PROSPEK PENGAIRAN PERTANIAN TANAMAN SEMUSIM LAHAN KERING Undang Kurnia Balai Penelitian Tanah, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK Pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering belum banyak dipraktekkan petani Indonesia. Petani umumnya mengandalkan curah hujan dalam mengairi lahan usaha taninya. Akibatnya indeks pertanaman relatif rendah karena pada bulan-bulan tidak ada hujan, lahan dibiarkan bera. Oleh karena itu, pengairan pertanian lahan kering sangat diperlukan dan sudah saatnya diterapkan. Namun, ketersediaan air untuk keperluan tersebut sering kali menjadi kendala. Di daerah beriklim basah, air hujan yang berlebihan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, karena sebagian besar air mengalir sebagai aliran permukaan yang dapat menimbulkan erosi. Selain itu, di daerah beriklim basah sering terjadi cekaman air, khususnya pada periode kritis pertumbuhan tanaman. Di daerah beriklim kering, periode hujan sangat singkat dan distribusinya tidak merata, sehingga menjadi pembatas waktu tanam dan pemilihan pola tanam. Penerapan teknik konservasi tanah dan air diperlukan untuk memanen hujan dan aliran permukaan serta mengendalikan erosi. Untuk memperluas pilihan sumber air pengairan perlu dicari sumber-sumber air pengairan baru, di samping sumber air yang berasal dari hujan atau aliran permukaan, yaitu dengan membuat dan mengaktifkan sumur-sumur dalam yang pernah ada. Air didistribusikan ke lahan pertanian dengan sistem irigasi permukaan, irigasi drip, sprinkler atau sifon kapiler. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering, penelitian dan pengembangan teknologi pengairan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian. Dengan teknologi tersebut diharapkan produktivitas lahan kering meningkat 2−3 kali dari sistem pertanian tadah hujan. Kata kunci: Tanaman semusim, usaha tani lahan kering, pengairan
ABSTRACT Prospect of irrigation on seasonal upland agriculture Irrigation of seasonal crops in upland agriculture is not commonly practiced by Indonesian farmers. They mainly depend upon rain water for irrigating their farms, caused low cropping index due to bare land during the dry months. Therefore, the irrigation of upland agriculture is needed. However, water availability is limited. As in the wet climate region, the surplus of rain water can not be utilized optimally and lost as run-off water which often caused removal of topsoil (erosion). Apart from that, in the wet climate, lack of water often occurred during the critical periods of crop growth. In dry climate region, especially in eastern part of Indonesia, the shortage of water limits cropping time and cropping pattern. The soil and water conservation techniques can be applied to harvest rain and run-off water and to control erosion. To enlarge the selection of source of irrigation water, the other sources of irrigation water can be explored, including rain water or run-off water, the existing deep wells and their irrigation network, and constructing new deep wells. Water is distributed through irrigation network, such as surface irrigation, drip irrigation, sprinkler irrigation or capillary siphon. To increase upland productivity, research and development of irrigation technology on upland should have a serious attention. With irrigation technology, we expect the productivity of upland agriculture can be increased 2−3 times higher than that of rainfed agriculture. Keywords: Seasonal crops, dry farming, irrigation
A
ir merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat esensial bagi sistem produksi pertanian. Air bagi pertanian tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi, melainkan juga sangat menentukan potensi perluasan areal tanam (ekstensifikasi), luas areal tanam, intensitas pertanaman (IP), serta kualitas hasil.
130
Pemberian air pada lahan sawah telah menjadi prioritas pembangunan pertanian selama beberapa Pelita, namun pengairan pada lahan kering belum banyak diadopsi petani Indonesia atau mendapat perhatian dari pemerintah. Petani lahan kering biasanya mengandalkan curah hujan untuk mengairi lahan usaha taninya, karena untuk keperluan itu
hampir tidak memerlukan biaya. Pada bulan-bulan tidak ada hujan atau kemarau, lahan pertanian sering kali diberakan. Akibatnya indeks pertanaman lahan kering relatif rendah, baru mencapai 0,50−1 (Talkulputra dan Amien 1998). Dalam proses metabolisme pertumbuhan, tanaman membutuhkan air dalam jumlah yang berbeda, bergantung Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
pada jenis tanaman, umur dan fase pertumbuhan, waktu tanam dan pola tanam, serta jenis tanah (Doorenbos dan Pruitt 1977). Dibandingkan dengan padi sawah, kebutuhan air untuk tanaman semusim lahan kering lebih rendah, yaitu 500−900 mm/musim untuk padi sawah (Kurnia 1973) dan 350−800 mm/musim untuk tanaman pangan (Doorenbos dan Kassam 1979). Curah hujan di Indonesia tergolong tinggi, berkisar 700−3.000 mm/tahun, bahkan di beberapa daerah curah hujan lebih dari 4.000 mm/tahun seperti di sekitar Gunung Slamet, Jawa Tengah. Namun, penyebaran curah hujan hariannya tidak merata, sehingga dapat berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Kurnia et al. (1997) melaporkan hasil jagung pada Ultisol lahan kering Jasinga berkurang 50−60% bila hujan tidak turun selama 7−10 hari. Di kawasan timur Indonesia, total curah hujan tahunan yang rendah dengan periode hujan relatif pendek merupakan pembatas pola tanam dan waktu tanam, serta pemilihan komoditas yang akan diusahakan. Sebagian besar curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan, kemudian masuk ke dalam sungai dan mengalir ke laut, atau masuk ke dalam badan air lain seperti waduk, danau, check dam, dan embung. Aliran permukaan yang berlebihan dapat menyebabkan banjir, genangan dan kerusakan lahan pertanian. Kondisi tanah dan vegetasi penutupnya yang kurang baik menyebabkan air hujan yang meresap ke dalam tanah sangat sedikit, sehingga volume aliran permukaan meningkat dan mengikis permukaan tanah atau menyebabkan erosi. Kelebihan air aliran permukaan tersebut dapat ditampung atau dipanen untuk mengairi lahan pertanian pada musim kemarau atau pada saat-saat diperlukan.
POTENSI DAN KENDALA PERTANIAN LAHAN KERING Lahan kering yang potensial untuk pengembangan pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha, 70,70 juta ha terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha di dataran tinggi (Tabel 1). Sebagian besar dari lahan tersebut telah dimanfaatkan untuk pertanian, dan yang berpotensi untuk perluasan adalah 35,50 juta ha di Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi (Kurnia dan Hidayat 2001). Secara umum, tingkat kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian tergolong marginal, karena adanya berbagai kendala, seperti kesuburan tanah rendah, pH rendah, kandungan aluminium tinggi, lapisan tanah atas (topsoil) tipis, sifatsifat fisik tanah kurang baik, topografi lahan umumnya berlereng, dan tidak cukup air hujan untuk mendukung proses produksi pertanian. Erosi yang terjadi dapat menyebabkan produktivitas tanah semakin berkurang, karena kesuburan tanahnya terus merosot. Pengairan lahan kering perlu memperhatikan sifat-sifat tanah di samping iklim, ketersediaan dan sumber air, serta kebutuhan air tanaman. Sifat-sifat fisik tanah, khususnya struktur dan tekstur tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam menyediakan air di dalam tanah. Lahan dengan tanah bertekstur halus sampai sangat halus dan struktur tanah remah mempunyai efisiensi pemakaian air lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang bertekstur kasar (Tabel 2). Untuk mencapai ketersediaan air maksimal di dalam tanah dan proses metabolisme tanaman, tanah dengan tekstur kasar dan porous membutuhkan air lebih banyak dibandingkan dengan tanah bertekstur halus. Pada tanah dengan tekstur kasar, air lebih banyak bergerak atau hilang ke lapisan tanah lebih dalam sebagai air perkolasi, atau hilang melalui evaporasi. Sebaliknya, pada tanah dengan tekstur halus namun struktur tanahnya gumpal atau padat, mungkin tanaman tidak atau kurang mampu menyerap air dengan baik karena penyerapan air oleh tanaman terhambat. Selain itu, pada tanah tersebut, infiltrasi air ke dalam tanah umumnya sangat lambat, sehingga air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah banyak mengalir sebagai aliran permukaan. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan pemakaian air oleh tanaman tidak efisien. Pada sistem pengairan pertanian lahan kering, kondisi topografi memegang peranan cukup penting dalam penyediaan air, serta menentukan cara dan fasilitas pengairan. Sumber-sumber air biasanya berada pada bagian yang paling rendah, sehingga air perlu dinaikkan terlebih dahulu agar pendistribusiannya merata dan baik. Oleh karena
itu, pengairan pada lahan kering dapat berhasil dan efektif pada wilayah yang datar sampai berombak. Kurnia dan Hidayat (2001) memperkirakan lahan pertanian yang mempunyai peluang untuk mendapatkan pengairan mencapai sekitar 32 juta ha (Tabel 3). Namun demikian, luas lahan kering tersebut masih perlu dikoreksi dan diteliti lebih cermat, mengingat penggunaan lahannya (present land use) sangat beragam. Mungkin hanya sebagian kecil dari lahan tersebut yang digunakan untuk tanaman pangan. Lahan dengan topografi lebih curam memerlukan fasilitas pengairan lebih besar dan mahal sehingga tidak ekonomis.
KEBUTUHAN AIR PERTANIAN LAHAN KERING Pengairan atau irigasi merupakan proses pemberian air pada tanah untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Kegiatan pengairan meliputi penampungan dan pengambilan air dari sumbernya, mengalirkannya melalui saluran-saluran ke tanah atau lahan pertanian, dan membuang kelebihan air ke saluran pembuangan. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air pada air hujan dalam jumlah yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna untuk mempermudah pengolahan tanah, mengatur suhu tanah dan iklim mikro, membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam tinggi, membersihkan kotoran atau sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit. Dalam pengairan dikenal istilah pemakaian air konsumptif dan kebutuhan air tanaman. Pemakaian air konsumptif (consumptive water use) adalah jumlah air pada suatu areal pertanaman yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan transpirasi, pembentukan jaringan tanaman dan diuapkan dari permukaan tanah dan air (evaporasi), serta diintersepsi tanaman (Arsyad 1971). Kebutuhan air tanaman adalah pemakaian air konsumptif ditambah jumlah air untuk mencapai kapasitas lapang dan perkolasi. Perkolasi adalah bergeraknya air di dalam penampang tanah setelah tanah mencapai kapasitas lapang atau jenuh. Jumlah air perkolasi bergantung pada 131
Tabel 1. Luas lahan potensial untuk pengembangan pertanian di dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah (ha)
Dataran tinggi (ha)
Semusim lahan basah
Semusim lahan kering
Tanaman tahunan
Semusim lahan basah
NA Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka-Belitung Bengkulu Lampung Sumatera
540.474 923.510 472.264 784.958 560.894 1.404.536 106.639 145.964 675.517 5.614.756
163.049 340.003 311.673 373.471 811.645 1.820.489 − 166.509 912.637 4.899.476
1.173.253 2.010.853 1.125.844 4.557.023 1.855.378 2.458.662 1.204.705 710.237 752.248 15.848.203
61.535 164.046 129.690 − 31.447 11.437 − 30.648 5.878 434.681
17.775 844.485 45.705 − 93.726 54.711 − 31.795 14.979 1.103.176
319.854 183.914 81.557 − 59.549 134.463 − 43.313 169.405 992.055
2.275.940 4.466.811 2.166.733 5.715.452 3.412.639 5.884.298 1.311.344 1.128.466 2.530.664 28.892.347
DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa
11.267 955.625 211.476 1.363.727 101.410 1.511.018 4.154.523
7.401 205.072 27.679 157.310 8.286 519.664 925.412
30 1.102.016 365.558 1.104.465 75.568 1.334.371 3.982.008
− 233.419 2.720 139.464 − 56.801 432.404
− 183.494 − 10.051 − 7.142 200.687
− 146.942 17.397 121.326 − 199.295 484.960
18.698 2.826.568 624.830 2.896.343 185.264 3.628.291 10.179.994
117.218 153.879 167.354 438.451
28.783 335.123 727.972 1.091.878
67.035 257.613 1.010.821 1.335.469
11.805 − 31.848 43.653
− − 58.826 58.826
− 12.240 189.521 201.761
224.841 758.855 2.186.342 3.170.038
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan
566.543 1.097.012 902.270 442.175 3.008.000
2.678.438 1.500.162 982.227 5.019.324 10.180.151
4.939.653 5.271.577 817.060 3.312.666 14.340.956
− − − 4.867 4.867
26.913 70.680 2.286 492.250 592.129
21.810 81.815 − 285.896 389.521
8.233.357 8.021.246 2.703.843 9.557.178 28.515.624
Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi
102.538 82.227 503.829 1.159.017 370.100 2.217.711
− 98.105 80.391 1.134.688 488.693 1.801.877
704.281 210.965 951.838 933.415 863.541 3.664.040
24.654 842 109.736 22.582 10.153 167.967
32.032 − 38.735 13 − 70.780
55.481 15 395.515 675.451 7.858 1.134.320
918.986 392.154 2.080.044 3.925.166 1.740.345 9.056.695
7.212.347 292.762 317.599 7.822.708 23.256.149
4.141.909 74.446 143.963 4.360.318 23.259.112
5.616.860 1.195.858 1.470.091 8.282.809 47.453.485
198.060 19.560 6 217.626 1.301.198
42.964 119 11 43.094 2.068.692
141.620 62.373 29.988 233.981 3.436.598
17.353.760 1.645.118 1.961.658 20.960.536 100.775.234
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Bali & Nusa Tenggara
Papua Maluku Maluku Utara Maluku dan Papua Indonesia
Semusim lahan kering
Tanaman tahunan
Jumlah (ha)
Propinsi
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001).
Tabel 2. Efisiensi pengairan pada lahan pertanian dengan beberapa tekstur tanah. Bentuk pengairan Pengairan petakan Pengairan usaha tani
Efisiensi pengairan (%) Berpasir
Lempung
Liat
60
75
65
45
65
60
Sumber: Blaney dan Criddle (1962).
132
sifat-sifat fisik tanah, seperti tekstur, struktur, dan permeabilitas tanah. Makin kasar tekstur tanah, makin besar jumlah air untuk perkolasi. Kehilangan air untuk perkolasi pada tanah berpasir mencapai 35%, lempung 15%, dan liat 10%, sedangkan untuk aliran permukaan masingmasing adalah 5%, 10%, dan 25%. Untuk mengetahui jumlah air yang perlu disediakan untuk mengairi lahan pertanian, diperlukan informasi atau data kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air tanaman bergantung pada jenis dan umur tanaman, waktu atau periode pertanaman,
sifat-sifat fisik tanah, teknik pemberian air, jarak sumber air ke lahan pertanian, dan luas areal pertanian yang akan diairi. Kebutuhan air tanaman dapat diketahui melalui hasil-hasil penelitian, seperti menggunakan lisimeter, tensiometer atau ditetapkan berdasarkan pendugaan antara lain dengan metode Thornthwaite (1948), Penman (1956), serta Blaney dan Criddle (1962). Parameter-parameter penduga kebutuhan air yang digunakan antara lain adalah iklim, tanah, dan faktor tanaman (kc). Pada umumnya, faktor tanaman terutama untuk tanaman semusim Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Tabel 3. Penyebaran lahan kering berdasarkan bentuk wilayah. Bentuk wilayah Datar-berombak Berombak-bergelombang Berbukit
Luas (ha) Dataran rendah
Dataran tinggi
Total
29.074.300 23.778.700 34.512.500
2.913.600 1.252.500 4.361.400
31.987.900 25.031.200 38.873.900
Sumber: Kurnia dan Hidayat (2001).
lahan kering masih sangat terbatas, sehingga kebutuhan air secara tepat belum banyak diketahui. Kebutuhan air komoditas pertanian lahan kering yang mempunyai nilai ekonomi cukup baik, seperti tembakau, cabai, dan bawang merah telah diketahui. Penelitian Kurnia et al. (2002) dengan sistem irigasi tetes (Gambar 1) pada Alfisols lahan kering di perbukitan kritis Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta memperoleh jumlah kebutuhan air tanaman bawang merah antara 200−275 mm/ musim, tembakau 230−305 mm/musim, dan cabai 355−455 mm/musim. Jumlah kebutuhan air untuk pertumbuhan tembakau dan bawang merah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Doorenbos dan Kassam 1979 (Tabel 4). Tala‘ohu et al. (2002) menyatakan bahwa pemberian 300 mm air pada pertanaman cabai musim kemarau di lahan kering Desa Sinar Seputih, Lam-
Gambar 1.
Tabel 4. Kebutuhan air untuk evapotranspirasi beberapa komoditas pertanian lahan kering. Jenis tanaman Jagung Bawang merah Kentang Kedelai Tomat Tembakau
Kebutuhan air (mm/musim)
Umur tanaman (hari)
400−750 350−600
100−150 95−145
350−625 450−825 300−600 300−500
100−155 100−130 100−140 90−120
Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979).
KUALITAS AIR PENGAIRAN DAN CARA PEMBERIAN
pung Tengah memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian air dengan jumlah lebih rendah (235 mm) atau lebih tinggi (400 mm). Curah hujan selama periode pertanaman cabai adalah 250 mm, sehingga total kebutuhan air tanaman cabai adalah 550 mm, lebih
Kualitas Air
Pertanaman tembakau pada lahan yang mendapat pengairan dengan irigasi tetes, Dusun Nawungan, Imogiri, DI Yogyakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
tinggi dari hasil penelitian Kurnia et al. 2002 (Tabel 5). Kebutuhan air setiap jenis tanaman berbeda, baik total maupun untuk setiap fase pertumbuhannya (Tabel 5), seperti juga diperlihatkan oleh nilai koefisien tanaman (Tabel 6). Nilai koefisien tanaman (kc) pada awal pertumbuhan paling rendah dan mencapai maksimal pada saat pembungaan atau pembuahan, kemudian berkurang menjelang fase pemasakan. Pada fase pertumbuhan tanaman maksimal dibutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu, fase-fase pertumbuhan tanaman, lamanya setiap fase pertumbuhan, dan fase kritis pertumbuhan perlu diketahui agar perencanaan pemberian air, baik jumlah maupun waktunya lebih tepat. Fase kritis pertumbuhan tanaman jagung dan kedelai adalah pada saat pembungaan dan pengisian biji, tomat pada fase pembungaan, bawang merah dan kentang pada saat pembentukan umbi, dan tembakau pada fase vegetatif sampai menjelang berbunga.
Schwab et al. (1981) membagi sumber air pengairan ke dalam air permukaan (surface water) dan air bawah tanah (ground water). Air permukaan meliputi air danau alami, air sungai, dan waduk. Ketersediaan air permukaan dapat ditingkatkan melalui pemanenan air hujan/aliran permukaan, sedangkan sumber air bawah tanah biasanya dimanfaatkan dengan membuat sumur dalam atau artesis (deep wells), mata air (springs) atau menggali/ membuat kolam. Kualitas air pengairan harus memenuhi syarat kualitas agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diairi, karena dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas hasil. Schwab et al. (1981) menyatakan kualitas air pengairan sangat bergantung pada kandungan sedimen atau lumpur dan unsur-unsur kimia dalam air tersebut. Sedimen atau lumpur akan berpengaruh terhadap tekstur tanah. Pada tanah bertekstur sedang sampai kasar, sedimen akan menghambat permeabilitas penampang tanah akibat pori-pori tanah tersumbat 133
Tabel 5. Kebutuhan air beberapa jenis tanaman menurut fase pertumbuhan. Tanaman Jagung Kentang Kedelai Tomat Tembakau
Kebutuhan air (mm) Awal
Vegetatif
Pembungaan
Pembuahan
Pemasakan
56 70 30 78 16
167 160 165 82 96
115 220 292 185 132
250 150 47 93 160
62 50 41 62 96
Total 650 650 575 500 500
Sumber: Agus et al. (2002).
Tabel 6. Koefisien tanaman (kc) beberapa jenis tanaman pada setiap fase pertumbuhan. Tanaman Cabai Bawang merah Semangka Tembakau
Fase pertumbuhan Awal
Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan
Rata-rata
0,30−0,40 0,40−0,60
0,60−0,75 0,70−0,80
0,95−1,10 0,95−1,10
0,85−1 0,85−0,90
0,80−0,90 0,70−0,80 0,75−0,85 0,80−0,90
0,40−0,50 0,30−0,40
0,70−0,80 0,70−0,80
0,95−1,05 1−1,20
0,80−0,90 0,90−1
0,65−0,75 0,75−0,85 0,75−0,85 0,85−0,95
juga overhead irrigation karena air diberikan atau disiramkan dari atas seperti air hujan. Pemberian air dengan penyiraman sangat efisien. Pada tanah bertekstur kasar, efisiensi pemakaian air dengan penyiraman dua kali lebih tinggi dari pemberian air permukaan. Pada irigasi tetes, air diberikan dalam kecepatan yang rendah di sekitar tanaman menggunakan emitter. Pada pemberian air dengan penyiraman dan irigasi tetes, ke dalam air pengairan dapat ditambahkan pestisida atau pupuk. Apabila kebutuhan air suatu tanaman, cara pemberian, dan efisiensi pemakaian air telah diketahui, dalam kondisi ketersediaan air terbatas dapat diketahui luas areal tanam yang mungkin dapat diairi. Atau sebaliknya, bila jumlah air diketahui, maka luas areal pertanian yang dapat diairi bertambah luas. Prinsip pemberian air pada pertanian lahan kering khususnya tanaman pangan semusim adalah pemakaian air yang efisien dan efektif, serta memberikan hasil maksimal.
Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979).
PENGARUH PENGAIRAN TERHADAP TANAH DAN HASIL TANAMAN oleh sedimen tersebut, serta menurunkan kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur yang mengendap di dalam saluran irigasi akan mengurangi kapasitas pengaliran air dan memerlukan biaya tinggi untuk membersihkannya. Sifat-sifat kimia air pengairan yang penting diketahui dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian antara lain adalah: 1) konsentrasi garam total yang terlarut, 2) proporsi garam (Na) terhadap kation lainnya (sodium adsorption ratio = SAR), 3) konsentrasi unsur-unsur racun potensial yang dapat mencemari atau merusak tanah, 4) konsentrasi bikarbonat, yang berkaitan erat dengan Ca dan Mg, dan 5) kandungan logam berat dan bahan beracun berbahaya. Bila konsentrasi tersebut melebihi yang diijinkan, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat dan hasil menurun, serta kemungkinan akan terjadi akumulasi logam berat dalam jaringan tanaman atau produk pertanian. Ramadhi (2002) melaporkan hasil gabah di persawahan Rancaekek, Kabupaten Bandung, berkurang 60−70% dari produksi normal akibat air mengandung Na dengan konsentrasi tinggi (560−1.680 ppm Na). Dengan memberikan air yang 134
berkualitas, hasil gabah kembali normal mencapai 8−10 t/ha (Kurnia et al. 2004).
Cara Pengairan Secara garis besar, Schwab et al. (1981) membagi pengairan ke dalam empat cara, yaitu: 1) pemberian air di permukaan tanah (surface irrigation), 2) pemberian air di bawah permukaan tanah (subsurface irrigation), 3) penyiraman (sprinkle irrigation), dan 4) irigasi tetes (drip or trickle irrigation). Pemberian air di permukaan tanah meliputi penggenangan (flooding), biasanya di persawahan, dan pemberian air melalui saluran-saluran (furrow irrigation) dan dalam barisan tanaman (corrugation irrigation). Pemberian air di bawah permukaan tanah dilakukan dengan menggunakan pipa (tiles) yang dibenamkan ke dalam tanah. Pemberian air di permukaan dan di bawah permukaan tanah disebut juga pengairan gravitasi, karena air dialirkan berdasarkan gaya berat air. Pemberian air dengan cara penyiraman mancakup oscillating sprinkler dan rotary sprinkler, semuanya disebut
Kelembapan Tanah Hasil penelitian Vadari et al. (1998) pada Vertisols Lombok (NTB) di rumah kaca menunjukkan bahwa pemberian air dengan irigasi tetes dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan memperpanjang masa tanam. Pemberian air sampai 500 mm/musim yang dikombinasikan dengan penggunaan mulsa jerami padi mampu meningkatkan kelembapan tanah cukup signifikan (Tabel 7). Kelembapan tanah meningkat 15% dan 37% volume bila jumlah air yang diberikan berturutturut ditingkatkan menjadi 400 dan 500 mm/musim. Petani di daerah perbukitan kritis Dusun Nawungan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, umumnya memberikan 30 l air untuk setiap 10 rumpun tanaman semusim lahan kering di musim kemarau. Pemberian air tersebut dianggap boros, karena selain tidak mempertimbangkan jumlah air yang diberikan, juga pemberiannya terlalu sering. Pemberian air 50−75% kebutuhan air tanaman yang dilakukan dengan cara tetes mampu meningkatkan dan memJurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
sama baiknya dengan cara petani. Pemberian air dengan cara tersebut mampu meningkatkan hasil tembakau menjadi 4,10−6,30 t/ha dan cabai 0,40−0,70 t/ha. Pola tanam yang biasa diterapkan petani di daerah tersebut pada musim hujan adalah padi pada lahan kering yang disawahkan, selanjutnya pada akhir musim hujan dilanjutkan dengan tanaman semusim (cabai, jagung) atau tembakau. Bawang merah yang ditanam lebih dulu dari tembakau (pola tanam A) pada akhir musim hujan masih cukup baik sampai interval pemberian air 5 hari
Tabel 7. Kelembapan tanah pada berbagai pemberian air irigasi tetes dan mulsa pada Vertisols Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mulsa jerami padi (t/ha)
Jumlah air (mm/musim) 300 400 500
Kelembapan tanah rata-rata (% volume)
0
5
10
16,60 16,90 20,80
16,40 18,20 26,60
14,90 19,70 18,40
15,90 18,30 (15,10) 21,90 (37,70)
Angka di dalam kurung menunjukkan persentase peningkatan kelembapan tanah. Sumber: Vadari et al. (1998).
pertahankan kandungan air tanah, yaitu 39−43% volume untuk tembakau dan 39− 41% volume untuk cabai (Kurnia et al. 2001). Interval pemberian air sangat berpengaruh terhadap kelembapan tanah, baik untuk setiap jenis tanaman maupun fase pertumbuhannya (Kurnia et al. 2002). Apabila air diberikan setiap hari, kelembapan tanah masih di atas 30% volume, sehingga pemberian air tersebut tidak efisien (Tabel 8). Pemberian air dengan interval 2−4 hari masih memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik, karena kelembapan tanah masih cukup tinggi (19,50−24,80% volume). Namun, pemberian air setiap 4 hari menurunkan hasil tanaman cukup signifikan (Tabel 9). Berbeda dengan fase inisiasi, pemberian air setiap 3 hari pada fase vegetatif dan setiap 5 hari pada fase generatif menyebabkan perbedaan kelembapan tanah. Semakin bertambah umur tanaman, kebutuhan air tanaman untuk evapotranspirasi dan perkolasi juga bertambah, sehingga kelembapan tanah pada fase generatif semakin rendah, karena air yang ada di dalam tanah digunakan untuk pembungaan dan pembentukan buah/biji. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai koefisien tanaman (kc) pada fase pembungaan dan fase pembuahan yang terbesar (Tabel 8).
Hasil Panen Kurnia et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian air dengan irigasi tetes sebesar 50−75% dari jumlah air yang biasa diberikan petani lahan kering di perbukitan kritis Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta memberikan hasil yang Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Tabel 8. Kelembapan tanah pada setiap interval pemberian air untuk setiap jenis tanaman dan fase pertumbuhan Dusun Nawungan, Imogiri, Bantul. Fase pertumbuhan dan jenis tanaman
Interval pemberian air (% volume) Setiap hari
2 hari
3 hari
4 hari
5 hari
Fase inisiasi (0−10 hari) Tembakau Bawang merah Cabai
31,30 32,30 32,20
26,50 22,50 23,10
25,10 22,20 22,40
24,50 20,80 21,40
24 19,30 20,10
Fase vegetatif (11−45 hari) Tembakau Bawang merah Cabai
35,90 30,80 32,20
23,90 26,70 23,10
22,10 25 21,40
20 24,80 19,50
19 23,30 18,60
Fase generatif (45−60 hari) Tembakau Bawang merah Cabai
31,80 30,80 32,20
23,50 26,70 23,10
22,50 25 22,40
20 24,80 21,40
19 23,80 20
Catatan: Pori air tersedia untuk tanah di Dusun Nawungan, Imogiri berkisar antara 20,80− 21,80% volume. Sumber: Kurnia et al. (2002).
Tabel 9.
Hasil umbi bawang merah, tembakau, dan cabai pada berbagai interval pemberian air dan pola tanam, Dusun Nawungan, Imogiri, Bantul.
Pola tanam1 A: Bawang merah-tembakau - bawang merah (kg/12 m2) - tembakau (kg/12 m2) B: Tembakau-bawang merah - tembakau (kg/12 m2) - bawang merah (kg/12 m2) C: Cabai - cabai (kg/12 m2)
Interval pemberian air (hari) 2
3
4
5
13,80 5,10
13,60 8
12,50 2,90
11,70 2,80
5,10 14,30
8,10 12,70
3,10 11,40
3 6,40
15,60
13
7
6
Tanaman pertama pada setiap pola tanam ditanam akhir musim hujan (bulan Mei). Sumber: Kurnia et al. (2002). 1
135
(Tabel 9). Namun bila ditanam setelah tembakau (pola tanam B), hasil bawang merah masih cukup baik sampai interval pemberian air 4 hari. Perbedaan hasil tersebut karena pada pola A terjadi hujan sebesar 79 mm (Kurnia et al. 2002), sehingga kelembapan tanah lebih baik dibandingkan pola B. Hasil cabai masih cukup baik sampai interval pemberian air setiap 3 hari, namun bila interval pemberian air lebih dari 3 hari, hasilnya menurun drastis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut secara umum dapat dinyatakan bahwa interval pemberian air setiap 2 hari memberikan hasil paling tinggi. Semakin sering air diberikan, semakin cepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun, bila jumlah air yang diberikan semakin banyak, kelebihan air menjadi tidak bermanfaat atau tidak efisien. Penelitian di luar negeri menunjukkan hasil yang sama, bahwa tambahan air pengairan sangat diperlukan bila jumlah air yang ada tidak mencukupi kebutuhan tanaman. Penelitian Yongqiang et al. (2003) di Luancheng, dataran Cina Utara menunjukkan bahwa untuk mencapai hasil jagung maksimal diperlukan tambahan air 77 mm meskipun terjadi hujan 212 mm, sehingga total kebutuhan air sekitar 290 mm. Tanpa tambahan air, hasil jagung hanya mencapai 3,53 t/ha, sedangkan bila memperoleh tambahan air pengairan hasilnya 6,17 t/ha. Pada kondisi air terbatas, Panda dan Behera (2003) melaporkan bahwa air harus diberikan pada 45% maksimal kadar air yang masih dibolehkan agar dicapai hasil gandum tertinggi. Dalam kondisi kekurangan air, pemberian air sangat diperlukan untuk mencapai kuantitas dan kualitas hasil yang maksimal. Penelitian Sweeney et al. (2003) di Negara bagian Kansas, Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemberian air pada berbagai fase pertumbuhan reproduktif kedelai meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil. Hasil kedelai meningkat 20% dibandingkan dengan tanaman yang tidak memperoleh air irigasi. Pengairan meningkatkan jumlah biji setiap tanaman, bobot biji, dan kadar protein biji. Penelitian Tala’ohu et al. (2002) di lahan kering Lampung Tengah menunjukkan bahwa hasil cabai musim kemarau dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan air embung yang ada dengan menggunakan pompa air berkekuatan 6 PK. 136
Pemberian air 20 mm atau 200 m3/ha pada tanaman cabai musim kemarau (curah hujan 250 mm) mampu memberikan hasil 2,50 t/ha atau senilai Rp3,70 juta dengan nilai R/C 1,38. Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kebutuhan air tanaman semusim lahan kering belum banyak diketahui, demikian juga cara dan waktu pemberian air. Oleh karena itu, penelitian kebutuhan air tanaman semusim lahan kering, serta cara dan waktu pemberiannya masih diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil, terutama pada musim kemarau.
PROSPEK PENGAIRAN LAHAN KERING Di Indonesia, pengairan pertanian lahan kering belum populer, meskipun beberapa pengusaha swasta dan petani dalam skala terbatas telah menerapkannya. Pengairan dengan pompa yang memanfaatkan air tanah (sumur dalam) dan mengalirkannya secara gravitasi pernah dilakukan Departemen Pekerjaan Umum di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Di daerah Jember dan Malang (Jawa Timur) pernah ada sistem pengairan sprinkler pada perkebunan kopi, kakao, dan apel. Namun, pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala, baik ekonomi, pengelolaan maupun teknis operasional. Prospek pengairan pertanian lahan kering cukup baik, khususnya untuk komoditas bernilai ekonomis tinggi. Penelitian Tala’ohu et al. (2002) di Lampung Tengah menunjukkan peng-
airan lahan kering pada musim kemarau dengan pompa berkekuatan 6 PK mampu meningkatkan IP dari 1 menjadi 3. Dengan demikian pengairan pada lahan kering mempunyai prospek yang baik dalam intensifikasi pertanian. Namun, sejauh ini data hasil penelitian untuk mendukung penerapan teknologi tersebut, baik aspek teknis maupun sosial ekonomis masih terbatas. Ketersediaan air pada lahan kering sering kali menjadi faktor pembatas akibat rusaknya daerah aliran sungai (DAS), sehingga air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah tidak lagi mampu mengisi cadangan air (reservoir) di dalam tanah, sungai-sungai meluap saat hujan besar, dan kekurangan air/kekeringan pada musim kemarau. Untuk mengurangi limpasan aliran permukaan yang besar serta memperbesar kapasitas tanah dalam meresapkan air, diperlukan penerapan teknik konservasi tanah secara terpadu dalam sistem pengelolaan DAS. Penerapan teknik konservasi tanah harus dikaitkan dengan upaya mengisi dan memfungsikan waduk, embung, check dam, dan reservoir lainnya untuk mengantisipasi kekeringan pada musim kemarau dan cekaman air pada fase-fase kritis pertumbuhan tanaman di musim hujan. Petani lahan kering di perbukitan kritis Imogiri, Yogyakarta, telah lama memanfaatkan embung mikro atau kedung pada musim kemarau untuk mengairi tembakau, bawang merah, cabai, dan jagung (Kurnia et al. 2001). Ukuran embung atau kedung disesuaikan dengan luas lahan yang mereka miliki. Manfaat embung cukup besar, yaitu memperbaiki pola tanam dan meningkatkan produktivitas lahan (Tabel 10).
Tabel 10. Manfaat embung dalam memperbaiki pola tanam dan meningkatkan hasil tanaman. Penggunaan lahan Lahan kering (upland) Pola tanam
Hasil (setara gabah) Tegalan (rainfed) Pola tanam Hasil (setara gabah)
Tanpa embung
Dengan embung
Kacang tanah + ubi kayu bera 3,50 t/ha/musim
Kacang tanah - jagung + ubi kayu atau kacang tanah jagung + sayuran 4,30−6,30 t/ha/musim
Padi - bera 4,20 t/ha/musim
Padi - tembakau - jagung 11,70 t gabah/ha/musim
Sumber: Irawan et al. (1999).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Di wilayah iklim basah dengan curah hujan cukup tinggi sering terjadi periode atau bulan kering yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pembuatan kolam, embung atau reservoir lain untuk menampung dan menyimpan kelebihan air hujan atau aliran permukaan pada bagian terendah dari suatu areal pertanian, diharapkan dapat menyediakan air pada musim kemarau atau periode kritis pertumbuhan tanaman. Di kawasan timur Indonesia, pemanenan hujan dan aliran permukaan untuk mengisi embung, waduk, atau check dam sebagai sumber air pengairan (disebut juga konservasi air) perlu dilakukan. Penerapan teknik konservasi air bertujuan untuk mengendalikan erosi. Walaupun periode hujan singkat, intensitas hujan di wilayah ini cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan erosi dan kerusakan tanah yang cukup serius. Untuk memperluas pilihan sumber air pengairan, perlu dicari sumber-sumber air pengairan baru di samping sungai, air hujan atau aliran permukaan, antara lain pemanfaatan air tanah, air sungai, dan waduk. Dengan mempertimbangkan kondisi wilayah dan jenis tanah, terutama tanah-tanah bertekstur halus, maka pengairan pertanian lahan kering yang dapat dilakukan adalah dengan irigasi pompa. Air tanah dinaikkan ke tempat penampungan dengan menggunakan pompa, kemudian didistribusikan ke lahan pertanian secara gravitasi melalui saluran air atau jaringan irigasi permukaan, irigasi drip, sprinkler atau penggunaan siphon kapiler. Pada tanah bertekstur kasar, pengairan sprinkler lebih memungkinkan karena dapat menghemat pemakaian air.
STRATEGI PENGAIRAN PERTANIAN LAHAN KERING Prinsip dasar pengairan pertanian lahan kering adalah menambah kekurangan air (beberapa peneliti menyebutnya sup-
lemen) bagi pertumbuhan tanaman terutama pada saat dibutuhkan, baik yang bersumber dari air hujan maupun sumber pengairan lainnya. Penggunaan air harus hemat, efisien dan efektif, namun produktivitas pertanian tetap tinggi dan berkelanjutan. Air pengairan diberikan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, perkolasi, dan kehilangan pada saluran. Artinya, air yang diberikan berada pada kisaran air tersedia atau mendekati kapasitas lapang, bergantung pada sifat-sifat fisik tanahnya. Kecukupan air dan teknologi pengairan yang tepat mampu menjamin pola tanam dalam setahun dan pengaturan waktu tanam, sehingga efisiensi penggunaan air meningkat, yang pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui diversifikasi tanaman. Komoditas pertanian yang diusahakan harus memiliki nilai ekonomi tinggi dan berskala agribisnis, karena investasi untuk pengairan lahan kering cukup besar untuk konstruksi bangunan penampung air, pembuatan sumur dalam, pengadaan pompa air dan jaringan irigasi, serta biaya operasional. Teknologi pengairan yang tepat, efisien dan efektif akan meningkatkan produktivitas tanaman 2−3 kali lipat dari sistem pertanian tadah hujan. Namun, penerapan teknologi pengairan pertanian lahan kering perlu dilakukan secara bertahap dan didukung oleh penelitian terpadu dengan mempertimbangkan kebutuhan petani. Penelitian pengairan lahan kering bersifat spesifik lokasi, karena harus mempertimbangkan: 1) sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan teknik pengairan, 2) sumber air pengairan yang tersedia, layak secara sosialekonomis dan aman bagi lingkungan, 3) nilai ekonomi komoditas yang dibudidayakan, 4) jumlah dan distribusi hujan, kebutuhan air tanaman untuk setiap fase pertumbuhan, dan jumlah air yang harus disediakan, 5) teknik pengairan yang tepat, efektif dan efisien, frekuensi
pemberian, biaya dan dampaknya terhadap produksi, serta biaya dan keuntungan, serta 6) dampak negatif sistem pengairan dalam jangka panjang seperti salinisasi dan pencucian hara.
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Blaney, H.F. and W.D. Criddle. 1962. Determining consumptive use and irrigation water requirements. ARS-USDA Tech. Bull. No. 1275.
KESIMPULAN DAN SARAN Pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering sangat diperlukan dan sudah saatnya dilakukan, karena selain untuk mengantisipasi cekaman air, juga berpeluang dikembangkan khususnya untuk komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan untuk perluasan areal tanam, sehingga produktivitas lahan meningkat. Pengairan pertanian lahan kering ditujukan hanya untuk memberi air pada tanaman terutama pada saat-saat dibutuhkan. Sumber air pengairan pertanian lahan kering adalah hujan dan aliran permukaan. Cadangan air diperoleh dengan memanen hujan atau aliran permukaan melalui penerapan teknik konservasi air, dan mengaktifkan sumursumur dalam yang pernah ada termasuk mencari sumber-sumber pengairan baru (air tanah, air sungai). Untuk memperbesar kapasitas tanah menampung air dan mencegah kerusakan tanah yang disebabkan oleh erosi, diperlukan penerapan teknik konservasi tanah dalam satu sistem pengelolaan DAS terpadu. Air pengairan yang digunakan harus memenuhi syarat kualitas agar tidak mencemari tanah, tanaman, dan lingkungan. Sistem pengairan yang dapat diterapkan pada kondisi Indonesia adalah irigasi permukaan, irigasi drip, irigasi sprinkle atau sifon kapiler. Air didistribusikan ke lahan pertanian dengan bantuan pompa. Penelitian dan pengembangan teknologi pengairan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian yang serius untuk mengejar ketertinggalan di bidang produksi, kualitas hasil dan indeks pertanaman.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi suplemen. hlm. 239−264. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Arsyad, S. 1971. Pengawetan Tanah dan Air. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
137
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Crop water requirement. FAO Irrigation and Drainage Paper. No. 24 (revised). FAO-UN, Rome. Doorenbos, J. and Kassam. 1979. Yield response to water. FAO Irrigation and Drainage Paper No. 33. FAO-UN, Rome. Irawan, B. Hafif, dan H. Suwardjo. 1999. Prospek pengembangan kedung (embung mikro) dalam peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani: Studi kasus di Desa Selopamioro, Bantul, DI. Yogyakarta. hlm. 21−38. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9−11 Februari 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Kurnia, U. 1973. Penetapan Pemakaian Air Konsumptif dan Kebutuhan Air Irigasi pada Beberapa Varietas Tanaman Padi Sawah. Tesis Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim No. 15: 10−18. Kurnia, U. dan A. Hidayat. 2001. Potensi, peluang dan pemanfaatan lahan kering untuk peningkatan produksi pangan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Konsultatif Sumberdaya Lahan dan Air. Direktorat Perluasan Areal, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta 11 Juni 2001. Kurnia, U., M.S. Djunaedi, dan T. Vadari. 2001. Efisiensi penggunaan air embung dengan irigasi tetes untuk mengantisipasi kekeringan air pada lahan kering di musim kemarau. Prosiding Kongres dan Seminar KNI-ICID. Bogor, 16−17 November 2000. Kurnia, U., M.S. Djunaedi, dan G. Irianto. 2002. Irigasi hemat air pada lahan kering di daerah
138
perbukitan kritis Imogiri, DI. Yogyakarta. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor 6−7 Agustus 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Kurnia, U., D. Erfandi, dan H. Kusnadi. 2004. Rehabilitasi dan reklamasi tanah sawah tercemar limbah industri tekstil di Kabupaten Bandung. Makalah disampaikan dalam Expose Hasil-hasil Penelitian di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, 24 Maret 2004. Panda, R.K. and S.K. Behera. 2003. Effective management of irrigation water for wheat crop under deficit condition. p. 438−443 Proceedings of the 1 st International Conference on Hydrology and Water Resources in Asia Pasific Region. APHW 2003 Vol. 1. Kyoto, Japan. 13−15 March 2003. Penman, H.L. 1956. Estimating evaporation. Trans. Amer. Geophys. Union 37: 43−46. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Edisi 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Ramadhi, T. 2002. Identifikasi Pencemaran Lahan Sawah Akibat Limbah Industri Tekstil: Studi kasus di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Program Studi Analisis Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schwab, G.O., R.K. Frevert, T.W. Edminster, and K.K. Barnes. 1981. Soil and Water Conservation Engineering. 3 rd ed. John Wiley & Sons, New York. Sweeney, D.W., J.H. Long, and M.B. Kirkham. 2003. A single irrigation to improve early
maturing soybean yield and quality. Soil Sci. Soc. Am. J. 67: 235−240. Tala’ohu, S.H., Sutono, Y. Sulaeman, dan S. Wiganda. 2002. Penelitian Teknologi Pengairan Pertanian Lahan Kering. Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kesuburan Tanah dan Iklim. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Talkulputra, N.D. dan I. Amien. 1998. Alokasi penggunaan tanah dalam pembangunan pertanian di Indonesia. hlm. 1−12. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Utama. Bogor, 10− 12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Thornthwaite, C.W. 1948. An approach toward a rational classification of climate. Geograph. Rev. 38: 55−94. Vadari, T., Haryono, dan N. Sutrisno. 1998. Aplikasi irigasi tetes untuk budi daya semangka pada tanah Vertisol di rumah kaca. hlm. 43−55. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bidang Fisika dan Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat dan Hidrologi, Bogor, 10−12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Yongqiang, Z., Yu Qiang, Shen Yanjun, and Liu Changning. 2003. Impact of irrigation schedules on crop production and water use efficiency in the North China Plain. p. 427− 431. Proceedings of the 1 st International Conference on Hydrology and Water Resources in Asia Pasific Region. APHW 2003 Vol. 1. Kyoto, Japan. 13−15 March 2003.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004