PROSPEK DEMOKRASI DALAM PROSES GLOBALISASI A. Safril Mubah Abstract The relation between globalisation and democracy is interesting studies nowadays. After the end of the Cold War in 1990, both terms have triggered debate among scholars on the topic whether globalisations has positively or negatively affected on democracy. Scholars have always been interested to study the relationship between globalisation and democracy. In the post-Cold War era in the 1990s, the terms triggered delicate debates in many issues, especially the impact of globalisation on democracy: is it positive or negative? Instead of giving benefits on democracy, globalisation makes democracy gloomy in the future. In globalisation process, democracy meaning that government from, by, and to people moves to government that serves capital owners who join in corporations. Government’s accountability to make people wealthy is replaced by corporate responsibility to give better life for people in a country. Consequently, democracy is weakened by the existence of the big corporations which always influence decision making process within the government in order to secure their interests. Therefore, the roles of democratic government decrease since taken over by corporate government or corporatocracy. Keywords: democracy, globalisation, corporation, corporatocracy. Dua dasawarsa terakhir, perkembangan demokrasi dan proses globalisasi adalah dua isu paling populer di dunia. Setelah Perang Dingin berakhir yang ditandai oleh runtuhnya Uni Sovyet (1990), demokrasi menjadi sistem politik yang dipandang banyak kalangan sebagai yang paling ideal di antara semua sistem lain. Aliansinya dengan sistem liberal kapitalis yang diusung Amerika Serikat terbukti ampuh dalam kontestasi melawan sistem komunis yang dikampanyekan Uni Sovyet semasa Perang Dingin. Wajar jika pada awal 1990-an, Francis Fukuyama menyatakan bahwa sejarah telah berakhir dengan kemenangan demokrasi liberal. Demokrasi liberal merupakan titik akhir evolusi ideologi manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia (Fukuyama, 2003). Pada penghujung abad ke-20, jumlah negara demokratis di seluruh dunia memang meningkat pesat. Sejak kudeta militer meruntuhkan kekuasaan diktator Salazar di Portugal pada 1974, demokrasi berkembang bagaikan gelombang yang menyapu kekuasaan otoritarian di banyak negara. Oleh Samuel P. Huntington, peristiwa kudeta itu dianggap sebagai titik awal demokrasi gelombang ketiga (third wave democracy) untuk membedakan dengan dua periode gelombang demokrasi sebelumnya yang terjadi pada 1828-1926 (gelombang pertama) dan 1943-1964 (gelombang kedua). Huntington sendiri mendefinisikan gelombang demokrasi sebagai “a group of transitions from nondemocratic to democratic regimes that occur within specified period of time and that significantly outnumber transitions in the opposite direction during that period” (Huntington, 1991: 15). Mengutip data dari Freedom House Index, Larry Diamond mencatat bahwa sebelum kudeta tersebut, hanya ada 39 negara demokrasi di dunia. Pada periode akhir 1970-an hingga awal 1980-an, seiring dengan transisi dari pemerintahan otoritarian ke
A. Safril Mubah Prospek Demokrasi dalam Proses Globalisasi
pemerintahan demokratis di sejumlah negara, jumlah negara demokrasi terus bertambah (Diamond, 1997). Setelah Perang Dingin usai, pertumbuhan drastis negara demokrasi tidak dapat dibendung lagi. Pada 1991, tercatat ada 89 negara demokrasi di seluruh dunia. Satu dekade kemudian, jumlah negara demokrasi melonjak hingga 121 negara. Tetapi, pada 2010, jumlahnya menurun menjadi 115 negara. Itu berarti, dalam dua dasawarsa, jumlah negara demokrasi meningkat hampir dua kali lipat (Freedom House, 2011). Tabel 1 Perkembangan Jumlah Negara Demokrasi di Dunia (1989-2010) Tahun
Jumlah Negara Demokrasi 1989 69 1990 76 1991 89 1992 99 1993 108 1994 113 1995 115 1996 118 1997 117 1998 117 1999 120 2000 120 2001 121 2002 121 2003 117 2004 119 2005 123 2006 123 2007 121 2008 119 2009 116 2010 115 Sumber: Freedom House, 2011.
Jumlah Total Negara di Dunia 167 165 183 186 190 191 191 191 191 191 192 192 192 192 192 192 192 193 193 193 194 194
Persentase Negara Demokrasi 41 % 46 % 49 % 53 % 57 % 59 % 60 % 62 % 61 % 61 % 63 % 63 % 63 % 63 % 61 % 62 % 64 % 64 % 63 % 62 % 60 % 59 %
Data di Tabel 1 menegaskan bahwa antara 1990-1995 (selama 5 tahun setelah demokrasi liberal dinyatakan Fukuyama sebagai “pemenang” Perang Dingin), ada penambahan hingga 39 negara demokratis, dari 76 negara pada 1990 menjadi 115 negara pada 1995. Peningkatan pesat ini mengejutkan karena dalam waktu 16 tahun sebelumnya (1974-1990), negara demokrasi hanya bertambah sebanyak 37 negara. Mengomentari perkembangan pesat negara demokrasi, Anthony Giddens (1996) menyatakan bahwa penjelasan bagi marak dan populernya gerakan-gerakan demokratisasi dewasa ini dapat dicari dalam eksistensi globalisasi sebagai perubahan sosial yang paling mendasar dewasa ini. Menurut Giddens, globalisasi adalah penjelasan paling memadai di balik gelombang demokratisasi global dewasa ini. Artinya, perkembangan pesat negara demokrasi beriringan dengan proses globalisasi. Meskipun globalisasi sejatinya telah berjalan sejak abad ke-16 di masa imperialisme kekuatan-kekuatan besar dunia untuk mencari daerah-daerah jajahan, tetapi revolusi teknologi informasi di akhir abad ke-20 telah mengakselerasi proses perkembangannya secara meluas ke seluruh wilayah dunia. Jaringan internet telah 345
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
menjadikan semua orang di wilayah berjauhan terasa dekat. Nilai-nilai kultural semakin mudah melintasi batas-batas wilayah negara bangsa. Transaksi bisnis dapat dijalankan dengan cepat. Itulah sebabnya relasi dan transaksi sosial dinilai berdasarkan tingkat extensity, intensity, velocity yang membawa aliran-aliran transkontinental atau antarregional beserta dampaknya terhadap jaringan aktivitas, interaksi dan penggunaan kekuasaan (Held et al., 1999: 16). Globalisasi sering hanya dikaitkan pada persoalan ekonomi melalui penghilangan batas-batas tarif dan proteksi pada perdagangan global. Tetapi, globalisasi sesungguhnya juga memiliki pengaruh pada dinamika politik suatu negara, termasuk dalam perkembangan sistem demokrasi. Bahkan, globalisasi dipercaya Kenichi Ohmae telah mampu mengurangi peran negara bangsa (the end of nation-state) sebagai entitas berdaulat. Negara sebagai penjaga sistem demokrasi semakin kurang penting karena empat alasan. Pertama, unit-unit yang telah lama mapan dan terdefinisi secara politis ini semakin kurang memberi kontribusi karena pasar telah semakin berdaulat dan memiliki kemampuan menghukum negara yang tidak mampu bekerja secara efisien. Kedua, dalam ekonomi global yang terintegrasi, negara telah menjadi fiksi nostalgik karena pembicaraan tentang suatu entitas ekonomi nasional harus juga melibatkan entitas ekonomi nasional yang lain. Ketiga, mengglobalnya perusahaan-perusahaan multinasional memicu globalisasi rangkaian produksi sehingga sulit mengidentifikasi suatu barang produksi sebagai hasil produksi negara tertentu. Keempat, globalisasi ekonomi dunia telah memungkinkan konsumen-konsumen yang tinggal di dalam batas-batas teritorial negara tertentu menikmati barang dari luar negaranya dengan harga murah tetapi berkualitas yang tidak dapat diproduksi industri nasional mereka (Ohmae, 1995: 16-17). Berdasarkan fenomena perkembangan pesat demokrasi pasca-Perang Dingin yang diiringi memudarnya peran negara sebagai akibat masifnya proses globalisasi, relasi globalisasi, dan demokrasi menjadi kajian menarik yang perlu dianalisis. Dalam makalah ini, relasi itu tampak dari peran proses globalisasi dalam mendemokratiskan suatu negara sekaligus mengerosi nilai-nilai substantif demokrasi. Tiga Pandangan Globalisasi dan Tiga Konteks Demokrasi David Held mengemukakan adanya tiga pandangan dalam melihat globalisasi, yakni hyperglobalist, sceptical, dan transformasionalist (Held et al., 1999: 2). Pandangan pertama, hyperglobalist, mendefinisikan globalisasi sebagai sejarah baru kehidupan manusia sejalan dengan memudarnya peran negara karena tidak bisa menjadi unit-unit bisnis dalam ekonomi global. Kelompok hiperglobalis melihat globalisasi ekonomi memicu gejala denasionalisasi ekonomi melalui pembentukan jaringan-jaringan produksi transnasional (transnational networks of production), perdagangan, dan keuangan. Dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini, pemerintahan nasional tidak lebih dari sekadar transmission belt bagi kapital global atau sebagai institusi perantara yang menyusup di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh. Pandangan kedua, sceptical, memandang globalisasi bukanlah fenomena baru, tetapi fenomena lama yang memiliki akar historis panjang. Berbeda dengan hyperglobalist, kelompok sceptical menilai kekuatan-kekuatan global sangat bergantung pada kekuatan pemerintah nasional untuk mengatur regulasi yang bisa melancarkan liberalisasi ekonomi. Ketika liberalisasi ekonomi terus berlanjut, yang diuntungkan adalah negara-negara industri maju dan kaya karena aliran perdagangan dan investasi hanya 346
A. Safril Mubah Prospek Demokrasi dalam Proses Globalisasi
berputar di negara-negara itu saja sehingga perkembangan ekonomi global memarginalkan negara-negara miskin dan berkembang. Pandangan ketiga, transformasionalist, meyakini bahwa globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang menentukan bentuk baru tatanan dunia. Proses globalisasi tidak lagi membedakan antara domestik dan internasional karena hubungan-hubungan internal dan eksternal semakin kabur. Dalam kondisi demikian, kekuasaan negara dalam mengambil keputusan harus disejajarkan dengan kekuasaan pemerintahan global seperti organisasi-organisasi internasional dan regional. Dengan menggunakan ketiga pandangan tersebut, Ruth Zimmerling (2003: 71) menganalisis dampak globalisasi terhadap demokrasi melalui tiga konteks: (1) existing democracy, (2) currently non-democratic states, dan (3) international system. Konteks pertama berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap stabilitas sistem dan evolusi kualitas sistem negara-negara demokrasi. Konteks kedua mengulas efek globalisasi terhadap prospek demokratisasi dan konsolidasi demokrasi dari negara-negara yang belum demokratis. Konteks ketiga tidak hanya melihat prospek, tetapi juga mendiskusikan kebutuhan menjalankan demokratisasi sebagai konsekuensi proses globalisasi. Terkait dengan ketiga konteks itu, Zimmerling (2003: 71) menyatakan: “It seems convenient to treat these three contexts separately, as they can be expected to be affected largely in different ways by globalization. Each one of them is important and deserves extensive discussion.” Menurut Zimmerling, pandangan sceptic tidak banyak mengulas ketiga konteks itu. Tetapi, itu bukan berarti mereka tidak melihat adanya tantangan bagi demokrasi yang tampak eksis, atau bagi demokratisasi yang tidak kelihatan eksis. Mereka hanya tidak melihatnya dalam istilah globalisasi. Sementara itu, baik empirical maupun normative hyperglobalists tidak mempunyai banyak alasan untuk memperhatikan existing democracy dan currently non-democratic states. Mereka mengharapkan sistem internasional kehilangan banyak kekuasaan dan fungsinya. Satu-satunya tantangan penting adalah demokratisasi sistem internasional yang muncul dengan mentransfromasikan kekuasaan dan fungsinya. Berbeda dengan sceptic dan hyperglobalist, transformationalist adalah satu-satunya pandangan yang melihat tantangan globalisasi terhadap ketiga konteks demokrasi (Zimmerling, 2003: 71-72). Korelasi Globalisasi dengan Demokrasi dan Demokratisasi Berdasarkan tiga konteks demokrasi yang disampaikan Zimmerling, tampak perbedaan dalam melihat demokrasi dan demokratisasi. Demokrasi terjadi dalam existing democracy, sedangkan demokratisasi muncul sebagai proses menuju demokrasi dalam currently non-democratic state. Karena itu, jika tidak dapat memisahkan secara tegas batasan antara demokrasi dan demokratisasi, bisa jadi korelasi teoritik yang mengaitkan globalisasi dengan demokrasi menjadi rancu dengan relasi globalisasi dengan demokratisasi. Banyak kajian tentang kaitan dua isu besar ini yang mencampuradukkan hubungan globalisasi dengan demokrasi dan demokratisasi. Harus dipahami, demokrasi mengacu pada nilai-nilai substantif dalam sistem politik, sedangkan demokratisasi merujuk pada proses menuju demokrasi. Itulah sebabnya pengaruh globalisasi terhadap demokrasi berbeda dengan pengaruh globalisasi terhadap demokratisasi (Susanto, 2000: 63). 347
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Dalam pandangan Giddens (1999: 104), proses globalisasi telah mendorong demokratisasi di banyak negara, tetapi ketika suatu negara telah demokratis, globalisasi justru mengancam stabilitas sistem demokrasi liberal di negara itu sendiri. Kata Giddens, ada pengaruh berbeda ketika globalisasi sebagai perubahan sosial dipertautkan dengan demokratisasi sebagai proses atau demorasi sebagai sistem politik. Sebagai perubahan sosial, globalisasi mampu mendorong proses demokratisasi sekaligus mengancam stabilitas sistem demokrasi liberal itu sendiri melalui proses-prosesnya yang melintasi arena politik (Giddens, 1999: 104-133). Mengonfirmasi pandangan itu, Phillip Cerny (1999: 1) menyatakan meskipun mengalami perkembangan penyebaran demokrasi yang pesat sepanjang akhir 1980-an hingga awal 1990-an, pertumbuhan pemerintahan demokratis sejati kemungkinan besar justru menurun. Penyebabnya ada dua. Pertama, demokrasi liberal tumbuh dari proses konsolidasi negara-bangsa dan terbenam tanpa bisa keluar dalam konteks itu. Kedua, dalam dunia yang terglobalisasi, struktur pemerintahan semakin tumpang tindih (overlapping) dan saling melintas (cross-cutting), proses swastanisasi dan oligarki semakin meningkat, norma-norma liberal hegemonik mendelegitimasi pemerintahan berbasis negara, dan negara demokratis kehilangan kemampuan politik yang diperlukan untuk mentransformasikan input menjadi output secara demokraits. Dampaknya, dihadapkan pada perubahan global yang terjadi periode ini, hambatan-hambatan terjal berpotensi membatasi pelembagaan kembali mata rantai demokratis (democratic chain) antara prinsip akuntabilitas dan efektivitas. Selain itu, perubahan global itu memunculkan kembali artikulasi karakter multitugas (the multi-tasking character) dalam institusi-institusi otoritatif. Kapasitas agen-agen otoritatif juga diperbarui guna menjalankan pemantauan yang diperlukan untuk mengontrol para penumpang gelap (free-riding) dan asimilasi kelompok-kelompok terasing (alienated groups). Terkait dengan korelasi globalisasi dan demokrasi, ada tiga aliran utama yang berkembang di kalangan ilmuwan yang menaruh minat besar pada kajian ini. Pertama, kelompok yang optimis dalam melihat perkembangan globalisasi dan demokrasi. Keruntuhan komunisme Uni Soviet membuat demokrasi liberal tidak lagi mempunyai pesaing utama sehingga, di era sekarang ini, sebagian besar negara-negara di dunia mengklaim sebagai negara demokratis, dan setiap orang mengaku dirinya sebagai demokrat. Negara-negara Eropa Timur dan Rusia kini juga mulai mengadopsi sistem demokrasi, dan tuntutan ke arah diberlakukannya demokrasi terjadi di mana-mana sehingga negara-negara di dunia kini tengah melangkah ke arah apa yang disebut Fukuyama sebagai ‘the ideal state’, yakni demokrasi liberal (Fukuyama, 2003: 1). Kelompok kedua adalah para pemikir yang cenderung pesimis dan bahkan skeptis dalam melihat demokrasi. Keberatan yang diajukan oleh kelompok ini disebabkan oleh menguatnya kekuatan korporasi beserta elit-elit ekonomi transnasional yang kini sangat berkuasa. Globalisasi ekonomi didominasi oleh korporasi-korporasi global yang tidak dapat dikontrol oleh kekuatan negara. Nicolas Yeates (2002: 70) mengemukakan bahwa globalisasi telah menghadirkan ekonomi global yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan global yang sebagai aktor kunci, yakni transnational corporations. Perusahaan-perusahaan transnasional ini dan sekutu mereka merupakan aktor-aktor politik dan mereka menuai kesuksesan besar dalam menyampaikan pesan ke seluruh dunia bahwa tidak ada alternatif lain kecuali melalui jalan kapitalisme global. Jalan ke arah kemakmuran bersama ini, sebagaimana sering diargumentasikan oleh para korporat, adalah melalui 348
A. Safril Mubah Prospek Demokrasi dalam Proses Globalisasi
kompetisi internasional yang diputuskan melalui free market dan free trade. Melalui proses ini, mereka mengontrol dinamika ekonomi politik, baik melalui diri mereka sendiri maupun melalui sekutu mereka di tingkat lokal, nasional, regional, dan global (Sklair, 2002: 155). Menurut William Robinson (2003: 6-7), agen-agen ekonomi global ini adalah elit transnasional baru. Elit-elit ini mengendalikan sistem keputusan dan secara cepat memonopoli kekuasaan masyarakat global melalui dominasi politik. Akibatnya, demokrasi yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok ini lebih merupakan demokrasi poliarki, yaitu suatu sistem yang memposisikan sekelompok kecil sebagai pemilik kekuasaan dan terikat langsung dalam pembuatan kebijakan dan hanya memberi kesempatan kelompok mayoritas pemilih mereka bersaing dalam pemilihan umum yang diawasi secara ketat. Robinson menyebutnya sebagai tipe “demokrasi pura-pura” yang sama sekali tidak melibatkan kekuasaan (cratos) dari massa rakyat (demos). Kekuasaannya berakhir setelah kelompok elit kecil berkuasa dan menyebabkan semakin menganganya kesenjangan akibat ekonomi global. Kelompok pemikir ketiga adalah para ilmuwan yang lebih optimis dengan mengajukan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi jika demokrasi hendak dipertahankan. Bagi mereka, globalisasi telah mengurangi kedaulatan dan otonomi negara nasional. Globalisasi telah mendorong terjadinya integrasi ekonomi nasional ke dalam perekonomian global, menciptakan kesalinghubungan dan kesalingtergantungan antarsubsistem sehingga keputusan yang diambil oleh suatu negara bangsa akan memengaruhi negara bangsa lain, demikian juga sebaliknya (Winarno, 2009: 129-130). Berdasarkan semua pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa gelombang demokratisasi berlangsung lebih marak dan universal dewasa ini dikarenakan adanya fenomena globalisasi sebagai perubahan sosial yang mendasari. Lemahnya negara otoritarian bukan disebabkan oleh cacat dari dalam, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan kondisi pada lingkungan masyarakat global yang lebih besar. Perubahan-perubahan di era globalisasi tidak hanya mampu mendorong proses demokratisasi, tetapi juga mengancam stabilitas sistem demokrasi liberal melalui prosesnya yang melintasi arena politik (Susanto, 2000: 67). Aliansi Penguasa dan Pengusaha Salah satu kontribusi terbesar globalisasi adalah meningkatnya jumlah korporasi global (perusahaan multinasional) di seluruh dunia. Globalisasi telah memungkinkan korporasi menjalankan bisnisnya secara global melintasi batas-batas negara secara bebas. Dampaknya, para pemimpin korporasi global itu menikmati kekayaan luar biasa yang melebihi Gross Domestic Product (GDP) suatu negara. Misagh Parsha menyajikan data bahwa pada 1998, kekayaan tiga orang terkaya sedunia lebih tinggi daripada GDP 25 negara termiskin di dunia yang melingkupi sekitar 500 juta orang. Bahkan, kekayaan pribadi seseorang dapat mengalahkan GDP suatu negara. Parsa mencontohkan kekayaan Bill Gates, pendiri dan pemilik Microsoft, yang mencapai 63 miliar dollar AS (2000) lebih besar tiga kali lipat dari GDP Peru. Temuan Parsa semakin menegaskan bahwa meskipun globalisasi telah mendorong demokratisasi, tetapi demokrasi yang dihasilkan justru mengurangi peran negara di pasar sekaligus meningkatkan dominasi korporasi global dalam konstelasi ekonomi politik dunia. 349
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Bagi Jagdish Bhagwati, kondisi tersebut bukanlah masalah besar. Bhagwati tidak percaya bahwa hubungan erat korporasi dengan negara berakibat buruk bagi negara. Menurut Bhagwati, beroperasinya korporasi global dalam wilayah suatu negara telah meningkatkan aktivitas perekonomian negara tersebut. Hal itu dibuktikan oleh semakin meluasnya kesempatan kerja sehingga berpotensi menurunkan angka pengangguran yang berdampak pada kian meningkatnya GDP negara. Kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita negara terwujud oleh bantuan korporasi global. Ketika negara kesulitan dalam mencukupi kebutuhan ekonomi rakyatnya, korporasi global hadir sebagai dewa penolong. Itulah sebabnya, banyak negara membuka pintu masuk lebar-lebar bagi korporasi global yang ingin berinvestasi ke dalam wilayahnya. Negara-negara berkembang dan negara-negara kecil mengendurkan proteksionisme terhadap hambatan tarif dalam perdagangan internasional untuk menjamin kelancaran investasi korporasi global. Korporasi global lantas mendeterminasi negara dalam pertumbuhan ekonomi melalui jalinan aliansi pengusaha dengan penguasa untuk membentuk korporatokrasi. Negara kemudian menjadi sangat bergantung pada kapabilitas korporasi global dalam memperbaiki kondisi perekonomian domestik. Dampaknya, korporasi global memiliki modalitas dan kekuatan pengaruh besar dalam menentukan agenda-agenda pembangunan yang disusun oleh pemerintahan suatu negara sehingga dapat dijamin keputusan yang dihasilkan negara pasti menguntungkan para pengusaha yang tergabung dalam korporasi itu. Korporasi telah muncul sebagai institusi pengendali yang dominan di planet ini, dengan yang terbesar di antara mereka menjangkau hampir semua negara di dunia dan memiliki ukuran dan kekuatan yang lebih besar daripada kebanyakan pemerintahan. Makin lama, kepentingan korporatlah dan bukan kepentingan manusia, yang menentukan agenda politik badan-badan negara dan internasional meskipun realitas ini dan implikasinya sebagian besar tidak disadari (Korten, 1997: 90). Para pengusaha yang tergabung dalam korporasi-korporasi besar mampu memengaruhi dan menentukan agenda-agenda politik negara karena mereka menjalin aliansi strategis dengan penguasa. Memang benar bahwa globalisasi telah mendorong demokratisasi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, gelombang demokrasi itu ditumpangi oleh kepentingan korporasi-korporasi global. Mereka tidak pernah absen dalam semua proses politik demokratis yang dijalankan negara. Kasus Indonesia menunjukkan bahwa setelah melewati masa transisi demokrasi sepanjang 1998-2004, negara ini sekarang memasuki periode konsolidasi demokrasi yang ditandai dengan penguatan lembaga-lembaga politik agar memiliki legitimasi kuat di mata rakyat. Untuk menjalankan itu, model demokrasi liberal melalui sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung menjadi agenda politik yang tidak bisa dielakkan. Sistem ini makin menumbuhkembangkan jumlah pengusaha yang berpolitik karena untuk menggaet suara pemilih diperlukan dana sangat besar yang hanya bisa disediakan oleh korporasi. Akibatnya, kompetisi politik menjadi arena kontestasi para pengusaha yang memiliki modal besar. Di Indonesia, fenomena ini tampak kentara. Hampir semua pimpinan partai politik atau para kandidat yang bertarung dalam pemilu legislatif dan eksekutif adalah pengusaha, seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPD Irman Gusman. Bahkan, pimpinan organisasi kemasyarakatan yang memiliki tujuan politik seperti Nasional Demokrat juga berada di 350
A. Safril Mubah Prospek Demokrasi dalam Proses Globalisasi
tangan pengusaha, yakni Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo. Jika demikian, hampir dapat dipastikan keputusan politik yang dihasilkan pemerintah demokratis tidak selalu mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi cenderung mengedepankan kepentingan pengusaha yang dekat dengan penguasa. Dari Demokrasi ke Korporatokrasi Perhatian pemerintah yang lebih condong kepada korporasi daripada kepada rakyat telah menggeser demokrasi ke korporatokrasi, atau pemerintahan yang mengutamakan rakyat ke pemerintahan yang mementingkan korporasi. Pergeseran ini berjalan sempurna karena berbagai tujuan pembangunan tidak lagi dilihat sebagai tujuan yang dicapai melalui kinerja ekonomi politik negara, melainkan oleh agenda ekonomi politik korporasi melalui “the accumulation of individual wealth” (Priyono, 2003: 8). Dari waktu ke waktu, korporasi semakin memaksimalkan pengaruhnya terhadap pemerintah. Kebanyakan korporasi mempunyai unit departemen tersendiri yang mampu melakukan lobi-lobi intensif kepada pemerintahan sehingga kebijakan pemerintah dijamin tidak akan merugikan kepentingan mereka. Kekuatan lobi inilah yang menjadi awal kehancuran demokrasi representatif karena pemerintahan nasional terlegitimasi yang terbentuk atas pilihan rakyat lebih mementingkan kepentingan korporasi dibandingkan dengan membuat keputusan politik yang menguntungkan warga negara (Winarno, 2009: 134-135). Dalam kondisi demikian, peran pemerintahan demokratis dipudarkan oleh peralihan agenda pembangunan dari tanggung jawab negara ke tanggung jawab korporasi. Bidang-bidang yang dulu merupakan tanggung jawab pemerintah sekarang menjadi tanggung jawab korporasi melalui corporate sosial responsibility (CSR). Di satu sisi, pemerintah demokratis memang terbantu oleh adanya CSR, tetapi di sisi lain pemerintah demokratis sebenarnya dilemahkan oleh korporasi karena sebagian tanggung jawabnya direbut oleh korporasi. Rakyat lantas semakin tidak percaya kepada pemerintah demokratis karena realitanya pemerintah demokratis tidak mampu mencukupi kebutuhan rakyat. Kondisi itu diperparah oleh meluasnya kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan, baik di dalam maupun antarwarga negara, sebagai akibat globalisasi. Pada akhirnya, demokrasi yang sesungguhnya menginginkan kesetaraan antarwarga negara terbenam dalam krisis (Winarno, 2009: 137). Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik empat kesimpulan terkait prospek demokrasi dalam proses globalisasi. Pertama, globalisasi memiliki pengaruh positif dan negatif terhadap demokrasi. Globalisasi berpengaruh positif ketika prosesnya telah mendorong demokratisasi di banyak negara. Globalisasi memiliki kontribusi besar untuk memicu peralihan sistem politik banyak negara, dari rezim otoritarian ke pemerintahan demokratis. Tetapi, ketika pemerintahan demokratis tercipta, globalisasi justru menampakkan pengaruh negatifnya melalui erosi nilai-nilai substantif demokrasi. Kedua, globalisasi telah meliberalisasi pola hubungan ekonomi di seluruh dunia. Transaksi perdagangan kini berjalan secara mudah, bebas, dan cepat melintasi batas-batas wilayah negara. Akibatnya, banyak perusahaan yang menjalankan operasinya di berbagai negara mendapatkan keuntungan besar sehingga berkembang menjadi korporasi global yang memiliki kekuatan pengaruh besar terhadap dinamika ekonomi politik suatu negara. 351
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Peran pemerintahan demokratis yang mendapatkan legitimasi rakyat melalui pemilihan umum lantas semakin tergerus oleh dominasi korporasi global dalam menentukan agenda-agenda pembangunan. Agen-agen korporasi global semakin mendekat ke penguasa. Ketiga, ketika negara mengalami transisi demokrasi, sistem yang dipandang tidak demokratis diganti total dengan sistem yang dirasa lebih demokratis. Sistem pemilihan presiden dan kepala daerah di Indonesia yang semula dilaksanakan oleh lembaga legislatif sekarang diliberalisasikan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam sistem semacam itu, dibutuhkan modal sangat besar untuk memengaruhi pemilih dan modal itu hanya bisa disediakan oleh para pengusaha (agen korporasi) yang tergabung dalam korporasi. Akibatnya, kontestasi politik banyak didominasi oleh para pengusaha sehingga besar kemungkinan kekuasaan pemerintahan dipegang oleh pengusaha yang pada akhirnya menciptakan aliansi pengusaha dengan penguasa untuk membentuk korporatokrasi. Keempat, proses globalisasi telah memperkokoh aliansi kuat pengusaha dengan penguasa yang menghasilkan korporatokrasi sehingga masa depan demokrasi berada pada titik suram. Sistem demokrasi telah tergantikan oleh korporatokrasi yang ditandai oleh beralihnya tanggung jawab pemerintahan demokratis (democratic government accountability) ke tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) dalam melayani kebutuhan rakyat. Pada akhirnya, globalisasi telah membenamkan demokrasi dalam situasi krisis. Jika demokrasi dipercaya sebagai sistem pemerintahan terbaik yang mampu menciptakan kebaikan bagi rakyat, langkah strategis perlu dilakukan untuk menyelematkannya. Karena itu, kajian lanjut untuk menemukan solusi penyelamatan itu merupakan kebutuhan penting dan mendesak. Ke depan, penelitian berkaitan dengan strategi menerapkan demokrasi di tengah terjangan proses globalisasi, khususnya di Indonesia, dapat menjadi kajian menarik yang akan memperkaya wacana tentang relasi demokrasi dan globalisasi. ***** Daftar Pustaka Bhagwati, J. 2004. In Defense of Globalisation. Oxford: Oxford University Press. Cerny, P.G. 1999. “Globalisation and the Erosion of Democracy”, dalam European Journal of Political Research, Vol. 36, p. 1-26. Diamond, L. 1997. Is Third Wave of Democratization Over? An Empirical Assessment. Working Paper #236, March. Fukuyama, F. 2003. The End of History and the Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokasi Liberal (terj.), Yogyakarta: Qalam. Giddens, A. 1996. Beyond the Left and Right: the Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press. ______, 1999. Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial, (terj.). Ketut Arya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 352
A. Safril Mubah Prospek Demokrasi dalam Proses Globalisasi
Freedom
House,
2011.
“Freedom
in
the
World
-
Electoral
Democracies”,
dalam
http://www.freedomhouse.org/sites/default/files/inline_images/ElectoralDemocracyN umbersFIW1989-2011.pdf [diakses 8 Maret 2012]. Held, D. et al. 1999. Global Transformations: Politics, Economic, and Culture. Stanford, California: Stanford University Press. Held, D. 1995. Democracy and the Global Order: from the Modern State to Cosmopolitan Governance. Cambridge: Polity Press. ______. 1991. “Democracy and Globalisation”, dalam Alternatives, Vol. 16, No. 2, pp. 201-208. Huntington, S.P. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman, Ok, and London: University of Oklahoma Press. Korten, D. 1997. When Corporations Rule the World (terj.). Jakarta: Professional Books. Ohmae, K. 1995. The End of Nation State: the Rise of Regional Economies. London: Harper-Collins. Parsa, M. 2003. “Will Democratization and Globalization Make Revolutions Obsolete?”, dalam Foran, John ed., 2003. The Future of Revolutions: Rethinking Radical Change in the Age of Globalization. London: Zed Book. Priyono, B.H. 2003. “Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam Wibowo, I. dan F. Wahono (eds.), 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Robinson, W.I. 2003. “Neoliberalisme, Elit Global, dan Transisi Guatemala: Sebuah Analisis Kritis Makro Struktural”, dalam Robinson, W.I. (ed.) 2003. Hantu Neoliberalisme (terj.). Jakarta: C Books. Sklair, L. 2001. Globalization: Capitalism and Its Alternative. Oxford: Oxford University Press. Susanto, J. 2000. “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi”, dalam Masyarakat Kebudayaan dan Politik, April, Vol. XIII, No. 2, pp. 59-72. Winarno, B. 2009. “Globalisasi dan Masa Depan Demokrasi”, Global & Strategis, Juli-Desember, Th. 3, No. 2, pp. 123-143. Yeates, N. 2002. “Globalization and Social Policy: From Global Neoliberal Hegemony to Global Political Pluralism,” dalam Global Social Policy, Vol. X, No. 2. Zimmerling, R. 2003. “Globalization and Democracy: A Framework for Discussion”, dalam Annual Meeting of the Tampere Club, 18-20 Agustus.
353