Salah satu jenis produk olahan anggur adalah berupa sirop anggur. Pengolahan ini dapat dilakukan dengan proses sederhana sehingga bisa dilakukan pada kelompoktani yang merupakan sentra anggur.
46
Sirop adalah cairan berkadar gula tinggi. Untuk rasa dan flavor, gula sirop dilarutkan dengan sari buah, atau larutan gula ditambah dengan sari buah. Sirop anggur dapat disimpan lama tanpa penambahan bahan pengawet dan tanpa proses sterilisasi dalam pengemasannya karena tingginya kadar gula (67,5%) dan rendahnya pH( <4) (Anonim. 1995). Bahan tambahan lain yang dipakai untuk memberikan cita rasa pada produk diantaranya adalah gula pasir, asam sitrat, natrium benzoat dan natrium bisulfit. Penambahan gula berfungsi untuk memperbaiki cita rasa sekaligus sebagai bahan pengawet alami dengan tujuan menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai bahan pengawet, penggunaan gula pasir minimal 3%. Penggunaan bahan pemanis dalam minuman ringan adalah untuk memberikan nilai kalori terhadap minuman tersebut. Disamping itu bahan pemanis juga berfungsi dalam memberikan bentuk dan rasa pada mutu minuman yang dihasilkan (Hidayat dan Agustin, 2005). Asam sitrat merupakan senyawa intermedier dari asam organik yang berbentuk kristal atau serbuk putih. Sifat asam sitrat adalah mudah larut dalam air, spritus, etanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai selanjutnya terbakar sampai menjadi arang (Hidayat dan Agustin, 2005). Pemberian asam sitrat pada minuman bertujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya gula, berlaku sebagai pengawet dan dapat mempercepat inversi gula dalam minuman. Penggunaan maksimum pada minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah. Penambahan bahan pengawet berfungsi untuk memperpanjang umur simpan suatu makanan, dengan jalan menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai senyawa antimikroba. Asam benzoat seringkali digunakan sebagai antimikroba dalam makanan seperti sari buah, minuman ringan dan lain-lain. Garam sodium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat lebih larut air daripada bentuk asamnya. Asam benzoat sering dikombinasikan dengan asam sorbat dan ditambahkan dalam jumlah sekitar 0,05-0,1% berat bahan (Anonim, 2002). Penilaian mutu suatu komoditi/produk, umumnya ditentukan dari hasil penilaian dengan menggunakan indera, karena dapat dengan cepat dan mudah serta langsung dilakasanakan. Kadang-kadang hasilnya bisa melebihi ketelitian suatu alat, dimana hasil penilaian ini dapat menggambarkan mutu produk secara subyektif (Anonim. 1991). Produk pangan mempunyai atribut mutu yang terdiri dari obyektif (dikaitkan dengan instrumen fisik/peralatan) dan subyektif yang diukur dengan respon/kesan/tanggapan manusia. Salah satunya adalah sifat organoleptik skala hedonik, disini diharapkan panelisnya dapat mewakili konsumen untuk menggambarkan sifat mutu suatu produk yang berkaitan dengan sifat manusiawi, rohani dan kejiwaan yang mencicipi. Pengukuran sifat hedonik ini merupakan kelompok mutu organik yang nyata, apakah produk tersebut disenangi atau tidak disenangi (Anonim. 1991). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi panelis produk sirop anggur selama penyimpanan.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan pada kelompok Wanita Tani Sawitra Harapan Kita di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng dengan anggota 20 orang. Pengolahan produk dilakukan pada kelompoktani dan analisa kimia, uji organoleptik dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil, Universitas Udayana. Bahan lain yang dipakai dalam pengkajian adalah buah anggur Bali apkir, gula pasir, asam sitrat dan pengental (CMC). Kemasan menggunakan botol kaca volume 600 ml Penyimpanan dilakukan selama 3 bulan. Untuk mengetahui preferensi panelis selama penyimpanan dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan menggunakan skala hedonik dengan skor 1 sampai 5. Perlakuan terdiri dari penyimpanan bulan ke-0, 1, 2, dan 3. Sedangkan yang dianggap sebagai ulangan adalah panelis (terdiri dari 15 panelis). Analisa kimia dilakukan terhadap vitamin C, pH, total gula, total asam, dan TSS yang bertujuan untuk mengetahui mutu sirop anggur selama penyimpanan. Data organoleptik yang terkumpul dianalisa menggunakan analisa sidik ragam dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT 5%.
47
Proses Pengolahan 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Pilih buah anggur yang masak, lalu dicuci bersih buah anggur dibelah dua, bijinya dibuang daging buahnya di hancurkan menjadi bubur buah, disaring sehingga diperoleh sari buah anggur Sari buah dipanaskan dan bersamaan dengan pemanasan ini ditambahkan gula, asam sitrat dan pengental (CMC). Untuk 1 liter sari buah ditambahkan 800 gr gula pasir, 2 gr asam sitrat, 1 % bahan pengental/ CMC dari volume yang dibuat) Campuran ini dipanaskan sampai suhu 90ºC selama 15 menit Pembotolan : botol yang akan dipakai dipasteurisasi dengan dipanaskan dalam air mendidih. Sirup dimasukkan kedalam botol yang masih panas, kemudian botol langsung ditutup. Selanjutnya botol tertutup tadi direbus kembali. dalam air mendidih pada suhu 100ºC selama 30 menit Penyimpanan sirup dapat dilakukan pada suhu kamar
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisa statistik, preferensi panelis terhadap produk sirop anggur selama penyimpanan berbeda nyata terhadap warna, flavor, rasa manis dan penerimaan secara keseluruhan (Tabel 1). Penyimpanan bulan ke-0 penerimaan panelis secara keseluruhan sangat menyukai produk sirop dengan skor berkisar 4.00. Dengan semakin lama masa simpan produk preferensi panelis semakin menurun, baik terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan. Tabel 1. Preferensi Panelis Produk Sirop Buah Anggur Selama Penyimpanan Penyimpanan (bulan ke-)
Warna
0 4,00a 1 3,47a 2 3,07ab 3 2,53b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf uji DMRT 5%
Flavor
Rasa Manis
Rasa Dimulut
Penerimaan Keseluruhan
3,67a 4,00a 3,87a 4,07a 2,93a 3,27b 3,33a 3,27b 2,73b 3,60ab 3,53a 3,67ab 2,67b 2,93b 3,20a 2,87b sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
Preferensi panelis terhadap warna produk sirop menunjukkan penurunan mulai bulan ke-1 dengan skor 3.47 (antara suka sampai biasa/netral). Penurunan penerimaan panelis secara nyata kelihatan pada bulan ke-3 dengan skor 2.53 (antara biasa sampai tidak suka). Penurunan penerimaan panelis terhadap warna produk sirop disebabkan karena terjadinya pengendapan produk sehingga warna produk sedikit pudar/lebih bening dibandingkan dengan warna produk pada awal penyimpanan. Perubahan flavor mulai berbeda nyata pada bulan ke-2, terjadi penurunan preferensi panelis dengan skor 2.73 (antara biasa/netral sampai tidak suka). Terjadinya penurunan flavor sirop anggur selama penyimpanan disebabkan karena terjadinya penguraian gula menjadi asam sehingga keasaman produk meningkat dimana akan mempengaruhi cita rasa produk menjadi lebih menyengat. Prefernsi panelis terhadap rasa manis produk selama penyimpanan juga menurun. Perbedaan yang nyata mulai terlihat pada penyimpanan bulan ke-1 yang terus menurun sampai penyimpanan bulan ke-3 dengan skor 2.93. Secara keseluruhan, preferensi panelis terhadap produk sirop anggur mulai kelihatan berbeda pada penyimpanan bulan ke-1 dan pada bulan ke-3 penerimaan panelis dengan skor 2.87 (antara biasa/netral sampai tidak suka). Tabel 2. Analisa Kimia Produk Sirop Buah Anggur Selama Penyimpanan Penyimpanan (bulan ke-) 0 1 2 3
Vitamin C (mg/100 gr) 9,72 5,82 2,19 1,46
pH 3,10 3,59 3,52 3,74
Total Gula (%b/v) 15,64 14,39 14,06 12,81
Total Asam (%b/V) 1,00 1,17 1,12 0,04
TSS (% brix) 19,00 20,30 18,80 18,60
Sumber : data hasil analisa laboratorium
48
Analisa kimia terhadap produk sirop anggur dipakai sebagai gambaran dari evaluasi subyektif sehingga kita bisa mengetahui mutu prodok melalui penerimaan panelis dengan mutu produk berdasarkan hasil analisa kimia. Hasil analisa produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan terhadap kandungan vitamin C menurun. Hal ini disebabkan karena sifat dari vitamin C yang mudah teroksidasi baik oleh perlakuan panas maupun perlakuan lainnya (Winarno, 1984). Kadar gula total sangat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, dimana kadar gula total cenderung menurun selama penyimpanan. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan total gula menjadi asam atau alkohol. Selama penyimpanan terjadi perubahan glukosa menjadi asam, yang akan berpengaruh pada penurunan kadar gula total. pH adalah salah satu indikator yang penting dalam prinsip pengawetan bahan pangan. Hal ini dikarenakan pH berkaitan dengan ketahanan hidup mikroba. Dengan semakin rendahnya pH, maka bahan pangan dapat lebih awet karena mikroba pembusuk tidak dapat hidup. Selama penyimpanan pH cenderung menurun kemudian meningkat pada penyimpanan bulan ke-3. Hal ini mungkin disebabkan karena penguraian glukosa menjadi asam (Barlina, et al. 2004). Hasil tertinggi total asam terdapat pada penyimpanan bulan ke-1, hal ini disebabkan komponenkomponen yang ada dalam bahan telah terdegradasi menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Sedangkan pada bulan berikutnya terjadi penurunan total asam, hal ini disebabkan asam-asam yang dihasilkan bila diurai lebih lanjut akan menjadi senyawa volatil (Dwidjoseputro, 1985). Produk sirop memiliki kandungan vitamin C, kadar gula total dan TSS yang cukup tinggi, ini disebabkan karena produk sirop merupakan minuman ringan berupa larutan kental sehingga bisa disimpan lama tanpa penambahan bahan pengawet dan tanpa proses sterilisasi dalam pengemasannya dengan pH <4. Peningkatan TSS dgn makin lama penyimpanan disebabkan karena komponen-komponen yang komplek seperti protein dan karbohidrat terurai menjadi persenyawaan yang lebih sederhana, sehingga terjadi kenaikan total padatan terlarut. Senyawa-senyawa sederhana ini mudah larut dalam air. Penyimpanan pada bulan ke-2 yotal padatan terlarut mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena kemungkinan senyawasenyawa yang telah terdegradasi ini sebagian telah diuraikan lagi menjadi senyawa volatil. (Dwidjoseputro, 1985). Penilaian berdasarkan sifat sensorik (uji organoleptik) sesuai dengan hasil penilaian secara obyektif (analisa kimia) dimana terjadi penurunan mutu produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan.
KESIMPULAN 1. Sifat sensorik produk sirop anggur selama penyimpanan berbeda nyata terhadap atribut warna, flavor, rasa manis dan penerimaan secara keseluruhan. Sedangkan terhadap rasa dimulut tidak berpengaruh 2. Selama 3 (tiga) bulan penyimpanan, terjadi penurunan penerimaan panelis terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan 3. Hasil analisa secara obyektif (analisa kimia) selama penyimpanan menunjukkan penurunan mutu produk dilihat dari kandungan vitamin C, pH, total gula, total asam dan TSS 4. Penilaian berdasarkan sifat sensorik (uji organoleptik) sesuai dengan hasil penilaian secara obyektif (analisa kimia) dimana terjadi penurunan mutu produk sirop anggur selama 3 (tiga) bulan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1991. Sifat Sensorik Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Universotas Gajah Mada. Anonim. 1995. Standar Nasional Indonesia. Dewan Standarisasi Nasional-DSN. Anonim. 2002. Bahan Tambahan Makanan: Fungsi dan Penggunaannya Dalam Makanan. Medikasari Institut Pertanian Bogor December 2002. Diakses dari http://tumoutou.net/medikasari.htm, tgl 23 agustus 2006.
49
Barlina, R; Steivie Karouw; Juni Towaha dan Ronald Hutapea. 2004. Pengaruh Perbandingan Air Kelapa dan Penambahan Daging Kelapa Muda Serta Lama Penyimpanan Terhadap Serbuk Minuman Kelapa. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Menado. Dwidjoseputro, D. 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Malang Fardiaz, S. 1990. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjutan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Hidayat. N dan Wike Agustin Prima Dania. 2005. Minuman Berkarbonasi dari Buah Segar. Trubus Agrisarana.2005. Rukmana Rahmat. H. 2005. Anggur Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Kanisius. Winarno, 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia. Jakarta.
50
KAJIAN SUMBER KHITOSAN SEBAGAI BAHAN PELAPIS, PENGARUHNYA TERHADAP MASA SIMPAN DAN KARAKTERISTIK BUAH MANGGA SELAMA PENYIMPANAN (Study of chitosan sources as a coating agent on characteristics and self-life of mango during storage ) Jayaputra, dan Nurrachman Program Studi Hortikultura, Fak. Pertanian. Universitas Mataram
ABSTRACT The aim of the research was to study (1) the effect appliction of chitosan on physico-chemistry mango characteristics, and (2) self-life of mango. The experiment was conducted in Laboratory on September – October 2005. Factorial experiment was arranged in Completely Randomized Design and consisted of two factors, 2 sources of chitosan, shrimp and crab-shell and 4 levels of chitosan, i.e 0.5%, 1%, 1.5% and 2% (w/v); each treatment was replicated 3 times. Data were analyzed by SAS for window release 6.12. The result showed that there is no interaction between sources and levels of chitosan on mango characteristic during storage. Source of chitosan have no effect on total sugar, titratable acid, weight loss, firmness, and colours, where as, Levels of chitosan have signifantly difference on total sugar, titratable acid, firmness and colours. Self-life of mango is 15 days for levels of chitosan 0.5%; 1% and 2.0%, where as 20 days for 1.5% (w/v). Key Words : Chitosan, mango, concentration, self-life, physico-chemistry
PENDAHULUAN Latar Belakang Di Nusa Tenggara Barat, mangga merupakan salah satu produk hortikukltura yang mempunyai prospek cukup baik. Pada umumnya mangga dipasarkan dalam suasana suhu ruang. Cara pemasaran ini akan berpengaruh terhadap kecepatan kemunduran kualitas buah dan masa simpan, dan lebih lanjut berpengaruh terhadap ketersediaan dan pemasaran buah. Buah setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme menggunakan cadangan makanan yang terdapat dalam buah. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat senesen ( Wills et al. 1998; Kays 1991). Metode yang digunakan untuk menghambat proses metabolisme pada buah dapat diatasi dengan penyimpanan atmosfer terkendali (Kader 1985; Stow 1995; Siddiqui et al. 1996). Metode ini memerlukan biaya yang tinggi (Knee 1993). Metode lain yang lebih praktis adalah dengan meniru mekanisme atmosfer termodifikasi yaitu dengan penggunaan bahan pelapis (coating) (Kays 1991; Baldwin 1994), misalnya dengan penggunaan chitosan. Chitosan, polisakarida yang berasal dari limbah kulit udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan rajungan (Crab). Chitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis buah-buahan misalnya pada tomat (El-Ghaouth et al. 1992a) dan leci (Zhang dan Quantrick 1997). Sifat lain chitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi chitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi, sehingga ada kemungkinan dapat digunakan sebagai fungisida (Baldwin 1994; Nisperos-Carriedo 1994; El-Ghaouth et al. 1992a ). Berdasarkan uraian di atas maka telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan khitosan dari berbagai sumber sebagai pelapis edibel terhadap umur simpan dan karakteristik kimia buah mangga selama penyimpanan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mempelajari pengaruh penggunaan pelapis edibel khitosan terhadap karakteristik kimia buah mangga selama penyimpanan, (2) Mempelajari penggunaan pelapis edibel khitosan terhadap umur simpan buah mangga.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan percobaan di Laboratorium. Pelaksanaan percobaan mulai September sam pai Oktober 2005 di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Laboratorium/Studio Gambar Hortikultura Fakultas Pertanian dan Laboratorium Analitik
51
Universitas Mataram. Percobaan dirancang secara faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu Sumber Chitosan dan Konsentrasi Chitosan. Sumber Chitosan terdiri dari dua taraf, yaitu sumber dari Udang dan sumber dari Rajungan); dan Konsentrasi Chitosan terdiri dari tiga taraf, yaitu :Pelapisan 0,5% (b/v), Pelapisan 1% (b/v), Pelapisan 1,5% (b/v), dan Pelapisan 2% (b/v). Dari dua faktor di atas maka terdapat 2 x 4 = 8 kombinasi atau perlakuan. Masing-masing perlakuan di ulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah susut bobot, kenampakan dan perubahan fisik buah, total gula dan total asam serta uji organoleptik yang diamati setiap 5 hari sekali setelah penyimpanan. Semua data yang diperoleh dianalisis dengan Generalized Linear Model menggunakan program Statistical Analysis Sistem (SAS) for Windows Release 6.12. Jika terdapat hasil yang signifikan selanjutnya dilakukan uji lanjutan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada tarap nyata 5%., sedangkan untuk uji interaksi antar perlakuan digunakan uji Least Square Mean.
HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum dari hasil pengamatan dan analisis keragaman (Anova 5%) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata jenis bahan khitosan maupun konsentrasi, namun keduanya (jenis bahan dan konsentrasi khitosan) tidak menunjukkan adanya interaksi yang nyata. Susut Bobot Buah mangga Pengaruh bahan khitosan dan konsentrasi khitosan terhadap Susut Bobot buah mangga arumanis selama penyimpanan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Susut Bobot (%) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan Perlakuan Khitosan udang Khitosan rajungan BNJ 5% Konsentrasi 0,5 % Konsentrasi 1,0 % Konsentrasi 1,5 % Konsentrasi 2,0 %
5 HSP 9,6 6,1 10,3 9,45 4,6 7,05 -
Susut Bobot (%) pada 10 HSP 15 HSP 9,6 10,36 6,61 5,41 10,31 10,53 9,45 5,14 4,6 8,95 7,05 3,7 -
20 HSP 0,72 0,47 * * 2,38 * -
BNJ 5% Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan * : Tidak ada data (buah telah rusak decaying) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa konsentrasi 0,5%, 1,0% dan konsentrasi 2,0% hanya mampu mempertahankan kesegaran buah mangga hingga hari ke 15. Sedangkan konsentrasi 1,5% dapat mempertahankan kesegaran hingga hari ke 20. Susut bobot buah mangga cenderung meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Peningkatan susut bobot buah mangga ini disebabkan oleh adanya penguapan dan perubahanperubahan yang terjadi di dalam buah mangga yang dipacu oleh adanya proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardi dan Yuniarti (1986), yang menyatakan bahwa penyusutan atau pengurangan berat bahan terus berlangsung selama penyimpanan sebagai akibat dari adanya proses respirasi. Fenomena yang dapat terlihat jelas adalah bahwa bahan khitosan maupun konsentrasi 1,5% mampu mempertahankan kesegaran buah hingga hari ke-20, hal ini diduga karena bahan pelapis khitosan dapat menutup seluruh permukaan buah mangga dengan sempurna sehingga O 2 yang akan masuk ke dalam buah dapat dihambat dan menyebabkan terhambatnya proses respirasi, sedangkan konsentrasi 0,5%; 1,0%, dan 2,0% hanya sampai 15 hari. Hal ini disebabkan oleh lapisan pelapis sangat tipis sehingga buah mangga masih dapat melakukan proses respirasi atau buah mangga tersebut kurang memiliki lapisan yang berfungsi menghambat masuknya oksigen yang mengakibatkan terjadinya penguraian molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Perlakuan dengan khitosan 1,5% mampu menekan susut bobot buah mangga selama penyimpanan. Hal ini diduga karena adanya penghambatan penguapan air yang disebabkan oleh adanya lapisan yang menutup pori-pori buah. Pada konsentrasi ini diduga kekentalan larutan pelapis cukup baik dalam pelapisan
52
atau penutupan permukaan buah. Hal ini didukung oleh pendapat Hofman (1997) dan Hagenmeier (1995) menyatakan bahwa kehilangan berat disebabkan oleh proses biologis yang terus berlangsung yaitu proses respirasi secara sempurna sehingga gula reduksi terombak menjadi CO 2 dan H2O yang mudah menguap. Kadar Gula Reduksi Buah Mangga Tabel 2. Kadar Gula Reduksi (%) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan Kadar Gula Reduksi (%) pada
Perlakuan Khitosan udang Khitosan rajungan BNJ 5% Konsentrasi 0,5 % Konsentrasi 1,0 % Konsentrasi 1,5 % Konsentrasi 2,0 %
5 HSP
10 HSP
15 HSP
20 HSP
19.13 17.17 17.6 17.17 23.08 13.5 -
30.65 24.57 22.5 b 27.75 ab 36.55 a 23.65 ab 13.69
34.5 31.83 28.1 ab 32.65 ab 40.55 a 21.37 b 18.96
12.96 3.6 * * 33.13 * -
BNJ 5% Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan * : Tidak ada data (buah telah rusak - decaying) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%
Terdapat pengaruh nyata konsentrasi khitosan terhadap kadar gula reduksi buah mangga (Tabel 2). Data Tabel 2 juga menginformasikan bahwa terdapat suatu pola perubahan kadar gula reduksi buah mangga, yaitu terjadi peningkatan dari hari ke 5 hingga 15 untuk kadar gula reduksi pada konsentrasi khitosan 0,5% 1,5%. Sedangkan peningkatan kadar gula reduksi pada tingkat konsentrasi khitosan terjadi di hari ke-10 penyimpanan. Setelah terjadi peningkatan, pada masing-masing hari yang telah disebutkan tersebut, penurunan kadar gula reduksi terjadi. Peningkatan kadar gula reduksi dari hari ke-5 hingga hari ke-15 HSP diduga karena proses hodrolisa pati menjadi gula-gula sedehana (glukosa dan fruktosa) dengan bantuan enzim-enzim yaitu enzim amilase, fosforilase, dan invertase yang terdapat di dalam buah berjalaan lancar. Namun setelah hari ke-15 HSP, bahan atau substrat respirasi yang berupa pati sudah mulai berkurang sehingga sebagai akibatnya kecepatan respirasi berkurang. Selain dari pada itu gula yang telah ada juga kemudian digunakan bagi proses metabolisme. Wills (1998) dan Baldwin (1994) menjelaskan bahwa dalam proses pematangan selama penyimpanan buah, zat pati seluruhnya dihidrolisa menjadi sukrosa yang kemudian berubah menjadi gulagula reduksi sebagai substrat dalam respirasi. Penurunan kadar gula reduksi buah mangga yang terjadi diduga karena laju respirasi lanjutan yang merupakan pemecahan gula reduksi menjadi asam piruvat dan selanjutnya menghasilkan CO2 dan H2O. Dengan demikian, jelaslah bahwa semakin lama penyimpanan maka kadar gula reduksi buah mangga semakin meningkat sampai kadar tertentu dan selanjutnyaakan menurun kembali. Hal ini didukung oleh pendapat Kays (1991) dan Will at al., (19989), bahwa kecenderungan yang umum terjadi pada buah selama penyimpanan adalah terjadi kenaikan kandungan gula yang kemudian disusul dengan penurunan. Perubahan kadar gula reduksi tersebut mengikuti pola klimakterik yang merupakan pola respirasi buah mangga seperti yang dijelaskan oleh Baldwin et al. (1999), bahwa pada buah yang tergolong klimakterik, respirasinya meningkat dari hari ke-0 sampai hari ke-5 dan mencapai puncaknya pada hari ke-5 dan ke-9, setelah itu menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Pada buah mangga yang dicelupkan dalam larutan khitosan 0,5% diperoleh kadar gula reduksi terendah. Hal ini diduga bahwa pelapisan dengan khitosan 0,5% sudah mampu menghambat proses respirasi karena pori-pori buah tertutup lapisan khitosan, namun belum mampu menutup keseluruhan pori-pori buah secara sempurna sehingga pengaruh yang terlihat hanya sedikit. Sementara total kadar gula reduksi pada buah mangga yang dicelupkan pada larutan khitosan 1,5% memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada 0,5% ; 1,0% dan 2,0%. Hal ini diduga karena pada pencelupan buah mangga dalam larutan khitosan 1,5% hampir semua pori-pori buah mangga dapat tertutup lapisan khitosan sehingga dimungkinkan terjadinya respirasi anaerobik dan CO2 yang dihasilkan pada proses respirasi tersebut terhambat keluar karena pori-pori buah tertutup lapisan khitosan. Penurunan kadar gula reduksi juga disebabkan karena pada hari ke-15 terjadi kenaikan intensitas kerusakan yang diduga disebabkan oleh aktivitas mikroba. Hal ini terjadi pada buah mangga yang dilapisi dengan khitosan yang berbahan udang dan dapat dilihat pada kenampakan buah mangga pada hari ke-15 penyimpanan yang disebabkan oleh tipisnya kandungan khitin sehingga dapat ditembus oleh mikroba (data tidak ditampilkan).
53
Total Asam Buah Mangga Tabel 3. Total Asam (ml NaOH/g) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan Total Asam (ml NaOH/g) pada
Perlakuan Khitosan udang Khitosan rajungan BNJ 5% Konsentrasi 0,5 % Konsentrasi 1,0 % Konsentrasi 1,5 % Konsentrasi 2,0 %
5 HSP
10 HSP
15 HSP
20 HSP
9.95 12.85 3.55 b 6.15 b 17.5 a 18.4 a 8.4
7.28 5.45 2.50 b 2.67 b 12.15 a 8.15 ab 6.6
4.78 3.07 1.7 b 1.96 b 8.15 a 3.19 b 4.8
1.26 0.96 * * 4.46 * -
BNJ 5% Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan * : Tidak ada data (buah telah rusak - decaying) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%
Terdapat fenomena total asam buah mangga yang semakin menurun sejak dari hari ke 10 sampai hari ke 20 setelah penyimpanan. Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa pada hari ke 5 HSP sudah terlihat adanya pengaruh nyata konsentrasi khitosan. Sedangkan jenis bahan khitosan yang digunakan tidak berpengaruh nyata. Begitu juga pada 10 dan 15 HSP, ada pengaruh nyata konsentrasi khitosan namun tidak pada jenis bahan khitosan yang digunakan. Penurunan total asam tersebut diduga sebagai akibat penggunaan asam-asam organik sebagai bagian dari seluruh jumlah total asam yang terdapat di dalam buah sebagai substrat sumber energi dalam proses respirasi. Akibat dari penggunaan asam-asam organik tersebut maka jumlah asam organik akan menurun yang menyebabkan nilai total asam juga akan menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat hofman et al. (1997) dan Baldwin (1999) menyatakan bahwa secara keseluruhan pada buah klimakterik jumlah asam organik akan menurun secara cepat selama penyimpanan, terjadi peningkatan laju respirasi yang membutuhkan banyak energi sehingga terjadilah penggunaan asam-asam organik yang tersedia di dalam buah sebagai substrat sumber energi. Perbedaan hasil total asam dari berbagai konsentrasi berarti bahwa pencelupan buah dalam larutan khitosan mampu menghambat penurunan total asam buah mangga, yang diduga bahwa penggunaan larutan khitosan mampu menghambat metabolisme dalam buah sehingga perubahan kadar asam lebih lambat. Hal ini juga diduga karena terjadi sintesa asam-asam organik dari gula-gula yang terbentuk selama penyimpanan buah mangga, hal ini diduga juga berkaitan dengan penggunaan asam-asam organik sebagai sumber energi cadangan yang lain terutama gula-gula sederhana sehingga akan mengurangi jumlah total asam. Hasil penelitian Suhardi dan Yuniarti (1996) menyatakan bahwa kadar total asam buah apel mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan tersebut disebabkan karena asam malat yang merupakan kandungan asam organik utama pada buah apel bersama-sama dengan gula yang digunakan sebagai substrat utama untuk respirasi, sehingga pada proses pematangan dalam penyimpanan kandungan asam menurun. Penurunan total asam tersebut terjadi bersama-sama dengan penurunan kadar pati dan meningkatnya kadar gula reduksi. Tingkat Kekerasan Buah Mangga Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa tingkat kekerasan buah mangga terus berkurang seiring dengan lamanya waktu penyimpanan yang menandakan semakin masaknya buah atau buah tersebut sedang menuju kepada telah tercapainya waktu senesen pada buah mangga tersebut. Berkurangnya kekerasan ditunjukkan oleh angka skala penetrimeter (Tabel 4). Perubahan tingkat kekerasan ini diduga dipengaruhi oleh turgor sel yang selalu berubah sejalan dengan terjadinya pemasakan buah. Oleh Kays (1991) dinyatakan bahwa perubahan tekanan turgor sel diakibatkan oleh perubahan komponen penyusun dinding sel yang terdiri dari pektin yang merupakan penyusun utama, sellulosa dan sedikit hemiselulosa. Komposisi sebagai penyusun dinding sel.
54
Tabel 4. Tingkat Kekerasan (kg/cm2) Buah Mangga Arumanis Selama Penyimpanan Tingkat Kekerasan (Kg/cm2) pada
Perlakuan Khitosan udang Khitosan rajungan BNJ 5% Konsentrasi 0,5 % Konsentrasi 1,0 % Konsentrasi 1,5 % Konsentrasi 2,0 %
5 HSP
10 HSP
15 HSP
20 HSP
4.13 4.07 3.87 4.38 3.8 4.33 -
3.25 a 2.4 b 0.684 2.15 ab 2.25 b 2.85 ab 3.75 a 1.3
1.58 1.4 1.57 1.32 1.73 1.33 -
0.22 0.23 * * 0.9 * -
BNJ 5% Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan * : Tidak ada data (buah telah rusak - decaying) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa perubahan tingkat kekerasan sangat nyata terlihat pada hari ke-10 penyimpanan pada bahan khitosan dan konsentrasi yang digunakan. Hal tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka semakin lama tingkat kekerasan tersebut dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan oleh semakin tebalnya lapisan yang menutup pori-pori buah untuk mengurangi proses respirasi dan transpirasi yang terjadi di dalam buah. Transpirasi pada buah menyebabkan ikatan sel menjadi longgar dan ruang udara menjadi besar seperti mengkeriput, keadaan sel yang demikian menyebabkan perubahan volume ruang udara, tekanan turgor dan kekerasan buah (Suhardjo, 1992). Buah, dalam proses pematangan mengalami penurunan tingkat kekerasan yang disebabkan oleh perkembangan jaringan sel dan perubahan komposisi dinding sel buah selama proses pematangan dan proses respirasi. Pelunakan buah berhubungan dengan degradasi pektin pada dinding sel dan lamela tengan menjadi fraksi-fraksi dengan berat molekul rendah, sehingga larut dalam air. Pelunakan buah disebabkan oleh proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan buah yang menyebabkan perubahan-perubahan seperti perubahan substansi pektin dari yang tidak larut menjadi larut, perombakan pati menjadi gula-gula sederhana sehingga keterikatan antar sel menjadi berkurang dan tekstur buah menjadi lunak. Hal ini sesuai dengan pendapat Apandi (1984), yang menyatakan bahwa perubahan tekstur buah disebabkan karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dinding sel, menurunnya kandungan pati karena terhidrolisa menjadi gula-gula sederhana. Perubahan Warna Buah Mangga Pada semua tingkat konsentrasi, nilai tingkat perubahan warna buah mangga cendrung meningkat dari hari ke 5 sampai hari ke 15 penyimpanan. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada hari ke 5 sudah ada pengaruh nyata pada konsentrasi khitosan namun tidak pada jenis bahan khitosan yang digunakan. Pada hari ke 10 tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata baik pada jenis bahan khitosan maupun pada konsentrasi khitosan yang digunakan. Namun pada hari ke 15 kembali terlihat adanya pengaruh yang nyata pada konsentrasi khitosan yang digunakan. Tabel 5. Perubahan Warna Kulit (%) Buah Mangga Arumanis (dari warna hijau ke warna kuning) Selama Penyimpanan Perubahan Warna Kulit Buah (%) pada
Perlakuan Khitosan udang Khitosan rajungan BNJ 5% Konsentrasi 0,5 % Konsentrasi 1,0 % Konsentrasi 1,5 % Konsentrasi 2,0 %
5 HSP
10 HSP
15 HSP
20 HSP
0.83 3.33 0b 0b 8.33 a 0b 3.53
15.23 21 12 14.89 25 20.58 -
31.42 39.42 25 b 30.25 ab 48.35 a 38.1 ab 15.45
17.5 22.5 * * 80 * -
BNJ 5% Keterangan : HSP : Hari Setelah Penyimpanan * : Tidak ada data (buah telah rusak - decaying) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%
Untuk kebanyakan buah, tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laun berkurang, pada umumnya sejumlah zat warna hijau tetap
55
terdapat dalam buah, terutama dalam jaringan bagian-bagian dalam buah. Beberapa penulis melaporkan adanya kegiatan klorofilase maksimum pada buah pisang dan apel pada waktu klimakterik. Oleh karena itu mereka menyimpulkan bahwa mungkin klorofilase bertanggung jawab atas penguraian klorofil. Dari hasil pengamatan dapat dilihat perubahan warna terjadi setelah hari ke-5 penyimpanan. Hal ini dikarenakan pada buah mangga selama tahap-tahap pematangan terjadi sintesis karotenoid secara drastis. Dinyatakan oleh Pantastico (1989) bahwa β-karoten pada buah mangga yang matang terdiri dari kira-kira 16 hidrokarbon dan oksikarotenoid yang berbeda. Khususnya β-karoten yang cukup besar dalam buah. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat adanya perubahan warna atau tepatnya perubahan warna hijau pada buah pada hari ke-10 penyimpanan. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan di dalam jaringan kulit buah khususnya unsur-unsur pigmen. Tetapi kerusakan pada kulit buah tersebut tidak berpengaruh pada daging buah. Perubahan warna selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada lampiran. Rasa Buah Mangga Selain perubahan-perubahan yang terjadi di atas, selama penyimpanan buah juga akan mengalami perubahan dari segi rasa. Uji organoleptik terhadap rasa buah pada setiap perlakuan dilakukan saat buah dalam satu ulangan sudah mengalami perubahan warna, tekstur dan kelayakan ekonomi telah mencapai 50%. Perubahan warna yang dimaksud adalah terjadinya degradasi atau perubahan warna dari hijau ke jingga, sedangkan tekstur ditandai dengan pelunakan buah. Kelayakan ekonomi buah yang diuji disesuaikan dengan selera konsumen di pasar (layak jual dan layak konsumsi). Tabel 6. Persentase Tingkat Kesukaan Terhadap Rasa Buah Mangga Arumanis Skore
Perlakuan Konsentrasi 0,5% khitosan udang Konsentrasi 0,5% khitosan rajungan Konsentrasi 1,0% khitosan udang Konsentrasi 1,0% khitosan rajungan Konsentrasi 1,5% khitosan udang Konsentrasi 1,5% khitosan rajungan Konsentrasi 2,0% khitosan udang Konsentrasi 2,0% khitosan rajungan Keterangan : 1. Sangat enak 3. Cukup Enak 2. Enak 4. Tidak Enak
1
2
3
4
13,33 20 26,67 20 20 20 20 26,67
33,33 26,67 26,67 26,67 40 46,67 26,67 26,66
26,67 33,33 20 40 33,33 33,33 33,33 20
26,67 20 26,67 13,33 6,67 0 20 26,67
Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa perlakuan khitosan rajungan dan udang dengan konsentrasi 1,5% memberikan nilai rasa pada skor 1-3 (sangat enak - cukup enak) masing-masing 93,33% dan 100% lebih tinggi dari pada perlakuan lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian serta pembahasan yang terbatas pada ruang lingkup penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Sumber bahan dan tingkat konsentrasi khitosan tidak terdapat interaksi nyata terhadap komponen kimia maupun fisik buah mangga Arumanis selama penyimpanan.
2.
Bahan khitosan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, kecuali pada tingkat kekerasan, sedangkan tingkat konsentrasi 0.5% ; 1.0% ; 1.5% ; dan 2.0% berpengaruh nyata pada nyata pada total gula reduksi, total asam, perubahan tingkat kekerasan dan perubahan warna pada buah mangga.
3.
Masa simpan buah mangga dapat mencapai 20 hari pada konsentrasi chitosan 1,5%, sedangkan pada perlakuan lainnya hanya mampu bertahan selama 15 hari.
Saran Penggunaan khitosan dengan konsentrasi 1,5% dapat disarankan digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah mangga arumanis.
56
DAFTAR PUSTAKA Baldwin EA. 1994. Edible coatings for fresh fruits and vegetables: past, present and future. Dalam : Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, editors. Edibles coatings and films to improve food quality. Lancaster. Technomic Pub. CO. Inc. Baldwin EA, Nisperos-Carriedo M, Shaw PE, Burns JK. 1995. Effect of coating and prolong storage condition on fresh orange flavor volatiles, degree brix, and ascorbic acid levels. J. Agric. Food. Chem : 43 : 1321-1331 Baldwin EA, Burns JK, Kazokas W, Brecht JK, Hagenmaier RD, Bender RJ, Pesis. 1999. Effect of two edible coatings with different permeability characteristics on mango (Mangifera indica L) ripening during storage. Postharvest Biol. Technol. 17 : 215-226. El-Ghaouth A, Ponnampalan R, Castaigne F, Arul J. 1992a. Chitosan coating to extend storagelife of tomatoes. HortScience 27 : 1016-1018 El-Ghaouth A, Arul J, Asselin A. 1992b.Potential uses of chitosan in postharvest preservation of fruits and vegetables Dalam Brine CJ, Sandford PA, Zikakis JP. Advances in chitin and chitosan. London New York. Elsevier Applied Science. Hagenmaier RD, Baker, RA. 1995. Layered coatings to control weight loss and preserve gloss of citrus fruit. HortScience 30 :296-298. Hofman PJ, Smith LG, Joyce DC, Johnson GI.1997. Bagging of mango (Mangifera indica cv Keitt) fruit influence fruit quality and mineral composition. Postharvest Biol. And Technol. 12 :285-292. Kader A A. 1985. Modified atmospheres and Low-pressure Syestems during Transport and Storage p 58-64. In : A. A. Kader (ed.). postharvest technology of horticultural crops. Univ. Calif., Oakland, Calif. Kader A A, Ben-Yehoshua S. 2000. Effecs of superatnospheric oxygen levels on postharvest physiology and quality of fresh fruits and vegetables. Postharvest Biol. And Technol. 20: 1-13 Kays S. 1991. Postharvest physiology of perishable plant product. New York. AVI Book Knee M. 1993. Pome fruit. Dalam Seymour GB, Taylor JE, Tucker GA, editors. Biochemistry of fruit ripening.. London. Chapman & Hall. Nisperos-Carriedo MO. 1994. Edible coating and film based on polysaccharides Di dalam: Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, editors. Edibles coatings and films to improve food quality. Lancaster. Technomic Pub. CO. Inc. Siddiqui S, Brackmann A, Streif J, Bangerth F. 1996. Controlled atmosphere storage of apples: cell wall composition and fruit softening. J. of Hort. Sci. 71: 613-620. Stow J. 1995. The effect of storage atmosphere on the keeping quality of “Idared” apples. J. of Hort. Sci. 70 :587-595. Suhardjo. 1985. Pengaruh umur petik dan penyimpanan suhu ruang terhadap sifat-sifat buah apel “Malang” (Malus sylvestris L). kultivar Rome Beauty (Tesis). Program Pascasarjana. IPB. Suhardi, Yuniarti. 1996. Penggunaan poliester sukrosa untuk memperpanjang daya simpan buah apel kultivar Rome Beauty. J. Hort 6(3) :303-308 Wills R, McGlasson B, Graham D, Joyce D. 1998. Postharvest, an introduction to the physiology and handling of fruits, vegetables and ornamentals. 4th ed. UNSW Press. Zhang D, Quantrick PC. 1997. Effect of chitosan coating on enzymatic browning and decay during posharvest storage of lichi (Lichi chinensis) fruit. Postharvest Biol. Technol. 12 : 195-202.
57
PENGEMBANGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA SISTEM BUDIDAYA BAWANG MERAH (Kajian pengendalian Spodoptera exigua Hubn. melalui pengelolaan habitat ) Tarmizi1), Siti Rasminah, Yogi Sugito dan Gatot Mudjiono2) 1) Fakultas Pertanin UNRAM 2) Fakultas Pertanian UNIBRAW
ABSTRAK Bawang merah merupakan salah satu komoditi potensial untuk agribisnis industrial pedesaan di NTB, meskipun luas areal tanam dari tahun ketahun cendrung menurun disebabkan seriusnya kendala biologi yang berdampak pada tingginya biaya produksi. Hal ini kemudian membentuk karakter agroekosistem konvensional (convensional agroecosystem) dimana dalam mempertahankan produksi rata-rata tinggi sangat tergantung pada chemotechnologi serta alterntif manipulasi sistem yang memungkinkan untuk mencegah penurunan hasil. Inovasi teknologi budidaya tanaman yang kondusif akan memberi dampak positif terhadap keberlanjutan industrial pedesaan , baik dari aspek ekologi dan ekonomi maupun budaya. Ketidak sesuaian teknologi yang ditawarkan acapkali justru menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah tersusunnya ”Standar Prosedur Operasional (SOP)” budidaya bawang merah yang berbasis ekologi (karakteristik agroekosistem Pulau Lombok) guna menunjang program pertanian berkelanjutan. Target khusus yang ingin dicapai adalah meningkatnya komunitas fauna pada areal budidaya bawang merah secara alami untuk menstimulasi fungsi pengendali hayati. Metode yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut yaitu menerapkan budidaya Bawang merah dengan pengelolaan input energi internal melalui penerapan PHT. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok , petak percobaan terbagi dalam set-set petak perlakuan. Perlakuan terdiri dari dua faktor, yaitu faktor tipe Pola Tanam (Pt) , terdiri dari: Pt-1 ( Padi – Padi – Bawang merah monokultur), Pt-2 ( Padi – Legum – Bawang Merah polikultur ); faktor tipe Teknologi Budidaya (Tb) terdiri dari:Tb-1 (Aplikasi Konsep PHT), Tb-2 (Cara Konvensional). Penelitian menggunakan metode eksplorasi , yaitu dengan mengadakan pengamatan pada pertanaman bawang merah di petak-petak percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola tanam PadiLegum-Bawang, memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi dengan intensitas gangguan Hama S. exigua Hubn. yang lebih rendah. Keberadan predator generalis secara konsisten di dua musim tanam adalah dari kelompok Coleoptera, Arachnida , Odonata dan Orthoptera.. Kata kunci : Bawang merah, agribisnis, industrial pedesaan, karakteristik agroekosistem
PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditi penting sayuran dataran rendah, yang memiliki peranan yang berarti dalam turut meningkatkan kesejahteraan petani di berbagai daerah di Indonesia. Bawang merah dengan multifungsinya yakni sebagai rempah seperti bumbu masak, bahan ramuan obat tradisional, sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral-mineral penting bagi kesehatan tubuh, telah menempatkan posisinya sebagai komoditi strategis. Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra produksi untuk wilayah Indonesia bagian timur, dengan luas areal mencapai 9986 ha yang tersebar di hampir seluruh kabupaten (Dinas Pertanian Nusa Tenggara Barat, SP. II A. 2004). Adanya berbagai faktor penghambat maka produksi rata-rata baru mencapai 3,71-5 ton/ha , masih tergolong rendah dibanding dengan potensi produksi antara 7,4 -10,9 ton/ha umbi kering . Hama Spodopera exigua Hubn, masih merupakan organisme pengganggu yang menimbulkan kerugian pada petani bawang di Pulau Lombok. Terjadi peningkatan luas serangan dari 792,05 ha tahun 2002 menjadi 1034,45 ha tahun 2004 dan turun menjadi 536,15 ha tahun 2005, dengan tingkat serangan mencapai 65%. Dalam keadaan khusus, pada sistem pengendalian yang kurang intensif kerugian bisa melampaui 65% bahkan gagal panen. Untuk mengatasi masalah tersebut oleh petani dilakukan pengendalian yang lebih banyak mengandalkan cara kimiawi (insektisida) karena adanya kepastian hasil dan efektif. Meskipun pada kenyataannya tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti yang diharapkan. Rendahnya produksi bawang merah dan berkesinambungannya gangguan hama S. exigua Hubn di Pulau Lombok diduga sebagai pengaruh penerapan teknologi budidaya yang tidak mampu lagi memberi lingkungan fisik , kimia dan biotik yang kondusif bagi pertumbuhan optimal bawang merah, sebagai akibat tingginya suplai agrochemikal dari luar usahatani yang telah menimbulkan instabilitas dalam ekosistem budidaya. Teknologi ini telah membentuk agroekosistem konvesianal (convensional agroekosystem) dimana dalam mempertahankan produksi rata-rata tinggi sangat tergantung dari masukan chemotechnologi serta
58
alternatif manipulasi sistem yang memungkinkan untuk mencegah penurunan hasil dalam satuan waktu dan luas, seperti budidaya tunggal (monokultur) telah menjadi pilihan sebagian besar petani. Ketidak bijakan dalam penerapan teknologi ini, telah menimbulkan masalah lingkungan yang lebih rumit, kontaminasi terhadap tanaman pokok itu sendiri, penurunan keseimbangan biologi agroekosistem karena terjadinya resistensi, resurgensi dan terbunuhnya organisme non target. Tidak terkecuali pada kawasan sentra produksi bawang merah. Chemotechnologi dan monokultur yang diterapkan, secara konsepsual tidak memihak pada azasazas ekologi yang berkelanjutan atau berada di luar pemahaman makna ekosistem yang berbasis pada keragaman, interaksi dan saling ketergantungan. Keragaman adalah fungsi kesetabilan, maka diperlukan inventarisasi teknologi pertanian alternatif yang mampu mempertahankan dan menjamin keanekaragaman serta meningkatkan produksi dengan dampak lingkungan seminimal mungkin, mampu mengkonservasi dan mempertahankan produktivitas lahan. Altieri dan Nichols (2004) mengemukakan bahwa derajat management ekosistem dan praktek budidaya akan berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman pengendali alami dan kelimpahan serangga hama, yang memiliki arti dalam meningkatkan kesetabilan dan keberlanjutan ekosistem. Kunci untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan adalah mengubah sistem pertanian konvensional yang memiliki ketergantungan kuat pada masukan energi dari luar usahatani, menuju ke sistem pertanian yang mampu mengembangkan dan mengkonservasi bekerjanya komponen-komponen ekosistem baik fisik maupun biotik. Swift and Anderson (1993) mengemukakan bahwa keragaman merupakan prinsip lingkungan yang dapat diterapkan dalam kerangka perlindungan tanaman. Dalam suatu ekosistem alami, fungsi pengaturan yang terjadi merupakan produk keragaman. Hasil penelitian berbasis agroekosistem menunjukkan bahwa keragaman dapat digunakan untuk memperbaiki pengendalian hama dan penyakit (Altieri and Letourneau, 1984; Andow, 1991; Rich, 1983 dalam Sutanto 2002). Disamping itu Magurran (1988) mengemukakan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peluang yang besar untuk menstabilkan komunitas serangga dalam suatu agroekosistem dengan cara merancang komposisi tanaman yang mendukung populasi musuh alami. Asumsi dasar adanya gangguan hama adalah tidak harmonisnya hubungan faktor serangga, inang dan lingkungan, dan hama menjadi wabah hanya pada tingkat populasi dimana faktor biotik dan abiotik tidak mampu menghalangi perkembangannya. Perubahan salah satu faktor akan memberi makna terhadap faktor lain dan berkontribusi pada derajat gangguan hama (Price, 1975; Schowalter 1996 dan Mudjiono, 1996). Hubungan timbal balik antar berbagai komponen biotik dan abiotik yang terjadi di dalam agroekosistem, seharusnya merupakan landasan utama untuk menyusun strategi pengendalian gangguan hama dan penyakit dalam praktek budidaya (Brown, 1985; Altieri dan Letoumeau, 1982 dalam Sutanto, 2002). Adanya gangguan hama sesungguhnya merupakan ekspresi tidak terjadinya hubungan yang harmonis antara satu atau lebih faktor yang ada dalam agroekosistem itu, dan penanganan secara parsial atau cara tunggal justru akan memperlemah komponen yang lain.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah Bawang merah varietas Ampenan, cabe rawit, kedelai varietas Wilis, padi Ciherang baru (IR64), pupuk organik (siap pakai) dan anorganik ZA, TSP dan KCL (untuk petak kontrol cara konvensional), dan jerami padi untuk mulsa, alkohol dan larutan deterjen 0,1% yang ditambahkan gliserin (untuk pengawetan spesimen terkoleksi). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, petak percobaan terbagi dalam set-set petak perlakuan. Perlakuan terdiri dari dua faktor. 1.
Faktor tipe pola tanam (Pt), terdiri dari: Pt- 1 : Padi – Padi – Bawang Merah Pt-2 : Padi – Legum – Bawang Merah
2.
Faktor tipe teknologi budidaya dan pengendalian (Tb), terdiri dari: Tb-1 : Aplikasi Konsep PHT Tb-2 : Cara Konvensional
59
Penelitian menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan pada pertanaman bawang merah di petak-petak percobaan. Masing-masing percobaan di ulang 5 (lima) kali. Paket PHT meliputi pengolahan tanah minimum, penggunaan pupuk organik dan pengendalian alami dalam pengelolaan hama, sedangkan cara konvensional adalah adaptasi cara petani (penggunaan pupuk anorganik dan pestisida untuk pengelolaan hama). Pengamatan terhadap keragaan komunitas fauna (Arthropoda parasitoid dan predator) dilakukan satu minggu setelah tanam, dengan interval waktu 5 hari. Pengambilan sampel menggunakan metode nisbi. Untuk metode nisbi alat perangkap (trapping) dilatakkan secara menyebar pada titik-titik dan perpotongan garis diagonal pada setiap petak perlakuan. Pelaksanaan Penelitian 1.
Penelitian tahap pertama.
Penelitian dilakukan pada musim tanam padi periode Oktober – januari 2006. Petak perlakuan masing-masing berukuran 10 m x 10 m, diolah sebanyak satu kali dan secara bersamaan diberikan pupuk organik dosis 4 ton per hektar berkadar N total 1,19% (N-organik 0,92%, N-NH4 0,21%, N-NO3 0,06%), P2O5 3,45%, K2O 0,90%, C/N ratio 15:1, C organik 14,63% dan kadar air 19,86%. Sedangkan pada cara konvensional sebelum tanam diberikan pupuk urea 1/3 (satu pertiga) dari dosis 245 kg per hektar. 1/3 dosis diberikan satu minggu setelah tanam dan 1/3 satu bulan setelah tanam. Pupuk TSP dengan SP-36 75 kg per hektar diberikan bersamaan dengan saat pemberian urea awal. 2.
Penelitian tahap kedua
Penelitian dilakukan pada musim tanam padi periode Februari-Mei 2007. Pengelolaan habitat pada penelitian tahap 2 merupakan lanjutan dari pengelolaan habitat pada penelitian tahap 1 dengan penambahan pola tanam legum (kacang hijau) yang di tanam dengan jarak 40cm x 15cm. Konsep PHT diterapkan dengan format yang sama seperti pada penelitian tahap pertama. Pada petak percobaan legum cara konvensional kacang hijau ditanam dengan jarak 40 cm x 15 cm, pupuk urea dosis 50 kg per hektar dan pupuk TSP dengan SP-36 dosis 75 kg per hektar diberikan secara bersamaan pada saat tanam. 3.
Penelitian tahap ketiga
Penelitian dilakukan pada musim tanam palawija periode Juni-September 2007. Tanah diolah satu kali kemudian di petak dengan ukuran 10 m x 10 m. Dalam setiap petak selanjutnya dibuat guludan dengan ukuran 1,25 m x 10 m. Tanaman percobaan ditata dalam polikultur antara Bawang merah varietas Ampenan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm sebanyak satu bibit perlubang. Di antara bawang pada jarak 40 cm di tanam satu pohon cabe rawit dalam satu baris dengan jarak tanam 40 cm. Pada sisi guludan (melingkar mengikuti bentuk guludan) ditanam kedelai sebanyak 2 benih perlubang. Tanaman cabe dan kedelai di tanam 1 bulan lebih awal dari tanaman bawang, hal ini dimaksudkan untuk memberi efek ”trapping” dan ”repellent” terhadap musuh alami dan hama S. exigua Hubn. di awal pertumbuhan bawang merah mengingat kepekaan bawang merah terhadap gangguan S. exigua Hubn.
60
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Keanekaragaman Komunitas Fauna di Petak PHT Berbasis LEISA. No. 1.
Kelas Arachnida
Bangsa Araneae
Acari
Suku
Status/Fungsi
Linyphidae Oxyopidae Salticidae Tetranychidae Trombiculidae
Predator Predator Predator Predator Predator (tungau)
2.
Diplopoda
Glomerida Polydesmida Spirobolida
Glomeridae Polydesmidae Spirobolidae
Scavenger Scavenger Scavenger (Kaki seribu)
3.
Hexapoda
Collembola
Hypogasturidae Isotomidae Onychiuridae Sminthuridae Carabidae Cicindelidae Coccinellidae Lampyridae Agromyzidae Asilidae Culcidae Drosophilidae Muscidae Tachinidae Carcinophoridae Glomeridae Aleyrodidae Aphididae Cicadellidae Flatidae Formicinae Ichneumonidae Myrmicinae Spesidae Trichogramatidae Reduviidae Pentatomidae Coreidae Alydidae Rhopalidae Noctuidae Pyralidae Spingidae Cordullidae Cyrtacanthacridinae Gryllinae Gryllotalpidae Nemobinae Oedopodinae Tridactylidae Merothripidae Phlaeothripidae Thripidae
Scavenger Scavenger Scavenger Scavenger Predator (Kmb. tanah) Predator (Kmb. Macan) Predator (Kmb. Kubah) Predator (kunang-kunang) Hama Predator Predator (nyamuk) Scavenger (lalat buah) Scavenger (Ll. rumah) Parasitoid Predator (cocopet) Scavenger Hama (hama putih) Hama Hama Hama Predator (Semut Hitam) Parasitoid Predator (Semut merah) Predator Parasitoid Hama Hama Hama Hama Hama Hama (serangga noctural) Hama Polinator Pemangsa Hama Hama Predator (capung) Hama (belalang hijau) Hama (jangkrik) Hama (gangsir) Hama (jangkrik tanah) Hama (belalang coklat) Hama (jangkrik kecil) Scavenger Hama dan predator Thrips tabaci (hama pada bawang merah)
Coleoptera
Diptera
Dermaptera Glomerida Homoptera
Hymenoptera
Hemiptera
Lepidoptera
Odonata Orthoptera
Thysnoptera
61
Tabel 2. Keanekaragaman Komunitas Fauna di Petak Konvensional Sampai pada Minggu ke Empat Penelitian Tahap 3. No.
Kelas
Bangsa
Suku
Status/Fungsi
1.
Arachnida
Araneae
Linyphidae Oxyopidae Salticidae
Predator Predator Predator
2.
Diplopoda
Glomerida Polydesmida
Glomeridae Polydesmidae
Scavenger Scavenger
3.
Hexapoda
Coleoptera
Carabidae Cicindelidae Coccinellidae Agromyzidae Asilidae Culcidae Drosophilidae Muscidae Tachinidae Aleyrodidae Aphididae Cicadellidae Flatidae Formicinae Ichneumonidae Myrmicinae Spesidae Trichogramatidae
Predator (Kmb. tanah) Predator (Kmb. Macan) Predator (Kmb. Kubah) Hama Predator Predator (nyamuk) Scavenger (lalat buah) Scavenger (Ll. rumah) Parasitoid Hama (hama putih) Hama Hama Hama Predator (Semut Hitam) Parasitoid Predator (Semut merah) Predator Prasitoid
Reduviidae Pentatomidae Coreidae Noctuidae Pyralidae
Pemangsa Hama Hama Hama (serangga noctural) Hama
Cordullidae Cyrtacanthacridinae Gryllinae Nemobinae Oedopodinae Phlaeothripidae Thripidae
Predator (capung) Hama (belalang hijau) Hama (jangkrik) Hama (jangkrik tanah) Hama (belalang coklat) Thrips tabaci (hama pada bawang merah)
Diptera
Homoptera
Hymenoptera
Hemiptera
Lepidoptera
Odonata Orthoptera
Thysnoptera
Pada petak PHT terdapat 46 suku sedangkan pada petak konvensional 32 suku dengan Tingkat kerusakan rata-rata pada petak PHT 12,27 % dan pada petak konvensional 23,43% . Penerapan tatatanam polikultur pada cara PHT mampu menghadirkan keanekaragaman komunitas fauna dengan keragaman jenis musuh alami yang lebih tinggi, terkait dengan itu Altieri dan Nichols (2004) memberi gambaran tentang pengaruh managemen ekosistem terhadap keanekaragaman pengendali alami dan kelimpahan serangga hama. praktek budidaya secara konvensional seperti pengolahan tanah yang intensif, monokultur , penggunaan pupuk kimia dan pestisida akan menurunkan keanekaragaman pengendali alami dan peningkatan populasi penyebab hama dan penyakit. Sebaliknya dengan pengelolaan habitat melalui diversivikasi seperti policultur, rotasi tanaman, pemulsaan dan penanaman pagar tanaman diikuti oleh managemen pupuk organik yang baik serta pengolahan tanah minimum dan praktis (mengikuti konsep LEISA), mampu meningkatkan keanekaragaman spesies pengendali alami dan menurunkan kepadatan populasi hama dan penyakit. LEISA adalah suatu konsep budidaya yang berhajat meminimasi masukan energi agrokemikal dari luar usahatani, tetapi lebih banyak memanfaatkan kekuatan alam dalam proses budidaya, dengan memanfaatkan secara maksimal cahaya, air dan bahan organik baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan yang telah mati (Sutanto, 2002). POLIKULTUR dengan mengkombinasikan beberapa komoditi mamiliki potensi menciptakan keragaman fauna dengan jaring makanan yang lebih komplek, termasuk menstimulasi kehadiram pengendali hayati (Alltieri dan Nicholls , 2004). Oleh karena itu untuk menuju sistem pengendalian hama berkelanjutan kedua konsep tersebut di atas dapat dirancang menjadi suatu pola pengelolaan serangg hama. Kemudian
62
Singh (2004) secara teknis memperkenalkan istilah Farmscaping untuk pengelolaan usahatani yang bertujuan meningkatkan dan mengatur keanekaragaman atau biodiversity guna memelihara keberadaan organisme yang menguntungkan , melalui pengaturan tanaman yang memiliki polen yang menarik serangga, penggunaan penutup tanah, pengaturan tanaman pelindung, menjaga kesuburan tanah dan reservoir air. Farmscaping memeliki cara pandang baru terhadap lahan pertanian sebagai habitat alam dan bahwa lahan itu adalah suatu organisme, dimana di dalamnya terjadi interaksi berbagai faktor termasuk antar berbagai jenis tanaman. Berkurangnya keragaman tanaman dapat mempengaruhi usahatani dalam berbagai tingkat, seperti pergeseran inang serangga dari tumbuhan ke tanaman pertanian, hilangnya serangga dan burung predator karena kurangnya habitat. Oleh karena itu bagaimana menarik perhatian dan memelihara musuh alami dalam praktek usahatani merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan habitat. Aldo Leopod dalam Singh (2004) mengemukakan sesuatu adalah benar ketika dia memelihara integritas , stabilitas dan keindahan dari mahluk hidup.
KESIMPULAN 1. Pengaturan pola dan tatatanam mampu membangun kenekaragaman komunitas fauna dan menstimulasi bekerjanya pengendalian alami. 2.
Pola tanam padi-Legum dan penerapan konsep PHT berbasis LEISA dapat menjaga eksistensi musuh alami generalis potensial terutama dari bangsa Coleoptera, Arachnida , Odonata dan Orthoptera.
3. Eksistensi musuh alami generalis dari musim kemusim berpengaruh positif terhadap tingkat gangguan hama utama bawang merah Spodoptera exigua Hubn.
DAFTAR PUSTAKA Abd- El Moity, H. And M.N. Shatla. 1981. Biological Control of White Rot Disease of Onion (Sclerotium cepivorum) by Trichoderma harzianum . Phytophathologiche Zeitschrift 100 p Altieri, A.A. and C.I. Nicholls. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems, Food Products Press. New York. 236 p. Azis, A., A.A. Nawangsih, A. Anwar. 2000. Pelestarian Keragaman Hayati. Makalah Palsafah Sain. IPB. Bogor. 10 p Binns, M.R., J.P. Nyrop, and W. Van Der Werf. 2000. Sampling and Monitoring in Crop Protection, The Theoritical Basis for Development Practical Decision Guaides. CABI Publishing. 279 p Bosch, R.V.D, P.S. Messenger . 1973. Biological Control. Intext Educational Publishers. 180 p Brown, J.F. A. Kerr, F.D., Morgan and I.H. Parbery. 1980. Plant Protection. Press etching Pty Ltd. Brisbane. Dent, D.R, and M.P. Walton. 1997. Method in Ecological and Agricultural Entomology, UK at University Press, Cambrige. 387 p. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1983. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Jakarta. 186 p Haryaksono, S. 1989. Periode kritis bawang merah (Allium ascalonicum) . Karena adanya persaingan dengan gulma dan pemberian pupuk kandang. Tesis S-2 UGM. 80 p Magurran. A. E. 1988. Ecological diversity and Its Measurement. Inceton University Press, Princeton, New jersey. 179 P. Mujiono, G. 1996. Ekologi serangga. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 132 p __________ 1998. Hubungan Timbal Balik Serangga-Tumbuhan. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 93p Pedigo, L.P., M. R. Zeiss. 1996. Analyses in Insect Ecology and Management. Iowa State University Press/Ames. 168 p Plank, J.E. Van Der. 1975. Principles of Plant Infection. Akademic Press New York. P 1-107. Price, P.W. 1975. Insect Ecology. John Wiley & Sons, New York,London, Sydney, Toronto.511 p Schowalter, T.D. 2000. Insectt Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press. San Diego. 483 P.
63
Singh, Av. 2004. Farmscaping, Farming With Nature in Mind. The Canadian Organic Grower. www.cog.ca. P. 56-57 Srimuliani, B. Supeno dan Tarmizi. 2003. Identifikasi Parasitoid Telur Hama S. exigua Hubn. pada Sentra Produksi Bawang Merah Lombok Timur. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 61p. Tarmizi, G. Mudjiono dan M. Santoso. 1996. Penggunaan Kelompok Telur Sebagai Dasar Penilaian Ambang Ekonomi Hama S. exigua Hubn. (Lep:Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Tesis Magister . Unibraw. Malang. 91p. Tarmizi, A.Wirasyamsi dan R. Iswati. (2000). Studi Beberapa Cultivar Cabe Sebagai ”Insect Repellent” Terhadap Hama S. exigua Hubn. di Sentra Produksi Bawang Merah Lombok. Fak.Pertanian Universitas Mataram. 52p. Untung, K., Sudomo,M. 1997. Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Simposium Entomologi, Bandung. 13p Wilson, E.O. , F.M. Peter. 1999. Biodiversity. National Academy Press. Wasington D.C. 521 p.
64
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KEDELAI MELALUI PENDEKATAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DI KECAMATAN KEMPO, KABUPATEN DOMPU Muji Rahayu, Lalu Wirajaswadi dan Awaluddin Hipi BPTP Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi pengahasil kedelai di luar Jawa yang cukup potensial sebagai pemasok kebutuhan kedelai nasional, dimana 6.75% dari produksi nasional merupakan sumbangan daerah ini. Hal ini ditunjukkan oleh data produksi tahun 2001, produksi kedelai nasional mencapai 2.759.585 ton, diantaranya 186.195 ton adalah sumbangan daerah NTB. Salah satu daerah penyumbang produksi tersebut adalah Kabupaten Dompu. Pada perkembangan lima tahun terakhir produktivitas kedele di Kabupaten Dompu mengalami penurunan, rata-rata produksi sebesar 0,96 t/ha jauh lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas nasional yang berkisar 1,23 ton/ha. Peluang peningkatan produktivitas sangat memungkinkan karena petani belum menggunakan varietas unggul dan penerapan teknik budidaya yang kurang intensip. Pengkajian peningkatan produktivitas kedelai melalui pendekatan tanaman terpadu (PTT) dengan komponen teknologi utama berupa pengenalan 4 varietas unggulan nasional (Kaba, Ijen, Burangrang dan Anjasmoro) dan 1 kontrol varietas Wilis. Keragaan keempat varietas kedele tersebut dapat menambah pengetahuan petani tentang alternatif pilihan varietas unggul kedele. Diantara keempat varietas unggul yang diintroduksikan maka varietas Anjasmoro merupakan varietas yang paling disukai dari pengamatan hasil preferens petani baik pada penampilan tanaman di lapangan, produktivitas yang dicapai dan kualitas hasil biji. Produktivitas tertinggi adalah Anjasmoro mencapai 1,57 t/ha, Ijen (1,49 t/ha), Burangrang (1,32 t/ha), Kaba (1,30 t/ha) dan Wilis (1,26 t/ha). Kata kunci : kedele, varietas, PTT, produksi, preferensi
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian dalam era globalisasi saat ini telah mengalami banyak perubahan dimana pembangunan yang selama ini terkesan berdiri sendiri, selanjutnya lebih mencerminkan keterkaitan yang erat dengan sektor lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut salah satu strategi dasar yang ditempuh dalam pembangunan pertanian adalah penerapan pendekatan sistem agribisnis dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya pertanian dalam suatu kawasan ekosistem. Dengan strategi tersebut, keterkaitan dan keterpaduan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian diharapkan dapat menghasilkan produk-produk pertanian dan agroindustri yang berdaya saing tinggi baik di pasar domestik maupun internasional (Sudaryanto, et al., 2002) Salah produk pertanian yang dapat dikembangkan untuk orientasi agribisnis adalah komoditas kedelai. Kedelai mempunyai peranan penting bagi tubuh manusia , yaitu : sebagai sumber protein, vitamin dan mineral yang dapat dikonsumsi langsung atau dibuat produk turunannya misalnya sebagai bahan baku susu, kecap, taoco dan sebagainya. Menurut Silitonga, Santoso dan Indiarti (1996), penduduk Indonesia pada umumnya masih hidup di bawah standar gizi yang kecukupan. Standar gizi yang diperlukan penduduk Indonesia setiap hari sebesar 2100 kalori/orang, dengan konsumsi protein 46 gram, tetapi kenyataannya konsumsi kalori ratarata baru mencapai 1700 gram dan konsumsi protein berkisar 37 gram – 39 gram. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, maka kebutuhan kedelai nasional menunjukkan peningkatan yang pesat melebihi produksi yang dapat dicapai sehingga sebagian kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor, untuk tahun 1994 misalnya impor kedelai mencapai 649 ribu ton dengan nilai US 224 juta (Anonim, 1991; Suparto dalam Yusuf dan Muchson, 1999) dan diperkirakan pada tahun 2 018 (akhir PJPT II) impor kedelai akan mencapai 5 849 ribu ton (Sadikin dan Hamidi, 1999). Dalam upaya untuk mengurangi beban impor dan mengantipasi permintaan yang terus meningkat dimasa mendatang, pemerintah telah mencanangkan untuk memperluas pengembangan kedelai dengan memanfaatkan lahan berpotensi, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dari 12 juta hektar areal panen kedelai setiap tahunnya 56% diantaranya terdapat di pulau Jawa dan sekitar 69% dibudidayakan di lahan sawah, namun demikian luas lahan baku sawah di Pulau Jawa tiap tahun terus menurun akibat perubahan fungsi penggunaan di luar pertanian (Agustin dan Hutabarat, 1998; Adnyana, Darman, Irsal L., Makarin, Jauhari, Setyono, A. Rahim, dan Mardiharini, 1996).
65
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu propinsi penghasil kedelai di luar Jawa yang cukup potensial sebagai pemasok kebutuhan kedelai nasional, dimana 6.75% dari produksi nasional merupakan sumbangan daerah ini. Hal ini ditunjukkan oleh data produksi tahun 2001, produksi kedelai nasional mencapai 2.759.585 ton, diantaranya 186.195 ton adalah sumbangan daerah NTB (Badan Pusat Statistik, 2002). Pada perkembangan lima tahun terakhir produktivitas kedele di NTB mencapai 0,96 t/ha jauh lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas nasional yang berkisar 1,23 ton/ha. Peluang peningkatan produktivitas sangat memungkinkan karena petani belum menggunakan varietas unggul dan penerapan teknik budidaya yang kurang tepat dan sebagian besar belum menerapkan pendekatan produksi melalui PTT (pengelolaan tanaman terpadu) pada kedelai. Proses produksi kedelai melalui pendekatan pengelolaan sumberdaya dan tanaman terpadu (PTT) yang didalamnya memadukan sejumlah komponen teknologi dan aspek produksi yang bersinergis sesuai kondisis setempat diyakini mampu meningkatkan produktivitas tanaman secara efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. PTT (Pengelolaan Tabaman Terpadu) pada Kedelai Pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) atau ICM (Integrated Crop Management) telah mendapat perhatian besar di berbagai negara khususnya pada negara penghasil padi (Asia). Selama ini pendekatan PTT lebih banyak dikenal pada tanaman padi, padahal konsep PTT sudah siap dikembangkan untuk peningkatan beberapa komoditas selain padi antara lain palawija (kedelai, kacang tanah, dll), sayuran (cabe, bawang merah dll). Pendekatan PTT pada kedelai mengacu pada upaya untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan produktivitas kedelai secara berkelanjutan dengan memperhatikan sumber daya (tanaman, lahan, air, mikroorganisme dan OPT) secara terpadu. Pengelolaan yang diterapkan mempertimbangkan hibungan sinergisme dan komplementer antar komponen. Ada beberapa komponen teknologi yang dianjurkan dalam PTT Kedelai, dimana petani mempunyai keleluasaan untuk menguji dan menerapkannya sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh karenanya PTT menekankan pada partisipatori yang menempatkan pengalaman, keinginan dan kemampuan petani dalam menerapkan teknologi. Karena itu, komponen yang diterapkan dapat berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Berdasarkan konsep pedekatan PTT kedelai yang menempatkan partisipatori dari pelaku usahatani, maka perlu diujicobakan pada sentra kedelai di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu dengan harapan masyarakat lebih mudah mengadopsinya dan produktivitas kedelai dapat ditingkatkan.
METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di lahan petani pada agroekosistem lahan sawah, di Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu. Skala pengkajian seluas 5 ha dengan melibatkan +15 petani dalam satu hamparan. Waktu pelaksanaan adalah pada MK II dimulai bulan Juli sampai September 2006. Parameter meliputi keragaan tanaman, input dan output (ekonomi) serta respon dari berbagai segmen dan pelaku agribisnis. Data-data dikumpulkan melalui wawancara langsung dilapangan dan pencatatan harian petani (FRK). Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis pendapatan dan deskriptip. Komponen teknologi yang dianjurkan dimulai dari teknologi produksi, panen dan pasca panen. Teknologi tersebut berasal dari berbagai lembaga penelitian dan teknologi kearifan lokal (indigenous technology) yang sudah terbukti unggul untuk wilayah Dompu. Untuk menjaring participatory dan indigenous technology yang diterapkan maka pada awal kegiatan dilaksanakan PRA. Komponen teknologi usahatani kedele yang dicobakan tertera pada Tabel 1.
66
Tabel 1. Komponen Teknologi Usahatani Kedelai di Cobakan No
Komponen Teknologi
1
Persiapan lahan
2
Penggunaan benih
3 4
Perlakuan Benih Pemupukan
5
Penanaman
6
Pemberian mulsa
7
Pengendalian OPT
8
Panen dan pasca panen
Uraian teknologi Jerami dibabat serendah mungkin Tanah tidak diolah Saluran drainase setiap 5 – 6 m dan keliling petakan, dengan kedalaman 20 cm dan lebar 25 cm Terdapat 4 pilihan varietas yaitu : Ijen, Kaba, Anjasmoro dan Burangrang Bersertifikat dengan daya tumbuh > 85 % Kebutuhan benih 40 kg/ha Menggunakan Furadan 20 gr/kg benih Urea 25 kg dan SP 36 50 kg/ha Pupuk dicampur lalu disebar merata sebelum tanam Saat memupuk tanah cukup lembab Penanaman dilakukan selesai pemupukan Jarak tanam 40 x 15 cm menggunakan tali tanam Agar populasi tidak berkurang saluran drainase terletak pada jarak tanam antar baris Mulsa jerami merata setebal 5 cm Sekaligus menutup lubang tanam Penggunaan pestisida dan fungisida dilakukan jika diperlukan. Pengendalian dilakukan dengan cara mekanik dan sanitasi lingkungan yang diprioritaskan Panen dilakukan setelah sebagian daun berwarna kuning dan rontok Panen dilakukan dengan cara mencabut tanaman dengan seluruh akar Pengeringan menggunakan panas matahari beralas terpal Dan perontokkan menggunakan cara manual dengan cara dipukul-pukul menggunakan sebilah kayu seperti yang biasa dilakukan oleh petani di Kecamatan Kempo
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Morfologi Varietas Kedele yang Digelar Keragaan tanaman pada ke empat varietas unggul kedele dan 1 varietas kontrol yang digelar menunjukkan penampilan yang berbeda sesuai dengan karakteristik dari VUB itu sendiri. Hasil keragaan morfologi tanaman per varietas sebagai berkut : Varietas : Anjasmoro Keragaan Hasil Varietas Anjasmoro Tinggi (cm) Jumlah cabang/tan Jumlah polong/tan Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m2 (ton/ha) Respon minat petani untuk mengembangkan Sumber: Data Primer Diolah Karakteristik Varietas Anjasmoro Tinggi (cm) Jumlah cabang/tan Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m2 (ton/ha) Sumber: Balitkabi, 2000
: : : :
64,45 3,60 56,80 1,57
:
Sangat baik
: : :
64 - 68 2,9 – 4,6 2,03 - 225
67
Varietas : Ijen Keragaan Hasil Varietas Ijen Tinggi (cm) Jumlah cabang/tan Jumlah polong/tan Ukuran biji Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m² (ton/ha) Respon minat petani untuk mengembangkan Sumber : Data Primer Diolah Karakteristik Varietas Ijen Tinggi (cm) Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m² (ton/ha) Sumber : Balitkabi, 2000
: : : : :
56,30 3,10 53,80 Besar 1,49
:
Baik
: :
51 2,15 – 2,49
: : : :
56,10 3,20 52,80 1,30
: :
Sedang Kurang
: :
64 2,13
: : : :
62,10 1,80 49,10 1,32
: :
Sedang bergaris Kurang -Baik
Varietas : Kaba Keragaan Hasil Varietas Kaba Tinggi (cm) Jumlah cabang/tan Jumlah polong/tan Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m² (ton/ha) Ukuran biji Respon minat petani untuk mengembangkan Sumber : Data Primer Diolah Karakteristik Varietas Kaba Tinggi (cm) Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m² (ton/ha) Sumber : Balitkabi, 2000 Varietas : Burangrang Karakteristik Varietas Burangrang Tinggi (cm) Jumlah cabang/tan Jumlah polong/tan Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m² (ton/ha) Ukuran biji Respon minat petani untuk mengembangkan Sumber : Data Primer Diolah
68
Varietas : Wilis Karakteristik Varietas Wilis Tinggi (cm) Jumlah cabang/tan Jumlah polong/tan Ukuran biji Hasil (ose), taksiran dari hasil ubinan 2,5 x 2,5 m² (ton/ha) Respon minat petani untuk mengembangkan Sumber : Data Primer Diolah
: : : : :
58,20 3,80 58,20 Sedang 1,26
:
Baik
Respon Petani Terhadap Teknologi yang Digelar Respon petani kooperator dan petani kedelai di luar kegiatan gelar (non-kooperator) terhadap komponen-komponen teknologi yang digelar sangat beragam seperti Tabel 2. Tabel 2. Respon Petani Kooperator dan Non-Kooperator Terhadap Paket Teknologi Usahatani Kedelai, di Kempo, Tahun 2006 Petani Kooperator Komponen Teknologi
SB
B
Petani Non-Kooperator KB
SB
B
KB
------------------------------------------------( % )----------------------------------------------Penngunaan benih berlabel 20 50 Pembuatan saluran drainase 100 0 Menanan secara tugal dan 50 40 menggunakan jarak tanam tertentu Penggunaan mulsa jerami 80 20 Pemupukan 60 20 Pengendalian OPT 60 20 Penyiangan 1 kali 70 30 Sumber : Data Primer Diolah Keterangan : SB = sangat baik; B= baik; KB = kurang baik
30 0 10
10 0 0
40 80 40
50 20 60
0 20 20 0
0 0 0 0
80 25 20 20
20 75 80 80
Tabel 2 menunjukkan, bahwa respon paket teknologi usahatani kedelai tidak dapat diterima secara utuh meskipun petani dapat melihat dan belajar langsung dari pengalaman selama pelaksanaan gelar. Beberapa komponen yang diprediksi dapat diadopsi dengan baik pasca kegiatan gelar adalah pada komponen pembuatan saluran drainase dan pemberian mulsa jerami. Hal itu disebabkan kedua komponen tersebut tidak mengeluarkan biaya kecuali tenaga kerja yang biasanya dilakukan sendiri. Hasil respon pada petani non-kooperator diperkirakan respon tersebut agak lamban dibanding petani kooperaor. Keadaan yang sama terhadap respon teknologi yang kemungkinan besar dapat diadopsi pada musim tanam berikutnya adalah pembuatan saluran drainase dan pemberian mulsa jerami. Hal itu menunjukkan bahwa petani (khususnya) petani kedelai sangat hati-hati di dalam menginvestasikan modalnya untuk memperbaiki cara budidaya kedelai. Respon Petani dan Berbagai Pelaku Agribisnis Kedelai Terhadap Varietas yang Digelar. Respon pelaku agribisnis kedelai (petani kedelai, pedagang kedelai, penangkar benih) serta konsumen akhir ibu rumah tangga mempunyai preferen yang berbeda-beda. Varietas Anjasmoro yang mempunyai produksi tinggi dengan penampilan ukuran biji yang besar dan warna menarik merupakan varietas yang dominan dipilih pada semua jenis responden. Sedangkan varietas Burangrang meskipun menunjukkan hasil yang cukup bagus tetapi karena penampilan kualitas biji yang mempunyai karakteristis
69
biji bergaris-garis seperti biji dalam keadaan pecah merupakan alasan utama beberapa jenis responden tidak menyukai varietas tersebut (Tabel 3). Preverensi responden terhadap varietas yang digelar tertera pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Preferensi responden terhadap varietas yang digelar beserta alasan pemilihan di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, MK II 2006. Responden Petani kooperator
Prosentase Varietas yang dipilih dan alasan pemilihan varietas Anjasmoro
70% (Ukuran biji besar, laju pertumbuhan cepat, tanaman tinggi dan banyak cabang, produksi tinggi) Petani Non30% (Ukuran biji Kooperator besar, laju pertumbuhan cepat, tanaman tinggi dan banyak cabang, produksi tinggi) Penangkar 30% (Ukuran biji benih besar, laju pertumbuhan cepat, tanaman tinggi dan banyak cabang, produksi tinggi) Pedagang 50% (ukuran biji besar dengan warna coklat kekuningan mulus) Konsumen 50% ibu Rumah (Ukuran biji Tangga besar dan warna menarik) Aparat Desa 50% dan (Ukuran biji Kecamatan besar dan warna setempat menarik) Penyuluh 30% Lapangan (Alasan produksi tinggi dan cocok dikembangkan) Sumber : Data Primer Diolah
Ijen 20% (Alasan : tahan kelebihan air dan sangat cocok ditanam pada musim hujan, produksi tinggi) 20% (Ukuran biji besar, laju pertumbuhan cepat, tanaman tinggi dan banyak cabang, produksi tinggi) 30% (Ukuran biji besar, laju pertumbuhan cepat, tanaman tinggi dan banyak cabang, produksi tinggi) 20% (ukuran biji besar dengan warna coklat kekuningan mulus) 50% (Ukuran biji besar dan warna menarik) 50% (Ukuran biji besar dan warna menarik) 30% (Alasan produksi tinggi dan cocok dikembangkan)
Kaba
Burangrang
Wilis
0
0
10% (Alasan : benih mudah didapat, produksi masih cukup tinggi)
0
0
50% (Alasan : benih mudah didapat, produksi masih cukup tinggi)
10% (penampilan tanaman cukup bagus, produksi tinggi dan tahan rebah)
0
20% (ukuran biji sedang dengan warna coklat kekuningan mulus) 0
0
30% (Alasan : benih mudah didapat, produksi masih cukup tinggi, banyak dicari petani) 10% (Sudah biasa menjual)
0
0
0
0
0
20% (Alasan produksi tinggi dan cocok dikembangkan)
20% (Alasan produksi tinggi dan cocok dikembangkan)
0
Dari hasil analisis preferensi pada segmen responden yang berbeda ternyata memberikan respon yang hampi sama, yaitu hampir tidak disukai. Hal itu disebabkan kedua varietas tersebut mempunyai ukuran biji kecil, warna pucat (tidak cerah) bahkan pada varietas Burangrang warna kulit menunjukkan ada garis seperti keadaan biji dalam keadaan pecah. Analisa Finansial Usahatani Kedelai Analisa finansial usahatani kedelai meliputi biaya produksi, penggunaan tenaga kerja dan penerimaan hasil. Pada umumnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kedelai di Kecamatan Kempo berupa benih dan herbisida, sedangkan tenaga kerja menggunakan tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan pembersihan lahan, pembuatan saluran drainase, sebar benih, pengendalian hama-penyakit, panen dan prosesing hasil panen. Hal itu sedikit berbeda dengan pengeluaran yang dikeluarkan pada usahatani dengan input teknologi yang digelarkan. Perbedaan tenaga kerja terletak pada penyebaran mulsa, penugalan,
70
dan penyiangan. Analisa usahatani pada petani peserta gelar (kooperator) dan petani di luar gelar teknologi (non kooperator) ditampilkan pada Tabel 4 dan 5 berikut. Tabel 4. Penggunaan Tenaga Kerja Petani Kooperator dan Non-Kooperator per Hektar pada Gelar Usahatani Kedelai di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Tahun 2006. Petani Non- Kooperator
Petani Kooperator
Jenis Kegiatan
Tenaga DK (OH)
Tenaga LK (OH)
Tenaga DK (OH)
Babat jerami dan Penyemprotan dengan herbisida Penyebaran jerami sebagai mulsa Pembuatan saluran Penanaman Pemupukan Penyemprotan/pengendalian hama penyakit Penyiangan Panen Prosesing hasil panen Total
6 2 0 4 1 0 2
0 0 0 0 0 0 0
6 2 2 4 4 2 0
0 0 0 0 4 0 0
0 5 8 28
0 0 0
8 10 20 58
0 0 0 4
Tenaga LK (OH)
Tabel 4 terlihat bahwa pada petani kooperator terdapat selisih penggunaan tenaga kerja sebesar 30 HOK (Tenaga keja dalam keluarga) dan 4 HOK (Tenaga kerja luar keluarga), dengan demikian artinya jika petani lebih rajin (ulet) karena penggunaan tenaga kerja dalam keluarga lebih banyak, maka kenaikan produktivitas kedelai terjadi secara signifikan (Tabel 5). Tabel 5. Analisa Finansial Usahatani Kedelai Petani Kooperator dan Non-Kooperator per Hektar pada Gelar Usahatani Kedelai di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Tahun 2006. Jenis Kegiatan Biaya Produksi 1. Sarana Produksi Benih kedelai Pupuk Urea Pupuk SP36 Pupuk KCl 2. Tenaga Kerja Total biaya produksi Hasil produksi Pendapatan B C Ratio
Petani Non- Kooperator
Petani Kooperator
Fisik
Nilai (Rp)
Fisik
50000
500.000
28 OH
420.000 920.000 2.380.000 1.460.000 1,58
35 25 kg 50 kg 25 kg 62 OH
680 kg
1160 kg
Nilai (Rp)
350.000 30.000 90.000 40.000 930.000 1.440.000 4.060.000 2.620.000 1,82
Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan perbaikan manajemen produksi yang berupa perbaikan teknologi budidaya maka terdapat kenaikan produksi sebesar 70,58 % dari 680 kg menjadi 1.160 kg/ha atau kenaikan pendapatan sebesar Rp. 1.160.000,-/ha/musim (jika tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan) dan kenaikan pendapatan sebesar Rp. 2.030.000,- /ha/musim (jika tenaga kerja dalam keluarga tidak diperhitungkan).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pengkajian peningkatan produktifitas kedelai melalui pendekatan PTT di Desa Kempo, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, merupakan tempat pembelajaran dan hasilnya dapat dipergunakan sebagai alternatif keputusan didalam menentukan pengembangan kedelai di wilayah tersebut. Beberapa informasi yang dihasikan bahwa paket teknologi yang digelar mampu memperlihatkan hasil yang lebih tinggi, yaitu pada eksisting petani non-kooperator rata-rata produkstivitas dicapai 0,68 t/ha, sedangkan dari kegiatan gelar produktivitas tertinggi dicapai varietas Anjasmoro (1,57 t/ha), disusul Ijen (1,49 t/ha), Burangrang (1,32 t/ha), Kaba (1,30 t/ha) dan Wilis (1,26 t/ha).
71
Respon preverensi dari berbagai kalangan responden terhadap varietas yang digelar terpilih varietas Anjasmoro, sedangkan respon terhadap paket teknologi tidak dapat diperoleh secara utuh tetapi per komponen teknologi. Komponen teknologi yang banyak diminati dan diprediksi dapat diadopsi dengan cepat adalah penggunaan mulsa jerami dan pembuatan saluran drainase. Sedangkan komponen introduksi varietas yang digelar mendapat respon yang sangat beragam. Saran Dari proses pelaksanaan dan keluaran yang dihasilkan pada pengkajian Kedelai di Kecamatan Dompu tersebut, maka dapat di sarankan beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai implikasi kebijakan untuk pengembangan kedelai dan peningkatan produksi kedelai di Kabupaten Dompu khususnya Kecamatan Kempo sebagai berikut : a.
Varietas Anjasmoro yang banyak diminati beberapa jenis responden hendaknya merupakan prioritas dominan pada tanaman kedelai yang diusahakan oleh BBI setempat.
b.
Sebagai alternatif penyediaan benih setiap saat maka pengadaan benih menggunakan strategi antar musim maupun antar lapang mengingat pengembangan kedelai dilaksanakan pada semua musim di Dompu (yaitu pada musim hujan pada lahan tadah hujan dan pada MK I maupun MK II pada lahan berpengairan teknis). Dengan pola ini maka akan tersedia benih sepanjang musim penanaman.
c.
Untuk membantu penyebaran varietas kedelai petani kooperator yang terampil dalam budidaya kedelai dapat dibina sebagai calon penangkar kedelai.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1991. Penyediaan Benih Kedelai. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Bina Penyuluhan Tanaman Pangan Jakarta, 61p Badan Pusat Statistik, 2002. NTB dalam Angka. BPS Prov NTB. Balitkabi, 2003. Perkembangan dan Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 – 2002. Manwan, Sumarno, B. Sayaka, 1997. Sistem Usaha Tani Kedelai dalam Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. h. 151-230. Saifuddin, AM. dalam Hidayati dan Yusuf, M., 1999. Efisiensi Pemasaran Produk Ubikayu di Kabupaten Lombok Barat. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNRAM. 60p Saragih, Bungaran. 1997. Tantangan dan Strategi Pengembangan Agribisnis. Dalam, Jurnal Agribisnis 1(1,2). Pusat Agribisnis, Universitas Jember. Silitonga, Crisman, Budi Santoso dan Novi Indiarti, 1996. Peranan Kedelai Dalam Perekonomian Nasion dalam Ekonomi Kedelai Di Indonesia. IPB Pres. p 34. Suparto dalam Yusuf, M dan Muchson, 2000. Studi Agribisnis Kedelai di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Mataram. Mataram. Sudaryanto,Tahlim, I. Wayan Rusastra, Erizal Jamal, dan Amiruddin Syam. 2002. Pengembangan Teknologi Pertanian Berbasis Agribisnis. Dalam Proseding Seminar nasional Pengembangan Teknologi Pertanian, Mataram 30 – 31 Oktober 2002. Yusuf, M dan Muchson, 1999. Studi Agribisnis Kedelai di Kabupaten Bima, NTB. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNRAM Mataram.
72
PENGARUH FERMENTASI BIJI KAKAO TERHADAP MUTU PRODUK OLAHAN SETENGAH JADI COKELAT Dian Adi A. Elisabeth , Suharyanto, dan Rubiyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama yang diandalkan di Provinsi Bali. Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao di Bali, dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen, salah satunya pengembangan produk sekunder atau setengah jadi kakao, seperti pasta, lemak, dan bubuk cokelat.. Penelitian dilaksanakan di Subak Abian Pucaksari, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan pada bulan Januari-Desember 2006 dengan melibatkan 20 orang petani kooperator, masing-masing dengan luasan lahan 0,5 ha. Perlakuan yang digunakan adalah waktu fermentasi biji kakao, yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu tanpa fermentasi, fermentasi tidak sempurna (4 hari), dan fermentasi sempurna (5 hari). Variabel yang diamati adalah mutu kimia produk setengah jadi cokelat, meliputi : kadar air dan kadar lemak; serta pH untuk bubuk cokelat. Hasil analisis mutu kimia yang didapat kemudian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dilanjutkan dengan uji Duncan jika hasil berbeda nyata. Uji organoleptik dilakukan terhadap produk pasta dan bubuk cokelat dengan uji rangking menggunakan 15 orang panelis semi terlatih; juga dilakukan penghitungan rendemen hasil. Proses pengolahan biji kakao menjadi produk olahan setengah jadi cokelat dengan volume 100 kg biji kakao kering dapat menghasilkan 78,0 kg pasta cokelat atau 47,7 kg bubuk cokelat dan 24,5 kg lemak cokelat. Proses fermentasi sangat berpengaruh terhadap mutu kimia dan organoleptik produk olahan setengah jadi cokelat. Hasil analisis mutu kimia pasta, lemak, dan bubuk cokelat yang dibuat dari biji kakao yang difermentasi sempurna menunjukkan kadar lemak produk lebih tinggi dibandingkan produk olahan dari biji kakao yang tidak difermentasi dan yang difermentasi kurang sempurna. Secara keseluruhan, panelis memberikan rangking tertinggi untuk atribut mutu organoleptik pasta dan bubuk cokelat dari biji yang difermentasi sempurna. Kata kunci : biji kakao, fermentasi, mutu, produk setengah jadi cokelat
PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama yang diandalkan di Provinsi Bali. Perkembangan kakao cukup pesat, dimana menurut data Bali Membangun 2004, luas areal penanaman kakao pada tahun 2000 mencapai 6.564 ha dengan produksi 4.424.367 ton dan berkembang menjadi 8.764 ha pada tahun 2004 dengan produksi mencapai 6.123.869 ton (Anonimb, 2004). Hampir keseluruhan areal perkebunan kakao adalah perkebunan rakyat. Areal penanaman kakao di Provinsi Bali, terutama berada di Kabupaten Jembrana dan Tabanan. Namun, perkembangan produksi kakao di Indonesia, termasuk di Provinsi Bali seringkali tidak diikuti dengan perbaikan mutu biji kakao. Biji kakao dari perkebunan rakyat cenderung masih bermutu rendah. Rendahnya mutu biji kakao, terutama disebabkan oleh cara pengolahan yang kurang baik, seperti biji kakao tidak difermentasi atau proses fermentasi yang kurang baik. Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun terutama juga untuk memperbaiki dan membentuk citarasa cokelat yang enak dan menyenangkan serta mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji (Widyotomo, dkk, 2004). Fermentasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti fermentasi tumpukan, fermentasi dalam keranjang, dan fermentasi dalam kotak. Pemilihan metodenya tergantung pada kemudahan penerapan dan memperoleh wadah fermentasi, serta ketersediaan tenaga kerja. Fermentasi yang sempurna menentukan citarasa biji kakao dan produk olahannya, termasuk juga karena buah yang masak dan sehat serta pengeringan yang baik. Fermentasi sempurna yang dimaksud adalah fermentasi selama 5 hari sesuai dengan penelitian Sime-Cadbury. Jika fermentasi yang dilakukan kurang atau tidak sempurna, selain citarasa khas cokelat tidak terbentuk, juga seringkali dihasilkan citarasa ikutan yang tidak dikehendaki, seperti rasa masam, pahit, kelat, sangit, dan rasa tanah (Atmawinata, O, dkk, 1998). Untuk meningkatkan nilai tambah kakao sekaligus meningkatkan pendapatan petani kakao di Bali, dilakukan beberapa strategi penelitian pasca panen. Tahap pertama adalah penelitian untuk menyiapkan sarana dan teknologi pengolahan produk primer secara kolektif (kelompok) sehingga dihasilkan peningkatan mutu biji kakao; dan tahap kedua adalah penelitian lanjutan untuk mengembangkan produk sekunder kakao sehingga dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi petani. Produk olahan dari biji kakao yang bisa dihasilkan antara lain pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan, farmasi, dan kosmetika.
73
Pasta cokelat atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi bentuk cair atau semicair. Pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak dan bubuk cokelat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan minuman cokelat . Lemak cokelat atau cocoa fat atau cocoa butter merupakan lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik, yaitu tetap cair pada suhu di bawah titik bekunya. Lemak cokelat dikeluarkan dari pasta cokelat dengan cara dikempa atau dipres. Pasta kakao dimasukkan ke dalam alat kempa hidrolis yang memiliki dinding silinder yang diberi lubang-lubang sebagai penyaring. Cairan lemak akan keluar melewati lubanglubang tersebut, sedangkan bungkil cokelat sebagai hasil sampingnya akan tertahan di dalam silinder. Lemak cokelat mempunyai warna putih kekuningan dan berbau khas cokelat. Lemak cokelat mempunyai tingkat kekerasan yang berbeda pada suhu kamar, tergantung asal dan tempat tumbuh tanamannya. Lemak cokelat dari Indonesia, khususnya Sulawesi memiliki tingkat kekerasan lebih tinggi bila dibandingkan lemak cokelat dari Afrika Barat; dan sifat ini sangat disukai oleh pabrik makanan cokelat karena produk menjadi tidak mudah meleleh saat didistribusikan ke konsumen (Mulato, et al., 2002). Bubuk cokelat atau cocoa powder diperoleh melalui proses penghalusan bungkil (cocoa cake) hasil pengempaan. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, setelah penghalusan perlu dilakukan pengayakan. Bubuk cokelat relatif sulit dihaluskan dibandingkan bubuk/tepung dari biji-bijian lain karena adanya kandungan lemak. Lemak yang tersisa di dalam bubuk mudah meleleh akibat panas gesekan pada saat dihaluskan sehingga menyebabkan komponen alat penghalus bekerja tidak optimal. Pada suhu yang lebih rendah dari 34ºC, lemak menjadi tidak stabil menyebabkan bubuk menggumpal dan membentuk bongkahan (lump) (Mulato et al., 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh fermentasi biji kakao terhadap produk pasta, lemak, dan bubuk cokelat yang merupakan produk olahan setengah jadi cokelat.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Subak Abian Pucaksari, Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan pada bulan Juli-Oktober 2006 dengan melibatkan 20 orang petani kooperator, masing-masing dengan luasan lahan 0,5 ha. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah waktu fermentasi biji kakao, yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu tanpa fermentasi, fermentasi tidak sempurna (4 hari), dan fermentasi sempurna (5 hari). Biji kakao kering yang diperoleh kemudian diolah lebih lanjut menjadi produk setengah jadi cokelat, yaitu pasta, lemak, dan bubuk cokelat. Tahapan pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi cokelat dapat dilihat pada Gambar 1. Variabel yang diamati adalah mutu kimia produk setengah jadi cokelat, meliputi : kadar air dan kadar lemak; serta pH untuk bubuk cokelat. Hasil analisis mutu kimia yang didapat kemudian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dilanjutkan dengan uji Duncan jika hasil berbeda nyata. Uji organoleptik dilakukan terhadap produk pasta dan bubuk cokelat dengan uji rangking menggunakan 15 orang panelis semi terlatih sebagai ulangan. Analisis dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian UNUD. Dari setiap tahapan pada Gambar 1 juga dilakukan penghitungan rendemen hasil.
74
Biji kakao
Penyortiran
Penyangraian
Pemisahan kulit
Kulit biji
Daging biji (Nib)
Pemastaan
Pasta Cokelat
Pengempaan/Pengepresan
Lemak Cokelat
Bungkil Cokelat
Bubuk Cokelat Gambar 1. Tahapan Pengolahan Biji Kakao Menjadi Produk Setengah Jadi
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Hasil Produk Olahan Setengah Jadi Cokelat Dalam pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi cokelat terjadi penyusutan bobot pada setiap tahapan sehingga didapatkan rendemen hasil dari masing-masing produk pasta, lemak, dan bubuk. Rendemen hasil olahan biji kakao menjadi produk setengah jadi untuk setiap tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 2. Biji kakao kering yang dipergunakan untuk pengolahan produk setengah jadi cokelat sekitar 10 kg. Penyangraian dilakukan selama sekitar 30-60 menit dengan suhu sangrai 120-140ºC. Dari 10,13 kg biji kakao kering yang disangrai, diperoleh 9,77 kg biji kakao sangrai. Biji kakao sangrai kemudian dipisahkan antara bagian daging biji (nib) dengan kulitnya menggunakan mesin pengupas kulit (desheller). Pecahan-pecahan nib yang diperoleh sebanyak 7,83 kg (sekitar 77,33% dari berat biji kakao kering) dan bagian ini yang akan digunakan untuk proses pengolahan produk cokelat selanjutnya; Menurut Mulato, S., dkk (2004), kadar kulit ari yang dapat memenuhi spesifikasi mutu biji kakao sebagai bahan baku produk cokelat adalah 12-13%; atau dengan kata lain, kadar nib yang memenuhi spesifikasi adalah 87-88%. Sebagai bahan baku makanan/minuman cokelat, pecahan nib harus dihancurkan sampai ukuran tertentu menjadi cairan kental yang disebut pasta. Pasta cokelat yang dapat dihasilkan dari 7,83 kg nib adalah sebanyak 7,80 kg (sekitar 77,00% dari berat biji kakao kering). Dari pasta cokelat dapat diproses lebih lanjut untuk mengeluarkan lemak cokelat, yaitu dengan cara pengempaan atau pengepresan dengan hasil samping berupa bungkil cokelat yang dapat diolah lebih lanjut menjadi bubuk cokelat.
75
Biji kakao kering (W = 10,13 kg)
Penyangraian (W = 9,77 kg)
Kulit biji
Pemisahan kulit
Daging biji/Nib (W = 7,83 kg)
Pemastaan
Pasta Cokelat (W = 7,80 kg)
Pengempaan
Lemak cokelat (V = 3,06 L ~ W = 2,45 kg)
Bungkil (W = 5,00 kg)
Bubuk cokelat ( W = 4,77 kg) Gambar 2. Rendemen Hasil Olahan Biji Kakao Menjadi Produk Setengah Jadi (Kapasitas 10 Kg Biji Kakao Kering)
Dari 7,80 kg pasta cokelat dapat dihasilkan lemak cokelat sebanyak 3,06 liter atau 2,45 kg (sekitar 24,21% dari berat biji kakao kering atau 31,44% dari berat pasta) dan 5,00 kg bungkil cokelat. Dari proses penghalusan dan pengayakan bungkil, didapatkan bubuk cokelat halus sebanyak 4,77 kg (sekitar 47,05% dari berat biji kakao kering atau 61,11% dari berat pasta. Rendemen lemak yang diperoleh dari proses pengempaan sangat dipengaruhi oleh suhu pasta, kadar air pasta, kadar protein pasta, ukuran partikel pasta, tekanan kempa, dan lama waktu pengempaan (Mulato et al., 2002). Umumnya, dengan keadaan yang ideal, lemak cokelat yang bisa didapatkan dari proses pengempaan adalah 475-525 ml per kg pasta cokelat yang dipres atau sekitar 48% dari berat pasta dengan hasil samping (52%) berupa bungkil. Proporsi rendemen hasil olahan kakao menjadi produk setengah jadi seperti disebut di atas tidak selalu tetap dan akan berubah sekiranya ada perubahan pada spesifikasi biji kakao, seperti kadar air, kadar lemak, dan kadar kulit biji kakao sebagai bahan baku produk (Mulato et al., 2004). Pasta Cokelat Hasil analisis mutu kimia pasta cokelat dapat dilihat pada Tabel 1
76
Tabel 1. Analisis Mutu Kimia Pasta Cokelat Parameter/Pasta Cokelat
Non Fermentasi
Fermentasi Tidak Sempurna
Fermentasi Sempurna
Kadar lemak (%) 52,77 a 54,84 b 57,87 c Kadar air (%) 1,35 a 3,19 c 1,57 b Ket. : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji sidik ragam (α = 0,05).
Kadar lemak pasta cokelat yang dibuat, baik yang dibuat dari biji fermentasi dan non fermentasi sangat tinggi, yaitu 52,77%-57,87%bb (Tabel 1). Sebagian besar lemak cokelat tersusun dari lemak jenuh (60%), terutama asam lemak stearat. Sepertiga lemak cokelat termasuk kelompok asam lemak oleat yang dikenal memiliki efek positif bagi kesehatan jantung. Tabel 2. Analisis Mutu Organoleptik Pasta Cokelat (Uji Rangking) Atribut mutu/Pasta Cokelat Warna Aroma Rasa pahit (bitterness)
Non Fermentasi
Fermentasi Tidak Sempurna
FermentasiSempurna
3 2 2
2 3 3
1 1 1
Secara keseluruhan, hasil uji rangking produk pasta cokelat menunjukkan bahwa panelis paling menyukai pasta yang dibuat dari biji yang difermentasi sempurna, baik dari segi warna, aroma, dan rasa pahit (Tabel 2). Panelis menilai bahwa pasta cokelat dari biji yang difermentasi sempurna berwarna cokelat bata, dengan aroma khas cokelat dan rasa pahit yang juga khas cokelat. Misnawi (2005) menyatakan bahwa, fermentasi merupakan tahapan pengolahan yang sangat penting untuk menjamin terbentuknya citarasa cokelat yang baik. Praktek fermentasi yang salah dapat menyebabkan kerusakan citarasa yang tidak dapat diperbaiki dengan modifikasi pengolahan selanjutnya; demikian juga jika fermentasi biji tidak dilakukan, aroma khas cokelat tidak akan muncul dan biji kakao memiliki rasa sepat dan pahit yang berlebihan. Lemak Cokelat Hasil lemak cokelat yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh kondisi pasta cokelat sebagai bahan baku kempa, seperti kadar lemak minimal 40-45%, kadar air 4%, dengan ukuran partikel pasta kurang dari 75 mm (Anonima, undated). Berdasarkan Tabel 1 mengenai hasil analisis kimia pasta cokelat, dimana kadar lemak pasta adalah sekitar 52-57% dan kadar air 1-3%, sehingga didapatkan produk lemak cokelat dengan kandungan kimia seperti terlihat pada Tabel 3. Meskipun kandungan lemak pada produk lemak cokelat sangat tinggi (97-99%), namun lemak cokelat relatif tidak mudah tengik karena kadar air produk lemak cokelat yang sangat rendah, yaitu 0,050,13% dan juga adanya kandungan polifenol dalam cokelat (6%) yang berfungsi sebagai antioksidan alami pencegah ketengikan (Khomsan, 2002). Tabel 3. Analisis Mutu Kimia Lemak Cokelat Parameter/Lemak Cokelat
Non Fermentasi
Fermentasi Tidak Sempurna
Fermentasi Sempurna
Kadar lemak (%) 97,86 a 98,11 a 99,87 a Kadar air (%) 0,05 a 0,09 b 0,13 c Ket. : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji sidik ragam (α = 0,05)
Bubuk Cokelat Proses fermentasi dapat menurunkan kadar bahan bukan lemak, sehingga secara relatif kadar lemak akan meningkat (Yusianto et al., 1997). Hal ini juga tampak pada bubuk cokelat yang dibuat dimana kadar lemak semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hasil analisis mutu kimia bubuk cokelat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis Mutu Kimia Bubuk Cokelat Parameter/Bubuk Cokelat
Non Fermentasi
Fermentasi Tidak Sempurna
Fermentasi Sempurna
Kadar lemak (%) 27,95 a 30,93 b 37,78 c Kadar air (%) 7,94 b 4,66 a 4,38 a pH 6,30 c 5,85 b 5,35 a Ket. : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji sidik ragam (α = 0,05)
77
Hasil analisis kadar lemak dalam bubuk cokelat yang berkisar 27-37%bb masih relatif tinggi untuk standar bubuk cokelat, karena umumnya kadar lemak dalam bubuk cokelat berkisar 10-22% (Mulato, et al., 2004). Kadar lemak bubuk cokelat yang masih relatif tinggi mungkin disebabkan oleh beberapa hal, seperti suhu pada saat pengempaan yang kurang dari 35ºC dan tekanan kempa yang kurang kuat (karena proses kempa dilakukan secara manual) sehingga lemak di dalam pasta pada saat dikempa tidak sepenuhnya terpisah dan masih terikat dalam bungkil cokelat. Kadar air yang dipersyaratkan untuk bubuk cokelat adalah maksimal 7%bb. Kadar air bubuk cokelat yang didapatkan adalah sekitar 4%bb untuk bubuk cokelat yang difermentasi; sementara untuk bubuk cokelat non fermentasi, kadar air masih di atas 7%bb (Tabel 4) dan kemungkinan hal ini lebih disebabkan oleh kondisi penyimpanan yang kurang tepat sehingga produk menyerap uap air dari luar. Menurut Winarno (1997), kestabilan optimum bahan makanan dapat tercapai jika kadar air bahan berkisar 3-7%, karena pada keadaan tersebut bahan makanan tidak mudah terserang oleh ketengikan (oksidasi) dan lebih tahan terhadap serangan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir. Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa pH bubuk cokelat yang dibuat dari biji yang difermentasi adalah 5,35-5,85; sementara pH bubuk cokelat non fermentasi adalah 6,30 (Tabel 4). Perbedaan nilai pH bubuk mengakibatkan perbedaan warna dan kegunaannya. Bubuk cokelat dari biji yang difermentasi termasuk bubuk natural yang berwarna cenderung lebih terang daripada bubuk cokelat dari biji non fermentasi. Bubuk cokelat natural cocok digunakan dalam industri roti; sementara bubuk dengan pH di atas 6,0 biasanya digunakan untuk pembuatan minuman, puding, dan es krim (Anonimc, 2005). Tabel 5. Analisis Mutu Organoleptik Bubuk Cokelat (Uji Rangking) Atribut mutu/Bubuk Cokelat Warna Aroma Rasa pahit (bitterness) Tekstur
Non Fermentasi
Fermentasi Tidak Sempurna
FermentasiSempurna
3 3 3 2
2 2 2 3
1 1 1 1
Secara keseluruhan, hasil uji rangking menunjukkan bahwa panelis paling menyukai bubuk cokelat yang dibuat dari biji dengan fermentasi sempurna, baik dari segi warna, aroma, rasa pahit, dan tekstur (Tabel 5). Panelis menilai bahwa bubuk cokelat yang dibuat dari biji kakao dengan fermentasi sempurna memiliki warna bubuk cokelat bata, dengan aroma khas cokelat dan rasa pahit yang khas cokelat, serta tekstur bubuk yang halus.
KESIMPULAN 1.
Proses pengolahan biji kakao menjadi produk olahan setengah jadi cokelat dengan volume 100 kg biji kakao kering dapat menghasilkan 78,0 kg pasta cokelat atau 47,7 kg bubuk cokelat dan 24,5 kg lemak cokelat.
2.
Proses fermentasi sangat berpengaruh terhadap mutu kimia dan organoleptik produk olahan setengah jadi cokelat. Hasil analisis mutu kimia menunjukkan bahwa pasta, lemak, dan bubuk cokelat yang dibuat dari biji kakao yang difermentasi sempurna memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan produk olahan dari biji kakao yang tidak difermentasi dan yang difermentasi kurang sempurna. Secara keseluruhan, panelis juga memberikan rangking tertinggi untuk atribut mutu organoleptik pasta dan bubuk cokelat dari biji yang difermentasi sempurna.
DAFTAR PUSTAKA Anonima. (undated). SOP Produk Olahan Kakao. Diakses melalui http://agribisnis.deptan.go.id. Anonimb. 2004. Data Bali Membangun 2004. Pemprov Bali. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Denpasar. Anonimc. 2005. Biskuit Halal Banyak Ragamnya. Diakses melalui Republika Online, 1 April 2005. Atmawinata, O., Sri Mulato, S. Widyotomo, dan Yusianto. 1998. Teknik Pra Pengolahan Biji Kakao Segar Secara Mekanis untuk Mempersingkat Waktu Fermentasi dan Menurunkan Kemasaman Biji. Pelita Perkebunan, Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao, Volume 14, Nomor 1, April 1998. Khomsan, A. 2002. Cokelat Baik untuk Jantung dan Suasana Hati. Diakses melalui http://kolom.pacific.net.id/ind, 1 Mei 2002.
78
Misnawi. 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol. 21 (3). Oktober 2005, Jember. Mulato, S, S. Widyotomo, dan Handaka. 2002. Disain Teknologi Pengolahan Pasta, Lemak, dan Bubuk Cokelat untuk Kelompok Tani. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Diakses melalui http://pustaka.bogor.net. Mulato, S., S. Widyotomo, Misnawi, Sahali, dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Widyotomo, S, Sri Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 26 No. 2, 2004. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yusianto, H. Winarno, dan T. Wahyuni. 1997. Mutu dan Pola Citarasa Beberapa Klon Kakao Lindak. Pelita Perkebunan 1997, 13 (3), hal. 171-187.
79
INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM AGRIBISNIS PRIMA TANI KABUPATEN LOMBOK BARAT Sudarto, I. Made Wisnu W. dan Irianto Basuki Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Desa Genggelang merupakan desa terpilih untuk kegiatan laboratorium agribisnis Prima Tani 2007-2009 dengan agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim basah mamiliki ketinggian tempat berkisar antara 5 sampai dengan lebih kurang 550 m dpl dengan topografi miring dan bergelombang. Perencanaan dan implementasi Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Teknologi Inovasi Pertanian) memerlukan dukungan data dan informasi yang akurat dan lengkap, data dan informasi tersebut dikumpulkan melalui survey lapangan dengan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA merupakan cara belajar dari dan dengan masyarakat untuk menemukan, menganalisis dan mengevaluasi kendala dan peluang untuk mengetahui dan memutuskan dengan tepat waktu programprogram atau pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaan PRA melibatkan peran serta masyarakat setempat seperti tokoh masyarakat, ketua kelompok tani, pedagang, aparat desa, PPL, kepala desa serta instansi terkait di Pemda dan peran BPTP NTB sebagai fasilitator. Hasil PRA diperoleh beberapa tanaman terpilih berturut-turut kakao, kopi, jambu mete dan ternak kambing serta permasalahannya. Masalah yang dihadapi oleh petani terhadap tanaman kakao adalah rendahnya produksi, harga biji kakao per kilo gram rendah, dan serangan hama penggerek buah kakao (PBK) Conoppomorpha cramerella (Snell.) dan penyakit busuk buah Phytophthora palmivora (Butl.). Inovasi teknologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut antara lain denga rehabilitasi tanaman yaitu dengan cara sambung samping terhadap tanaman kakao yang tidak produktif, tumbuh kerdil/kurang sehat, pemangkasan produksi dan pengendaliah hama/penyakit. Kata kunci : Prima tani, agribisnis, kakao
PENDAHULUAN Perkembangan kakao di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir cukup luas, sampai pada tahun 1996 luas areal kakao mencapai 605.944 ha khususnya terjadi di perkebunan rakyat (Dirjen Perkebunan, 1997). Produksi kakao Indonesia diperkirakan mencapai 317.729 ton, kakao rakyat menyumbang 283.516 ton atau sekitar 75 % dari produksi nasional. Nusa Tenggara Barat dengan total areal perkebunan kakao seluas 3.394,47 ha produksinya mencapai 170,62 ton dan kabupaten Lombok Barat dengan luas areal 2.295,47 ha produksi yang dihasilkan mencapai 148,09 ton (BPS, 2005). Sedangkan di Desa Genggelang yang merupakan lokasi kegiatan Laboratorium Agribisnis Prima Tani kabupaten Lombok Barat, luas perkebunan kakao 957 ha dengan tingkat produktivitas hanya 7,5 kwintal/ha/tahun biji kering (Anonim, 2005; BPS,2005). Produksi tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan bahan tanaman klon-klon unggul yang dapat mencapai produksi di atas satu ton, seperti ICS 60 (1.500 kg/ha), hibrida (2.000 kg/ha) dan lainlain (Anonim, 2003). Asal mula pertanaman kakao adalah merupakan proyek dari Dinas Perkebunan Tk. I propinsi Nusa Tenggara Barat dan bahan tanam benih hibrida F 1, sehingga tanaman yang ada banyak dijumpai tidak seragam. Menurut Sri Winarsih dan Adi Prawoto (1998) perbanyakan tanaman kakao dengan biji secara fisiologis tidak menjamin keseragaman, produktivitas, dan mutu biji kakao. Selain itu pengelolaan tanaman kakao oleh petani juga sangat sederhana dari awal tanam sampai tanaman kakao menghasilkan, tanaman tidak dilakukan pemangkasan bentuk sehingga terlihat pertumbuhan tanaman cukup tinggi yaitu melebihi 5 meter, kanopi banyak yang saling bersinggungan sehingga kondisi kebun cukup lembab. Salah satu aktivitas Departemen Pertanian yang diinisiasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pertanian berkelanjutan dan melestarikan lingkungan. Berdasarkan prinsip, ciri dan tujuan Prima Tani tersebut maka berbagai inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh BPTP maupun Balit selanjutnya dapat mendukung, memperkuat penyebarluasan teknologi ditingkat petani untuk mengoptimalisasikan pengembangan agroindustri pedesaan dan sistem usahatani intensifikasi dan diversifikasi. Sasarannya adalah agar mampu meningkatkan nilai tambah produk dan pendapatan petani yang layak. Bertitik tolak dari kondisi riil di atas maka usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh keseragaman, produktivitas dan mutu biji kakao adalah melalui inovasi teknologi budidaya pada tanaman yang produktivitasnya rendah dapat direhabilitasi menjadi tanaman klonal yang produktivitasnya tinggi melalui teknik sambung-samping, pemangkasan, pengendalihan hama dan penyakit.
80
METODE Kegiatan dilakukan di Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat yang merupakan desa terpilih untuk kegiatan laboratorium agribisnis Prima Tani dengan zona agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim basah. Perencanaan dan implementasi Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Teknologi Inovasi Pertanian) memerlukan dukungan data, informasi yang akurat dan lengkap. Inventarisasi potensi sumberdaya meliputi : biofisik dan eksisting teknologi di lokasi kegiatan. Data dan informasi tersebut dikumpulkan melalui survey lapangan dengan metode Participatory Rural Appraisal/PRA (Bambang Irawan, dkk., 2005). PRA merupakan cara belajar dari dan dengan masyarakat untuk menemukan, menganalisis dan mengevaluasi kendala dan peluang untuk mengetahui dan memutuskan dengan tepat waktu program-program atau pelaksanaan kegiatan. PRA dilaksanakan dengan teknik wawancara langsung dengan kelompok (focus discussion group) yang terdiri dari kelompok tani, tokoh masyarakat, PPL, aparat desa, kepala desa, kadus, tokoh agama, pedagang, dan instansi terkait di Pemda dan peran BPTP NTB sebagai fasilitator. Dalam pelaksanaan PRA diperoleh tanaman terpilih berturut-turut antara lain kakao, kopi, jambu mete, kacang tanah dan ternak kambing serta ranking masalahnya. Masalah yang diperoleh pada tanaman kakao antara lain produksi rendah, serangan hama dan penyakit serta harga yang rendah.
HASIL DAN PEMBASAHAN A. Gambaran Wilayah Desa Genggelang dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Dusun-dusun yang terletak di bagian bawah atau di Utara yaitu: Sankukun, Sembaro, Karang Jurang, Kerakas, Kerurak. Dusun yang terletak di bagian Tengah yaitu: Gangga, Kerta Raharja, Gitak Demung, Penjor dan dusun yang terlatek di bagian atas yaitu: Monggal Atas, Monggal Bawah dan Paok Rempek. Dusun bagian bawah berada pada ketinggian antara 5 ≤ 200 m dpl, usaha tani yang diusahakan tanaman pangan; bagian tengah berada pada ketinggian antara 200 ≤300 m dpl dan bagian atas berada pada ketinggian > 300 m dpl. Dusun yang berada pada elevasi yang cukup tinggi adalah Desa Monggal Atas (± 550 m dpl) usaha tani yang diusahakan bagian tengah dan atas adalah tanaman perkebunan termasuk diantaranya tanaman kakao. Topografi miring dan bergelombang. Jumlah penduduk Desa Genggelang pada tahun 2005 sebanyak 10.394 jiwa yang terdiri dari 2.410 kepala keluarga. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki 5.129 jiwa dan perempuan 5.265 jiwa. Jumlah petani tanaman perkebunan 2.682 jiwa yang melibatkan 1.109 kepala keluarga atau 45,12% KK dan yang bermata pencaharian dari pertanian tanaman pangan sebanyak 1.524 jiwa yang melibatkan 630 rumah tangga atau 25,63% KK (Anonim, 2005). Berdasarkan hasil analisis data seri hujan periode 1993-2006 di lokasi Prima Tani Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 7 – 407 mm/bulan, curah hujan tahunan sebanyak 1409 mm/tahun, jumlah hari hujan antara 0 – 11 hari per bulan, dan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 48 hari (Anonim, 2007). HARI HUJAN DI DESA GENGGELANG
CURAH HUJAN DI DESA GENGGELANG
350 300 250 200 150 100 50 0
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
(hari/bulan)
400
HARI HUJAN (hari/bulan)
CURAH HUJAN (mm/bulan)
450
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
BULAN
BULAN
Gambar 1. Distribusi Hujan dan Hari Hujan Bulanan di Desa Genggelang
81
Kondisi hujan mengindikasikan bahwa lokasi Prima Tani tergolong ke dalam zona agroklimat D-4 (Oldeman, 1980) dan tipe hujan E dengan puncak periode basah pada bulan Februari dan puncak periode kering pada bulan September. Kelembaban udara relatif berkisar 81% sepanjang tahun, dengan capaian nilai maksimum bulan Desember dan minimum terjadi bulan Mei dan suhu rerata tahunan berkisar 25,8 C. B. Eksisting teknologi tanaman kakao Usahatani dominan yang diusahakan penduduk Desa Genggelang adalah usahatani tanaman perkebunan tahunan. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan dan biasanya ditanam dalam bentuk kebun, antara lain: kakao, kopi, kelapa, mangga, cengkeh, pisang dan durian. Secara umum teknologi yang diterapkan petani dalam budidya tanaman tersebut masih sangat sederhana. Umur tanaman kakao yang terdapat di Desa Genggelang sangat bervariasi yaitu berkisar antara 1015 tahun dan bahkan pada beberapa kebun petani ada tanaman yang masih muda, berumur sekitar ± 2 tahun. Jenis tanaman kakao yang diusahakan adalah kakao rakyat atau biasa dikenal dengan kakao lindak (bulk cacao). Jarak tanam yang digunakan bervariasi yaitu antara 2,5 X 3 meter. Kegiatan usahatani kakao yang dikerjakan petani saat ini terbatas hanya pada kegiatan pemeliharaan. Setiap tahun petani melakukan kegiatan pemangkasan, baik pemangkasan berat maupun ringan. Pemangkasan biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan Juli sampai dengan akhir bulan Agustus. Pemangkasan dilakukan dengan cara memotong cabang-cabang yang overlap dan cabang/ranting yang tidak produktif atau ranting-ranting yang mati. Sebagian besar kegiatan ini dilakukan oleh orang lakilaki. Tujuan dilakukan pemangkasan, salah satunya, adalah untuk mengurangi kelembaban kebun. Dengan berkurangnya kelembaban pada kebun diharapkan dapat mengurangi perkembangan hama Cacao moth sp. atau yang biasa dikenal dengan hama penggerek buah kakao (PBK). Hama penggerek buah kakao biasanya mulai menyerang pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut tanaman sudah mulai berbuah. Petani dalam mengendalikan hama tersebut sudah menerapkan sistem kondomisasi pada buah kako yang masih muda yaitu dengan cara membungkus buah kakao dengan plastik. Tujuan dari komdomisasi ini adalah agar hama penggerek buah kakao tidak dapat menggerek buah dan larvanya tidak dapat masuk kedalam buah kakao. Tidak seluruh kebun milik petani dibuatkan rorak disekitar barisan tanaman kakao. Terlihat daundaun kakao yang rontok hanya dibersihkan bersamaan waktu kegiatan penyiangan. Daun-daun rontok yang mengering dan sisa-sisa tanaman hasil penyiangan oleh petani dikumpulkan pada suatu tempat untuk kemudian dibakar. Kegiatan penyiangan biasanya dilakukan pada awal musim penghujan yaitu pada bulan Nopember-Desember setiap tahunnya. Penyiangan tersebut kebanyakan dilakukan oleh laki-laki dan sedikit tenaga perempuan. Pemupukan dilaksanakan setelah kegiatan penyiangan selesai dilakukan dengan cara membuat parit disekitar tanaman kemudian pupuk ditaburkan secara merata dan parit ditutup kembali dengan tanah, ada sebagian kecil petani yang melakukan pemupukan dengan kotoran sapi dan hal ini biasanya dilkakukan bagi mereka yang memiliki ternak sapi. Ternak sapi, kebanyakan oleh petani kalau siang hari ditambatkan pada tanaman kakao dan hal ini secara tidak langsung akan menambah bahan organik disekitar tanaman kakao, cuma sayangnya penambatan ternak sapi tersebut tidak dilakukan berpindah-pindah pada setiap tanaman sehingga hanya tanaman yang dipergunakan untuk tambatan ternak yang mendapat bahan organik. Pembuatan rorak hanya sebagian kecil petani yang melaksanakannya. Tanaman kakao mulai berbunga pada pertengahan bulan Oktober sampai dengan bulan Nopember dan terjadi pembuahan pada bulan Desember. Sistem berbunga dari tanaman adalah sifatnya epigaes yaitu bunga dan buah menempel pada batang dan cabang-cabangnya, sehingga kegiatan kondomisasi pada buah kakao adalah tindakan yang paling efektif untuk mengendalikan hama penggerek buah kakao, selain caracara pengendalian yang lainnya. Karena bersifat epigaes, sehingga banyak kita temui buah-buah kakao sangat rendah posisinya dan dekat sekali dengan permukaan tanah. Musim panen puncaknya (panen raya) pada bulan Maret sampai dengan bulan April. Panen raya dilakukan setiap minggu sekali dan panen biasa dilakukan 2 minggu sekali sepanjang hari setiap tahun. Hasil panen kakao langsung dilakukan pemecahan buah dan biji-biji tersebut dilakukan pemeraman dengan air semalam kemudian dilakukan penjemuran. Ada sebagian petani yang setelah melakukan pemecahan buah kakao langsung menjualnya dan ada pula yang melakukan penjemuran selama satu hari. Produksi yang dihasilkan rata-rata 700 kg/ha biji kering, harga biji kakao yang baru dikeluarkan dari kulit buah dan dijemur selama satu sebesar Rp. 3000,-sampai dengan Rp. 5000,- per kilogram. Petani dalam menjual biji kakao tidak dilakukan secara kelompok dan pedagang pengumpul (pengejos) mendatangi rumah-rumah petani.
82
C. Inovasi Teknologi Budidaya Kakao Untuk meningkatkan produktivitas kakao, inovasi teknologi budidaya yang dapat dilakukan anatara lain : pemangkasan produksi, rehabilitasi kakao menjadi tanaman klonal, pengendalian hama dan penyakit. 1.
Pemangkasan Produksi,
Kunci dari pangkas pemeliharaan adalah mempertahankan tanaman tetap sehat dan produksi tinggi, dilakukan pada tanaman menghasilkan (TM). Tujuannya untuk mempertahankan kerangka yang sudah terbentuk. Cabang yang dipangkas cabang sakit, cabang balik, cabang terlindung atau cabang yang melindungi, cabang yang masuk jauh kedalam tajuk tanaman disebelahnya. Frekuensi pangkasan 6-8 kali pertahun. Tunas air dibuang 2-4 minggu sekali. -
Potong ranting/cabang Sangat ternaungi, masuk jauh ketajuk tetangga, cabang yang menggantung, dan cabang yang sakit/patah, dan tunas-tunas air harus selalu dihilangkan.
-
Petik buah-buah yang sakit dan dibenamkan.
-
Dilakukan dengan sering dengan intensitas ringan (misal 2 bulan sekali).
-
Pangkas produksi dilakukan lebih berat dari pada pangkas pemeliharaan.
-
Diutamakan topping 3-4 meter.
-
Memicu flush, pembungaan dan pertumbuhan buah.
Jadwal pemangkasan tanaman kakao Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Produksi Pemeliharaan Wiwilan
2.
Rehabilitasi Kakao Menjadi Tanaman Klonal,
Dalam rehabilitasi tanaman kakao menjadi tanaman klonal salah satunya dapat dilakukan dengan cara sambung-samping. Teknik sambung-samping hanya dilakukan pada tanaman kakao yang tidak produktif lagi dengan bahan entres klon-klon unggul. Sambung-samping -
Merupakan metode rehabilitasi tanaman yang masih sehat tetapi perlu direhabilitasi karena berbagai alasan.
-
Dilaksanakan pada musim hujan, saat tanaman tumbuh aktif.
-
Dilakukan pada batang bawah yang sehat, tumbuh aktif ditandai dengan kulit batang mudah dibuka.
-
Disiapkan batang atas (entres) klon-klon unggul anjuran yang jelas identitasnya.
-
Bahan entres berupa cabang plagiotrop berwarna hijau atau hijau kecoklatan yang daunnya telah menua, dengan diameter 0,75 – 1,50 cm.
Pelaksanaan Sambung Samping a.
Batang Bawah -
Pada ketinggian 45 – 60 cm dari permukaan tanah, kulit batang ditoreh vertikal sepanjang 5 cm, jarak antar torehan 1 – 2 cm atau sama dengan diameter entres yang akan disisipkan. Tebalnya sayatan sampai mencapai kambium.
-
Di ujung atas torehan dipotong miring ke bawah sampai mencapai kambium, selanjutnya kulit diungkit apakah kulit mudah dibuka. Membukanya ”lidah” kulit nanti bersamaan dengan saat menyisipkan entres.
-
Sambung samping dapat dilakukan lebih dari satu tempat pada setiap pohon.
83
b.
c.
d.
3.
Entres -
Entres disiapkan dengan cara memotongnya sepanjang 10 – 12 cm dengan 3 – 5 mata tunas.
-
Pangkal entres disayat miring sehingga diperoleh bentuk permukaan sayatan runcing seperti baji. Panjang sayatan 3 – 4 cm.
-
Untuk memperoleh tingkat keberhasilan tinggi, entres yang digunakan harus dalam keadaan segar.
Penutupan Entres dan Pengikatan -
Entres perlahan-lahan disisipkan pada batang bawah. Sisi sayatan yang berbentuk seperti baji dletakkan menghadap batang bawah kemudian lidah” kulit ditutupkan kembali.
-
Entres dikerodong dengan kantong plastik dengan ukuran 18 x 8 cm kemudian diikat kuat dengan tali rafia. Pengiakatan harus cukup ertak sehingga air hujan tidak masuk ke luka sayatan.
-
Dapat juga entres ditutp dengan lembaran plastik kemudian diikat erat.
-
Lembar plastik ini minimum setengah keliling linkaran batang bawah.
-
Kunci keberhasilan sambung samping antara lain terletak pada sejauh mana entres terhindar dari dehidrasi dan luka sayatan terhindar dari air hujan.
-
Setelah 3 – 4 minggu dlakukan pengamatan, apabila entres tampak segar berarti sambungan jadi, sebaliknya jika entres kering atau busuk maka gagal.
-
Pada sambungan yang gagal, dapat dilakukan sambung ulang pada sisi yang berlawanan.
-
Setelah panjang tunas ±2 cm maka kantong plastik penutup entres dibuka dengan cara merobeknya tanpa melepas tali pengikatnya. Apabila digunakan lembaran plastik sebagai penutup, tali penutup entrs dilepas sedangkan tali yang mengikat bertautan tetap dipertahankan. Setelah tiga bulan dan entres sudah melekat erat, maka tali pengikat yang bertautan bisa dilepas.
Perawatan Tunas Baru -
Secara teratur tunas-tunas air yang tumbuh dari batang bawah dibersihkan.
-
Tunas-tunas baru yang tumbuh diikatkan pada batang bawah agar tumbuh vertikal.
-
Tajuk batang bawah yan menutup tunas baru dipotong (disiwing).
-
Engendalian hama dan penyakit, dilakukan dengan penyemprotan pestisida secara teratur. Hama yang sering menyerang adalah Helopeltis spp, kutu putih, dan berbagai ulat pemakan daun. Penyakit yang sering menyerang adalah Colletotrichum sp.
-
Pangkasan bentuk tunas baru dilakukan dengan memotong ujung tunas primer ini pada jarak 60 cm dan memelihara 3 cabang sekunder. Pangkasan selanjutnya dengan memotong ujung-ujung cabang sekunder pada batas 30 cm dari tempat percabangan. Batang bawah baru dipotong total pada saat tunas baru sudah kuat dan mulai berbuah, yaitu ada umur 1,5 – 2 tahun pada jarak 20 – 50 cm diatas pertautan.
-
Perawatan rutin tetap dilakukan sesuai baku teknis seperti wiwilan, pemupukan, pengaturan pohon penaung dan pengendalian hama/penyakit.
Pengendalian Hama dan Penyakit,
Hama yang dijumpai dan sering menyerang tanaman kakao di Desa Genggelang adalah adalah hama penggerek buah kakao (PBK) Conoppomorpha cramerella (Snell.) dan penyakit busuk buah Phytophthora palmivora (Butl.). Pengendalian hama PBK dapat dilakukan dengan cara pemangkasan bentuk, membatasi tinggi tajuk tanaman maksimum 4 m untuk mempermudah pengendalian dan panen. Penyelubungan buah berukuran 8 – 10 cm dengan kantong plastik. Secara biologi dengan menggunakan semut hitam. Untuk meningkatkan populasi semut hitam, perlu membuat sarang dari lipatan daun kelapa atau daun kakao dan diletakkan di atas jorket. Pengendalian penyakit busuk buah dapat dilakukan secara terpadu : sanitasi kebun yaitu memetik semua buah busuk kemudian membenam di dalam tanah sedalam 30 cm, kultur teknis yaitu dengan pengaturan pohon pelindung dan pemangkasan tanaman kakao sehingga kelembaban di dalam kebun turun serta penanaman klon tahan seperti DRC 16, Sca 6, Sca 12, ICS 6 dan lain-lain (Anonim, 2003).
84
KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : -
Desa Genggelang secaga geografis dibagi menjadi 3 bagian yaitu Dusun bagian bawah berada pada ketinggian antara 5 ≤ 200 m dpl, usaha tani yang diusahakan tanaman pangan; bagian tengah berada pada ketinggian antara 200 ≤300 m dpl dan bagian atas berada pada ketinggian > 300 m dpl. Dusun yang berada pada elevasi yang cukup tinggi adalah Desa Monggal Atas (± 550 m dpl) usaha tani yang diusahakan bagian tengah dan atas adalah tanaman perkebunan termasuk diantaranya tanaman kakao. Topografi miring dan bergelombang.
-
Berdasarkan hasil PRA diperoleh hasil tanaman terpilih kakao, kopi, jambu mete, kelapa dan ternak kambing. Masalah yang timbul pada tanaman kakao produksi rendah, sharga rendah dan serangan hama penggerek buah kakao (PBK) Conoppomorpha cramerella (Snell.) dan penyakit busuk buah Phytophthora palmivora (Butl.).
-
Berdasarkan hasil analisis data seri hujan periode 1993-2006 di lokasi Prima Tani Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 7 – 407 mm/bulan, curah hujan tahunan sebanyak 1409 mm/tahun, jumlah hari hujan antara 0 – 11 hari per bulan, dan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 48 hari.
-
Untuk meningkatkan produktivitas kakao, inovasi teknologi budidaya yang dapat dilakukan anatara lain : pemangkasan produksi, rehabilitasi kakao menjadi tanaman klonal, pengendalian hama dan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma cacao L). Pusat penelitian Kopi dan Kakao. Jember. Anonim. 2005. Programa Penyuluhan Kecamatan Gangga. Dinas Pertanian dan Peternakan Lombok Barat. Nusa Tenggara Barat. Anonim. 2005. Monografi Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat. Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. NTB. Anonim. 2007. Laporan Sementara Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan Untuk Mendukung Prima Tani di Desa Genggelang Kecamatan Gangga kabupaten Lombok Barat. Nusa Tenggara Barat. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. BPS. 2005. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB. Mataram. BPS. 2005. Kecamatan Gangga Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB. Mataram. Bambang Irawan, Agung Hendriadi, Zaenal Mahmud, Tri Pranadji, B. Susilo S. dan Sudjadi. 2005. Panduan Penyusunan Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan (1997). Statistik Perkebunan Indonesia 1995-1997: Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. 58 p. Sri Winarsih dan A. Adi Prawoto. 1998. Pedoman Teknis Sambung-Samping Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Volume 14 (1), Pebruari 1998. Jember. p: 90-96. Oldeman,R.L., Irsal Las, and Muladi. 1980. The Agroclimate Maps Of Kalimatan, Maluku, Irian jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara Contrib. No. 60. Centr. Res. Inst. Agrcr. Bogor.
85
PENGARUH PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN PISANG ( Musa paradisiaca ) DI LAHAN KERING B.Tri Ratna Erawati1, Awaludin Hipi.1, Agus Sutanto2 1) Peneliti pada BPTP NTB 2) Peneliti pada Balai Penelitian Buah, Solok
ABSTRAK Pisang merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang baik pada kondisi kekurangan air, sehingga pisang banyak ditanam petani di lokasi lahan kering. Tetapi dalam pengembangan pisang tersebut petani belum menerapkan teknik budidaya yang baik dan benar, terutama mengenai pemupukan. Petani umumnya belum melakuan pemupukan secara berimbang, sehingga produktivitas dan kualitas pisang masih relatif rendah. Untuk itu dilakukan pengujian mengenai beberapa paket pemupukan dengan tujuan untuk mengetahui paket pemupukan terbaik dan efisien ditingkat petani, seingga produktivitas dan kualitas pisang dapat ditingkatkan. Pengkajian dilakukan di lahan kering milik petani di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia Lombok Timur, pada bulan Januari – Juni 2007. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok, dengan 5 perlakuan yang diulang 12 kali. Jenis pisang yang digunakan adalah pisang susu dengan jarak tanam 3 m x 3.5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman pisang membutuhkan tambahan unsur hara dari pupuk organik maupun an organik dalam pertumbuhan vegetatifnya. Perlakuan paket pemupukan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) merupakan pemupukan terbaik dan efisien dibanding dangan perlakuan lainnya. Kemudian disusul oleh paket pemupukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi). Pemberian pupuk Urea yang tidak dibarengi dengan pemberian pupuk kandang hasilnya kurang baik jika dibandingkan dengan pupuk ZA. Kata kunci : pemupukan, pisang, lahan kering
PENDAHULUAN Pisang merupakan salah satu komoditas buah unggulan di Indonesia. Luas dan Produksi Pisang selalu menempati posisi pertama. Produksi pisang sebagian besar di panen dari pertanaman kebun rakyat. Selain itu pisang mengandung vitamin dan mineral esensial yangsangat bermanfaat bagi kesehatan. Oleh sebab itu maka pengembangan pisang perlu mendapat perhatian yang lebih seius. Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa tahun terakhir melakukan pengembangan pisang khususnya di lahan kering karena potensi lahan kering NTB cukup luas dan belum dikelola secara optimal. Pisang merupakan tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik terhadap kekurangan air. Usahatani pisang cukup menguntungkan dan dapat memberikan pendapatan petani secara kontinyu setiap bulannya. Seiring dengan itu peluang pemasaran pisang juga terbuka luas baik untuk pasar lokal maupun pasar luar daerah (khususnya Bali) dengan harga jual yang cukup tinggi dan stabil pada jenis-jenis pisang komerial. Hal ini yang mendorong petani kuhusnya di Kabupaten Lombok Timur untuk banyak mengembangkan tanaman pisang. Namun disayangkan pengembangan pisang yang dilakukan oleh petani tersebut belum diikuti dengan penanganan budidaya tanaman pisang yang tepat dan benar. Hal ini yang menyebabakan produktivitas dan produksi pisang di NTB masih relatif rendah. Petani masih melakukan usahatani pisang sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan ekonomi terutama mengenai pemupukan. Pemberian pupuk ditingkat petani masih sangat bervariasi dan belum menggunakan pemupukan yang seimbang yaitu penggunaan pupuk organik dan an organik. Pemupukan yang berimbang mampu memberikan pertubuhan tanaman menjadi lebih baik, tahan terhadap kerebahan, tahan terhadap hama dan penyakit, dan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil. Pengunaan pupuk organik dapat memberikan tambahan baha organic, hara, memperbaiki sifat fisik tanah, serta mengembalikan hara yang teangkut hasil anen. Selain itu juga dapat mencegah kehilangan air dalam anah dan laju infiltrasi air (Soemarno, 1993).
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dilahan petani di Desa Labuan Pandan Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur, pada bulan Januari – Juni 2007. Tipologi lokasi penelitian adalah lahan kering. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan yang diulang 12 kali, dan masing-masing perlakuan menggunakan 10 tanaman sampel. Perlakuan terdiri dari beberapa paket pemupukan yaitu : O = tanpa menggunan pupuk (kontrol), A = Pupuk kompos (20 kg/pohon) /aplikasi, B =
86
Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi, C = ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi, dan D = Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi. Perlakuan diatur pada lahan petani, berdasarkan rancangan percobaan yang telah ditentukan. Bahan yang digunakan adalah bibit (dalam polybag) yang sudah dikembangkan dari bonggol. Jenis pisang yang digunakan adalah pisang susu. Penanaman dilakukan secara bersamaan, setiap lubang ditanami satu tanaman, dengan jarak tanam 3 m x 3,5 m. Pemupukan dilakukan sesuai dengan paket pada setiap perlakuan. Untuk perlakuan yang memiliki kompos A dan D, kompos diberikan 2 minggu sebelum tanam. Sedangkan untuk pemupukan an organik di berikan 2 minggu setelah penanaman. Pengamatan dilakukan setiap satu bulan, dimulai dari satu bulan setelah aplikasi pemupukan an organic. Peubah yang diamati adalah pertambahan tinggi tanaman (bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga), pertambahan diameter batang (bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga), dan jumlah anakan yang keluar (bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga). Data hasil pengamatan dianalisia dengan analisis varian pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penambahan Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada penambahan tinggi tanaman antara perlakuan paket pemupukan pada pengamatan pertama. Tetapi berbeda halnya dengan pertumbuhan tanaman pada pengamatan kedua. Pengaruh pemupukan terlihat pada penambahan tinggi tanaman pada semua paket pemupukan yang dicobakan. Dimana perlakuan O(kontrol) memiliki penambahan tinggi tanaman terendah dan berbeda dengan semua paket pemupukan yang lainnya. Perlakuan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) memiliki penambahan tinggi tanaman lebih baik dibandingkan dengan O (pada p = 0,01) tetapi perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) memberikan penambahan tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan A (pada p = 0,01). Dimana perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) menunjukkan perbedaan penambahan tinggi tanaman secara nyata dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D(Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi ) (pada p = 0,02), tetapi pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/phn/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak menunjukkan perbedaan penambahan tinggi tanaman secara nyata pada bulan kedua. Paket pemupukan pada perlakukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/ pohon/aplikasi) memberikan tambahan tinggi tanaman terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan paket pemupukan lainnya. Tabel 1. Rataan Pertambahan Tinggi Tanaman Pisang Setiap Pengamatan pada Beberapa Perlakuan Paket Pemupukan, Sambelia, 2007 Pertambahan tinggi tanaman (cm) Pengamatan ke 1 2 3 O : (Kontrol) 24,83 a 47,30 a 24,70 a A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) 25,08 a 50,60 b 29,00 b B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) 25,58 a 54,70 c 38,60 c C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi) 27,08 a 66,10 d 41,90 c D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi) 25,75 a 68,60 d 40,70 c Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang didampingi huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5 % (berlaku untuk tabel-tabel berikutnya) Perlakuan
Pada pengamatan ketiga, pengaruh paket pemupukan sangat nyata terhadap penambahan tinggi tanaman. Pada bulan ketiga, perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) mampu menigkatkan penambahan tinggi tanaman yang cukup tinggi yang tidak berbeda dengan penambahan tinggi tanaman pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D tetapi berbeda dengan penamabahan tinggi tanaman pada perlakuan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) dan O (Kontrol). Walaupun secara statistik perlakuan B(Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) tidak berbeda dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi), tetapi ada kecendrungan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) lebih baik dari perlakuan
87
B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi). Hasil rataan penambahan tinggi tanaman pisang pada beberapa perlakuan paket pemupukan dapat dilihat pada Tabel 1. Diameter Batang Hasil penelitian menunjukan bahwa pemupukan berpengaruh nyata terhadap besarnya diameter batang tanaman pisang pada pengamatan pertama. Hal ini ditunjukkan dengan diameter batang pada perlakuan O (kontrol) yang memiliki penambahan diameter batang paling rendah dan berbeda nyata (p = < 0,001) dengan perlakuan pada paket pemupukan lainnya. Pada perlakuan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi), B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi), C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/ pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak terjadi perbedaan penambahan diameter batang. Pada pengamatan kedua untuk diamter batang, terjadi perbedaan penambahan diameter batang yang cukup nyata pada beberapa paket pemupukan yang diuji. Terlihat bahwa penambahan diameter batang pada perlakuan O (kontrol ) paling kecil dan berbeda nyata dengan perlakuan pada paket pemupukan lainnya (p = 0,006). Jika dilihat dari besarnya penambahan diameter batang maka perlakuan A (Kompos 20 kg/ pohon/aplikasi lebih baik dari perlakuan O (kontrol ), tetapi perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) lebih baik dari pada perlakuan A. Penambahan diameter batang pada perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) berbeda nyata dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi), tetapi perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi) tidak memiliki perbedaan yang nyata pada penambahan diameter batang. Perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) memiliki penambahan diameter batang terbesar dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Tabel 2. Rataan Pertambahan Diameter Batang Pisang Setiap Pengamatan pada Beberapa Perlakuan Paket Pemupukan, Sambelia, 2007 Perlakuan O : (Kontrol) A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi )
Pertambahan diameter batang Pengamatan ke 1 2 1,03 a 3,24 a 1,17 b 3,39 b 1,25 b 3,82 c 1,18 b 4,52 d 1,19 b 4,72 d
(cm) 3 2,23 a 2,26 a 2,62 b 2,87 b 2,99 b
Pengamatan pada ketiga untuk penambahan besarnya diameter batang diperoleh hasil bahwa perlakuan O (kontrol ) dan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) tidak berbeda. Ini menunjukan bahwa pemberian kompos saja belum cukup untuk meningkatkan penambahan diameter batang selama pertumbuhan tanaman. Perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) pada pengamata bulan ketiga terlihat tidak memiliki perbedaan penambahan besarnya diameter batang dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D(Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi). Dimana C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak memiliki perbedaan pada penamabahan diameter batang. Hasil rataan penambahan diameter batang pada beberapa perlakuan paket pemupukan dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah Daun Hasil penelitian pada pengamata pertama menunjukkan bahwa pemupukan berpengaruh terhadap jumlah daun. Dimana perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) memperlihatkan penambahan jumlah daun paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Untuk pengamatan kedua semua perlakuan tidak mengalami pertambahan jumlah daun yang sama, artinya tidak terjadi perbedaan dalam penambahan jumlah daun. Ini menunjukan bahwa unsur hara yang diberikan kedalam tanah dalam bentuk pupuk an organik mulai dapat diserap tanaman dengan baik.
88
Tabel 3. Rataan pertambahan jumlah daun di setiap pengamatan pada beberapa perlakuan paket pemupukan, Sambelia, 2007 Perlakuan O : (Kontrol) A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi) D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi)
Pertambahan Jumlah daun (helai) Pengamatan ke 1 2 3 4,08 a 4,42 a 4,42 a 3,67 a 4,17 a 4,42 a 4,00 a 4,50 a 4,92 b 3,83 a 4,25 a 4,92 b 4,83 b 4,83 a 4,92 b
Pada pengamatan ketiga terjadi perbedaan penambahan jumlah daun pada perlakuan pemupukan yang dicoba. Terlihat bahwa ada perbedaan penambahan jumlah daun antara paket pemupukan (perlakuan B,C,D) dengan perlakuan A (kompos ) dan O (kontrol). Dimana antara perlakuan A (kompos ) dan O (kontrol) tidak terjadi perbedaan penamabahan jumlah daun. Begitu juga halnya dengan perlakuan paket pemupukan (perlakuan B,C dan D) tidak terjadi perbedaan penambahan jumlah daun. Untuk mengetahui rerata pertambahan jumlah daun setiap pengamatan disajikan pada Tabel 3. Jumlah Anakan Data pada Tabel 4. menunjukkan bahwa paket pemupukan pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) berpengaruh terhadap jumlah anakan yang tumbuh. Dimana perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) berbeda dengan perlakuan lainnya, pada pengamatan bulan kedua. Untuk pengamatan bulan ketiga, terlihat bahwa paket pemupukan pada perlakuan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g/pohon/aplikasi) menunjukan perbedan dengan perlakuan O (Kontrol) dan A (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi), tetapi tidak berbeda dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/ pohon/aplikasi) dan D(Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi).. Walaupun demikian ada kecendrungan paket pemupukan pada perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi). lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Tabel 4. Rataan Jumlah Anakan Pisang yang Tumbuh Setiap Pengamatan pada Beberapa Perlakuan Paket Pemupukan, Sambelia, 2007
Perlakuan O : (Kontrol) A : (Kompos 20 kg/pohon/aplikasi) B : (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) C : (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi) D : (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi).
Pengamatan jumlah anakan yang tumbuh (anakan) Pengamatan ke 1 2 3 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,17 b 0,00 a 0,25 b 0,58 b 0,00 a 0,50 b 0,75 b
Pembahasan Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kontrol memberikan pertumbuhan vegtatif tanaman yang paling rendah dari beberpa peuah yang diamati, ini menunjukkan bahwa tanaman pisang tetap membutuhkan tambahan unsur hara makro maupun mikro dalam proses pertumbuhan vegetatifnya. Pemberian kompos saja sejumlah 20 kg/pohon/aplikasi belum cukup untuk mendukung petumbuhan vegetatif tanaman pisang. Disamping itu juga pupuk kompos tidak segera dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pelepasan unsur hara dari pupuk kompos berlangsung secara bertahap dan lama (Limin, 1992) sehingga, seperti yang ditunjukan oleh oleh hasil penelitian, memerlukan waktu 1 – 2 bulan untuk dapat diserap oleh tanaman pisang. Paket pemupukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) yang ada pupuk ZA-nya (Ammonium sulfat = (NH4)2SO4) cendrung lebih baik dibandingkan dengan paket pemupukan B (Urea 250 g + SP36 100 g + KCl 150 g /pohon/aplikasi) yang ada pupuk Urea-nya. Terlihat bahwa unsur nitrogen dan belerang yang ada pada pupuk ZA sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pisang. Pemberian nitrogen pada pertumbuhan awal akan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman (Supriyono, 1976 dalam Annisa, 1992). Unsur belerang memiliki pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman pisang karena
89
belerang merupakan unsur essensial bagi pertumbuhan tanaman yang sangat diperlukan untuk berbagai reaksi dalam sel hidup, terutama sebagai penyusun dari asam amino metionin dan sistein (Soepardi, 1983). Pemberian nitrogen dalam bentuk pupuk ZA pada pisang lebih baik dibanding bentuk Urea. Ini sama seperti pemberian pupuk ZA pada padi sawah di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan hasil lebih banyak jika dibadingkan dengan pemberian pupuk nitrogen dalam bentuk urea demikian juga pada pertanaman tebu (Dalal dan Prasad, 1975). Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan sebaiknya dikombinasikan antara pupuk organik dan an organik, seperti pada perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi). Pada penelitian terlihat bahwa perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg /pohon/aplikasi) umumnya tidak berbeda dengan perlakuan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g /pohon/aplikasi) pada beberapa peubah yang diamati. Ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik berpengaruh baik terhadap kerja bahan an organik. Pada paket pemupukan di perlakuan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) tidak terdapat pupuk KCl tetapi terdapat pupuk kompos (organik), karena bahan organik mempunyai peranan penting dalam menentukan ketersediaan kalium dalam tanah (Soemarno, 1993). Selain itu juga pupuk kompos merupakan pupuk organik yang dapat memberikan tambahan bahan organik, hara, memperbaiki sifat fisik tanah, serta mengembalikan hara yang terangkut hasil panen. Disamping itu juga dapat mencegah kehilangan air dalam tanah dan laju infiltrasi air.
KESIMPULAN 1.
Paket pemupukan C (ZA 200 g + SP36 200 g + KCl 100 g/pohon/aplikasi) dan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) menunjukkan pertumbuhan vegetatif tanaman pisang terbaik pada beberapa peubah yang diamati dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Paket pemupukan D (Urea 200 g + SP36 150 g + kompos 10 kg/pohon/aplikasi) lebih efisien untuk diterapkan ditingkat petani.
2.
Pengaruh unsur nitrogen pada pupuk ZA lebih baik dibandingkan dengan bentuk Urea untuk pertumbuhan vegetatif tanaman pisang.
3.
Untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman pisang perlu dipadukan antara penggunaan pupuk organik dan an organik.
DAFTAR PUSTAKA Annisa, 1992. Pengaruh Pemberian Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan Mangga Gadung yang disambung Pada Lima varietas Batang Bawah Mangga (Mangifera indica L.). Fakultas Pertanian Unibraw Malang. Dalal, R. C dan Martoyo. 1986. Kajian Sorgum Manis (Sorghum vulgare L.)Bahan Baku Potencial Pabrik Gula. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah tahunan II. Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula Pasuruan. Limin, S.H. 1992. Respon Jagung Manis (Zea Mays Saccharata Surt) Terhadap pemberian Kotoran Ayam, Posfat dan Dolomit Pada tanah gambut Pedalaman. Mineral dan Kapur dengan Gambut Pedalaman.Dalam Proseding Kongres II HGI. Jakarta, 14-15 Januari 1993. Jakarta Soemarno, 1993. Kalium tanah dan Pengelolaannya. Jur.Tanah, Fak. Pertanian Unibraw. Malang. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri tanah. IPB Bogor.
90
MODEL PENERAPAN BIOTEKNOLOGI DALAM PENGELOLAAN KETAHANAN INSEKTISIDA HAYATI, Bacillus thuringiensis –toksin M. Sarjan Staf Pengajar Fakultas Pertanian- Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Mataram
ABSTRAK Pengunaan Bacillus thuringiensis (Bt) secara intensif ternyata telah mengakibatkan terjadinya ketahanan hama walaupun masih berupa kasus yang terjadi di tingkat laboratorium maupun di tingkat lapangan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut telah banyak dialakukan kajian-kajian tentang mekanisme ketahanan hama terhadap Bt baik dari aspek genetika, fisiologi maupun molekuler. Dalam kaitan tersebut dalam peper ini akan ditunjukkan alternatif model ketahanan Bt melalui pendekatan immunology dengan menggunakan berbagai lectin sebagai bahan analisis, karena adanya kesamaan karakatristik molekuler antara Bt-toxin dengan lectin terutama Helix pomatia lectin (HPL) yang diisolasi dari sebangsa bekicot. Dalam model ini dijelaskan bahwa resistensi serangga terhadap Bt disebabkan oleh meningkatnya jumlah protein koagulasi, yang berinteraksi dengan molekul ”oligomeric toxin” seperti ”oligomeric lectin”. Kata kunci : bioteknologi, insektisida hayati, Bacillus thuringiensis
PENDAHULUAN Penggunaan pestisida kimia secara intensif dalam pengendalian hama serangga yang dapat merusak produksi pertanian dan lingkungan. Terdapat banyak bukti bahwa dalam beberapa dekade telah munculnya banyak kasus resistensi serangga terhadap beberapa jenis insektisida kimia. Hal ini terjadi secara global termasuk di Indonesia seperti pada tanaman pangan, sayuran dan bahkan tanaman perkebaunan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut muncul cara alternative yang lebih aman , efisien dan efektif yaitu dengan memanfaatkan biopestisida seperti Baicillus thuringiensis (Bt), suatu bakteri yang disiolasi dari tanah. Namun penggunaan biopestisida Bt ini secara luas dan intensif ternyata juga mendatangkan dampak negatif terutama terjadinya resistensi beberapa jenis hama seperti hama ulat kubis (Plutella xylostella) (Tang et al, 1996; 1997) dan hama penggerek buah kapas (Tabassnik et al, 2000). Ketahanan juga terjadi pada beberapa jenis hama di tingkat laboratorium seperti hama pengerek kapas lainnya , Heliothis virescens (Gahan et al, 2001). Kurangnya pengetahuan tentang cara kerja (mode of action) dari Bt-toxin merupakan salah satu kendala dalam upaya pengembangan strategi pengelolaan resistensi serangga termasuk bagaimana mekanisme resistensi serangga terhadap Bt. Kajian-kajian tentang mekanisme ketahanan serangga terhadap Bt telah banyak dilakukan , baik dari aspek genetika, fisiologi maupun aspek molekuler, namun sampai sekarang belum menjawab tantangan bagaimana menghindari terjadinya ketahanan atau bagaimana pengelolaan ketahanan hama terhadap Bt tersebut. Sistem Imun Serangga Keberadaan serangga di alam selalu mendominasi organisme baik jenis dan jumlahnya. Hal tersebut tak lepas dari kemampuan serangga untuk mempertahankan diri terhadap serangan dari luar baik yang bersifat biologis maupun non biologis dengan reaksi kekebalan yang sangat sederhana.(Gupta, 1991) Secara umum reaksi kekebalan serangga terdiri atas dua macam yaitu yang bersifat seluler maupun humoral. Reaksi seluler terutama melibatkan sel darah serangga atau hemocytes yang merupakan reaksi adesive hemocytes terhadap mikrobia atau parasit ( McKenzie, 1992; Strand, 1994). Pada reaksi tersebut terjadi perubahan-perubahan secara morpologi, tingkah laku dan jenis sel yang terlibat selama terjadinya infeksi yang secara luas telah diteliti menggunakan teknik mikroskopik, lectin dan monoclonal antibodi markers (Theopold, 1995; Theopold et al, 1996). Hemocyte mempagositosis bakteri, memperangkap mikrobia dalam nodul dan kapsulasi (Vinson and Hegazi, 1998). Hemocytes juga terlibat dalam reaksi imun lainnya seperti koagulasi hemolim (Brehelin, 1979; Gregoire, 1974). Sedangkan reaksi imun yang bersifat humoral secara prinsip terdiri atas sejumlah antibactericidal protein dan peptida dalam hemolim. Beberapa penemuan mengungkapkan bahwa reaksi kekebalan ditingkatkan oleh infeksi bakteri dengan cara meproduksi molekul antibakteria dimana secara fungsional belum difahami secara lengkap (Shiotsuki and Kato, 1999). Hasil penelitian terkini dengan menggunakan hemolim serangga telah mendeteksi keberadaan berbagai protein yang terbentuk sebagai respon terhadap
91
elisitor yang dapat di kategorikan sebagai “inducible bacreial proteins” dan ”inducible nonbactericidal proteins”. Mekanisme Ketahanan Serangga Secara Molekuler Secara umum, terdapat lebih dari satu protein pengikat Bt-toksin di dalam usus serangga dan sejauh ini protein-protein yang mengikat Bt-toksin pada serangga ordo lepidoptera adalah protein dengan berat molekul 120 kDa dan 220 kDa yang merupakan bagian integral dari fraksi brush border membrane vesicle (BBMV) (Martinez-Ramirez et al, 1994; Knight et al, 1994; Sangadala et al, 1994). Namun potein yang diekastrak pada kondisi denaturasi secara langsung dari usus serangga, protein pengikat Bt-toksin tambahan terisolasi. Sebagai contoh pada hama ulat kubis (Plutella xylostella), protein berukuran 85 kDa dijumpai sebagai protein utama yang dideteksi dengan Bt-toksin antibodi dan Helix pomatia Lectin (HPL) (Gambar 1). Hal ini berarti bahwa pada kondisi denaturasi (SDS-PAGE dan Western blots), Bt toxin dan HPL secara dominan mengikat p85.
1
2
3
85 kDa
Gambar 1.
Bt-toxin CryIAc mengikat glycoprotein serangga lepidoptera. Western blot yang mengandung ekstrak protein dari larva instar empat diprob dengan 1) preserum antibodi dengan menggunakan antibodi sekunder peroxidase-conjugated, 2) Peroxidase-conjugated HPL, 3) antibodi anti-CryIAc menggunakan antibodi sekunder peroxidase-conjugated.
A M
G
B GC
PM
G
GC
PM
P 85
Gambar 2.
Pengecatan Coomassie (A) dan HPL (B) dari berbagai jaringan larva DBM. HPL hanya mendeteksi p85 dan protein-protein dari usus dengan ukuran lebih tinggi (G), gut content (GC) and peritrophic memberane (PM).
Fakta menunjukkan bahwa p85 tidak ditemukan pada BBMV yang berarti glycoprotein ini kemungkinan hilang selama proses fraksinasi BBMV. Dengan demikian protein tersebut keberadaannya bukan pada BBMV, tapi pada cairan usus serangga yang dibedah secara langsung. Pada pengecatan coomassie, p85 kelihatannya sangat samar dibandingkan dengan pada 3 protein lainnya dengan ukuran masing-masing 78, 80 dan 82 kDa yang sangat kuat pada pengecatan tersebut yang diduga sebagai arylphorin, phenoloxidase (PO) dan apolipophorin II (Gambar 2A). Dengan pengecatan HPL, p85 merupakan glycoprotein yang dominan( Gambar 2B), dimana p85 tersebut dapat terdeteksi pada beberapa jaringan DBM seperti usus, lemak tubuh, hemolymph dan isi usus (Gambar 3). Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa
92
p85 kemungkinan diproduksi di dalam lemak tubuh dan dilepaskan ke cairan usus. (Gambar 2A). Dari pengamatan tersebut juga menunjukkan bahwa p85 terdapat pada peritrophic membrane dalam jumlah sedikit (Gambar 2 B), yang berarti berasosiasi tetapi bukan merupakan bagian struktur peritrophic membrane. Untuk menganalisis kemungkinan fungsi p85 sebagi protein pengikat toksin, dilakukan pengujian pada larva DBM resisten dan peka. Pada strain yang resisten HPL mengikat p85 lebih kuat dibandingkan dengan yang strain yang peka (Gambar 4). Kemungkinan penjelasannya adalah bahwa jumlah p85 meningkat pada cairan usus serangga resisten . Temuan terakhir mengidentifikasikan bahwa glycoprotein yang terlibat dalam koagulasi memiliki kesamaan yang bervariasi (Li et al, 2002). Sebagai contoh kelompok protein yang menginduksi reaksi imun larva membentuk komplek yang tidak terlarut (non-soluble complexes), sementara protein dari larva yang tidak terinduksi tetap dalam bentuk terlarut (D.Li, unpubl. data). Dari keberadaan p85 tersebut yang terdapat dalam hemolymph , salah satu kemungkinan peranan protein ini adalah keterlibatannya dalam reaksi koagulasi. L
G
GC
Fb
Car
Hem
p85
Gambar .3.
Western blot ekstrak protein dari individu jaringan larva DBM yang berbeda yang dicat dengan HPL. P85 glycoprotein dapat terdeteksi pada berbagai jaringan seperti larvae (L), Gut (G), Gut Content (GC), Fat body (FB), Carcases (Car) and Hemolymph (Hem).
R
R
M
S
S
P85
Gambar 4.
Western blot total ekstrak protein dari individu larva DBM resisten (R) dan susceptible (S) yang dicat dengan peroxidase-conjugated HPL, menunjukkan p85 tercat lebih kuat dibvandingkan dengan p85 pada serangga susceptible
Dengan menggunakan pendekatan imunologi Sarjan (2002) telah melakukan penelitian mekanisme ketahanan serangga lepidoptera terhadap Bacillus thuringiensis-endotoxin. Dengan menganalisis ekstrak usus serangga uji, ditemukan bahwa protein utama yang mengikat Cry IAc dari Bt-toxin adalah p85 yang merupakan glyucoprotein yang terlarut yang kemungkinan berperanan dalam kogulasi glicoprotein hemolim (Sarjan , 2003 in prep). Lokasi p85 yang merupakan protein yang berhubungan dengan sistem kekebalan serangga terdapat di cairan usus serangga . dimana terjadi perubahan p85 baik secara kualitatif
93
maupun kuantitatif pada serangga yang tahan terhadap Bt-toxin (Sarjan, 2002). Model mekanisme ketahanan serangga terhadap Bt-toxin yang dikemukakan oleh Sarjan (2002) adalah sebagai berikut (Gambar 5):
Gambar 5.
Model Ketahanan Seangga terhadap Bt, memperlihatkan keberadaan p85 pada dua tingkatan yaitu pada serangga yang berstatus tahan dan peka. Model ini menunjukkan bahwa peningkatan Bt-toxin pada usus serangga yang menyebabkan toksisitas pada tingkat p85 yang rendah, tetapi akan memblok Bt-toxin pada tingkat p85 yang tinggi. Bila toxin meningkat terus, maka p85 yang merupakan protein koagulasi akan berkurang sehingga menyebabkan molekul toxin dapat mencapai sel usus yang menyebabkan serangga menjadi peka kembali.
KESIMPULAN Jumlah p85 meningkat pada larva dari strain resisten, yang mungkin akan menyebabkan peningkatan reaksi menyebabkan agregasi lipophorin ke dalam komplek koagulasi yang terlarut. Keadaan dapat menyebabkan absennya p85 pada peparasi serangga resisten.
DAFTAR PUSTAKA Gahan, L. J., Gould, F., and Heckel, D. G. (2001). Identification of a gene associated with Bt-resistance in Heliothis virescens. Science 293, 857-860. Gang Ma,. Sarjan, M., Preston, C, Asgari, S and Otto Schmidt, 2005. Mechanisms of inducible resistance against Bacillus thuringiensis endotoxins in invertebrates . Insect Science (2005) 12, 319 Gang Ma, Harry Roberts, Muhammad Sarjan, Nicki Featherstone, Jelle Lahnstein, Ray Akhurst, Otto Schmidt, 2005. Is the mature endotoxin Cry IAc from Bacillus thuringiensis inactivated by a coagulation reaction ion the gut lumen of resistant Helicoperva armigera larvae?. Insect Biochem.Mol.Biol. 35:729-739, 2005. Griffitts, J. S., Whitacre, J. L., Stevens, D. E., and Aroian, R. V. (2001). Bt toxin resistance from loss of a putative carbohydrate-modifying enzyme. Science 293, 860-864. Gupta, A. P. (1991). Insect immunocytes and other hemocytes: roles in humoral and cellular immunity. In A. P. Gupta (Ed.), Immunology of Immunology of Insects and other Arthropods, (pp. 19-118). Boca Raton, Florida: CRC Press.
94
Hallett, R.H., Zilahi-Balogh, R., Engerilli, N.P.D and Borden, J.H. (1993). Development of a Pest management System for Diamonback Moth, Plutella xylostella .L (lepidoptera: Yponomeutidae) in a Third –World Country-Considerations for Sustainability. In Pest Control and Sustainable Agriculture. CSIRO. Entomology. Canberra.Australia Harwood, R.R., 1990. A History of Sustainable Agriculture in Sustainable Agricultural Systems. Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House. Li, D., Scherfer, C., Korayem, A. M., Zhao, Z., Schmidt, O., and Theopold, O. (2002). Insect hemolymph clotting: evidence for interaction between the coagulation system and the prophenoloxidaseactivating cascade. Insect Biochemistry and Molecular Biology. Luna, J.M and Garfield, J.H., 1990. Pest Management in Sustainable Agricutural System in Sustainable Agricultural Systems. Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House. Martinez-Ramirez, A.C., Gonzales-Nebauser S., Escriche, B., and Real, M. D. (1994). Legand blot identification of a Manduca sexta midgut binding protein spesific to three Bacillus thuringiensis cry IA-type ICPs. Biochem. Res.Commun 201, 782-787 McKenzie, A. N. J. and Preston, T. M. (1992) Functional studies on Calliphora vomitoria haemocytes subpopulations defined by lectin staining and density centrifugation. Dev. Comp. Immunol. 16, 1930. Rachman, M; Sassan, A; Sarjan, M and Schmidt, O.,2004. Induction and Transmission of Bacillus thuringiensis tolerance in the flour moth Ephestia kuehniella ( Jurnal PNAS, Vol 101 No.9, 2004). Rajakurendran, V., 1993. Use of Bt on Vegetable Crops In Australia Second Bacillus thuringiensis. Meeting Canbera ( Abs). 21 –23 September 1993. Rasahan, C.A., 1996. Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia menjelang pasar bebas. Makalah workshop” Tindak lanjut pengembangan PHT di Bandung, 3-7 Nov. 1996 17 h. Richard Glatz, Harry L.S. Roberts, Dongmei Li, Muhammad Sarjan, Ulrich H. Theopoldc, Sassan Asgari, Otto Schmidt,2004. Lectin-induced haemocyte inactivation in insects ( Jurnal of Insect Physiology, Vol 50.No 10, October 2004) Sangadala , S., Walters, F. S., English, L. H., and Adang, M. J. (1994). Amixture of Manduca sexta aminopeptidase and phosphatase enhances Bacillus thuringiensis insecticidal cry I A(c) toxin binding and **Rb-K- efflux in vitro. J. Biol. Chem. 269, 10088- 10092.Wallingford, UK. 604 p. Sarjan, M., 1995. The Use of Bacillus thuringiensis to control Spodeptera exigua Hbn on onion. Laporan Penelitian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 17h Sarjan, M., 2002. Resistance against endotoxin from Bacillus thuringiensis in lepidopteran insects (Ph.D thesis, 2002) Sarjan, M., 2003a. Immune Reactions in the Bacillus thuringiensis Resistant Insect (Agroteksos, Vol. 13. No. 3. October 2003) Sarjan, M.,2003b. Glycosilation status of Glycoproteins and Location of the Immune realated Proteins in the Gut of caterpillar( Jurnal Lemlit Universitas Mataram, Oktober 2003 Sarjan, M., 2004. The potency of non-chemical syntetic insecticides in conserving predator of army worm (Spodoptera litura F.) on soybean crop (Agroteksos, Vol. 13. No. 4. January 2004) Schmidt, O; Fabri, M; Sarjan, M; Theopold, U. 2005. Mode of action of antimicrobial proteina, poreforming toxins and biologically active peptides ( Hyphothesis). Review ISJ, 2: 82-90. 2005. O Schmidt, M Rahman, G Ma, U Theopold, Y Sun, M Sarjan, M Fabbri, H Roberts, 2005. Mode of action of antimicrobial protein, pore-forming toxins and biologically active peptides ( Hyphothesis). Review ISJ, 2: 82-90. 2005. Strand, M. R. (1994) Microplitis demolitor polydnavirus infects and expresses in specific morphotypes of Pseudoplusia includens haemocytes. J. Gen. Virol. 75, 3007-3020. Schnept, E; Crickmore, N; Van Rie, J; Lereclus, D; Baum, J; Feitelson, J; Zeigler, D.R and Dean, D.H (1998). Bacillus thuringiensis and Its Pesticidal Crystal Proteins. Microbiol and Mol Biol Rev, 62:3:775-806
95
Tabashnik, B.E., Cushing, N.L., Finson, N., and Johnson, M.W. (1990). Field development of resistance to Bacilus thuringiensis in diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae). J.Econ.Entomol. 83:16711676. Tabashnik, B. E., Liu, Y. B., Malvar, T., Heckel, D. G., Masson, L., Ballester, V., Granero, F., Mensua, J. L., and Ferre, J. (1997). Global variation in the genetic and biochemical basis of diamondback moth resistance to Bacillus thuringiensis Proc. Natl. Acad. Sci.U.S.A. 94, 12780- 12785. Tang, J. D., S. Gilboa, R. T. Roush and A. M. Shelton. (1997) Inheritance, stability, and fitness of resistance to Bacillus thuringiensis in a field colony of Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) from Florida. Journal of Economic Entomology 90:732-741. Theopold, U., Samakovlis, C., Tempst, P., Dillon, N., Axelsson, B., Schmidt, O. and Hultmark, D. (1996). Helix pomatia Lectin, an Inducer of Drosophila Immune Response, Binds to Hemomucin, a Novel Surface Mucin. J. Biol. Chem 271, 12708-12715. Vinson, S. B. and Hegazi, E. M. (1998) A possible mechanism for the physiologicalsuppression of conspecific eggs and larvae following superparasitism by solitary endoparasitoids. J. Insect Physiol. 44, 703-712.
96
PENINGKATAN KUALITAS HASIL BUAH MANGGIS MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN KEBUN (PELABURAN BUBUR CALIFORNIA) DAN PENGGUNAAN ALAT PETIKDI KECAMATAN LINGSAR, KABUPATEN LOMBOK BARAT Muji Rahayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Manggis adalah salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia untuk kelompok buah-buahan. Sebagai komoditas ekspor maka persyaratan mutu harus dijaga agar buah yang diekspor dapat diterima oleh konsumen. Rata-rata prosentase volume buah manggis dari Pulau Lombok yang masuk dalam kategori ekspor berkisar 25% – 30%. Masalah rendahnya mutu buah tersebut disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adalah penanganan panen dan pasca panen yang kurang tepat serta pemeliharaan tanaman yang kurang intensif. Pengkajian untuk tujuan peningkatan mutu buah kualitas ekspor di laksanakan oleh BPTP NTB pada sentra produksi manggis di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Teknologi yang diterapkan dalam penanganan perawatan tanaman adalah pelaburan tanaman dengan Bubur California (BC) untuk mengurangi infeksi adanya penyakit Diplodia sp pada manggis dan untuk membantu proses recovery tanaman diimbangi dengan pemupukan NKP 1,5 kg/pohon. Teknologi penanganan panen melalui introduksi alat petik khusus manggis. Pengamatan pengaruh pelaburan BC dilakukan selama 1 tahun sedangkan pengaruh terhadap produktifitas dan mutu buah dilakukan selama 2 tahun. Diharapkan dari teknologi tersebut tanaman manggis yang terkena penyakit Diplodia sp akan sehat kembali sehingga menghasilkan mutu buah yang lebih baik (ukuran buah lebih besar) serta kemulusan kulit buah dan keutuhan sepal manggis, sehingga rata-rata volume mutu buah manggis kualitas ekspor dapat ditingkatkan. Kata kunci: manggis, mutu buah, bubur California dan alat petik manggis
PENDAHULUAN Manggis (Garcinia mangostana, L) yang berasal dari Propinsi NTB, khususnya Pulau Lombok memiliki keunggulan komparatif dan telah masuk pasar internasional. Pasar manggis Internasional asal Indonesia (termasuk dari Pulau Lombok) tidak akan stagnasi karena musim panen manggis Indonesia berbeda dengan musim panen manggis di Thailand yang menjadi saingan utamanya dalam perdagangan manggis dunia, hal tersebut tampak pada volume eksport ke dua negara tersebut dalam setiap bulannya (Grafik 1). Monthly Mangosteen exports (tons)
Thailand Mangosteen Exports by Month (2006)
2,500.00
7000 2006
6000
1,500.00
2005 2004
5000
1,000.00
2003
Tons
Tons
2,000.00
1999
500.00
4000 3000 2000 1000
-
0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sept Oct Nov Dec Month
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Month
Sumber, Statistik Perdagangan Luar Negeri, www.bps.go.id Gambar 1. Volume Ekspor Manggis Indonesia dan Thailand Th.2006
Volume ekspor manggis dari Pulau Lombok (khususnya Kabupaten Lombok Barat) ke mancanegara melalui eksportir di Pulau Bali mencapai 4-5 ton/hari/ siklus musim manggis, padahal peluang ekspor manggis tidak terbatas (Wijaya, 2003; komunikasi pribadi). Luasan pertanaman manggis di daerah ini diperkirakan baru mencapai ±20% dari total luasan 39.892 ha lahan potensial (Wisnu, I.M; 2001) seperti yang disajikan pada Gambar 2. Bersadarkan hasil sensus sentra produksi manggis di Kabupaten Lombok Barat adalah di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, dengan jumlah tanaman 23.984 pohon. Sebagai komoditas ekspor, maka persyaratan mutu harus dijaga agar buah yang diekspor dapat diterima oleh konsumen. Selama ini produksi manggis sebagian besar di Indonesia dan di Pulau Lombok adalah produk dari kebun campuran dengan rata-rata prosentase yang memenuhi ekspor masih cukup rendah. Prosentase buah manggis kualitas ekspor hasil kebun rakyat di NTB berkisar 25% - 30% dan sisanya (BS) dijual sangat murah (Rahayu, et.al, 2005)
97
Gambar 2. Peta Pewilayahan Komoditas Manggis Kabupaten Lombok Barat, Skala 1:50.000
Beberapa kendala yang menyebabkan rendahnya kualitas ekspor adalah tidak dilakukan pencegahan terhadap penyakit tanaman dan penanganan panen dan pasca panen kurang tepat. Untuk tujuan peningkatan mutu buah manggis kualitas ekspor maka dilakukan perbaikan teknologi petani di dalam memelihara kebun manggisnya yaitu melalui pembersihan tanaman dengan bubur California dan penanganan panen dan cara panen inovasi teknologi alat petik dan hanling yang lebih baik.
METODOLOGI Percobaan dilakukan pada sentra produksi manggis di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Percobaan merupakan bagian kegiatan dari pengkajian Agribisnis Manggis yang dilaksanakan dari Th. 2003 – Th. 2006. Pohon uji yang dipergunakan dipilih dari tanaman yang seragam dengan umur sekitar 20 tahun yang ditanam dari biji. Jumlah pohon uji sebanyak 140 tanaman (100 tanaman untuk keragaan alat petik) dan 20 tanaman terkena penyakit Diplodia yang dikendalikan dengan BC dan 20 tanaman manggis yang terkena Diplodia tidak dikendalikan (Kontrol). Pengkajian terdiri dari 2 unit percobaan (pengendalian penyakit menggunakan bubur california dan pemetikan menggunakan alat petik introduksi). Percobaan 1 (Tanaman yang dirawat dengan BC dan tanaman yang dirawat dngan teknologi petani (kontrol)). Percobaan 2 (penggunaan alat petik cara petani dan petik introduksi). Pelaburan BC dilakukan sebelum musim hujan dan pada akhir musim hujan dengan cara menyaputkan BC dengan kuas pada batang utama dan cabang utama setinggi 1 m diatas permukaan tanah, kemudian untuk mengimbangi dan menyempurnakan hasil tanaman manggis dipupuk dengan NPK 1,5 kg/tanaman pada awal musim hujan. Data dikumpulkan melalui observasi terhadap 20 tanaman yang diaplikasi dengan Bubur California dan 20 tanaman yang tidak diaplikasi dengan Bubur California (kontrol). Pengamatan dilakukan empat kali selama 1 tahun, yaitu pada saat 3; 6; 9 dan 12 bulan setelah aplikasi BC. Pengamatan terhadap gejala serangan Diplodia sp dilakukan terhadap gejala serangan yang dijumpai pada cabang dan ranting. Perhitungan serangan penyakit menggunakan sistem skoring. Sedangkan parameter terhadap kualitas buah dilakukan selama 2 tahun setelah 4 kali aplikasi BC yaitu terhadap keragaan tanaman, produktifitas tanaman dan kualitas buah manggis, % buah manggis kualitas ekspor. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Uji-T pada taraf 5%. Perhitungan serangan penyakit menggunakan sistem skoring. Skor serangan Diplodia sp pada tanaman manggis Skor 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Kriteria skor Batang Sehat Sehat Sehat < 25% < 25% 25 – 50% 25 – 50% > 50% > 50%
Cabang primer Sehat Sehat Sehat < 50% 50 – 100% < 50% 50 - 100% < 50% 50 – 100%
Cabang sekunder Sehat < 50% > 50% < 50% 50 – 100% < 50% 50 – 100% < 50% 50 – 100%
98
Intensitas serangan (%) ditentukan menurut rumus sebagai berikut:
nxv x100% ZxN
I I n v N Z
= = = = =
Intensitas serangan (%) Jumlah batang/cabang yang terserang pada kategori tertentu Skor kategori serangan tertentu Jumlah batang/cabang yang diamati per tanaman Nilai kategori tertinggi
Selain pengamatan terhadap intensitas serangan Diplodia sp, data penunjang yang dikumpulkan adalah jumlah tunas per cabang, panjang tunas, jumlah daun per tunas dan jumlah buah. Data tersebut dikumpulkan untuk mengetahui pengaruh pemberian Bubur California terhadap penyembuhan tanaman. Untuk data respon petani terhadap keragaan alat petik manggis introduksi data diambil dari 30 petani manggis. Data dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Pelaburan Bubur California (BC) pada Tanaman Manggis
Aplikasi Bubur California (BC) dilakukan dua kali yaitu pada waktu sebelum musim hujan dan akhir hujan pada saat tanaman manggis „belum berbunga‟ hal itu untuk menghindari efek BC terhadap gugurnya buah. Penggunaan BC pada fase generatif sebaiknya dihindari karena efek dari bahan bakunya (Cl) dapat memicu gugurnya buah (Supriyanti, A., 2000). Tiga bulan setelah aplikasi petani telah merasakan pertumbuhan tanamannya menjadi semakin baik (penyembuhan luka akibat penyakit, hilangnya ganggang dan pertumbuhan tunas semakin banyak) yang ditandai dengan semua petani (100%) menjawab tanamannya semakin baik setelah dilabur BC. Hal ini menunjukkan bahwa harapan bahwa teknologi BC akan diadopsi petani semakin tinggi. Pengamatan sebelum perlakuan yang dilakukan pelaburan dengan bubur California menunjukkan bahwa intensitas seranga Diplodia sp berkisar antara 18% - 30%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa intensitas serangan Diplodia sp dalam kategori cukup berat, karena akan sangat fatal pada tanaman yang sudah terserang tetapi tidak ada upaya pengendalian. Dari Gambar 3 di bawah ini menunjukkan bahwa persentase serangan penyakit pada pohon manggis yang dilabur dengan bubur California cenderung tetap sementara pada tanaman kontrol cenderung meningkat. Hal ini memberi petunjuk bahwa infeksi penyakit yang ditandai dengan adanya massa spora aktif masih ada, terutama massa spora yang berada pada pangkal batang. Bahkan infeksi penyakit berkembang cukup pesat pada musim kemarau (pengamatan 6 bulan setelah aplikasi). Kendatipun demikian masih perlu penambahan input lain terutama pupuk untuk mempercepat proses penyembuhan.
Prosentase serangan (%)
Kondisi serangan Diplodia sp 35 30 25 20 15 10 5 0
BC Kontrol
0
3
6
9
12
Waktu pengamatan (Bulan setelah aplikasi BC)
Gambar 3. Intensitas Serangan Penyakit pada Tanaman Manggis yang Dilabur BC vs Kontrol
99
Pengaruh perlakuan terhadap prosentase dari jumlah ranting yang ditumbuhi daun baru pada tanaman manggis menunjukkan bahwa beda nyata. Hal ini mungkin disebabkan akar tanaman manggis sudah terlalu banyak yang terinfeksi penyakit dan kambium manggis sudah banyak yang rusak sehingga mengganggu transportasi unsur hara. Sehingga pemulihan kesehatan melalui pelaburan BC terindikasi dengan semakin banyaknya tunas-tunas baru. Pada Gambar 4 terlihat bahwa saat tumbuhnya tunas baru antara tanaman yang diperlakukan dengan BC dan Control tidak ada perbedaan. Perbedaan yang significan terjadi pada prosentase rata-rata jumlah ranking yang ditumbuhi tunas baru.
Prosentase Ranting yang Ditumbuhi Daun Baru (%)
Daun Baru pada Tanaman Manggis Selama Satu Tahun 80 60 BC
40
Kontrol
20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Bulan
Gambar 4. Daun baru (Tunas Baru) yang Terbentuk Estela Aplkasi BC
Pulihnya tanaman manggis dari infeksi penyakit Diplodia sp yang dikendalikan dengan pelaburan BC dan diimbangi dengan pemupukan mendorong tumbuhnya tunas baru dan munculnya bunga dan buah secara signifikan dibanding pada tanaman yang tidak dikendalikan. Selain produktivitas maka kualitas buah (rata-rata ukuran buah) juga terjadi perbedaan dibanding kontrol (Tabel 1). Hal tersebut diduga dengan pulihnya tanaman maka proses penyerapan hara oleh tanaman berjalan lancar sehingga berakibat pada proses fotosíntesis dan metabolisme yang lancar pula, dengan demikian juga mempengaruhi pada buah yang dihasilkan. Tabel 1. Rata-rata produktifitas tanaman dan diameter buah manggis pada tanaman yang terserang Diplodia sp yang dikendalikan dengan BC dan Kontrol pada 2 tahun setelah aplikasi di Batu Mekar, Kecamatan Lingsar Th. 2006. Perlakuan
Produktifitas (kg/tanaman)
Diameter buah (cm)
Pelaburan BC
96,4 a
6,9 a
Kontrol
42,6 b
5,2 b
Keterangan : angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada benda nyata pada Uji T-5%.
2.
Penggunaan Alat Petik Manggis
Alat petik manggis yang dicobakan pada saat panen menunjukkan keragaan hasil yang sangat signifikan dibanding alat petik manggis yang biasa digunakan oleh petani. Beberapa indikasi dari pengaruhnya terhadap kenaikan mutu buah kualitas ekspor diantaranya ditunjukkan oleh kenaikan presentase buah yang kulitnya mulus (tidak lecet) dan sepal buah utuh (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata mutu buah manggis yang dihasilkan dari alat petik introduksi dan alat petik milik petani di Batu Mekar, Kecamatan Lingsar Th. 2006. Perlakuan
Kemulusan kulit buah manggis (tidak lecet), (%)
Keutuhan sepal buah manggis (%)
Alat petik introduksi
92,4 a
88,8 a
Alat petik milik petani
42,6 b
54,2 b
Keterangan : angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada benda nyata pada Uji T-5%.
100
Meskipun secara kuantitatif penggunaan alat tersebut mampu mengeliminir kerusakan buah akibat penggunaan alat petik cara petani, tetapi penggunaan alat tersebut belum dapat diadopsi oleh petani akibat volume terlalu berat dan alasan lainnya (Tabel 3). Hasil wawancara dengan petani manggis dilaksanakan satu bulan setelah pelaksanaan, Th. 2005 No 1
2
3
Uraian Kesukaan terhadap bentuk alat petik introduksi - Suka - Tidak suka dengan alasan terlalu berat Rencana petani untuk mengadopsi - Melanjutkan dengan alat petik inroduksi - Melanjutkan, tetapi alat petik introduksi harus dimodifikasi terutama jangan terlalu berat Ketrampilan petani dalam 1 jam kerja - Alat petik introduksi (buah/jam) - Alat petik petani (buah/jam)
Presentase (%) 40,60 59,40 6,9 93.1
90 160
KESIMPULAN 1.
Pelaburan bubur California pada batang manggis yang terinfeksi penyakit Diplodia sp dapat mengurangi laju infeksi serangan pada pengamatan selama satu tahun.
2.
Pelaburan tanaman yang terkena Diplodia sp yang diimbangi dengan pemupukan NPK 1,5 kg.ph dapat meningkatkan produktifitas dan kualitas buah yang dihasilkan pada 2 tahun setelah aplikasi.
3.
Alat petik manggis introduksi dapat menaikkan mutu buah kualitas ekspor yang ditunjukkan buah dengan kulit mulus dan keutuhan sepal dengan prosentase lebih tinggi dibanding alat petik cara petani.
DAFTAR PUSATAKA Rahayu, M., Sujudi, Tri Ratna, 2005. Laporan Tahunan Agribisnis Manggis. BPTP NTB, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pertanian, Departemen Pertanian. Statistik Perdagangan Ekspor, Statistik Indonesia. www.bps.go.id Suprianto, A. 2000. Makalah BPTP Jawa Timur, Materi Penyuluhan Penggunaan Bubur California untuk Pengendalian Penyakit Diplodia pada Manggis. Wisnu Wiyasa, I., 2001. Laporan Tahunan Pewilayah Komoditas. BPTP NTB, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pertanian, Departemen Pertanian
101
KARAKTER PERTUMBUHAN DAN POTENSI HASIL JAGUNG BERSARI BEBAS PADA AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR 1)
Awaludin Hipi1), R. Neny Iriany2) dan B. Tri Ratna Erawati1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat dan 2)Balitsereal Maros
ABSTRAK Swasembada jagung tahun 2007 mengisyaratkan bahwa terdapat peluang untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) jagung merupakan salah satu komoditas unggulan, dimana potensi lahan yang tersedia selain dilahan kering, juga di lahan sawah setelah padi. Tercatat bahwa luas panen jagung pada tahun 2003 seluas 39.380 ha dengan produktivitas 2,45 t/ha yang masih rendah dibanding produktivitas nasional 3,46 t/ha. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang memegang peranan penting dalam peningkatan produksi. Namun keterbatasan modal petani dalam mengakses benih varietas unggul terutama varietas hibrida menjadi pembatas utama dalam memperoleh produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut dapat diatasi dengan menyediakan benih dari varietas unggul di tingkat lapang, sehingga akses benih oleh petani dapat berjalan lancar. Jagung bersari bebas dapat diperbanyak oleh penangkar di lapangan Untuk itu diperlukan pengujian populasi jagung bersari bebas sebelum dilepas menjadi varietas unggul. Kajian dilakukan di Dusun Gegerung Desa Pringgabaya Lombok Timur pada MK. 2005. Lokasi penelitian adalah lahan sawah dengan irigasi terbatas (2 – 3 minggu sekali pengairan). Tujuan pengkajian adalah mendapatkan beberapa populasi jagung bersari bebas yang adaptif dan berpotensi hasil tinggi yang dapat disarankan untuk di lepas. Sebanyak 14 populasi jagung bersari bebas dan dua varietas pembanding (Lamuru dan Sukmaraga) yang diuji, menggunakan RAK dengan 3 ulangan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa terdapat 6 populasi yang produktivitasnya lebih tinggi dari varietas pembanding yaitu MS3(S1)C1 (7,6 t/ha), MS.J1(RRS)C6 (6,86 t/ha), MS.J2(RRS)C5 (6,17 t/ha), BK(HS)C1 (6,05 t/ha), SATP-1(S2)C6 (5,89 t/ha), dan MS.J2(RRS)C6 (5,67 t/ha) pipilan kering. Populasi yang berpotensi hasil tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik menjadi alternatif untuk dikembangkan di NTB setelah melalui pelepasan varietas. Kata kunci : jagung, bersari bebas, potensi hasil, NTB
LATAR BELAKANG Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan provinsi Nusa Tenggara Barat, karena disadari bahwa peranan jagung kedepan semakin strategis baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai komoditas agribisnis. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung nasional, peluang agribisnis jagung masih terbuka melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Pada tahun 2003, produksi jagung nasional tidak cukup memenuhi kebutuhan, sehingga masih diperlukan impor sebesar 1,354 juta ton dan pada tahun 2004 menurun menjadi 900 ribu ton (Dirjen Tanaman Pangan, 2005). Jumlah import diperkirakan akan meningkat hingga tahun 2010 yang nilainya akan mencapai 2,2 juta ton (Kasryno, 2002). Kondisi tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan produktivitas salah satu diantaranya adalah melalui introduksi varietas unggul baru. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2005 adalah 39.380 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar 2,45 t/ha, sedang di Lombok Timur luas panen jagung 12.623 ha dengan produktivitas 2,46 t/ha (Dinas Pertanian Prov. NTB, 2006). Produktivitas tersebut masih lebih rendah dibanding produktivitas rarata-rata nasional pada tahun yang sama sebesar 3,1 t/ha (Dirjen Tanaman Pangan , 2005). Dalam upaya untuk memenuhi keberlanjutan suplay, sangat dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan produksi serta layak untuk dikomersilkan. Hasil penelitian Balitsereal dengan mengintroduksi varietas unggul baru dan jenis hibrida maupun bersari bebas dengan pendekatan PTT menunjukkan bahwa produktivitas jagung dapat mencapai 7 - 9 t/ha (Saenong dan Subandi, 2002), sementara hasil kajian di lahan kering di Sambelia dengan introduksi varietas bersari bebas Lamuru, potensi hasil yang dicapai 5,45 - 6,25 t/ha (Hipi, et al, 2006). Kehadiran varietas jagung unggul introduksi, baik bersari bebas ataupun hibrida telah berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan produktivitas ataupun produksi jagung nasional. Namun demikian, distribusi dari varietas-varietas introduksi tersebut berjalan lambat, dimana pada tahun 1997 pangsa varietas introduksi terhadap penyebaran benih baru mencapai 44% (CIMMYT, 1994). Namun demikian, kondisi lingkungan untuk pertanaman jagung sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan beragam pada berbagai lokasi, sedang varietas hibrida sangat peka terhadap lingkungan tumbuhnya. Selain itu kendala pengambangan varietas jagung hibrida adalah ketersediaan benih yang masih terbatas terutama hingga pelosok pedesaan dan harganya yang relatif mahal. Untuk itu menjadi
102
pertimbangan untuk mengembangkan jagung bersari bebas yang benihnya mudah dapat dibuat oleh petani dan penangkar dengan perlakuan seleksi yang baik. Soemartono (1995) mengatakan bahwa untuk memperbaiki atau mengembangkan genotipe tanaman agar tahan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dapat dilakukan dengan introduksi tanaman budidaya baru atau mengembangkan varietas tahan. Varietas-varietas bersari bebas yang dikembangkan, banyak berasal dari varietas introduksi maupun varietas lokal yang masih bertahan di masyarakat petani. Varietas introduksi sebelum dikembangkan, harus mengalami evaluasi potensi hasilnya dibandingkan dengan varietas yang ada. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui karakter pertumbuhan dan potensi hasil dari beberapa populasi jagung bersari bebas di NTB. Diharapkan dari kajian ini dapat di temukan beberapa populasi jagung bersari bebas yang dapat beradaptasi dengan baik dan berpotensi hasil tinggi yang dapat dirilis sebagai varietas unggul baru.
BAHAN DAN METODA Kajian dilaksanakan di Dusun Gegerung Desa Pringgabaya kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur pada MK I. 2005. Lokasi penelitian adalah lahan sawah dengan irigasi terbatas (2 – 3 minggu sekali pengairan). Pengujian menggunakan rancangan acak kelompok, dimana jenis jagung yang diuji sebagai perlakuan dan diulang masing-masing 3 kali. Terdapat 14 populasi jagung bersari bebas yang diuji dan 2 varietas (Lamuru dan Sukmaraga) sebagai pembanding. Setiap populasi ditanam empat baris pada petakan dengan panjang 5 meter. Penanaman dengan jarak tanam 75 x 25 cm, 2 biji per lubang tanam. Pada umur 2 minggu setelah tumbuh (MST) dilakukan penjarangan menjadi 1 tanaman/rumpun, jika ada lubang yang kosong/tidak tumbuh maka rumpun sebelahnya tidak perlu dijarangkan. Tanaman diberi pupuk 138 kg N, 36 kg P2O5 dan 30 kg K2O. Pemupukan dasar dilakukan pada saat jagung berumur 7 HST dengan menggunakan pupuk 1/3 bagian N serta seluruh pupuk P 2O5 dan K2O, ditugal pada jarak 5 cm disamping tanaman. Pemupukan susulan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam (BST) dengan menggunakan 2/3 bagian N dengan cara ditugal disamping tanaman pada jarak 10 – 15 cm. Sumber pupuk berasal dari Urea, SP-36 dan KCl. Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST sekaligus untuk pembumbunan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memberikan carbofuran pada saat bersamaan tanam. Pengairan berasal dari irigasi terbatas dengan pola giliran air 2-3 minggu sekali. Panen dilakukan pada saat masak fisiologis dimana kelobot jagung berwarna kuning kecoklatan. Peubah agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, aspek tanaman, dan aspek tongkol dan produktivitas. Aspek tanaman dan tongkol diberi skor 1-5; dimana skor 1 = sangat baik; 3 = sedang dan skor 5 = sangat jelek. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan One Way Anova, dan dilanjutkan dengan uji LSD 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menyajikan rata-rata penilaian tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah tanaman tumbuh, dan jumlah tanaman setelah penjarangan. Dari semua populasi dan varietas jagung yang diuji mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 223 - 249,33 cm, dan letak tongkol berkisar antara 94 - 125,33 cm. Hasil analisis terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tinggi tanaman antar galur/varietas jagung yang diuji, dimana tanaman tertinggi dicapai pada populasi MS.J1(RRS)C6 yaitu 237,65 cm yang berbeda nyata dengan populasi lainnya yang diuji, demikian pula untuk tinggi letak tongkol tertinggi dicapai pada populasi MS.J2(RRS)C5 yaitu 125,33 cm. Tinggi tanaman, erat kaitannya dengan tampilan keseragaman dan produksi biomas, sedang tinggi letak tongkol selain untuk keseragaman, juga untuk memperhitungkan kemudahan pada saat panen sehingga tenaga kerja anak-anak juga dapat dimanfaatkan.
103
Tabel 1. Rata-rata jumlah tanaman tumbuh, jumlah tanaman setelah penjarangan, tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol pada pengujian jagung bersari bebas. Pringgabaya. 2005 Entry Populasi SUKMARAGA MS.J1(RRS)C6 MS.J2(RRS)C5 LAMURU MS3(S1)C1 BK(S1)C1 BK(HS)C1 MS1(S1)C2 MS.K1(RRS)C5 SATP-1(S2)C7 MS.J2(RRS)C6 SATP-2(S2)C6 SATP-1(S2)C6 BK(S1)C2 MS.J1(RRS)C5 MS.K2(RRS)C5 F prob CV (%) LSD 5 % Sumber : Data primer
Jlh tan tumbuh 171,33 160,67 134,33 169,33 177,33 91,33 108,00 179,00 161,00 98,33 158,00 175,00 177,67 94,00 163,33 169,00 < 0,001 4,4 10,96
Jlh tan setelah penjarangan 50,00 49,67 49,67 50,00 50,00 48,00 46,33 50,00 50,00 48,00 49,67 50,00 50,00 44,00 50,00 50,00 0,015 3,13 3,8
Tinggi tan (cm) 246,00 249,33 245,67 246,67 240,33 237,33 242,67 202,67 205,00 244,00 230,67 229,33 223,00 235,00 230,00 228,67 < 0,001 4,8 18,61
Tinggi letak tongkol (cm) 118,00 120,33 125,33 122,00 122,67 117,33 119,67 99,33 94,00 120,33 114,00 114,33 110,67 112,00 106,33 109,00 0,021 8,5 16,21
Kisaran umur berbunga jantan dan betina dari galur hibrida yang diuji masing-masing 54 - 58 hari dan 55 - 59 hari. Umur berbunga tergolong normal dengan ASI (Anthesis Silking Interval) terpaut 1 - 2 hari, sehingga sangat memungkinkan sinkronisasi pembungaan. Dengan demikian pengisian tongkol dapat terjadi dengan sempurna. Analisis terhadap produktivitas menunjukkan bahwa populasi MS3(S1)C1 memberikan hasil yang lebih tinggi (7,6 t/ha) dibanding populasi lainnya dan varietas pembanding. Dari rata-rata hasil yang diperoleh di lokasi pengujian menunjukkan bahwa terdapat beberapa populasi yang berpotensi hasil tinggi dan dapat dikembangkan di NTB MS3(S1)C1 (7,6 t/ha), MS.J1(RRS)C6 (6,86 t/ha), MS.J2(RRS)C5 (6,17 t/ha), BK(HS)C1 (6,05 t/ha), SATP-1(S2)C6 (5,89 t/ha), dan MS.J2(RRS)C6 (5,67 t/ha) pipilan kering. Subandi et.al. (1985) menyatakan bahwa adanya interaksi genotip – lingkungan akan mempengaruhi kemajuan seleksi, ada genotip yang baik di suatu lingkungan tetapi kurang baik di lingkungan yang lain. Tabel 2. Rata-rata produktivitas, jumlah tanaman, jumlah tongkol saat panen, aspek tanaman, dan aspek tongkol pada pengujian jagung bersari bebas. Pringgabaya. 2005 Entry Populasi SUKMARAGA MS.J1(RRS)C6 MS.J2(RRS)C5 LAMURU MS3(S1)C1 BK(S1)C1 BK(HS)C1 MS1(S1)C2 MS.K1(RRS)C5 SATP-1(S2)C7 MS.J2(RRS)C6 SATP-2(S2)C6 SATP-1(S2)C6 BK(S1)C2 MS.J1(RRS)C5 MS.K2(RRS)C5 F prob CV (%) LSD 5 % Sumber : Data primer
Prod (t/ha) 5,562 6,862 6,169 5,375 7,589 4,939 6,050 4,991 4,673 4,245 5,665 4,438 5,884 4,293 5,397 5,334 0,019 18,7 1,70
Jl tan panen 36,33 39,33 37,00 36,33 41,67 37,67 40,67 36,67 42,00 33,67 43,67 35,67 42,00 33,33 40,67 41,33 0,064 10,3 6,67
Jl tkl panen 37,00 41,33 37,33 36,67 44,00 39,67 41,67 39,33 45,33 34,33 44,67 36,67 43,33 35,00 42,00 43,00 0,041 10,6 7,11
Aspek tan 2,33 2,00 1,67 2,00 2,00 2,33 2,33 2,67 2,33 2,00 2,33 2,67 2,00 1,67 2,67 2,00 0,569 26,8 0,98
Aspek tkl 2,33 1,00 1,33 2,33 1,33 2,00 1,67 2,33 2,33 2,00 2,33 1,67 1,33 2,67 2,67 2,33 0,037 31,3 1,03
104
Rata-rata jumlah tanaman panen per plot berkisar 33-42 tanaman atau kurang lebih 96% dari jumlah tanaman (Tabel 2). Dari jumlah tanaman panen tersebut dihasilkan tongkol panen yang berkisar 35-44,67; hal ini berarti bahwa terdapat beberapa tanaman yang dapat menghasilkan 2 tongkol (prolifik). Penilaian terhadap aspek tongkol menunjukkan bahwa rata-rata dari jenis jagung yang diuji tergolong baik (skor 1-2) yang ditandai dengan panjang dan lingkar tongkol yang relatif seragam dan kerusakan akibat hama dan penyakit hampir tidak ditemukan. Sedangkan penilaian terhadap aspek kelobot secara visual menunjukkan bahwa semua galur yang diuji tergolong mempunyai kelobot yang dapat menutup rapat dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi jagung tersebut sangat baik untuk disimpan dalam bentuk tongkol berkelobot hingga waktu tertentu karena kemungkinan infestasi hama bubuk relatif kecil. Hasil pengamatan visual terhadap serangan penyakit di dua lokasi pengujian, didapatkan 2 jenis penyakit yang teridentifikasi yaitu karat daun (Pucinia sp) dan hawar daun (Helminthosporium maydis)dengan intensitas serangan tergolong rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari 14 populasi jagung bersari bebas yang diuji, populasi MS3(S1)C1 dapat mencapai productivitas tertinggi yaitu 7,6 t/ha pipilan kering dibanding populasi dan varietas jagung bersari bebas yang diuji lanilla.. Terdapat 6 populasi yang produktivitasnya lebih tinggi dari varietas pembanding yaitu MS3(S1)C1, MS.J1(RRS)C6, MS.J2(RRS)C5, BK(HS)C1, SATP-1(S2)C6, dan MS.J2(RRS)C6. Populasi jagung tersebut berpotensi dikembangkan di NTB, dan berpotensi untuk diusulkan untuk dilepas menjadi varietas. Untuk melihat konsistensi hasil dari jagung yang diuji, perlu kajian lebih lanjut agar populasi jagung bersari bebas yang berpotensi hasil tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik dapat di lepas menjadi varietas unggul baru.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat Statistik Propinsi NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB. Dinas Pertanian Provinsi NTB. 2006. Program Pengembangan Agribisnis Jagung di Provinsi NTB Melalui Program 1 Juta Ton Jagung (Prosta Tanjung) dalam Mendukung Gerbang E-mas Bangun Desa. 28 Juni 2006. Bahan Presentasi. CIMMYT. 1994. World Maize Facts and Trends. Maize Seed Industries. Emerging Roles of the Publics and Private Sectors. Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2005. Program Kebijakan dan Pengembangan Agribisnis Jagung. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya jagung nasional. Makasar 29 – 30 September 2005. Hipi,.A, dan B. Tri Ratna Erawati. 2006. Kajian Teknologi Budidaya Jagung di Lahan Kering Beriklim Kering Di Kabupaten Lombok Timur. makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Bali Tanggal 13 Nopember 2006 Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia selama Empat dekakde yang lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Di Bogor, 24 Juni 2002. Badan Libang Pertanian. Saenong S., dan Subandi. 2002. Konsep PTT pada Tanaman Jagung. Makalah disampaikan pada pembinaan Teknis dan Manajemen PTT Palawija di Balitkabi. Malang 21 – 22 Desember 2002. Soemartono.1995. Cekaman lingkungan, tantangan pemuliaan tanaman masa depan. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III, Jember. 1-12. Subandi, 1985. Perkembangan jagung hibrida di Indonesia. Buletin Penelitian Balittan Bogor, hal.1-12.
105
PELAPISAN CHITOSAN MEMPENGARUHI SIFAT FISIKO KIMIA BUAH APEL (Malus sylvestris L.) Nurrachman PS. Hortikultura, Faperta UNRAM
ABSTRACT The experiment, conducted in Laboratory, evaluated physico-chemistry characteristics of three cultivar apple (Manalagi, Rome Beauty, and Anna) as affected by level of chitosan coating (control, 0.5%; 1% and 1.5% weight/volume), each treatment was replicated three times and arranged in completely randomised design. The research was conducted in laboratory. The result showed that chitosan coating 1,5% had better performance than others treatments to slow down of weight loss, firmness, total soluble solids, titratable acidity, and it could also prolong storage life of fruits. The differences occurred among cultivars as reflected by variables observed. Key words : Physico-chemistry, Apple, postharvest, coating, chitosan, storge-life
PENDAHULUAN Buah apel (Malus sylvestris L.) dikonsumsi dalam bentuk segar dan hanya sedikit dikonsumsi dalam bentuk olahan misalnya juice (Verheij dan Coronel 1992). Meskipun buah ini tersedia sepanjang waktu, tetapi sering terjadi kerusakan pada penanganan pascapanen selama proses pengangkutan dan penyimpanannya. Menurut Kays (1991), kehilangan hasil pasca panen apel di negara maju sebesar 14%, dan persentase kehilangan terbesar terjadi di tingkat pengecer. Tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaaan buah (Baldwin 1994; Hoffman et al. 1997). Difusi gas tersebut secara alami dihambat dengan lapisan lilin yang terdapat di permukaan buah (Kays 1991; Debeaufort dan Voilley 1994;Baldwin et al. 1999), tetapi lapisan lilin tersebut dapat berkurang atau hilang akibat pencucian yang dilakukan pada saat penanganan pasca panen. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menambah atau menggantikan pelapis yang telah berkurang dengan menambah bahan pelapis. Salah satu pelapis yang mulai dikembangkan adalah chitosan, polisakarida yang berasal dari limbah pengolahan udang (Crustaceae). Limbah padat pengolahan yang terdiri atas kulit, kaki dan kepala, dapat mencapai hingga 40% dari total produksi udang dan hanya sedikit yang dimanfaatkan, misalnya menjadi bahan campuran pembuatan terasi atau campuran makanan ternak. Pengolahan limbah menjadi chitosan dapat meningkatkan nilai ekonomi dan pemanfaatannya, misalnya dalam bidang industri, makanan dan sekarang dikembangkan dalam bidang pertanian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa chitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis pada benih dan buah-buahan misalnya pada tomat (ElGhaouth et al. 1992a) dan leci (Zhang dan Quantrick 1997). Sifat lain chitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi chitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi (Baldwin 1994; Nisperos-Carriedo 1994; El-Ghaouth et al. 1992b).
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Gizi Masyarakat Pusat Antar Universitas, dan Laboratorium Pusat Studi Pemuliaan Tanaman Departemen Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor yaitu varietas apel : Rome Beauty, Anna dan Manalagi; dan pelapis chitosan, kontrol, 0,5%; 1% dan 1,5% bobot/volume (b/v); setiap perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (anova), jika terdapat hasil yang berbeda nyata dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS. Buah apel diambil dari perkebunan milik petani di Desa Punten Kota Batu, Jawa Timur. Contoh buah yang akan digunakan adalah yang berumur 120-140 hari setelah bunga mekar (Suhardjo 1985). Selanjutnya buah apel dibawa ke Bogor dengan mempergunakan bus yang berpendingin. Pembuatan Chitosan berdasarkan (Suptijah et al. (1992) dan Rilda (1995) yang telah dimodifikasi; Pembuatan Larutan
106
Chitosan (El-Ghaouth et al. 1992a) : Pelapisan Buah Apel cara pencelupan (dipping) selama 30 detik; Penyimpanan dilakukan di ruangan (28 2°C) dan wadah tersebut diletakkan secara acak. Pengamatan Parameter yang diamati adalah, kelunakan buah, susut bobot, padatan terlarut total, asam total dan uji organoleptik; dan diamati mulai hari ke 0, 3, 6, 9, 12, 15 Hari Setelah Perlakuan (HSP). Kelunakan Kelunakan buah diukur dengan menggunakan penetrometer elektrik Stanhope Seta Bobot beban yang digunakan adalah 102 gram dan waktu pengukuran 5 detik. Susut Bobot dengan menimbang buah apel yang sama pada setiap hari pengamatan; Padatan Terlarut Total (Apriyantono et al. 1989); Asam Total (AOAC, 2000 ); uji Organoleptik (Suhardjo, 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum, pelapis chitosan dengan konsentrasi 1,5% (b/v), memberikan hasil yang lebih baik dalam menghambat terjadinya proses perubahan sifat fisikokimia buah secara keseluruhan, meskipun ada beberapa pengamatan antar perlakuan chitosan tidak berbeda nyata. Kelunakan Buah Nilai kelunakan pada varietas Rome Beauty, Anna dan Manalagi pada pengamatan pertama berturut turut adalah 1,1; 1,3; dan 1,1 mm/102 g/5 detik; sedangkan nilai pada pengamatan keenam (15 HSP) untuk varietas Rome Beauty dan Manalagi, serta pengamatan keempat (9 HSP) pada varietas Anna berturut-turut adalah adalah 2,9; 2,8 dan 2,4 mm/102 g/5detik. Kelunakan pada faktor varietas menunjukkan beda nyata pada pengamatan hari ke 0, 3, 6 dan 9 setelah penyimpanan. Pelapisan chitosan tidak menunjukkan pengaruh nyata pada kelunakan buah, kecuali pada pengamatan hari ke 9 setelah penyimpanan.Terjadi peningkatan kelunakan buah dari 1,1-1,2 mm/102g/5 detik pada pengamatan awal menjadi 2,8-2,9 mm/102g/5 detik pada pengamatan terakhir. Penggunaan chitosan 1% dan 1,5% cenderung dapat menghambat laju kelunakan buah.
3,5
3,5
3,0
3,0
mm/102 gr/5 det
mm/102 gr/5 det
Kelunakan pada varietas Anna lebih tinggi dibandingkan dengan Rome Beauty dan Manalagi. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan sifat yang spesifik dari varietas tersebut. Varietas yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda pula terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya difusi oksigen ke dalam buah, sehingga perombakan cadangan makanan dan perubahan dinding sel berbeda pula.
2,5 2,0 1,5 1,0
2,0 1,5 1,0 0,5
0,5
0,0
0,0
0
0
3
Rome Beauty
6
9 HSP Anna
12
15
Manalagi
Gambar 1. Kelunakan buah apel selama penyimpanan ┬ ┴
2,5
3
6
9
12
15
HSP Kontrol
Chitosan 0,5%
Chitosan 1%
Chitosan 1,5%
Gambar 2. Pengaruh pelapis chitosan pada kelunakan buah
: Standar error
Pelapis chitosan 1,5% mampu menghambat peningkatan kelunakan lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh El-Ghaouth et al. (1992a; 1992b) yang menyatakan bahwa pelapis chitosan mampu menghambat peningkatan kelunakan buah tomat. Susut Bobot Peningkatan susut bobot antar varietas berbeda nyata pada pengamatan hari ke 6, 9 dan 12 HSP, sedangkan pada perlakuan chitosan berbeda nyata pada semua pengamatan. Interaksi varietas apel dengan pelapis chitosan menunjukkan beda nyata pada pengamatan ke 3, 6 dan 9 HSP. Susut bobot pada varietas
107
Rome Beauty, Anna, dan Manalagi pada pengamatan pertama adalah 1,1%; sedangkan pada pengamatan hari ke 15 pada varietas Rome Beauty dan Manalagi dan hari ke 9 pada varietas Anna berturut turut adalah 5,5%; 5,2%. dan 3,6% Peningkatan susut bobot terendah ditunjukkan oleh apel varietas Manalagi dibandingkan dengan varietas Rome Beauty dan Anna. Hal ini disebabkan penggunaan substrat seperti asam organik dan karbohidrat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua varietas lainnya. Hal ini sejalan dengan perubahan nilai padatan terlarut total dan asam total pada varietas Anna yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas Rome Beauty dan Manalagi. Zhang dan Bunn (2000) menunjukkan adanya perbedaan difusi gas pada daging dan kulit buah apel.
6,0
7,0
5,0
6,0
% Susut Bobot
% Susut Bobot
Kemampuan pelapis chitosan dalam menghambat kenaikan susut bobot sudah terlihat pada pengamatan ke 3 HSP, kemampuan pelapis chitosan ini tidak berbanding lurus dengan konsentrasi chitosan. Hal ini ditunjukkan dengan tidak stabilnya peningkatan susut bobot sampai pengamatan hari ke 9 HSP. Namun demikian, pada pengamatan ke 12 dan 15 HSP pelapis chitosan 1,5% mampu menghambat laju peningkatan susut bobot tersebut, kemungkinan hal ini disebabkan transpirasi dan respirasi sudah menurun. Nisperos-Carriedo et al. (1990) menyatakan bahwa pelapis dari karbohidrat dapat menjerap uap air. Oleh karena itu, penghambatan transpirasi dari dalam ke luar buah tergantung pada tinggi rendahnya konsentrasi pelapis chitosan yang dipergunakan.
4,0 3,0 2,0
4,0 3,0 2,0 1,0
1,0
0,0
0,0
3
3
6
HSP
Rome Beauty
9 Anna
12
15 Manalagi
Gambar 3. Susut bobot buah apel selama penyimpanan ┬ ┴
5,0
6 9 HSP
Kontrol Chitosan 1%
12
15
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Gambar 4. Pengaruh pelapis chitosan terhadap susut bobot buah
: Standar error
Padatan Terlarut Total Nilai PTT meningkat dengan semakin masaknya buah, pada pengamatan hari pertama nilai PTT pada varietas Rome Beauty, Anna dan Manalagi berturut-turut adalah 11,0°; 11,2° dan 11,1° Brix; dan pada akhir pengamatan meningkat menjadi 14,2°; 14,4°; dan 14,2° Brix. Pada awal pengamatan nilai kandungan PTT pada kontrol, chitosan 0,5%; dan 1% yaitu 11,1° Brix, sedangkan pada chitosan 1,5% adalah 11,3° Brix. Pada pengamatan hari ke 15 HSP nilai PTT berturut-turut adalah 14,6; 14,1; 14,2; dan 13,7° Brix. Suhardi dan Yuniarti (1996) melaporkan bahwa varietas Rome Beauty dan Anna mempunyai nilai PTT yang berbeda. Knee (1993) menyatakan bahwa peningkatan gula bebas terjadi pada saat mencapai puncak klimakterik. Pada varietas Rome Beauty dan Manalagi kenaikan PTT cukup stabil, disebabkan perombakan pati menjadi gula dan penggunaan gula selama respirasi tidak terlalu tinggi.
108
15,0
14,0
14,0
13,0
13,0
0 Brix
Brix 0
15,0
12,0
z
12,0
11,0
11,0
10,0
10,0
0
3
6
9
12
HSP Anna
Rome Beauty
15
0
3
6
HSP
Kontrol Chitosan 1%
Manalagi
Gambar 5. Padatan terlarut total buah apel selama penyimpanan ┬ : Standar error ┴
9
12
15
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Gambar 6. Pengaruh pelapis chitosan terhadap Padatan terlarut total
Kandungan PTT buah pada perlakuan pelapis chitosan berbeda nyata pada pengamatan hari ke 9 dan 15. Hal ini mengindikasikan bahwa pelapis dengan konsentrasi tersebut dapat menghambat respirasi buah dengan jalan menghambat difusi O2 ke dalam buah. Zhang dan Quantrick (1997) menyatakan bahwa penggunaan chitosan dapat menurunkan konsentrasi oksigen internal buah. Berkurangnya oksigen yang masuk ke dalam buah menyebabkan terhambatnya proses respirasi, akibatnya penggunaan substrat seperti gula lebih rendah, dan menyebabkan penggunaan hasil perubahan pati menjadi lebih sedikit Asam Total
0,6
0,5
0,5
0,4
% Total asam
%Total asam
Asam total pada masing-masing varietas dan faktor pelapisan chitosan terus menurun selama penyimpanan. Nilai asam total pada pengamatan pertama pada varietas Rome Beauty, Anna dan Manalagi berturut-turut adalah : 0,43; 0,44 dan 0,25 mg/100g sedangkan pada akhir pengamatan adalah 0,30; 0,38.dan 0,14 mg/100g. Asam total antar varietas berbeda nyata pada pengamatan hari ke 0 sampai hari ke15 setelah penyimpanan. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suhardjo (1985) dan Suhardi dan Yuniarti (1996), yang menunjukkan adanya perbedaan kadar asam total dimana pada varietas Anna dan Rome Beauty total asam relatif sama, sedangkan varietas Manalagi mempunyai kadar asam total yang lebih rendah. Kays (1991) menyatakan bahwa selama penyimpanan kadar asam organik total dalam buah mengalami penurunan. Penurunan tersebut tergantung pada jenis asam organik, tipe jaringan, varietas dan kondisi penyimpanan.
0,4 0,3 0,2
0,3 0,2 0,1
0,1 0,0
0,0
0
3
Rome Beauty
6
9 HSP Anna
12
15 Manalagi
Gambar 7. Asam total buah selama penyimpanan ┬ ┴
0
3
6
HSP kontrol Chitosan 1%
9
12
15
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Gambar 8. Pengaruh pelapis chitosan terhadap asam total
: Standar error
109
Nilai asam total pengamatan pertama pada kontrol, pelapis chitosan 0,5%, 1% dan 1,5% berturutturut adalah 0,38; 0,37; 0,36 dan 0,38 mg/100g. Nilai ini terus menurun hingga pada pengamatan terakhir menjadi 0,21; 0,20; 0,22 dan 0,27 mg/100g. Pada perlakuan chitosan beda nyata terjadi pada hari ke 6 sampai 15 setelah penyimpanan. Pelapis chitosan mampu menghambat penurunan nilai asam total, meskipun pada pelapis chitosan 0,5% tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol. Suhardjo (1985) menyatakan kandungan asam malat menurun diduga dipergunakan sebagai salah satu sumber energi pada proses respirasi disamping karbohidrat. Organoleptik Pengukuran kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan indra manusia misalnya dengan pengecap maupun secara visual. Uji ini merupakan sebagian analisis terhadap penilaian konsumen terhadap buah apel. Pengujian yang dilakukan adalah uji penampakan, rasa dan kelunakan buah. Penampakan/Performance Buah apel yang dilapisi chitosan terutama dengan chitosan 1,5% lebih mengkilat dibandingkan dengan kontrol. Setiasih (1999) menyatakan bahwa pelapis yang berasal dari polisakarida mempunyai penampakan yang menarik dan tidak lengket. Penampakan juga dipengaruhi oleh adanya pengkeriputan sel terutama kulit buah sebagai akibat transpirasi. Pelapis chitosan dapat menyerap uap air. Kemampuan ini meningkat dengan makin tingginya konsentrasi, sehingga mengakibatkan transpirasi yang direpresentasikan oleh susut bobot lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kehilangan air yang cukup tinggi menyebabkan terjadinya pengkerutan sel buah dan berdampak pada pengkerutan kulit buah, sehingga akan mempengaruhi penampakan buah. Suhardjo (1992) menunjukkan adanya sel yang mengkeriput sebagai akibat transpirasi yang cukup tinggi.
4 3,8 Skor
Skor
4,2 4,2 4 3,8 3,6 3,4 3,2 3 2,8 2,6
3,6 3,4 3,2 3 2,8
0
3
6
9
12
2,6
15
0
HSP Kontrol Chitosan 1%
Tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan buah apel varietas Rome Beauty
6
9
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Gambar 10. Tingkat kesukaan panelis Terhadap penampakan buah apel varietas Anna
4,2 4 3,8 3,6 3,4 3,2 3 2,8 2,6
Skor
Gambar 9.
3 HSP Kontrol Chitosan 1 %
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
0
3
6 HSP
Kontrol Chitosan 1%
9
12
15
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Gambar 11. Tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan buah apel varietas Manalagi
110
Rasa buah
4,2 4
4,2 4 3,8 3,6 3,4 3,2 3 2,8 2,6
skor
Skor
Gambar 12 dan 13, menunjukkan bahwa penilaian panelis pada awal pengamatan terhadap rasa buah buah pada masing-masing varietas skor terlihat meningkat pada varietas Anna dan Rome Beauty. Skor tertinggi pada varietas Rome Beauty dengan pelapis chitosan 1% dan 1,5% terjadi pada hari ke 9 HSP, sedangkan pada varietas Anna pada hari ke 6 HSP. Hal ini berhubungan dengan peningkatan nilai PTT sehingga mempengaruhi penilaian panelis pada keasaman buah. Menurunnya asam organik dan meningkatnya gula sederhana akibat perombakan pati dalam buah mengakibatkan nisbah gula/asam menjadi tinggi, sehingga skor rasa menjadi lebih lebih tinggi.
3,8 3,6 3,4 3,2 3 2,8 2,6
0
3
Kontrol Chitosan 1%
6
HSP
9
12
15
0
3
6
9
hsp
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Gambar 12. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa buah apel varietas Rome Beauty
Kontrol Chitosan 1 %
Gambar 13.
Chitosan 0,5% Chitosan 1,5%
Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa buah apel varietas Anna
KESIMPULAN 1.
Pelapis chitosan dapat menghambat peningkatan susut bobot, padatan terlarut total dan penurunan total asam.
2.
Pelapis chitosan 1,5% memberikan hasil yang terbaik dalam mempertahankan kualitas buah apel.
3.
Terdapat perbedaan karakter pascapanen antar varietas.Varietas Anna mempunyai tingkat respirasi yang tinggi dan daya simpan terpendek dibandingkan dengan varietas Manalagi.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 2000. Officials Methods of Analysis of the Association of Officials Analytical Chemists Washington DC. 14thed. AOAC Inc. Arlington. Virginia Baldwin EA. 1994. Edible coatings for fresh fruits and vegetables: past, present and future. In : Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO (Eds.). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Lancaster. Technomic Pub. Co. Inc. Baldwin EA, Burns JK, Kazokas W, Brecht JK, Hagenmaier RD, Bender RJ, Pesis. 1999. Effect of two edible coatings with different permeability characteristics on mango (Mangifera indica L) ripening during storage. Postharvest Biol. Technol. 17 : 215-226. Debeaufort F. Voilley A. 1994. Aroma compound and water vapor permeability of edible films and polymeric packagings. J. Agric. Food. Chem. 42 : 2871-2875. El-Ghaouth A, Ponnampalan R, Castaigne F, Arul J. 1992a. Chitosan coating to extend storage life of tomatoes. HortScience 27 : 1016-1018 El-Ghaouth A, Arul J, Asselin A. 1992b.Potential uses of chitosan in postharvest preservation of fruits and vegetables In: Brine CJ, Sandford PA, Zikakis JP(Eds.) Advances in Chitin and Chitosan. London New York. Elsevier Applied Science. Hofman PJ, Smith LG, Joyce DC, Johnson GI.1997. Bagging of mango (Mangifera indica cv Keitt) fruit influence fruit quality and mineral composition. Postharvest Biol. Technol. 12 :285-292.
111
Kays S. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Product. New York. AVI Book Knee M. 1993. Pome fruit. In Seymour GB, Taylor JE, Tucker GA, (Eds.). Biochemistry of Fruit Ripening. London. Chapman & Hall. Nisperos-Carriedo MO. 1994. Edible coating and film based on polysaccharides In Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, (Eds.) Edible Coatings And Films to Improve Food Quality. Lancaster. Technomic Pub. Co. Inc. Setyasih, 1999. Kajian perubahan mutu salak pondoh dan mangga arumanis terolah minimal berlapis film edible selama penyimpanan. Dissertasi. P. Pasca IPB. Suhardjo. 1985. Pengaruh umur petik dan penyimpanan suhu ruang terhadap sifat-sifat buah apel (Malus sylvestris L). kultivar Rome Beauty (Tesis). Program Pascasarjana. IPB. Suhardjo. 1992. Kajian fenomena kemasiran buah apel ( Malus sylvestris) kultivar Rome Beauty (Desertasi). Program Pascasarjana. IPB. Suhardi, Yuniarti. 1996. Penggunaan poliester sukrosa untuk memperpanjang daya simpan buah apel kultivar Rome Beauty. J. Hort 6(3) :303-308 Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S dan Santoso S. 1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya. Laporan Penelitian Jurusan Pengolahan Pangan Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Verheij EWM, Coronel RE. Editor 1992. Fruits and Nuts. PROSEA. Bogor Indonesia Wills R, McGlasson B, Graham D, Joyce D. 1998. Postharvest, an Introduction to the Physiology and Handling of Fruits, Vegetables and Ornamentals. 4th ed. UNSW Press. Zhang D, Quantrick PC. 1997. Effect of chitosan coating on enzymatic browning and decay during posharvest storage of litchi (Lichi chinensis) fruit. Postharvest Biol. Technol. 12 : 195-202. Zhang D; Burn, J.M., 2000. Oxygen diffusiveness of aples flesh and skin. Am.Soc. of. Agric. Vol. 43(2) : 359-363
112
UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG DI LAHAN SAWAH I. B. Aribawa1), I.K. Kariada1) dan Moh. Nazam2) Peneliti Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali 2) Peneliti Balai Penelitian Teknologi Pertanian NTB 1)
ABSTRAK Penelitian uji adaptasi beberapa varietas jagung telah dilaksanakan di lahan sawah subak Penarukan, Desa Mambang, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, Bali pada MK 2006. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan adaptasi dari beberapa varietas jagung yang terpilih di lahan sawah. Kemampuan adaptasi yang diukur disini adalah kemampuan untuk tumbuh dan berproduksi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 8 (delapan) perlakuan dan tiga kali ulangan. Varietas jagung yang diuji diantaranya : jagung komposit (Bisma, Bromo, Maros, Surya, Srikandi Kuning, Srikandi Putih), jagung lokal (Seraya), dan jagung hybrida (Bisi-2). Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap variabel : tinggi tanaman pada saat panen, diameter batang, jumlah daun, tinggi letak tongkol tanaman, jumlah tongkol, berat basah tongkol, berat basah berangkasan tanaman, diameter tongkol, panjang tongkol, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering jagung per hektar. Hasil analisis statistik menunjukkan, perlakuan varietas menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua parameter yang diamati, kecuali terhadap jumlah tongkol per tanaman dan bobot 100 biji. Hasil jagung tertinggi terlihat pada varietas jagung Srikandi Putih yaitu 7,09 ton pipilan kering per hektar. Kata kunci : adaptasi, varietas jagung, lahan sawah.
PENDAHULUAN Jagung (Zea mays L.) di Indonesia merupakan tanaman serbaguna dan merupakan tanaman terpenting ke dua sebagai sumber karbohidrat setelah padi. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan pakan maupun industri. Di masa mendatang jagung memberikan prospek yang sangat cerah, dilihat dari pertimbangan agribisnis, karena jagung terkait dengan kegiatan industri (pangan, pakan dan lainnya) dan adanya peluang ekspor produk jagung yang besar. Jagung dapat ditanam sepanjang tahun di Indonesia, lahan yang sesuai untuk tanaman jagung tersedia sangat luas, seperti lahan kering, sawah tadah hujan, lahan gambut, lahan pasang surut dan lahan lebak. Sebagai bahan makanan, jagung mengandung nilai gizi yang tak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan beras (Anon, 1985). Selanjutnya komposisi dari biji jagung, mengandung : air (13,5%); protein (10,0%); minyak dan lemak (4,0%); karbohidrat (70,7%); abu dan zat-zat lainnya (0,4%) Martin, 1975 dalam Suprapto, 1992). Bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku jagung, menyebabkan kebutuhan akan jagung terus meningkat. Di lain pihak, Indonesia masih mengimpor jagung dengan rata-rata 0,96 juta ton dari tahun 1997 sampai 2001 dan diperkirakan naik sampai 2,20 ton pada tahun 2010 (Kasryno, 2002). Kenyatan ini menunjukkan bahwa produktivitas jagung di Indonesia masih rendah sehingga belum mampu menyediakan kebutuhan dalam negeri. Rendahnya produktivitas jagung tersebut diantaranya disebabkan oleh petani pada umumnya masih menggunakan varietas lokal yang berpotensi hasil rendah (Effendi, 1985). Menurut Subandi dan Ibrahim (1990) dan Subandi dan Zubachtirodin (2005) keberhasilan peningkatan produksi jagung sangat bergantung pada kemampuan penyediaan dan penerapan inovasi teknologi meliputi varietas unggul dan penyediaan benih bermutu, serta teknologi budidaya yang tepat. Varietas unggul merupakan salah satu factor penting dalam usaha meningkatkan produktivitas tanaman jagung. Menurut Suprapto (1992) varietas unggul umumnya mempunyai produktivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan varietas lokal. Beberapa penelitian tentang jagung varietas unggul telah banyak dilaporkan. Di Malang, misalnya penanaman varietas local dengan populasi awal yang tinggi menghasilkan rata-rata 2,0 t ha-1, sedangkan dengan menanam varietas unggu diperoleh hasil 4,0 – 5,0 t ha-1 (Suprapto, 1992). Di Bali umumnya jagung diusahakan lebih banyak di lahan kering pada musim hujan dengan produktivitas yang relatif rendah yaitu berkisar 2,0 – 2,5 ton per hektar. Selain di lahan kering, tanaman jagung juga berpeluang ditanam di lahan sawah di musim kemarau pada saat bera, dengan memanfaatkan sisa air tanah yang ada, setelah petani panen padi. Di subak Penarukan Desa Mambang dengan luas lahan sawah sekitar 70 hektar pada saat bera sekitar bulan Juli sampai September, lahannya dibiarkan kosong. Dengan
113
intoduksi beberapa varietas jagung diharapkan petani tertarik untuk memanfaatkan lahannya yang kosong, sehingga pendapatan petani dapat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adaptasi beberapa varietas tanaman jagung di lahan sawah.
BAHAN DAN METODE Rancangan Percobaan Dalam percobaan ini digunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 8 (delapan) perlakuan yang diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah 8 (delapan) varietas jagung yang di uji adaptasinya, diantaranya : jagung komposit (Bisma, Bromo, Maros, Surya, Srikandi Kuning, Srikandi Putih), jagung lokal (Seraya), dan jagung hybrida (Bisi-2). Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di lahan sawah, subak Penarukan, Desa Mambang, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, pada MK 2006. Pemilihan wilayah kegiatan ini berdasarkan arahan dan kerjasama dengan instansi terkait seperti Diperta dan BPP. Sedangkan pemilihan petani kooperator juga berdasarkan masukan dari instansi terkait dan arahan dari ketua Kelompok Tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah benih jagung dengan varietas yang berbeda yang didapatkan dari Balitsa Maros, pupuk urea, SP-36, KCl, Furadan 2 G, Miothrin 25 EC dan bahan lainnya. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat untuk bercocock tanam, meteran, timbangan, tali plastik, bambu dan alat-alat yang lainnya. Pelaksanaan Penelitian Setelah pengolahan tanah dilakukan, maka petak berukuran 3,0 m x 4,0 m dibuat pada petak alami milik petani, masing-masing ulangan ditempatkan pada petak alami petani yang berbeda. Benih jagung ditanam secara tugal pada kedalaman 2,5 cm dengan jarak tanam 80 cm x 30 cm dan setiap lubang diisi dua benih. Pada saat penanaman ditaburi furadan 3 G dengan dosis 15 kg ha-1. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk urea 250 kg ha-1, 150 kg ha-1 SP-36 dan 50 kg ha-1 KCl. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 14 hari dengan hanya memberikan pupuk urea dengan dosis 25 kg ha -1. Pemupukan ke dua dilakukan pada saat tanaman berumur 30 hst dengan memberikan pupuk urea dengan dosis 125 kg ha -1, diberikan dengan cara mencampur ke tiga pupuk dasar tersebut. Pemupukan ke tiga dilakukan pada saat tanaman berumur 50 hst dengan memberikan sisa pupuk urea. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 21 dan 35 hst, bersamaan dengan itu dilakukan pembubunan pada pangkal tanaman sehingga pertumbuhan tanaman kokoh. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan terhadap variabel : tinggi tanaman pada saat panen, diameter batang, jumlah daun, tinggi letak tongkol tanaman, jumlah tongkol, berat basah tongkol, berat basah berangkasan tanaman, diameter tongkol tanpa klobot, panjang tongkol, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering jagung per hektar. Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini galur harapan dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik terhadap pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil jagung disajikan pada Tabel 1 dan 2. hasil analisis menunjukkan perlakuan varietas menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) sampai sangat nyata (P<0,01) terhadap hamper semua parameter tanaman yang diamati, kecuali, diameter batang, jumlah tongkol dan bobot 100 biji. Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman jagung menjelang panen, menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertingi dihasilkan oleh
114
varietas Srikandi Putih yaitu 274,67 cm dan tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya, Bromo, Srikandi Kuning dan Bisi-2, sedangkan dengan varietas lain berbeda nyata (Tabel 1). Tabel 1. Keragaan pertumbuhan tanaman jagung di subak Penarukan, Desa Mambang pada MK. 2006. Perlakuan
Tinggi tanaman (cm)
Diamater batang (cm)
Jumlah daun (helai)
Tinggi letak tongkol (cm)
Jumlah tongkol (buah)
Berat berangkasan tanaman-1 (g)
Seraya 218,67a 1,83a 10,78c 68,55c 1,33a 210,00d Surya 254,37bc 2,01a 13,67a 96,5ab 1,10a 397,78ab Maros 223,22ab 1,78a 10,22c 92,78abc 1,00a 357,78abc Bromo 252,72bc 1,46a 11,89b 106,55ab 1,00a 250,00cd Bisma 222,22ab 1,77a 12,33b 81,61bc 1,00a 267,78bcd Srikandi K. 259,33bc 1,76a 12,89ab 106,44ab 1,00a 383,33abc Srikandi P. 274,67c 1,84a 13,56a 114,95a 1,00a 417,78a Bisi-2 251,78bc 1,78a 12,78ab 95,88ab 1,00a 296,67a-d KK (%) 7,00 11,95 4,56 14,73 11,73 22,39 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Hasil analisis statistik terhadap diameter batang, menunjukkan perlakuan varietas jagung berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap diameter batang. Diameter batang terbesar terlihat pada varietas Surya, yaitu 2,01 cm dan diameter jagung terkecil terlihat pada varietas jagung 1,46 cm (Tabel 1). Hasil analisis statistik terhadap jumlah daun menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah daun tanaman. Jumlah daun terbanyak terlihat pada varietas Surya, yaitu 13,67 helai, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas jagung yang lain, kecuali varietas Seraya dan Bisma. Jumlah daun terkecil terlihat pada varietas Seraya yaitu 10,78 helai (Tabel 1). Hasil analisis statistik terhadap tinggi letak tongkol tanaman menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi letak tongkol. Letak tongkol tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Putih, yaitu 114,95 cm. Tinggi letak tongkol varietas ini, tidak berbeda nyata dengan varietas lain, kecuali dengan varietas Seraya. Tinggi letak tongkol terrendah terlihat pada varietas Seraya yaitu 68,56 cm (Tabel 1). Hasil analisis statistik terhadap jumlah tongkol per tanaman disajikan pada Tabel 1. Perlakuan yang dicoba tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah tongkol per tanaman. Rata-rata jumlah tongkol per tanaman berkisar antara 1,00-2,00 tongkol pertanaman. Hasil analisis statistik terhadap berat berangkasan tanaman, menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berangkasan tanaman jagung. Berangkasan tanaman jagung tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Putih yaitu 417,78 gram, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas lain, kecuali varietas Bromo, Seraya dan Bisma. Berat berangkasan tanaman terrendah terlihat pada varietas Seraya, yaitu 210,00 gram (Tabel 1). Hasil analisis statistik terhadap komponen hasil dan hasil tanaman jagung disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistik terhadap diamater tongkol disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap diameter tongkol. Diamataer tongkol terbesar terlihat pada varietas Surya yaitu 5,12 cm, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Srikandi Kuning, Srikandi Putih dan Bisi-2. Analisis statistik terhadap panjang tongkol menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap panjang tongkol. Panjang tongkol terpanjang terlihat pada varietas Srikandi Kuning yaitu 21,05 cm, tapi varietas ini tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya, Srikandi Putih dan Bisi-2, dengan varietas yang lainnya berbeda nyata. Hasil analisis statistik terhadap bobot tongkol menunjukkan bahwa perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol terberat terlihat pada varietas Srikandi Kuning yaitu 332,22 gram, tapi tidak berbeda nyata dengan varietas Surya, Srikandi Putih dan Bisi-2, dengan varietas lainnya berbeda nyata. Hasil analisis statistik terhadap jumlah biji per tongkol menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah biji per tongkol. Jumlah biji per tongkol terbanyak terlihat pada varietas Srikandi Kuning yaitu 549,11 butir per tongkol, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya, Srikandi Putih dan Bisi-2, dengan varietas lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata.
115
Sedangkan terhadap bobot 100 biji jagung menunjukkan varietas jagung berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Bobot 100 biji jagung tertinggi telihat pada varietas Srikandi Putih yaitu 43,29 gram (Tabel 2). Tabel 2. Keragaan komponen hasil dan hasil beberapa varietas tanaman jagung di subak Penarukan, Desa Mambang, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan MK. 2006 Varietas
Diameter tongkol (cm)
Panjang tongkol (cm)
Bobot tongkol (g)
Jml biji tongkol-1
Berat 100 biji (g)
Hasil jagung pipilan kering ha-1
Seraya 3,81a 14,28a 130,56a 275,11a 36,56a 2,61a Surya 5,12c 20,49d 326,63d 525,73cd 41,62a 6,38cde Maros 4,62b 17,68bc 234,45bc 425,33bc 43,01a 5,59bcd Bromo 4,15a 16,15ab 187,77ab 350,00ab 37,78a 5,17bc Bisma 4,62b 16,93b 229,99bc 311,99ab 40,53a 4,69b Srikandi K. 5,07bc 21,05d 332,22d 549,11d 41,61a 6,79de Srikandi P. 4,76bc 19,55cd 300,00d 479,33cd 43,29a 7,09e Bisi-2 4,95bc 19,27cd 289,99cd 475,77cd 39,76a 6,64de KK (%) 5,4 6,0 13,4 15,1 9,98 12,4 Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5 %.
Hasil analisis statistik terhadap hasil pipilan jagung menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap hasil pipilan jagung per hektar. Hasil jagung tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Putih yaitu 7,09 ton per hektar, tapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan varietas Surya, Srikandi Kuning dan Bisi-2, dan dengan varietas lain berbeda nyata. Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata sampai sangat nyata tehadap sebagian besar parameter tanaman ang diamati (Tabel 1 dan 2). Dari sebagian besar parameter yang diamati, ternyata varietas unggul hampir seluruhnya memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas lokal Seraya. Varietas lokal Seraya ini merupakan varietas lokal yang tumbuhnya dominan di lahan kering di Kecamatan Seraya, Karangasem dan digunakan sebagai bahan makanan pokok penduduk di sana. Pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil jagung yang lebih baik pada varietas unggul, disebabkan oleh faktor genotip (genetik) dari varietas yang diuji, dimana dari tujuh varietas unggul yang diuji, enam varietas unggul komposit (bersari bebas) dan satu varietas unggul hybrida (varietas Bisi-2). Ke tujuh varietas unggul tersebut mampu memanfaatkan kondisi lingkungan (tanah dan iklim) lebih baik bila dibandingkan varietas lokal Seraya. Varietas unggul yang diuji mempunyai sifat-sifat morfologi dan anatomi yang lebih baik dibandingkan varietas lokal Seraya, seperti tinggi tanaman, jumlah daun jumlah biji, besar biji dan yang lainnya. Hal ini didukung oleh Thompson dan Kelly (1957) yang mengemukakan perbedaan genotype dari varietas unggul diperlihatkan melalui tinggi tanaman, luas daun, jumlah biji per baris, berat biji dan hasil akhir yang lebih baik bila dibandingkan varietas lokal. Perbedaan genotype yang lebih baik dari varietas unggul terlihat pada tampilan fenotype dari varietas unggul yang jauh berbeda bila dibandingkan varietas lokal Seraya, seperti tinggi tanaman, jumlah daun yang lebih tinggi bila dibandingkan varietas lokal Seraya. Dengan kondisi tersebut, proses fisiologis (fotosintesis) tanaman akan lebih meningkat, demikian juga dengan lebih tingginya tanaman, intensitas cahaya matahari yang diserap daun tanaman menjadi lebih baik. Semakin baiknya proses fisiologis (fotosintesis) tanaman, menyebabkan meningkatknya bahan kering yang dihasilkan tanaman dan secara langsung berhubungan dengan bahan kering ang dapat ditranslokasikan ke biji. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya berat berangkasan tanaman dan berat pipilan kering per hektar pada varietas unggul. Di antara ke tjuh varietas unggul yang di uji, varietas Srikandi Putih menghasilkan berat pipilan kering tertinggi yaitu 7,09 ton per hektar. Hasil jagung yang diperoleh ini, masih lebih rendah dari potensi hasil jagung Srikandi Putih yang tertera dalam deskripsi yang mencapai 8,09 ton per hektar (Arsana et al., 2005).
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya : 1.
Perlakuan varietas jagung yang diuji menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap sebagian besar parameter tanaman yang diamati, kecuali diameter batang, jumlah tongkol dan bobot 100 biji.
116
2.
Varietas unggul (komposit dan hybrida) menunjukkan pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas lokal Seraya di lahan sawah.
3.
Varietas jagung Srikandi Putih memberikan hasil pipilan kering tertinggi yaitu 7,09 ton per hektar.
DAFTAR PUSTAKA Arsana, IGK D. 2005. Laporan Tengah Tahun Pengkajian Pengembangan Sistem Usahatani Jagung QPM Berbasis Peternakan. BPTP Bali, Puslitbang Sosek Pertanian, Balitbangtan. 31 hlm. Anon. 1985. Jagung. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Bina Produksi. Jakarta. Efendi. 1982. Bercocok Tanam Jagung. Penerbit CV. Yasaguna. Jakarta. Gomez, A.K. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. UI Press. Jakarta. 698 hlm. Suprapto, H.S. 1992. Bertanam Jagung. Cetakan IX. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Balitbangtan. Jakarta. Subandi , Ibrahim, M. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Balitbangtan. Deptan. Jakarta. Subandi dan Subachtirodin. 2005. Teknologi Budidaya jagung Berdaya Saing Global. Makalah Disampaikan pada Pertemuan Pengembangan Koordinasi Agribisnis jagung. 1-2 Agustus 2005 di Bogor. Thompsom, H.C. and Kelly, W.C. 1957. Vegetables Crop. New York : McGraw Hill.
117
IDENTIFIKASI GENOTIF KEDELAI ADAPTIF PADA LAHAN SAWAH LOMBOK BARAT S.Untung1), M. Adie2), dan K.Kumoro1) 1) Staf peneliti BPTP NTB 2) Pemulia Balitkabi, Malang
ABSTRAK Identifikasi delapan belas genotif kedelaiyang bertujuan untuk mengetahui keunggulan dan adaptasi yang luas terhadap lingkungan, serta mendapatkan genotif genotif yang produktifitasnya tinggi, sebagai bahan rekomendasi pelepasan varietas spesifik loksi, telah dilakukan dilahan sawah pada musim MK II (bulan Juli-Oktober) 2006, di Desa Kuranji dan Karang Bongkot Lombok Barat- NTB. Percobaan di uji menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 18 perlakukan (6 genotif kedelai warna hitam dan 12 genotif kedelai warna putih) dengan empat ulangan,15 galur harapan kedelai dan 3 varietas pembanding terdiri atas: [1) G100H/9305-II; 2) P/I/P-10; 3) P/I/P-12; 4) G100H/P//P-15, 5.I/P-19; 6) Shr/Wil-60; 7) Aochi/Wil-60; 8) S62Shr/Wil; 9) 9637/Kawi-D-8-125, 10) 9837/Kawi-D-3-185; 11) Wilis/9837-D-6-220, 12) 9637/Kawi-.D-3-185; 13) 9069/Wilis; 14) W/Br-35S, 15) I/P-22; 16) Cikuray; 17) Burangrang; 18) Wilis]. Ukuran plot 2 m x 4,5 m dengan jarak tanam 40 cm x 15 Cm. Dosis pupuk 50 kg Urea,75 kg Sp36 dan 90 kg Kcl per Ha, diberikana bersamaan saat tanam.Data yang tekumpul dianalisis menggunakan Anova dan uji lanjut DMRT 0.05. Hasil penelitian menunjukan terjadi interaksi yang nyata antara lokasi dengan genotif, ini menunjukan bahwa setiap genotif memiliki adaptasi yang berlainan pada masing-masing lokasi. P/I//P-12 umur berbunga dan masak polong yang paling cepat yaitu 32 hari dan 77 hari. Genotif Wilis/9837-D-6-220 memiliki tinggi tanaman terendah 60.68 cm dan yang paling tinggi adalah varietas Burangrang 85.81 cm. Jumlah polong pertanaman genotif I/P-22 merupakan yang paling banyak 140 polong, sedang genotif Wilis/9837-D-6-220 memiliki polong paling sedikit 83 biji. Bobot 100 biji genotif Wilis /9837-D-6-220 16.24 gr dan genotif G100H/P//P-15 10;28 gr merupakan bobot yang terberat dan paling ringan. Produksi tertingi genotif G100H/9305-II dari semua kedelai berwarna putih sedang 5 genotif kedelai berwarna hitam hasil bijinya lebih lebih tinggi dari varietas Cikuray sebagai kontrol. Kata kunci: kedelai, adaptasi, lahan sawah,Llombok Barat
PENDAHULUAN Kedelai merupakan sumber bahan pangan nabati dengan kandungan protein 39% memegang peranan penting dalam berbagai aspek ekonomi, karena merupakan bahan baku agroindustri tahu, tempe, kecap, tauco, dan juga sebagai pakan ternak yang berkualitas (Anonimaus,1991). Seiring dengan pesatnya perkembangan agroindustri yang menggunakan bahan baku kedelai, permintaan kedelai nasional terus meningkat setiap tahun, yaitu dari 750 ribu ton tahun 1980 menjadi 2.333 juta ton tahun 1990, dan permintaan tahun 2005 diperkirakan mencapai 6.110 juta ton. Permintaan kedelai diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2018 (Darman, dkk. 2002). Oleh karena itu upaya peningkatan produksi kedelai baik dengan cara intensifikasi dan ektensifikasi harus terus dilakukan, untuk mengurangi ketergantungan pada kedelai import. Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah yang sangat potensial untuk pengembangan dan meningkatkan produksi kedelai. Produktivitas kedelai di Nusa Tenggara Barat masih rendah yaitu 10.74 kw/ha (BPS-NTB 1998-2003). Sedangkan menurut Adisarwanto (1997), potensi produktivitas kedelai di NTB dapat mencapai 18 kw – 20 kw per ha. Rendahnya produktifitas kedelai di NTB disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya penggunaan varietas unggul yang masih rendah ditingkat petani. Menurut Adi Sarwanto, dkk. (1992), produktivitas yang tinggi dapat dicapai dengan penanaman varietas unggul disertai dengan pengelolaan lingkungan fisik dan hayati serta pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan lingkungan. Varietas unggul merupakan produk dari kegiatan pemuliaan. Metode pemuliaan kedelai di Indonesia pada prinsipnya pencarian atau identifikasi genotif yang memiliki sifat unggul untuk kemudian diseleksi (dimantapkan), dan diuji daya hasil dan adaptasinya. Apabila hasil uji adaptasi membuktikan terdapat galur harapan berpotensi hasil tinggi dan stabil, maka galur harapan tersebut dapat diusulkan untuk dilepas sebagai varietas unggul baru (M. Adie 2005) Sementara itu genotif kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukan keunggulan yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, topografi, waktu tanam dan cara tanam, Maka untuk mengetahui keunggulan dan adaptasi yang luas terhadap lingkungan, serta mendapatkan genotif kedelai yang produktivitasnya tinggi, sebagai bahan rekomendasi pelepasan varietas spesifik lokasi, perlu dilakukan penelitian Identifikasi genotif kedelai pada lahan sawah Lombok Barat – NTB.
118
BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kuranji dan Desa Karangbongkot Kec. Labu Api Kab Lombok Barat. pada lahan sawah setelah padi pada bulan Juli 2006. Pengkajian dirancang menggunakan rancangan acak kelompok, genotif kedelai sebanyak 18 macam sebagai perlakuan 1) G100H/9305-II; 2) P/I/P-10; 3) P/I/P-12; 4) G100H/P//P-15, 5.I/P-19; 6) Shr/Wil-60; 7) Aochi/Wil-60; 8) S62Shr/Wil; 9) 9637/Kawi-D-8125, 10) 9837/Kawi-D-3-185; 11) Wilis/9837-D-6-220, 12) 9637/Kawi-.D-3-185; 13) 9069/Wilis; 14) W/Br35S, 15) I/P-22; 16) Cikuray; 17) Burangrang; 18) Wilis. Varietas Cikuray, Burangrang, dan Wilis sebagai pembanding, dengan diulang tiga kali, ukuran petak 2 x 4,5 m. Benih ditugal 2 biji/lubang dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Pemupukan dilakukan bersamaan tanam ditugal diantara jarak tanam dan pupuk yang digunakan Urea 50 kg/ha, SP-36 75 kg/ha dan KCl 90 kg/ha. Mulsa jerami padi diberikan langsung setelah tanam, sedangkan penyiangan dilakukan dua kali pada umur 21 hari setelah tanam dan 42 hari setelah tanam. Pengairan dilakukan sebanyak empat kali yaitu sebelum tanam, pada umur 3 Minggu 6 minggu dan 9 minggu. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat tanaman berumur 1 minggu, 4 minggu dan 10 minggu dengan insektisida Matador. Data yang diamati keragaan agronomis umur berbunga 50%, umur panen 95%, tinggi tanaman saat panen, dan komponen produksi yaitu jumlah polong per-tanaman, berat 100 biji dan hasil biji, kemudian dianalisa menggunakan Anova serta diuji lanjut dengan DMRT 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Tabel 1. Sidik Ragam Tergabung Hasil dan Komponen Hasil 18 Genotipe Kedelai. MK 2006. No 1 2 3 4 5 6
Karakter Umur berbunga (hari) Umur masak (hari) Tinggi tanaman (cm) Jumlah polong/tanaman Bobot 100 biji (g) Hasil (t/ha)
Lokasi (L) 416,840 ** 24,092 ** 1,969 ** 41,174 tn 560,111 tn 34342,267 *
Kuadrat Tengah Genotipe (G) 2335,953 ** 14,202 ** 1,026 ** 95,306 ** 200,118 ** 351,037 **
LxG 2009,355 ** 10,077 ** 0,027 tn 2,865 ** 18,111 ** 36,205 **
KK (%) 23,77 22,71 8,85 2,57 1,26 8,21
Interaksi yang nyata L x G menunjukkan bahwa setiap genotipe memiliki adaptasi yang berlainan pada masing-masing lokasi, sehingga penilaian adaptasi dilakukan pada masing-masing lokasi (perlu sidik ragam per lokasi). Umur berbunga dari masing-masing genotif kedelai putih menunjukan perbedaan nyata dengan varietas pembanding kecuali, genotif Aochi/Wil-60 dan S62Shr/Wil. Genotif P/I//P-10 dan P/I//P-12 merupakan genotif yang paling cepat berbunga yaitu 32 hst, sedang S62Shr/Wil genotif kedelai putih yang paling lama memiliki umur berbunga 41 hst. Genotif G100H/9305-II, G100H/P//P-15, I/P-19, Shr/Wil-60, memiliki umur yang sama dalam berbunga yaitu 35 hst sedang W/Br-35S, dan I/P-22 relatif berbunga sama 33.5 hst. Genotif kedelai hitam Wilis/9837-D-6-220, 9637/Kawi-D-3-185, 9837/Kawi-D-3-185, memiliki perbedaan umur berbunga yang tidak nyata 33 hst, tetapi berbeda nyata dengan varietas pembandingnya yaitu Cikuray yang berbunga saat umur 42 hst. Umur panen masing-masing genotif juga menunjukan perbedaan. Kedelai putih pada genotif P/I//P12 dan Shr/Wil-60 memiliki umur panen tercepat yaitu 77 dan 79 hst, serdang genotif P/I//P-10, I/P-19, G100H/9305-II, I/P-19, W/Br-35S, I/P-22 memiliki masa panen dengan umur yang relatif sama 80.3 hst jauh lebih cepat di banding dengan kontrol varietas Wilis yang memiliki umur panen 88 hst, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Burangrang yang masa panen umur 81 hst. Sementara masa panen kedelai hitam genotif Wilis/9837-D-6-220 memiliki umur panen yang relatif pendek yaitu 85 hst, sedankan genotif 9637/Kawi-D-8-125, 9837/Kawi-D-3-185, 9637/Kawi-D-3-185 dan 9069/Wilis memiliki umur yang sama yaitu 91 hst, jauh lebih lama dibanding dengan varietas Cikuray yang hanya mempunyai masa umur panen 82 hst. Keragaan lain dari Tabel 2 adalah kecepatan umur berbunga setiap genotif akan berpengaruh terhadap kecepatan umur panen. Tanaman kedelai di Indonesia pada umumnya berbunga pada umur 30-50 hst, hal ini menunjukan genotif yang diuji masih masuk kategori normal.
119
Tabel 2. Umur Berbunga dan Masak dari 18 Genotipe Kedelai. Lombok Barat, MK 2006. No
Genotipe
Umur berbunga (hr) Krj
Krb
Umur masak (hari) Rata2
Krj
Krb
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
G100H/9305-II 36 cde 35 cd 35 79 h P/I//P-10 32 h 32 hi 32 77 ijk P/I//P-12 32 h 31 c 32 73 l G100H/P//P-15 36 def 34 cde 35 77 i I/P-19 35 def 35 c 35 76 jk Shr/Wil-60 36 cd 34 def 35 76 k Aochi/Wil-60 41 b 40 a 40 88 c S62Shr/Wil 42 b 41 a 41 89 c 9637/Kawi-D-8-125 38 c 38 b 38 92 a 9837/Kawi-D-3-185 35 efg 34 cde 34 91 a Wilis/9837-D-6-220 32 h 32 ghi 32 82 e 9637/Kawi-D-3-185 34 fg 33 fgh 33 91 b 9069/Wilis 42 b 40 a 41 90 b W/Br-35S 33 gh 33 efg 33 77 ijk I/P-22 35 def 33 fgh 34 77 ij Cikuray 43 a 41 a 42 82 f Burangrang 38 c 35 c 36 80 g Wilis 42 ab 38 b 86 d 40 Rata-rata 37 36 36 82 Pengaruh genotipe ** ** ** KK (%) 2.86 2.22 0.52 ** = nyata pada p = 0.01 KK = koefisien keragaman Krj = Kuranji, Krb Karangbongkot Angka seklom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT.
84 cd 83 cd 81 d 84 c 84 c 82 cd 90 a 90 a 91 a 91 a 87 b 92 a 91 a 84 c 84 cd 83 cd 83 cd 89 a 86 ** 1.65
Rata2 81 80 77 81 80 79 89 89 91 91 85 91 91 80 80 82 81 88 84
Tabel 3. Tinggi tanaman dan Jumlah Polong dari 18 Genotipe Kedelai. Lombok Barat, MK 2006. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Genotipe G100H/9305-II P/I//P-10 P/I//P-12 G100H/P//P-15 I/P-19 Shr/Wil-60 Aochi/Wil-60 S62Shr/Wil
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah polong/tanaman
Krj
Krb
83,00 defg 83,70 cdefg 81,35 efgh 82,70 defg 78,35 fgh 91,95 bcd 81,70 efgh 84,30 cdefg 95,60 ab 88,25 bcde 72,90 h 82,85 defg 89,00 bcde 76,25 gh 86,20 cdef 90,15 bcde 100,63 a 92,60 abc 85,64 ** 6,58
57,85 bcde
70,43
Rata2
98 cdef
Krj
48,55 ef 44,50 f 50,25 ef 50,05 ef 62,40 abc 51,75 def
66,13 62,93 66,48 64,20 77,18 66,73
142 ab 127 abcd 126 abcd 122 abcde 140 abc 122 abcde
57,50 bcde 70,90 115 bcde 9637/Kawi-D-8-125 61,30 bcd 78,45 99 cdef 9837/Kawi-D-3-185 57,95 bcde 73,10 68 f Wilis/9837-D-6-220 48,45 ef 60,68 89 def 9637/Kawi-D-3-185 53,20 cdef 68,03 82 ef 9069/Wilis 49,25 ef 69,13 106 cdef W/Br-35S 48,85 ef 62,55 146 ab I/P-22 51,40 ef 68,80 158 a Cikuray 55,55 cde 72,85 116 abcde Burangrang 71,00 a 85,81 125 abcd Wilis 65,75 ab 79,18 106 bcdef Rata-rata 54,75 70,20 116 Pengaruh genotipe ** ** KK (%) 10,76 21,86 ** = nyata pada p = 0.01 KK = koefisien keragaman Krj = Kuranji, Krb Karangbongkot Angka seklom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT.
Krb 78 d
Rata2 88
105 bcd 91 cd 98 bcd 122 abcd 103 bcd 145 ab
124 109 112 122 122 133
160 a 113 abcd 103 bcd 78 d 111 bcd 144 ab 99 bcd 122 abcd 126 abcd 92 cd 137 abc 112 ** 25,64
137 106 85 83 97 125 122 140 121 108 121 114
120
Dari Tabel 3 terlihat bahwa tinggi tanaman antar lokasi menunjukan perbedaan yang sangat nyata tetapi perbedaan dalam lokasi antar genotif secara umum tidak nyata. Genotif kedelai putih memiliki tinggi tanaman rata-rata 67,3 cm jauh lebih pendek dibanding dengan varietas pembangdingnya varietas Wilis yang memiliki tinggi tanaman 79,2 cm dan sangat berbeda nyata dengan varietas Burangrang yang memiliki tinggi tanaman 85,5 cm. Untuk genotif kedelai hitam tinggi tanaman rata-rata 67,3 cm lebih pendek dibaning dengan varietas pembanding yaitu Cikuray yang memiliki tinggi tanaman 72,85 cm. Lingkungan merupakan sumber ataufaktor potensial sebagai penyebab keragaman tanaman di lapangan (Sitompul dan Guritno 1995) hal ini juga di tegaskan oleh (Jumin 1989) meskipun genotif sama, dalam lingkungan yang berbeda penampilan tanaman akan berbeda. Jumlah polong pertanaman kedelai putih genotif G100H/9305-II memiliki jumlah polong 88 polong sangat berbeda nyata dengan varietas pembanding Wilis dan Burangrang yang masing – masing memiliki polong 121 dan 108, genotif I/P-22 memiliki polong paling banyak yaitu 140 kemudian di ikuti oleh genotif S62Shr/Wil 137 polong , Aochi/Wil-60 133 polong, P/I//P-10 124 polong, I/P-19, Shr/Wil-60, dan W/Br-35S masing-masing memiliki polong yang sama yaitu 122 polong masih lebih banyak di banding dengan varietas pembandingnya yaitu varietas Wilis dan Burangrang. Sementara keragaan polong dari genotif kedelai hitam genotif Wilis/9837-D-6-220; 9837/Kawi-D-3-185; 9637/Kawi-D-3-185 dan 9637/Kawi-D-8-125 memiliki jumlah polong yang tidak berbeda nyata , tetapi genotif 9069/Wilis memiliki polong 125 berbeda nyata dengan ke empat genotif tersebut dan masih lebih banyak jumlah polongnya di banding dengan varietas pembandingnya Cikuray yang memiliki polong 121. Menurut (Rahmat dan Yuyun, 1996) kedelai yang ditanam pada daerah subur dapat menghasilkan antara 100-200 polong pertanaman. Dari Tabel 3. terlihat tinggi tanaman paling tinggi adalah varietas Burangrang 85.5 cm dan tinggi tanaman terendah 60.68 cm genotif Wilis/9837-D-6-220. Ternyata tinggi tanaman tidak berpengaruh terhadap produksi sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Produktifitas genotif Wilis/9837-D-6-220 lebih tinggi dibanding dengan hasil biji varietas Burangrang. Sementara keragaan jumlah polong genotif I/P-22 memiliki polong 140 sedangkan genotif G100H/9305-II hanya 88 polong, tetapi produktifitas tanaman genotif G100H/9305-II jauh lebih tinggi, hal ini karena bobot 100 biji antara kedua genotif jauh berbeda. Tabel 4. Ukuran biji dan Hasil Biji dari 18 Genotipe Kedelai. Lombok Barat, MK 2006. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Genotipe G100H/9305-II P/I//P-10 P/I//P-12 G100H/P//P-15 I/P-19 Shr/Wil-60 Aochi/Wil-60 S62Shr/Wil 9637/Kawi-D-8-125 9837/Kawi-D-3-185 Wilis/9837-D-6-220 9637/Kawi-D-3-185 9069/Wilis W/Br-35S I/P-22 Cikuray Burangrang Wilis Rata-rata
Bobot 100 biji (g) Krj 14.27 bc 10.10 fg 10.21 fg 9.78 g 11.00 efg 12.49 d 13.86 c 14.11 c 14.89 abc 15.22 abc 15.60 ab 14.34 bc 11.12 defg 12.03 de 11.26 defg 11.56 def 16.22 a 10.08f g 12.67
Krb 16.12 ab 11.99 de 10.40 e 10.78 e 12.08 de 13.13 cd 14.95 ab 14.33 bc 15.89 ab 16.26 ab 16.89 a 15.41 ab 11.91 de 11.82 de 10.99 e 11.32 de 15.57 ab 11.14 e 13.39
Hasil (t/ha) Rata2
15.19 11.04 10.30 10.28 11.54 12.81 14.40 14.22 15.39 15.74 16.24 14.88 11.52 11.93 11.12 11.44 15.89 10.61 13.03
Krj
Krb
1.91 bc 1.45 fg 1.34 gh 1.24 h 1.47 fg 1.81 cd 1.56 ef 1.55 ef 2.27 a 1.95 bc 2.03 b 2.39 a 2.04 b 1.42 fg 1.54 f 1.73 de 1.59 ef 1.98 bc 1.74
2.41 ab 1.39 hi 1.30 i 1.50 hi 1.56 ghi 1.98 de 2.02 cde 1.83 efg 2.65 a 2.47 ab 2.08 cde 2.50 ab 2.09 cde 1.56 ghi 1.64 fgh 1.92 ef 2.27 bcd 2.31 bc 1.97
Rata2 2.16 1.42 1.32 1.37 1.51 1.90 1.79 1.69 2.46 2.21 2.05 2.45 2.07 1.49 1.59 1.83 1.93 2.15 1.85
Pengaruh genotipe ** ** ** ** KK (%) 7.23 8.94 6.59 10.19 ** = nyata pada p = 0.01 KK = koefisien keragaman Krj = Kuranji, Krb Karangbongkot Angka seklom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bobot 100 biji. Menurut Muchlis Adie (2005) berat dan ukuran biji merupakan sifat kuantitatif dari faktor genetik yang pada kondisi tertentu akan berubah-ubah sesuai lingkungan tumbuh tanaman. Dari masing-masing genotif kedelai putih genotif G100H/9305-II memiliki bobot 15.19 gr berbeda nyata dengan genotif P/I//P-10; P/I//P-12; G100H/P//P-15, I/P-19, dan varietas Wilis,
121
tetapi tidak berbeda dengan bobot 100 biji varietas Burangrang 15.89. keragaan lain yang bisa dilihat dari genotif kedelai putih memiliki bobot 100 biji berkisar 11 gr kecuali genotif G100H/9305-II yang memiliki bobot 15.19 gr. Sementara keragaan kedelai hitam pada parameter bobot 100 biji menunjukan bahwa ke empat genotif 9637/Kawi-D-8-125; 9837/Kawi-D-3-185; Wilis/9837-D-6-220; 9637/Kawi-D-3-185 memiliki bobot 100 biji yang tidak berbeda nyata, dengan rata-rata bobot 100 biji 15.56 gr, tetapi sangat berbeda nyata dengan bobot 100 biji genotif 9069/Wilis dan varietas pembanding yang masing-masing memiliki bobot 11,52 gr dan 11,44 gr. Di Indonesia ukuran biji kedelai diklasifikasikan dalam 3 kelas yaitu biji kecil (6-10 gr/100 biji), sedang (11-12 gr/100 biji) dan besar (13 gr atau lebih/100 biji) Keragaan hasil biji (ton/ ha). Dilihat dari produktifitas tanaman per hektar untuk setiap genotif yang di uji, kedelai putih genotif G100H/9305-II memiliki potensi hasil yang jauh lebih tinggi yaitu 2.16 ton per hektar di banding genotif lain yang rata-rata memiliki hasil 1.56 ton per hektar, dan juga dengan varietas Burangrang , tetapi tidak berbeda nyata dengan hasil biji varietas Wilis yakni 2.15 ton per hektar. Sementra kita lihat keragaan produktifitas kedelai hitam semua genotif yang diuji memiliki potensi hasil tidak berbeda nyata antar genotif yaitu rata-rata 2,24 ton per ha, tetapi sangat nyata berbeda dengan produksi varietas Cikuray sebagai pembanding yang memiliki hasil 1,83 ton per hektar.
KESIMPULAN Keragaman penampilan tanaman di lapangan di pengaruhi perbedaan genotif dan lingkungan Genotif G100H/9305-II (kedelai putih, biji besar) memiliki potensi hasil tertinggi dan daya adaptasi yang relatif stabil pada lahan sawah. Genotif Shr/Wil-60 umur panennya relatif pendek 79 hari, dan potensi hasil yang relatif tinggi 1.9 ton per hektar. Semua genotif kedelai Kedelai hitam layak untuk diusulkan untuk pelepasan varietas unggul baru karena memenuhi kriteria yaitu potensi hasil jauh lebih tinggi dibanding varietas Cikuray sebagai kontrol. Perlu di uji lagi pada lokasi yang agrokilmatnya berbeda untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi hasil.
DAFTAR PUSTAKA Adie.M.2005. TeknologiProduksi Benih Sumber Kacang-kacangan. Materi pelatihanpengelolaan benih sumber. Balitkabi Malang Adisarwanto.T, A.Kasno, N.Saleh, Budhi.S.R, Marwotro, Sumarno. 1992. Studi Sumber Pertumbuhan Baru Produksi Kedelai di Nusa Tenggara Barat. Adisarwanto.T, N.Saleh, Marwoto, N.Sunarlim. 2000. Teknologi Produksi Kedelai .Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Adisarwanto, T., dan R. Wudianto, 1997. Meningkatkan Hasil Panen Kedelaidi Lahan Sawah - KeringPasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta Anonimaus. 1991. Budidaya dan Pengelolaan Hasil Kedelei. Departemen Pertanian. Biro Pusat Statistik NTB, 2004. Nusa Tenggara Barat dalam Angka tahun 1998 sampai Tahun 2003 Darman.M.Arsyad, J.Soejitno, A.Kasno, Sudaryono, A.A Rahmiana, Suharsono, Joko.S.Utomo, 2002. Kinerja Teknologi Untuk Meningkatkan Produktifitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian . Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ibrahim Manwan, Sumarno, A.Syarifudin.K, Achmad.M.Fagi, 1990 Teknologi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia J.R.Hidayat, S.A.S.Wityanara, K.Pirngadi, S.Kartaatmadja, A.M.Fagi. 1993. Teknik Budidaya Kedelai di Lahan Sawah Irigasi. Jumin, H. B, 1995. Ekologi Tanaman suatau pendekatan Fisiologi. Rajawali Press, Jakarta. Sitompul, S. M., dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
122
PEMANFAATAN UMBI UBI JALAR SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN ES KRIM Dian Adi A. Elisabeth, M.A. Widyaningsih, dan I K. Kariada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Teknologi pengolahan pangan modern telah menghasilkan kreasi baru olahan ubi jalar, salah satunya adalah es krim ubi jalar. Es krim adalah produk pangan beku yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan (desert) dengan bahan-bahan utama dalam pembuatannya seperti lemak, bahan kering tanpa lemak (BKTL) atau padatan bukan lemak, bahan pemanis, bahan penstabil, dan bahan pengemulsi. Penelitian untuk melihat pengaruh subtitusi susu skim dengan ubi jalar sebagai sumber padatan bukan lemak terhadap tingkat kesukaan (preferensi) panelis telah dilakukan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali pada bulan Februari sampai Maret 2007. Perlakuan yang digunakan adalah perbandingan penggunaan susu skim dan ubi jalar, yaitu sebagai berikut : (1) susu skim : ubi jalar = 0% : 10%; (2) susu skim : ubi jalar = 2,5% : 7,5%; (3) susu skim : ubi jalar = 5% : 5%; (4) susu skim : ubi jalar = 7,5% : 2,5%; dan (5) susu skim : ubi jalar = 10% : 0% (= kontrol). Analisis yang digunakan adalah analisis organoleptik berupa uji hedonik. Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, dengan menggunakan 15 panelis semi terlatih yang sekaligus dipakai sebagai ulangan. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terhadap over run es krim dan kecepatan meleleh di suhu ruang. Hasil analisis menunjukkan bahwa subtitusi susu skim dengan umbi ubi jalar kukus sebagai padatan bukan lemak dalam pembuatan es krim dapat diterima oleh panelis. Es krim dengan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% memiliki mutu yang baik, dari segi organoleptik, over run, dan kecepatan meleleh. Kata kunci : es krim ubi jalar, uji hedonik, over run, kecepatan meleleh
PENDAHULUAN Tanaman ubi jalar (Ipomea batatas) berasal dari Amerika bagian Tengah dan pada sekitar tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar dan ditanam di hampir seluruh wilayah Indonesia (Rukmana, H. R, 2001). Karakteristik umbi ubi jalar atau sweet potato adalah warna kulit antara jingga muda, jingga sampai cokelat muda, warna daging umbi jingga muda, jingga sampai kuning, dan rasa umbi manis, manis agak berair, manis berair sampai manis enak tergantung pada varietasnya. Beberapa varietas ubi jalar adalah seperti Daya, Prambanan, Borobudur, Mendut, dan Kalasan. Di tiap daerah di Indonesia, selalu ada varietas lokal ubi jalar dimana rata-rata tiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda dengan keunggulan tertentu, seperti Ubi Selat Jawa Timur yang warna dagingnya dominan ungu dengan selingan cokelat-jingga dan terkenal sebagai bahan pembuatan keripik, Ubi Gunung Kawi yang jika dikukus warna kulit umbi akan mengkilap dan rasanya sangat manis, Ubi Madu Cilembu yang istimewa karena umbinya yang dipanggang mengeluarkan cairan kental dengan rasa yang sangat manis, Ubi Bali yang sering disajikan sebagai pendamping buah-buahan dalam pembuatan rujak manis, Ubi Papua yang diduga merupakan indukan dari varietas ubi jepang, dan Ubi Jepang yang cukup populer di Indonesia dengan berbagai varietas seperti ibaraki, beniazuma, dan naruto (Hartoyo, T, 2004). Secara umum kandungan gizi umbi ubi jalar seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Ubi Jalar Kandungan Energi (KJ/100 g) Protein (%) Lemak (%) Pati (%) Gula (%) Serat makanan (%) Kalsium (mg/100g) Fosfor (mg/100g) Besi (mg/100 g) Vitamin A (mg/100 g) Vitamin B1 (mg/100 g) Vitamin C (mg/100 g) Air (g) Sumber : Hendroatmojo (1990) dalam Hartoyo, T (2004)
Komposisi 71,1 1,43 0,17 22,4 2,4 1,6 29 51 0,49 0,01 0,09 24 83,3
123
Berat kering umbi adalah 16-40% berat basah. Potensi besar ubi jalar terutama terletak pada kandungan karbohidrat, dimana sebanyak 75-90% berat kering umbi merupakan gabungan dari pati, gula, dan serat seperti selulosa, hemiselulosa, dan pektin (Hartoyo, T, 2004). Karbohidrat di dalam umbi ini telah banyak diolah lebih lanjut. Teknik olahan tradisional yang sudah banyak diterapkan di masyarakat dalam bentuk beberapa jajanan lokal, seperti kue apem, kue mangkok, dan pilus dari ubi jalar, termasuk juga keripik ubi jalar. Teknologi pengolahan pangan modern juga telah banyak berperan menghasilkan kreasi baru olahan ubi jalar, dengan bentuk yang paling banyak berupa jajanan atau makanan ringan (snack food). Dalam pembuatan makanan ini, ubi jalar dapat berperan sebagai bahan utama atau bahan pensubtitusi. Salah satu jenis makanan yang memanfaatkan umbi ubi jalar sebagai bahan bakunya adalah es krim. Es krim adalah produk pangan beku yang dibuat melalui kombinasi proses pembekuan dan agitasi pada bahan-bahan yang terdiri dari susu dan produk susu, pemanis, penstabil, pengemulsi, serta penambah citarasa (flavor). Es krim biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan (desert) dan dikelompokkan dalam makanan camilan (snack). Prinsip pembuatan es krim adalah membentuk rongga udara pada campuran bahan es krim atau Ice Cream Mix (ICM) sehingga diperoleh pengembangan volume yang membuat es krim menjadi lebih ringan, tidak terlalu padat, dan mempunyai tekstur yang lembut (Padaga, M, dkk, 2005). Syarat mutu es krim menurut SII (Standar Industri Indonesia) Nomor 1617 Tahun 1985 dalam Padaga, M, dkk (2005) adalah sebagai berikut : Bahan Lemak (%) Padatan susu bukan lemak (%) Gula (%)
Standar : : :
Minimal 8,0 Minimal 6,0-15,0 Minimal 12,0
Pemantap, pengemulsi Zat warna Pemanis buatan
: : :
Sesuai SK Depkes RI No. 235/Menkes/Per/VI/79
Jumlah bakteri
:
Negatif
: :
Tidak terdapat Tidak terdapat
Bahan Tambahan :
Logam-logam berbahaya : Cu, Zn, Pb, Hg Arsen
Bahan-bahan utama yang diperlukan dalam pembuatan es krim antara lain : lemak, bahan kering tanpa lemak (BKTL), bahan pemanis, bahan penstabil, dan bahan pengemulsi. Lemak susu (krim) merupakan sumber lemak yang paling baik untuk mendapatkan es krim berkualitas baik. Lemak susu berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi es krim, menambah citarasa, menghasilkan karakteristik tekstur yang lembut, membantu memberikan bentuk dan kepadatan, serta memberikan sifat meleleh yang baik. Bahan kering tanpa lemak (BKTL) berfungsi untuk meningkatkan kandungan padatan di dalam es krim sehingga lebih kental. BKTL juga penting sebagai sumber protein sehingga dapat meningkatkan nilai nutrisi es krim. Unsur protein dalam pembuatan es krim berfungsi untuk menstabilkan emulsi lemak setelah proses homogenisasi, menambah citarasa, membantu pembuihan, meningkatkan dan menstabilkan daya ikat air yang berpengaruh pada kekentalan dan tekstur es krim yang lembut; juga dapat meningkatkan nilai over run es krim. Sumber BKTL antara lain susu skim, susu kental manis, dan bubuk whey (Padaga, M, dkk, 2005). Bahan pemanis yang umum digunakan dalam pembuatan es krim adalah gula pasir (sukrosa) dan gula bit. Bahan pemanis selain berfungsi memberikan rasa manis, juga dapat meningkatkan citarasa, menurunkan titik beku yang dapat membentuk kristal-kristal es krim yang halus sehingga meningkatkan penerimaan dan kesukaan konsumen. Penambahan bahan pemanis sekitar 12 sampai 16 gram per 100 gram campuran es krim akan menghasilkan es krim dengan tekstur yang halus. Laktosa (gula dari susu) juga merupakan sumber pemanis selain gula yang ditambahkan dari luar. Laktosa berfungsi untuk menahan titik beku sehingga es krim masih mengandung air yang tidak membeku jika disimpan pada temperatur yang sangat rendah (-15 sampai -18°C). Jika seluruh air di dalam es krim membeku selama penyimpanan, tekstur es krim akan menjadi keras dan sulit disendok (Padaga, M, dkk, 2005). Bahan penstabil yang umum digunakan dalam pembuatan es krim adalah CMC (carboxy methyl celulose), gum arab, sodium alginat, karagenan, dan agar. Bahan penstabil berperan untuk meningkatkan kekentalan ICM terutama pada saat sebelum dibekukan dan memperpanjang masa simpan es krim karena dapat mencegah kristalisasi es selama penyimpanan. Bahan pengemulsi utama yang digunakan dalam pembuatan es krim adalah kuning telur, juga minyak hewan atau nabati. Bahan pengemulsi bertujuan untuk
124
memperbaiki struktur lemak dan distribusi udara dalam ICM, meningkatkan kekompakan bahan-bahan dalam ICM sehingga diperoleh es krim yang lembut, dan meningkatkan ketahanan es krim terhadap pelelehan bahan. Campuran bahan pengemulsi dan penstabil akan menghasilkan es krim dengan tekstur yang lembut (Padaga, M, dkk, 2005). Es krim yang baik harus memenuhi persyaratan komposisi umum ICM (Ice Cream Mix) atau campuran es krim sebagai berikut : Lemak susu
: 10-16%
Bahan kering tanpa lemak
: 9-12%
Bahan pemanis gula
: 12-16%
Bahan penstabil
: 0-0,4%
Bahan pengemulsi
: 0-0,25%
Air
: 55-64%
Sumber : Padaga, M, dkk (2005)
Proses pembuatan es krim dimulai dengan pencampuran bahan-bahan yang dilakukan dengan cara melarutkan atau mencampurkan bahan-bahan kering ke dalam bahan cair pada kondisi hangat (40°C), lalu sambil dipanaskan dimasukkan bahan penstabil dan bahan pengemulsi sampai diperoleh campuran homogen yang disebut ICM. Campuran kemudian dipasteurisasi pada suhu 80°C selama 25 detik, sambil terus diaduk. Pasteurisasi bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen, melarutkan bahan kering, dan meningkatkan citarasa. Selanjutnya ICM didinginkan sampai suhu ruang untuk dihomogenisasi dengan tujuan memecah globula lemak sehingga ukurannya lebih kecil dan dapat menyebar rata sehingga dihasilkan es krim dengan tekstur yang tidak kasar, mempunyai citarasa yang merata, dan daya buih yang baik. Homogenisasi pada pembuatan es krim skala rumah tangga dapat menggunakan blender atau mixer. Homogenisasi sebaiknya dilakukan saat kondisi ICM masih hangat (Padaga, M, dkk, 2005). ICM kemudian di-aging, yang merupakan proses pematangan ICM dalam refrigerator bersuhu 4°C selama 4-12 jam. Tujuan aging adalah untuk menghasilkan ICM yang lebih kental, lebih halus, tampak lebih mengkilap, dan memperbaiki tekstur. Setelah proses aging, dilakukan proses homogenisasi kembali. Selanjutnya ICM dibekukan dengan cepat untuk mencegah terbentuknya kristal es yang kasar. Pembekuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pada suhu -5 sampai -8°C dan tahap kedua pada suhu sampai –30oC. Proses pembekuan yang dikombinasi dengan proses agitasi bertujuan untuk memasukkan udara ke dalam ICM sehingga dihasilkan volume es krim dengan over run yang sesuai standar es krim. Dalam skala rumah tangga, proses agitasi dapat dilakukan dengan menggunakan mixer berulang-ulang diselingi dengan proses pembekuan di dalam freezer. Setelah itu, es krim dapat dikemas dalah wadah-wadah kecil dan disimpan dalam freezer untuk proses pembekuan. Kualitas es krim akan tetap stabil pada suhu penyimpanan 25 sampai -30°C (Padaga, M, dkk, 2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh subtitusi susu skim dengan ubi jalar sebagai sumber padatan bukan lemak terhadap tingkat kesukaan (preferensi) panelis.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali pada bulan Februari sampai Maret 2007 Alat dan bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ubi jalar varietas lokal dengan warna daging umbi kuning-orange, susu bubuk skim, susu bubuk full krim, whipped cream, gula pasir, telur, agar-agar, garam, dan air. Sementara, alat yang digunakan dalam penelitian adalah pisau, timbangan, panci pengukus, kompor gas, blender, mixer, panci, sendok pengaduk, thermometer, dan lemari pendingin (dengan refrigerator dan freezer). Formulasi bahan yang digunakan dalam pembuatan es krim ubi jalar ini mengacu pada Padaga, M, dkk (2005), yaitu sebagai berikut : padatan lemak 10% berupa susu bubuk full krim dan whipped cream, padatan bukan lemak 10% berupa susu bubuk skim dan umbi ubi jalar, bahan pemanis 15% berupa gula
125
pasir, bahan penstabil 0,5% berupa agar-agar dan putih telur, bahan pengemulsi berupa kuning telur, garam sebagai pengikat air, dan air. Metode pembuatan Proses dasar dalam pembuatan es krim meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan, pasteurisasi, homogenisasi, pematangan (aging), pembekuan dan agitasi, pengemasan, pembekuan, dan penyimpanan (Padaga, M, dkk, 2005). Proses pembuatan es krim yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut : (1) Umbi dicuci, dikukus, lalu dikupas; (2) Dihaluskan; (3) Kuning telur dikocok sampai mengembang; (4) Bahanbahan kering dimasukkan ke dalam air hangat sambil diaduk; (5) Campuran dipanaskan, sambil kuning telur, putih telur, dan agar-agar dimasukkan dan terus diaduk; (6) Dipasteurisasi pada suhu 80-85oC selama 25 detik; (7) Adonan diangkat, didinginkan sampai suam-suam kuku, kemudian dihomogenisasi selama 15 menit; (8) Adonan disimpan di dalam refrigerator selama 4 jam untuk proses aging; (9) Dihomogenisasi ulang selama 15 menit; (10) Adonan disimpan di dalam freezer sampai setengah beku lalu diagitasi selama 15 menit; (11) Dikemas dalam wadah-wadah kemudian disimpan kembali ke dalam freezer. Metode analisis Perlakuan yang digunakan dalam penelitian adalah perbandingan penggunaan susu skim dan ubi jalar sebagai padatan bukan lemak, yaitu sebagai berikut : susu skim : ubi jalar = 0% : 10% (kode 801), susu skim : ubi jalar = 2,5% : 7,5% (kode 675), susu skim : ubi jalar = 5% : 5% (kode 305), susu skim : ubi jalar = 7,5% : 2,5% (kode 725), dan susu skim : ubi jalar = 10% : 0% (= kontrol, kode 400). Perbandingan penggunaan susu skim dan ubi jalar di atas adalah perbandingan untuk berat kering; sementara dalam penelitian digunakan umbi ubi jalar yang dikukus (berat basah) sehingga digunakan asumsi bahwa berat basah ubi jalar adalah sekitar 4 kali berat keringnya (berdasarkan Hartoyo, T (2004), dimana berat kering umbi adalah 16-40% berat basah atau rata-rata sekitar 28%). Analisis yang dilakukan adalah analisis organoleptik berupa uji hedonik (skala 1-sangat tidak suka sampai 7-sangat suka) untuk melihat tingkat kesukaan (preferensi) panelis terhadap produk es krim ubi jalar. Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, dengan menggunakan 15 panelis semi terlatih yang sekaligus dipakai sebagai ulangan. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terhadap over run es krim dan kecepatan meleleh di suhu ruang. Over run dihitung dalam bentuk persentase over run berdasarkan perbedaan volume es krim dan ICM (=Ice Cream Mix) atau campuran es krim; sementara kecepatan meleleh dinyatakan dalam menit untuk melihat ketahanan es krim terhadap pelelehan pada saat dihidangkan di suhu ruang. % Over run = (Volume es krim – Volume ICM)/ Volume ICM * 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Hedonik Es Krim Ubi Jalar Menurut Padaga, M, dkk (2005), pada dasarnya kualitas es krim ditentukan oleh tekstur, rasa, bau, over run, dan kecepatan meleleh. Tabel 2 menyajikan hasil analisis organoleptik es krim ubi jalar, dengan atribut mutu organoleptik yang dinilai adalah warna, aroma, mouthfeel (tekstur di mulut), rasa, kecepatan meleleh, dan penampilan produk es krim secara umum. Secara umum berdasarkan hasil analisis organoleptik, es krim dengan perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% memiliki rata-rata skor hedonik terbaik dan tidak berbeda nyata dengan ratarata skor hedonik perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 2,5% : 7,5% dan kontrol.Rata-rata skor hedonik perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% tertinggi untuk atribut warna, aroma, mouthfeel, rasa, dan penampilan secara umum; namun tidak untuk kecepatan meleleh (Tabel 2).Sementara, secara umum rata-rata skor hedonik terendah adalah untuk perlakuan penggunaan 10% umbi ubi jalar, kecuali untuk atribut kecepatan meleleh yang skor hedoniknya tertinggi dibandingkan perlakuan lain.
126
Tabel 2. Hasil Analisis Organoleptik (Uji Hedonik) Es Krim Ubi Jalar Atribut mutu organoleptik
Skor Hedonik untuk Perlakuan 810
675
Warna 3,69 4,81 Aroma 4,38 4,93 Mouthfeel 4,00 5,63 Rasa 3,56 5,81 Kecepatan meleleh 5,38 4,94 Penampilan secara umum 3,44 5,73 Rata-rata 4,07 c 5,31 ab Keterangan : Perbandingan padatan bukan lemak 810 = Susu Skim : Ubi Jalar = 0% : 10% 675 = Susu Skim : Ubi Jalar = 2,5% : 7,5% 305 = Susu Skim : Ubi Jalar = 5% : 5% 725 = Susu Skim : Ubi Jalar = 7,5% : 2,5% 400 = Susu Skim : Ubi Jalar = 10% : 0% (Kontrol)
305
725
5,00 4,69 5,38 5,44 4,50 5,06 5,01 b
6,31 5,56 6,07 6,31 4,63 6,25 5,85 a
400 6,19 5,19 5,94 6,00 4,00 5,88 5,53 ab
Penilaian hedonik panelis untuk atribut warna es krim bervariasi antara 3,69 sampai 6,19 (agak tidak suka sampai sangat suka), Rata-rata skor hedonik terendah diperoleh oleh perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 0% : 10%. Rata-rata skor hedonik semakin meningkat dengan semakin berkurangnya konsentrasi umbi ubi jalar kukus yang digunakan sebagai pensubtitusi (Tabel 2). Warna umbi ubi jalar yang kuning-orange memang berpengaruh pada warna produk es krim, dimana semakin banyak konsentrasi penggunaan ubi jalar, warna es krim akan semakin kekuningan dan tampaknya hal ini kurang diminati oleh panelis, Warna es krim yang diminati adalah warna putih susu seperti perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% dan kontrol. Rasa dalam es krim merupakan kombinasi cita rasa dan bau (aroma), yang diciptakan untuk memenuhi selera konsumen. Pada umumnya, rasa dan aroma es krim merupakan satu kesatuan yang saling menunjang karena hal pertama yang akan diperhatikan oleh konsumen saat membeli es krim adalah rasa dan aromanya, Dari hasil analisis organoleptik, tampak ada korelasi positif antara skor hedonik terhadap aroma dan skor hedonik terhadap rasa es krim ubi jalar yang diberikan oleh panelis, dimana peningkatan skor hedonik terhadap aroma diikuti pula dengan peningkatan skor hedonik terhadap rasa (Tabel 2). Semakin banyak konsentrasi subtitusi umbi ubi jalar kukus, semakin rendah skor penilaian panelis terhadap aroma dan rasa es krim ubi jalar. Tampaknya panelis tetap lebih menyukai es krim dengan cita rasa dan aroma susu yang masih terasa dibandingkan es krim dengan cita rasa dan aroma ubi jalar yang terlalu menonjol. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata skor penilaian hedonik panelis untuk es krim dengan perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% yang tertinggi, yaitu 5,56 (agak suka sampai suka) untuk aroma dan 6,31 ( suka sampai sangat suka) untuk rasa; dilanjutkan dengan rata-rata skor hedonik untuk aroma dan ras produk es krim kontrol yang padatan bukan lemaknya murni berasal dari susu skim (Tabel 2). Menurut Padaga, M, dkk (2005), rasa sangat mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap es krim, bahkan dapat dikatakan merupakan faktor penentu utama. Saat ini, rasa es krim di pasaran sudah sangat beragam sehingga diperlukan kejelian dan kreativitas untuk memadupadankan rasa yang menjadi kegemaran konsumen. Rasa es krim juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti bahan pengental yang dapat mengurangi rasa manis gula dan perubahan tekstur yang dapat mengubah cita rasa es krim. Penilaian hedonik panelis untuk atribut mouthfeel (tekstur di mulut) bervariasi antara 4,0 sampai 6,07 (netral sampai sangat suka). Rata-rata skor hedonik tertinggi didapatkan oleh perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5%; sementara rata-rata skor hedonik terendah didapatkan oleh perlakuan es krim yang padatan bukan lemaknya murni berasal dari umbi ubi jalar kukus. Tekstur es krim dipengaruhi oleh ukuran dari kristal es, globula lemak, gelembung udara, dan kristal laktosa (Suprayitno, E, dkk, 2001); sementara, menurut Padaga, M, dkk (2005), tekstur lembut es krim sangat dipengaruhi oleh komposisi ICM, cara mengolah, dan kondisi penyimpanan. Tekstur es krim yang baik adalah halus/ lembut (smooth), tidak keras, dan tampak mengkilap (Padaga, M, dkk, 2005); sementara, tekstur yang buruk adalah greasy (terasa ada gumpalan lemak), grainy (terasa seperti tepung), flaky/snowy (terasa ada serpihan es), lumpy/gelatin (seperti jelly), dan sandy (berpasir) (Suprayitno, E, dkk, 2001). Berdasarkan penilaian panelis terhadap atribut kecepatan meleleh didapatkan bahwa es krim dengan perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% paling disukai karena tidak cepat meleleh pada suhu ruang. Subtitusi susu skim dengan umbi ubi jalar kukus tampaknya mempengaruhi kekentalan adonan es krim, dimana semakin tinggi konsentrasi penggunaan umbi ubi jalar kukus, semakin kental adonan es
127
krim. Hal ini berpengaruh lanjut pada kecepatan meleleh es krim yang semakin lambat dan tekstur es krim yang cenderung menjadi keras. Panelis menilai bahwa penampilan secara umum es krim dengan perlakuan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% adalah terbaik dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk kontrol, yaitu 6,25 (suka sampai sangat suka); sementara, es krim dengan perlakuan penggunaan ubi jalar 10% memperoleh rata-rata skor hedonik terendah, yaitu 3,44 (agak tidak suka sampai netral). Over Run dan Kecepatan Meleleh Es Krim Ubi Jalar Over run menunjukkan banyak sedikitnya udara yang terperangkap di dalam campuran es krim atau ICM karena proses agitasi. Over run mempengaruhi tekstur dan kepadatan yang sangat menentukan kualitas es krim. Adanya udara dalam ICM akan membentuk rongga-rongga udara yang akan segera terlepas bersamaan dengan melelehnya es krim. Semakin banyak rongga udara akan menyebabkan es krim cepat menyusut dan meleleh pada suhu ruang. Es krim yang berkualitas memiliki over run 70-80%; sedangkan untuk industri rumah tangga 35-50% (Padaga, M, dkk, 2004; Suprayitno, E, dkk, 2001). Tabel 3, Pengamatan Over Run dan Kecepatan Meleleh Es Krim Ubi Jalar Variabel Over run (%)
810
675
Perlakuan 305
725
400
22,22
28,57
54,84
41,38
63,33
2,12
1,41
0,41
Kecepatan meleleh (menit) 8,58 2,28 Keterangan : erbandingan padatan bukan lemak 10 = Susu Skim : Ubi Jalar = 0% : 10% 75 = Susu Skim : Ubi Jalar = 2,5% : 7,5% 05 = Susu Skim : Ubi Jalar = 5% : 5% 25 = Susu Skim : Ubi Jalar = 7,5% : 2,5% 00 = Susu Skim : Ubi Jalar = 10% : 0% (Kontrol)
Peningkatan konsentrasi subtitusi susu skim dengan ubi jalar kukus tampaknya dapat meningkatkan kekentalan (viskositas) ICM sehingga semakin membatasi mobilitas molekul air karena ruang antar partikel di dalam ICM menjadi semakin sempit. Sempitnya ruang antar partikel menyebabkan udara yang masuk ke dalam ICM selama agitasi semakin sedikit sehingga nilai over run yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan over run pada Tabel 3, dimana dengan semakin banyaknya penggunaan umbi ubi jalar kukus sebagai pensubtitusi susu skim, nilai over run cenderung semakin rendah.Over run yang terlalu rendah dapat menyebabkan es krim beku menjadi produk yang terlalu keras dan lembek seperti puding; sementara over run yang terlalu tinggi menyebabkan es krim terlalu lunak, cepat meleleh, dan memiliki rasa yang hambar (Suprayitno, E, dkk, 2001), Turunnya nilai over run disertai dengan semakin tahannya es krim terhadap proses pelelehan dari suhu beku ke suhu ruang sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk melelehkan es krim. Dari hasil pengamatan terhadap kecepatan meleleh es krim ubi jalar, tampak bahwa es krim dengan over run rendah memiliki kecepatan meleleh yang cenderung lebih lama (Tabel 3). Kecepatan meleleh es krim sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ICM, Es krim yang baik adalah es krim yang tahan terhadap pelelehan pada saat dihidangkan pada suhu ruang. Es krim yang cepat meleleh kurang disukai karena es krim akan segera mencair pada suhu ruang; namun juga perlu diperhatikan bahwa es krim yang lambat meleleh atau kecepatan melelehnya terlalu rendah juga tidak disukai oleh konsumen karena bentuk es krim yang tetap (tidak berubah) pada suhu ruang sehingga memberikan kesan terlalu banyak padatan yang digunakan (Padaga, M, dkk, 2005). Dari hasil pengamatan terhadap nilai over run dan kecepatan meleleh es krim ubi jalar, es krim dengan perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5% menunjukkan mutu es krim yang baik.
KESIMPULAN 1.
Subtitusi susu skim sebagai padatan bukan lemak dalam pembuatan es krim dengan ubi jalar kukus dapat diterima oleh panelis.
2.
Perbedaan konsentrasi subtitusi susu skim dengan ubi jalar kukus berpengaruh terhadap mutu es krim.
3.
Es krim yang dibuat dari susu skim dan ubi jalar kukus dengan perbandingan 3 : 1 (7,5% : 2,5%) menunjukkan mutu es krim yang baik.
128
DAFTAR PUSTAKA Hartoyo, T, 2004, Olahan dari Ubi Jalar, Trubus Agrisarana, Surabaya. Padaga, M dan M, E, Sawitri, 2005, Es Krim yang Sehat, Trubus Agrisarana, Surabaya. Rukmana, H, R, 2001, Aneka Keripik Umbi, Kanisisius, Yogyakarta. Suprayitno, E, H, Kartikaningsih, dan S, Rahayu, 2001, Pembuatan Es Krim dengan Menggunakan Stabilisator Natrium Alginat dari Sargassum sp, Dalam Jurnal Makanan Tradisional Indonesia ISSN: 14108968, Vol, 1 No, 3, Hal, 23-27.
129
KAJIAN PEMANFAATAN BEBERAPA PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG MANIS DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI BERIKLIM BASAH BATURITI TABANAN I.K. Kariada1) , I. B. Aribawa1) dan Moh. Nazam2) 1) Peneliti BPTP Bali 2) Peneliti BPTP NTB
ABSTRAK Pengkajian pemanfaatan beberapa pupuk organik dan anorganik telah dilaksanakan di Dusun Pemuteran, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, termasuk dalam FSZ lahan kering dataran tinggi iklim basah pada MH. 2006. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang dicoba dalam kegiatan ini adalah : P0 = pupuk an-organik (NPK 100-50-50); P1 = pukan babi 5 t/ha; P2 = Pukan babi 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha (pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per minggu s/d 50 HST); P3 = kascing 5 t/ha; P4 = kascing 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha (pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per minggu s/d 50 HST). Parameter tanaman yang diamati adalah : tinggi tanaman umur 50 HST, tinggi tanaman pada saat panen, bobot tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol dan bobot total tongkol per hektar. Hasil analisis menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua parameter tanaman yang diamati. Bobot total jagung muda tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu, 9,00 t/ha. Kata kunci : pupuk organik, anorganik, pertumbuhan dan hasil jagung.
PENDAHULUAN Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan merupakan daerah sentra sayuran di Bali sebagai penyuplai kebutuhan daerah perkotaan Denpasar, Tabanan dan Gianyar serta kebutuhan hotel-hotel di daerah pariwisata. Tanaman jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim yang diusahakan sangat intensif sebagai salah satu sumber pendapatan petani. Akhir-akhir ini kebutuhan jagung khususnya jagung manis semakin meningkat sebagai sumber konsumsi jagung rebus maupun jagung sayur. Kebutuhan tersebut terutama untuk konsumsi di daerah perkotaan, super market, dan daerah pinggiran perkotaan mendukung pariwisata. Sementara limbah jagung segar setelah panen sangat bermanfaat bagi petani sebagai tambahan hijauan pakan ternak. Peran jagung akan semakin strategis dalam pemenuhan karbohidrat dan protein baik sebagai bahan pangan maupun pakan. Sebagai bahan pangan dan pakan, jenis jagung yang ada saat ini pada umumnya adalah jagung komposit, yang memiliki kelemahan dilihat dari nilai nutrisinya. Kandungan protein biji jagung komposit, kekurangan dua asam amino esensial (lisin dan triptofan) masing-masing mengandung hanya 0,05 dan 0,225 dari total protein biji (Kasim, 2003). Akhir-akhir ini budidaya jagung sering diusahakan di lahan dataran rendah maupun dataran tinggi. Dalam penerapan teknik budidaya jagung agar diperoleh tingkat pertumbuhan yang baik maka diperlukan kondisi fisik dan biologis tanah yang berimbang, optimalisasi peroleh sinar matahari, ketersediaan air serta kondisi lingkungan yang baik. Rendahnya produksi selama ini diduga diakibatkan oleh beberapa faktor seperti pemanfaatan varietas yang kurang bermutu, tidak diterapkannya teknologi budidaya dengan baik dan faktor kekeringan sering mengakibatkan tanaman stress, serta tidak optimalnya pemberian input-input pertanian yang dibutuhkan tanaman misalnya pupuk organik. Pada lahan-lahan kering sering ditemukan sifat-sifat lahan yang umumnya memiliki ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang rendah, kadar N rendah, kejenuhan Al yang tinggi, KTK rendah serta beberapa kendala lainnya yang membutuhkan penanganan secara intensif bila diusahakan untuk budidaya tanaman jagung. Dalam upaya tersebut maka faktor-faktor tanah baik fisik maupun kimiawi tanah perlu dibenahi agar produksi tanaman dapat dipertahankan dengan baik. Dengan demikian maka perlu dilakukan pengkajian pemupukan khususnya pemberian pupuk organik pada tanah mengingat kadar C-organik tanah yang dikelola petani secara umum rendah (Kartini, 2000; Adnyana, 2000). Dengan memberikan pupuk organik maka kesuburan tanah dapat ditingkatkan agar produksi jagung dapat dihasilkan dengan baik. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis di lahan kering dataran tinggi beriklim basah.
130
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan pada MH. 2006 dengan menggunakan lahan petani (on farm research). Beberapa sarana produksi disediakan melalui pengkajian serta sebagian dari kebutuhan sarana produksi tersebut diberikan oleh petani sebagai bagian dari partisipasi. Lokasi pengkajian adalah di Dusun Pemuteran, Desa Candikuning Baturiti Tabanan dengan ketinggian 1.100 m dpl. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan. Masing-masing perlakuan tersebut yaitu : P0 = pupuk an-organik (NPK 100-50-50) P1 = pukan babi 5 t/ha P2 = Pukan babi 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha (pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per HST).
minggu s/d 50
P3 = kascing 5 t/ha P4 = kascing 5 t/ha + urine sapi 60 l/ha(pengenceran 10 kali diaplikasikan sekali per minggu s/d 50 HST). Benih jagung yang digunakan adalah jagung manis hibrida ditanam sebanyak 3 biji per lubang. Ukuran petak/plot adalah 4 m x 5m. Pada umur 30 HST dilakukan penjarangan tanaman jagung dan disisakan 2 batang/lubang. Parameter yang diamati meliputi aspek agronomi tanaman jagung yaitu tinggi tanaman umur 50 HST, tinggi tanaman pada saat panen, bobot tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol dan bobot total tongkol per hektar. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5% (Gomez dan Gomez, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis terhadap tinggi tanaman umur 50 HST, menunjukkan perlakuan pemberian pupuk berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 93,43 cm, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P3. Tinggi tanaman terendah terlihat pada perlakuan P1, yaitu 71,43 cm. Perlakuan pemberian pupuk memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap tinggi tanaman menjelang panen. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 228,67 cm, berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, kecuali dengan perlakuan P3. Tinggi tanaman menjelang panen terendah terlihat pada perlakuan P1, yaitu 172,15 cm. Sementara perlakuan pemberian pupuk menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 231,28 g, berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya kecuali dengan perlakuan P3. Bobot tongkol terendah terlihat pada perlakuan P1, yaitu 172,15 g. Hasil analisis statistik terhadap panjang tongkol juga disajikan pada Tabel 1 dimana perlakuan pemberian pupuk menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap panjang tongkol. Panjang tongkol tertinggi pada perlakuan P4, yaitu 21,76 cm, tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain, kecuali dengan perlakuan P1. Panjang tongkol terpendek terlihat pada perlakuan P1, yaitu 16,61 cm. Hasil analisis terhadap diameter tongkol menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) dimana diameter tongkol terbesar terlihat pada perlakuan P4, yaitu 18,83 cm, berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P2 dan P3. Diameter tongkol terkecil terlihat pada perlakuan P1, yaitu 15,10 cm. Selanjutnya hasil analisis statistik terhadap bobot total tongkol menunjukkan pengaruh nyata (P<0,01) terhadap bobot total tongkol. Bobot total tongkol tertinggi terlihat pada perlakuan P4, yaitu 9,00 ton per hektar, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan P2 dan P3.
131
Tabel 1. Pengaruh Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung di Lahan Kering Dataran Tinggi Iklim Basah pada MH. 2006. Perlakuan
Tinggi 50 HST (cm)
Tinggi maximum (cm)
Bobot tongkol (g)
Panjang tongkol (cm)
Diameter tongkol (cm)
Bobot total tongkol ha-1
P0 72,67a 192,89ab 188,72a 16,86b 16,59ab 6,97a P1 71,43a 183,91a 172,15a 16,61a 15,10a 5,95a P2 80,09b 206,59bc 183,91a 19,83b 17,74bc 8,24b P3 90,20cd 223,44d 220,83b 19,98b 17,88bc 8,71b P4 93,43d 228,67d 231,28b 21,76b 18,83c 9,00b KK (%) 4,50 5,50 6,90 8,20 8,60 10,40 Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5 %.
Pertumbuhan tanaman dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan merupakan proses yang tak dapat balik (Gardner et al., 1986). Hardjowigeno (1987) menyebutkan bahwa pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari suatu organisme dan cara yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakan dalam penambahan berat kering, panjang, tinggi ataupun diameter batang. Dalam percobaan ini untuk melihat pengaruh dari perlakuan pemberian pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan hasil tanaman jagung digunakan tinggi tanaman, bobot tongkol, panjang tongkol, diamater tongkol dan bobot total tongkol per hektar. Dalam pengkajian ini terlihat perlakuan pemberian pupuk organic dan anorganik memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter tanaman jagung yang diamati. Pengaruh perlakuan ini diduga disebabkan karena pemberian bahan organic itu sendiri ke dalam tanah. Pemberian pupuk organik ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, menyuburkan tanah dan menambah unsur hara, menambah humus, mempengaruhi kehidupan jazad renik yang hidup dalam tanah, disamping dapat meningkatkan daya mengikat air. Pada tanah dengan kandungan C-organik tinggi unsur hara menjadi lebih tersedia, sehingga pemupukan lebih efisien. Pertumbuhan hasil tanaman jagung dipengaruhi oleh pemberian pupuk organik dan anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kadar bahan organik tanah. Bahan organik tanah merupakan timbunan dari sisa tanaman dan binatang yang sebagian besar telah mengalami pelapukan dan merupakan bahan utama jasad mikro tanah. Bahan organik akan mengalami perubahan terus menerus oleh aktivitas jasad mikro dan tidak mantap. Oleh karena itu bahan organik tanah harus selalu diperbaharui dengan menambah sisa-sisa tanaman maupun bahan organic lainnya. Kadar bahan organik tanah-tanah mineral umumnya rendah, tidak melebihi 5%, tapi pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan produktivitas lahan sangat besar (Hardjowigeno, 1987). Dalam pengkajian ini terlihat pemberian pupuk organik kascing lebih unggul bila dibandingkan dengan pupuk organik dari limbah babi. Hal ini disebabkan karena kascing menyediakan hara (N,P,K, Ca dan Mg) dalam jumlah seimbang dan dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, disamping menyediakan hormon pertumbuhan tanaman (Sutanto, 2002a dan Sutanto 2002b). Kascing mempunyai kelebihan dari pupuk organik lainnya, sehingg sering disebut ” pupuk organik plus” (Kartini, 2000) karena unsur hara yang dikandungnya baik unsur makro maupun mikro dapat langsung terserdia bagi tanaman (Kartini, 2000 dan Trimulat, 2003). Peranan pupuk organik kascing pada tanah telah diinformasikan cukup baik misalnya pada pupuk organik kascing mengandung komposisi cukup baik antara lain unsur N = 1,99%, P = 3,92%, K = 0,69%, S = 0,26%, Cu = 0,045% serta Fe = 0,081% (C.V. Sarana Petani Bali, 2000) sementara menurut Suwardi (2004) kascing mempunyai kandungan unsur hara yang sangat baik yaitu pH 6,8; N-total 1,9%; Ca tersedia 30 meq/100gr, Mg tersedia 15,23 meq/100gr serta KTK 69,0 meq/100gr yang mampu mendukung perkembangan dan pertumbuhan jaringan dengan baik. Hal yang hampir sama juga dihasilkan oleh Kariada et al. (2004) dimana peran pupuk kascing secara nyata mampu meningkatkan pH tanah, menyediakan unsur N, P dan K tersedia bagi tanaman dengan hasil analisis yang semuanya berskala tinggi hingga sangat tinggi. Adanya kelebihan kualitas pada pupuk organik kascing menyebabkan bobot tongkol total yang dihasilkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini juga didukung oleh kopmponen pertumbuhan seperti tinggi tanaman dan kompoenen hasil seperti bobot tongkol, panjang tongkol dan diameter tongkol pada perlakuan pemberian pupuk organik kascing lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
132
Perlakuan penambahan pemberian urine sapi dengan dosis 60 l/ha yang diberikan setelah diencerkan 10 kali, terlihat berpengaruh nyata pada pemberian pupuk organik limbah babi. Hal ini terlihat dari bobot tongkol total yang dihasilkan dan parameter yang lainnya berbeda nyata bila dibandingkan dengan pemberian pupuk organik limbah babi secara tersendiri. Perbedaan ini diduga disebabkan karena unsur hara yang terdapat pada limbah babi kualitas dan kuantitasnya lebih rendah. Urine sapi yang diberikan pada pertanaman jagung akan dapat menambah kadar hara yang diserap oleh tanaman jagung, baik melalui daun maupun akar tanaman dari urine yang jatuh ke tanah. Urine sapi yang diberikan ke pertanaman jagung mengandung unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Sebaliknya pemberian urine sapi pada pemberian pupuk organik kascing tidak berpengaruh terhadap bobot tongkol total. Hal ini diduga disebabkan karena peranan urine sapi dalam mensuplai hara tertutup oleh keunggulan dari kualitas pupuk organik kascing itu sendiri. Tidak berpengaruhnya pemberian urine sapi terlihat dari bobot tongkol total yang dihasilkan tidak berbeda nyata antaran tanpa pemberian urine dengan perlakuan pemberian urine sapi. Hasil tertinggi terlihat pada perlakuan P4 yaitu 9,00 ton per hektar. Hasil analisis ekonomi terhadap produksi jagung manis yang dipanen muda disajikan dalam Tabel 2. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa secara ekonomi seluruh perlakuan memberikan hasil yang layak diusahakan secara ekonomi. Tabel 2. Hasil Analisis Ekonomi Terhadap Produksi Jagung Manis yang Dipanen Muda. URAIAN Sarana Pertanian - Bibit jagung maros sintetis - pupuk NPK - pupuk kascing - pukan babi (ongkos kirim) - TK (mengolah tanah, membumbun, tanam dll) Total Biaya input Produksi jagung manis panen muda per hektar Nilai produksi (harga jagung muda di lokasi)(000) Keuntungan per hektar Analisis B/C
VOLUME
BIAYA SATUAN
P0
P1
JUMLAH BIAYA P2 P3
P4
12 kg
120.000
1.440.000
1.440.000
1.440.000
1.440.000
1.440.000
1 paket 5000 kg 5000 kg
450.000 500 1 truk
450.000 0 -
0 300.000
0 300.000
2.500.000 0
2.500.000 0
40 HOK
20.000
800.000
800.000
800.000
800.000
800.000
2.690.000 6.970
2.540.000 5.950
2.540.000 8.240
4.740.000 8.710
4.740.000 9.000
8.364.000
7.140.000
9.888.000 10.452.000 10.800.000
5.674.000 2,11
4.600.000 1,81
7.348.000 2,89
1 kg
1.200
5.712.000 1,21
6.060.000 1,28
Keuntungan tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 (aplikasi pukan babi dan tambahan urine sapi yang diencerkan 10 kali) dengan total nilai keuntungan Rp.7.348.000/ha. Hal ini diakibatkan oleh sumber input pada pukan babi dan urine sapi tidak membeli hanya ada penggantian ongkos angkut saja. Tingkat pendapatan selanjutnya adalah dari aplikasi pupuk kascing dengan tambahan urine sapi yang diencerkan 10 kali dengan keuntungan sebesar Rp. 6.060.000/ha/musim tanam.
KESIMPULAN Dari hasil pengkajian dan pembahasan yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya adalah : 1.
Pemberian pupuk organik dan anorganik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis.
2.
Pemberian urine sapi pada perlakuan pupuk organik limbah babi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot tongkol total tanaman
3.
Pupuk organik kascing, menunjukkan keunggulan bila dibandingkan dengan pupuk organik dari limbah babi.
4.
Hasil jagung manis tertinggi terlihat pada perlakuan P4 (kascing 5 t/ha + urine sapi) yaitu 9,00 ton per hektar.
133
DAFTAR PUSTAKA Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Ilmu Tanah. PT. Medyatama Perkasa. 216. hlm. Kariada, I.K., I.B. Aribawa, I.M. Londra, dan I.N. Dwijana. 2004. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali. Kartini, L. 2000. Pertanian organik sebagai pertanian masa depan. Proseding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. BPTP Bali, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sossial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal. 98-105. Sutanto, R. 2002a. Penerapan Pertanian Organik : pemasyarakatan dan pengembangannya. Kanisius. Jakarta. Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik : menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Kanisius. Jakarta. Trimulat. 2003. Membuat dan memanfaatkan Kascing. Pupuk Organik Berkualitas. Cetakan I. Kanisius. Agromedia Pustaka. Jakarta.
134
UJI EFEKTIVITAS BEBERAPA ISOLAT JAMUR ENDOFIT ANTAGONISTIK DALAM MENINGKATKAN KETAHANAN INDUKSI BEBERAPA KLON VANILI TERHADAP PENYAKIT BUSUK BATANG I Made Sudantha*) dan Abdul Latief Abadi**) *) PS. Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Mataram **) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas isolat jamur endofit antagonistik dalam mengendalikan penyakit busuk batang vanili dan meningkatkan ketahanan induksi beberapa klon vanili terhadap penyakit busuk batang. Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dilaksanakan di rumah plastik. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial terdiri dari dua faktor, yaitu isolat jamur endofit antagonistic terdiri atas 8 aras dan klon vanili terdiri atas dua aras. Perlakuan merupakan kombinasi dari faktor jamur endofit antagonistik dan klon vanili yang masing-masing diulang tiga kali. Variabel yang diamati adalah masa inkubasi penyakit busuk batang, persentase panjang pembusukan pada batang dan panjang tunas daun/sulur. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis keragaman pada taraf nyata 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung, efektif mengendalikan penyakit busuk batang, sehingga menyebabkan bibit vanili tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang. Selain itu perlakuan tersebut dapat meningkatkan ketahanan induksi bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur menjadi sangat tahan terhadap penyakit busuk batang, dan menyebabkan tunas daun/sulur menjadi lebih panjang. Kata kunci : endofit, antagonistik, isolat, induksi, vanili
PENDAHULUAN Jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae merupakan kendala utama dalam pengembangan tanaman vanili. Jamur ini menyerang semua bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun dan buah. Infeksi oleh jamur ini kebanyakan dimulai dari stek tanaman karena jamur sudah terlanjur ada di dalam tanah dan dilanjutkan menyerang pada akar dan batang. Sedangkan serangan pada daun dan buah bersumber dari percikan air atau peralatan yang sudah terinfeksi (Semangun, 1991). Pada tanaman dewasa tingkat kematian akibat serangan jamur ini mencapai 50-100%, memperpendek umur produksi dari 10 kali panen menjadi dua kali bahkan tidak dapat berproduksi (Hadisutrisno, 2005). Selain itu, menyebabkan produktivitas tanaman vanili menjadi rendah yaitu berkisar antara 0,2-0,5 kg polong kering per pohon, padahal potensinya dapat mencapai 1,0-1,5 kg polong kering per pohon (Ruhnayat, 2004). Menurut Hadisutrisno (dalam Redaksi Trubus, 2004); 7-32% bibit yang berasal dari stek terkontaminasi oleh jamur ini, walaupun tanaman induknya tidak menunjukkan gejala serangan. Sampai saat ini penyakit busuk batang vanili merupakan salah satu penyakit pada tanaman vanili yang sulit dikendalikan, karena jamur F. oxysporum f. sp. vanillae memiliki struktur bertahan berupa klamidospora yang dapat bertahan dalam tanah sebagai saprofit dalam waktu relatif lama sekitar tiga sampai empat tahun walau tanpa tanaman inang (Sukamto dan Tombe, 1995; Nurawan et al., 1995). Selain itu menurut Hadisutrisno (2005), sulitnya pengendalian penyakit ini disebabkan karena penularannya melalui stek yang sudah terinfeksi, sehingga penyebarannya menjadi cepat dan meluas. Ruhnayat (2004) mengatakan bahwa sampai saat ini belum ditemukan klon vanili yang tahan atau toleran terhadap penyakit ini. Dari hasil uji patogenisitas tiga isolat jamur F. oxysporum f. sp vanillae yang diisolasi dari kebun vanili Timbenuh, Selebung dan Celelos, ternyata ketiganya menyebabkan infeksi pada klon vanili lokal NTB dan introduksi dari Pulau Jawa, yaitu pada klon Timbenuh NTB, Selebung NTB, klon Ungaran Jawa Tengah dan klon Sumedang Jawa Barat menunjukkan reaksi peka, sedang klon Celelos NTB dan Malang Jawa Timur menunjukkan reaksi agak tahan (Sudantha dan Abadi, 2006). Pengendalian penyakit busuk batang yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penggunaan fungusida melalui perlakuan stek dan penyemprotan pada tanaman. Namun aplikasi fungisida seringkali gagal menghadapi serangan jamur F. oxysporum yang berat (Ruhnayat, 2004). Salah satu alternatif pengendalian adalah secara hayati menggunakan jamur endofit yang bersifat antagonistik untuk meningkatkan ketahanan induksi terhadap penyakit busuk batang.
135
Ketahanan induksi merupakan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen karena tanaman telah terinfeksi oleh mikroorganisme lain sebelumnya, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain (Abadi, 2003). Jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala atau kerusakan pada tanaman inang (Petrini dan Petrini, 1985 dalam Davis et al., 2003). Keuntungan dengan adanya jamur endofit pada tanaman inang adalah meningkatnya toleransi terhadap logam berat, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, menekan serangan hama, resistensi sistemik terhadap patogen (Saikkonen et al., 1998 dalam Arnold et al., 2003). Berdasarkan hasil isolasi pada jaringan tanaman vanili sehat di kebun vanili Timbenuh Lombok Timur, kebun Selebung Lombok Tengah dan kebun Celelos Lombok Barat NTB ditemukan 16 isolat jamur endofit yang bersifat antagonistik terhadap jamur F. oxysprorum f. sp. vanillae secara in-vitro. Dari 16 isolat jamur endofit tersebut ada tujuh isolat efektif menekan pertumbuhan jamur F. oxysprorum f. sp. vanillae, yaitu Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. viride), Rhizoctonia sp. ENDO-07 batang Timbenuh, dan Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung (Sudantha dan Abadi, 2006). Mekanisme antagonisme jamur endofit Trichoderma spp. dan Rhizoctonia spp. terhadap jamur F. oxysporum f. sp. vanillae dengan cara fisik (kompetisi ruang dan mikoparasit) dan mengeluarkan antibiotik yang didifusikan ke dalam medium agar. (Sudantha dan Abadi, 2006). Petrini (1993) melaporkan bahwa jamur endofit menghasilkan alkaloid dan mikotoksin sehingga memungkinkan digunakan untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Menurut Dahlam et al. (1991), dan Brunner dan Petrini (1992), jamur endofit menghasilkan senyawa aktif biologis secara in-vitro antara lain alkaloid, paxillin, lolitrems dan tetranone steroid. Selain itu menurut Photita (2003 dalam Lumyong et al., 2004), jamur endofit antagonis mempunyai aktivitas tinggi dalam menghasilkan enzim yang dapat digunakan untuk mengendalikan patogen. Jamur endofit Neotyphodium sp. menghasilkan enzim β-1,6-glucanase yang menyerupai enzim yang sama yang dihasilkan oleh jamur T. harzianum dan T. virens (Moy et al., 2002). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan uji efektivitas jamur endofit antagonistik dalam meningkatkan ketahanan induksi beberapa klon vanili terhadap penyakit busuk batang dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas jamur endofit antagonistik dalam mengendalikan penyakit busuk batang vanili dan meningkatkan ketahanan induksi beberapa klon vanili terhadap penyakit busuk batang.
METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dilaksanakan di rumah plastik Fakultas Pertanian Universitas Mataram. a.
Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu: Faktor jenis jamur endofit antagonistik (E) yang terdiri atas delapan aras, yaitu: e1 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-01 akar Timbenuh e2 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh e3 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh e4 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung e5 = dengan jamur endofit Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos e6 = dengan jamur endofit Rhizoctonia sp. ENDO-07 batang Timbenuh e7 = dengan jamur endofit Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung e8 = tanpa jamur endofit antagonistik Faktor klon vanili (K) yang terdiri atas dua aras, yaitu: a1 = klon vanili Timbenuh NTB (reaksi peka terhadap penyakit busuk batang) a2 = klon vali Malang Jawa Timur (reaksi agak tahan terhadap penyakit busuk batang) Perlakuan merupakan kombinasi dari faktor jamur endofit antagonistik dan klon vanili yang masingmasing diulang tiga kali, sehingga terdapat 48 unit percobaan.
136
b. Persiapan dan Pelaksanaan Percobaan Semua isolat jamur endofit antagonistik dan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae terlebih dahulu dimurnikan, kemudian diperbanyak pada medium PDA dan medium seresah daun kopi (Sudantha dan Abadi, 2007). Stek vanili klon Timbenuh dan klon Malang dipotong sepanjang empat buku atau sepanjang 40 cm, diambil dari sulur yang belum pernah berbunga dan dari pohon yang pernah berbuah dan mempunyai ruas yang pendek. Sebelum disemai, stek dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan lendir yang terdapat pada ujung-ujung stek dan kotoran yang menempel. Medium yang digunakan untuk menanam stek vanili adalah tanah, arang sekam, pupuk kandang kuda dan pasir yang sudah disterilkan dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1 (v/v) yang dimasukkan dalam polybag berukuran 15 x 35 cm. Pangkal Stek vanili yang telah disiapkan direndam dalam suspensi jamur endofit (kerapatan konidia 10 7/ml) selama 30 menit. Selanjutnya ditanam dalam polybag dengan kemiringan antar 20 – 30° untuk memudahkan perambatan sulur vanili pada ajir. Setelah satu minggu diinokulasi dengan suspensi spora jamur F. oxysporum f.sp. vanillae sebanyak 25 ml suspensi (kerapatan konidia 10 7/ml). c.
Pengamatan Variabel
Variabel yang diamati adalah: 1.
Masa inkubasi, pengamatan dilakukan setiap hari sampai timbulnya gejala pertama.
2.
Panjang pembusukan pada batang, pengamatan dilakukan sampai dengan umur delapan minggu setelah inokulasi patogen. Untuk menilai tingkat ketahanan induksi bibit vanili terhadap penyakit busuk batang maka dibuat kriteria reaksi ketahanan seperti yang tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Reaksi Ketahanan Induksi Bibit Vanili Terhadap Penyakit Busuk Batang yang Disebabkan oleh Jamur F. oxysporum f. sp. vanillae Berdasarkan Persentase Panjang Pembusukan pada Batang No. 1 2 3 4 5 6
3.
Persentase panjang pembusukan pada batang (P) Tidak terinfeksi 1% < P ≤ 10% 11% < P ≤ 30% 31% < P ≤ 60% 61% < P ≤ 80% 81% < P ≤ 100%
Reaksi ketahanan Sangat Tahan Tahan Agak Tahan Agak Peka Peka Sangat Peka
Panjang tunas daun/sulur, pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang tunas daun/sulur sampai dengan umur delapan minggu setelah patogen.
4. Pertumbuhan miselium jamur endofit antagonistik dalam tanaman diamati dengan cara memotong bagian-bagian tanaman (akar, pangkal batang dan daun), difiksasi, kemudian direndam dalam pewarna jaringan tanaman (lactophenol cotton blue) serta diamati dengan bantuan mikroskop. Pengamatan dilakukan sampai dengan umur delapan minggu setelah inokulasi jamur F. oxysporum f.sp. vanillae, secara destruktif. Pengamatan meliputi lokasi keberadaan jamur endofit dalam jaringan akar, batang dan daun. Data hasil pengamatan akan dianalisis secara statistik menggunakan Analisis Keragaman pada taraf nyata 0,05 dan apabila antar perlakuan ada yang berbeda nyata (signifikan) maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur pada taraf nyata yang sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor jamur endofit antagonistik dan klon vanili serta interaksinya menunjukkan beda nyata terhadap masa inkubasi penyakit busuk batang vanili, persentase panjang pembusukan pada batang yang terinfeksi penyakit busuk batang, dan panjang tunas daun/sulur. Hasil uji lanjut ketiga variabel tersebut disajikan pada Tabel 2, 3 dan 4.
137
Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Masa Inkubasi Penyakit Busuk Batang Vanili Sampai Umur Delapan Minggu Setelah Inokulasi Patogen Sebagai Interaksi Penggunaan Beberapa Jamur Endofit dan Klon Vanili Masa inkubasi (hari) Klon vanili No. Jenis jamur endofit Klon Timbenuh Klon Malang NTB Jawa Timur 1 Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride) 0,000 a*) 0,000 a A**) A 2 Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii) 0,000 a 0,000 a A A 3 Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum) 0,000 a 0,000 a A A 4 Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii) 0,000 a 0,000 a A A 5 Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. viride) 0,000 a 0,000 a A A 6 Rhizoctonia sp. ENDO-07 batangTimbenuh 0,000 a 0,000 a A A 7 Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung 0,000 a 0,000 a A A 8 Kontrol (tanpa endofit) 8,000 a 7,667 a B B Ket : data 0 artinya bibit vanili tidak terinfeksi penyakit busuk batang sampai berumur delapan minggu setelah inokulasi patogen (pada analisis keragaman data ditransformasikan dalam Arcsin √ x + 0.5. *) Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kecil) tidak berbeda nyata p ≤ 0,05. **) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kapital) tidak berbeda nyata p ≤0,05
Pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan dengan semua jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung menyebabkan bibit vanili tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang baik pada klon vanili Timbenuh NTB maupun klon vanili Malang Jawa Timur, sedang pada kontrol (tanpa jamur endofit) terjadi penyakit busuk batang pada bibit vanili dengan masa inkubasi rata-rata 8,000 hari pada klon vanili Timbenuh NTB yang tidak berbeda nyata dengan klon vanili Malang Jawa Timur dengan masa inkubasi rata-rata 7,667 hari. Pada Tabel 3 terlihat bahwa panjang pembusukan batang stek vanili umur delapan minggu setelah inokulasi patogen pada kontrol (tanpa jamur endofit) mencapai 83,33% (reaksi sangat peka) untuk klon vanili Timbenuh NTB dan 80,83% untuk klon vanili Malang Jawa Timur, sedang apabila diperlakukan dengan isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung menyebabkan pada bibit vanili tidak terjadi infeksi penyakit busuk batang (reaksi sangat tahan), baik pada klon vanili Timbenuh NTB maupun klon vanili Malang Jawa Timur. Tidak terinfeksinya bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur setelah perlakuan dengan isolat jamur endofit disebabkan karena jamur endofit secara efektif dapat menekan pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae pada jaringan tanaman vanili. Diduga mekanisme antagonisme yang terjadi pada jaringan tanaman vanili sama dengan yang terjadi secara in-vitro. Sudantha dan Abadi (2006) melaporkan bahwa hasil percobaan uji antagonisme antara 16 isolat jamur endofit dengan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae secara in-vitro di laboratorium menggunakan metode oposisi langsung dan uji uap biakan, ternyata semua isolat jamur endofit dapat menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae dengan persentase hambatan yang tertinggi oleh Trichoderma spp. disusul oleh Rhizoctonia spp., Aspergillus spp., Penicillium sp. dan Cladosporium spp. Penghambatan pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae melalui mekanisme kompetisi ruang (jamur endofit lebih cepat pertumbuhnya), mikoparasit (hifa jamur endofit membelit dan melakukan penetrasi ke dalam hifa jamur patogen) dan antibiosis (jamur endofit mengeluarkan antibiotik yang mudah menguap yang didifusikan ke medium).
138
Tabel 3. Hasil Uji Lanjut Persentase Panjang Pembusukan pada Batang Vanili dan Reaksi Ketahan Bibit Vanili Umur Delapan Minggu Setelah Inokulasi Patogen Sebagai Interaksi Penggunaan Beberapa Jamur Endofit dan Klon Vanili
No.
1
Jenis jamur endofit
3
Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride) Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii) Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum)
4
Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii)
2
Klon vanili Klon Timbenuh NTB Klon Malang Jawa Timur Panjang Panjang Reaksi Reaksi pembusukan pembusukan ketahanan ketahanan (%) (%) 0,000 a*) 0,000 a*) A**) Sangat Tahan A**) Sangat Tahan 0,000 a 0,000 a A Sangat Tahan A Sangat Tahan 0,000 a 0,000 a A Sangat Tahan A Sangat Tahan 0,000 a A
Sangat Tahan
0,000 a A
Sangat Tahan
Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. viride) Rhizoctonia sp. ENDO-07 batangTimbenuh Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung Kontrol (tanpa endofit)
0,000 a 0,000 a A Sangat Tahan A Sangat Tahan 0,000 a 0,000 a 6 A Sangat Tahan A Sangat Tahan 0,000 a 0,000 a 7 A Sangat Tahan A Sangat Tahan 83,33 a 80,83 a 8 E Sangat Peka F Sangat Peka Ket : data 0 artinya bibit vanili tidak terinfeksi penyakit busuk batang sampai berumur delapan minggu setelah inokulasi patogen (pada analisis keragaman data ditransformasikan dalam Arcsin √ x + 0.5 *) Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kecil) tidak berbeda nyata p ≤ 0,05 **) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kapital) tidak berbeda nyata p ≤ 0,05 5
Dengan tidak terinfeksinya bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur maka dapat dikatakan bahwa semua isolat jamur endofit tersebut dapat meningkatkan ketahanan induksi bibit vanili terhadap penyakit busuk batang, yang semula bereaksi sangat peka (pada kontrol) berubah menjadi reaksi sangat tahan. Pada Gambar 1 dan 2 memperlihatkan bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur tumbuh sehat setelah diperlakukan dengan jamur endofit, sedang pada kontrol (tanpa jamur endofit) bibit vanili terinfeksi oleh penyakit busuk batang.
Gambar 1.
Bibit Vanili Klon Timbenuh NTB Sehat (Diperlakukan dengan Isolat Jamur Endofit) dan Terinfeksi Penyakit Busuk Batang (Tanpa Perlakuan Jamur Endofit).
139
Gambar 2.
Bibit Vanili Klon Malang Jawa Timur (Diperlakukan dengan Isolat Jamur Endofit) dan Terinfeksi Penyakit Busuk Batang (Tanpa Perlakuan Jamur Endofit).
Terjadinya peningkatan ketahanan induksi bibit vanili terhadap penyakit busuk batang ini disebabkan karena jamur endofit mampu mengendalikan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae penyebab penyakit busuk batang melalui mekanisme kompetisi, mikoparasit dan antibiosis. Diduga mekanisme antagonisme yang terjadi secara in-vitro juga terjadi pada jaringan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Abadi (2003) bahwa ketahanan induksi dapat terjadi karena tanaman telah terinfeksi oleh mikroorganisme lain sebelumnya, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain. Lebih lanjut Guest (2005) mengatakan bahwa ketahanan induksi terjadi karena kombinasi dari rintangan pasif dengan respon lokal karena adanya peristiwa matinya sel dan akumulasi antibiotik yang dapat berupa fitoaleksin. Weindling dan Emerson (1936), dan Brian (1944) melaporkan bahwa jamur T. viride menghasilkan antibiotik gliotoksin (dalam Cook dan Baker, 1983). Selanjutnya Brian dan McGowan (1945, dalam Cook dan Baker, 1983) melaporkan bahwa selain gliotoksin jamur T. viride menghasilkan antibiotik viridin. Rifai (1969) melaporkan bahwa jamur T. viride mengeluarkan bau minyak kelapa terutama pada biakan yang sudah tua. Selain itu menurut Jones dan Watson (1969 dalam Cook dan Baker, 1983), jamur T. viride menghasilkan enzim enzim β-(1,3) glucanase, sehingga mampu menghancurkan miselia jamur patogenik. Sebagai gambaran tentang pertumbuhan dan perkembangan miselium jamur endofit antagonis dalam jaringan batang vanili dilakukan pemotongan jaringan batang secara membujur, kemudian difiksasi dan direndam dalam pewarna jaringan tanaman (lactophenol cotton blue) serta diamati dengan bantuan mikroskop, hasilnya seperti yang tampak pada Gambar 3. Pada bibit vanili yang sudah diperlakukan dengan isolat jamur endofit, ternyata memperlihatkan miselia jamur endofit memenuhi ruang antar sel dalam jaringan batang, sedang pada kontrol, ruang antar sel pada jaringan batang tidak mengandung jamur endofit. Menurut Petrini (1991), jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala atau kerusakan pada tanaman inang. Simbiosis dengan tanaman dapat berupa mutualistik, netralisme dan antagonistik. Kolonisasi jamur endofit pada tanaman dimulai dari masuknya ke jaringan tanaman, perkecambahan spora, penetrasi epidermis dan kolonisasi jaringan.
Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii)
Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride)
140
Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii)
Miselia jamur Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. viride)
Miselia jamur Rhizoctonia sp. ENDO-07 batang Timbenuh
Ruang antar sel dari batang vanili yang tidak mengandung jamur endofit
Gambar 3.
Miselia jamur endofit Trichoderma spp. dan Rhizoctonia spp. di ruang antar sel dalam jaringan batang vanili sehat dan ruang antar sel dari batang vanili yang tidak mengandung jamur endofit (kontrol)
Untuk meyakinkan bahwa di dalam jaringan batang tersebut adalah jamur endofit yang serupa dengan perlakuan percobaan maka dilakukan reisolasi yang hasilnya seperti pada Gambar 4 – 9.
Gambar 4.
Koloni dan morfologi jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride)
Gambar 5. Koloni dan morfologi jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-02 batang vanili Timbenuh (T. koningii)
141
Gambar 6. Koloni dan morfologi jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-04 batang vanili Jurang Malang (T. polysporum)
Gambar 8. Koloni dan morfologi jamur endofit Rhizoctonia sp. isolat ENDO-07 batang vanili Timbenuh (Rhizoctonia sp.)
Gambar 7. Koloni dan morfologi jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-05 batang vanili Selebung (T. pseudokoningii)
Gambar 9. Koloni dan morfologi jamur endofit Rhizoctonia sp. isolat ENDO-08 batang vanili Selebung (Rhizoctonia sp.)
Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Panjang Tunas Daun/Sulur Vanili Umur Delapan Minggu Setelah Inokulasi Patogen Sebagai Interaksi Penggunaan Beberapa Jamur Endofit dan Cara Aplikasinya. Klon vanili Klon Timbenuh NTB Klon Malang Jawa Timur No. Jenis jamur endofit Panjang tunas daun/sulur Panjang tunas daun/sulur (cm) (cm) 1 Trichoderma sp. ENDO-01 akar tanah Timbenuh 54,33 a*) 53,67 a (T. viride) B**) B 2 Trichoderma sp. ENDO-02 batang Timbenuh (T. 52,67 a 54,00 a koningii) B B 3 Trichoderma sp. ENDO-03 buah Timbenuh (T. 53,33 a 55,33 a longibrachiatum) B B 4 Trichoderma sp. ENDO-05 batang Selebung (T. 55,67 a 55,33 a pseudokoningii) B B 5 Trichoderma sp. ENDO-06 batang Celelos (T. 53,67 a 55,33 a viride) B B 6 Rhizoctonia sp. ENDO-07 batangTimbenuh 55,00 a 56,33 a B B 7 Rhizoctonia sp. ENDO-08 batang Selebung 51,50 a 52,00 a B B 8 Kontrol (tanpa endofit) 5,20 a 5,33 a A A *) Angka-angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kecil) tidak berbeda nyata p ≤ 0,05 **) Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama (huruf kapital) tidak berbeda nyata p ≤ 0,05
Pada Tabel 4 terlihat bahwa perlakuan dengan semua isolat jamur endofit menyebabkan panjang tunas daun/sulur lebih panjang dari pada kontrol, sedang antar perlakuan dengan isolat jamur endofit tidak menunjukkan beda nyata. Terjadinya perbedaan panjang tunas daun/sulur tersebut disebabkan karena isolat jamur endofit ini menyebabkan bibit vanili sampai dengan umur delapan minggu setelah inokulasi patogen tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang, sehingga pertumbuhan bibit vanili menjadi lebih baik termasuk panjang tunas daun/sulur. Selain itu diduga bahwa jamur endofit Trichoderma spp. menghasilkan etilen yang
142
dapat memacu pertumbuhan dan pemanjangan tunas daun/sulur. Menurut Salisbury dan Ross (1995, beberapa jenis jamur yang hidup di tanah dapat menghasilkan etilen. Diduga etilen yang dilepaskan oleh jamur tersebut membantu mendorong perkecambahan biji, mengendalikan pertumbuhan kecambah, memperlambat serangan organisme patogen tular tanah, dan memacu pembentukan dan pertumbuhan batang, daun, akar, bunga atau buah. Tronsmo dan Dennis (1977 dalam Cook dan Baker, 1983) melaporkan bahwa penyemprotan konidia jamur T. viride dan T. polysporum untuk melindungi tanaman strawberi dari penyakit busuk ternyata dapat memacu pembungaan lebih awal.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Perlakuan dengan jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung, efektif mengendalikan penyakit busuk batang, sehingga menyebabkan bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur tidak terinfeksi oleh penyakit busuk batang
2.
Isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung dapat meningkatkan ketahanan induksi bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur menjadi bereaksi sangat tahan terhadap penyakit busuk batang.
3.
Dengan meningkatnya ketahanan induksi pada bibit vanili klon Timbenuh NTB dan klon Malang Jawa Timur akibat perlakuan dengan isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung maka tunas daun/sulur menjadi lebih panjang.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan isolat jamur endofit Trichoderma sp. isolat ENDO-01 ENDO-01 akar tanah Timbenuh (T. viride), ENDO-02 batang Timbenuh (T. koningii), ENDO-03 buah Timbenuh (T. longibrachiatum), ENDO-05 batang Selebung (T. pseudokoningii), ENDO-06 batang Celelos (T. viride), dan jamur endofit Rhizoctonia spp. isolat ENDO-07 batang Timbenuh dan ENDO-08 batang Selebung pada kondisi lapang. Selain itu perlu penelitian lebih lanjut tentang senyawa antibiotik atau etilen yang dihasilkan oleh isolat jamur endofit tersebut.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Direktur Binlitabmas Dirjen Dikti dan Ketua Lembaga Penelitian Universitas Mataram yang telah memberikan dana penelitian fundamental melalui Binlitabmas Dirjen Dikti Depdiknas, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 028/SP3/PP/DP2M/II/ 2006 tanggal 1 Pebruari 2006.
DAFTAR PUSTAKA Abadi, A. L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan I Edisi Pertama. Bayumedia Publishing dan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang Jawa Timur – Indonesia. 137 hal. Arnold, A. E., L. C. Mejia, D. Kyllo, E. I. Rojash, Z. Maynard, N. Robbins and E. A. Herre. 2003. Fungal Endophytes Limit Pathogen Damage In a Tropical Tree. PNAS vol. 100 No. 26: 15649 – 15654. Published online: Brunner, F. and O. Petrini. 1992. Taxonomic Studies of Xylaria species and Xylariaceous Endophytes by Izozyme Electrophoresis. Mycological Research 96: 723 – 733.
143
Cook, R. J. and K. F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota. 539 hal. Dahlam, D. L., H. Eichenseer and M. R. Siegel. 1991. Chemical Perspectives on Endophyte-Grass Interaction and Their Implications to Insect Herbivory. In: Microbial Mediation of Plant-Herbivore Interaction (Eds. Barbosa, P., V. A. Krichil and C. G. Jones). Jhon Wiley & Sons Inc., New York: 227 – 252. Davis, E. C., J. B. Franklin, A. J. Shaw and R. Vilgalys. 2003. Endophytic Xylaria (Xylariaceae) Among Liverworts and Angiospermae: Phylogenetics, Distribution, and SymSAPROis. American Journal of Botany 9 (11): 1661 – 1667. Guest, D. 2005. Induced Disease Resistance in Plants. In Program and Abstract The 1st International Conference of Crop Security 2005, Brawijaya University, Malang, September 20 th – 22nd, 2005. 264 p. Hadisutrisno, B. 2005. Budidaya Vanili Tahan Penyakit Busuk Batang. Penerbit Penebar Swadaya, Depok. 87 p. Lumyong, S., P. Lumyong and K. D. Hyde, 2004. Endophytes. In Jones, E. B. G., M. Tantichareon and K. D. Hyde (Ed.), Thai Fungal Diversity. Published by BIOTEC Thailand and Biodiversity Research and Training Program (BRTI/TRF. Biotec). 197 – 212. Moy, M., H. M. Li, R. Sullivan, J. F. White Jr, and F. C. Belanger. 2002. Endophytic Fungal β-1,6-Glucanase Expression in the Infected Host Grass. Plant Physiol.Vol.130: 1298 – 1308. http://www.plantphysiol.org/cgi/content/full/130/3/1298, (18 Maret 2005). Nurawan, A., M. Tombe dan K. Matsumoto. 1995. Penelitian Daya Antagonisme Isolat Bakteri yang Diisolasi Dari Rhizosfera Berbagai Jenis Tanaman Terhadap Patogen Busuk Batang Vanili. Dalam Parman et al. (Penyunting), Peran Fitopatologi dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutandi Kawasan Timur Indonesia. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia di Mataram. 356 – 359. Petrini, O. 1991. Fungal Endophytes of Tree Leaves. In: Microbial Ecology of Leaves (Eds. Andrews, J. H. and S. S. Hirano). Springer-Verlag, Berlin. 179 – 197. Petrini, O. 1993. Endophyt of Pteridium spp.: Some Consederations for Biological Control. Sydowia 45: 330 –338. Redaksi Trubus, 2004. Panduan Praktis: Vanili Kiat bebas Busuk Batang. Penerbit Majalah Trubus, Jakarta. 16 hal. Rifai, M. A. 1969. A Revision of The Genus Trichoderma. Mycological Papers, No. 16. Commonwealth Mycological Instittute Kew, Surrey, England. 56 hal. Ruhnayat, A. 2004. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Bertanam Vanili Si Emas Hijau nan Wangi. Agromedia Pustaka, Jakarta. 51 hal. Salisbury, F. B. Dan C. W. Ross, 1995. Fisiology Tumbuhan Jilid 3. Perkembangan tumbuhan dan fisiologi Tumbuhan (Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB Bandung. Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada Press, Yogyakarta. 529 – 535. Sudantha, I. M. Dan A. L. Abadi. 2006. Biodiversitas Jamur endofit Pada Vanili (Vanilla planifolia Andrews) dan Potensinya Untuk Meningkatkan Ketahanan Vanili Terhadap Penyakit Busuk Batang. Laporan Kemajuan Penelitian Fundamenatal DP3M DIKTI. Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram 107 hal. Sukamto dan M. Tombe. 1995. Antagonisme Trichoderma viride terhadap Fusarium oxysporum f. sp. vanillae secara In-Vitro. Dalam Parman et al. (Penyunting), Peran Fitopatologi dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutandi Kawasan Timur Indonesia. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia di Mataram. 600 – 604.
144